• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang berideologi Pancasila dan memiliki nilai-nilai budaya yang luhur. Pancasila mengandung 5 pokok nilai yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai tersebut diharapkan terdapat di dalam setiap diri dan jiwa setiap rakyatnya, agar menjadi manusia yang bermoral, berkemanusiaan, dan berguna bagi nusa bangsa serta agamanya.

Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari beberapa elemen profesi dalam masyarakat. Permasalahan dalam setiap profesi sangat mungkin terjadi. Kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah merupakan salah satu contoh permasalahan yang terjadi di dunia politik, hukum dan pemerintahan. Begitu pula dalam dunia pendidikan antara lain seorang dosen di salah satu perguruan tinggi yang melakukan tindakan plagiat hampir separuh dari tesis mahasiswa (Anwar Siswadi, 2012), kasus pencontekan saat ujian Pendidikan Latihan dan Profesi Guru (PLPG) (Arief Ardliyanto, 2012).

Tindakan menyimpang selain dilakukan oleh orang dewasa, juga dilakukan oleh mereka yang berusia remaja yang biasanya masih menjadi pelajar atau mahasiswa. Peristiwa lain yang mengejutkan yaitu enam orang remaja memperkosa dan membakar seorang siswi SMK sekaligus teman dekatnya di daerah Kalasan, Sleman (Ayu, kedaulatan rakyat jumat 19 April

(2)

2013 Hlm 1). Kasus penyimpangan juga dilakukan oleh enam siswa SMA swasta di Yogyakarta, enam orang tersangka melakukan perampokan di sebuah toko waralaba dan menggunakan uang hasil rampokan tersebut untuk bersenang-senang dan membeli minuman keras (Chatarina Binarsih, 2013).

Peristiwa lain yang masih terjadi yaitu siswa yang berusaha mencontek pada saat ulangan berlangsung. Menurut pernyataan hasil wawancara peneliti dengan beberapa remaja SMA, salah satu MA di sekitar Sleman pada tanggal 17 Maret 2012, mengatakan bahwa masih ada siswa yang berusaha mencontek ketika ulangan. Hal ini sempat terlihat saat peneliti melakukan praktek pengalaman lapangan pada bulan Agustus 2012 ketika sedang mengawasi ulangan di kelas. Terlihat perilaku siswa yang mencurigakan, antara lain: membawa kertas, membawa handphone, dan tengok kanan-kiri, bahkan membuka buku catatan. Saat siswa didekati, sikap siswa tersebut seperti menyembunyikan sesuatu, ini merupakan masalah yang serius dan selayaknya untuk ditindak lanjuti.

Mencontek, berbohong, mencuri, termasuk dalam perilaku moral yang merupakan aspek-aspek negatif dari tingkah laku (Santrock, 2007 : 315). Perilaku seperti mencontek, mencuri, dan korupsi termasuk dalam perkembangan moral yang mencakup pemikiran (kognisi) moral; perasaan (afeksi) moral, dan tindakan (aksi) moral (Santrock, 2007:301; Shaffer, 2009 : 530). Dilihat dari segi pendidikan, yang artinya mereka (baik yang masih di bangku sekolah maupun yang sudah bekerja sebagai profesional) telah dididik dan dilatih kognisinya secara berkelanjutan dari kecil hingga usia dewasa

(3)

muda; semestinya pengetahuan (kognisi) moralnya baik atau tinggi, namun dalam prakteknya atau dalam tindakan moralnya buruk atau rendah.

Muncul pertanyaan mengapa individu melakukan tindakan moral yang negatif atau membuat keputusan yang tidak bermoral. Menurut Bandura dalam Detert & Trevino (2008: 374), individu membuat keputusan tidak etis karena proses regulasi diri moralnya tidak aktif. Ketidakaktifan regulasi diri moral ini disebut tercerabutnya (lepas) moral atau regulasi diri moral yang tidak berfungsi disebut moral disengagement oleh Bandura. Jika regulasi diri moralnya baik (berfungsi) maka seharusnya dapat menahan untuk tidak melakukan tindakan moral yang buruk, akan tetapi jika regulasi diri moralnya buruk maka dapat memfasilitasi terjadinya tindakan moral yang buruk.

