• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1 Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1 Universitas Sumatera Utara"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak diperkenalkannya fotografi pada tahun 1826, pada saat itu fotografi dikenal sebagai kajian ilmu yang sangat baru dan awam bagi masyarakat dunia.Seiring berjalannya waktu dan dengan teknologi digital saat ini yang telah berkembang pesat membuat siapa saja bisa memotret, baik itu laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan bahkan anak-anak bisa menjadi seorang fotografer.Fotografi dapat memberikan banyak kisah atas berbagai momen yang terjadi, baik secara pribadi dan kemudian dipajang di media sosial, maupun menjadi sebuah karya foto yang bernilai jurnalistik dan dimuat di media masa.Selain dapat membekukan sebuah momen dan kejadian, fotografi juga dapat menjadi alat komunikasi.One Picture More Than a Thousand Word adalah istilah dalam dunia fotografi yang menjelaskan bahwa dengan sebuah foto kita dapat mengkomunikasikan beribu-ribu makna, baik itu foto landscape, macro, still life, human interest dan foto jurnalistik pastinya mempunyai pesan-pesan dan makna sendiri yang ingin dikomunikasikan kepada orang yang melihat foto-foto tersebut.

Secara etimologi, fotografi berasal dari bahasa inggris, yakni photography, sedangkan kata photography berasal diadaptasi dari bahasa Yunani, yakni photos yang berarti cahaya dan graphein yang berarti gambar atau menggambar.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian fotografi secara harfiah, fotografi bermakna “menggambar dengan cahaya”. Pengertian “menggambar dengan cahaya” ini dikemukakan oleh John Hedgecoe dalam bukunya yang berjudul Jhon Hedgecoe’s Complete Guide to Photography; A Step-by-Step Course from The World’s Best-Selling Photographer. Ia menyatakan bahwa, “The Words

“photography” means drawing with light” (Gani, 2013: 7).

Fotografi secara teknik adalah mengetahui cara-cara memotret dengan benar, mengetahui cara-cara mengatur pencahayaan, mengetahui cara pengolahan gambar yang benar, dan semua yang berkaitan dengan fotografi sendiri.

Sedangkan fotografi sebagai karya seni mengandung nilai estetika yang mencerminkan pikiran dan perasaan dari fotografer yang ingin menyampaikan

(2)

pesannya melalui gambar atau foto (Sudjojo, 2010: 6). Fotografi bukan hanya persoalan teori tentang bagaimana memotret saja karena akan menghasilkan karya foto yang kaku, dan membosankan. Fotografi harus memadukan antara teknik memotret dan juga seni memotret agar hasil yang ditangkap oleh kamera akan terlihat lebih indah dan berseni. Jika dalam seni lukis menggunakan tinta dan kuas, dalam fotografi menggunakan cahaya dan kamera.

Saat membahas tentang media massa, baik itu media massa cetak, elekronik maupun online, tidak bisa dilepaskan dari unsur fotografi didalamnya lebih spesifik lagi yaitu fotografi jurnalistik. Dengan perkembangan media massa yang pesat memicu setiap orang untuk membuat dan mendapatkan foto yang bagus dari media pilihannya. Meskipun jurnalistik tulis lebih dulu hadir dibandingkan jurnalistik foto namun dalam perkembangannya jurnalistik foto sangatlah cepat. Fungsi foto dalam media cetak bukan hanya sebagai ilustrasi sebuah berita. Namun, penyajian foto dalam surat kabar telah membuat pemberitaan menjadi lebih lengkap, akurat dan menarik, karena foto digunakan untuk menyalurkan ide, berkomunikasi dengan masyarakat, memengaruhi orang lain, hingga menghadirkan kenangan lama. Foto dalam media massa tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap pesan yang ingin disampaikan komunikator, tapi ia merupakan pesan itu sendiri. Sebuah foto yang disajikan dalam surat kabar tidak lepas dari tujuan jurnalistik, yaitu menyebarkan berita seluas-luasnya.

