• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi Gulma Cyperus rotundus L.

Teki ladang atau C. rotundus L. adalah gulma pertanian yang biasa dijumpai di lahan terbuka. Teki sangat adaptif dan karena itu menjadi gulma yang sangat sulit dikendalikan. Ia membentuk umbi (sebenarnya adalah tuber, modifikasi dari batang) dan geragih (stolon) yang mampu mencapai kedalaman satu meter, sehingga mampu menghindar dari kedalaman olah tanah (30 cm). Teki menyebar di seluruh penjuru dunia, tumbuh baik bila tersedia air cukup, toleran terhadap genangan, mampu bertahan pada kondisi kekeringan (Thorne, 2016).

2.1.1. Klasifikasi Tanaman Rumput Teki (Cyperus rotundus L.)

Taksonomi tanaman rumput teki dalam buku (Moenandir 1993 : 10), yaitu :

Kingdom : Plantea

Sub Kingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermathophyta Kelas : Liliopsida Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Cyperales Famili : Cyperaceae Genus : Cyperus Species : C. rotundus L.

(2)

6

Gambar 1. Morfologi C. rotundus L. (Sumber : Dokumentasi pribadi , 2019)

Rumput teki (Cyperus rotundus L.)mempunyai ciri morfologi, yaitu :

a. Akar serabut yang tumbuh menyamping dengan membentuk umbi yang banyak, tiap umbi mempunyai mata tunas, umbi tidak tahan kering selama 14 hari dibawah sinar matahari maka daya tumbuhnya akan hilang

b. Batang tumbuh tegak, berbentuk tumpul atau segitiga.

c. Daun berbentuk garis, mengelompok dekat pangkal batang terdiri dari 4-10 helai, pelepah daun tertutup tanah, helai daun berwarna hijau mengkilat.

d. Bunga bulir tunggal atau majemuk, mengelopak atau membuka, berwarna coklat, mempunyai benang sari tiga helai, kepala sari kuning cerah, tangkai putik bercabang tiga.

e. Tinggi dapat mencapai 50 cm (Moenandir, 1993).

Rumput teki tumbuh didaerah rendah dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Umunya rumput teki tumbuh liar di Afrika Selatan, Korea, China, Jepang, Taiwan, Malaysia, Indonesia, dan kawasan asia Tenggara. Rumput teki banyak tumbuh di tempat terbuka atau tidak terkena sinar

(3)

7

matahari secara langsung seperti tumbuh dilahan pertanian yang tidak terlalu kering, ladang, kebun, tegalan, pinggir jalan, yang hidup sebagai gulma karena sangat susah untuk diberantas (Gunawan, 1998). Rumput teki banyak ditemukan pada tempat yang menerima curah hujan lebih dari 1000 mm per tahun yang memiliki kelembapan 60 – 85 %. Suhu terbaik untuk pertumbuhan teki adalah suhu dengan rata-rata 25C, pH tanah untuk menumbuhkan rumput teki berkisar antara 4,0 – 7,5 (Lawal dan Adebola, 2009).

2.1.2. Ciri-Ciri Tanaman Rumput Teki (Cyperus rotundus L.)

Rumput teki (C. rotundus L.)merupakan tanaman herba menahun yang banyak tumbuh dilahan pertanian sebagai gulma. Tanaman ini sangat mudah ditemukan di Indonesia karena beriklim tropis. Umbi batang merupakan mekanisme pertahanan yang ada pada rumput teki, karena hal ini rumput teki dapat bertahan berbulan-bulan. Rumput teki yang termasuk kedalam famili Cyperaceae merupakan tanaman gulma tahunan. Kulit umbi berwarna hitam dan berwarna putih kemerahan dalamnya, serta memiliki bau yang khas. Bunga terletak pada ujung tangkai memiliki 3 tunas kepala benang sari yang berwarna kuning jernih (Lawal dan Adebola, 2009). Rumput teki termasuk semu menahun, tetapi tidak termasuk Graminae (keluarga rumput-rumputan). Batang berbentuk segitiga, helaian daun memiliki bentuk garis dan warna permukaan berwarna hijau tua mengkilat dan dengan ujung daun meruncing. Bunga rumput berbntuk bulir majemuk (Gunawan,1998).

