• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seluruh tulisan pada modul ini merupakan milik dari Pusdiklat Pajak BPPK, hasil tulisan dari Widyaiswara Pusdiklat Pajak, Hasanuddin Tatang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Seluruh tulisan pada modul ini merupakan milik dari Pusdiklat Pajak BPPK, hasil tulisan dari Widyaiswara Pusdiklat Pajak, Hasanuddin Tatang"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Pusdiklat Pajak Kata Pengantar

Daftar Tabel Daftar Gambar

1. PENDAHULUAN 1

2. Kegiatan Belajar 1 : PENGERTIAN BEA METERAI 2

A. Bea Meterai Adalah Pajak 2

B. Dasar Hukum Pemungutan Bea Meterai 3

C. Bea Meteri adalah Pajak Atas Dokumen 4

D. Objek Bea Meterai 6

E. Bukan Objek Bea Meterai 7

3. Kegiatan Belajar 2 : SUBJEK, SAAT TERUTANG, DAN TARIF BEA METERAI 9

A. Subjek Bea Meterai 9

B. Saat Terutang Bea Meterai 9

C. Tarif Bea Meterai 10

4. Kegiatan Belajar 2 : PELUNASAN BEA METERAI 12

A. Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Benda Meterai 12 B. Pelunasan Bea Meterai Menggunakan Cara Lain 13 C. Akibat Apabila Ketentuan Cara Pelunasan Bea Meterai Tidak Dipenuhi 22 D. Benda Meterai yang Saat Ini Masih Berlaku di Indonesia 22

E. Pengadaan dan Pengeloaan Benda Meterai 23

F. Pengawasan Terhadap Pengelolaan dan Penjualan Benda Meterai 24

G. Pemeteraian Kemudian 26

5. Kegiatan Belajar 4 : Sanksi, Daluwarsa, Dan Ketentuan Pidana 29

A. Sanksi Atas Kewajiban Pemenuhan Bea Cukai 29

B. Daluawarsa Bea Meterai 29

C. Ketentuan Khusus 30

Hak cipta :

“Seluruh tulisan pada modul ini merupakan milik dari Pusdiklat Pajak – BPPK, hasil tulisan dari Widyaiswara Pusdiklat Pajak,

Hasanuddin Tatang

“Modul ini dapat digunakan dalam rangka proses pembelajaran, dengan tetap mencantumkan penulis dan pemilik sah dokumen ini.

Dilarang mengunakan sebagian atau seluruh isi dari modul ini untuk

kepentingan komersial. “

(2)

D. Ketentuan Pidana 31

E. Ketentuan Peralihan 32

6. Kegiatan Belajar 5: Penegakan Hukum Bea Meterai 33 A. Pemantauan Pelaksanaan Pengenaan Bea Meterai 33 B. Pembentukan Tim Verifikasi Penjualan Benda Meterai 33 C. Pemberian Izin Dan Pengawasan Penggunaan Mesin Teraan Bea

Meterai

34

D. Pemantauan Proses Penukaran Benda Meterai 36

E. Pengalihan Bea Meterai Lunas Atas Blanko Cek dan Bilyet Giro Karena Perusahaan Mengganti Logo Perusahaan

37

F. Intensifikasi Bea Meterai 39

G. pengalihan Bea Meterai Lunas atas Blanko Cek clan Bilyet Giro Karena Perusahaan Mengganti Logo Perusahaan

39 H. Pengalihan Bea Meterai Lunas atas Blanko Cek dan Bilyet Giro

Karena Perusahaan Mengubah Nama Perusahaan

40

(3)

PENDAHULUAN

Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang paling besar sudah sepatutnya dikelola dengan sebaik-baiknya agar penerimaan negara dapat terjaga kesinambungannya guna mendukung kegiatan pemerintahan umum dan pembiayaan pembangunan yang dijalankan Pemerintah. Jumlah penerimaan pajak pada APBN 2008 sebesar Rp...., dimana Rp 3,3 trilyun diantaranya berasal dari penerimaan pajak lainnya termasuk bea meterai. Bila kita amati dari kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia pada dewasa ini, pengelolaan bea meterai oleh Pemerintah dirasa belum optimal, ini dapat dilihat dari masih banyak praktik-praktik melawan hukum yang sulit diambil tindakannya oleh penegak hukukm, seperti pemalsuan bea meterai, ketidaklancaran distribusi, sampai pada pembuatan dokumen yang tidak dipenuhi kewajiban bea meterainya.

Adalah tugas Direktorat Jenderal Pajak agar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai dan peraturan perundang-undangan terkait terlaksana dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten dan handal di bidang bea meterai, mengingat permasalahan bea meterai yang tidak boleh dibilang sederhana karena kompleksitas kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat, jumlah penduduk, serta meliputi wilayah yang luas. Untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap bea meterai, sampai saat ini masih dirasa sulit, karena masih sedikit tersedianya literatur tentang bea meterai, baik dalam bentuk kompilasi peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk buku. Dengan tersusunnya modul ini diharapkan dapat menambah alternatif bahan bacaan tenang bea meterai guna memperluas khasanah pengetahuan para pembacanya.

Modul ini disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan ajar di lingkungan Pusdiklat Pajak Jakarta. Mengingat batasan waktu yang tersedia untuk penyajian materi dalam diklat, maka kedalaman isi modul ini disesuaikan dengan jumlah pelatihan yang tersedia tersebut.

Tujuan umum pembelajaran Bea Meterai ini adalah agar peserta diklat memahami ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang bea meterai dan tugas-tugas DJP dalam pengelolaan bea meterai.

