5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi Gulma Asystasia intrusa
Nama lain Asystasia intrusa adalah Asystasia gangetica. Dalam dunia tumbuhan termasuk dalam famili Acanthaceae, genus Asystasia. Asal tumbuhan ini dari Afrika. A. intrusa merupakan gulma penting diperkebunan (Gambar 1).
Gambar 1. Morfologi A. intrusa
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)
Klasifikasi rumput ganda rusa (Asystasia intrusa) Regnum : Plantae Divisio : Magnolliophyta/Spermatophyta Classis : Magnoiopsida/Dicotyledoneae Ordo : Scorphulariales Familia : Acanthaceae Genus : Asystasia
6
Asystasia intrusa dapat ditemukan didaerah sampai 500 meter di atas
permukaan laut. Dapat tumbuh baik pada daerah ternaungi maupun daerah terbuka. Pada daerah ternaungi seperti daerah perkebunan dengan tanaman relatif tinggi, tanaman ini banyak menghasilkan daun dan menghasilkan organ vegetatif. Merupakan rumput liar subur dan kompetitif yang membutuhkan unsur hara tinggi terutama N dan P. Menghasilkan biji dengan baik dengan viabilitas hingga 85% yang dapat bertahan hingga 8 bulan didalam tanah (Indra, 2017).
Kerugian total yang ditimbulkan oleh A. intrusa dalam nilai uang hampir tidak mungkin dihitung. Apabila dicoba untuk menghitung juga, maka diperlukan suatu persamaan yang memerlukan nilai kerugian tanaman budidaya, biaya pengendalian, kerusakan lingkungan, pengaruh terhadap kesehatan manusia, kerugian ternak, pengaruh terhadap kualitas kehidupan dan lingkungan dan banyak lagi fator (Tjirosoedirdjo dkk, 1984).
2.1.1. Akar Asystasia intrusa
Akar Asystasia intrusa melekat pada cabang. Sistem perarkaran tunggang, bercabang dan memiliki bulu-bulu akar. Akar berwarna putih kecoklatan (Gambar 2)
Gambar 2. Akar A.intrusa
7 2.1.2. Batang Asystasia intrusa
Asystasia intrusa merupakan tanaman herba yang tumbuh cepat dan mudah
berkembang biak. Berbatang lunak, berwarna hijau kecoklatan dan dapat tumbuh dalam keadaan yang kurang baik (Gambar 3).
Gambar 3. Batang A. intrusa
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)
2.1.3. Daun Asystasia intrusa
Duduk daun berdapan, berbentuk bulu panjang, pangkal bulat, ujung runcing, pertulangan daun menyirip dan bertangkai (Gambar 4).
Gambar 4. Daun A. intrusa
8 2.1.4. Bunga Asystasia intrusa
Bunga Asystasia intrusa tersusun dalam tandan yang rapat seperti bulir, berwarna putih atau keungu-unguan, kelopak bunga menutupin ovary (Gambar 5).
Gambar 5. Bunga A. intrusa
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)
2.1.5. Buah Asystasia intrusa
Buah kotak, 2-3 cm panjangnya, dalam satu buah kotak berbiji empat atau kurang, saat buah belum masak kulit buah berwarna hijau, namun saat buah sudah masak maka kulit buah berwarna coklat (Gambar 6).
Gambar 6. Buah A. intrusa
9 2.1.6. Biji Asystasia intrusau
Biji Asystasia intrusa kecil berwarna hitam kecoklatan, kecil dan ringan sehingga mudah diterbangkan oleh angin. Biji ini pecah dari polong dengan keadaan lingkungan yang tepat baik dari suhu dan penyinaran yang cukup. Bila penyinaran matahari lama saat biji pecah maka jarak loncat biji semakin jauh dari pohonnya (Gambar 7)
Gambar 7. Biji A.intrusa
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2018)
2.2. Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma adalah usaha untuk menekan populasi gulma sampai jumlah tertentu hingga tidak menimbulkan gangguan terhadap tanaman dan proses budidaya. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara kultus teknis, mekanik hayati, kimiawi dan terpadu. Pengendalian gulma secara terpadu memberikan hasil terbaik, karena memadukan dua atau lebih cara pengendalian gulma sehingga dapat menekan gulma secara efektif dan efisien (Cholid, 1998).