2.1.3. Zat Allelopati pada Gulma (Cyperus rotundus L.)

Beberapa spesies gulma menyaingi pertanaman dengan mengeluarkan senyawa beracun dari akarnya (root exudates atau lechates) atau dari pebusukan bagian vegetatifnya. Persaingan yang timbul akibat dikeluarkannya zat yang meracuni tumbuhan lain disebut allelopati, dan zat kimianya disebut alelopat. Tidak semua gulma mengeluarkan senyawa beracun. Beberapa jenis gulma yang berpotensi mengeluarkan senyawa

(4)

8

alelopati iyalah Abutilon theoprasti, Agropyron repens, Agrostemma githago, Allium vineale, Amaranthus spinosus, Ambrosia artemisifolia, A. trifidia, Artenisia vulgaris, Asclepias syriaca, Avena fatua, Celosia argentea, Chenopodium album, Cynodon dactylon, Cyperus esculentus, Cyperus rotundus, Euphorbia esula, Holcus mollis, Imperata cylindrica, Poa spp, Polygonum persicaria, Rumex crispus, Setaria faberi, Stellaria media (Cholid, 1998).

Kualitas dan kuantitas senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh gulma antara lain dipengaruhi kerapatan gulma, macam gulma, saat kemunculan gulma, lama keberadaan gulma, habitat gulma, kecepatan tumbuh gulma, dan jalur fotosintesis gulma (Cholid, 1998).

2.2. Pengendalian Gulma

Pengendalian gulma adalah usaha untuk menekan populasi gulma sampai jumlah tertentu hingga tidak menimbulkan gangguan terhadap tanaman dan proses budidaya. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara kultus teknis, mekanik hayati, kimiawi dan terpadu. Pengendalian gulma secara terpadu memberikan hasil terbaik, karena memadukan dua atau lebih cara pengendalian gulma sehingga dapat menekan gulma secara efektif dan efisien (Cholid, 1998).

Pengendalian gulma yang efektif dan efisien dapat ditempuh beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Melakukan identifikasi gulma secara akurat, sehingga dapat diketahui jenis-jenis gulma dominan yang perlu mendapat perhatian dalam pengendalian.

2. Mempelajari masalah timbulnya gulma, dengan memprioritaskan pada cara yang paling sederhana, dan sumberdaya tersedia misalnya dengan pola tanam atau cara tanam.

(5)

9

3. Mengutamakan pengendalian gulma secara kombinasi dari dua atau lebih misalnya kombinasi pengendalian gulma secara kultur teknik dan mekanik atau kimiawi.

4. Membandingkan alternatif cara pengendalian gulma berdasarkan optimasi waktu, biaya, kemudahan pelaksanaan, kemajuan dalam pengendalian, serta resiko terhadap kerusakan lingkungan (Cholid, 1998).

Beberapa alternatif cara pengendalian gulma yang dapat diterapkan di tanaman budidaya adalah:

2.2.1. Pengendalian Secara Kultur Teknik

Pengendalian gulma secara kultur teknik dapat dilakukan melalui: 1. Penggunaan benih yang bebas dari biji gulma.

2. Pengaturan kerapatan tanaman/populasi tanaman serta sistem tanam (tumpangsari) yang dapat menekan pertumbuhan gulma.

3. Penggunaan mulsa (jerami/seresah, plastik) atau tanaman penutup tanah (Crotolaria juncea L.) untuk mencegah perkecambahan dan menekan pertumbuhan gulma (Cholid, 1998).

2.2.2. Pengendalian Secara Mekanik

Pengendalian gulma secara mekanik dilakukan dengan penggunaan alat sederhana seperti koret, garpu, dan cangkul. Penyiangan dengan menggunakan alat tradisional memerlukan waktu dan tenaga yang cukup besar. Hasil penelitian Hasnam dan Adisarwanto (1992) menunjukkan bahwa rata-rata tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiang satu hektar sekitar 50-70 hari orang kerja (HOK). Besarnya tenaga kerja saat penyiangan menyebabkan penyiangan sulit dilakukan terutama pada daerah-daerah yang terbatas tenaga kerjanya. Tine cultivator dan ridger pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengelola tanah, sehingga dalam penggunaannya sebagai alat penyiang, memotong, mencabut dan mengubur gulma (Cholid dkk, 2000).

