ANALISIS HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASUH ANAK (STUDI PUTUSAN NO. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
MERRY INDAH CHRISTANTY TUMANGGOR 160200524
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
Merry Indah Christanty Tumanggor ***
Hak asuh adalah kekuasaan orangtua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 1 ayat 11. Hak asuh anak seringkali menjadi permasalahan, sebelum ataupun sesudah perceraian ada pasangan yang setelah bercerai atau sebelum melangsungkan gugatan perceraian telah sepakat terlebih dahulu bahwa mereka tidak akan mempersoalkan mengenai hak asuh anak ini. Tapi tidak sedikit pasangan suami-isteri yang ketika terjadi kasus perceraian sibuk mati-matian untuk mendapatkan hak asuh anak. Maka dengan demikian terjadilah sengketa atau perkara untuk memperebutkan hak asuh anak ini.
Berdasarkan judul skripsi saya yaitu Analisis Hukum Terhadap Perlindungan Hak Asuh Anak Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Kediri No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr.
Permasalahan dalam penelitian ini yang pertama Bagaimana Pengaturan Hukum tentang Hak Asuh Anak menurut Kompilasi Hukum Islam, kedua Bagaimana Pertimbangan Putusan Hakim mengenai Hak Asuh Anak Berdasarkan Putusan No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr dan ketiga, Bagaimana Perlindungan Hukum Yang Diberikan Terhadap Anak Dalam Hal Pengasuhan.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah Yuridis Normatifmengacu pada bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini dan putusan pengadilan agama Kabupaten Kediri No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan editing, klarifikasi, dan sistematisasi data. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan dari pengaturan hukum tentang hak asuh anak dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 105 KHI di dalamnya mengatur mengenai kekuasaan orangtua terhadap anak dengan kriteria anak yang belum memasuki umur 12 tahun akan berada dibawah kekuasaan ibunya dan setelah melewati umur 12 tahun diperbolehkan untuk menentukan pilihannya sendiri apakah ikut ayah atau ibunya. Berdasarkan pertimbangan putusan hakim mengenai Hak Asuh Anak putusan No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr yang telah ditentukan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Kediri diberikan kepada ibunya mengingat anak tersebut saat ini belum mumayyiz yang membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu dan bersedia untuk mengasuh, merawat, mendidik anak agar dapat tumbuh dewasa menjadi anak yang baik dan berakhlak, apabila hak hadhanah jatuh ke tangan ayah ada suatu kekhawatiran yang beralasan karena perilaku ayahnya yang kurang baik akan mempengaruhi secara fisik dan psikologis tumbuh dan kembang anaknya. Dan pemeliharan anak kepada ibunya tentu saja tidak
berkat dan karunia Nya senantiasa menyertai penulis sehingga diberi kesempatan, kesehatan dan kemampuan menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Adapun skripsi ini berjudul “ANALISIS HUKUM TERHADAP PERLIDUNGAN HAK ASUH ANAK (STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA No.2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr)
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, bimbingan, saran dan motivasi dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak Syamsul Rizal, S.H.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan motivasi, waktu, nasihat, dan pembelajaran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini;
8. Bapak Syaiful Azam, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu, nasihat, dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
9. Ibu Wessy Trisna, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Penasihat Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
10. Terimakasih untuk kedua orangtuaku yang penulis sayangin dan banggakan yaitu Bapak Drs. Nangkat Tumanggor dan Mama Junita Hutasoit, S.Pd.
Terimakasih untuk setiap doa dan kasih sayangnya sedari kecil hingga dewasa dan terimakasih juga buat segala motivasi dan nasehatnya dari awal perkuliahan hingga sampai pembuatan skripsi ini dan menjadi penyemangat
dan nasehatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
12. Kepada Oppung Doli dan Oppung Boru terimakasih juga buat motivasinya dalam bentuk pelajaran dan nasehatnya kepada penulis;
13. Kepada teman-teman penulis Yustika Butar-Butar, Esti Pasaribu, Sri Rahmadhany, Razlia Kartika Ayu, Eka Darma, Astri Suryaningsih, Cindy Rizkita, Laila Marliana Siregar, Annisa Erossabila, Dumaria Situmorang, dan Kakak PKK Tioneni Sigiro terimakasih buat nasehat, dan motivasinya selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum USU;
14. Kepada Sahabat penulis Nurleli Purba, Ayu Saragih, Mawar Manurung, Esmi Pandiangan dan Prince Clinton Damanik yang telah membantu dan menyemangatin penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
15. Kelompok Kecil Filadelphia UMK UP FH USU terimakasih buat nasehatnya;
16. Group E FH USU 2016 terimakasih buat canda tawanya dari awal penulis menjalani perkuliahan di FH USU hingga terpisahkan karena pembagian Departemen;
17. Buat IMP FH USU (Ikatan Mahasiswa Hukum Perdata) terimakasih buat kebersamaannya selama penulis menjalani perkuliahan dari bukber, dan kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh IMP;
budel sampai akhirnya memulai persidangan itu semua hal yang tidak mudah karena baru mengenal sifat satu sama lain;
19. Terimakasih kepada teman-teman penulis di Kosan Jalan Gitar No. 7 : Kak Selfi, Febry, Zion, Grace, dan Glory buat canda tawanya;
20. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan doa dan dukungan hingga dapat terselesaikannya skripsi ini;
FILIPI 4:6 : “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak sempurna masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, baik dari isi maupun penyampaiannya.Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, September 2020 Penulis
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latarbelakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penulisan ... 17
D. Manfaat Penulisan ... 18
E. Metode Penelitian ... 19
F. Keaslian Penulisan ... 21
G. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP HAK ASUH ANAK A. Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak di Indonesia ... 24
B. Ketentuan Hukum Mengenai Hak Asuh Anak... 28
1. Dasar Hukum Hak Asuh Anak ... 28
2. Penyebab Hak Asuh Anak ... 32
3. Proses Penyelesaian Hak Asuh Anak… ... 35
C. Akibat Hukum Terhadap Hak Asuh Anak ... 38
1. Kewenangan Orangtua Asuh Dalam Pengasuhan Anak ... 38
2. Yang Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak ... 40
3. Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Hak Asuh Anak ... 50
A. Kasus Posisi ... 54 B. Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Kediri
No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr ... 58 C. Akibat Hukum dari Perceraian Orangtua yang Berdampak
Terhadap Anak dalam Perkara No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr... 61
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ASUH ANAK A. Hak-Hak Anak Yang Dilindungi ... 64
1. Hak-Hak Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak ... 65 2. Hak-Hak Anak Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak ... 68 3. Hak-Hak Anak dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ... 69 B. Perlindungan Hukum Hak Asuh Anak………...76 C. Sanksi Hukum Terhadap Pihak Yang Tidak Dapat Melaksanakan
Kewajiban Dalam Hal Pengasuhan ... 78
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 82
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu lembaga masyarakat yang melegitimasi hidup bersama antara seorang laki-laki dewasa dengan seorang perempuan dewasa dalam suatu rumah tangga (keluarga). Adapun tujuan perkawinan bagi manusia tidak hanya untuk mendapatkan keturunan, tetapi lebih dari itu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin sekaligus yang terpenting adalah melaksanakan perintah agama dan juga membentuk sebuah keluarga.
