• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Resiliency Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Down Syndrome di SPLB "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Resiliency Pada Orangtua Yang Memiliki Anak Down Syndrome di SPLB "X" Bandung."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

i

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran resiliency pada

orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X” Bandung. Manfaat

yang diharapkan ialah memberikan informasi kepada orangtua mengenai

resiliency yang dimilikinya, informasi tersebut sebagai pemahaman diri, serta

langkah awal untuk mengembangkan diri, agar dapat lebih optimal dalam

merawat dan membesarkan anak down syndrome. Dasar teori yang digunakan

adalah teori resiliency dari Bonnie Benard.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Sampel dalam penelitian

ini adalah orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X” Bandung.

Alat ukur berupa kuesioner yang dikonstruksi oleh peneliti berdasarkan teori

resiliency. Data yang diperoleh diolah dengan menentukan nilai median,

sehingga dapat ditentukan jumlah responden dengan resiliency yang tergolong

kuat atau lemah. Berdasarkan hasil uji validitas menggunakan Spearman dan uji

reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach diperoleh 63 item yang

diterima, dengan validitas berkisar antara -0,101 – 0,884 dan reliabilitas 0,857.

Berdasarkan pengolahan data terhadap 19 responden, diketahui 52,6%

responden memiliki resiliency yang kuat dan 47,4% responden memiliki resiliency

yang lemah. Sebagian besar responden dengan resiliency kuat akan menunjukkan

kekuatan juga dalam empat aspek personal strengths, dan responden dengan

resiliency lemah akan menunjukkan kelemahan juga dalam empat aspek personal

strengths. Dalam penelitian ini, peran protective factors kurang memberikan

gambaran yang jelas terhadap kekuatan atau kelemahan resiliency pada

responden.

Saran yang diajukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan

penelitian lanjutan ialah meneliti pengaruh protective factors terhadap resiliency.

Kemudian dapat juga disarankan untuk bekerja sama dengan pihak sekolah,

mengadakan suatu program pelatihan guna meningkatkan resiliency dalam diri

orangtua yang memiliki anak down syndrome.

(2)

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ………...

i

KATA PENGANTAR ………...

ii

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR TABEL ………..

vii

DAFTAR BAGAN ……….……

viii

DAFTAR LAMPIRAN ………..

ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah ………...

1

1.2

Identifikasi Masalah………...

8

1.3

Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1

Maksud Penelitian………...

8

1.3.2

Tujuan Penelitian………...

9

1.4

Kegunaan Penelitian

1.4.1

Kegunaan Teoretis………...

9

1.4.2

Kegunaan Praktis………

9

1.5

Kerangka Pemikiran………

9

1.6

Asumsi………....

17

(3)

v

Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resiliency

2.1.1 Definisi Resiliency………..

18

2.1.2 Resilience Outcomes : Personal Strengths………...

19

2.1.3 Protective Factors……… 33

2.1.4 Perkembangan Resiliency………...

39

2.2 Down Syndrome………..

41

2.3 Orangtua dan Keluarga dengan Anak yang Luar Biasa……..

45

2.3.1 Derajat dan Tingkatan dari Reaksi Orangtua………..

45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Rancangan dan Prosedur Penelitian………

54

3.2

Bagan Rancangan Penelitian……… 54

3.3

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.3.1

Variabel Penelitian………..

55

3.3.2

Definisi Konseptual………

55

3.3.3

Definisi Operasional………

55

3.4

Alat Ukur

3.4.1

Alat Ukur Resiliency……… 58

3.4.2

Prosedur Pengisian………..

60

3.4.3

Sistem Penilaian………..

60

3.4.4

Data Pribadi dan Data Penunjang………

61

(4)

vi

Universitas Kristen Maranatha

3.4.5.2

Reliabilitas………..

62

3.5

Populasi dan Teknik Penarikan Sampel

3.5.1

Populasi Sasaran………..

62

3.5.2

Karakteristik Sampel………...

63

3.5.3

Teknik Penarikan Sampel………...

63

3.6

Teknik Analisis Data……… 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian

4.1.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin……… 65

4.2 Gambaran Hasil Penelitian……….

65

4.2.1 Persentase Kekuatan Resiliency Berdasarkan Aspek

Personal Strengths………..

