13
BAB II
KONSEP INDEPENDENSI LEMBAGA NEGARA DALAM
KONSTITUSI
Dalam bab ini, penulis hendak mendiskusikan perihal konsep independensi lembaga negara dalam konstitusi. Dalam menjelaskan konsep tersebut, akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai teori-teori yang akan mendukung penulis dalam membangun argumen dalam penulisan skripsi ini, yakni teori supremasi konstitusi sebagai peletak dasar dari konsep kemandirian lembaga negara. Setelah itu akan ditarik sebuah kesimpulan sebagai bentuk interpretasi penulis dari teori-teori yang telah dijabarkan yakni berisi asas-asas kemandirian lembaga negara dalam konstitusi.
Untuk tujuan itu, maka sistematika pembahasan dalam bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, menjelaskan konsep dasar dari konstitusi (infra Sub-judul A). Kedua, menjabarkan mengenai teori supremasi konstitusi (infra Sub-judul B). Ketiga, menguraikan tentang konsep maupun teori mengenai independensi lembaga negara dalam konstitusi (infra Sub-judul C). Keempat, menarik kesimpulan yang diperoleh melalui interpretasi penulis dari teori maupun konsep yang telah dijabarkan sebelumnya, yakni berisi tentang asas-asas kemandirian lembaga negara dalam konstitusi (infra Sub-judul D).
14
A.
KONSTITUSI
Dalam wacana politik, kata konstitusi biasanya digunakan paling tidak dalam dua pengertian. Pertama, kata ini digunakan untuk menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Peraturan-peraturan ini sebagian bersifat legal, dalam arti bahwa pengadilan hukum mengakui dan menerapkan peraturan-peraturan tersebut, dan sebagian bersifat non-legal atau ekstra legal, yang berupa kebiasaan, saling-pengertian, adat atau konvensi, yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum namun tidak kalah efektifnya dalam mengatur ketatanegaraan dibandingkan dengan apa yang secara baku disebut hukum.12
Menurut Black’s Law Dictionary pengertian konstitusi adalah “the fundamental and organic law of a nation or state, establishing the conception, character, and organization of its government, as well as prescribing the extent of its sovereign
power and the manrs of its exercise.”13 (Hukum dasar dan organik dari suatu bangsa
atau negara dalam menetapkan konsep, karakter, dan organisasi dari pemerintahannya, juga menjelaskan kekuasaan kedaulatannya serta cara dari pengujiannya).
12 K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Nusa Media, Bandung, 2015. Terjemahan dari K.C.
Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, Oxford, 1975, h. 1-3.
13
Bryan A. Gardner, Black Law Dictionary (Seven Edition), West Publishing Co., St. Paul MN, 1999, h. 306.
15
Konsep konstitusi secara fungsional bermakna seperangat kaidah untuk mendirikan pemerintah suatu negara (fungsi konstitutif).14 Kelsen memaknai fungsi konstitutif dalam perspektif yuridis sebagai :
“norms regulating the creation of general norms and – in modern law – norms
determining the organs and procedure of legislation.”15 (norma yang mengatur
penciptaan norma umum dan - dalam hukum modern - norma yang menentukan organ dan prosedur legislasi)
Lebih lanjut Thomas Paine mengemukakan dua dalil dalam teorinya tentang hakikat fungsional konstitusi dalam hubungannya dengan pemerintahan negara. Pertama, “a constitution is not the act of a government, but of people constituting a
government, and a government without a constitution is power without right.”
Kedua, “a constitution is a thing antecedent to a government; and a government is
only the creature of a constitution.”16 Bertolak belakang dari pendapat Paine
tersebut dapat disimpulkan bahwa isu eksistensial konstitusi pada hakikatnya berkenaan dengan legitimasi kekuasaan pemerintah sebagai representasi atau personifikasi negara dalam memerintah. Pada pendapatnya yang kedua Paine lebih menekankan pada aspek fungsional dari kedudukan atau posisi konstitusi terhadap
14Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia : The Jimly Court 2003-2008, Mandar Maju, Bandung, 2015, h. 16.
15
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1961, h. 125. Sebagaimana dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, Ibid.
16
Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Cornell University Press, New York-Itacha, 1947, h.2. Sebagaimana dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, h. 7.