Pelengkap dari suatu keluarga adalah kelahiran anak, apabila di dalam keluarga telah dikaruniai anak hendaknya keluarga tersebut harus memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani dan jasmani.2
Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Tidak sedikit pasangan suami-isteri yang akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai. Faktor ketidakcocokan dalam sejumlah hal, berbeda persepsi serta pandangan hidup, paling tidak menjadi beberapa penyebab terjadinya perceraian. Saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dari hubungan dengan orangtua dan anak timbul hak dan kewajiban. Hak-Hak dan Kewajiban orangtua terhadap anak diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 1 ayat 11. Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orangtua dalam hal pendidikan, ekonomi, mengasuh, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya.3
Allah menjadikan makhluknya berpasang-pasangan salah satu bentuk turut sertanya dalam mengisi kehidupannya itu adalah perkawinan. Perkawinan merupakan suatu lembaga masyarakat yang melegitimasi hidup bersama antara seorang laki-laki dewasa dengan seorang perempuan dewasa dalam satu rumah tangga (keluarga). Adapun tujuan dari perkawinan bagi manusia tidak hanya untuk mendapatkan keturunan, tetapi lebih dari itu adalah membentuk sebuah keluarga.4
Perkawinan itu erat hubungannya dengan agama, karena itu suatu perkawinan harus dijaga agar didapatkan suatu keluarga yang tenteram dan
berbunyi sebagai berikut : Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin dan rohani juga mempunyai peranan penting: membentuk keluarga yang bahagia yang erat hubungannya dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan dari perkawinan, dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban dari orangtuanya.5
Mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan
“perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.6 Adapun hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan akan tetapi tidak saling bertentangan. Dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa perkawinan menurut undang-undang ini adalah suatu “tujuan ideal yang tinggi dan mencakup suatu pengertian jasmaniah dan rohaniah yang akan melahirkan suatu keturunan. 7
5Soemiyanti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan), cet 1, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm.10.
Dalam suatu perkawinan terdapat ajaran-ajaran tentang hak dan kewajiban antara suami dan istri. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban demikian timbul sebagai akibat dari dilangsungkannya suatu perkawinan. Suami memiliki hak dan kewajiban atas istrinya, demikian pula istri, memiliki hak dan kewajiban terhadap suami. Kewajiban itu salah satunya adalah menyangkut kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai kepala (ibu) rumah tangga. Penegasan suami menjadi kepala keluarga sedangkan istri menjadi ibu rumah tangga itu sebagaimana tercantum dalam pasal 31 ayat 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Kedudukannya sebagai seorang kepala keluarga itulah maka salah satu kewajiban suami yang sekaligus merupakan hak dari seorang istri adalah pemberian nafkah, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :8
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Istri berkewajiban menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
3. Suami wajib membimbing istri dan rumah tangganya, tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami dan istri bersama.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan anak.
5. Suami berkewajiban memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan.
6. Antara keduanya harus saling menghormati, karena ditinjau dari segi kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga dan masyarakat mereka mempunyai kedudukan dan derajat yang sama.
7. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak- anaknya.
8. Kewajiban bantu-membantu antara suami istri bertujuan untuk dapat mengelola rumah tangga supaya tujuan perkawinan dapat tercapai.
9. Antara kedua belah pihak harus saling berkorban, sebab tanpa pengorbanan kedua belah pihak yang masing-masing mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda, maka tujuan luhur dari perkawinan tentu saja sukar untuk dicapai.
10. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan;”
Disamping itu masih ada tugas-tugas kerumahtanggaan (mengelola rumah tangga, melayani suami) yang menjadi tanggungan istri, tetapi ada kalanya dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu mulus, pasti ada kesalahpahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat mengatasinya, namun ada juga keluarga yang tidak dapat mengatasi problematika ini, yang kemudian menyebabkan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, apabila
mengalami penderitaan. Jalan keluar yang baik yakni adanya lembaga perceraian guna mencegah kerusakan lebih parah dari kedua pasangan tersebut dan menghindarkan kerugian yang lebih besar. Sebagaimana halnya dalam perkawinan, turut timbul akibat-akibat hukum tertentu, segala akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian, diantaranya yaitu akibat hukum berkaitan dengan pemberian nafkah kepada istri sebenarnya sudah diantisipasi oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana dalam pasal 41 dinyatakan bahwa:9
“ Akibat Putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya.
b) Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.