66

4.3 Pembahasan……….

67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……….

71

5.2 Saran………

72

DAFTAR PUSTAKA……….

73

DAFTAR RUJUKAN……….

74

(5)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1

Gambaran Alat Ukur Resiliency

Tabel 3.2

Skor Jawaban Alat Ukur Resiliency

Tabel 4.1

Gambaran Jenis Kelamin

Tabel 4.2

Gambaran Penelitian Resiliency

Tabel 4.3

Tabulasi Silang antara Resiliency dan Empat Aspek Personal

Strengths

(6)

viii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1

Kerangka Pikir

Bagan 2.1

Development Process: Resiliency in Action

Bagan 3.1

Rancangan Penelitian

(7)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Alat Ukur Resiliency

Lampiran 2

Kerangka Wawancara Data Penunjang

Lampiran 3

Kisi-kisi Alat Ukur Resiliency

Lampiran 4

Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Resiliency

Lampiran 5

Data Skor Mentah Responden

Lampiran 6

Data Skor Mentah Responden Berdasarkan Aspek Social

Competence

Lampiran 7

Data Skor Mentah Responden Berdasarkan Aspek Problem

Solving Skills

Lampiran 8

Data Skor Mentah Responden Berdasarkan Aspek Autonomy

Lampiran 9

Data Skor Mentah Responden Berdasarkan Aspek Sense of

Purpose and Bright Future

Lampiran 10

Tabel Tabulasi Silang antara Resiliency dan Data Penunjang

(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Juga merupakan suatu transisi peran yang penting baik untuk pasangan yang baru pertama kali menikah maupun untuk orang yang menikah lagi (Duvall, 1977). Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Setelah menikah, pasangan suami dan istri harus bisa menjadikan pernikahan mereka sebagai bagian masyarakat yang berfungsi dengan baik. Terdapat tugas-tugas perkembangan keluarga dari pasangan yang sudah menikah, yaitu mencari; membangun; dan memelihara rumah mereka, memenuhi kebutuhan hidup, pembagian tanggung jawab masing-masing sesuai kemampuan dan kemauan, memenuhi peranan personal; emosional dan seksual yang saling melengkapi, menjaga motivasi dan kepercayaan diri pasangan, dan yang terakhir perencanaan untuk memiliki anak (Duvall, 1977).

Anak adalah suatu karunia terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia. Setiap orangtua tentunya menginginkan anak mereka lahir dengan sempurna, tanpa kurang satu apapun. Dalam menciptakan anak manusia, Tuhan mempunyai rahasia tersendiri. Ada anak yang dilahirkan normal, namun, ada pula anak yang

(9)

2

Universitas Kristen Maranatha dilahirkan dengan kebutuhan khusus. Para orangtua yang dikaruniai anak normal, tentu akan bersyukur. Namun para orang tua yang dikaruniai anak berkebutuhan khusus atau handicapped, sudah tentu hal tersebut akan menimbulkan pelbagai perasaan, karena orangtua tidak memulai kehamilan dengan pemikiran bahwa anak mereka akan handicapped.

Membesarkan anak yang lahir dengan normal sebenarnya merupakan tugas yang dapat dikatakan berat bagi orangtua. Terlebih lagi bila harus membesarkan anak dengan kebutuhan khusus. Terdapat banyak jenis anak yang berkebutuhan khusus atau handicapped. Salah satu jenisnya ialah anak dengan down syndrome.

Umumnya manusia dilahirkan memiliki 46 kromosom, namun pada down syndrome terdapat kelebihan 1 kromosom, umumnya kromosom ke-21, atau

bahasa medisnya trisomy-21, sehingga jumlahnya menjadi 47 kromosom. Keadaan inilah yang membuat mereka menjadi “istimewa”. Secara umum anak down syndrome lambat dalam perkembangannya. Ciri-ciri yang khas yang dapat

dilihat dengan kasat mata pada anak down syndrome ialah wajah mereka memiliki ciri khas seperti bangsa mongol, atau mongoloid (Mark Selikowitz, 1990).