Adapun Tujuan Khusus dari pembelajaran Bea Meterai ini agar peserta diklat : 1. Memahami pengertian bea meterai

2. Dapat menjelaskan subjek, saat terutang, dan tarif bea meterai 3. Dapat menjelaskan cara pelunasan bea meterai

4. Dapat menjelaskan sanksi-sanksi atas kewajiban pemenuhan bea meterai, Kedaluwarsa, dan ketentuan Pidana

5. Dapat menjelaskan penerapan peraturan Bea Meterai

(4)

2. Kegiatan Belajar 1

PENGERTIAN BEA METERAI

Bila kita amati dalam kehidupan sehari-hari, dari berbagai hal yang berlangsung di masyarakat berkaitan dengan bea meterai, tampak bahwa pemahaman masyarakat tentang bea meterai memang masih rendah. Bea meterai lebih sering dianggap sebagai suatu keharusan yang mutlak dilakukan dalam pembuatan dokumen. “Surat perjanjian itu tidak sah karena tidak diberi meterai” misalnya. Atau Setiap tanda terima uang harus diberi meterai supaya sah, tanpa tahu apa yang dimaksud dengan sah itu. Mengenai pemenuhan bea meterai apakah sesuai dengan kententuan atau tidak sering kali tidak diperhatikan oleh masyarakat. Kondisi ini tentunya harus diperbaiki mengingat bea meterai merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diterapkan di seluruh indonesia. Masyarakat perlu memahami mengapa harus melunasi bea meterai dan bagaimana ketentuan yang benar. Selanjutnya bea meterai dapat diterima sebagai salah satu jenis pajak di Indonesia, dimana pembayarannya hanya untuk kepentingan pajak dan tidak ada kaitannya dengan hal – hal lain diluar pajak.

A. Bea Meterai Adalah Pajak

Bea meterai adalah pajak, ini dapat dibuktikan dengan melihat ciri-ciri yang melekat pada pengertian bea meterai dengan disandingkan dengan ciri-ciri pajak. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak antara lain :

1. Pajak adalah peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemeerintah

2. Pajak dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang serta aturan pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan;

3. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh Pemerintah;

4. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;

5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemaasukannya masih terdapat surplus, maka surplus tersebut digunakan untuk investasi publik.

6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari Pemerintah.

7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.

(5)

Selanjutnya tentang bea meterai dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor.

13 tahun 1985 tentang Bea Meterai :”Dengan nama bea meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam undang – undang ini”. Hal ini menunjukkan bahwa UU Bea Meterai dengan tegas menyatakan bahwa bea meterai adalah pengenaan pajak atas dokumen.

Apabila diperhatikan, pemungutan bea meterai oleh pemerintah dari masyarakat (orang atau badan) yang membuat dokumen memang memenuhi kriteria tentang pajak diatas. Hal ini dapat dilihat dari uraian berikut ini :

a. Bea meterai dipungut oleh pemerintah pusat, yang berwenang menertibkan benda meterai dan mengedarkannya sebagtai alat pembayaran bea meterai yang terurtang ataupun memberikan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain. Memang penerbitan dan pengedaran benda meterai tidak ditangani secara langsung oleh pemerintah, tetapi diserahkan kepada Perum Peruri untuk mencetak benda meterai dan menunjuk PT Pos Indonesia untuk mengedarkannya. Hanya saja tetap saja kedua hal ini dilakukan atas nama Pemerintah Pusat.

b. Hasil penjualan benda meterai maupun pembayaran sejumlah uang tertentu untuk mendapatkan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain semuanya masuk ke kas Pemerintah Pusat.

c. Orang atau badan yang membuat dokumen yang terutang bea meterai di pungut bea meterai yang terutang oleh pemerintah tanpa ada balas jasa (kontra prestasi) atau pembayaran bea meterai terutang yang dilakukannya.

d. Hasil penerimaan bea meterai bersama dengan hasil penerimaan pajak pusat lainnya digunakan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, yang hasilnya juga dinikmati oleh pembayar bea meterai. Hal ini menunjukan sebenarnya ada kontra prestasi yang diberikan oleh pemerintah

Ditinjau dari ciri-ciri tersebut di atas, tentu dapat dikatakan bahwa bea meterai memenuhi kriteria pungutan yang dimaksud dalam pajak. Bea meterai adalah pajak.

B. Dasar Hukum Pemungutan Bea Meterai

Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 merupakan pengganti dari Aturan Bea Meterai tahun 1921 yang sampai dengan 31 desember 1985 menjadi dasar hukum pemungutan bea meterai Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 disahkan dan diundangkan di Jakarata pada tanggal 27 Desember 1985 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Undang- Undang Nomor 13 tahun 1985 dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69 dan penjelasan undang- undang ini dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313.

(6)

Ditinjau dari hukum pajak, Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985, selanjutnya disebut sebagai UU Bea Meterai, memiliki dua fungsi, yantu sebagai hukum pajak material dan sekaligus sebagai hukum pajak formal, hukum pajak material mengatur tentang norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa- peristiwa hukum yang haru dikenakan pajak, siapa saja yang dikenakan pajak, serta besarnya pajak yang terutang. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hukum ini memuat segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya dan haPusnya hutang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak, peraturan yang memuat kenaikan- kenaikan, denda -denda dan hukuman-hukuman serta tata cara pembebasan dan pengembalian pajak serta hak tagihan yang memiliki fiskus.

Hukum pajak formal mengatur tentang tata cara mengimplementasikan hukum pajak material sebagai menjadi suatu kenyataan. Termasuk didalamnya penyelenggaraan pemungutan pajak, antara lain mengenai penetapan suatu utang pajak, pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para wajib pajak baik sebelum maupun sesudah diterimanya surat ketetapan pajak, kewajiban pihak ketiga dan prosedur dalam pemungutan pajak, hak wajib pajak, dan sanksi terhadap wajib pajak yang melanggar, kewenangan fiskus, kewajiban fiskus, serta sanksi terhadah fiskus yang tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Tujuan pengaturan hukum pajak formal ini adalah untuk melindungi fiskus dan wajib pajak serta memberi jaminan agar hukum pajak material dapat diselenggaraan dengan tepat.

Dalam UU Bea Meterai dapat ditemui ketentuan tentang apa yang menjadi objek, tarif, pihak yang terutang, saat terutang, dan cara pelunasan bea meterai yang merupakan bagian dari hukum pajak material. Di bagian lain juga dapat ditemui ketentuan tentang ketentuan bagi pejabat yang dalam jabatannya berhubungan dengan dokumen, sanksi administrasi bagi wajib bea meterai yang tidak memenuhai kewajibannya sebagaimana mestinya, dan ketentuan pidana terhadap barang siapa yang meniru dan memalsukan benda meterai, yang pada dasarnya merupakan bagian dari hukum pajak formal.

C. Bea Meterai Adalah Pajak Atas Dokumen

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pasal 1 ayat (1) UU Bea Meterai menyatakan ” dengan nama bea meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam undang – undang ini ”.