Pasal tersebut dapat dilihat sebagai penegasan bahwa suami masih dapat
berubah menjadi mantan istri. Hukum Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.10
Setiap perkawinan dapat dipastikan bertujuan untuk membina suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Tidak ada seorang pun yang telah melangsungkan perkawinan mengharapkan rumah tangga yang telah dibangunnya mengalami perceraian, apalagi di dalam perkawinan itu telah dikarunia anak.
Perceraian yang berasal dari kata cerai adalah “putus hubungan sebagai suami istri”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerai berarti juga
“talak”. Secara bahasa talak berasal dari kata ithlag berarti melepaskan atau
meninggalkan. Sayyid Sabiq, dalam bukunya yang berjudul Figh as-sunnah mendefiniskan talak adalah “membuka atau melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.11
Menurut ketentuan pasal 39 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk dapat melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.12
10Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. 6, (Bandung: Sumur Bandung, 1974), hal 7.
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, atau putusan taklik talak.13Adapun akibat yang terjadi terhadap perceraian adalah anak, dimana anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya sudah meninggal dunia bisa dirawat oleh ayahnya, anak yang belum mumayyiz juga dapat memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
Anak adalah salah satu tujuan dari adanya pernikahan atas suatu perkawinan, yaitu yang dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari rahim seorang wanita, apabila dikaitkan dengan ibu. Bila dikaitkan dengan keduanya atau ibu maupun bapak maka anak adalah seseorang yang dilahirkan setelah adanya pernikahan yang sah antara kedua orangtuanya.14
Kehadiran anak juga di dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orangtua, hubungan itu adalah memberikan hak dan kewajiban antara orangtua dan anak. Kewajiban orangtua dapat dilihat dari ketentuan didalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan :
1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orangtua yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orangtua putus.15
Selanjutnya Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan :
1. Anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik.
2. Jika anak telah dewasa maka ia wajib memelihara menurut kemampuannya orangtua dan keluarga garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.16
Dari kedua pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan timbal balik yang erat yaitu adanya hak dan kewajiban antara orangtua dan anaknya yang tidak akan berakhir walaupun sampai kedua orangtuanya bercerai.
Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orangtua diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menegaskan : “Bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.17
15Lihat Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Perceraian bukan hanya berakibat pada status suami istri dan hartabenda tetapi juga lebih penting adalah terhadap pengasuhan anak. Dapat dikatakan yang paling merasakan akibat suatu perceraian adalah anak. Tak satupun anak yang menginginkan kedua orangtuanya bercerai. Namun demikian bila pilihan itu terjadi pada pasangan yang sudah mempunyai anak dan memutuskan untuk berpisah atau bercerai maka anak harus menjadi pertimbangan utama untuk meminimalkan dampak negatif akibatdari perceraian tersebut. Sistem hukum di Indonesia menempatkan anak pada pilihan yang belum tentu pilihan si anak.
Akibat lembaga peradilan Indonesia masih terpaku pada rumusan bahwa hak pengasuhan anak jatuh ke salah satu pihak.18
Seperti halnya juga yang kita lihat dan kita ketahui bahwa permasalahan hak dan pemeliharaan anak sering timbul dalam kehidupan manusia, sebagai akibat darinya suatu perceraian yang dilakukan kedua orangtuannya. Oleh karena itu, bagi orangtua tentunya menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada didalam asuhannya dan akibat yang lain yang dapat timbulkan salah satu pihak mungkin ada yang merasa lebih berhak untuk mengasuh anak- anaknya. Hal ini bisa terjadi karena yang satu merasa lebih mampu dan lebih baik dari yang lainnya, sedangkan pihak yang lainnya pun merasa demikian juga masing-masing tidak mau mengalah, sedangkan proses negosiasi untuk
mencari penyelesaian damai menemui jalan buntu. Maka dengan demikian terjadilah sengketa atau perkara untuk memperebutkan hak asuh anak.19
Hak asuh anak seringkali menjadi permasalahan, sebelum ataupun sesudah perceraian. Bahkan tak jarang bila antar mantan suami dan mantan isteri saling berebut untuk mendapatkan hak asuh anak. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yaitu hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya. Anak dalam usia belum mumayyiz dianggap belum dapat menentukan pilihannya, sehingga harus diberikan putusan oleh Pengadilan mengenai siapa yang berhak untuk mengasuh dan memeliharanya. Lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga dengan tegas menyatakan bahwa biaya pemeliharaan anak pasca perceraian ditanggung oleh si bapak/ayah. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak, wajib ditanggung oleh si bapak/ayah. Pemenuhan seluruh biaya tersebut, disesuaikan menurut kemampuan si bapak/ayah. Dipenuhi sekurang-kurangnya sampai si anak dewasa, dan dapat mengurus dirinya sendiri (berusia 21 tahun).20
19Dr. Ahmad Zaenal Fanani,SHI.,M.Si,Pembaharuan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di
Selain itu dalam Pasal 156 Undang-Undang Perkawinan, juga dijelaskan bahwaanak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah (pengasuhan) dari ibunya. Jika si ibu tersebut telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah, menurut garis samping dari ibu;
6. Wanita-wanita kerabat sedarah, menurut garis samping dari ayah 7. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
Kemudian, kedewasaan anak dalam hal ini diukur dari usiannya.
