• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Emotional Intelligence Pada Wartawan Surat Kabar "X" Banjarmasin.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Emotional Intelligence Pada Wartawan Surat Kabar "X" Banjarmasin."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Judul Penelitian ini adalah Studi Deskriptif Mengenai Emotional Intelligence pada wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran Emotional Intelligence wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran Emotional Intelligence pada wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin.

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Penelitian ini mengambil populasi yaitu 21 wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin. Alat ukur yang digunakan untuk memeroleh taraf Emotional Intelligence adalah kuesioner Emotional Intelligence yang dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Goleman (1995). Validitas alat ukur ini berkisar antara -1,77 – 11,36, sedangkan reliabilitasnya adalah 0,97 berdasarkan kriteria Alpha Cronbach.

Data yang diperoleh memperlihatkan 71,43% wartawan memiliki Emotional Intelligence rendah dan 28,57% wartawan memiliki Emotional Intelligence tinggi. Wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional Intelligence rendah, memiliki kemampuan yang rendah pada aspek mengenali emosi dan aspek membina hubungan dengan orang lain. Wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional Intelligence tinggi, memiliki kemampuan yang tinggi pada aspek mengelola emosi diri, aspek memotivasi diri dan aspek empati.

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyarankan kepada wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional Intelligence rendah, untuk meningkatkan kemampuan dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, empati dan membina hubungan dengan orang lain. Wartawan Surat Kabar Harian “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional Intelligence tinggi, diharapkan untuk mempertahankan kemampuan dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, empati dan membina hubungan dengan orang lain.

(2)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Lembar Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan Orisinalitas ... iii

Lembar Pernyataan Publikasi ... iv

Abstrak ... . v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... viii

Daftar Bagan ... xi

Daftar Tabel ... xii

Daftar Lampiran ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 6

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Maksud Penelitian ... 6

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 7

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 7

(3)

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional ... 17

2.1.1 Sejarah Kecerdasan Emosional ... 17

2.1.2 Pengertian Emosi ... 20

2.1.3 Pengertian Kecerdasan Emosi ... 21

2.1.3.1 Howard Garner ... 21

2.1.3.2 Daniel Goleman ... 22

2.1.4 Jenis Pikiran ... 26

2.1.5 Ciri Utama Pikiran Emosional ... 27

2.2 Wartawan ... 29

2.2.1 Definisi Wartawan ... 29

2.2.2 Tugas Wartawan ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 31

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 31

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 32

3.3.1 Variabel Penelitian ... 32

3.3.2 Definisi Operasional ... 32

3.4 Alat Ukur ... 43

(4)

Universitas Kristen Maranatha

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 46

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 46

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 47

3.5 Populasi Sasaran ... 48

3.6 Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 50

4.1.1 Masa Kerja ... 50

4.2 Hasil dan Pembahasan ... 51

4.2.1 Derajat Emotional Intelligence ... 51

4.2.2 Tabulasi Silang antara Derajat Emotional Intelligence dengan Aspek- Aspek Emotional Intelligence ... 51

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 61

5.2 Saran ... 62

Daftar Pustaka ... 63

Daftar Rujukan ... 65

(5)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 15

(6)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi – Kisi Alat Ukur ... 42

Tabel 3.2 Skoring Item Positif ... 42

Tabel 4.1 Masa Kerja ... 50

Tabel 4.2 Persentase Derajat Emotional Intelligence ... 51

Tabel 4.3 Tabulasi Silang antara Derajat Emotional Intelligence dengan Aspek Mengenali Emosi Diri ... 52

Tabel 4.4 Tabulasi Silang antara Derajat Emotional Intelligence dengan Aspek Mengelola Emosi Diri ... 53

Tabel 4.5 Tabulasi Silang antara Derajat Emotional Intelligence dengan Aspek Memotivasi Diri ... 54

Tabel 4.6 Tabulasi Silang antara Derajat Emotional Intelligence dengan Aspek Empati ... 55

(7)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.1 Surat Pernyataan

Lampiran 1.2 Kata Pengantar

Lampiran 1.3 Data Pribadi dan Data Penunjang

Lampiran 1.4 Kuesioner

Lampiran 2.1 Kisi-kisi Alat Ukur

Lampiran 3.1 Hasil Penelitian

Lampiran 4.1 Karakteristik Responden

Lampiran 5.1 Skor Hasil dan Data Mentah

Lampiran 6.1 Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 7 Persentase dan Golongan Aspek Emotional Intelligence dan Total EQ

(8)

Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Media massa memiliki peran penting di era yang serba modern dan global

saat ini. Segala macam pemberitaan, baik dari dalam maupun luar negeri akan

sangat mudah untuk diakses dan dibaca oleh masyarakat luas. Dalam menghadapi

budaya global saat ini diperlukan perhatian dan penanganan khusus dari semua

elemen masyarakat, baik pemerintahan maupun pihak media.