16
eksistensi pemerintah bahwa konstitusi ada lebih dahulu daripada pemerintah, dan pemerintah tidak lain hanyalah ciptaan konstitusi.17
Dalam definisi yang lebih operasional, konstitusi dapat dimaknai sebagai berikut :
“The Constitution establishes the structure of government. It creates the agency
of government, describes their functions, and determines their relationships.”18
(Konstitusi menetapkan struktur pemerintahan. Ini menciptakan agen pemerintah, menjelaskan fungsi mereka, dan menentukan hubungan antar mereka).
Sebuah konstitusi, dengan mengacu pada definisi tersebut, memiliki fungsi konstitutif dalam kaitan dengan pemerintahan suatu negara, yang mana oleh Young diberikan penjelasan tambahan “… determine methods for selection, supervision, and
discharge of their officers.”19
(menentukan metode untuk pemilihan, pengawasan, dan pemberhentian petugas mereka). Sehingga tampak bahwa penciptaan atau pendirian pemerintah merupakan isu konseptual paling utama bagi suatu konstitusi.
Kemudian yang perlu dipahami juga dari konsep konstitusi adalah posisi atau kedudukan konstitusi di dalam sistem hukum suatu negara. Alexander mengemukakan :
17 Titon Slamet Kurnia, Ibid. 18
Owen M. Fiss, “The Supreme Court 1978 Term-Foreword: The Forms of Justice,” 93 Harvard Law Review, 1979, h. 1. Sebagaimana dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, h. 9.
19
Ernest A. Young, “The Constitutive and Entrechment Functions of Constitutions: A Research Agenda,” 10 University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, 2008, h.400. Sebagaimana dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, Ibid.
17
“A more promising way of thinking about constitutions is in terms of their being
„higher law‟. Put differently, constitutions are what validate ordinary law- the law produced by legislative and administrative bodies and by common-law courts. Ordinary law is valid law, when it is so, just because it is authorized by the higher
law of constitution.”20
(Cara berpikir yang lebih menjanjikan tentang konstitusi adalah dalam hal 'hukum yang lebih tinggi'. Dengan kata lain, konstitusi adalah apa yang mengesahkan hukum biasa - hukum yang dihasilkan oleh badan legislatif dan administrasi dan oleh pengadilan umum. Hukum biasa adalah hukum yang sah, jika memang demikian, hanya karena ia disahkan oleh hukum konstitusi yang lebih tinggi.)
Dari pendapat Alexander di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa konstitusi memiliki fungsi konstitutif terhadap sistem hukum suatu negara dalam posisi atau kedudukan sebagai higher law di dalam sistem hukum tersebut. Konstitusi berfungsi memvalidasi semua produk hukum positif dalam negara, baik peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan.21
Pendapat tersebut juga didukung oleh Kelsen mengenai konsep konstitusi baik formal maupun material :
“… the constitution is the highest level within national law. The constitution is
here understood, not in a formal but in a material sense. The constitution in the
20
Larry Alexander, “Constitutions, Judicial Review, Moral Rights, and Democracy: Disentangling the Issues,” dalam Grant Huscroft, ed., Expounding the Constitution: Essays in Constitutional Theory, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, h.119. Sebagaimana dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Op.Cit., h. 15.
18
formal sense is a certain solemn document, a set of legal norms that may be changed only under the observation of special prescriptions, the purpose of which it is to render the change of these norms more difficult. The constitution in the material sense consists of those rules which regulate the creation of the general legal norms,
in particular the creation of statutes.”22
(... konstitusi adalah tingkat tertinggi dalam hukum nasional. Konstitusi disini dipahami, bukan secara formal tetapi dalam arti material. Konstitusi dalam pengertian formal adalah dokumen resmi tertentu, seperangkat norma hukum yang dapat diubah hanya di bawah pengawasan cara khusus, yang tujuannya adalah untuk membuat perubahan norma-norma ini lebih sulit. Konstitusi dalam pengertian material terdiri dari aturan-aturan yang mengatur penciptaan norma-norma hukum umum, khususnya penciptaan undang-undang.)