Regulasi diri moral yang tidak berfungsi (Moral disengagement) Bandura (1999:193) menegaskan tentang kompleksnya regulasi diri moral yang tidak berfungsi, bahwa orang-orang mengambil keputusan tidak etis dengan tanpa menampakkan perasaan bersalah atau tidak adanya self sensor. Menurut Bandura (1999: 193), ada suatu sudut atau pusat dalam kognitif yang merestrukturisasi tindakan dengan cara berikut :

1. Justifikasi moral yaitu keputusan tindakan baik atau buruk yang pada diri sendiri atau orang lain yang tampak dibenarkan secara moral. Misalnya seseorang mencuri karena ingin menghidupi keluarganya. 2. Bahasa yang diperhalus, seseorang menyebutkan hal tercela dengan

(4)

3. Perbandingan yang menguntungkan, seseorang membandingkan pelanggaran moral dengan pelanggaran lain yang lebih berat, sehingga individu tersebut dapat membenarkan diri.

4. Melemparkan tanggung jawab seseorang membenarkan pelanggaran moral karena ada perintah dari otoritas yang lebih tinggi.

5. Mengaburkan tanggung jawab, merasa bahwa kesalahan tidak hanya dilakukan oleh dirinya sendiri namun juga oleh orang lain.

6. Tidak menghargai atau sangat sedikit usaha untuk mengurangi akibat melukai orang lain, seseorang mengabaikan bahaya yang akan timbul dari perbuatan yang di lakukan .

7. Selalu menyalahkan pihak lain, seseorang menyalahkan pihak lain atas pelanggaran moral yang dilakukan.

8. Memperlakukan tidak manusiawi pada orang yang menjadi korban. Justifikasi moral, penghaluan istilah, perbandingan yang menguntungkan merupakan ketidaktahuan kognitif tentang perilaku sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan moral, melempar tanggung jawab, mengaburkan tanggung jawab dan tidak menghargai merupakan perilaku seseorang yang mengaburkan sebuah tindakan yang merugikan dirinya, dehumanisasi dan menyalahkan orang lain dapat terlepas dari sangsi moral ketika individu mengurangi identifikasi pada tujuan yang merugikan (Kurtinez & Gewirtz, 1991: Hal 71-93).

Detert & Trevino (2008: 374 – 391), meneliti tentang perbedaan individu sebagai anteseden dari regulasi diri moralnya tidak berfungsi, dan

(5)

adanya hubungan antara moral disengagement yang tidak berfungsi dengan serangkaian pembuatan keputusan moral yang tidak etis. Hasilnya sebagai berikut :

1. Adanya hubungan antara empati dengan regulasi diri moral yang tidak berfungsi (Moral disengagement) seseorang yang memiliki empati lebih tinggi, maka akan semakin mampu meregulasi diri moralnya dengan baik.

2. Adanya hubungan antara sifat sinis dengan regulasi diri moral yang tidak berfungsi, seseorang yang memiliki sifat sinis akan sulit mengendalikan moralnya.

3. Adanya hubungan positif antara orientasi locus of control yang chance dengan regulasi diri moral yang tidak berfungsi; sedangkan hubungan antara internal locus of control dan power locus of control dengan regulasi diri moral yang tidak berfungsi tidak terdukung 4. Ada hubungan yang negatif antara identitas moral dengan regulasi

diri moral yang tidak berfungsi.

Terdapat satu aspek mediasi dalam pengambilan keputusan dalam kognitif yang disebut dengan moral disengagement yang dapat menjadi fasilitator pengambilan keputusan moral yang buruk. Pengambilan keputusan tersebut terbentuk dengan dukungan aspek–aspek atau faktor–faktor personal yang berasal dari pikiran (kognisi) moral, serta reaksi diri afektif dan faktor lingkungan yang semuanya saling berinteraksi dengan tindakan moral seseorang (Bandura dalam Kurtinez & Gewirtz, 1991 : 45 – 46).