(http://www.harianjoglosemar.com).

Salah satu pelaku media massa disini adalah wartawan sebagai pemburu

berita. Wartawan, dalam pendefinisian Persatuan Wartawan Indonesia di dalam

UU Pers no 40/99 adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan

jurnalistik. Kegiatan itu meliputi; mencari, memeroleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dalam berbagai bentuk.

Wartawan dituntut untuk objektif. Tanpa memandang jenis media, istilah

wartawan atau jurnalis membawa konotasi profesionalisme dalam membuat

laporan, dengan pertimbangan kebenaran dan etika. Untuk memperoleh berita

yang segar, menarik dan faktual wartawan sebagai pemburu berita tentunya harus

kreatif dan gigih dalam mencari berita. Kadangkala karena terlalu ingin

mendapatkan berita yang dianggap bisa menjadi headline di surat kabar, mereka

tidak segan untuk mengejar dan memaksa narasumber demi mendapatkan fakta

(9)

Universitas Kristen Maranatha 7 yang berbunyi : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi

narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya,

menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran dari pasal 7 tersebut adalah, tidak

mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan

narasumber dan keluarganya, menunda pemuatan atau penyiaran berita sesuai

dengan permintaan narasumber termasuk permintaan narasumber untuk

merahasiakan identitasnya. Serta pasal 9 yang berbunyi : Wartawan Indonesia

menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk

kepentingan publik. Dan penafsirannya adalah menahan diri dan berhati-hati

dalam memuat berita yang berisi tentang kehidupan seseorang dan keluarganya

selain yang terkait dengan kepentingan

publik. (http://idnugrohokej.blogspot.com/).

Begitu juga dengan wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin, yang

merupakan perusahaan Surat Kabar kecil di Banjarmasin namun harus bersaing

dengan perusahaan Surat Kabar besar lainnya di Banjarmasin, ada tuntutan

tersendiri yang dirasakan oleh wartawan, mereka dituntut untuk memberikan

berita yang segar, aktual dan terpercaya. Tuntutan tersebut membuat para

wartawan harus gencar mencari berita-berita menarik dan aktual, untuk mendapat

berita seperti itu wartawan harus mampu mendapatkan informasi-informasi

penting dari narasumber. Namun kadangkala melupakan kode etik sehingga

cenderung memaksa dan membuat narasumber merasa terganggu, sehingga

(10)

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan penuturan redaktur, keluhan tersebut antara lain berisi tentang

wartawan yang memaksa narasumber hingga mendatangi kantor dan rumah serta

terus menelepon. Ada pula keluhan dari warga mengenai wartawan yang

mengganggu aktifitas mereka dengan melontarkan banyak pertanyaan ketika

mereka sedang bekerja. Bahkan ada wartawan yang membuat berita dengan

melibatkan nama seorang petinggi hukum di Banjarmasin, padahal berita itu tidak

benar.

Dengan karakteristik orang Banjar yang memiliki sifat sulit diatur dan

tidak disiplin, wartawan merasa kesulitan saat membuat appointment dan merasa

seperti tidak dianggap serius, wartawan seringkali harus berulang kali

menghubungi dan mendatangi narasumber. Ada pula beberapa narasumber yang

ketika ditanya, memberikan jawaban yang tidak memuaskan, atau bahkan tidak

menjawab tentang apa yang ditanyakan, sehingga wartawan harus mengulang dan

memperjelas pertanyaan, hal tersebut dirasa cukup melelahkan bagi wartawan.

Selain itu, ada karakteristik orang Banjar yang juga menyulitkan wartawan

dalam mendapat berita, yaitu sikap tidak peduli dan acuh tak acuh warga Banjar

terhadap orang lain, apalagi jika orang lain tersebut dirasa tidak selevel.

