• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN OBAT TRADISIONAL ILEGAL DI KOTA MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN OBAT TRADISIONAL ILEGAL DI KOTA MAKASSAR"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN OBAT TRADISIONAL ILEGAL

DI KOTA MAKASSAR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana hukum Jurusan ilmu hukum

pada Fakultas Syariah dan hukum UIN Alauddin Makassar

oleh : HAERANDI NIM:10400114243

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2020

(2)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Hardin

NIM : 100400114243

Tempat/Tgl.Lahir : Luwu Timur, 08 Desember1995

Jurusan : Ilmu Hukum

Fakultas : Syariah dan Hukum

Alamat : Jl. Talasalapang 2 Blok L1 Nomor 8

Judul : Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Peredaran Obat Tradisional Ilegal di Kota Makassar

Menyatakan dengan sesungguhnya skripsi saya ini adalah asli hasil karya atau penelitian penulis sendiri dan bukan plagiasi dari karya orang lain kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.

Samata, Juni 2021 Penulis

Haerandi

NIM: 100400114243

(3)
(4)

ii

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraku

Segala puji penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penyusun hingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Obat Tradisional Ilegal di Kota Makassar” yang merupakan tugas akhir dan salah satu syarat pencapaian gelar sarjana Hukum pada Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Tak lupa kita kirimkan shalawat serta salam atas Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi Rahmatan Li-Alamin pembawa jalan kebenaran untuk seluruh umat Islam.

Skripsi ini tentunya tak lepas dari bantuan banyak pihak yang selalu mendukung penulis baik secara moril dan materil. Maka dengan ketulusan hati, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah membantu dan membimbing dalam proses penyelesaian skripsi ini:

1. Kepada orang tua yang tercinta yaitu Arfah dan Hawaisah yang selalu memberikan motivasi, kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar sarjana hukum. Serta saudara-saudara penulis dan seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik secara moril dan materil.

2. Prof.Hamdan Juhanis M.A.,Ph.D., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

(5)

iii

3. Dr. H. Muammar Muhammad Bakry Lc.,M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

4. Bapak Dr Rahman Syamsuddin S.H.,M.H., selaku ketua jurusan Ilmu Hukum dan Bapak Abd Rais Asmar S.H.,M.H., selaku sekretaris jurusan Ilmu Hukum.

5. Ibu St. Nurjannah S.H.,M.H., selaku pembimbing I dan Bapak Ashar Sinilele S.H.,M.H., selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, nasehat kepada penulis sehingga skripsi ini selesai.

6. Ibu Istiqamah S.H.,M.H., selaku penguji I dan Ibu Erlina S.H.,M.H., selaku penguji II yang telah memberikan saran, masukan, kritikan terhadap skripsi penulis hingga selesai.

7. Ketua BPOM Makassar sekarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum 2014, kelas Ilmu Hukum E terkhusus kepada saudara Ahmad Faisal, Harfil Utamimi, Fakhruddin, Firman Nur, Masnur yang tak bosan-bosannya menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman KKN Angkatan 58 posko Bila Kecamatan Amali Kabupaten Bone yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis.

10. Untuk keluarga besar UKK KSR-PMI Unit 107 UIN Alauddin Makassar sebagai wadah belajar penulis selama ini yang telah banyak memberikan pelajar bagi penulis mulai dari bagaimana cara manajemen waktu dan proses bertanggung jawab atas amanah yang diberikan.

(6)

iv

11. Teman-teman AMPT yang tak henti-hentinya memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Usaha maksimal telah dilakukan penulis dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Samata, 01 Januari 2020

Penulis

Haerandi 10400114243

(7)

v DAFTAR ISI

JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

TRANSLITERASI ... v

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ...xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1-12 A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian ... 10

BAB II Tinjauan Pustaka ... 13-39 A. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen ... 13-21 1. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 14

2. Asas Dan tujuan perlindungan konsumen ... 17

3. Hak dan Kewajiban Konsumen….…………... 22

B. Hak hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 22-24 1. Hak Hak Pelaku Usaha ... 22

2. Kewajiban Pelaku Usaha ... 23

3. Perbuatan Yang Di Larang Dalam Pelaku Usaha ... 24

C. Tahap Tahap Transaksi Konsumen ... 27

D. Penyelesaian Sengketa dan Sanksi Sanksi ... 31-33 1. Penyelesain Sengketa ... 31

2. Sanksi Sanksi ... 33

(8)

vi

E. Pengertian Obat Tradisional ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 40-42 A. Jenis dan Lokasi Penelitian ... 40