Banyak orang yang mendefinisikan bahwa suatu foto yang telah dimuat di sebuah surat kabar atau media massa adalah foto jurnalistik meskipun hanya selembar pas foto seorang dalam berita kehilangan. Tidak semua foto bernilai berita dan tidak semua foto bernilai berita disebut foto jurnalistik, ada beberapa unsur yang harus dimiliki sebuah foto agar bisa disebut sebagai fotografi jurnalistik. Wijaya (2011: 10) mendefinisikan apa yang dimaksud dengan fotografi jurnalistik adalah foto yang bernilai berita atau foto yang menarik bagi pembaca tertentu, dan informasi tersebut disampaikan kepada masyarakat sesingkat mungkin. Definisi oleh Wijaya tesebut menjelaskan bahwa ada pesan tertentu yang terdapat dalam foto sehingga layak untuk disiarkan kepada masyarakat.Seorang jurnalis foto hendaklah mampu menggabungkan antara keahlian membuat laporan investigasi dan membedakan dengan penulisan

(3)

feature.Sedangkan menurut Guru Besar Universitas Missouri, Amerika Serikat, AS, Cliff Edom, foto jurnalistik adalah paduan kata (words) dan gambar (pictures). Namunsecara umum, foto jurnalistik merupakan gambar yang dihasilkan lewat proses fotografi untuk menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita suatu peristiwa yang menarik bagi publik dan disebarluaskan lewat media massa.

Pemuatan sebuah foto di media massa cetak tidak terlepas dari fungsi media cetak. secara umum, fungsi fotografi jurnalistik di media cetak sejalan dengan fungsi pers, seperti yang disampaikan oleh Effendy (1993: 93), yaitu untuk menyiarkan informasi, mendidik, menghibur, dan memengaruhi. Sedangkan Thomas Elliot Berry dalam bukunya Journalism In America an Introductions to The News Mediayang dikutip dari Gani (2013: 60) menyebutkan lima fungsi dasar sebuah foto jurnalistik dalam sebuah surat kabar, yaitu: To communicate the news, yaitu untuk mengkomunikasikan berita. To generate interest, yakni untuk menimbulkan minat. To give another dimension to a news worthy figure, yakni untuk menonjolkan dimensi lain dari orang yang diberitakan. Berita mengenai seseorang bisa mempunyai makna lain ketika disertai dengan foto. To make a brief but important anouncement, yaitu untuk menyingkat berita tanpa mengurangi arti dari berita. Dan To make a page attractive, yakni penghias halaman media cetak sehingga menciptakan ciri tersendiridari sebuah media cetak.

Sebagaimana dengan jurnalistik tulis yang mempunyai kode etik untuk mengatur dan membimbing wartawan agar lebih bertanggung jawab menjalankan profesinya yaitu mencari dan menyajikan informasitidak berbeda dengan jurnalistik tulis, jurnalistik foto juga mempunyai kode etik yang mengaturnya.Secara sederhana, etika adalah baik buruknya tingkah laku manusia.Alex Sobur mendefinisikan etika sebagai nilai-nilai, norma-norma, dan asas-asas moral yang dipakai sebagai pegangan yang umum diterima bagi penentuan baik-buruknya perlaku manusia atau benar-salahnya tindakan manusia sebagai manusia.Makna etika ini sejatinya menjadi sebuah batasan bagi setiap individu yang berprofesi sebagai fotografer terutama jurnalis foto untuk

(4)

membatasi dirinya dari berbagai tindak kecurangan, baik sisi kecurangan dalam pengambil foto, pengeditan foto dan kode etik foto jurnalistik.