Poin utama teori Kelsen tersebut adalah posisi konstitusi sebagai the highest
level atau aras tertinggi dalam hirarki tata atau sistem hukum nasional suatu negara
karena konstitusi adalah seperangkat kaidah yang mengatur mengenai pembentukan kaidah-kaidah hukum umum berupa peraturan perundang-undangan. Disini Kelsen telah sedemikian rupa mereduksi pusat aktivitas pemerintahan menjadi tindakan berupa pembentukan peraturan perundang-undangan dimana konstitusi mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut (baik berkenaan dengan kewenangan pemertintah untuk melakukan tindakan tersebut maupun
19
menyangkut materi muatan yang boleh atau tidak boleh dimuat di dalam peraturan perundang-undangan).23
Sementara itu Bagir Manan dan Kuntana Magnar berpendapat bahwa lazimnya suatu konstitusi (oleh Manan disebut Undang-Undang Dasar) hanya berisi : (a) Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban penduduk atau warga negara; (b) Dasar-dasar susunan atau organisasi negara; (c) Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara; (d) Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti bendera, dan bahasa nasional.24
Sehingga berdasarkan pengertian-pengertian yang telah disajikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa konstitusi merupakan seperangkat kaidah-kaidah dalam rangka mendirikan pemerintah suatu negara, tidak ada satu negara pun dapat eksis tanpa memiliki konstitusi, karena eksistensi konstitusi tersebut bermakna yuridis, pada saat yang sama, sebagai dasar eksistensial pemerintah atau dengan kata lain merupakan alas hak dari kekuasaan pemerintah sebagai representasi negara untuk memerintah dalam negara. Konstitusi tidak hanya berisi tentang pendirian pemerintahan suatu negara saja, melainkan juga berisi mengenai jaminan hak asasi warga negaranya serta identitas dari suatu negara. Serta posisi atau kedudukan konstitusi sebagai higher law atau dengan kata lain supreme law karena konstitusi itu sendiri yang mendirikan suatu negara.
23
Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Op.Cit., h. 13.
24
Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah HTN Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, h. 95.
20
B.
SUPREMASI KONSTITUSI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Supremasi didefinisikan sebagai kekuasaan tertinggi (teratas). Yang dimaksud dengan supremasi konstitusi adalah terkait fungsi konstitutifnya terhadap sistem hukum suatu negara yakni kaitannya dengan konstitusi yang constitutes a government. Lebih lanjut dengan fungsinya untuk memvalidasi semua produk hukum positif dalam negara, baik peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Hal ini didukung juga oleh pendapat Kelsen yang mengatakan bahwa konstitusi adalah “rules which regulate the
creation of the general legal norms, in particular the creation of statutes; (aturan
yang mengatur penciptaan norma hukum umum, khususnya pembuatan undang-undang) atau menurut Sajo “it is the starting point and the closing argument of a
legal system.”25
Kemudian hal yang menjadikan posisi konstitusi sebagai supreme law atau dapat dikatakan sebagai supreme law of the land yaitu the written form dan
entrenchment, yakni sifatnya yang rigid dan sulit untuk diubah.26 Hal ini diperkuat
oleh pendapat Kelsen yang menyatakan :
“… enactment, amendment, annulment, of constitutional laws is more difficult
than that of ordinary laws. There exists a special procedure, a special form for the creation of constitutional laws, different from the procedure for the creation of ordinary laws. Such a special form for constitutional laws, a constitutional form, or constitution in the formal sense of term, is not indispensable, whereas the material
25
Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., h. 15.
21
constitution, that is to say norms regulating the creation of general norms and-in modern law- norms determining the organs and procedure of legislation, is an
essential element of every legal order.”27 (… pemberlakuannya, amandemen,
pembatalan, hukum konstitusional lebih sulit daripada hukum biasa. Ada prosedur khusus, bentuk khusus untuk pembuatan undang-undang dasar, berbeda dengan prosedur untuk pembuatan undang-undang biasa. Bentuk khusus untuk hukum konstitusional, bentuk konstitusional, atau konstitusi dalam pengertian formal, tidak diperlukan, sedangkan konstitusi material, yaitu norma yang mengatur penciptaan norma umum dan - dalam hukum modern - norma menentukan organ dan prosedur legislasi, merupakan elemen penting dari setiap tatanan hukum.)