B. Pendekatan Penelitian ... 40

C. Sumber Data ... 41

D. Metode Pengumpulan Data ... 41

E. Analisis Data ... 42

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ... 43-68 A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 43-48 B. Perlindungan Hukum Konsumen Terahadap Peredaran Obat Tradisional Ilegal Di Kota Makassar ... 49-56 C. Peran Pemerintah Terhadap Peredaran Obat Tradisional Ilegal di Kota Makassar ... 57-68 BAB V PENUTUP ... 69-70 A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

(9)

vii ABSTRAK Nama : Haerandi

NIM : 10400114243 Jurusan : Ilmu Hukum

Judul : Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Peredaran Obat Tradisional Ilegal Di Kota Makassar

Pokok permasalahan dari penelitian ini adalah adalah mengenai Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Obat Tradisional Ilegal di Kota Makassar. Pokok Masalah tersebut selanjutnya dirumuskan kedalam submasalah atau pertayaan penelitian, yaitu: 1 Bagaimana perlindungan hukum konsumen terhadap obat tradisional ilegal di kota Makassar? 2 Bagaimana peran dan tanggung jawab pemerinta untuk melindungi konsumen terhadap peredaran obat tradisional ilegal di kota makassar?

Dalam upaya untuk meneliti masalah tersebut, maka peneliti adalah menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang- undangan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adapun sumber data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengawasan badan pengawas obat dan makanan terhadap peredaran obat tradisional ilegal di Makassar masih kurang baik. Untuk mencegah terjadinya Peredaran obat tradisional ilegal maka dari pihak BPOM itu sendiri harus lebih meningkatkan kinerjanya untuk rutin turun langsung kelapangan untuk mengawasi peredaran obat tradisional ilegal.

Implikasi dari penelitian ini adalah : hendaknya BPOM sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab terhadap Peredaran obat tradisional ilegal, harus lebih teliti terhadap pengawasan Peredaran obat tradisional ilegal, baik sebelum diedarkan dan/ atau setelah obat tradisional ilegal beredar di pasaran.

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Adanya globalisasi dan pasar bebas membuat, perkembangan perekonomian yang pesat dan telah menghasilkan beragam jenis variasi barang dan/atau jasa. Dengan dukungan teknologi dan informasi, perluas ruang, dan arus transaksi barang dan/atau jasa, telah melintasi batas batas wilayah negara.

Konsumen pada akhirnya di hadapkan pada barang dan/atau jasa yang di tawarkan secara variasif.

Kondisi seperti ini, pada suatu sisi menguntungkan konsumen, karena kebutuhan barang dan/atau jasa yang di inginkan dapat dipenuhi dengan beragam pilihan. Namun disisi lain, globalisasi dan pasar bebas cenderung menghasilkan barang dan/atau jasa yang kurang terjamin keamanannya, dan kesehatan barang tersebut. Fenomena tersebut menempatkan kedudukan konsumen terhadap produsen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang terlemah. Karena konsumen menjadi menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang besarnya melalui kiat promosi dan cara penjualannya yang merugikan konsumen.1

Ketidak berdayaan konsumen dalam menghadapi produsen jelas sangat merugikan rakyat. Pada umumnya produsen berlindung dibalik standard contract atau sering kita kenal dengan perjanjian baku yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, yakni antara konsumen dan produsen, ataupun memlalui

1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta:

Gramedia,2003), h 12

(11)

informasi semu yang diberikan oleh produsen kepada konsumen. Hal tersebut buka menjadi gejala regional saja, tetapi menjadi persoalan global yang melanda seluru dunia. Timbulnya kesadaran konsumen ini telah melahirkan suatu cabang ilmu baru ilmu hukum, yaitu hukum perlindungan konsumen.

Perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bagian dari kemajuan teknologi dan industri. Kemajuan teknonologi dan indusrti tersebut ternyata telah memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional dalam memproduksi barang barang kebutuhan konsumen secara sederhana, hubungan antara konsumen dan masyarakat tradisional relatif sederhana, dimana konsumen dan produsen dapat bertatap muka segara langsung. Adapun masyarakat modert memproduksi barang barang kebutuhan konsumen secara massal, sehingga menciptakan konsumen secara massal pula (massconsumer consumption). Akhirnya hubungan konsumen dan produsen menjadi rumit, dimana konsumen tidak mengenal produsennya, demikian pula sebaliknya, bahkaan produsen tersebut berada di luar negeri.2

Globalisasi dan pasar modal juga berpengaruh pada peredaran obat obat tradisional, walaupun seperti yang telah kita ketahui bahwa obat tradisional merupakan ramuan yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

Jamu sendiri adalah obat tradisional yang berisi seluru bahan bahan tamanan yang menjadi openyusun jamu tersebut. Jamu disajikan dalam bentuk serbuk seduhan, pil atau cairan. Umumnya, obat tradisional ini dibuat dengan mengacu pada pada resep peninggalan leluhur, satu jenis jamu disusun dari

2 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas indonesia, 2004) h 2-3

(12)

berbagai tanaman obat yang jumlahnya anatar 5-10 macam, bahkan lebih.