(10)

3

Universitas Kristen Maranatha Kebanyakan orangtua merasa terkejut dan cemas saat mendengar bahwa bayi atau anak mereka menderita down syndrome. Tidak peduli seberapa baiknya orangtua tersebut mengatasi keadaan anaknya di tahun-tahun kemudian, hampir semua mengakui periode awal merupakan periode yang paling sulit. Orangtua menggunakan kata-kata seperti ‘hancur’, ‘hancur-luluh’, dan ‘terkejut’ untuk melukiskan reaksi mereka. Sebagian merasa sedang kehilangan akal warasnya, sebagian lain merasa dunia seperti kiamat. Bagi hampir seluruhnya, saat itu merupakan saat-saat yang kacau dan menyedihkan (Mark Selikowitz, 1990).

Menjadi orangtua dengan anak kelainan down syndrome membutuhkan kesabaran dua kali lipat dari orangtua biasa. Selain harus siap mental, orangtua harus siap mengeluarkan uang tidak sedikit untuk biaya terapi dan sekolah khusus. Sering kali juga dalam batin orangtua anak down syndrome ada penolakan untuk melahirkan dan membesarkan (Koran Jakarta, 2009).

Anak dengan down syndrome akan mengalami perkembangan motorik umum dan halus, perkembangan pribadi dan sosial, serta perkembangan kognitif yang lebih lambat jika dibandingkan dengan anak yang normal. Misalnya, anak yang normal mampu minum sendiri dari cangkir tanpa bantuan orangtua di usia 9-17 bulan, sedangkan anak down syndrome baru akan mampu melakukan hal tersebut di usia 23 bulan. Lalu, anak yang normal mampu makan dengan menggunakan sendok di usia 12-20 bulan, sedangkan anak down syndrome baru dapat melakukan hal tersebut di usia 29 bulan (Mark Selikowitz, 1990).

(11)

4

Universitas Kristen Maranatha Perkembangan anak down syndrome bukan hanya lebih lambat daripada anak normal, namun juga kurang lengkap, dan pada masa dewasa anak down syndrome akan tetap membutuhkan lebih banyak bantuan (Mark Selikowitz, 1990).

Penurunan kecerdasan pada anak down syndrome dimulai sejak masa infancy dan berlanjut dengan kecepatan yang melambat setelahnya;

perkembangan Quotient adalah 71-75 antara usia 16 dan 40 minggu, 69 pada usia 1 tahun, dan 58 pada usia 18 bulan. Sementara beberapa anak memiliki kecerdasan rata-rata, IQ (Intelligence Quotient) rata-rata kelompok secara keseluruhan adalah sekitar 50 (Hodapp dan Zigler, 1990).

Kemampuan belajar yang lebih lambat dari anak dengan IQ normal menyebabkan anak down syndrome membutuhkan sistem pendidikan yang berbeda dari anak normal, yaitu Sekolah Pendidikan Luar Biasa (SPLB). Salah satu SPLB yang menerima anak-anak down syndrome ialah SPLB “X”.

SPLB “X” adalah sekolah yang didirikan dan diselenggarakan oleh YPLB (Yayasan Pendidikan Luar Biasa). Yayasan ini didirikan di Bandung pada tanggal 27 Mei 1927. Maksud dan tujuan YPLB adalah untuk mendidik dan melatih anak dengan keterbelakangan mental supaya mereka dapat menolong dirinya sendiri, dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, serta dapat hidup mandiri sesuai dengan kemampuannya.

Berdasarkan wawancara terhadap lima orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X” Bandung diketahui bahwa, saat pertama kali mengetahui

(12)

5

Universitas Kristen Maranatha down syndrome, orangtua merasa bingung kenapa dirinya yang dikaruniai anak

handicapped. Kemudian orangtua mampu mengambil hikmah dan menerima anak

dengan segala keterbatasannya. Satu orangtua membutuhkan waktu selama enam bulan untuk menerima kenyataan bahwa anak yang dilahirkannya menderita down syndrome. Empat orangtua memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya agar

bisa fokus dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome nya. Kelima orangtua merasa bahwa merawat anak down syndrome memerlukan waktu, tenaga, dan kesabaran yang lebih dibandingkan merawat anak normal. Anak down syndrome memerlukan perhatian yang lebih, orangtua tidak boleh lengah sedikit

pun. Kelima orangtua merasa kesulitan yang paling dirasakan dalam merawat anak down syndrome ialah dalam hal kemandirian dan kurangnya kemampuan mengontrol emosi. Sulit sekali mengajarkan kemandirian pada anak down syndrome, untuk mengajarkan suatu hal, orangtua harus memberitahu dan

mengulangnya berkali-kali. Apabila anak menginginkan sesuatu, keinginannya itu harus langsung dipenuhi, bila tidak anak bisa emosi, namun terkadang orangtua juga merasa bingung terhadap apa yang sebenarnya diinginkan oleh anak. Saat anak sedang emosi, kelima orangtua merasa susah sekali mengendalikannya.

