• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan No. 24/Pid.Sus/2012/PN.PL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan No. 24/Pid.Sus/2012/PN.PL)"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus Putusan No. 24/Pid.Sus/2012/PN.PL)

OLEH:

HELVI HANDAYANI

B 111 11 031

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

(2)

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus Putusan No. 24/Pid.Sus/2012/PN.PL)

OLEH

HELVI HANDAYANI B 111 11 031

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2015

(3)
(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa:

Nama : HELVI HANDAYANI

No. Pokok : B 111 11 031

Bagian : HUKUM PIDANA

Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus Putusan No. 24/Pid.Sus/2012/PN.PL) Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan pada ujian skripsi.

Makassar, Januari 2015 Pembimbing I, Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. NIP. 19631024 198903 1 002 Pembimbing II, Dr. Dara Indrawati, S.H., M.H. NIP. 19660827 199203 2 002

(5)
(6)

ABSTRAK

HELVI HANDAYANI, B11111031, Judul Skripsi “Tinjauan Yuridis

Penjatuhan Pidana Bersyarat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan No. 24/Pid.Sus/2012/PN.PL), di bawah bimbingan Syamsuddin Muchtar selaku Pembimbing I dan Dara Indrawati selaku Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan: mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara Putusan No. 24/Pid.Sus/2012/PN.PL dan mengetahui signifikansi penerapan pidana bersyarat terhadap tindak pidana korupsi.

Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Palu, Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara, dengan tanya jawab terhadap nara sumber yang dapat memberikan keterangan dan informasi yang diperlukan dan metode kepustakaan yaitu dilakukan untuk memperoleh data yang bersumber dari dokumen-dokumen hukum berupa buku, perundang-undangan, kamus hukum, pemberitaan media massa, dan internet yang terkait dengan masalah penelitian. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim yang menginterpretasikan bahwa penjatuhan pidana bersyarat terhadap terdakwa dimaknai dari ketentuan Pasal 12 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidaklah tepat karena ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda dalam Pasal 12 A hanya berlaku bagi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal ini tidak berlaku bagi kerugian keuangan negara yang termaktub dalam Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, di dalam putusan tersebut majelis hakim tidak menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa dan tidak memberikan penjelasan mengenai tujuan pemidanaan. Pada dasarnya bisa saja diterapkan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menyebutkan secara tegas boleh atau tidaknya menjatuhkan pidana bersyarat dalam tiap-tiap pasalnya. Aturan dalam Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f KUH Pidana bersifat umum, maka hal tersebut yang dijadikan dasar hukum oleh hakim dalam menjatuhkan pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 103 KUH Pidana. Namun, apabila pidana bersyarat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, tentunya hal ini menciderai nilai keadilan masyarakat.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang senantiasa memberikan petunjuk dan membimbing langkah penulis sehingga dapat merampungkan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada jenjang Studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Tak lupa pula penulis panjatkan shalawat dan salam bagi junjungan dan teladan Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat beliau yang senantiasa menjadi penerang bagi kehidupan umat muslim di seluruh dunia.

Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak yang senantiasa membantu dan membimbing penulis dalam suka dan duka. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih yang sangat besar kepada seluruh pihak yang telah membantu baik moril maupun materiil demi terwujudnya skripsi ini.

Secara khusus dan dengan penuh rasa hormat penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ramli Reo dan Ibunda Hajrah Sumardji yang telah banyak memberi kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil, nasihat, dan doa sehingga perkuliahan dan penyusunan

(8)

skripsi ini dapat terlaksana dengan baik. Kepadamulah kupersembahkan karya ini.

Kepada saudaraku, Rizki Istiqamah dan Muh. Ikhsan Ashari, dan seluruh keluarga besar yang mungkin tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya, kalian semua adalah motivator penulis, jasa-jasa kalian sangat membantu dalam penyelesaian studi penulis.

Dengan segala hormat dan kerendahan hati, ucapan terimakasih yang tulus dan sebesar-besarnya penulis juga haturkan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. selaku Rektor Universitas Hasanuddin.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

3. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Pembimbing I dan Ibu Dr. Dara Indrawati, S.H., M.H. selaku Pembimbing II, terima kasih atas segala petunjuk, saran, bimbingan, dan waktu yang telah diluangkan untuk penulis.

(9)

5. Bapak Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si., Bapak H. M. Imran Arief, S.H., M.S., dan Ibu Hj. Nur Azisa, S.H., M.H. selaku dewan penguji yang telah memberikan masukan dan saran-saran kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Ketua dan Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

7. Segenap Guru Besar dan Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk segala ilmu dan bimbingan yang telah diberikan selama proses perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan studi.

8. Ibu Hijrah Adhyanti Mirzana, S.H., M.H. selaku Penasihat Akademik penulis yang memberikan saran dalam setiap konsultasi Kartu Rencana Studi (KRS).

9. Seluruh Staff Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak memberikan bantuan dalam pengurusan berkas kuliah hingga berkas ujian skripsi.

10. Staff Administrasi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ibu Nurhidayah, S.Hum. dan Kak Afiah Mukhtar, S.Pd. terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk meminjam referensi yang dibutuhkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

(10)

11. Bapak Wayan Karya, S.H., M.Hum. selaku Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Palu beserta jajarannya yang telah membantu penulis selama proses penelitian.

12. Bapak Faisal Amrullah, S.H.,M.Hum., Bapak Nur Ibrahim, S.H., Bapak Abdul Halim Amran, S.H.,M.H., Bapak Felix Da Lopez, S.H.,M.H., dan Bapak Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H.,M.H. terima kasih atas kesediaannya untuk penulis wawancarai terkait penelitian penulis.

13. Kepada keluarga bapak Abdul Halim Amran,S.H.,M.H. dan Ibu Norita yang telah memfasilitasi penulis dalam melakukan penelitian di Kota Palu.