Pengendalian gulma yang efektif dan efisien dapat ditempuh beberapa tahapan sebagai berikut:
10
1. Melakukan identifikasi gulma secara akurat, sehingga dapat diketahui jenis-jenis gulma dominan yang perlu mendapat perhatian dalam pengendalian.
2. Mempelajari masalah timbulnya gulma, dengan memprioritaskan pada cara yang paling sederhana, dan sumberdaya tersedia misalnya dengan pola tanam atau cara tanam.
3. Mengutamakan pengendalian gulma secara kombinasi dari dua atau lebih misalnya kombinasi pengendalian gulma secara kultur teknik dan mekanik atau kimiawi.
4. Membandingkan alternatif cara pengendalian gulma berdasarkan optimasi waktu, biaya, kemudahan pelaksanaan, kemajuan dalam pengendalian, serta resiko terhadap kerusakan lingkungan (Cholid, 1998).
Beberapa alternatif cara pengendalian gulma yang dapat diterapkan di tanaman budidaya adalah:
2.2.1. Pengendalian Secara Kultur Teknik
Pengendalian gulma secara kultur teknik dapat dilakukan melalui: 1. Penggunaan benih yang bebas dari biji gulma.
2. Pengaturan kerapatan tanaman/populasi tanaman serta sistem tanam (tumpangsari) yang dapat menekan pertumbuhan gulma.
3. Penggunaan mulsa (jerami/seresah, plastik) atau tanaman penutup tanah
(Crotolaria juncea L.) untuk mencegah perkecambahan dan menekan
pertumbuhan gulma (Cholid, 1998).
2.2.2. Pengendalian Secara Mekanik
Pengendalian gulma secara mekanik dilakukan dengan penggunaan alat sederhana seperti koret, garpu, dan cangkul. Penyiangan dengan menggunakan alat tradisional memerlukan waktu dan tenaga yang cukup besar. Rata-rata tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiang satu hektar sekitar 50-70 hari orang kerja (HOK). Besarnya tenaga kerja saat penyiangan
11
menyebabkan penyiangan sulit dilakukan terutama pada daerah-daerah yang terbatas tenaga kerjanya. Tine cultivator dan ridger pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengelola tanah, sehingga dalam penggunaannya sebagai alat penyiang, memotong, mencabut dan mengubur gulma (Cholid dkk, 2000).
2.2.3. Pengendalian Secara hayati
Pengendalian gulma secara hayati adalah suatu cara pengendalian dengan menggunakan musuh alami, baik berupa hama, penyakit atau jamur guna menekan atau mematikan gulma. Penelitian agensia hayati yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma lamban sekali majunya di Indonsia karena masih banyak kesulitan yang dihadapi, antara lain disebabkan terbatasnya musuh alami yang mudah dan aman digunakan. Meskipun demikian beberapa agensia hayati seperti Orseoliella javanica (untuk mengendalikan alang-alang), Bactra truculenta, B. graminivora, dan B.
minima (untuk teki) mempunyai potensi yang cukup pentig. Rendahnya
kemajuan teknologi pengndalian gulma secara hayati ini memerlukan kajian dan identifikasi guna menemukan organisme-organisme yang berguna untuk mengendalikan gulma dan tidak mengganggu tanaman budidaya (Cholid, 1998).
2.2.4. Pengendalian Secara Kimiawi
Herbisida adalah senyawa kimia yang dapat merusak atau membunuh gulma. Pengendalian gulma dengan herbisida tidak hanya menghemat tenaga kerja penyiangan, tetapi juga menguntungkan dalam hal-hal lain seperti:
1. Herbisida dapat mengendalikan gulma yang tumbuh bersama-sama tanaman budidaya yang sulit disiang secara mekanis.
2. Herbisida pra-tumbuh (pre-emergnce) mampu mengendalikan gulma sejak awal, dimana kompetisi sejak awal inilah yang banyak menurunkan hasil.