(13)

6

Universitas Kristen Maranatha mengulang lagi, sampai anak berhasil mengingatnya. Anak down syndrome sulit memiliki kemampuan adaptif atau kemandirian sehingga orangtua harus membantu anak untuk mengurus dirinya (makan, minum, berpakaian, membersihkan diri) sampai anak mampu mandiri untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Anak down syndrome mengalami keterbelakangan fisik yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan anak, misalnya ukuran mulut seringkali lebih kecil, lidah tebal, pangkal mulut yang cenderung dangkal, otot mulut kerap lemah, sehingga menghambat kemampuan bicara anak. Keterbelakangan fisik itu juga menyebabkan anak perlu melakukan berbagai terapi (bicara, berjalan, motorik) untuk membantu perkembangannya. Pelaksanaan terapi bukanlah hal yang mudah, selain memerlukan biaya yang cukup besar, waktu dan tenaga dari orangtua juga dikuras, ketika anak menjalani terapi, latihan yang dilakukan anak di tempat terapi harus diulang lagi di rumah dengan bantuan orangtua. Anak down syndrome juga mengalami masalah emosional, dan terkadang disertai dengan hiperaktif, kelainan jantung, dan tambahan penyakit lain. Penolakan, serta kurangnya dukungan dan perhatian dari keluarga juga terkadang membuat situasi yang dirasakan oleh orangtua menjadi lebih tertekan.

Kesulitan dan lambatnya anak down syndrome dalam mempelajari sesuatu, membuat orangtua terkadang putus asa. Orangtua yang memiliki anak down syndrome berharap di masa depan anak tersebut mampu mandiri mengurus dirinya

(14)

7

Universitas Kristen Maranatha keterbatasan dalam diri mereka. Keadaan anak down syndrome terkadang membuat orangtua khawatir dan cemas mengenai masa depan anak, ketika Ayah atau Ibunya nanti meninggal, akan bagaimana nasib anak tersebut nantinya, siapa yang akan mengurusnya.

Dalam keadaan yang menekan, di tengah situasi hidup yang sulit dan stressful, orangtua yang memiliki anak down syndrome diharapkan mampu

mengembangkan ketahanan diri sehingga dapat menyesuaikan diri dalam merawat anak mereka. Ketahanan diri yang dimaksud adalah resiliency.

Resiliency merupakan kemampuan individu untuk dapat beradaptasi

dengan baik dan mampu berfungsi secara baik walaupun di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan. Resiliency terungkap dalam personal strengths yang terukur melalui empat aspek, yaitu social competence,

problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future

(Benard, 2004).

Social competence adalah kemampuan untuk membangun relasi dan kedekatan yang positif dengan orang lain (terdiri dari responsiveness; communication; empathy and caring; compassion, altruism and forgiveness).

Problem solving skills adalah kemampuan untuk mencari jalan keluar dari

masalah yang sedang dihadapi (terdiri dari planning; flexibility; resourcefulness; critical thinking and insight). Autonomy adalah kemampuan untuk mandiri dan

mempunyai kontrol terhadap lingkungan (terdiri dari positive identity; internal locus of control and initiative; self-efficacy and mastery; adaptive distancing and

(15)

8

Universitas Kristen Maranatha future adalah keyakinan bahwa hidupnya memiliki arti dan tujuan (terdiri dari

goal direction, achievement motivation and educational aspirations; special

interest, creativity and imagination; optimism and hope; faith, spirituality and

sense of meaning).