Konstitusi membentuk institusi-institusi utama pemerintah, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif, sedangkan penentuan komposisi dan cara pengangkatan lembaga-lembaga ini seringkali diserahkan pada hukum biasa (ordinary law). Konstitusi-Konstitusi itu, dalam batas tertentu, biasanya diberi status yang lebih tinggi, sebagai kenyataan hukum, daripada peraturan-peraturan hukum yang lain dalam sistem ketatanegaraan. Konstitusi dianggap sebagai instrument yang digunakan untuk mengontrol pemerintahan. Konstitusi muncul dari keyakinan akan pemerintahan yang dibatasi (limited government). Konstitusi biasanya, bermaksud menetapkan pembatasan terhadap pemerintah meskipun tingkat pembatasan itu beragam dari satu kasus ke kasus lain. Sifat pembatasan yang diperlakukan bagi pemerintahan, dan juga sejauh mana Konstitusi berposisi lebih tinggi dari pemerintah,
22
bergantung pada sasaran-sasaran yang hendak dicapai oleh para pembuat Konstitusi.28
Secara presumtif, sebagai pendiri pemerintah, desain suatu negara tergantung pada konstitusi-oleh karena sifatnya sebagai supreme law-karena dapat menjadikan pemerintahan baik atau buruk. Konstitusi yang ideal seyogianya meletakkan kerangka normatif bagi pembatasan kekuasaan pemerintah. Hal ini dikonsepsikan konstitutionalisme, antithesis pemerintahan arbitrer atau despotik, yang pada analisis akhir berjuang untuk kebebasan individu.29 Lebih lanjut McIlwain berpendapat bahwa :
“in all its successive phases, constitutionalism has one essential quality: it is a legal limitation on government; it is the antithesis of arbitrary rule; its opposite is
despotic government, the government of will instead of law”. (dalam semua fase
berturut-turut, konstitusionalisme memiliki satu kualitas penting: itu adalah batasan hukum pada pemerintah; itu adalah kebalikan dari aturan arbitrer; kebalikannya adalah pemerintah yang sewenang-wenang, pemerintah dari kehendak bukannya hukum.)
Menurut McIlwain, konstitutionalisme memiliki dua elemen: “the legal limits to arbitrary power and a complete political responsibility of government to the
governed.” Pengertian ini memiliki implikasi logis bahwa meskipun semua negara
memiliki konstitusi, tetapi tidak semua konstitutional. Semua negara memiliki
28
K.C. Wheare, Op.Cit., h. 5-13.
23
konstitusi adalah pernyataan deskriptif bahwa pemerintahnya dapat eksis karena niscaya didirikan oleh konstitusi. Namun ini bukan jaminan bagi produk konstitusionalisasinya, dalam hal ini kualitas pemerintah yang didirikan.30 Supaya suatu negara berhak atas predikat sebagai negara konstitusional maka menurut McIlwain: “All constitutional government is by definition limited government.”31 Pada analisis akhir, membatasi pemerintah merupakan rationale supremasi konstitusi.32
C.
INDEPENDENSI
LEMBAGA
NEGARA
DALAM
KONSTITUSI
1.
Independensi Lembaga Negara
Secara etimologis istilah “mandiri” berarti menunjukkan kemampuan berdiri sendiri, swapraja, swasembada.33 Tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau ketidak-bergantungan suatu pihak kepada pihak lainnya dalam literatur juga berarti “independen”.34
Istilah independen dalam bahasa Inggris ditulis dengan
independent yaitu not governed by another, not requiring or relying on something or
somebody else, not easily influenced.35 ((tidak diatur oleh yang lan, yang tidak
membutuhkan atau tergantung pada sesuatu atau orang lain, tidak mudah
30 Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia : The Jimly Court 2003-2008, Op.Cit., h. 19.
31
Charles Howard McIlwain, Op.cit., h. 21.
32 K.C. Wheare, Op.Cit., h.7. 33
Hari Murti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, Nusa Indah Press, Jakarta, 1983, h. 89.
34
Sirajuddin dan Winardi, Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press, Malang, 2015, h. 190.
35
Webster’s Vest Pocket Dictionary, Merriam Webster Inc, Publishers Springfield, Massachussetts, USA, 1989. Sebagaimana terkutip dalam Zulfi Diane Zaini, Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah, Keni Media, Bandung, 2012, h. 121.
24
dipengaruhi). Black‟s Law Dictionary menyebutkan independent sebagai not dependent; not subject to control, restriction, modification, or limitation from a given
outside source.36 (tidak tergantung, tidak tunduk pada control, pembatasan,
modifikasi atau keterbatasan sumber daya yang disediakan di luar). Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa independensi merupakan kebebasan dari pengaruh, instruksi/pengarahan, atau kontrol dari pihak lain.