Keangkuhan itu membuat wartawan harus ekstra sabar dan tabah menghadapi

narasumber agar tidak tersulut emosinya.

Hingga awal tahun 2010 hingga pertengahan tahun, sering terdengar di

televisi ada wartawan yang disiksa, dipukuli, dipenjara bahkan sampai terbunuh.

Beberapa pihak berpendapat bahwa hal tersebut merupakan salah warga yang

(11)

Universitas Kristen Maranatha memaksa ingin tahu tanpa melihat situasi yang terjadi pada narasumber ataupun

warga.

Ada kasus yang bisa ditemui di berita, wartawan surat kabar memaksa

narasumber untuk memberikan berita, wartawan itu datangnya bergerombol dan

tidak kenal waktu, kadang maghrib, kadang juga menjelang tengah malam.

Narasumber dianggap pesakitan yang dikejar-kejar masalah. Hal diatas

menunjukkan bahwa karyawan surat kabar tersebut mengalami kesulitan dalam

berempati. Mereka cenderung memaksakan diri mereka pada orang lain tanpa

berpikir apa yang orang rasakan akibat perlakuan mereka

(http://www.radarbanten.com)

Selain itu ada kasus di Makassar, seorang karyawan pemburu berita

ditetapkan sebagai tersangka dengan dakwaan melakukan pencemaran nama baik,

memfitnah dengan tulisan, dan menghina penguasa umum, dengan ancaman

hukuman maksimal 4 tahun penjara (http://umum.kompasiana.com). Dari kasus

tersebut, sang karyawan pemburu berita dianggap tidak profesional, memasukkan

unsur subyektifitas pada berita, tidak berusaha menjalin hubungan baik dengan

narasumber. Fenomena yang terjadi, warga/narasumber memiliki alasan sendiri

mengapa penganiayaan terhadap wartawan bisa terjadi. Wartawan juga memiliki

alasan dan pembelaan sendiri dalam menanggapi pendapat warga/narasumber.

Wartawan berpendapat bahwa jika mereka tidak gigih dalam mencari berita,

mereka tidak akan mendapatkan berita yang mereka inginkan. Berdasarkan

(12)

Universitas Kristen Maranatha sebenarnya bisa mereka dapat akan hilang begitu saja karena narasumber tentunya

tidak akan mencari wartawan untuk meminta wawancara.

Untuk memenuhi target yang diberikan oleh redaktur, para wartawan harus

mampu mencari berita secepat, selengkap dan seaktual mungkin. Berita seperti itu

bisa didapat dengan mewawancarai narasumber, namun terkadang ada saja

kendala yang dialami wartawan seperti kesulitan menghubungi dan mewawancara

narasumber ataupun narasumber yang sibuk sehingga sulit untuk membuat

appointment. Butuh kesabaran yang ekstra untuk terus mengejar narasumber dan

keterampilan dalam mendekati narasumber agar mau dan nyaman wawancara

bersama wartawan. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit wartawan yang

kurang sabar dan kurang terampil dalam menghadapi segala macam kesulitan

dalam mengejar narasumber sehingga terjadilah tindakan pemaksaan. Wartawan

menjadi tidak sabar, terus memburu narasumber dan tidak peduli pada keadaan

narasumber yang sedang sibuk dan tidak bisa diwawancara. Bagaimana sikap

wartawan dalam menghadapi kesulitan dalam mengejar narasumber tersebut

merupakan bagian dari kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence (EI).

Kecerdasan emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam

memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi,

menempatkan emosinya sesuai situasi dan kondisi dan mengatur suasana hati.

Bagaimana individu mampu mengatasi emosi yang ada dalam diri agar tidak

mengganggu aktivitas dan sikap terhadap otrang lain adalah inti dari hubungan

sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana

(13)

Universitas Kristen Maranatha emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam

pergaulan sosial serta lingkungannya Goleman (1997).

Untuk membahas mengenai hal diatas, dasar teori yang digunakan adalah

Model EI yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman, yang menekankan pada

empat kompetensi penting dalam EI, diantaranya mengenali emosi diri, mengelola

emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.