Dalam diri setiap orangtua yang memiliki anak down syndrome, akan terdapat keempat aspek personal strengths, namun kekuatan dan kelemahan dari tiap aspek tersebut akan berbeda-beda. Perbedaan kekuatan dan kelemahan diantara keempat aspek personal strengths akan menimbulkan perbedaan kekuatan resiliency dalam diri orangtua. Memiliki anak down syndrome membuat orangtua berada dalam keadaan adverse, mengingat anak down syndrome amat memerlukan pendampingan dari orangtua secara total. Berdasarkan hal itulah peneliti tertarik untuk mengetahui seperti apa gambaran resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui seperti apakah gambaran resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

(16)

9

Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran rinci mengenai kekuatan atau kelemahan resiliency berdasarkan aspek social competence, problem solving sklills, autonomy, dan sense of purpose and bright future pada

orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X” Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

• Memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi Perkembangan mengenai resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome.

• Memberikan informasi bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan informasi kepada orangtua yang memiliki anak down

syndrome di SPLB “X” Bandung, mengenai resiliency yang mereka

miliki. Informasi tersebut sebagai pemahaman diri, serta langkah awal untuk mengembangkan diri, agar dapat lebih optimal dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome yang dimilikinya.

1.5 Kerangka Pemikiran

Down syndrome merupakan salah satu dari sedikit penyakit yang disertai

(17)

10

Universitas Kristen Maranatha lahir. Kebanyakan orangtua dari anak-anak dengan ketidakmampuan intelektual karena sebab lain, tidak mengalami periode sulit setelah kelahiran sebagaimana yang dialami orangtua dari anak-anak penderita down syndrome (Mark Selikowitz, 1990).

Dapat dikatakan orangtua yang memiliki anak down syndrome akan mengalami situasi hidup yang sulit atau adverse. Anak down syndrome mengalami keterbelakangan mental, ketika orangtua mengajarkan mengenai suatu hal, orangtua harus melakukannya secara berulang-ulang dan dalam waktu yang cukup panjang agar anak mengerti, tidak menutup kemungkinan ketika anak telah memahami hal tersebut, keesokan harinya anak kembali lupa, dan orangtua harus mengulang lagi, sampai anak berhasil mengingatnya. Anak down syndrome sulit memiliki kemampuan adaptif sehingga orangtua harus membantu anak untuk mengurus dirinya (makan, minum, berpakaian, membersihkan diri) sampai anak mampu mandiri untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

(18)

11

Universitas Kristen Maranatha orangtua. Anak down syndrome juga mengalami masalah emosional, dan terkadang disertai dengan hiperaktif, kelainan jantung, dan tambahan penyakit lain. Penolakan, serta kurangnya dukungan dan perhatian dari keluarga juga terkadang membuat situasi yang dirasakan oleh orangtua menjadi lebih tertekan.

Kesulitan dan lambatnya anak down syndrome dalam mempelajari sesuatu, membuat orangtua terkadang putus asa. Orangtua yang memiliki anak down syndrome berharap di masa depan anak tersebut mampu mandiri mengurus dirinya

sendiri, tanpa menyusahkan orang lain. Namun kenyataannya, melatih anak down syndrome untuk mandiri itu merupakan tugas yang berat, mengingat segala

keterbatasan dalam diri mereka. Keadaan anak down syndrome terkadang membuat orangtua khawatir dan cemas mengenai masa depan anak, ketika Ayah atau Ibunya nanti meninggal, akan bagaimana nasib anak tersebut nantinya, siapa yang akan mengurusnya.

Dalam keadaan yang menekan, di tengah situasi hidup yang sulit dan stressful, orangtua yang memiliki anak down syndrome diharapkan mampu

mengembangkan ketahanan diri sehingga dapat menyesuaikan diri dalam merawat anak mereka. Ketahanan diri yang dimaksud adalah resiliency.