Diperkirakan secara psikologis, anak yang berusia 12 tahun (mumayyiz) sudah dapat memutuskan mana yang benar dan salah. Dengan demikian, si anak juga sudah dianggap mampu untuk memutuskan siapa yang akan diikutinya, apakah si ayah atau ibu. Meski demikian, hak memilih si anak (mumayyiz) tersebut tidak bersifat mutlak, karena tetap akan dikaitkan dengan kondisi pihak yang dipilihya. Dengan begitu, Majelis Hakim dapat memberikan putuan berbeda dari yang dipilih anak. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
atau lebih, untuk waktu tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
2. Ia berkelakuan buruk.21
Sedangkan bagi anak yang sudah mumayyiz apabila terjadi perceraian terhadap kedua orangtuannya maka anak tersebut boleh memilih untuk mendapatkan hadhanah baik dari ayah ataupun ibunya (vide pasal 156 huruf (b) KHI).22Tak pernah ada efek positif dari sebuah perceraian dalam situasi tertentu, misalnya suami melakukan kekerasan terhadap isterinya, perceraian bisa jadi merupakan jalan keluar terbaik, namun tetap saja melahirkan sejumlah akibat atau konsekuensi negatif terutama bagi anak. Kebanyakan anak-anak khawatir bila orangtuanya harus bercerai, karena akan berdampak besar terhadap jaminan masa depan mereka sendiri. Mereka mengerti jika orangtuanya bercerai maka tidak akan ada lagi tempat untuk berdiskusi dan yang dapat membantu mereka merengkuh masa depan dan cita-cita kehidupannya.
Karena itu tidak heran bila sebagian besar anak-anak dari korban perceraian sering frustasi dalam menjalani kehidupannya.23
Di lain sisi, anak juga memiliki hak untuk bersama (unifikasi) dengan keluarganya. Anak juga memiliki hak privat untuk bisa bermain, memperoleh informasi, termasuk tentang proses hukum perceraian kedua orangtuanya di pengadilan, jadi anak memiliki hak untuk berpendapat. Ini penting mengingat ke depannya akan memengaruhi pola perkembangan serta pandangan anak terhadap apa yang tengah terjadi pada kedua orangtuannya. Hak asuh anak sebaiknya diberikan kepada pihak yang memiliki waktu luang dalam mengasuh anak. Kemudian secara financial, juga cukup matang untuk memenuhi kebutuhan hidup si anak, termasuk pendidikan. Namun jika hal tersebut tidak disepakati maka proses pengadilan sebagai solusinya.24
Menurut Wahbah Zuhaili, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak25. Anak yang akan diasuh tentunya memiliki persyaratan, antara lain :
1) Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2) Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot.
Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapa pun. 26
Secara normatif yuridis hak pemeliharaan anak apabila terjadi perceraian diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
Dalam hal terjadi perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagi pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.27
Pasal di atas mengatur tentang pemeliharaan anak yang apabila orangtuanya bercerai. Anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun secara hukum dianggap belum dapat menentukan pilihannya, maka hak pemeliharaan anak tersebut adalah hak ibu. Dan apabila anak tersebut sudah mumayyiz atau sudah berumur 12 tahun, secara hukum dianggap sudah mampu menentukan pilihan yang terbaik untuk dirinya, maka diserahkan kepada anak tersebut apakah dia akan memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan dirinya.
Perceraian bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak pengasuhan atas dirinya dari kedua orangtuannya, satu hal yang menjadi ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orangtuanya ketika
perceraian terjadi anak akan menjadi korban utama, bagaimana membantu anak untuk mengatasi penderitaan akibat perpisahan orangtuanya. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtuanya putus.
Walaupun setelah bercerainya kedua orangtua tentunya akan adanya hak hadhanah terhadap si anak kepada ibu maupun ayahnya berdasarkan keputusan yang ditentukan oleh hakim.28
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian Putusan mengenai sengketa hak asuh anak yang telah di Putuskan oleh Pengadilan Agama di Kabupaten Kediri dengan judul penelitian: “Analisis Hukum Terhadap Perlindungan Sengketa Hak Asuh Anak (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaturan Hukum tentang Hak Asuh Anak menurut Kompilasi Hukum Islam?
2. Bagaimana Pertimbangan Putusan Hakim mengenai Hak Asuh Anak Berdasarkan Putusan No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr?
3. Bagaimana Perlindungan Hukum Yang Diberikan Terhadap Anak Dalam Hal Pengasuhan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui Pertimbangan Putusan Hakim mengenai Hak Asuh Anak Berdasarkan Putusan No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr.
3. Untuk mengetahui Perlindungan Hukum Yang Diberikan Terhadap Anak Dalam Hal Pengasuhan.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Memberikan wawasan bagi pengembangan Ilmu Hukum Perdata khususnya hukum keluarga yang berkaitan dengan perlindungan hak asuh anak.
b. Memberikan gambaran mengenai perkawinan khususnya mengenai hak asuh anak.
c. Menambah informasi dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai perkawinan, perceraian, dan hak asuh anak.
2. Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini akan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai putusan Pengadilan Agama yang berhubungan dengan hak asuh anak akibat perceraian.
b. Sebagai bahan referensi bagi lembaga Peradilan sebagai bahan pertimbangan bagi majelis hakim dalam menangani perkara hak asuh anak.
c. Menambah wawasan pembaca mengenai perlindungan terhadap hak asuh anak.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang dibarengi dengan analisa putusan. Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan dengan metode tertentu, bersifat sistematis dan konsisten untuk mengungkapkan kebenaran. Jenis pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder, yaitu:
1. Bahan hukum primer merupakan bahan yang berupa peraturan perundang-undangan, dalam penulisan ini bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat tapi bersifat membahas/menjelaskan buku-buku, artikel dalam majalah/harian. Laporan penelitian, makalah yang disajikan dalam pertemuan ilmiah, dan catatan kuliah.
Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan bahan hukum primer yaitu data yang diperoleh dari Undang- Undang yang terkait dengan perkawinan. Selain itu digunakan juga bahan hukum sekunder yang berupa buku, artikel, makalah, dan lain sebagainya, dan untuk melengkapi bahan hukum sekunder maka dalam hal ini penulis melihat putusan No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr.
Setelah data diperoleh penulis melakukan analisa data dengan membahas permasalahan dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif, dimana data dan informasi yang ada disusun dan di data secara kualitatif untuk memperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dengan demikian hasil penelitian nantinya bersifat deskriptif analisis yang memberikan gambaran atas masalah yang terjadi dengan menguraikan data seteliti mungkin menganalisa hal-hal yang berhubungan dengan “Analisis Hukum Terhadap Perlindungan Hak Asuh Anak Berdasarkan Putusan No.
2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr.
F. Keaslian Penulisan
Proses penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap Perlindungan Hak Asuh Anak (Studi Putusan No.
2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr) sejauh ini pengamatan dan pengetahuan penulis tentang materi yang diangkat pada skripsi ini, belum ada penulis lain yang telah dilakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila dikemudian hari ada judul yang sama sebelum penulisan ini, saya bertanggungjawab sepenuhnya.
G. Sistematika Penulisan
Gambaran isi dan tulisan ini kemudian diuraikan secara sistematis dalam bentuk tahap-tahapan atau bab-bab yang masalahnya akan diuraikan secara tersendiri, tetapi antar satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan.
Keseluruhan sistematis ini berupa satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain dimana di dalamnya terdiri dari (5) bab dan masing-masing bab yang dibagi lagi atas beberapa sub bab yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latarbelakang, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP HAK ASUH ANAK
Dalam bab ini membahas tentang Dasar HukumHak Asuh Anak, Penyebab Hak Asuh Anak, Proses Penyelesaian Hak Asuh Anak, Kewenangan Orangtua Asuh dalam Pengasuhan Anak, dan Tanggungjawab Orangtua Terhadap Hak Asuh Anak.
BAB III : PENYELESAIAN PERKARA HAK ASUH ANAK
BERDASARKAN PUTUSAN No.
2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr
Dalam bab ini membahas tentang kasus posisi, Analisis Hukum Terhadap Putusan No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr, dan Akibat Hukum dari Perceraian Orangtua Berdampak Terhadap Anak Dalam Perkara No. 2738/Pdt.G/2018/PA.Kab.Kdr.
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ASUH ANAK
Dalam bab ini membahas tentang Hak-Hak Anak Yang Dilindungi, Perlindungan Hukum Hak Asuh Anak, dan Sanksi Hukum Terhadap Pihak Yang Tidak Dapat Melaksanakan Kewajiban Dalam Hal Pengasuhan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis berkenaan dengan isi skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
PENGATURAN HUKUM TERHADAP HAK ASUH ANAK
A. Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak di Indonesia
Undang-undang perkawinan mengatur kewajiban orangtua terhadap anak menyangkut beberapa hal yaitu pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan baik.29 Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan si anak, jika terjadi perselisihan antara suami istri mengenai penguasaan anak-anak mereka, pengadilan akan memutuskan tentang siapa yang akan menguasai anak tersebut.30
1. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Menurut UU 1 Tahun 1974 akibat-akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam pasal 41 yang berbunyi:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya-biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.31
Ketentuan dalam UU perkawinan tersebut di atas adalah sejalan dengan ketentuan dalam kompilasi hukum islam yang berdasarkan bahwa kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan oleh ibu dan ayah. 32 Dari ketentuan tersebut, meskipun perkawinan telah bubar, baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka, semata-mata kepentingan anak. Dalam menjalankan perwalian orang tua dituntut untuk tidak melalaikan kewajibannya dan harus berkelakuan baik. Jika tidak demikian, maka kekuasaan perwalian dapat dicabut dan di samping itu masih tetap harus memberikan biaya pemeliharaan terhadap anak. Meskipun sudah tidak ada ikatan perkawinan lagi antara bekas suami dan istri, bila ternyata bekas istri tidak mampu, maka pengadilan dapat mewajibkan pada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan kepada bekas istri (Pasal 41 sub c).
31Soetojo P, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia, cet 3, (Bandung;
Airlangga University, 1994), hal.121
Dengan ketentuan tersebut kiranya pembentuk undang-undang bermaksud agar bekas istri tidak akan terlantar kehidupannya setelah menjadi janda, di samping bahwa suami yang bermaksud akan menceraikan istrinya harus berpikir terlebih dahulu akan akibatnya yang mungkin timbul dikemudian hari.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam KHI yang diatur pada bab XIV tentang pemeliharaan anak dari pasal 98-106, dan yang mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak jika terjadi perceraian hanya terdapat dalam pasal 105, pasal 105 berbunyi:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.33
Dalam bab XVII tentang akibat putusnya perkawinan bagian ketiga tentang akibat perceraian dalam pasal 156 dijelaskan akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah dan ibunya.
3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah akan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan keputusannya berdasarkan huruf (a),(b),(c) dan (d).