(6)

10 2.2.3. Pengendalian Secara hayati

Pengendalian gulma secara hayati adalah suatu cara pengendalian dengan menggunakan musuh alami, baik berupa hama, penyakit atau jamur guna menekan atau mematikan gulma. Penelitian agensia hayati yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma lamban sekali majunya di Indonsia karena masih banyak kesulitan yang dihadapi, antara lain disebabkan terbatasnya musuh alami yang mudah dan aman digunakan. Meskipun demikian beberapa agensia hayati seperti Orseoliella javanica (untuk mengendalikan alang-alang), Bactra truculenta, B. graminivora, dan B. minima (untuk teki) mempunyai potensi yang cukup pentig. Rendahnya kemajuan teknologi pengndalian gulma secara hayati ini memerlukan kajian dan identifikasi guna menemukan organisme-organisme yang berguna untuk mengendalikan gulma dan tidak mengganggu tanaman budidaya (Cholid, 1998).

2.2.4. Pengendalian Secara Kimiawi

Herbisida adalah senyawa kimia yang dapat merusak atau membunuh gulma. Pengendalian gulma dengan herbisida tidak hanya menghemat tenaga kerja penyiangan, tetapi juga menguntungkan dalam hal-hal lain seperti:

1. Herbisida dapat mengendalikan gulma yang tumbuh bersama-sama tanaman budidaya yang sulit disiang secara mekanis.

2. Herbisida pra-tumbuh (pre-emergence) mampu mengendalikan gulma sejak awal, dimana kompetisi sejak awal inilah yang banyak menurunkan hasil.

3. Pemakaian herbisida juga dapat mengurangi kerusakan akar akibat penyiangan secara mekanis.

4. Pada sistem TOT (tanpa olah tanah) pemakaian herbisida dapat menghemat waktu dan biaya persiapan lahan, dan pada lahan yang miring dapat memperkecil erosi.

(7)

11

Pemilihan herbisida untuk mengendalikan gulma pada tanaman budidaya disesuaikan dengan jenis tanaman yang diusahakan, dan keberadaan gulma dominan yang ada di pertanaman.

Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pemakaian herbisida adalah efektivitasnya terhadap sasaran dan selektifitasnya terhadap tanaman budidaya. Efektivitas herbisida dipengaruhi oleh ketepatan dalam pemakaian jenis, waktu, dosis, volume aplikasi dan kondisi lingkungan. Herbisida yang selektif adalah yang tidak meracuni tanaman budidaya (Cholid, 1998).

2.3. Asam Asetat

Namaasam asetat berasal dari kata latin “asetum”. Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang merupakan asam karbosilat yang paling penting di perdagangan, industri, dan laboraturium dan dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam asetat merupakan asam lemah yang terionisasi sebagian dalam air, walaupun demikian, keasaman asam asetat tetap lebih tinggi dibanding dengan keasaman air (Hardoyo dkk, 2007).

Asam asetat atau lebih dikenal dengan asam cuka (CH3COOH) adalah suatu senyawa berbentuk cairan, tak berwarna, berbau menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut di dalam air, alkohol, gliserol, dan eter. Pada tekanan asmosferik, titik didihnya 118,1C. Asam asetat mempunyai aplikasi yang sangat luas dibidang industri dan pangan (Hardoyo dkk, 2007).

Dalam bentuk cair atau uap, asam asetat mengandung gugus OH dan dengan sendirinya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Karena adanya ikatan hidrogen ini, maka asam asetat yang mengandung atom karbon satu sampai empat dapat bercampur dengan air (Gambar 1) (Herwitt, 2003).

(8)

12

Gambar 2. Struktur kimia asam asetat (Sumber : Master pendidikan, 2016)

Asam asetat adalah asam lemah monoprotik basa konjugasinya adalah asetat (CH3COO). Asam asetat adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam asetat bercampur dengan mudah dengan pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air, kloroform dan heksana. Sifat kelarutam dan kemudahan bercampur dari asam asetat ini membuatnya digunakan secara luas dalam industri kimia dan laboraturium seperti sebagai pelarut, reagen, dan katalis. Asam asetat juga digunakan sebagai bahan penyusun cat, pernis dan glasir, serta digunakan dalam perawatan medis, misalnya dalam pengobatan sengatan ubur-ubur (Hart dan Craine, 2003).