14. Teman-teman angkatan 2011 (Mediasi) FH-UH, terimakasih telah banyak berbagi ilmu, pengalaman, dan persaudaraan.

15. Teman-teman Asian Law Students’ Association (ALSA), khususnya ALSA LC UNHAS dan ALSA se-Indonesia pada

umumnya. ALSA ALWAYS BE ONE.

16. Kakak-kakakku, Kak Fadhil Situmorang, Kak Nursal, Kak Solihin, Kak Anto, Kak Zaldi, Kak Iswan, Kak Irfan Marhaban, Kak Tizar, Kak Zul, Kak Aso’, Kak Tadin, Kak Ridwan, Kak Dikep, Kak Vira, Kak Kia, Kak Putri, Kak Adi, Kak Muti, Kak Fikar, Kak Jumardi, Kak Dewi, terimakasih atas segala support-nya selama ini.

17. Teman-teman pengurus ALSA LC UNHAS Periode 2012-2013, Dayat, Dede, Fadlhan, Rachmi, Dedet, Juwi, Molen, Yaya, Dian,

(11)

Ismi, Virgin, Iin, Rifka, Suci, Ulla, Ridha, Haedar, Fika, Rini, Dini, Tari, Chakin, Alkisa, dan adik-adikku di ALSA Oji, Ila, Arham, Feni, Dian, Jus, Kahfi, Nyoman, Maipa, Rafi, Yasin, Zul, Rahmi, Lisa, Surahmat, Irsad, Icha, Nhoe, Azhima, Olda, terimakasih atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini.

18. Sahabat “Gelisah” dan sahabat “Gerah” Isma, Wahda, Dian, Ismi, Virgin, Chakin, Dede, Iin, Juwi, Nini, Rifka, Ridha, Suci, Alkisa, Ulla, Lina, Gustia, Dinar, terimakasih telah menjadi tempat berbagi suka dan duka.

19. Keluarga National Moot Court Competition (NMCC) ALSA Piala Mahkamah Agung RI 2014 di Jember, Molen, Dayat, Yhaya, Juwi, Adong, Resa, Lisa, Afdalis, Wahyu, Nhoe, Hj. Dian, Tjoteng, Feny, Tita, Yanuar, Irsad, Khaiffah, Oji, terimakasih atas kebersamaan selama menjalani tiga bulan karantina.

20. Teman-teman pengurus Mahkamah Keluarga Mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (MKM FH-UH) Periode 2014-2015 Prandy, Molen, Yhaha, Gustia, terimakasih atas kerjasamanya selama ini.

21. Senior-senior, teman-teman pengurus, dan adik-adik di Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Parepare (Hipmi Pare). Tetaplah Berjaya dan tetaplah membentuk kader-kader terbaik.

(12)

22. Teman-teman KKN Reguler angkatan 87 Desa Buareng, Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone Nur, Rima, Ima, Afri, Fauzan, Kak Rendy, terimakasih atas kerjasamanya selama KKN. Penulis menyadari keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki sehingga tidak menutup kemungkinan masih ditemukan adanya kekurangan, baik dari segi materi maupun dari segi teknik penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan dalam bentuk kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang.

Akhirnya harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Pengertian Tinjauan Yuridis ... 8

B. Pidana dan Pemidanaan ... 9

1. Pengertian Pidana & Pemidanaan ... 9

2. Jenis-Jenis Pidana ... 11

3. Teori Tujuan Pemidanaan ... 17

C. Pidana Bersyarat ... 22

1. Pengertian Pidana Bersyarat ... 22

2. Pengaturan Pidana Bersyarat di dalam KUH Pidana ... 23

D. Tindak Pidana ... 32

1. Pengertian Tindak Pidana ... 32

2. Unsur-unsur Tindak Pidana ... 35

3. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana ... 40

E. Tindak Pidana Korupsi ... 46

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 46

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ... 50

(14)

BAB III METODE PENELITIAN ... 56

A. Lokasi Penelitian ... 56

B. Jenis dan Sumber Data ... 56

C. Teknik Pengumpulan Data ... 57

D. Analisis Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... 59

1. Posisi Kasus ... 59

2. Dakwaan Penuntut Umum ... 63

3. Tuntutan Penuntut Umum ... 73

4. Pertimbangan Hukum Hakim ... 75

5. Amar Putusan ... 106

6. Analisis Penulis ... 109

B. Signifikansi Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Tindak Pidana Korupsi ... 112

1. Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Korupsi ... 112

2. Analisis Penulis ... 114

BAB V PENUTUP ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 118

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Hal ini berarti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup

(16)

fenomenal adalah masalah tindak pidana korupsi.1 Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Pekembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Harus disadari bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia, maka perlu untuk diketahui bahwasanya tujuan dari adanya penegakan hukum tersebut adalah untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari segala tindakan kriminal yang mungkin terjadi, sehingga dari sini negara berkewajiban untuk mengadakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Hal itu tidak lepas dari diterapkannya hukum pidana oleh negara, yang mana hukum pidana merupakan salah satu bagian dari

1

(17)

aturan hukum sebagai alat untuk melindungi masyarakat. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, telah banyak dilakukan oleh petugas penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim di pengadilan. Penegak hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya praktik-praktik tindak pidana korupsi di Indonesia. Tetapi pada kenyataannya semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula prkatik-praktik tindak pidana korupsi tersebut.

Negara selaku penguasa dan dalam rangka melaksanakan penegakan hukum berhak menjatuhkan sanksi pidana dan merupakan satu-satunya subjek hukum yang mempunyai hak untuk menghukum (ius puniendi). Kewenangan negara untuk memberikan sanksi pidana kemudian didelegasikan kepada para penegak hukum yang bekerja dalam suatu sistem yang dikenal dengan nama sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dengan kata lain dalam penerapan hukum pidana oleh negara, maka hal ini tidak akan terlepas dari adanya sistem peradilan pidana tersebut. Sistem perdailan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Komponen-komponen yang bekerjasama dalam sistem ini adalah terutama instansi atau badan yang kita kenal dengan nama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.