Untuk mampu menjalankan tugas dengan profesional namun tetap

memperlakukan narasumber, wartawan perlu memiliki Emotional Inteligence,

Kemampuan sosial tersebut merupakan bagian dari kecerdasan emosi atau

Emotional Intelligence (EI).

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana derajat Emotional Intelligence pada wartawan di perusahaan surat

kabar “X” Banjarmasin.

1.3 Maksud dan Tujuan

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah memperoleh gambaran yang lebih jelas

mengenai Emotional Intelligence pada wartawan perusahaan Surat Kabar “X” di

(14)

Universitas Kristen Maranatha

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang empirik

mengenai Emotional Intelligence pada wartawan perusahaan surat kabar “X” di Banjarmasin.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Untuk memberikan informasi bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya

psikologi industri dan organisasi.

2. Untuk memberi masukan dan membantu peneliti-peneliti lain yang

berminat meneliti lebih lanjut mengenai Emotional Intelligence.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada perusahaan Surat Kabar “X” di

Banjarmasin terutama Redaktur mengenai gambaran Emotional

Intelligence wartawan sehingga berimbas pada peningkatan kinerja.

2. Memberi informasi pada wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin

mengenai Emotional Intelligence yang mereka miliki, agar dapat

menjadi landasan dan tolok ukur dalam meningkatkan Emotional

Intelligence mereka demi kelancaran kerja.

3. Memberi informasi bagi wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin

mengenai Emotional Intelligence yang mereka miliki sehingga

(15)

Universitas Kristen Maranatha kemajuan perusahaannya dengan cara memberikan pelatihan kepada

wartawan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Wartawan adalah orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa

laporan) dan tulisannya dikirimkan atau dimuat di media massa secara teratur,

seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan

mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan

untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari

sudut tertentu untuk melayani masyarakat (http://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan).

Dalam menjalani kegiatan wartawan ini, mereka tidak hanya memerlukan

kecerdasan akademis yang cukup tinggi, namun juga keahlian khusus dalam

mengelola emosinya, karena mereka dihadapkan pada situasi baru yang

didalamnya banyak tekanan dan tuntutan kerja dari redaktur untuk mendapatkan

berita dengan cepat namun tetap menarik, serta kesulitan dalam menghadapi

narasumber. Adanya hal tersebut maka dibutuhkan kecerdasan emosional bagi

wartawan. Emotional Intelligence (EI) menurut Goleman (1999) adalah

kemampuan untuk memotivasi diri, dan bertahan menghadapi frustasi,

mengendalikan dorongan hati dan tidak berlebihan dalam kesenangan, mengatur

suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan

berpikir, berempati dan berdoa.

Kecerdasan emosional menurut Goleman (1999) terdiri dari lima aspek,

(16)

Universitas Kristen Maranatha ketika perasaan tersebut muncul, dan mengetahui penyebabnya. Wartawan yang

mampu mengenal emosi diri secara tepat akan membantunya mengatasi

masalahnya, terutama dalam pengendalian diri sesuai emosi yang dirasa.

Wartawan yang mampu mengenal emosi, akan dengan mudah mengantisipasi diri

untuk tetap menunjukkan kinerja kerja yang baik dan tidak berlarut-larut dengan

perasaannya. Sedangkan wartawan yang tidak mampu mengenal emosi diri akan

sulit untuk mengantisipasi diri dan mengolah emosinya, sehingga mengganggu

kinerja kerja karena tidak bisa mengendalikan suasana hati.

Aspek yang kedua yaitu mengelola emosi diri yaitu upaya yang dilakukan

seseorang untuk menyeimbangkan keadaan emosi yang dirasakannya terhadap

lingkungan. Wartawan yang mampu mengelola emosi, akan mampu

mengekspresikan emosinya dengan tepat, sehingga ketika wartawan kesal dengan

rekan kerja maupun narasumber, ia mampu mengekspresikan kekesalannya

dengan kadar yang tepat dan tidak meledak-ledak serta tetap sopan. Atau ketika

wartawan memiliki masalah pribadi, ia mampu mengendalikan emosi untuk tidak

menunjukkan masalahnya pada orang lain. Sedangkan wartawan yang tidak

mampu mengelola emosi dengan baik akan mengekspresikan emosinya dengan

tidak tepat, mudah meledak-ledak, mudah gusar dan putus asa dan mencampurkan

masalah pribadi dengan pekerjaan.