Penggunaan asam asetat dinilai menjadi alternatif pengganti herbisida yang beredar dipasaran karena bersifat organik. Pujisiswanto dkk (2015) menyatakan bahwa asam asetat pascatumbuh mampu menghambat gulma melalui perusakan membran sel, penurunan konduktansi stomata dan menginduksi penutupan stomata, penurunan laju transpirasi, penurunan serapan CO2, dan peningkatan O2, menghambat sintesis protein dan penurunan kadar klorofil sehingga menghambat laju fotosintesis. ATP dan NADPH diduga terakumulasi dalam stroma pada kroloplas, sehingga bereaksi dengan O2 membentuk (O2-) dan (H2O2) di kloroplas. Aplikasi asam asetat pasca tumbuh 20% efektif menekan pertumbuhan gulma. Penggunaan asam asetat yang masih terlalu tinggi mendorong untuk mencari cara menurunkan penggunaan volume asam asetat sebagai herbisida.

(9)

13

Menurut Chinery (2002) bahwa diinformasikan tentang penggunaan cuka makanan sebagai bioherbisida, namun penelitian yang mendukung masih terbatas. Sejak laporan tersbut, para ilmuan mulai meneliti daya racun asam asetat sebagai herbisida organik (Johnson dkk, 2003). Menurut Owen (2002) bahwa mekanisme kerja dari asam asetat adalah mirip dengan paraquat dimana asam asetat menyebabkan pembubaran cepat keutuhan membran sel mengakibatkan pengeringan jaringan daun, dan akhirnya kematian tanaman. Penggunaan cuka sebagai herbisida di harapkan dapat sebagai alternatif lain dari herbisida, namun masih perlu dilakukan penelitian. Penggunaan cuka atau herbisida yang lain dapat menimbulkan jika tidak benar dalam penggunaannya, termasuk perlengkapan pelindung waktu aplikasi seperti baju dan celana panjang, penutup hidung dan mulut, serta penutup mata (U.S. Environmental Proctetion Agency, 2008).

Penggunaan herbisida yang ideal adalah tidak meracuni tanaman, efektif mengendalikan gulma dan tidak berdampak negativ terhadap lingkungan. Menurut Diaz (2002) bahwa cuka (asam asetat: CH3COOH) sebagai herbisida yang merupakan produk ramah lingkungan, asam asetat tidak bertahan dalam lingkungan, melainkan mudah rusak menghasilkan air sebagai produk sampingan sehingga tidak ada aktivitas residu (Evans dkk, 2011).

Gambar

Gambar 1. Morfologi C. rotundus L.  (Sumber : Dokumentasi pribadi , 2019)

Referensi

Dokumen terkait

Kitosan adalah senyawa kimia yang berasal dari bahan hayati kitin, suatu.. senyawa organik yang melimpah di alam ini

Aktivitas antimikroba asap cair terutama disebabkan adanya senyawa kimia yang terkandung dalam asap seperti fenol, formaldehid, asam asetat, dan kreosat yang menempel pada

Dalam industri kimia metode yang paling banyak digunakan untuk memproduksi isopropil asetat adalah esterifikasi isopropanol dan asam asetat dengan pemanasan menggunakan

Dalam industri kimia metode yang paling banyak digunakan untuk memproduksi isopropil asetat adalah esterifikasi isopropanol dan asam asetat dengan pemanasan menggunakan asam

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa manis dan sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan

Sifat kimia yang penting terhadap dinamika lahan gambut adalah ketersedian unsur hara yang rendah atau miskin hara dan kandungan asam-asam organik yang tinggi

Padatan terlarut terdiri dari senyawa – senyawa anorganik dan organik yang larut dalam air seperti gula dan garam – garam mineral hasil buangan industri kimia ( Nugroho, 2006

Chlorin merupakan bahan kimia penting dalam industri yang digunakan untuk chlorinasi pada proses produksi yang menghasilkan produk organik sintetik, seperti plastik (