Resiliency merupakan kemampuan individu untuk dapat beradaptasi

dengan baik dan mampu berfungsi secara baik walaupun di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan. Resiliency terungkap dalam personal strengths yang terukur melalui empat aspek, yaitu social competence,

problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future

(19)

12

Universitas Kristen Maranatha Social competence merupakan indikator yang bermanfaat untuk adaptasi positif individu terhadap lingkungan sosialnya yang sangat berperan dalam resiliency (Luthar & Burak, 2000 dalam Bonnie Benard, 2004). Social

competence adalah kemampuan orangtua untuk membangun relasi dan kedekatan

yang positif dengan orang lain. Social competence dapat diukur melalui, kemampuan orangtua untuk memunculkan respon positif dari orang lain (responsiveness), kemampuan orangtua dalam menjalin komunikasi interpersonal dan relasi sosial serta mampu menyatakan pendapat tanpa menyakiti orang lain (communication), kemampuan orangtua untuk mengetahui dan memahami perasaan orang lain sesuai dengan yang dirasakan oleh orang tersebut (empathy and caring), keinginan orangtua untuk memperhatikan dan menolong anaknya

dengan tulus tanpa pamrih, serta mampu memaklumi keadaan anaknya yang down syndrome (compassion, altruism and forgiveness).

Problem solving skills adalah kemampuan orangtua untuk mencari jalan

keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Problem solving skills dapat diukur melalui, kemampuan orangtua dalam mengontrol dan merencanakan harapan masa depan dirinya dan anak down syndrome nya (planning), kemampuan orangtua untuk dapat melihat alternatif terbaik dalam memecahkan masalah sehubungan dengan perawatan anak down syndrome nya (flexibility), kemampuan orangtua dalam bertahan dan mencari alternatif cara untuk mengembangkan adaptive functioning dalam diri anak down syndrome (resourcefulness).

Autonomy adalah kemampuan orangtua untuk mandiri dan mempunyai

(20)

13

Universitas Kristen Maranatha orangtua untuk mengetahui identitas dirinya secara positif dan tidak merasa rendah diri karena memiliki anak down syndrome (positive identity), kemampuan orangtua mengontrol dirinya untuk memiliki kebiasaan hidup yang baik serta mampu memotivasi diri untuk mengarahkan perhatian dan usaha dalam mencapai tujuan, yaitu membuat anak down syndrome mandiri mengurus dirinya (internal locus of control and initiative), keyakinan orangtua terhadap kemampuan dirinya

dalam membesarkan anak down syndrome dengan baik (self-efficacy), kemampuan orangtua untuk dapat hidup dengan rileks dan menciptakan suasana yang gembira di tengah keadaan adverse yang dialaminya akibat memiliki anak down syndrome (humor).

Sense of purpose and bright future adalah keyakinan bahwa hidup

orangtua yang memiliki anak down syndrome memiliki arti dan tujuan. Sense of purpose and bright future dapat diukur melalui, kemampuan orangtua dalam

merencanakan masa depan anak down syndrome nya dan memotivasi diri untuk mencapai tujuan tersebut (goal direction and achievement motivation), sikap optimis serta harapan dan pemikiran positif dalam diri orangtua yang memiliki anak down syndrome terhadap masa depan anaknya (optimism and hope), kepercayaan iman dan kerohanian orangtua yang membuat orangtua memiliki harapan bahwa Tuhan akan membantu ketika orangtua putus asa, serta orangtua memiliki keyakinan bahwa Tuhan memiliki maksud lain dengan mengaruniai anak down syndrome pada dirinya (faith, spirituality and sense of meaning).

(21)

14

Universitas Kristen Maranatha kekuatan dan kelemahan dari tiap aspek tersebut bervariasi. Apabila orangtua yang resilient kuat dalam aspek social competence, orangtua akan mampu untuk bersosialisasi dengan orang lain, dan tidak akan merasa malu untuk memperlihatkan anak down syndrome yang dimilikinya pada orang lain. Orangtua tidak merasa canggung untuk berbagi cerita dan pengalaman yang dimilikinya pada orang lain, serta orangtua juga membuka diri untuk menerima masukan dari orang lain mengenai hal-hal tentang down syndrome.

Apabila orangtua yang resilient kuat dalam aspek problem solving skills, orangtua akan mampu untuk menemukan jalan ke luar dan merencanakan langkah-langkah untuk mengatasi masalahnya. Orangtua mampu untuk memilih terapi dan pengobatan terbaik yang paling tepat untuk anak down syndrome nya. Apabila orangtua menemui jalan buntu orangtua tidak akan tinggal diam, orangtua akan mampu melihat alternatif lain yang bisa dilakukannya.