Aspek yang ketiga yaitu memotivasi diri, merupakan ketekunan yang

bergantung pada sifat optimis serta kegigihan dalam menghadapi tantangan.

Wartawan yang mampu memotivasi diri akan menunjukkan kinerja yang baik

(17)

Universitas Kristen Maranatha cenderung cepat, mau langsung menghubungi narasumber dan mengolah data agar

cepat diberikan pada redaktur. Sedangkan wartawan yang tidak mempu

memotivasi diri akan lamban dalam bekerja, mudah putus asa ketika mengejar

narasumber demi mendapatkan informasi/berita.

Aspek yang keempat yaitu mampu empati atau mengenal emosi orang lain.

Dalam hal ini, wartawan merasakan apa yang dirasakan narasumber ketika harus

wawancara dan mengerti bagaimana perasaan narasumbernya. Misalnya merasa

iba dan tidak memaksakan wawancara disaat narasumber tidak dalam keadaan

baik. Apabila seorang wartawan tidak mampu berempati, maka berpengaruh pada

kualitas relasinya terhadap narasumber. Hal tersebut bisa membuat narasumber

menjadi enggan untuk berbicara banyak pada wartawan, bahkan melakukan

tindakan anarkis jika terlalu kesal pada perlakuan wartawan dan itu tentu

mengganggu kinerja wartawan.

Aspek yang kelima adalah membina hubungan dengan orang lain.

Wartawan yang mampu membina hubungan dengan orang lain akan bisa

berhubungan baik dengan para narasumber. Mengenal banyak orang terutama

orang-orang penting yang mungkin akan banyak menjadi bahan berita bisa

mempermudah proses wawancara. Namun wartawan juga diharapkan dapat

menempatkan diri dimana mereka harus bersikap obyektif walaupun memiliki

hubungan baik dengan narasumber. Apabila wartawan tidak mampu membina

hubungan dengan baik, mungkin saja wartawan akan sulit dalam melakukan

(18)

Universitas Kristen Maranatha Beberapa wartawan kurang dalam satu jenis kompetensi namun baik

dalam kompetensi lain. Namun terlepas dari hal diatas, alangkah baiknya bila

masing-masing kompetensi dalam aspek emosional inteligensi dapat

dikembangkan secara seimbang sehingga dapat mengoptimalkan kemampuan

wartawan. Dengan begitu wartawan di surat kabar harian X dapat bekerja dengan

baik demi memajukan perusahaannya agar dapat semakin diminati masyarakat

Banjarmasin karena berita yang berbobot, aktual dan terpercaya. Wartawan dapat

mengenali emosi diri dan memotivasi diri sehingga bisa tetap semangat dalam

bekerja mencari berita, mengelola emosi, mengenali emosi orang lain, membina

hubungan agar bisa dipercaya oleh narasumber dan pembaca bahwa wartawan

dari perusahaan tersebut merupakan wartawan yang berkualitas, mampu bekerja

sama, sehingga narasumber mau bersikap kooperatif.

Hal-hal yang dapat mempengaruhi EI wartawan antara lain adalah faktor

belajar, dan dapat berkembang disepanjang kehidupan melalui pengalaman

pribadi (Goleman, 1995). Selain itu, pada dasarnya kondisi emosi seseorang sudah

tampak sejak lahir, yakni ada bayi yang sikapnya tenang dan ada juga bayi yang

sulit diatur dan tidak sabaran. Kondisi emosi tersebut ternyata dapat berubah

dengan adanya pengaruh lingkungan, sehingga tidak semua bayi yang sulit diatur

dan tidak sabaran akan sulit mengendalikan dirinya. Disinilah lingkungan

keluarga dan sekolah berperan dalam memberikan pelajaran-pelajaran emosi

semasa kanak-kanak dan remaja. Masa kanak-kanak berperan penting dalam

mengarahkan kebiasaan emosional individu di masa selanjutnya. Hal ini

(19)