Dalam konteks independensi kelembagaan itu sendiri, secara substantif independensi yang harus dimiliki oleh suatu lembaga negara independen setidaknya mencakup tiga hal : (1) independensi institusional atau struktural; (2) independensi fungsional; (3) independensi administratif dalam bentuk independensi keuangan dan independensi personalia.37
Lebih lanjut, penulis berpendapat bahwa poin utama dari prinsip independensi lembaga negara adalah mengenai appointment dan removal yakni menyangkut aspek struktural dari kelembagaan sebuah lembaga negara yang ditentukan mandiri. Dengan kata lain, pihak manapun tidak bisa secara unilateral atau secara sepihak campur tangan terhadap struktur kelembagaaan itu sendiri. Hal itu bergantung pada dasar pembentukannya-konstitusi-, mengamanatkan seperti apa struktur appointmet dan
removal dari sebuah lembaga negara independen.38
36
Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing, USA, Centennial Edition (1891-1991), 1991, hlm. 770. Sebagaimana terkutip dalam Zulfi Diane Zaini, Ibid.
37
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008, h. 879-880.
25
2.
Independensi Lembaga Negara dalam Konstitusi adalah
Konstitusional
Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa independensi merupakan kebebasan dari pengaruh, instruksi/pengarahan, atau kontrol dari pihak lain. Prinsip kemandirian lembaga negara adalah mandiri atau bebas dari campur tangan pihak lain namun kepadanya dikenai batasan sebagai suatu bentuk dari keadilan agar tidak timbul kesewenang-wenangan. Lebih lanjut, independensi juga terkait oleh
appointment dan removal sesuai dengan dasar pembentukannya yakni konstitusi. Hal
ini didukung oleh pernyataan bahwa konstitusi menetapkan struktur pemerintahan. Ini menciptakan agen pemerintah, menjelaskan fungsi mereka, dan menentukan hubungan antar mereka, menentukan metode untuk pemilihan, pengawasan, dan pemberhentian petugas mereka39. Hal tersebut dapat berimplikasi bahwa konstitusi itu sendiri yang menentukan tata cara appointment dan removal dari kemandirian lembaga negara. Appointment dan removal sendiri merupakan tolak ukur dari aspek kemandirian lembaga negara, yakni bermakna jika kekuasaan eksekutif tidak secara unilateral bisa menentukan tata cara appointment dan removal dari sebuah lembaga, maka lembaga tersebut independen.
Selanjutnya penulis berpendapat bahwa independensi lembaga negara dalam konstitusi adalah konstitusional. Berangkat dari pemikiran konsep konstitusi sebagai
supreme law atau bisa dikatakan sebagai higher law maka tidak ada limit atau
pembatasan dari konstitusi itu sendiri. Terkait fungsi konstitutif-nya yakni constitutes
26
a government, maka independensi suatu lembaga negara yang ter-amanatkan dalam
konstitusi adalah konstitusional. Berbeda halnya dengan independensi lembaga negara yang dasar pembentukannya adalah peraturan-peraturan dibawah konstitusi –
ordinary law-, oleh karena konstitusi berfungsi memvalidasi semua produk hum
positf dalam negara baik peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan.40 Dengan kata lain, independensi lembaga negara yang dasar pembentukannya bukan dari konstitusi masih dapat dipertanyakan mengenai konstitutionalitasnya, yakni dapat men-challenge melalui suatu lembaga atau badan
counter-majotariatan-misalnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia- yangmana
lembaga tersebut mendasarkan diri pada konstitusi pada setiap challenge terhadap lembaga independen yang dipertanyakan mengenai kemandiriannya.
D.
ASAS-ASAS KEMANDIRIAN LEMBAGA NEGARA DALAM
KONSTITUSI
Seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa independensi lembaga negara adalah konstitutional jika lembaga negara tersebut diamanatkan mandiri dalam sebuah konstitusi. Dengan demikian penulis menarik beberapa kesimpulan melalui interpretasi teori maupun konsep yang telah terpapar di bab sebelumnya, yakni terdapat 3 asas-asas kemandirian lembaga negara dalam konstitusi. Ketiga asas tersebut yakni lembaga negara tersebut disebutkan mandiri dan dibentuk melalui “perintah” konstitusi, diberikan sifat independensinya, serta
27
diamanatkan pula bentuk lembaga negaranya. Masing-masing asas tersebut akan dijelaskan oleh penulis sebagai berikut.