Salah satu sub sistem pendukung yang mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana guna

(18)

menegakkan hukum adalah pengadilan yang mana di dalamnya berisi para hakim yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Tugas hakim adalah mengambil atau menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana sesuai dengan kehendaknya. Namun, ditengah besarnya animo masyarakat akan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia justru di beberapa pengadilan dalam lingkup peradilan umum memvonis para pelaku tindak pidana korupsi dengan putusan percobaan atau lebih dikenal dengan pidana bersyarat. Dimana dengan putusan pidana bersyarat ini pelaku tidak harus menjalani hukuman pidana penjara sebagaimana layaknya pelaku kejahatan lain, dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan pembebanan syarat-syarat tertentu.

Dilihat dari amar putusan pengadilan, sebanyak 80,7% terdakwa atau sebanyak 593 terdakwa kasus tindak pidana korupsi dinyatakan terbukti bersalah hingga tahap kasasi, sementara 13,7% atau sebanyak 101 orang terdakwa diputus bebas, 4,2% (31 terdakwa) diputus lepas, dan 1,2% atau sebanyak 9 terdakwa dinyatakan dakwaan terhadapnya tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Sementara itu dari 593 terdakwa yang dinyatakan terbukti bersalah, 13 orang terdakwa dijatuhi hukuman pidana bersyarat (hukuman percobaan) baik pidana bersyarat umum (Pasal 14a ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maupun

(19)

bersyarat khusus (Pasal 14c ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana).2

Meskipun hakim mempunyai kekuasaan yang bebas atau merdeka untuk menjatuhkan putusannya, tetap saja putusan berupa pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi menimbulkan kontroversi dalam dunia hukum baik secara akademik maupun praktik. Hal tersebut juga bertentangan dengan semangat bangsa Indonesia yang saat ini sedang gencar-gencarnya memberantas tindak pidana korupsi. Jika hukuman terberat seperti kurungan, penjara, dan hukuman mati sekalipun tidaklah menjamin dapat membuat jera para koruptor ataupun dapat menjalankan keefektifan fungsi preventifnya, lalu bagaimana dengan beberapa yurisprudensi serta pandangan-pandangan dari beberapa pihak untuk menerapkan hukuman pidana bersyarat kepada pelaku kejahatan yang kejam ini.

Kepuasan akan penegakan hukum memang bukanlah didapatkan ketika para pelaku kejahatan menderita saat pelaku kejahatan menjalani masa-masa hukuman serta menerima vonis hukuman atas perbuatannya. Kepuasan akan lebih tecapai bila kepastian hukum dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan memberikan ketakutan bagi orang lain agar mereka berfikir lagi ketika memiliki niat untuk melakukan perbuatan yang sama. Dikarenakan masih banyaknya tanda tanya dan kerancuan dalam hal penerapan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi di

2

Tama S.Langkun (dkk), 2014, Studi atas Disparitas Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Hlm. 16.

(20)

Indonesia, maka penulis merasa memiliki ketertarikan untuk mengangkat penelitian dan penulisan skripsi dengan judul, “Tinjauan Yuridis

Penjatuhan Pidana Bersyarat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan No. 24/Pid.Sus/2012/PN.PL)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan judul yang akan diteliti, maka penulis memfokuskan pembahasan pada rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi? 2. Apakah cukup signifikan penerapan pidana bersyarat terhadap

tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi. 2. Untuk mengetahui signifikansi penerapan pidana bersyarat

(21)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan sumbangan teoritis bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini perkembangan dan kemajuan ilmu hukum khususnya hukum pidana;

2. Dapat dijadikan referensi tambahan bagi para akademisi dan kalangan yang berminat dalam bidang kajian yang sama terlebih lagi buat pribadi penulis;

3. Menjadi sumbangsih dalam rangka pembinaan hukum nasional dan juga menjadi pertimbangan bagi para penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tinjauan Yuridis

Istilah “Yuridis” berasal dari bahasa Inggris Yuridicial yang sering disinonimkan dengan arti kata hukum atau normatif. Jadi tinjauan yuridis berarti kajian atau analisis suatu masalah berdasarkan hukum dan perundang-undangan. Paul Scholten menyatakan bahwa interpretasi, penafsiran hukum, merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan hukum.3

Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan perundang-undangan. Demikian pula halnya dengan undang-undang yang baru, yang segera diserap ke dalam struktur keseluruhan tersebut. Dengan demikian, apabila orang ingin memberi arti pada suatu undang-undang tertentu, maka ia harus melakukannya dalam konteks yang demikian itu. Dalam hubungan ini maka kata-kata suatu undang-undang mungkin tidak hanya baru menjadi jelas manakala dipahami dalam hubungannya dengan yang lain, melainkan juga mencoba untuk memahami masing-masing undang-undang sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan yang berkaitan satu sama lain. Suatu undang-undang bisa dilihat sebagai suatu penggarapan lebih lanjut, suatu pengisian dan/atau penyimpangan

3

Satjipto Rahardjo, 2006, Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 124.

(23)

dari yang lain.4 Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian tinjauan yuridis adalah sama dengan hukum pidana materiil yaitu mencakup delik apa yang terjadi, siapa pelakunya, unsur-unsur delik yang terpenuhi, pidana, dan pertanggungjawaban pidana.

B. Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.5 Menurut Van Hamel, arti dari pidana atau starf menurut hukum positif dewasa ini adalah:

suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.6

Demikian pula Simons mengemukakan bahwa pidana atau straf itu adalah “suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.”7

Lebih lanjut Algra-Janssen telah merumuskan pidana atau straf sebagai:

4

Ibid., Hlm. 17

5

Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana 1 (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, & Batas Berlakunya Hukum Pidana), Rajawali Pers, Jakarta, Hlm. 24.

6

P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, 2010, Hukum Penitensier Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 33.

7

(24)

alat yang digunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.8

Adami Chazawi mendefinisikan pidana sebagai “suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.”9

Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan pidana ialah “penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.”10 Roeslan Saleh juga mengartikan “pidana adalah reaksi atas

delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.”11

Dari beberapa rumusan mengenai pidana tersebut, dapat diketahui bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Sedangkan menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman.