Hal ini menunjukkan bahwa UU Bea Meterai dengan tegas menyatakan bahwa bea meterai adalah pengenaan pajak atas dokumen. Dengan demikian, yang dikenakan pajak adalah dokumen yang dibuat oleh orang atau badan yang berkepentingan atas dokumen tersebut. Karena bea meterai

(7)

adalah pajak atas dokumen, maka merupakan hal yang sangat penting unutuk memahami apa yang dimaksud dengan dokumen.

1. Pengertian Dokumen

Pasal 1 ayat (2) UU Bea Meterai memberikan definisi dokumen sebagai kertas yang berisikan tulisan yag mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Definisi ini memberikan pengertian dokumen secara sempit, yaitu terbatas pada kertas yang berisikan tulisan. Dikatakan secara sempit karena dalam kehidupan sehari-hari dokumen tidak hanya terbatas dalam bentuk kertas yang berisikan tulisan, tetapi juga bentuk lain seperti film, rekaman vidio, kaset, dan sebagainya.

Pengertian dokumen secara harfiah dapat dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pedidikan Nasional, dokumen memiliki tiga pengertian, yaitu:

a. Surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti kelahiran, surat nikah, dan surat perjanjian);

b. Barang cetakan atas naskah karangan yang dikirim melalui pos; atau

c. Rekaman suara, gambar di film, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan.

Hanya saja, karena secara umum yang digunakan oleh masyarakat (setidaknya sampai dengan 1983 pada saat UU Bea Meterai dibuat) adalah kertas sebagai dokumen yang membuktikan adanya perbuatan hukum, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan, maka dokumen yang dikenakan pajak dalam UU Bea Meterai dibatasi hanya pada kertas yang berisi tulisan.

2. Jenis-Jenis Surat / Dokumen

Dokumen sebagaimana didefinisiskan dalam Pasal 1 ayat (2) UU Bea Meterai oleh masyarakat luas dikenal sebagai surat atau akta. Untuk dapat memahami dokumen secara lebih komprehensif, perlu juga diketahui tentang pembagian surat.

Surat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu surat di bawah tangan dan surat autentik.

Selanjutnya surat dibawah tangan dapat dibedakan menjadi surat biasa dan akta di bawah tangan, dan surat autentik dapat dibedakan menjadi akta autentik dan surat dinas. Lebih lanjut, akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu akta autentik menurut Hukum Publik dan akta autentik menurut Hukum Perdata. Untuk mempermudah pemahaman mengenai dokumen dapat diperhatikan skema pada gambar 1 di bawah ini:

(8)

Gambar 1: Skema Surat

Keterangan :

 Surat adalah serangkaian kata dari pembuatnya.

 Surat di bawah tangan adalah surat yang tidak dibuat oleh pejabat umum

 Surat Autentik adalah surat yang dibuat oleh pejabat umum

( Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah dan ditugaskan serta diberi wewenang untuk melakukan s

berkaitan dengan peeristiwa atau perbuatan hukum)

 Akta adalah surat yang ditandatangani , yang khusus dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa atau perbuatan hukum

D. Objek Bea Meterai

Sebagaimana telah dikemukan di awal kegiatan belajar ini,

menyebutkan bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Objek bea meterai adalah dokumen. Jika tidak dibuat doku

ada masalah pengenaan bea meterai.

menjadi objek bea meterai bukan perbuatan hukumnya, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, menerima uang, melakukan pemborongan pekerjaa

dokumen yang dibuat untuk melakukan telah terjadi perbuatan itu, seperti akta jual beli, akta atau

SURAT DI BAWAH TANGAN

SURAT BIASA

Surat adalah serangkaian kata-kata dalam bentuk tulisan yang mengandung maksud tertentu

Surat di bawah tangan adalah surat yang tidak dibuat oleh pejabat umum Surat Autentik adalah surat yang dibuat oleh pejabat umum

( Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah dan ditugaskan serta diberi wewenang untuk melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah untuk membuat akta yang berkaitan dengan peeristiwa atau perbuatan hukum)

Akta adalah surat yang ditandatangani , yang khusus dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa atau perbuatan hukum.

Sebagaimana telah dikemukan di awal kegiatan belajar ini, Pasal 1

menyebutkan bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang dipakai oleh masyarakat Objek bea meterai adalah dokumen. Jika tidak dibuat doku

ada masalah pengenaan bea meterai. Selanjutnya UU Bea Meterai mengisyaratkan bahwa menjadi objek bea meterai bukan perbuatan hukumnya, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, menerima uang, melakukan pemborongan pekerjaan, dan sebagainya; melainkan dokumen yang dibuat untuk melakukan telah terjadi perbuatan itu, seperti akta jual beli, akta atau

SURAT

SURAT DI BAWAH TANGAN

AKTA DI BAWAH TANGAN

SURAT AUTENTIK

AKTA AUTENTIK

AKTA AUTENTIK MENURUT HUKUM

PEBLIK

AKTA AUTENTIK MENURUT HUKUM

PERDATA

kata dalam bentuk tulisan yang mengandung maksud tertentu

Surat di bawah tangan adalah surat yang tidak dibuat oleh pejabat umum

( Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah dan ditugaskan serta diberi ebagian dari pekerjaan pemerintah untuk membuat akta yang

Akta adalah surat yang ditandatangani , yang khusus dibuat untuk dijadikan bukti tentang

Pasal 1 UU Bea Meterai menyebutkan bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang dipakai oleh masyarakat Objek bea meterai adalah dokumen. Jika tidak dibuat dokumen, maka tidak mengisyaratkan bahwa yang menjadi objek bea meterai bukan perbuatan hukumnya, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa-

n, dan sebagainya; melainkan dokumen yang dibuat untuk melakukan telah terjadi perbuatan itu, seperti akta jual beli, akta atau

SURAT AUTENTIK

AKTA AUTENTIK MENURUT HUKUM

PERDATA

SURAT DINAS

(9)

surat perjanjian sewa-menyewa, kuitansi, surat perjanjian pemborongan pekerjaan, dan sebagainya.

Isi surat perjanjian yang tidak mungkin dapat dilaksanakan, misalnya saja jual beli tanah di bulan atau perjanjian mengenai perbuatan yang dilarang, tidak menjadi penghalang untuk mengenakan bea meterai atas surat perjanjian mengenai hal-hal tersebut.