1. DISEBUTKAN MANDIRI DAN PEMBENTUKANNYA DIDASARKAN
PADA KONSTITUSI
Suatu lembaga negara dikatakan mandiri apabila diamanatkan untuk mandiri, bebas campur tangan dari pihak lain serta batasan-batasan kemandiriannya. Lembaga Negara Mandiri dikatakan konstitusional hanya apabila dasar pembentukannya adalah konstitusi. Prinsip dasarnya adalah konstitusi sebagai supreme law yakni kedudukannya sebagai higher law daripada ordinary law, yang berimplikasi bahwa tidak ada batas lagi terhadap apa yang telah tertuang dalam konstitusi, yakni terkait fungsi konstitutifnya sebagai starting point dalam membentuk suatu pemerintahan. Konstitusi membentuk institusi-institusi utama pemerintah, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif, sedangkan penentuan komposisi dan cara pengangkatan lembaga-lembaga ini seringkali diserahkan pada hukum biasa (ordinary law).
Lebih lanjut, hal yang tak kalah penting daripada pemberian sifat “mandiri” tersebut adalah kedudukan lembaga negara tersebut yang tidak bersifat ekstrastruktural dari 3 (tiga) cabang kekuasaan yang ada. Lembaga-lembaga demikian ini merupakan turunan dari ketiga cabang kekuasaan tersebut dan oleh karena sebab tertentu lembaga-lembaga tersebut diidealkan mandiri.41
2. SIFAT INDEPENDENSI
Secara substantif sifat independensi yang harus dimiliki oleh suatu lembaga negara yang disebutkan mandiri mencakup 2 hal, yakni :
28
a. Structural independence, yakni independensi kelembagaan dimana struktur
suatu organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain.42 Kemandirian structural juga terkait bagaimana suatu lembaga negara diberikan kewenangan, yakni menyangkut
appointment dan removal dari lembaga tersebut. Jika kekuasaan eksekutif
tidak secara unilateral memiliki kewenangan untuk menentukan tata cara
appointment dan removal dari sebuah lembaga negara, maka lembaga
tersebut dapat dikatakan independen.
b. Functional Independence, yaitu independensi yang dilihat dari segi
jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya.43
Lembaga Negara yang disebut mandiri dan dibentuk oleh konstitusi dapat memiliki sifat-sifat independensi sepert diatas baik diamanatkan langsung dalam konstitusi itu sendiri maupun diatur lebih lanjut dalam ordinary law sesuai limpahan kewenangan dari konstitusi itu sendiri.
3. BENTUK INDEPENDENSI
Bentuk lembaga negara yang disebut mandiri dalam konstitusi dapat berupa badan, lembaga negara, organ, maupun komisi. Hal ini bergantung pada tujuan dari pembuatan konstitusi itu sendiri yakni dalam hal fungsi konstitutifnya dalam mendirikan pemeritahan suatu negara. Pendapat ini didukung dengan pernyataan
42 Jimly Asshiddiqie, 2002. “Pengaturan Konstitusi tentang Independensi Bank Central” Makalah
disampaikan dalam Seminar BI bersama FH Unair,Surabaya 21 Mei 2002, sebagaimana dikutip dalam SIrajuddin dan Winardi, Op.Cit., h. 191.
29
Arifin yang menyatakan bahwa secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga-lembaga negara adalah intuisi-intuisi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.44 Dalam banyak istilah yang digunakan, istilah lembaga negara atau organ negara mengandung pengertian yang secara teoritis mengacu pada pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the
state organ. Menurut Kelsen, siapapun yang menjalankan suatu fungsi yang
ditetapkan oleh tatanan hukum (legal order) merupakan sebuah organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan atau bersifat menjalankan norma (norm applying).45
44 Firmansyah Arifin, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,
KRHN bekerjasama dengan MK RI, Jakarta, 2005, h. 30.
45
Jimly Asshiddiqie, Perkembangandan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Pers, Jakarta, 2006, h. 32.