Penghukuman itu berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim

8

Ibid.

9

Adami Chazawi, Loc.cit.

10

Muladi & Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung, Hlm. 2.

11

(25)

dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.12

Jadi, dengan kata lain pidana berbicara mengenai hukumannya sedangkan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri.

2. Jenis-jenis Pidana

Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUH Pidana, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang.13 Jenis pidana dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.14

Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUH Pidana ialah sebagai berikut:

a. Pidana Pokok, terdiri dari: 1) Pidana mati;

2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda;

5) Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946).

12

P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Op.cit., Hlm. 35.

13

Lihat Pasal 103 KUH Pidana.

14

A.Z. Abidin Farid & A. Hamzah, 2008, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 281.

(26)

b. Pidana Tambahan, terdiri dari:

1) Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

2) Pidana perampasan barang-barang tertentu; 3) Pidana pengumuman putusan hakim.15

1) Pidana Mati

Pidana mati pada beberapa negara telah dicabut sedangkan untuk negara kita masih dipertahankan bahkan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati mulai ditambah. Pidana mati dari waktu ke waktu dilakukan lebih memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, baik dijalankan dengan pemenggalan, penggantungan, sampai disuntik mati. Menurut Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38, ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana. Pidana mati dijalankan dengan dihadiri jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara teknis dilaksanakan oleh polisi.

2) Pidana Penjara

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Batas waktu pidana penjara minimal satu hari sampai seumur hidup. Namun, pada umumnya pidana penjara maksimum adalah lima belas tahun. Pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan saja karena ia tidak dapat bebas bepergian tetapi para narapidana kehilangan hak-hak tertentu seperti: hak untuk memilih dan dipilih dalam

15

(27)

pemilihan umum, hak memangku jabatan politik, hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan, hak mendapat izin tertentu, hak untuk mengadakan asuransi hidup, hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan, hak untuk kawin, dan bebarapa hak yang lain.

3) Pidana Kurungan

Pidana kurungan relatif sama dengan pidana penjara, namun pada pidana kurungan batas waktunya minimal satu hari dan maksimal satu tahun. Pidana kurungan diancamkan pada tindak pidana yang dianggap ringan seperti tindak pidana kealpaan dan pelanggaran. Perbedaan lain dengan pidana penjara adalah pelaksanaan pidana kurungan lebih ringan daripada pelaksanaan pidana penjara.

4) Pidana Denda

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua. Pidana ini terdapat pada setiap masyarakat termasuk pada masyarakat adat. Pada saat sekarang, pidana denda dijatuhkan terhadap tindak pidana ringan berupa pelaggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana. Hasil penagihan denda diperuntukkan bagi kas negara, walaupun peraturan pidana itu dibuat oleh pemerintah daerah begitu pula biaya untuk pidana

(28)

kurungan pengganti ditanggung oleh negara walaupun peraturan pidana itu dibuat oleh pemerintah daerah pula.16

5) Pidana Tutupan

Dalam KUH Pidana terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada Pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah pencantuman ini didasarkan kepada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan. Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.17

6) Pidana Tambahan

a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu

Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu bukan berarti hak-hak terpidana dapat dicabut semuanya. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak hidup, hak sipil (perdata), dan hak ketatanegaraan. Terdapat dua hal tentang pencabutan hak-hak tertentu, yaitu: pertama, tidak bersifat otomatis, harus ditetapkan dengan putusan hakim. Kedua, tidak berlaku seumur hidup tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.

16

Evi Hartanti, Op.cit., Hlm. 57-58.

17

(29)

Pencabutan hak-hak tertentu hanya untuk tindak pidana yang tegas ditentukan oleh undang-undang bahwa tindak pidana tersebut diancam oleh pidana tambahan. Lamanya jangka waktu pencabutan hak-hak tertentu adalah pada pidana seumur hidup, lamanya seumur hidup. Adapun pada pidana penjara dan kurungan lamanya minimal dua tahun dan maksimal lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya. Dalam pidana denda, lama pencabutan minimal dua tahun dan maksimal lima tahun.

Hak-hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 KUH Pidana, yaitu: hak memegang jabatan tertentu; hak memasuki angkatan bersenjata; hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, wali pengawas, pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri; hak untuk menjalankan kekuasaan bapak, perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; dan hak menjalankan pekerjaan tertentu.

b. Perampasan Barang Tertentu

Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang yang didapat karena kejahatan dan barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Perampasan biasa dilakukan dalam hal kejahatan keuangan. Benda yang dirampas dieksekusi dengan jalan dilelang di muka umum oleh

(30)

jaksa, kemudian hasilnya disetor ke kas negara sesuai dengan pos hasil dinas kejaksaan.

c. Pengumuman Putusan Hakim

Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau aturan umum lainnya maka harus ditetapkan bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Apabila terpidana tidak membayar biaya pengumuman putusan hakim tersebut, maka diganti dengan pidana penjara atau kurungan pengganti denda. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Dalam praktik jarang sekali hakim menjatuhkan pidana tambahan ini.18

3. Teori Tujuan Pemidanaan

Di dalam KUH Pidana tidak secara tegas mencantumkan tujuan pemidanaan di dalam rumusan pasal-pasalnya. Tujuan pemidanaan yang ada hanyalah merupakan wacana yang berkembang dari pemikiran para ahli hukum yang kemudian dicoba untuk diimplementasikan di dalam praktek. Oleh karena itu, tujuan pemidanaan di Indonesia kemudian diterjemahkan dalam berbagai versi, baik oleh para perumus undang-undang, maupun para penegak hukum di lapangan. Kondisi tersebut tentunya berdampak pada kebijakan pidana yang menjadi tidak jelas arahnya. Hal ini tercermin dari pemilihan jenis atau berat sanksi pidana

18

(31)

dalam berbagai perundang-undangan yang tidak terpola, atau pada disparitas pemidanaan di berbagai putusan yang begitu berat.