Dalam praktik di masyarakat di mungkinkan dua pihak atau lebih mengadakan perjanjian tersebut, tetapi tanpa membuat dokumen yang berkaitan dengan perjanjian dimaksud (tanpa surat perjanjian). Terhadap keadaan ini tidak ada permasalahan mengenai bea meterai karena yang dikenakan bea meterai adalah dokumen, bukan perjanjian yang diadakan tersebut.

1. Dokumen yang DikenakanBea Meterai

Sesuai dengan pasal 2 UU Bea Meterai dokumen yang dikenakan bea meterai adalah :

a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata.

b. Akta-akta notaris sebagai salinannya.

c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap- rangkapnya.

d. Surat yang memuat jumlah Uang, yaitu;

1) Yang menyebutkan penerimaan uang;

2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;

3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; dan

4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.

e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep , dan cek.

f. Efek dalam nama dan bentuk apapun

Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut pada huruf d, e, dan f diatas juga dimaksudkan termasuk jumlah uang atau harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing.

Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan bea meterai.

E. Bukan Objek Bea Meterai

Pasal 4 UU Bea Meterai menentukan tidak dikenakan bea meterai atas dokumen, antara lain:

a. dokumen yang berupa :

1) surat penyimpanan barang;

(10)

2) konosemen;

3) surat angkutan penumpang dan barang;

4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);

5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;

6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).

b. segala bentuk Ijazah;

c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;

d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;

e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank;

f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;

g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;

h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;

i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

(11)

3. Kegiatan Belajar 2.

SUBJEK, SAAT TERUTANG, DAN TARIF BEA METERAI A. Subjek Bea Meterai

Pasal 6 UU Bea Meterai menentukan bahwa Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan subjek bea meterai untuk tiap-tiap jenis dokumen sebagai berikut:

a. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terhutang oleh penerima kuitansi.

b. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya.

c. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.

B. Saat Terutang Bea Meterai

Saat terutang bea meterai sangat perlu diketahui karena akan menentukan besarnya tarif bea meterai yang berlaku dan juga berguna untuk menentukan daluarsa pemenuhan bea meterai dan denda admininistrasi yang terutang. Saat terutang bea meterai ditentukan oleh jenis dan di mana suatu dokumen dibuat. Pasal 5 UU Bea Meterai menentukan saat terutang bea meterai sebagai berikut:

a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;

Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud saat dokumen itu diserahkan termasuk juga bahwa pada saat itu dokumen tersebut diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuintansi, cek, dan sebagainya.

b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen dubuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.

c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.

(12)

C. Tarif Bea Meterai

Tarif bea meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif berdasarkan jenis dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang disebutkan dalam dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak disebutkan secara jelas dalam UU Bea meterai, namun secara implisit dapat dilihat dalam Pasal 2, yaitu dokumen yang merupakan surat ya.ng dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, seperti akta notaris dan akta PPAT dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi dari dokumen tersebut. Selain itu dokumen yang memuat jumlah uang akan dikenakan tarif bea meterai berdasarkan jumlah uang yang termuat dalam dokumen itu.

Tarif bea meterai ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan tarif-tarif yang dikenakan atas dokumen-dokumen sebagaimana tersebut pada Pasal 2 UU Bea Meterai, tarif bea meterai adalah Rp 1.000,- dan Rp 500,-.

Selanjutnya dalam Pasal 3 UU BeaMeterai disebutkan bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Berdasarkan ketentuan ini, seiring dengan adanya perkembangan ekonomi nasional, pemerintah telah mengadakan dua kali penyesuaian tarif dan besarnya harga nominal yang dikenakan bea meterai, yaitu perbahan pertama dengan Peraturan Pemerinth Nomor 7 tahun 1995, tarif bea meterai diubah menjadi Rp 1.000,-- dan Rp 2.000,-- Perubahan kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000 ,yaitu tarif bea meterai ditentukan sebesar Rp 3.000,-- dan Rp 6.000,-.

Perkembangan tarif bea meterai per jenis dokumen tercantum dalam tabel 1 berikut:

Tabel 1 Perbandingan Tarif Bea Meterai dari Waktu ke Waktu

No. Dokumen

Tarif Bea Meterai UU No. 13 Th.

1985

PP No. 7 Th.

1995

PP No. 24 th.

2000 1. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya (a.l. Surat Kuasa,

surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/keadaan yang bersifat perdata.

Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00

2, Akta Notaris dan salinannya Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00

3. Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkapannya Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00 4,a. Surat yang memuat sejumlah uang lebih dari Rp 1 juta (harga

nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing) a. Yang menyebutkan penerimaan uang;

b. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;

c. Yang berisi beerisi pembeitahuan saldo rekening di bank, dan

Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00

(13)

d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.

4.b. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00

Rp 500,00 Rp 1.000,00 Rp 3.000,00

4c Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 100.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 250.000,00

Rp 500,00 Tidak terutang Tidak dikenakan

4d Surat yang memuat jumlah uang tidak lebih dari Rp 1.00.000,00

Tidak terutang Tidak terutang Tidak dikenakan

5a Surat berharga seperti wesel, promes,dan aksep yang hargaa nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00

Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00

5b Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang hargaa nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00

Rp 500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00

5c Surat berharga seperti wesel, promes,dan aksep yang hargaa nominalnya tidak lebih dari Rp 250000,00

Rp 500,00 Tidak terutang Tidak dikenakan

5d Surat berharga seperti wesel, promes,dan aksep yang hargaa nominalnya tidak lebih dari Rp 100.000,00

Tidak terutang Tidak terutang Tidak dikenakan

6a Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,-

Rp 1000,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00

6b Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,- terapi tidak ebih dari Rp 1.000.000,--

Rp500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00

6c Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp 100.000,00 tetapi tidak lebh dari Rp 250.000,00

Rp 500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00

6d Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya tidak lebih dari Rp 100.000,-

Tdk terutang *) Rp 1000,00 Rp 3.000,00

7a Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000 Rp 1.000,00 Rp 2.000,00 Rp 6.000,00 7b Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000.,00 tetapi

tidak lebih dari Rp 1,000,000,00

Rp 500,00 Rp 1.000,00 Rp 3.000,00

7c Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp 100.000.,00 tetapi tidak lebih dari Rp 250000,00

Rp 500,00 Tidak terutang Rp 3.000,00

7d Efek yang harga nominalnya tidak lebih dari Rp 100.000.,00 Tidak terutang Tidak terutang Rp 3.000,00 8. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di muka

pengadilan melputi :

a. Surat-surat biasa dan surat kerumah-tanggaan;

b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari masksud semula.

Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00

Keterangan :

*) Berdasarkan Peraturan Pemerintah anomor 13 Tahun 1989 tentang Perubahan Besarnya Tarif

Bea Meterai dan besarnya bea meterai atas batas harga nominal yang dikenakan bea meterai ata cek dan bilyet giro, diubah menjadi Rp 500,00 dengan tidak memperhatikan besarnya hyang dikenakan besrga nominal.rnya.

(14)

4. Kegiatan Belajar 3.

PELUNASAN BEA METERAI

Secara umum bea meterai atas dokumen yang terutang dilunasi denga dua cara, yaitu dengan menggunakan benda meterai atau menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pada umumnya bea meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan dalam undang-undang dan pelaturan pemerintah. Benda meterai yang dapat digunakan untuk melunasi bea meterai yang terutang adalah meterai tempel dan kertas meterai.

Disampig itu, dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi pelunasan bea meterai, misalnya membubuhkan tanda tera sebagai pengganti benda meterai diatas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan pelaturan perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.

A. Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Benda Meterai

Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana pelunasan benda meterai terutang adalah benda meterai sebagaimana dimaksud dalm Pasal 1 ayat (2) huruf b UU Bea Meterai, yaitu meterai tempel dan kertas metereai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

1. Meterai Tempel

Pelunasan bea meterai dengan menggunakan meterai tempel dilakukan sesuai dengan Pasal 7 ayat( 3) – (6) UU Bea Meterai, yaitu sebagai berikut.

a. Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.

b. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.

d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.

Letak perekatan meterai tempel bergantung kepada dimana letak tanda tangan akan dibubuhkan diatas kertas yang bersangkutan. Pada umumnya di bawah tulisan yang sudah selesai. Jika suatu dokumen yang dibubuhi meterai tempel harus ditanda-tangani oleh lebih dari satu orang, penanda tanga pertama harus mempergunakan meterai tempel tersebut.

(15)

2. Kertas Meterai

Pelunasan bea meterai dengan menggunakn kertas meterai dilakukan sesua dengan Pasal 7 ayat (7) – (8) UU Bea Meterai, yaitu dengan cara menuliskan dokumen yang menjadi objek bea meterai pada kertas meterai yang ditentukan. Tanda tangan pihak yang membuat dokumen tersebut dilakukan di atas kertas meterai, pada bagian yang sesuai dengan dokumen yang dibuat (tidak ditentukan harus pada sisi tertentu dari kertas meterai). Jika isi dokumen yang dikenakan bea meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak ber meterai. Suatu dokumen yang menggunakan beberapa helai kertas (misalnya akta pendirian sebuah perseroan terbatas) dan akta pendirian tersebut menggunakan kertas meterai, maka hanya bagian awal (helai pertama) saja yang menggunakan meterai, kemudia helai-helai berikutnya dapat menggunakan kertas biasa tanpa meterai. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.

Kertas meterai yang sudah diguakan tidak boleh digunakan lagi. Hal ini berarti bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakai, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai. Andaikan bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut terutang bea meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif bea meterai yang berlaku. Jika sehelai kertas meterai karena suatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai, kemudian tulisan yang ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.

Apabila ketentuan tentang bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, serta tata cara pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, maka dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

B. Pelunasan Bea Meterai Menggunakan Cara Lain

Pelunasan bea meterai lainnya adalah dengan menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 104/KMK.04/1986 tanggal 22 Februari 1986, pelunasan bea meterai degan menggunakan cara lain adalah dengan menggunakan mesin teraan meterai atau alat lain dengan teknologi tertentu, yang penggunaannya

(16)

harus mendapat izin tertululis dari Direktur Jendral Pajak. Izin penggunaan diberikan kepada pemakai yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. Ketentuan dengan cara lain ini telah mengalami berbagai perubahan, seiring dengan perkembangan teknologi yang dapat dipergunakan untuk memperlancar pelunasan bea meterai. Terakhir, ketentuan mengenai pemeteraian dengan cara lain diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tanggal 28 April 2000 sebagai berikut:

1) Pemeteraian dengan cara lain dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

a. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan mesin teraan meterai;

b. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan teknologi percetakan; atau c. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan sistem komputerisasi

2) Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain harus mendapat ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak.

3) Hasil pencetakan tanda Bea Meterai Lunas harus dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak;

Pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan menggunakan teknologi percetakan dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dan/atau Perusahaan sekuriti yang mendapat ijin dari Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) yang di tunjuk oleh Bank Indonesia.

4) Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang tercetak pada dokumen yang tidak terutang Bea Meterai ataupun yang belum digunakan untuk mencetak tanda Bea Meterai Lunas, dapat dialihkan untuk penggunaan berikutnya.

5) Penerbit dokumen dengan tanda Bea Meterai Lunas yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi harus melunasi Bea Meterai yang terutang berikut dendanya 200 % (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan cara menyetorkannya ke Kas Negara atau Bank Persepsi.

6) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan Meterai atau dengan menggunakan meterai tempel.

1. Tata Cara Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai

Ketentuan pelaksanaan tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 122b/Pj./2000 sebagai berikut :

(17)

a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.

b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.

c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai harus melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Presepsi.

d. Penerbit dokumen yang mendapatkan ijin penggunaan mesin teraan meterai mempunyai kewajiban sebagai berikut :

(1) Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan.

(2) Menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat satu bulan setelah mesin teraan meterai tidak dipergunakan lagi atau terjadi perubahan alamat/tempat kedudukan pemilik/pemegang ijin penggunaan mesin teraan meterai.

e. Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

f. Bea meterai yang belum dipergunakan karena mesin teraan meterai rusak atau tidak dipergunakan lagi, dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai lain atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan ataupun dengan sistem komputerisasi.

g. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.

h. Penggunaan mesin teraan meterai tanpa ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

(18)

i. Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian dari deposit yang disetor dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 200 % dari Bea Meterai kurang bayar, dan pencabutan ijin penggunaan mesin teraan meterai.

j. Penggunaan mesin teraan meterai yang melewati masa berlakunya ijin yang diberikan, dikenakan sanksi pencabutan ijin.

k. Penyampaian laporan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan ijin.

Seiring dengan perkembangan teknologi digital pada berbagai perlatan perkantoran, termasuk dalam teknologi mesain tera, maka untuk mengantisipasi perkembangan teknologi tesebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 45/Pj/2008 Tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital.