Universitas Kristen Maranatha Dengan adanya pengaruh lingkungan yang mencakup keluarga, teman

sebaya, dan masyarakat terhadap EI, maka EI ini dapat berkembang sejalan

dengan proses belajar (Goleman, 1995). Keluarga adalah tempat pertama anak

belajar. Tingkah laku orangtua seringkali menjadi model ketika seseorang masih

kanak-kanak, misalnya saja sikap orangtua ketika menghadapi masalah dan cara

menyelesaikannya, sikap orangtua dalam mengolah dan mengekspresikan

emosinya. Orangtua yang marah dan mengekspresikan amarahnya secara agresif,

seperti berteriak, mengucapkan kata-kata kasar atau bahkan membanting barang

dan memukul, dapat diinternalisasi oleh anak. Begitupula wartawan yang dididik

oleh orangtua yang kurang pandai dalam mengolah dan mengekspresikan emosi.

Hal inilah yang mempengaruhi EI wartawan hingga dewasa nanti. Dimulai dari

keluarga pula wartawan mempelajari cara-cara berelasi dengan orang lain,

diantaranya memperoleh dasar mengenai sikap-sikap yang baik dalam berelasi

dengan orang lain agar dapat diterima oleh lingkungan. Dasar-dasar bersikap

dalam berelasi inilah yang dikembangkan oleh wartawan agar dapat berelasi

dengan narasumber. Hal seperti ini diungkapkan oleh Goleman, bahwa

pembelajaran emosi bukan hanya melalui hal-hal yang disucapkan dan dilakukan

secara langsung kepada anak-anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh

yang mereka berikan sewaktu menangani perasaan mereka sendiri atau

perasaan-perasaan yang biasa muncul antara suami dan istri (Goleman, 1995).

Selain keluarga, pergaulan dengan teman sebaya juga termasuk lingkungan

yang berpengaruh pada EI yang dimiliki wartawan. Teman sebaya dalam hal ini

(20)

Universitas Kristen Maranatha rekan kerja juga dapat menjadi model atau contoh bagi wartawan tersebut.

Seorang wartawan baru bisa saja mencontoh wartawan senior dan menghadapi

narasumber. Selain itu masukan-masukan dari wartawan lainnya juga turut

mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan orang lain, khususnya

narasumber. Wartawan yang bergaul dengan rekan kerja yang kurang pandai

dalam mengolah dan mengekspresikan emosinya memiliki kecenderungan untuk

melakukan hal yang serupa. Begitupula sebaliknya apabila wartawan belajar

dengan benar mengenai cara berkomunikasi dan berelasi, maka wartawan tersebut

akan mampu menghadapi narasumber dengan baik (Goleman, 1995)

Peranan masyarakat lebih ditunjukkan dalam bentuk aturan yang ditujukan

pada wartawan agar dapat diterima oleh lingkungannya. Dalam masyarakat juga

terdapat budaya sebagai acuan dalam berperilaku, misalnya cara mengungkapkan

emosi yang dapat diterima oleh orang lain serta bagaimana wartawan membangun

relasi dengan orang lain. Masyarakat memberikan penilaian yang negatif terhadap

perilaku yang melanggar norma dan budaya yang berlaku, misalnya saja ketika

wartawan kesal kemudian melontarkan kata-kata kasar maka wartawan tersebut

dianggap telah berperilaku negatif dan memiliki EI yang rendah.

Pengalaman berhadapan dengan narasumber yang memiliki sifat dan sikap

yang berbeda-beda akan membuat wartawan belajar bersikap pada narasumbernya,

dan hal tersebut tentunya meningkatkan EI, wartawan menjadi mampu mengelola

emosinya di depan narasumber dan mampu berempati sehingga dapat terjalin

hubungan dengan narasumber, begitu pula dengan rekan kerja, redaktur dan

(21)

Universitas Kristen Maranatha Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya EI

seorang wartawan dapat dipengaruhi oleh faktor pengalaman. Lingkungan

keluarga dan lingkungan kerja dapat membentuk EI seorang wartawan, maka

diharapkan semakin mampu memanfaatkan kemampuan ini dalam menghadapi

masalah di segala situasi dan kondisi.