6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak- anak yang tidak urut padanya.34
Hal-hal yang mengatur mengenai keuntungan bagi anak-anak terdapat dalam pasal 231. Dengan perceraian hubungan suami istri terputus, tetapi hubungan dengan anak-anak tidak. Maka, sudah sepantasnya jika segala keutuhan bagi anak-anak yang timbul berhubungan dengan perkawinan orang tuanya tetap ada. Keuntungan hak waris atau dari perjanjian kawin umpamanya jika pada perjanjian kawin ditentukan sesuatu keuntungan bagi si istri maka jika si istri ini meninggal maka anak-anak berhak atas keuntungan yang dijanjikan kepada ibunya. Akibat lain yang dijelaskan adalah :
1) Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri ( Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974).35
B. Ketentuan Hukum Mengenai Hak Asuh Anak
1. Dasar Hukum Hak Asuh Anak
Bahwa secara normatif penyelesaian tentang pengasuhan anak telah diatur dalam Pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal terjadinya perceraian : pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, oleh karena itu pada dasarnya hak ibu (Penggugat) lebih dominan untuk memelihara anak yang belum berusia 12 tahun, sesuai dengan hadis Rasululah SAW, yang artinya : Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan
kekasihnya pada hari kiamat” (Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah) dan pendapat Fugoha’ dalam kitab Bajuri juz II halaman 195 36
Artinya : “Apabila seorang laki-laki bercerai dengan isterinya, dan dia mempunyaianak dari perkawinannya dengan isterinya itu, isterinya lebih berhak untukmemeliharanya.
Bahwa penyimpangan atau pengecualian ketentuan Pasal 105 KHI diatas dapat dibenarkan dengan memahami secara a contrario (mafhum mukhalafah).
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 37
1. Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak ; b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2. Dalam hal orangtua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab, maka kewajibannya terhadap anak dan berkelakuan buruk sekali (vide Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).38
Memahami secara a contrario (mafhum mukhalafah) ketentuan diatas, Undang-Undang ini juga memberi jalan beralihnya kuasa pengasuhan anak dari
36Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah dan pendapat Fugoha dalam kitab Bajuri juz II halaman 195
ibu kepada ayah karena faktor kepentingan anak yang berkenaan dengan pertumbuhan mental spiritual sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. diskriminasi; b. eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; c. penelataran; d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. ketidak-adilan; dan f. perlakuan salah lainnya.
2. Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut di atas, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.39
Berdasarkan Buku II Edisi Revisi 2013 halaman 156 huruf (b) berbunyi:
“Pemeliharaan anak yang belum berusia 12 tahun, dapat dialihkan pada ayahnya, apabila ibu dianggap tidak cakap, mengabaikan atau mempunyai perilaku buruk yang akan menghambat pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan intelektual dan agama si anak” dan ketentuan dalam Pasal 7 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni
Di dalam Pasal 45 Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
1. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.41 Pasal 49 UU Perkawinan:
1. Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
2. Meskipun orangtua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.42
Pasal tersebut diatas menerangkan, terdapat perbedaan antara “hak asuh” dengan “dicabutnya kekuasaan terhadap seorang anak”. Orangtua yang memiliki itikad baik merawat dan membesarkan anaknya, sekalipun “hak asuh”
tidak dianugerahkan oleh pengadilan pada salah satu orangtua tersebut, maka putusan “hak asuh” pada dasarnya non executeable- tidak dapat dieksekusi oleh juru sita pengadilan. Jika putusan tentang hak asuh kontraproduktif terhadap
kepentingan sang anak, maka sejatinya pengadilan telah melanggar hak konstitusional sang anak.
Secara lebih lanjut diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: “Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat : ….b. Menentukan hal- hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak ;”- dengan demikian, ketika salah satu pihak pada faktanya menjamin dan benar-benar merawat, mendidik, dan membesarkan anak dengan penuh tanggung-jawab, maka putusan pengadilan yang tidak memberikan “hak asuh” pada salah satu pihak menjadi tidak lagi relevan. Tujuan dari putusan “hak asuh”, pada filosofinya ialah demi kebaikan sang anak itu sendiri-tidak bisa putusan “hak asuh” justru bertentangan dengan kehendak dan kepentingan anak.43
2. Penyebab Hak Asuh Anak
Perceraian pada umumnya menjadi penyebab utama dalam pengasuhan anak, tidak sedikit kasus perceraian dengan cerita perseteruan yang sangat serius antara suami dan istri pasca perceraian dengan berbagai alasan yang dibuat agar ditetapkan sebagai pemegang hak asuh anak. Hal ini bisa terjadi,
tidak mau mengalah, dan proses negosiasi untuk mencari penyelesaian damai menemui jalan buntu. Maka dengan demikian terjadilah sengketa atau perkara untuk memperebutkan hak asuh anak ini.44
Hukum pemeliharaan anak itu sendiri yaitu hukumnya wajib, sebagaimana wajibnya masih dalam ikatan perkawinan, lain halnya apabila terjadinya sebuah perceraian antara keduanya sehingga harus ditentukan hak hadhanah, sehingga dibutuhkan biaya hidup dalam pemeliharaan anak. Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orangtuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan Negara melalui kebijakan-kebijakan dalam mengayomi anak. Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua si anak telah putus. Bagi anak-anak yang dilahirkan, perceraian orangtuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orangtuanya.45
Dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, dalam hal terjadinya perceraian:
1) Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya
2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayix diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
3) Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya. 46
Pasal-pasal diatas dapat dilihat bahwa ada penegasan kewajiban pengasuhan secara material dan non material adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu, KHI juga menyampaikan bahwa pengasuhan anak tetap menjadi tugas kedua orangtua kendati mereka telah bercerai.
Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa orangtua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orangtua putus. Orangtua juga berhak merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau mengadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.47 Pasal diatas mengindikasikan bahwa anak harus tetap mendapat perlindungan dan
Perceraian dianggap sebagai satu-satunya jalan dan yang terbaik bagi pasangan suami istri, namun tidak demikian halnya dengan anak mereka.
Penguasaan atas anak oleh salah satu pihak bukan berarti menghalangi atau memutus hubungan dengan pihak lain. Penguasaan tunggal atas anak bertujuan untuk menghindarkan anak sebagai korban dalam perceraian itu.
Anak harus diberikan kepastian hukum (rechtzekerheid) agar memiliki kepastian dengan siapa dia diasuh agar tidak terus diperebutkan.48
Dan hak asuh bisa saja jatuh ke tangan ayah atau ibunya tapi yang pasti tidak mudah bagi salah satu pihak yang tidak memenangkan putusan perkara dalam hal pengasuhan anak jika keinginannya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Maka dari itu penulis mencoba memfokuskan pada kajian tentang sikap pengadilan terhadap berbagai sengketa kuasa atas hak penggasuhan anak pasca perceraian serta solusinya.49
3. Proses Penyelesaian Hak Asuh Anak
Dalam Kompilasi Hukum Islam setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan Pasal 156. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12
48Ibid.
tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayahnya atau ibunya. Pasal 156 mengatur pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak mengasuh anaknya. Namun berangkat dari ketentuan tersebut juga seseorang selain dapat mengajukan gugatan cerai juga dapat mengajukan gugatan hak asuh anak. Hak asuh anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dimana menetukan hak asuh bagi anak di bawah umur 12 tahun adalah pada ibunya. Namun ada juga berbagai kasus sengketa hak asuh anak dibawah umur yang akhirnya oleh Putusan Pengadilan Agama diberikan kepada ayahnya. Hal-hal yang melatarbelakangi hakim memutuskan hak asuh anak di bawah umur ada pada ayahnya antara lain sebagai berikut:
a. Apabila seorang ibu tersebut tidak mampu memberikan penghidupan yang layak bagi anaknya, serta sering berbuat kasar dan tidak mampu mendidik anaknya baik dari materi, jasmani, dan rohani sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dengan adanya bukti-bukti yang diajukan oleh pihak suami
b. Belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim untuk memutuskan siapa yang berhak atas kuasa asuh anak. Karena tiadanya aturan yang jelas maka pada umumnya, secara baku, hakim mempertimbangkan
hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi. Jadi kunci menang kalahnya seorang ibu dalam perebutan hak asuh anak, karena kurangnya argumentasi hukum si ibu untuk menyakinkan hakim tentang pola pengasuhan yang dilakukannya kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orangtua tersebut (seperti si ibu tidak bekerja sampai larut malam, lebih mengutamakan kedekatan kepada si anak, dibandingkan kesibukan di luar rumah, dsb) serta hal-hal terkait kepentingan si anak secara psikologis, materi maupun non materi. 50 Sehingga putusan disini berdasarkan pada keyakinan hakim maksudnya adalah sesuatu yang diakui adanya berdasarkan pada penyelidikan atau dalil, dan sesuatu yang sudah diyakinkan untuk tidak bisa lenyap, kecuali dengan datangnya keyakinan yang lain, atau sesuatu yang menjadi kekuatan atau keputusan hakim didasarkan atau penelitian dari dalil-dalil atau bukti- bukti yang ada.51
c. Mahkamah Agung telah mengambil sikap untuk menetapkan pengasuhan anak, manakalah pasangan suami isteri bercerai dan si isteri kembali ke agamanya semula. Anak tersebut ditetapkan pengasuhannya kepada pihak ayah dengan pertimbangan untuk mempertahankan akidah si anak. Sebagai contoh adalah putusan Nomor : 210K/AG1996 dimana dalam putusan Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan bahwa
50http://advokatku.blog.com/2010/02/pertanyaan-seputar-polemik-perebutan.html.
masalah agama/akidah merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yang masih belum mumayyiz.52
d. Penyimpangan terhadap ketentuan normatif tentang sengketa pengasuhan anak. Hakim dalam memutuskan Hak Asuh Anak di bawah umur juga memperhatikan keinginan dari kedua belah pihak suami dan isteri tersebut dimana apabila ada dua anak atau lebih dan masih dibawah umur tidak berdasarkan pada ketentuan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam namun pada dasar pertimbangan yang dilakukan pembagian oleh kedua belah pihak tersebut untuk mengasuh anaknya.
Sehingga pembagian hak asuh anak tersebut karena adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.
C. Akibat Hukum Terhadap Hak Asuh Anak
1. Kewenangan Orangtua Asuh Dalam Pengasuhan Anak
Perceraian membawa akibat dalam hal pemeliharaan, pendidikan, dan pembiayaan anak. Orangtua mempunyai kewajiban untuk menjalankan kewajiban tersebut terutama bagi anak-anaknya yang belum cukup umur (mumayyiz) sehingga kepentingan si anak terlindungi.
Di dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak;
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.53
Sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian tidak menghapus kewajiban ayah dan ibu untuk memelihara, membiayai, dan mendidik anak-anaknya. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa jika ada peselisihan mengenai penguasaan anak- anak, pengadilan yang akan memberi keputusan. Ini berarti mengenai hak asuh anak, jika tidak ditemui kata sepakat antara suami dan istri, maka diselesaikan melalui jalur pengadilan.54
53Lihat Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2. Yang Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak
Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.55 Hadhanah menurut bahasa adalah Al-Janbu yang berarti erat atau dekat, sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.56
Pengertian di atas selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq bahwa hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari siapa pun, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani dan rohani agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.57
Faktor untuk kecakapan atau kepatutan untuk memelihara anaknya maka harus ada syarat-syarat tertentu yaitu :58
a. Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan menyelenggarakan hadhanah.
b. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada orangtuannya.
c. Beragama Islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan terhadap orang kafir.
d. Amanah.
e. Belum menikah dengan laki-laki lain bagi ibunya.
f. Bermukim bersama anaknya, bila salah satu diantara mereka pergi maka ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.
g. Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
h. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwanya.