Sejarah jamu disebutkan telah muncul untuk pertama kali sejak jaman kerajaan Mataram atau sekitar 1300 tahun yang lalu. Jamu sendiri mengambil kiblat Ayeverda dari India. Meskipun begitu, jamu di Indonesia secara siknifikan berbeda karena beberapa bahan herbal yang hanya bisa ditemukan di Indonesia.

Ketenaran jamu berdampak pada beberapa kejadian, yang pertama, buku tentang meramu jamu untuk pertama kali ditulis oleh Kloppenburg Versteegh seorang wanita asal Belanda di tahun 1911. Selain itu, jamu juga telah menarik salah satu peneliti asal Eropa yang kemudian menulis sebuah komposisi yang mengulas tentang minuman tradisional asal pribumi ini yang bernama Jacobus Bontius.

Kepopuleran jamu dikhalayak warga asing memuncak pada abad ke 19 dimana saat itu banyak dokter dan peneliti asal Eropa menemukan kesulitan untuk mengatasi banyak gangguan kesehatan. Karena penemuan mereka tentang keefektifitasan jamu, pada akhirnya di tahun 1829, seorang ahli fisika asal Jerman kembali mempublikasikan sebuah buku lain tentang jamu. Para ahli dari berbagai negara seperti Jerman, India, Cina, Indonnesia dan sebagainya, tak henti hentinya melalukan penelitian dan pengujian berbagai tumbuhan yang secara tradisioanal dapat menyembuhkan.3 Jamu merupakan kearifan lokal asli Indonesia yang mendunia karena terkenal khasiatnya sebagai penyembuh ampuh melawan berbagi penyakit yang diderita hingga menjaga kebugaran dan stamina. Jamu bersifat alami karena bahan bahan dasar utamanya menggunakan bahan bahan alam atau tumbuh tumbuhan.

3Thomas a.n.s, Tanaman obat tradisional 2,(jogjakarta: kanisius 2007) h 9

(13)

Obat tradisional saat ini semakin banyak digunakan, bahkan saat ini banyak industri farmasi yang sudah banyak memanfaatkannya. Terbukti semakin banyak produk obat obatan berbahan tradisional dipasaran.4 Ilmu kedokteran modert masih mempuyai kekuran dan keterbatasan dalam mengatasi berbagai penyakit degeneratif (penyakit akibat penurunan fungsi organ tubuh) seperti diabetes mellitus, hipertensi, asam urat dan lain sebagainya. Berbagai jenis pengobatan dapat dilakukan salah satunya iyalah menggunakan ramuan obat berbahan herbal.

Pada era modert ini obat tradisional kembali digemari oleh masyrakat, selain karena harganya yang relatif lebih murah juga karena efek samping dari penggunaan obat relatif lebih kecil, jika di gunakan secara tepat. Selain itu sejumlah obat tradisional yang telah dikemas secara modert pula memberikan keuntungan tersendiri bagi konsumen, karena disamping praktitis (siap komsumsi), obat tradisional juga bisa awet cukup lama yakni sekitar 2 tahun jika disimpan pada tempat yang sejuk. Selain itu beberapa obat herbal yang dikemas umumnya telah memalui uji praktis ataupun klinis untuk mengetahui keamanannya.

Namun, obat tradisional kemasan yang di proses secara modert juga sering menimbulkan masalah bagi konsumen, seperti penambahan bahan berbahaya ataupun BKO (bahan kimia obat).Walaupun bukan berarti obat tradisional yang diproses secara industri rumah tangga bebas dari permasalahan ini, tapi kasus pemalsuan obat tradisional juga penabahan zat berbahaya dan BOK lebih banyak

4 Agus Kardinan dan Fauzi Rahmat Kusuma, Sehat Dengan Ramuan Tradisional.

(Depok: PT Agromedia pustaka, 2004) h 4

(14)

pada obat tradisional yang dikemas secara moderen.5 Oleh karna itu konsumen harus berhati hati dalam memilih obat tradisional, termaksut herbal, baik yang di buat oleh industri rumah tangga, ataupun yang dikemas secara moderen.