Dalam kaitannya dengan kegiatan fotografi, etika dapat didefnisikan sebagai peraturan baik dan buruknya tingkah laku fotografer dalam melaksanakan tugas, baik dengan dirinya sendiri, birokrasi, masyarakat maupun dengan lingkungannya. Dengan demikian, ada aturan yang membatasi ruang gerak fotografer dilapangan, terutama batasan yang ditentukan oleh norma, nilai moral dan hati nurani. Jurnalis foto merupakan sebuah profesi dan sebagai sebuah profesi dalam melaksanakan tugasnya jurnalis foto tidak bisa lepas dari aturan yang memandunya. Profesi(Sobur, 2001: 81) mengandung arti suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut adanya: Pengetahuan yang luas, pengabdian untuk kepentingan orang banyak, organisasi atau asosiasi profesi, pengakuan dari masyaakat dan mempunyai kode etik

Dengan pengertian dari profesi tersebut, dalam menjalankan profesinya seorang jurnalis foto terikat dengan kode etik yang salah satunya dibuat oleh Pewarta Foto Indonesia (PFI).Kode etik tersebut disahkan pada Kongres II PFI 1 Desember 2007.

Pelanggaran kode etik fotografi jurnalistik ini bisa saja dilakukan oleh semua jurnalis foto baik itu jurnalis foto profesional maupun jurnalis amatir.Contoh kasus pelangaran kode etik yang pernah terjadi pada kontributor foto lepas (freelance) dari Reuters yang melakukan retouch pada fotonya untuk memberikan kesan dramatis. Kasus lain terkait dengan pelanggaran etika foto jurnalistik adalah kasus yang melibatkan jurnalis foto senior, Bryan Walsky dari LA Time. Bryan menggabungkan dua buah foto mengenai perang Irak menjadi satu untuk mendapatkan hasil foto yang dramatis dan mengirimkannya untuk dimuat di media tempatnya bekerja.Namun kejanggalan foto tersebut berhasil ditemukan oleh salah seorang editor yang kemudian membongkar kecurangan yang dilakukan Walsky.

Perkembangan media massa yang sangat pesat pada saat ini, memunculkan banyak kantor berita sehat maupun tidak sehat dan kantor berita yang layak untuk dikonsumsi masyarakat maupun tidak. Dengan banyaknya kantor berita saat ini ada banyak pula pelanggaran-pelangaran kode etik baik itu pelanggaran pada

(5)

koran yang sehat ataupun koran kuning yang tidak terjamah oleh Dewan Pers sehingga koran tersebut bebas dikonsumsi oleh masyarakat. Koran kuning bisa dikatakan “jurnalisme kuning” (yellow journalism). Menurut Campbell,

“jurnalisme kuning” sebagai surat kabar, majalah, yang memiliki banyak kolom headline di halaman depan dan mencakup berbagai topik, seperti olahraga, dan skandal. Biasanya judul headline menggunakan layout tebal (Liliweri, 2011: 930).

Di Indonesia setiap daerah seperti, Jakarta, Bandung, Jogja dan daerah- daerahnya lainnya pasti mempunyai koran kuning yang aktif setiap harinya memberikan berita-berita yang ada pada daerahnya. Begitu juga dengan Kota Medan, Kota Medan mempunyai banyak koran kuning yang aktif seperti Harian Metro 24 dan Harian Pos Metro. Sebuah survei yang dilakukan oleh Roy Morgan Research pada bulan Juni 2013 yang menunjukkan koran Pos Metro rata-rata readership-nya per hari adalah 451.000 orang, hasil tersebut membuat Pos Metro merupakan koran yang paling banyak dibaca di Sumatera Utara. Setidaknya angka ini menunjukkan realita bahwa pembaca koran di Medan khususnya masih menyukai suratkabar dengan tampilan peristiwa dan konten bahasa yang vulgar, sarkas serta jauh dari etika berbahasa Indonesia yang sopan, baik dan benar.

Dalam suatu kesempatan, peneliti membaca salah satu terbitan Pos Metro.

Pos Metro yang pada awalnya bernama Radar Medan pada saat pertama kali terbit tanggal 1 Januari 2000, namun pada tanggal 1 Oktober 2001 mengganti nama menjadi Pos Metro hingga saat ini. Pos Metro merupakan surat kabar harian yang terbit di Sumatera utara dengan format hukum dan kriminal.

Pos Metro sebagai salah satu surat kabar yang cukup dikenal oleh masyarakat kota medan, seharusnya mempunyai wartawan yang mematuhi semua peraturan mengenai pers seperti Undang-undang dan Kode Etik Jurnalistik untuk menjaga kredibilitas harian Pos Metro tersebut. Namun, peneliti menemukan beberapa hal menarik ketika membaca harian Pos Metro edisi 3 Maret 2016.