Teori tentang tujuan pemidanaan memang semakin hari semakin menuju ke arah sistem yang lebih manusiawi dan lebih rasional. Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori gabungan (vereniging theorien).

1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)

Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.19 Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Menurut teori ini, hakikat suatu pidana ialah pembalasan.20

19

Ibid., Hlm. 59-60.

20

(32)

Menurut Johanes Andreas tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya Philosophy of Law sebagai berikut:

… Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat

untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan

masyarakatnya), pembunuh terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam yang tidak dibolehkan tetap ada pada anggota masyarakat, sebab apabila tidak demikian mereka dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.21

Jadi, pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid). Salah seorang tokoh penganut teori absolut yang terkenal yaitu Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Teori Hegel yang dikenal dengan

quasi-mathematic, yaitu:

a. Wrong being (crime) is the negation of right and;

b. Punishment is the negation of the negation.

Menurut Nigel Walker teori retributif dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:

21

(33)

a. Teori retributif murni (the pure retributivist), yaitu bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat;

b. Teori retributif tidak murni, teori ini dibagi pula ke dalam:

1. Teori retributif terbatas (the limiting retributivist), yaitu pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa;

2. Teori retributif yang distributif (retribution in distribution), yaitu pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi juga pidana tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan.

Menurut John Kaplan, teori retribution dibedakan menjadi dua teori, yaitu:

a. Teori pembalasan (the revenge theory), yaitu pembalasan mengandung arti bahwa utang si penjahat “telah dibayar kembali” (the criminal is paid back);

b. Teori penebusan dosa (the expiration theory), yaitu penebusan mengandung arti bahwa si penjahat “telah membayar kembali utangnya” (the criminal pays back).

2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh

(34)

karena itu. J.Andeanaes berpendapat teori ini dapat disebut teori perlidungan masyarakat (the theory of social defence). Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the “reductive”

point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah mengurangi frekuensi kejahatan.

Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena yang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).

Menurut Karl O.Christiansen, ada perbedaan pokok atau perbedaan karakteristik antara teori retributif dan teori utilitarian, yaitu:

1. Teori retribution:

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

(35)

e. Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2. Teori utilitarian:

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b. Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak

membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat.

3) Teori Gabungan (Vereniging Theorien)

Teori ini dianjurkan pertama kali oleh Pelligro Rossi (1787-1884). Teori ini menjabarkan bahwa tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil. Namun, teori ini berpendirian bahwa pidana

(36)

mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.22

C. Pidana Bersyarat

1. Pengertian Pidana Bersyarat

Apa yang disebut pidana bersyarat ataupun yang oleh para praktisi di tanah air juga sering disebut hukuman percobaan. Hal ini berasal dari perkataan voorwaardelijk veroordeling, yang sebenarnya adalah lebih baik apabila perkataan tersebut diterjemahkan sebagai pemidanaan bersyarat. Akan tetapi, perkataan pemidanaan bersyarat itu sendiri sebenarnya juga kurang tepat, karena dapat memberikan kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan dari pidananya, padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Hanya untuk mudahnya saja, perkataan pidana bersyarat itu akan digunakan di dalam tulisan ini, dengan pengertian perkataan tersebut harus diartikan sebagai suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan di dalam putusannya.23

Pidana bersyarat adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya, pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak

22

Evi Hartanti, Op.cit., Hlm. 60-62.

23

(37)

perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.24

Jadi, pidana bersyarat ini keputusan penjatuhan hukuman tetap ada, akan tetapi hanya pelaksanaan hukuman tidak dilaksanakan atau tertunda/ditunda. Kalau dari segi istilah, kiranya jelas bahwa pidana bersyarat adalah bukanlah pemidanaan yang bersyarat, melainkan pelaksanaan pidana itu digantungkan kepada syarat-syarat tertentu. Artinya, kendati suatu pidana telah dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku/terpidana, namun pidana itu tidak atau belum dijalani sepanjang terpidana tidak melanggar syarat-syarat yang diwajibkan padanya ketika putusan itu diterimanya, karena pidana bersyarat ini jika dilihat dari segi istilah pelaksanaan pidana yang dipersyaratkan.25

2. Pengaturan Pidana Bersyarat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana)

Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah pidana bersyarat di dalam Pasal 14a sampai Pasal 14f KUH Pidana telah ditambahkan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 251 jo. Nomor 486 dan baru pada tanggal 1 Januari 1927 dimasukkan dalam KUH Pidana berupa Pasal 14a sampai dengan 14f

24

Adami Chazawi, Op.cit., Hlm. 54.

25

Amir Ilyas (dkk), 2012, Asas-Asas Hukum Pidana II, Rangkang Education & Pukap, Yogyakarta, Hlm. 194-195.

(38)

untuk diberlakukan secara positif di Indonesia sampai sekarang ini.26 Pidana bersyarat tersebut bukanlah merupakan pidana pokok, sebagaimana pidana pokok yang lain, melainkan merupakan cara penerapan pidana, sebagaimana pidana yang tidak bersyarat.27

Adapun Pasal 14a sampai dengan Pasal 14f KUH Pidana berbunyi: Pasal 14a

(1) Jika dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamanya satu tahun dan bila dijatuhkan hukuman kurungan diantaranya tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda, maka hakim boleh memerintahkan, bahwa hukuman itu tidak akan dijalankan, kecuali kalau di kemudian hari ada perintah lain dalam keputusan hakim, oleh karena terhukum sebelum lalu tempo percobaan yang akan ditentukan dalam perintah pertama membuat perbuatan yang boleh dihukum atau dalam tempo percobaan itu tidak memenuhi suatu perjanjian yang istimewa, yang sekiranya diadakan dalam perintah itu.