Menurut badan pengawasan obat dan makanan (BPOM) sampai saat ini masih menemukan beberapa produk obat tradisional yang di dalamnya dicampuri bahan kimia obat. Obat tradisional inilah yang menjadi selling point bagi produsen. Hal ini dikemungkinan kurangnya pengetahuan produsen tentang obat tradisional yang mengandung bahan kimia akan membahayakan konsumennya.

Penggunaan obat tradisional yang tidak terkontrok baik dosis maupun cara penggunaannya atau bahkan semata mata demi meningkatkan penjualan, karna konsumen menyukai obat obat yang tradisional yang bereaksi cepat sembuh.6

Selain itu, pengolahan makanan, kosmetik dan obat obatan telah berkembang sedemikian pesatnya yang melibatkan proses yang kompleks dan terkadang rumit serta dengan keragaman bahan-bahan bakunya, menjadikan permasalah makanan, obat obatan dan kosmetik tidak lagi sederhana. Oleh sebab itu konsep halal dan baik tersebut, sejatinya telah berkembang tidak hanya terhadap makanan semata, akan tetapi segala sesuatu yang dikonsumsi baik secara langsung atau melalui suatu proses produksi.7

Beberapa jenis obat tradisional seperti obat ceng fui yen capsule, miss slim capsule, Power V gold tingkat gingseng, buatan negara Brunai ini mengandung

5 Nurheti Yuliarti, Sehat, Cantik, Bugar Dengan Herbal dan Obat Tradisional. (Jakarta:

Gramedia, 2010) h 32

6 www.pom.go. id (08 Agustus 2018)

7 Ashabul Ashabul, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Muslim Di Indonesia (Jurisprudentie Volume 5 Nomor 1 Juni 2018): h 48.

(15)

bahan kimia seperti: sildenafil, cyproheptadine, cyproheptadine dan statusnya tidak terdaftar di BPOM. Adapun efek samping jangka panjang dari obat tersebut ialah dapat menimbulkan angina (istilah yang digunakan dimana jantung gagal memproduksi darah dengan cukup) hal ini dapat menyebabkan serangan jantung.

Dari hasil penulusuran BPOM kota Makassar8, menemukan 355 daftar obat herbal yang tidak memiliki surat izin edar. Lima diantaranya mengandung bahan kimia obat, padahal aturannya obat herbal harus steril dari bahan kimia. Hal itu di ungkapkan oleh Kepalah BPOM sulsel, Dra Erni Arnida, saat di temui di kanntornya, senin (17/12/2018). Total yang kita temukan ada 335 item obat tradisional (obat herbal) yang tidak memenuhi syarat. Terdiri dari 300 item TIE (tanpa Ijin Edar) tidak terdaftar dicheck produk BPOM karena registrasi sudah berakhir dan belum diperpanjang.

Menurut Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta, terus terulangnya temuan jamu yang dicampur dengan bahan kimia obat dinilai sebagai imbas dari kurang konsisten dan tidak adanya program kontrol serta sosialisasi yang sistemik dan efisien dari BPOM.

Semestinya BPOM wajib memutuskan mata rantai penyalur dan menyampaikan dampaknya kepada masyarakat jika mengonsumsi jamu yang menggunakan bahan kimia obat.9

Menurut Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen BPOM, Ruslan Aspan, kegiatan memproduksi atau mengedarkan obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat melanggar

8 Http: MakassarTribunNews.com. (Senin 17 Desember 2018 22:34)

9 www.pom.go.id (14 November 2018 10:10)

(16)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan) dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-.10

Umumnya diketahui bahwa sanksi merupakan sarana agar ada kepatuhan warga negara terhadap norma norma hukum. Itulah sebabnya hingga secara teoritik dikatakan bahwa norma norma yang terdapat dalam suatu aturan tidaklah memiliki kekuatan serta wibawa jika tidak disertai dengan sanksi.11

Dalam hal penindakan, Pemerintah harus tegas menerapkan sanksi dalam menyikapi kasus obat tradisional berbahan kimia obat karena bila penerapan sanksinya belum tegas maka kemungkinan besar pemalsuan akan semakin meningkat. Oleh karena itu, BPOM bekerja sama dengan Menteri Perdagangan telah melakukan penertiban obat tradisional berbahan kimia obat yang berbahaya, dengan cara menarik produk-produk tersebut dari peredaran.