3. Pemakaian herbisida juga dapat mengurangi kerusakan akar akibat penyiangan secara mekanis.
12
4. Pada sistem TOT (tanpa olah tanah) pemakaian herbisida dapat menghemat waktu dan biaya persiapan lahan, dan pada lahan yang miring dapat memperkecil erosi.
Pemilihan herbisida untuk mengendalikan gulma pada tanaman budidaya disesuaikan dengan jenis tanaman yang diusahakan, dan keberadaan gulma dominan yang ada di pertanaman.
Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pemakaian herbisida adalah efektivitasnya terhadap sasaran dan selektifitasnya terhadap tanaman budidaya. Efektivitas herbisida dipengaruhi oleh ketepatan dalam pemakaian jenis, waktu, dosis, volume aplikasi dan kondisi lingkungan. Herbisida yang selektif adalah yang tidak meracuni tanaman budidaya (Cholid, 1998).
2.3. Asam asetat
Nama asam asetat berasal dari kata latin “asetum”. Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang merupakan asam karbosilat yang paling penting di perdagangan, industri, dan laboraturium dan dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam asetat merupakan asam lemah yang terionisasi sebagian dalam air, walaupun demikian, keasaman asam asetat tetap lebih tinggi dibanding dengan keasaman air (Hardoyo dkk, 2007).
Asam asetat atau lebih dikenal dengan asam cuka (CH3COOH) adalah suatu senyawa berbentuk cairan, tak berwarna, berbau menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut di dalam air, alkohol, gliserol, dan eter. Pada tekanan asmosferik, titik didihnya 118,1C. Asam asetat mempunyai aplikasi yang sangat luas dibidang industri dan pangan (Hardoyo dkk, 2007).
Dalam bentuk cair atau uap, asam asetat mengandung gugus OH dan dengan sendirinya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Karena adanya ikatan hidrogen ini, maka asam asetat yang mengandung atom karbon satu sampai empat dapat bercampur dengan air (Gambar 8) (Herwitt, 2003).
13
Gambar 8. Struktur kimia asam asetat (Sumber : Master pendidikan, 2016)
Penggunaan asam asetat dinilai menjadi alternatif pengganti herbisida yang beredar dipasaran karena bersifat organik. Pujisiswanto dkk (2015) menyatakan bahwa asam asetat pascatumbuh mampu menghambat gulma melalui perusakan membran sel, penurunan konduktansi stomata dan menginduksi penutupan stomata, penurunan laju transpirasi, penurunan serapan CO2, dan peningkatan O2, menghambat sintesis protein dan penurunan kadar klorofil sehingga menghambat laju fotosintesis. ATP dan NADPH diduga terakumulasi dalam stroma pada kroloplas, sehingga bereaksi dengan O2 membentuk (O2-) dan (H2O2) di kloroplas. Aplikasi asam asetat pasca tumbuh 20% efektif menekan pertumbuhan gulma. Penggunaan asam asetat yang masih terlalu tinggi mendorong untuk mencari cara menurunkan penggunaan volume asam asetat sebagai herbisida.
Menurut Chinery (2002), cuka makanan (asam asetat) dapat digunakan sebagai bioherbisida. Mekanisme kerja dari asam asetat adalah mirip dengan paraquat dimana asam asetat menyebabkan pembubaran cepat keutuhan membran sel mengakibatkan pengeringan jaringan daun, dan akhirnya kematian tumbuhan. Penggunaan herbisida yang ideal adalah tidak meracuni tanaman, efektif mengendalikan gulma dan tidak berdampak negativ terhadap lingkungan. Menurut Diaz (2002) bahwa cuka (asam asetat: CH3COOH) sebagai herbisida yang merupakan produk ramah lingkungan, asam asetat
14
tidak bertahan dalam lingkungan, melainkan mudah rusak menghasilkan air sebagai produk sampingan sehingga tidak ada aktivitas residu (Evans dkk, 2011).