(2) Kecuali dalam perkara penghasilan persewaan hak negeri, maka kekuasaan itu ada pada hakim juga, apabila dijatuhkan hukuman denda, tetapi hanyalah jika ternyata padanya, bahwa pembayaran denda itu atau perampasan yang diperintahkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan yang sangat bagi terhukum. Untuk melakukan ayat ini maka kejahatan dan pelanggaran tentang candu dipandang sebagai kejahatan atau pelanggaran tentang penghasilan negeri jika tentang itu telah ditentukan bahwa atas hukuman denda tiada berlaku apa yang ditentukan dalam Pasal 30 ayat kedua.

(3) Perintah tentang hukuman utama mengenai juga hukuman tambahan yang dijatuhkan, jika hakim tidak menentukan yang lain. (4) Perintah itu tidak diberikan, melainkan jika hakim dapat

berkeyakinan, sesudah dilakukan pemeriksaan yang teliti, bahwa dapat dilakukan pengawasan yang cukup terhadap orang yang dihukum itu dalam hal memenuhi perjanjian umum, bahwa ia tidak akan melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan dalam hal memenuhi perjanjian istimewa, jika sekiranya janji itu diadakan juga. (5) Keputusan yang memberi perintah yang disebut dalam ayat pertama itu, harus mengandung sebab-sebabnya atau hal-ikhwal yang menjadi alasan keputusan itu.

Pasal 14b

26

Ibid., Hlm.195.

27

(39)

(1) Bagi perkara kejahatan dan pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka lamanya tempo percobaan itu selama-lamanya tiga tahun, bagi perkara pelanggaran yang lain setinggi-tingginya dua tahun.

(2) Tempo percobaan itu mulai, demi keputusan itu sudah tetap, tidak dapat diubah lagi dan sudah diberi tahukan kepada si terhukum menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang.

(3) Tempo percobaan itu tidak berlaku selama kemerdekaan si terhukum dicabut dengan sah.

Pasal 14c

(1) Dalam perintah yang tersebut pada Pasal 14a, kecuali dalam hal dijatuhkan hukuman denda, maka bersama-sama dengan perjanjian umum bahwa si terhukum tidak akan melakukan perbuatan yang dapat dihukum, maka hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa, bahwa si terhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena perbuatan yang dapat dihukum itu, semuanya atau untuk sebahagian saja yang ditentukan dalam tempo yang akan ditetapkan, yang kurang lamanya dari pada tempo percobaan itu. (2) Kalau ada alasannya, maka dalam perintahnya, hakim boleh

mewajibkan kepada sebuah balai yang mempunyai hak badan hukum (rechtspersoon) dan berkedudukan di Negara Indonesia, atau kepada orang yang memegang sebuah balai yang berkedudukan disitu, atau kepada seorang amtenar istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada si terhukum tentang menepati perjanjian istimewa itu.

(3) Perjanjian-perjanjian itu tidak boleh membatasi kemerdekaan agama dan kemerdekaan politik.

Pasal 14d

(1) Pengawasan dalam hal menepati perjanjian itu dipertanggungkan pada amtenar yang akan menyuruh menjalankan hukumn itu, jika sekiranya di kemudian hari diperintahkan untuk menjalankannya. (2) Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman, baik hukuman penjara

yang lamanya lebih dari tiga bulan, maupun hukuman kurungan karena salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka pada perintah itu, hakim berkuasa mengadakan perjanjian istimewa yang lain pula tentang kelakuan si terhukum, yang harus dipenuhinya dalam tempo percobaan atau dalam sebahagian tempo itu, yang akan ditentukan pada perintah itu.

(3) Peraturan untuk seterusnya mengatur pengawasan dan bantuan tadi dan untuk seterusnya menunjukkan balai dan orang yang memegang balai boleh diwajibkan memberi bantuan itu, ditetapkan dalam ordonansi.

(40)

Pasal 14e

Baik sesudah menerima usul dari amtenar yang disebut dalam ayat pertama Pasal 14d, maupun atas permintaan si terhukum maka dalam tempo percobaan itu, hakim yang pertama menjatuhkan hukuman boleh mengubah perjanjian istimewa yang ditentukannya atau tempo berlaku perjanjian itu diadakannya dalam tempo percobaan boleh memerintahkan hal memberi bantuan itu kepada orang lain dari pada yang sudah diwajibkan, atau boleh menambah lamanya tempo percobaan itu sekali lagi. Tambahan itu tidak boleh lebih dari pada seperdua tempo yang terlama yang dapat ditentukan untuk tempo percobaan.

Pasal 14f

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal di atas, maka yang pertama menjatuhkan hukuman, telah menerima usul dari amtenar yang tersebut dalam ayat pertama dari Pasal 14d, boleh memerintahkan supaya keputusannya dijalankan, atau boleh menetapkan, bahwa pada si terhukum akan diberikan peringatan atas nama hakim tadi, yaitu jika si terhukum dalam tempo percobaan telah melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum dan keputusan perkara itu tidak dapat diubah lagi, atau jika salah satu perjanjian tidak dipenuhi, ataupun jika si terhukum sebelum tempo percobaan itu berakhir disebabkan suatu perbuatan yang dapat dihukum yang dilakukannya sebelumnya tempo percobaan itu dijalankan telah dihukum dengan tidak dapat diubah lagi. Dalam hal memberi peringatan maka hakim menetapkan juga dengan cara bagaimana peringatan itu harus diberikan.

(2) Perintah untuk menjalankan hukuman tidak dapat diberikan lagi, jika tempo percobaan sudah habis, kecuali kalau si terhukum sebelum habis tempo percobaan, dituntut karena melakukan perbuatan yang dapat dihukum selama tempo percobaan dan tuntutan itu berakhir, dengan keputusan hukuman yang tak dapat diubah lagi. Pada masa itu dalam hal yang demikian maka dalam tempo 2 bulan sejak keputusan tadi dapat diubah lagi, bolehlah hakim memberi perintah menjalankan keputusan hukuman yang dipertangguhkan tadi.