Apabila orangtua yang resilient kuat dalam aspek autonomy, orangtua akan mampu untuk mengurus dan membesarkan anak down syndrome yang dimilikinya, tanpa bantuan orang lain. Orangtua mampu untuk mandiri, tidak tergantung pada orang lain. Orangtua mampu untuk bertindak bebas untuk merasakan suatu sense of control atas lingkungannya. Orangtua mampu memotivasi diri dan berusaha untuk mencapai tujuan. Orangtua mau mencoba untuk melakukan sesuatu yang baru, dan dapat mengubah kemarahan dan kesedihan yang dirasakannya menjadi kegembiraan.

(22)

15

Universitas Kristen Maranatha harapan yang baik mengenai masa depan dirinya dan anaknya. Orangtua akan selalu memandang dirinya secara positif.

Pada perkembangannya, resiliency dipengaruhi oleh protective factors. Protective factors merupakan kualitas dari orang-orang atau lingkungan yang

menentukan munculnya perilaku yang lebih positif dalam situasi yang menekan. Menurut Benard (2004) terdapat tiga kategori protective factors, pertama orangtua membutuhkan perhatian dan hubungan yang saling mendukung (caring relationship). Kedua, orangtua membutuhkan high expectation yang didalamnya

terdapat orang-orang yang percaya kepada mereka. Ketiga, orangtua memerlukan kesempatan untuk dapat beradaptasi seperti dalam pengambilan keputusan, memiliki tanggung jawab, kesempatan menjadi pemimpin (opportunities for participation and contribution). Lingkungan (family and community) memiliki

peran besar dalam perkembangan resiliency, yang dilakukan melalui sikap yang ditujukan kepada individu.

Protective factors secara konsisten dapat ditemukan di lingkungan tempat

tinggal individu. Salah satu karakteristik yang mendukung individu memiliki resiliency yang kuat ialah adanya kedekatan dengan anggota keluarganya. Selain

keluarga, protective factors juga diperoleh dari komunitas di sekitar individu, dalam hal ini guru-guru dan sesama orangtua murid di SPLB “X” Bandung.

Menurut Benard (2004), ketika individu merasa bahwa dirinya mendapat caring relationship, high expectation, dan opportunities for participation and

contribution yang positif dari lingkungannya (keluarga dan komunitas), hal

(23)

16

Universitas Kristen Maranatha Basic needs terdiri atas safety, love / belonging, respect, autonomy / power,

challenge / mastery, dan meaning. Selanjutnya basic needs tersebut akan

mendorong individu untuk mengembangkan kekuatan resiliency dalam dirinya melalui social competence, problem solving skill, autonomy, dan sense of purpose and bright future.

Dalam diri orangtua, akan terdapat perbedaan kekuatan atau kelemahan dalam keempat aspek personal strengths, yang akan menimbulkan perbedaan resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome.

Penjelasan di atas, dapat dilihat pada bagan berikut ini :

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

Orangtua yang memiliki anak down syndrome

di SPLB “X” Bandung

Resiliency

Kuat

Lemah

Empat aspek Personal Strengths :

Social competence Problem solving skills Autonomy

Sense of purpose and bright future

Protective factors : Caring relationship High expectations Opportunities for

participation and contribution

Basic needs :

Savety

Love /

Belonging

Respect

Autonomy /

Power

Challenge /

Mastery

Meaning

Adverse situation :

Anak yang keterbelakangan mental Anak yang keterbelakangan fisik Anak sulit memiliki kemampuan adaptif Anak mengalami masalah emosional • Penolakan serta kurangnya dukungan

(24)

17

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

Adverse situation yang dialami oleh orangtua akibat memiliki anak down

syndrome menuntut adanya kekuatan internal untuk beradaptasi dengan

situasi tersebut.

Resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome akan diukur melalui empat aspek personal strengths, yaitu social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future.

Orangtua dengan resiliency yang kuat akan memiliki kekuatan juga terhadap empat aspek personal strengths.

Orangtua dengan resiliency yang lemah akan memiliki kelemahan juga terhadap empat aspek personal strengths.

Protective factors mempengaruhi kekuatan atau kelemahan resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome.

(25)

71 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan terhadap 19 orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X” Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa :

Sebesar 52,6% orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X” Bandung memiliki resiliency yang kuat, dan 47,4% lainnya memiliki resiliency yang lemah.