Wartawan yang memiliki EI yang tinggi akan mampu lebih tenggang rasa

dan memahami narasumber, tidak terlibat konflik dengan narasumber karena

mampu menjalin hubungan yang positif dan profesional, lebih bertanggung jawab

dalam pekerjaannya sehingga mampu memenuhi target yang diberikan redaktur,

dengan begitu kinerja kerja wartawan meningkat karena baik dari proses

pencarian maupun pengolahan berita, wartawan mampu melakukan sesuai jalur

dan aturan jurnalistik. Sedangkan wartawan yang memiliki EI yang rendah akan

cenderung kurang peka pada perasaan dan kesibukan narasumber, mengabaikan

kepentingan narasumber demi kepentingan pribadi dalam memenuhi target atau

sebaliknya mengabaikan target yang diberikan narasumber karena putus asa ketika

mengejar narasumber. hal tersebut pada akhirnya menimbulkan penurunan kinerja

pada wartawan, karena telah melakukan hal yang tidak sesuai dengan tuntutan

lingkungan dan pekerjaannya.

Sebagai wartawan, masalah yang akan dihadapi akan semakin banyak,

baik itu dari narasumber, rekan kerja, atasan dan bahkan lingkungan keluarga,

kemampuan ini akan sangat mendukung mereka dalam bidang pekerjaan mereka

yang banyak berhubungan dengan orang lain. Setiap wartawan diharapkan

(22)

Universitas Kristen Maranatha Uraian di atas dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Kecerdasan emosional pada wartawan surat kabar

harian X Banjarmasin

Aspek dan indikator kecerdasan emosional :

1. Mengenali emosi diri

2. Mengelola emosi diri

3. Memotivasi diri

4. Empati

5. Membina hubungan

Tinggi Dipengaruhi oleh faktor :

1. Keluarga

2. Rekan kerja

3. Narasumber

Emotional Intelligence

(23)

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti mengasumsikan bahwa :

1. Kemampuan wartawan untuk bekerja secara profesional sangat

berkaitan dengan kemampuannya dalam mengenali emosi diri,

mengelola emosi, memotivasi diri dan memanfaatkan emosi secara

produktif, empati dan mengenali emosi orang lain dan membina

hubungan baik dengan orang lain.

2. Wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional Intelligence tinggi, memiliki kemampuan mengenali emosi diri,

mengelola emosi, memotivasi diri dan memanfaatkan emosi secara

produktif, empati dan mengenali emosi orang lain dan membina

hubungan baik dengan orang lain yang berbeda-beda derajatnya.

3. Wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional Intelligence rendah, memiliki kemampuan mengenali emosi diri,

mengelola emosi, memotivasi diri dan memanfaatkan emosi secara

produktif, empati dan mengenali emosi orang lain dan membina

hubungan baik dengan orang lain yang berbeda-beda derajatnya.

4. Tingkat Emotional Intelligence Wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin dipengaruhi oleh faktor keluarga, rekan kerja dan

(24)

58

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN & SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh gambaran emotional intelligence

wartawan Surat Kabar Harian “X” Banjarmasin, yaitu :

1. Sebesar 71,43% wartawan Surat Kabar Harian “X” Banjarmasin memiliki

Emotional Intelligence yang rendah dan 33,33% wartawan lainnya

memiliki Emotional Intelligence yang tinggi.

2. Wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional

Intelligence rendah, memiliki kemampuan yang rendah pada aspek

mengenali emosi dan aspek membina hubungan dengan orang lain.

3. Wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional

Intelligence tinggi, memiliki kemampuan yang tinggi pada aspek

mengelola emosi diri, aspek memotivasi diri dan aspek empati.

4. Wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional

Intelligence rendah dipengaruhi oleh ajaran orang tua mengenai tenggang

rasa dan support dari orang tua ketika wartawan menghadapi masalah,

masukan dari rekan kerja serta pengalaman wartawan ketika bekerja

meliput dan mengolah berita. Sedangkan wartawan Surat Kabar “X”

Banjarmasin yang memiliki Emotional Intelligence tinggi, dipengaruhi

oleh ajaran orang tua mengenai tenggang rasa dan support dari orang tua

(25)

59

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Dari hasil penelitian, hal-hal yang bisa disarankan antara lain:

Kegunaan Teoritis :

1. Bagi peneliti-peneliti lain, untuk meneliti mengenai emotional intelligence

khususnya faktor internal yang memengaruhi emotional intelligence pada

wartawan.

2. Bagi peneliti-peneliti lain, untuk meneliti mengenai emotional intelligence

agar mempertimbangkan usia dan masa kerja sebagai data penunjang.