Di dalam Pasal 14a KUH Pidana dinyatakan bahwa pidana bersyarat hanya dapat dijatuhkan bilamana memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat

(41)

dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun. Yang menentukan bukanlah pidana yang diancamkan atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi pidana yang akan dijatuhkan pada si terdakwa.

b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun.

c. Dalam hal menyangkut pidana denda (akan tetapi tidak termasuk pidana denda dalam perkara-perkara pemasukan uang negara, pengembalian uang negara), maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa.

Selanjutnya, di dalam Pasal 14b KUH Pidana ditentukan masa percobaan selama tiga tahun bagi kejahatan dan pelanggaran yang tersebut dalam pasal-pasal 492, 504, 506, dan 536 KUH Pidana dan bagi pelanggaran lainnya dua tahun. Di dalam Pasal 14c KUH Pidana ditentukan bahwa di samping syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek dari pada masa

(42)

percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya. Di samping itu, dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan. Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana.28

Secara hukum bahwa perintah pelaksanaan kemerdekaan beragama atau kemerdekaan politik tersebut karena hal ini disamping bertentangan dengan hak-hak asasi manusia juga secara hukum tidak bersifat mendidik/memperbaiki, padahal pertimbangan dijatuhkannya pidana bersyarat adalah terpidana diusahakan bersifat mendidik yakni diusahakan supaya terpidana menyadari perbuatan delik tersebut. Selama kurun waktu masa pelaksanaan hukum percobaan/perjanjian tersebut tidak terjadi hal-hal pelanggaran pelanggaran hukum atau selama itu terpidana memperbaiki dirinya.29

Bilamana syarat umum atau khusus tersebut tidak dipenuhi, maka berdasar Pasal 14f ayat (1) hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan supaya atas namanya diberikan peringatan pada terpidana.30 Pelanggaran terhadap pidana bersyarat ini, maka berarti hukuman yang telah dijatuhkan tersebut harus dilaksanakan, karena terpidananya ternyata:

28

Ibid., Hlm. 63-64.

29

Amir Ilyas (dkk), Op.cit., Hlm. 197.

30

(43)

a. Sebelum habis masa percobaan, telah melanggar syarat umum yaitu melakukan suatu tindak pidana, atau

b. Dalam masa percobaan tersebut telah melanggar syarat khusus (jika diadakan/telah dinyatakan dalam putusan); atau

c. Dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak melaksanakan syarat yang lebih khusus (syarat khusus) seperti kewajiban mengganti kerugian, dll. sesuai pasal 14c KUH Pidana. Bahwa pelanggaran syarat umum tersebut adalah mutlak selalu dijumpai dalam pidana bersyarat yakni seperti tadi point (a), tapi pada point (b) dan (c) bersifat fakultatif, artinya tergantung kepada hakim yang memutuskan perkara ini apakah mau dibebankan syarat khusus ataukah tidak dalam setiap putusan pidana bersyarat.31 Pada Pasal 14d KUH Pidana, mengatur tentang pejabat yang diserahi tugas untuk mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan. Kemudian di dalam Pasal 14d ayat (2) ditentukan bahwa untuk memberikan pertolongan atau membantu terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus, hakim dapat mewajibkan kepada lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pemimpin suatu rumah penampung atau pejabat tertentu.

Pertumbuhan lembaga pidana bersyarat di Indonesia ini tidak dapat

dilepaskan dari pertumbuhan lembaga-lembaga semacam yang

mendahuluinya di Amerika Serikat dan negara-negara bagian yang lain, di

31

(44)

Inggris serta di Eropa Barat, yakni di Perancis, Belgia. Peraturan hukum yang pertama tentang probation di Massachusetts pada tahun 1878, yang memungkinkan dilakukannya penundaan dijatuhkannya pidana dengan menempatkan si pelaku tindak pidana di dalam probation, secara bertahap diterima oleh negara-negara bagian yang lain. Selanjutnya, perkembangan ini juga diikuti oleh Inggris. Di Eropa daratan, setelah melalui perbedaan-perbedaan pandangan yang cukup tajam di antara para sarjana, telah diterima bentuk penundaan pidana bersyarat, yakni di Perancis pada tahun 1891 dan di Belgia pada tahun 1888. Lembaga ini lebih merupakan penundaan pelaksanaan pidana daripada merupakan penundaan penjatuhan pidana, seperti sistem probation. Perbedaan lain dengan sistem probation adalah bahwa lembaga penundaan pidana bersyarat ini sama sekali tidak mensyaratkan adanya pengawasan atau bantuan kepada terpidana, sebagaimana sistem probation.

Sehubungan dengan gambaran tersebut di atas, maka pada sistem

probation sebagaimana yang dianut di Amerika dan Inggris, pada fase pertama pelaku tindak pidana hanya dinyatakan bersalah dan ditetapkan suatu masa percobaan. Bilamana ternyata dalam masa percobaan yang bersangkutan tidak berhasil memperbaiki kelakuannya, maka pada fase kedua ia dipidana. Sebaliknya bilamana yang bersangkutan selama masa percobaan dapat berhasil memperbaiki kelakuannya, maka fase kedua tidak usah dijalani. Sistem ini memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki kelakuannya di masyarakat. Untuk itu

(45)

selama masa percobaan ia dibantu dan diawasi oleh probation officers

yang terdiri dari pekerja-pekerja sosial yang terlatih di dalam tugasnya. Adapun yang berlaku di Perancis dan Belgia menunjukkan perkembangan yang berbeda. Di sini apa yang dinamakan penundaan pelaksanaan pidana dilaksanakan sebagai berikut.

Pada fase pertama pelaku tindak pidana dipidana, tetapi pelaksanaan pidananya ditunda dan untuk itu ditentukan suatu masa percobaan. Bilamana dalam masa percobaan ternyata terpidana melakukan pelangggaran hukum lagi, maka pidana yang telah ditetapkan harus dilaksanakan. Pada sistem yang berlaku di Perancis dan Belgia ini, selama masa percobaan si terpidana tidak dibantu oleh pekerja-pekerja sosial dalam usahanya untuk menjadi baik.