(6)

Salah satu aspek dalam kognisi moral adalah orientasi moral. Orientasi moral adalah suatu konsep tentang kerangka atau perspektif yang berbeda untuk menyusun atau memahami domain moral. Terdapat dua orientasi menurut Gilligan (Lawrence J, Walker dalam Kurtinez & Gewirtz, 1991:334), yaitu orientasi keadilan dan orientasi kepedulian. Orientasi keadilan berdasarkan pemikiran Kohlberg, sedangkan orientasi kepedulian merupakan pemikiran Gilligan (Barnstein Lamb, 1992: 445-447). Menurut Gilligan teori tingkat perkembangan moral Kohlberg tidak memadai untuk menggambarkan moral remaja perempuan. Perempuan yang diukur dengan alat Kohlberg skornya lebih rendah dari laki-laki dan hanya akan behenti pada tahap ketiga yaitu goodboy/goodgirl. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan orientasi (penalaran) moral (Gilligan, 1997).

Menurut Gilligan (1997: 112) terdapat tiga tingkatan perkembangan moral yang berorientasi pada kepedulian yaitu: a) tingkat Orientasi of individual survival, transisi selfishness ke responsibility b) tingkat Goodness as self sacrifice, transisi goodness ke truth, c) morality of nonviolence. Individu yang berada pada tingkat pertama dianggap mempunyai tingkat kepedulian yang kurang, hal ini dapat di amati pada anak usia sekolah awal. Pada tingkat kedua dianggap memiliki tingkat kepedulian yang baik walaupun belum memiliki keseimbangan yang nantinya akan dapat beralih pada tahap kedua yaitu goodness ke truth. Pada tingkatan ketiga menurut Gilligan tidak mudah seorang individu untuk dapat mencapai tingkat kepedulian ini bahkan

(7)

oleh orang dewasa sekalipun karena keputusan yang diambil adalah baik baginya dan bagi orang lain.

Fenomena perilaku buruk yang terjadi pada siswa SMA seperti mencontek, tawuran pelajar, narkoba, mencuri, berbohong cukup memprihatinkan. Perilaku buruk ini kemungkinan terjadi karena regulasi diri moral yang ada dalam diri remaja tersebut tidak berfungsi, hal ini diduga terjadi karena disebabkan oleh faktor internal berupa orientasi moral dengan moral disengagement yang saling terkait. Orientasi moral kepedulian yang tinggi seharusnya regulasi diri moralnya semakin berfungsi untuk mendukung kearah tindakan moral yang baik, namun sebaliknya jika orientasi moralnya rendah maka regulasi diri moralnya tidak berfungsi. Jika di andaikan orientasi moral kepeduliannya baik maka moral disengagementnya akan lemah, namun jika orientasi moral kepeduliaanya rendah maka moral disengagementnya akan tinggi.

Fase remaja secara umum adalah sekitar usia 13-21 tahun yang kebanyakan berada pada usia sekolah. Remaja menghadapi kondisi pencarian identitas dan berusaha menjelaskan siapa dirinya dan cenderung merasa tidak puas dengan keberadaan dirinya, sehingga berusaha mencari perhatian dari sekelilingnya, ada yang dapat melewati masa remajanya dengan sukses dan berprestasi namun ada pula yang melewati masa remajanya tidak sukses dengan kata lain bermasalah.

Menurut Saefullah (2012: 265) remaja bermasalah tidak mampu menyaring berbagai pengaruh buruk yang ada di sekelilingnya. Ada cara-cara

(8)

yang berbeda pada remaja perempuan dan remaja laki-laki tentang pengertian ‘diri’. Remaja perempuan membangun identitas awal mereka berkaitan dengan diri sendiri dan ibunya, sementara remaja laki-laki mengidentifikasikan diri mereka dengan memisahkan dari jenis kelamin yang berlawanan, yaitu ibu (Barnstein Lamb, 1992: 445-447). Masa remaja merupakan fase perkembangan yang sangat penting bagi individu. Harold Alberty 1957 dalam (Saefullah, 2012: 264) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani individu sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai awal masa dewasa. Menurut WHO dalam Sarlito W Sarwono (2012: 13) remaja memiliki tanda-tanda perkembangan psikologis dan pada identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Remaja usia sekolah rawan untuk melakukan tindakan yang buruk karena tidak adanya self sensor yang diaktifkan saat sendiri atau besama teman-temannya menurut Bandura (1999: 193) terdapat delapan indikator yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan yang buruk. Jika seseorang berlaku ingin menang sendiri atau melakukan tindakan lain yang terdapat dalam delapan indikator Bandura maka dia berada pada tingkat pertama pada orientasi kepedulian Gilligan. Peneliti berpandangan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara orientasi moral kepedulian dengan moral disengagement. semakin tinggi orientasi moral kepeduliannya maka akan semakin mendukung kearah tindakan moral yang baik, namun sebaliknya jika orientasi moral kepeduliannya rendah maka tindakan yang dilakukan akan kemungkinan buruk. Dengan demikian orientasi moral kepedulian memiliki

(9)

kontribusi pada terjadinya suatu tindakan moral yang buruk oleh seorang individu.