Hadhanah atau pengasuhan anak hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak : 1. Hak wanita yang mengasuh.
2. Hak anak yang diasuh.
3. Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk mengasuh anaknya.
Kedua, ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian, sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudaharat yang dimungkinkan akan menimpa si anak karena adanya mahram lain selain ibunya.
Ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alasan syar’i yang memperbolehkannya.
Keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak. Mengingat bahwa wanita lebih memahami
dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki.59
Pemeliharaan menurut Hukum Islam :
Sebagai yang kita maklum bersama bahwa kewajiban memelihara, mendidik, dan mengasuh anak adalah tanggung jawab kedua orangtua, hal demikian tentunya kalau kondisi kedua orang tua adalah harmonis akan tetapi jika yang terjadi disharmonisasi kedua orangtuannya (terjadi perceraian), maka siapa yang paling berhak diantara mereka ;
Menurut Prof. Dr. Satria Efendi dibedakan menjadi:
a. Sebelum mumayyiz adalah masa dimana seorang anak belum dapat membedakan mana yang bermanfaat bagi dirinya dan mana yang berharga bagi dirinya : Jika demikian maka :
1. Tidak diperkenankan memisahkan anak dengan ibunya, jika tidak ingin dipisahkan Allah di hari kiamat (Hr. Abu Daud).
2. Hadist Abdullah Bin Umar ibunya lebih berhak selama belum menikah dengan laki-laki lain.
3. Keputusan Abu Bakar tentang kasus Umar bin Khattab dimana Umar hendak mengambil anaknya ketika pergi ke Quba tetapi Abu Bakar memeutuskan yang berhak mengasuh anak adalah ibunya.
4. Islam memandang bahwa seorang ibu lebih faham dan mengerti akan kebutuhan anak, begitu juga pendapat pakar Islam lainnya As Shan’ani Sayyid Sabiq, Muhammad Jawad Mugniyah termasuk As Syafi’i, dan Mazhab Hanafi.
b. Mumayyiz yakni massa dimana seorang anak telah mulai dapat membedakan mana yang membahayakan dirinya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya (+ umur 7 tahun sampai menjelang baliq) yang demikian di dasarkan pada hadist Abu Hurairah yakni kasus tentang kedua orang tuanya yang bercerai dimana anak tersebut sudah mampu membantu Ibunya mengambil air dari sumur anak tersebut dipandang nabi sebagai anak yang mumayyiz karena telah dapat membantu ibunya yan pada gilirannya sang anak memilih ibunya.
Syarat-syarat bagi pengasuh anak :
1. Baliq, berakal, tidak terganggu ingatan, adil, jujur, bahkan Ahmad bin Hambal menambahkan tidak boleh terkena penyakit menular;
2. Amanah sehingga ada jaminan bagi terpeliharannya anak dengan baik;
3. Mempunyai kemampuan dan kemauan terhadap pekerjaan tersebut;
4. Seorang ibu dapat memelihara anak sekalipun ia telah menikah dengan
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hak asuh anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya liat pada pasal 105 yang berbunyi : Dalam hal terjadi perceraian: a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebegai pemegang pemeliharaannya, c) biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.60
Hal ini dikarenakan ibu mempunyai tahap kasih sayang serta kesabaran yang lebih tinggi selain itu seorang ibu lebih lembut ketika menjaga dan mendidik anak-anaknya yang masih dalam usia menyusui dan ukuran umur ibu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang.
Dalam hal terjadinya perceraian orangtua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orangtua beranggapan dalam perceraian mereka, persoalan akan segera dapat di selesaikan. Padahal tidak demikian adanya dan tidak sederhana itu untuk menyelesaikan masalah dengan perceraian. Bahwa penyelesaian terbaik bagi anak-anak dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Oleh karena itu, dalam kasus perceraian di atas anak merupakan salah satu subjek.
Dan kepentingan anak tetap harus di prioritaskan.
Seorang anak yang belum mumayyiz masih berhak atas penggasuhan kedua orangtuanya, walaupun orangtuanya sudah bercerai dan pengasuhan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan anak-anak tersebut. Bila nantinya terjadi perselisihan dan penguasaan anak maka pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikit pun mengurangi hak-hak anak tersebut.
Sesuai dengan rumusan dan makna undang-undang, bahwa dalam menentukan hak asuh yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anak-anaknya. Hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak-anak tersebut di pelihara pemohon atau termohon mempunyai jaminan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik atau tidak. Meskipun sebelum di proses ke pengadilan telah terjadi kesepakatan antara keluarga pemohon dan keluarga termohon untuk membagi hak asuh anak-anak tersebut. Jadi dengan demikian, walaupun Undang-undang menghendaki hak asuh anak yang belum mumayyiz jatuh ke tangan ibu, namun hal itu bukanlah suatu yang mutlak atau keharusan, karena bisa saja Majelis Hakim dalam suatu persidangan menjatuhkan hak asuh anak yang belum mumayyiz ke tangan bapaknya sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Misalnya karena ibunya berkelakuan buruk, seperti judi, zinah, boros dan lain-lain.