Negeri Belanda sendiri tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ini. Pada tahun 1915, pada strafwetboek Belanda dimasukkan suatu lembaga yang dikenal sebagai voorwaardelijke veroordeling (pidana bersyarat) berdasarkan S. 1915-247. Sistem yang dipergunakan dalam hal ini pada hakekatnya merupakan semacam kombinasi antara sistem Inggris-Amerika dan sistem Belgia. Pengaruh sistem Perancis-Belgia dalam hal ini tampak dari bentuknya sebagai pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana, sedangkan pengaruh Amerika-Inggris terlihat dalam satu masa percobaan terpidana dapat dibantu oleh pejabat pemerintah dalam usahanya menjadi orang baik.32

32

(46)

Kemudian di Indonesia pada tahun 1926 untuk pertama kalinya ditetapkan pidana bersyarat yang dituangkan dalam Stb 1926/251 Jo. 486 dan baru pada tanggal 1 Januari 1927 dimasukkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana berupa pasal 14a sampai dengan 14f KUH Pidana untuk diberlakukan secara positif sampai sekarang ini.33 Sampai saat ini, untuk ketentuan pokok pidana bersyarat di Indonesia belum diadakan ketentuan-ketentuan yang baru. Jadi masih tetap digunakan Pasal 14a sampai dengan 14f KUH Pidana. Hanya saja untuk pelaksanaannya, Stb. 1926 Nomor 487 telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.34

D. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk istilah Belanda strafbaar feit atau delict

yang berasal dari bahasa Latin delictum. Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, disamping istilah tindak pidana, juga telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun dalam peraturan tertulis, antara lain: perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan

33

Amir Ilyas (dkk), Op.cit., Hlm. 195.

34

Lihat Pasal 53 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, LNRI Tahun 1995 Nomor 77, TLNRI No. 3614, yang menyatakan bahwa pada saat mulai berlakunya undang-undang ini uitvoeringsordonnantie op de voorwaardelijke veroordeling (Stb. 1926-487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan dinyatakan tidak berlaku.

(47)

yang boleh dihukum, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, dan perbuatan pidana.35

Perumusan atau definisi tentang strafbaar feit telah banyak diciptakan oleh para sarjana hukum pidana. Tentu diantara yang banyak itu, satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan, di samping adanya persamaan. Beberapa pengertian strafbaar feit menurut para ahli, yaitu:

Simons dalam rumusannya strafbaar feit itu adalah “Tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.” Alasan dari Simons mengapa strafbaar feit harus dirumuskan seperti diatas karena:

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit disyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran tehadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya

35

K. Wantjik Saleh, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm. 15.

(48)

merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.36

E. Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten -negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.37 Menurut Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu “pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”38

Sedangkan Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana yang merumuskan bahwa:

Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).39

36

Evi Hartanti, Op.cit., Hlm. 5.

37 Ibid., Hlm. 6. 38 Ibid. 39 Ibid., Hlm. 7.

(49)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau memakai istilah peristiwa pidana yang mengatakan bahwa “secara substantif, pengertian peristiwa pidana lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.”40

Pengertian strafbaar feit menurut Vos adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana

oleh peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.”41

Didalam menjatuhkan sesuatu hukuman itu tidaklah cukup apabila hanya terdapat suatu strafbaar feit saja melainkan harus juga ada suatu

strafbaar person yaitu, seseorang yang dapat dihukum, dimana orang tersebut tidak dapat dihukum apabila strafbaar feit yang telah ia lakukan itu tidak bersifat wederechtelijk (bersifat melanggar hukum) dan telah ia lakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja.42

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Berikut ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu:

1) Ada Perbuatan yang Mencocoki Rumusan Delik

Perbuatan manusia dalam arti luas adalah mengenai apa yang dilakukan, apa yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian. Sesuatu yang dilakukan dan diucapkan disebut act, yang oleh sebagian pakar disebut sebagai perbuatan positif. Sikap

40

Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 48-49.

41

Bambang Poernomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm. 91.

42

M. Sudrajat Basar, 1984, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Remaja Karya CV, Bandung, Hlm.2.

(50)

seseorang terhadap suatu hal atau kejadian disebut omission, yang oleh sebagian pakar disebut sebagai perbuatan negatif.43

Oleh karena itu, mencocoki rumusan delik yaitu mencocoki unsur-unsur yang ada dalam pasal yang didakwakan, termasuk unsur-unsur perbuatan maupun pertanggungjawaban pidananya.

2) Sifat Melawan Hukum

Dalam dogmatik hukum pidana, istilah sifat melawan hukum tidak selalu berarti sama. Ada empat makna yang berbeda-beda, tetapi yang masing-masing dinamakan sama, yaitu sifat melawan hukum. Harus selalu ditanyakan dalam hubungan apa istilah itu dipakai untuk mengetahui artinya.

Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:

a. Sifat Melawan Hukum Umum

Ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakukan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan huku, dan dapat dicela. b. Sifat Melawan Hukum Khusus

Ada kalanya kata bersifat melawan hukum tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi, sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik dinamakan sifat

43

Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 31.

Referensi

Dokumen terkait

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,

Matematika sangat penting dipelajarai oleh siswa karena materi-materi matematika sangat dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari.Namun kenyataannya hasil belajar

1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. Penyediaan sarana dan prasarana khusus.

Semakin sedikit bahan organik yang terdapat di Sungai Silugonggo, semakin sedikit juga oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik tersebut, sehingga

Salah satu aplikasi bentuk multimedia yang dapat dioperasikan pada perangkat selular adalah mobile media player yang menggunakan software JMF yang merupakan Application

Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa modernitas individu nelayan mempengaruhi kualitas hidup nelayan dalam hal mempengaruhi cara berpikir yang

This course will cover the basic concepts of semiotics including the nature of signs, models of signs, the signification process, typology of signs, value

Kebijakan dan strategi pengelolaan ikan bilih Danau Singkarak berdasarkan skala perioritas yang ditampilkan pada Tabel 2 adalah sebagai berikut : (1) melakukan pengelolaan