Orangtua dengan resiliency yang kuat, umumnya akan menunjukkan kekuatan juga dalam empat aspek personal strengths (social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future).

Orangtua dengan resiliency yang lemah, umumnya akan menunjukkan kelemahan juga dalam empat aspek personal strengths (social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and

bright future).

Dalam penelitian ini, peran protective factors tidak menunjukkan kecenderungan pengaruh yang pasti terhadap kekuatan atau kelemahan resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X”

Bandung.

(26)

72

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, banyak ditemukan kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu peneliti mengajukan beberapa saran, yaitu :

• Bagi Penelitian Lanjutan

Apabila akan dilakukan penelitian lanjutan mengenai resiliency pada orangtua yang memiliki anak down syndrome di SPLB “X” Bandung, dapat disarankan untuk meneliti pengaruh protective factors terhadap resiliency. Selain itu, dapat juga disarankan untuk melakukan penelitian kualitatif.

• Guna Laksana

(27)

73

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. San Francisco :

WestEd.

Duvall, Evelyn Ruth Millis. 1977. Marriage and Family Development.

Philadelphia: J. B. Lippincott Company.

Friedenberg, L. 1995. Psychological Testing : Design, Analysis, and Use.

Massachusetts: Allyn & Bacon.

Guilford, J. P. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education (3

rd

Ed.). Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Company. Ltd

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology. London: SAGE Publications.

Nazir, Moh. 2005. Metodologi Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Selikowitz, Mark. 1995. Mengenal Sindroma Down. Jakarta: Arcan.

Siegel. Sidney. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Wenar, Charles, Patricia Kerig. 2000. Developmental Psychopathology: From

Infancy through Adolescence, Fourth Edition. Singapore: McGraw-Hill

Book Co.

(28)

74

DAFTAR RUJUKAN

Berbagai Penyakit Cacat Bawaan. 4 Desember 2008. Pusat Riset Biomedik

FK-Universitas

Diponegoro.

(online).

(

http://www.id.cebior.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&i

d=18&Itemid=2

, diakses 19 November 2010).

Darto. 23 Maret 2009. Orangtua Spesial untuk Anak Spesial. (online).

(

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:XlCacmaOmMo

J:www.koran-jakarta.com/berita-detail.php%3Fid%3D3869+orangtua+spesial+untuk+anak+spesial+koran+

jakarta&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a

, diakses 9 Juni

2010).

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2009. Panduan Penulisan

Skripsi Sarjana, Edisi Revisi III. Bandung.

Mengenal Down Syndrome. Persatuan Orangtua Anak dengan Down Syndrome.

(online).

(

http://www.potads.com/downsyndrome.php

,

diakses

19

November 2010).

Prawidyarini, Bekti. 21 Maret 2006. Dearest Souls : Menyambut Hari Down

Syndrome

Sedunia.

(online).

(

http://www.mail-archive.com/balita-anda@balita-anda.com/msg112317.html

, diakses 19 November 2010).

Referensi

Dokumen terkait

Bertambahnya angka kejadian penyakit menular seksual karena kurang pengetahuan baik didapatkan dari pendidikan kurikuler ataupun dari non- kurikuler. Penelitian ini

[r]

Tatag Yuli Eko Siswono, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan Masalah dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif (Surabaya:

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui jenis makanan ringan yang dibagikan pada anak-anak di TK ABA ADE I RMA, (2) mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein

Selain itu, perangkat mobile memiliki beberapa fungsi yang umumnya tidak tersedia atau berguna pada perangkat stasioner, termasuk kemungkinan penentuan tata ruang saat ini

rouxii asal Ragi Gedang merupakan kapang yang memiliki kemampuan tertinggi mereduksi aflatoksin sebesar 99,7% sedangkan isolat khamir adalah Saccharomyces sp.. Isolat kapang

ABSTRACT : Information technology has become a staple in everyday life, hence the good media informatics is needed to help smooth in getting the information. The

1) Penguatan gerak isyarat, misalnya anggukan atau gelengan kepala, senyuman, kerut kening, acungan jempol, wajah mendung, wajah cerah, sorot mata yang sejuk bersahabat atau