Kegunaan Praktis :

1. Untuk wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang memiliki Emotional

Intelligence rendah, diharapkan untuk meningkatkan kemampuan dalam

memotivasi diri dan membina hubungan dengan orang lain dengan cara

menyemangati diri ketika bekerja agar pekerjaan lebih optimal dan

memperluas relasi sosial.

2. Bagi pihak Redaksi Surat Kabar Harian “X” Banjarmasin terutama

Redaktur, diharapkan untuk melakukan pembinaan ataupun pelatihan

dengan modul yang berisi tentang pengendalian emosi dan pengelolaan

emosi serta empati untuk meningkatkan Emotional Intelligence wartawan

Surat Kabar “X” Banjarmasin yang rendah dan mempertahankan

Emotional Intelligence wartawan Surat Kabar “X” Banjarmasin yang

(26)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

El-Rahman, Taufik. 2012. Tanah Banjar : Intelektualisme Tak Pernah Mati,

Banjarmasin : Penakita Publisher

Gardner, Howard dalam Goleman, Daniel. 2005 Emotional Intelligence:

Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih Penting daripada IQ. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama

Goleman, Daniel 2005. Emotional Intelligence : Kecerdasan Emosional Mengapa

EI Lebih Penting daripada IQ, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Goleman, Daniel 2005. Emotional Intelligence : Working with Emotional

Intelligence : Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi,

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

LeDoux, Joseph dalam Goleman, Daniel. 2005. Emotional Intelligence :

Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ, Jakarta :

PT. Gramedia Pustaka Utama

Mayer, John dalam Goleman, Daniel. 2005. Emotional Intelligence : Kecerdasan

Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ, Jakarta : PT.

Gramedia Pustaka Utama

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Nugroho, Yohanes Anton. 2011. It’s Easy : Olah Data dengan SPSS, Yogyakarta :

Skripta

Priyatno, Dwi. 2011. Buku Saku SPSS : Analisis Statistik Data Lebih Cepat,

(27)

Universitas Kristen Maranatha Solovey, Peter dalam Goleman, Daniel. 2005. Emotional Intelligence :

Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ, Jakarta :

(28)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Fakultas Psikologi. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III.

Bandung: Universitas Kristen Maranatha

http://idnugrohokej.blogspot.com, diakses 14 April 2010

http://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan, diakses 22 April 2010

http://pwi.or.id/index.php/UU-KEJ.html, diakses 3 Juni 2010

http://umum.kompasiana.com, diakses 14 April 2010

http://www.harianjoglosemar.com, diakses 14 April 2010

http://www.penulissukses.com/penulis37.php, diakses 17 Maret 2011

Kurniawan, Christina. 2010. Skripsi. Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan

Emosional pada Guru SMP “X” Bandung. Bandung; Universitas Kristen

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pelabuhan Indonesia IV (cabang) Kelas IV Tolitoli menjalankan proses bisnisnya dengan melakukan pencatatan laporan keuangan dari perusahaan secara manual. Hal ini

PENGARUH MOTIV ASI DAN DISIPLIN TERHADAP KINERJA APARATUR PADA KECAMATAN MUARA BATU KABUPATEN ACEH UTARA Kepada Yth: Bapak I Ibu Rcspondcn ditcmpat Dcngan hormat, Dalam rangka

Teknik double tounging Tu, Ku, ambasir, tone colour, dan nada 80’’ 80’’ 80’’ Demontrasi, imitasi, drill, ceramah, dan Tanya jawab Memainkan tangga nada,

Berdasarkan Perpres No. 70 Tahun 2012 Lampiran IV A Bagian 2.e.1),2),3),4) terhadap peserta yang akan diusulkan sebagai calon pemenang lelang, dilakukan pembuktian

Motivasi kerja menurut Marihot (2005) adalah faktor-faktor yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam

bentuk video. Semua pemilih yang diberikan kertas suara oleh KPPS, pemilih itu memberikan kertas suara tersebut kepada seseorang yang bernama Marthen Antoh yang berdiri

Ini dikarenakan pada siklus I siswa sudah mulai memahami layanan bimbingan kelompok, sehingga dari ke 9 orang siswa tersebut sudah 4 orang yang bisa mencapai