Dalam headline di edisi tersebut, peneliti melihat sebuah foto berita kecelakaan antara dua pengendara sepeda motor.

Foto yang ditampilkan tersebut tanpa adanya sensor sehingga kita dapat melihat jelas bagaimana jasad korban kecelakaan tersebut. Menurut peneliti, menampilkan foto sadis tanpa adanya sensor adalah sebuah pelanggaran Kode

(6)

Etik Jurnalistik, khususnya pasal 4 yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Kemudian peneliti juga melihat sebuah berita di Pos Metro edisi 4 Maret 2016.Ada salah satu foto berita pencabulan terhadap seorang anak dibawah umur yang menampilkan identitas anak tersebut tanpa adanya sensor. Menampilkan identitas seseorang korban tindak asusila dibawah umur merupakan suatu bentuk pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pasal 5, yang dimana pasal 5 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Berangkat dari berbagai uraian diatas dan banyaknya pelanggaran- pelanggaran kode etik Jurnalistik, peneliti tertarik untuk menganalisis pelanggaran-pelanggaran yang tejadi pada koran kuning yang ada pada koran Harian Pos Metro.Ada banyak pelanggaran-pelanggaran kode etik fotografi jurnalistik seperti kesalahan penulisan captions foto, menampilkan foto vulgar, sadis dan cabul yang tidak terjamah oleh Dewan Pers sehingga masyarakat yang membaca koran tersebut mendapatkan berita yang tidak benar, padahal masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan berita yang benar dari pada jurnalis tulis dan jurnalis foto. Peneliti memilih harian Pos Metro karena mempunyai cukup banyak pembaca dan memiliki banyak foto yang dapat dianalisis.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah ini bertujuan untuk upaya membatasi penelitian agar lebih terarah dan tidak terlalu luas namun tetap dalam fokus yang diharapkan dan yang telah ditentukan. Berdasarkan konteks masalah dan uraian diatas, maka fokus masalah yang akan peneliti angkat adalah Analisis Isi Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pada Foto Jurnalistik Harian Pos Metro.

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

(7)

1. Penelitian terbatas pada analisis isi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Pasal 4 dan Pasal 5 pada foto jurnalistik Harian Pos Metro.

2. Penelitian dilakukan dengan menganalisis foto-foto harian Pos Metro terbitan 1 Juli sampai dengan 31 Juli 2016

3. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2016.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui foto-foto berita yang paling sering ditonjolkan atau ditampilkan pada Harian Pos Metro edisi Juni 2016.

2. Mengetahui jumlah foto-foto berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 4 dan Pasal 5 dalam pemberitaan di harian Pos Metro.

3. Mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, khususnya pada Pasal 4 dan Pasal 5, dalam pemberitaan di harian Pos Metro edisi Juni 2016.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan sumber bacaan kepada mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang telah diterima peneliti selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU, serta menambah cakrawala dan wawasan peneliti mengenai fotografi jurnalistik

3. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan kepada siapa saja yang tertarik dengan fotografi jurnalistik.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pencemaran tanah tidak jauh berbeda atau bisa dikatakan mempunyai hubungan erat dengan pencemaran udara dan pencemaran air, sehinngga sumber pencemar udara dan sumber

1) Ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan metode penilaian persediaan pada perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia

Skripsi POLA RESISTENSI Mycobacterium tuberculosis..... ADLN Perpustakaan

Majelis hakim dalam persidangan sudah mendengarkan keterangan terdakwa, saksi- saksi, Jaksa Penuntut Umum dan telah memperhatikan beberapa hal yang memberatkan dan

Since Klaster Berdaya is community-based empowerment program, then PKPU build integrated cage for all goats.. The beneficiaries would take care the goats

[r]

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan untuk mampu berkompetisi di era globalisasi adalah dengan mengintegrasikan TIK ke dalam proses belajar.Salah satu