Berkaitan dengan latar belakang diatas, maka peneliti memiliki pendapat bahwa perlu dilakukan penelitian tentang moral disengagement dari tinjauan orientasi moral sebagai faktor internal seseorang yang memengaruhi terjadinya tindakan moral oleh siswa. Minimnya penelitian yang meneliti tentang orientasi moral siswa dengan moral disengagement maka penelitian tentang orientasi moral ini perlu untuk dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan Hubungan Orientasi Moral Kepedulian dengan Moral disengagement pada Siswa SMA Se-Kabupaten Sleman.

B. Identifikasi Masalah

1. Banyak remaja melakukan tindakan moral yang buruk semacam kecurangan saat ujian, mencuri, dan tawuran.

2. Ketidakmampuan remaja mengendalikan tingkah lakunya.

3. Keterkaitan orientasi moral dengan moral disengagement yang terjadi pada tindakan moral siswa yang buruk.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas agar penelitian lebih fokus pada hubungan orientasi moral kepedulian dengan moral disengagement pada kalangan siswa SMA se-kabupaten Sleman.

(10)

D. Rumusan Masalah

Dapat diketahui berdasarkan pembatasan masalah di atas terdapat dua variabel yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah orientasi moral, dan moral disengagement. Untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara kedua variabel tersebut, maka masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: adakah hubungan antara orientasi moral kepedulian dengan moral disengagement pada siswa SMA Se-Kabupaten Sleman?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara orientasi moral kepedulian dengan moral disengagement pada siswa SMA di Kabupaten Sleman.

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Hasil hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan untuk jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum di bidang etika atau psikologi moral. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan salah satu referensi bagi penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini.

(11)

2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai masukan dalam mengambil keputusan untuk mengadakan peningkatan dan pembinaan terkait dengan orientasi moral kepedulian dan moral disengagement.

b. Dari hasil penelitian ini akan didapatkan informasi mengenai hubungan orientasi moral kepedulian dengan moral disengagement dan dapat memberikan pengetahuan serta gambaran tentang tingkat kepedulian pada siswa.

c. Bagi siswa, memberikan pemahaman mengenai pentingnya kepedulian dan pengendalian perilaku moral.

d. Bagi peneliti, kesempatan peneliti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan sebagai pembelajaran mengenai penelitian. e. Bagi sekolah dapat mengembangkan model pendidikan moral

Referensi

Dokumen terkait

Terkait pemilihan umum serentak ini, terdapat beberapa pendapat yang lebih menyetujui apabila keserentakan pemilu didasarkan atas pemilu nasional dan daerah, dimana pemilu

Beberapa kebutuhan layanan pelanggan yang tersedia adalah (l) Komponen Akuntansi (Accaunting Component), yang memungkinkan sistem mnmpu menangani sejumlah pengguna yang

Model dikatakan baik bilamana nilainya besar (mendekati 1). Dalam penelitian ini nilai yang diperoleh adalah 57,12%, ini menunjukkan bahwa model jalur dapat dikatakan baik. Nilai

Tolok ukur kondisi Sosial (sesuai baku mutu/ penera/ volume target Nilai Besaran Parameter Indikator Sosial setelah Pengelolaan Sosial 1 2 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Faktor risiko kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cikeusik Kabupaten Pandeglang adalah umur <20 tahun, pekerjaan, lama tinggal di daerah endemis >2

Desa Atas Taman di Sumenep adalah salah satu kawasan yang mengalami proses akulturasi pada rumah tinggalnya yang terpengaruh oleh budaya Cina yang ditengarai

Jumlah perawat pada shift pagi lebih banyak karena pekerjaan yang dilakukan lebih banyak daripada perawat yang bekerja pada shift siang dan malam, seperti membersihkan ruangan

Diskusi akan dikembangkan agar terbentuk persepsi yang sama antara pengelola dan penilai akreditasi dalam menerjemahkan butir-butir yang tercantum dalam