Pada prinsipnya hal-hal yang diatur dalam peraturan ini sama dengan hal-hal yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 122b/Pj./2000 tanggal 29 Oktober 2009.

Namun terdapat beberapa hal baru yang diatur antara lain :

a. Aplikasi Kode Deposit; adalah aplikasi yang diinstal dalam server milik distributor Mesin Teraan Meterai Digital yang ditempatkan pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang berfungsi sebagai penerbit Kode Deposit Mesin Teraan Meterai Digital setelah mendapat informasi hasil verifikasi pembayaran deposit dari Aplikasi e- meterai;

b. Aplikasi e- meterai adalah aplikasi yang diinstal dalam server milik Direktorat Jenderal Pajak yang melayani pendaftaran Mesin Teraan Meterai Digital, verifikasi pembayaran deposit, dan pelaporan Bea Meterai, yang dapat diakses melalui portal intranet Direktorat Jenderal Pajak, c. Petugas Kantor Pelayanan Pajak meneliti dan meng-input data yang disampaikan oleh wajib

Pajak ke Aplikasi e- meterai.

d. Petugas Kantor Pelayanan Pajak mencetak Surat Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital dari Aplikasi e- meterai.

e. Wajib Pajak setelah membayar deposit Mesin Teraan Meterai Digital akan memperoleh Kode Deposit paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal pembayaran deposit dilakukan.

f. izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital berlaku selama 4 (empat) tahun sejak tanggal ditetapkan, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

g. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan akan berakhirnya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital. Surat

(19)

pemberitahuan tersebut dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lambat 1 (satu) bulan sebelum batas waktu berakhirnya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital.

h. Apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan Wajib Pajak tidak melakukan perpanjangan izin pembubuhan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengirim Surat Teguran kepada Wajib Pajak paling lambat 5 (lima) hari sejak berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan.

i. Wajib Pajak yang tidak melakukan perpanjangan izin pembubuhan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak tanggal pengiriman Surat Teguran, dikenakan sanksi penangguhan perpanjangan izin pembubuhan selama 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital.

j. Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital harus diterbitkan paling lambat akhir bulan setelah bulan berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan.

k. Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital diatur sebagai berikut:

1) Apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital Wajib Pajak belum juga melakukan perpanjangan izin pembubuhan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengirim Surat Teguranpaling lambat 5 (lima) hari sejak berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan.

2) Wajib Pajak harus menindaklanjuti Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada huruf C yaitu dengan melakukan perpanjangan izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak tanggal Surat Teguran dikirim.

3) Apabila Wajib Pajak tidak menindaklanjuti Surat Teguran sampai dengan batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf D, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengenakan sanksi penangguhan perpanjangan izin pembubuhan selama 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital.

(20)

4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus nnencrbitkan Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital kepada Wajib Pajak paling lambat akhir bulan setelah bulan berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan Mesin Teraan Meterai Digital yang telah selesai masa penangguhan perpanjangan izin pembubuhannya, dapat digunakan lagi oleh Wajib Pajak.

5) Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal pajak ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai sepanjang mengatur tata cara pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Manual, dinyatakan masih berlaku sampai dengan tanggal 28 April 2010.

6) Saldo deposit yang masih tersisa karena Mesin Teraan Meterai Manual yang digunakan sampai dengan tanggal 28 April 2010 belum habis, dapat dialihkan ke setoran jenis pajak yang lain dengan cara pemindahbukuan (Pbk).

Prosedur pengalihan saldo deposit diatur sebagai berikut:

a) Wajib Pajak harus mengajukan Surat Permohonan Pengalihan Deposit kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan:

- Mencantumkan jumlah saldo deposit yang akan dialihkan, dan

- Memberitahukan perhitungan ke setoran pajak yang lain untuk dilakukan pemindahbukuan atas saldo deposit yang akan dialihkan.

b) Untuk mengetahui jumlah saldo deposit yang dialihkan Petugas Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan penelitian fisik dan administrasi terhadap Mesin Teraan Meterai Manual yang hasilnya dibuatkan Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam lampiran 10 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.5/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai.

c) Berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada huruf b Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Pengalihan Saldo Deposit Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam lampiran 13 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.5/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai.

(21)

d) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menyelesaikan pemindahbukuan (Pbk) terhadap saldo deposit yang dialihkan dan mengirimkan Surat Pengalihan Saldo Deposit Bea Meterai paling lambat 10 (lima) hari kerja sejak Surat Permohonan Pengalihan di terima lengkap oleh Kantor Pelayanan Pajak.

l. Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 29 April 2008.

2. Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Teknologi Percetakan.

Ketentuan pelaksanaan tentang tata cara pelunasan bea meterai dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan tekonologi percetakan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor Kep - 122c/Pj./2000 sebagai berikut :

a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.

b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan enggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Presepsi.

c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan, harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.

d. Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laporan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

(1) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai atau dengan menggunakan meterai tempel.

(2) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sejak tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai atau dengan

(22)

menggunakan meterai tempel dengan ditambah denda administrasi sebesar 200%

dari Bea Meterai kurang bayar tersebut.

(3) Pelunasan denda administrasi seperti tersebut pada ayat (2) di atas dilakukan dengan menyetorkan ke Kas Negara melalui Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

(4) Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang tercetak pada cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang belum dipergunakan dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan Meterai, pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas lainnya dengan teknologi percetakan atau pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi.

(5) Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.

e. Penerbit dokumen yang melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan tanpa ijin tertulis Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai.

f. Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) atau perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas tanpa adanya ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang- undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pencabutan ijin penunjukan sebagai pelaksana pembubuhan tanda BeaMeterai Lunas dengan teknologi percetakan.

g. Penyampaian laporan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan ijin penunjukan sebagai pelaksana pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan.

3. Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem Komputerisasi

Ketentuan Pelaksanaan Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Sistem Komputerisasi Diatur Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 122d/PJ./2000 Tanggal 1 Mei 2000 sebagai berikut::

a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah

(23)

uang sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata peMeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.

b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi, harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.

c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Presepsi.

d. Penerbit dokumen yang mendapatkan ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi harus menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.

e. Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pe meteraian 1 (satu) bulan berikutnya.

f. Penerbit dokumen yang mempunyai saldo Bea Meterai kurang dari estimasi kebutuhan satu bulan, harus mengajukan permohonan ijin baru dengan terlebih dahulu melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar kekurangan yang harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan 1 (satu) bulan.

g. Bea Meterai yang belum dipergunakan karena sesuatu hal, dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai, atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan.

h. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai sebagaimana dimaksud ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.

i. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi tanpa ijin tertulis Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 ndang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea.

j. Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian dari pembayaran di muka yang dilakukan, dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 200 % dari Bea Meterai kurang bayar.

k. PembubuhanTanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisai yang melewati masa berlakunya

ijin yang diberikan, dikenakan sanksi pencabutan ijin.

(24)

l. Penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal Pajak yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan ijin.

C. Akibat Apabila Ketentuan Cara Pelunasan Bea Meterai Tidak Dipenuhi

Pelunasan bea meterai, baik dengan menggunakan benda bea meterai maupun dengan cara lain, harus memenuhi ketentuan yang telah dikemukakan di atas. Apabila ternyata ketentuan pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, maka dokumen tersebut dinyatakan tidak ber meterai dan tentunya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Undang-Undang bea meterai dengan tegas menentukan apabila ketentuan tentang cara pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, maka berlaku ketentuan di bawah ini.

1) Dalam hal pemenuhan dengan menggunakan benda bea meterai tidak memenuhi ketentuan, maka dokumen yang bersangkutan dianggap tidak ber meterai (Pasal 7 ayat (9) UU Bea Meterai).

Hal ini berakibat akan dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak dibayar.

2) Dalam hal pemenuhan dengan menggunakan mesin teraan meterai atau cara lainnya sebagaimana dimaksudkan dalm Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Bea Meterai dilakukan tanpa izin, maka berdasarkan Pasal 14, perubahan tersebut merupakan kejahatan sehingga dapat diancam dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.

D. Benda Meterai yang Saat Ini Masih Berlaku di Indonesia

Benda meterai yang saat ini masih berlaku di Indonesia sebagai sarana pelunasan bea meteai adalah benda meterai desain tahun 2005, yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April 2005. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 adalah peraturan tersebut pada dasarnya hanya mengubah ketentuan tentang meterai tempel, yaitu mengganti meterai tempel desain tahun 2002 dengan desain tahun 2005. hanya saja ternyata dalam ketentuan penutup peraturan tersebut menyatakan bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 323/KMK.03/2002 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti dasar hukum pemberlakuan kertas meterain desai tahun 2002 juga dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 tentunya kurang sesuai dengan UU Bea Meteai yang menentukan bahwa kertas meterai juga merupakan sarana pelunasan bea meterai terutang. Oleh karena inu, Menteri Keuangan kemudian melakukan perubahan atas aturan dimaksud dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

(25)

90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005, yang ditetapkan tanggal 5 Oktober 2005 dan berlaku pada tanggal ditetapkan.

Peraturran Menteri Keuangan Nomor 90/OMK.03/2005 mengubah Pasl 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 sehingga menjadi berbunyi: “Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 323/KMK.03/2002, tentang Bentuk, Ukuran, dan Warna Benda Meterai Desain Tahun 2002, sepanjang yang mengatur mengenai meterai tempel dinyatakan tidak berlaku.” Dengan demikian, sebenarnya ketentuan tentang kertas meterai yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 323/KMK. 03/2002 tetap berlaku.

Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 memberikan kepastian hukum tentang tetap berlakunya kertas meterai sebagai sarana pelunasan bea meterai terutang. .

E. Pengadaan dan Pengeloaan Benda Meterai

Pengadaan, Pengelolaan, dan penjualan benda meterai tidak dilaksanakan sendiri oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang mengelola pajak pusat, melainkan diserahkan kepada instansi lain yang dipandang berkompeten dalam hal pengadaan maupun pengelolaan dan penjualan benda meterai. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1986 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Benda Meterai yang ditetapkan pada tanggal 5 Juni 1986 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Dalam peraturan pemerintah tersebut disebutkan bahwa pencetakan dalam rangka pengadaan benda meterai dilaksanakan oleh Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Tata cara dan persyaratan pencetakan benda metera diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Sementara itu, pengelolaan dan penjualan benda meterai dilaksanakan oleh Perum Pos dan Giro. Tata cara dan persyaratan pengelolaan dan penjualan benda meterai diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

Saat ini tata cara dan persyaratan pengelolaan dan penjualan benda meterai diatur oleh Menteri Keuangan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nimor 133a/KMK.04/2000 tentangPengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Benda Meterai, dan ditetapkan tanggal 28 April 2000 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 2000. sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut pencetakan dalam rangka pengadaan benda meterai dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (Perum) Percatakan Uang Republik Indonesia (Perurit). Hasil pencetakan benda meterai dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Tata cara dan persyaratan pencetakan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak. Adapun pengelolaan dan penjualan benda meterai dilaksanakan oleh PT Pos Indonesia dan atau badan usaha lain yang ditunjuk. Hasil penjualan dan persediaan Benda Materai dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak.

(26)

Sebagai imbalan atas perannya mengelola dan menjual benda meterai maka kepada PT Pos Indonesia diberikan provisi atas penjualan benda meteai. Besarnya provisi penjualan benda meterai ditetapkan oleh Direktur Jendersl Pajak. Untuk melaksanakan ketentuan ini Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 448/PJ./2000 tanggal 17 Oktober 2000 tentang Besarnya Provisi Penjualan Benda Meterai. Dalam keputusan tersebut diatur provisi penjualan benda meterai desain tahun 2000 kopur Rp. 3.000,00 dan Rp.6000,00 sebesar Rp.110,00 (seratus sepuluh rupiah) per lembar/keping. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2000.

Benda meterai yang tidak berlaku lagi dan benda meterai yang rusak, cacat, atau kotor sehingga tidak jelas lagi ciri-ciri keasliannya dimusnahkan berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan Tata cara pemusnahan benda meterai ditetapkam oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pelaksanaan pemusnahan dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang terdiri dari unsur Direktur Jenderal Pajak, PT Pos Indonesia, dan Perum Peruri. Biaya pemusnahan dibebankan pada mata anggaran Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

F. Pengawasan Terhadap Pengelolaan dan Penjualan Benda Meterai

Sehubungan dengan pengelolaan dan penjualan pada meterai milik Direktorat Jenderal Pajak yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia ( Persero ), Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Pajak NOMOR SE - 23/PJ.53/2003Tentang Pengelolaan dan Panjualan Benda Meterai pada tanggal 17 September 2003. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa PT Pos Indonesia ( Persero ) mempunyai kewajiban antara lain :

1. Menjual benda meterai dan menyetorkan seluruh uang hasil penjualannya setiap hari ke rekening giro atas nama kas negara c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pos Pemeriksa ; dan

2. Menyampaikan laporan bulanan penjualan dan persediaan benda meterai beserta bukti setor uang hasil penjualan, yang dapat berupa Surat Setoran Pajak (SSP) standar bagi Kantor Pos Pemeriksa yang belum on line atau SSP khusus bagi Kantor Pos Pemeriksa yang sudah on line, kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pos Pemeriksa, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Dalam rangka pengawasan terhadap kewajiban PT Pos Indonesia (Persero) tersebut.

3. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pos Pemeriksa wajib melaksanakan hal-hal di bawah ini:

1) Mencocokan jumlah penjualan benda meterai yang tercantum pada laporan yang disampaikan Kantor Pos Pemeriksa dengan lembar ketiga SSP standar atau SSP khsus atas

(27)

hasil penjualan benda meterai dan meneliti MAP/kode jenis pajak dan kode jenis storan yang tercantum pada SSP tersebut.

a) Mencocokan bukti setor atas hasil penjualan benda meterai yang dilaporkan oleh Kantor Pos Pemeriksa dengan lembar kedua SSP standar atau SSP khusus dari KPKN;

b) Menatausahakan laporan penjualan benda meterai beserta bukti setor atas hasil penjualan benda meterai dengan baik.

4. Kantor Pelayanan Pajak wajib menyampaikan surat teguran kepada Kantor Pos Pemeriksa dalam hal:

a) Kantor pos pemeriksa belum menyampaikan laporan bulanan penjualan dan persediaan beda meterai sampai dengan batas waktu yang ditentukan; dan atau

b) Kantor pos pemeriksa tidak menyetorkan hasil penjualan benda meterai setiap hari ke rekening giro atas nama kas negara c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pos Pemeriksa.

5. Dalam rangka meneliti kebenaran laporan bulanan penjualan dan persediaan benda meterai dan memantau persediaan benda meterai di wilayah kerjanya, Kantor Pelayanan Pajak bersama- sama dengan Kantor Pos Pemeriksa wajib melakukan verifikasi atas penjualan dan pesediaan benda meterai, dengan ketentuan sebagai berikut.

 Verifikasi penjualan dan persediaan benda meterai dilakukan secara berkala setiap tiga bulan sekali (setiap triwulan) paling lambat 21 hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.

 Hasil verifikasi penjualan dan pesediaan benda meterai dicantumkan dalam berita acara yang ditandatangani kedua belah pihak dan dituangkan dalam laporan Verifikasi Penjualan dan Persediaan Benda Meterai.

 Berita acara dan laporan Verifikasi Pejualan dan Pesediaan Benda Meterai disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP dengan tembusan disampaikan kepada Manajemen Prangko dan Meterai PT Pos Indonesia (Persero) dan Direktur PPN dan PTLL paling lambat akhir bulan pada bulan dilakukannya verifikasi.

6. Kepala Kantor Wilayah DJP wajib mengawasi pelaksanaan veifikasi penjualan dan persediaan benda meterai di wilayah kerjanya dan wajib menyampaikan Laporan Triwulanan Penjualan dan Persediaan Benda Meterai kepada Direktur PPN dan PTLL paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya Laporan Verifikasi Penjualan dan Persediaan Benda Meterai. Hal ini perlu dipahami dan dilaksanakan oleh pejabat pajak terkait demi tertib administrasi pengelolaan benda meterai.

(28)

G. Pemeteraian Kemudian

Pemeteraian kemudian merupakan salah satu cara pelunasan bea meterai selain pelunasan dengan menggunakan benda meterai dan pelunasan dengan cara lain. Hal ini untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 yang menyatakan : Pemeteraian kemudian dilakukan atas:

a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.

b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya.

c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.

d.

1. Ketentuan Pelaksanaan Pemeteraian kemudian

Ketentuan pelaksanaan tentang pemeteraian kemudian diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 476/Kmk.03/2002 Tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 19 November 2002 sebagai berikut:

a. Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen sebagaimana dimaksud pasal 10 UU Bea Meterai dengan menggunakan meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan harus disahkan oleh Pejabat Pos.

b. Lembar kesatu dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak yang digunakan untuk pemeteraian kemudian harus dilampiri dengan daftar dokumen yang dimeteraikan kemudian dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Setoran Pajak dimaksud.

c. Pengesahan atas pemeteraian kemudian dapat dilakukan setelah pemegang dokumen membayar denda :

1) Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya, wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi.

2) Dalam hal pemeteraian kemudian atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia, baru dilakukan setelah dokumen digunakan, maka pemegang dokumen wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang.

3) Denda sebagaimana dimaksud dalam a) dan b) dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

d. Besarnya Bea Meterai yang harus dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian adalah:

1) Atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan.

Gambar

Gambar 1: Skema Surat
Tabel 1 Perbandingan Tarif Bea Meterai dari Waktu ke Waktu

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Diagram Konteks yang sedang berjalan pada INDIGO MOBILE PHONE adalah sebagai berikut : Sist.Informasi Penjualan dan Pemasaran Handphone Berjalan KONSUMEN

(1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dilakukan dengan membubuhkan Meterai Tempel yang sah

(4) Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak

Nomor 133b/KMK.04/2000 tanggal 28 April 2000 tentang Pelunasan Bea Meterai Dengan Menggunakan Cara Lain dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-122c/PJ/2000 tanggal 1

(1) Pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dilakukan dengan membubuhkan Meterai Tempel

(1) Bagian dari penerimaan pajak meterai (Aturan bea meterai 1921, Staatsblad 1921 Nomor 498 yang terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1959, Lembaran-Negara

Tesis ini terbagi ke dalam 5 bab yang seluruhnya terdiri dari, bab I berisi latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema mengenai JFC, identitas Kota Jember,

Pengembangan aplikasi SIPD berbasis Web mempunyai peranan SIPD Kabupaten merupakan subsistem dari Sistem Provinsi, dan Provinsi Merupakan Susbsistem dari Sistem Pusat