Selain itu, BPOM juga melakukan peringatan kepada penjual agar tidak menjual obat tradisional yang sudah ditarik dari peredaran. Kendala dari tindakan tersebut adalah jika sanksi yang dikenakan terlalu ringan sehingga kejadian akan terulang lagi.12

Atas dasar latar belakang pemikiran tersebut, penulis menganggap hak-hak konsumen terutama kesehatan konsumen perlu dilindungi terhadap produk obat tradisional berbahan kimia obat yang berbahaya bagi kesehatan sehingga

10Tic, “Badan POM Tarik 54 Jamu dari Pasaran,” Media Indonesia (11 Juni 2008).

11 ABD Haris Hamid SH, MH, “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia” (Makassar:

CV SAH Media, 2017) h 230

12 Yusuf Waluyo Jati dan Rachmat Sujianto, “GP Jamu Pecat Anggota Yang Memproduksi Jamu Kimia,” Bisnis Indonesia (16 juni 2008).

(17)

merugikan konsumen. Oleh karena itu, penulis membuat skripsi yang berjudul

“Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Peredaran Obat Tradisional ilegal di Kota Makassar”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka ada beberapa masalah yang dapat dikemukakan, yaitu:

1. Bagaimana perlindungan hukum konsumen terhadap peredaran obat tradisional ilegal di kota Makassar?

2. Bagaimana peran pemerintah terhadap peredaran obat tradisional ilegal di kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek hukum perlindungan hukum konsumen terhadap peredaran obat tradisional berbahan kimia obat sesuai dengan Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen dan bagaimana penerapan tentang undang- undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Dari tujuan tersebut dapat diketahui tujuan-tujuan yang lebih spesifik, sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum konsumen terhadap peredaran obat tradisional ilegal di kota Makassar.

b. Untuk mengetahui bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi peredaran obat tradisional ilegal di kota Makassar.

(18)

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan penelitih agar dapat lebih mengetahui dan memperdalam penelitian, sebagai berikut:

1. Bagi ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi diera globalisasi ini khususnya dalam hukum perdata dan perlindungan hukum terhadap konsumen.

2. Bagi peneliti

Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang bagaimana penerapan perlindungan hukum konsumen.

E. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Defenisi Operasional

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kerangka konsepsi yang diambil dari sumber pustaka seperti undang-undang dan buku-buku.

Adapun beberapa kerangka konsepsi yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.13

b. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen

13. Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen Tentang Perlindungan Konsumen

(19)

yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pemakai langsung atau orang yang mengkonsumsi obat tradisional berbahan kimia/zat berbahaya.

c. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha dalam hal ini adalah pelaku usaha yang memperdagangkan obat tradisional yang palsu atau yang mengandung bahan kimia/zat berbahaya.

d. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.14

e. Jamu adalah obat tradisional Indonesia.

f. Obat Herbal Terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi

g. Memproduksi adalah membuat, mencampur, mengolah, mengubah bentuk mengisi, membungkus dan atau memberi penandaan obat tradisional untuk diedarkan.15

14. Peraturan Kepala BPOM No.HK.005.05.41.1384

15 Departemen Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Izin Usaha Industri Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional, Permen Kesehatan No.246/

Menkes /Per/V/1990, Pasal. 1, butir 6.

(20)

h. Mengedarkan adalah menyajikan, menyerahkan, memiliki atau menguasai persediaan di tempat penjualan dalam lndustri Obat Tradisional atau di tempat lain, termasuk di kendaraan dengan tujuan untuk dijual kecuali jika persediaan di tempat tersebut patut diduga untuk dipergunakan sendiri.

i. Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB) adalah cara pembuatan obat tradisonal yang meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.16

j. Zat Kimia/Zat berbahaya adalah bahan-bahan kimia yang telah dicampur dan diracik sedemikian rupa sehinggaa menjadi obat tradisional dengan takaran serta campurannya yang berlebih tanpa mengukur dosis, sehingga dapat menimbulkan efek samping yang yang fatal bagi penggunanya.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini penulis hanya terbatas pada lingkup Dinas Kesehatan Kota dan BPOM sebagai sasaran utama untuk memperoleh data dan informasi penting terkait rumusan masalah yang telah penulis siapkan. Sesuai judul yang telah ada maka fokus utama penulis adalah perlindungan terhadap konsumen dari peredaran obat tradisional berbahan kimia/zat berbahaya berdarkan Undang Undang Nomor 8 tahun 1999.

16. Peraturan Kepala BPOM No:HK.00.05.4.1380, op. cit., Pasal. 4, butir b

(21)

BAB II

TINJAUAN PUATAKA A. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen

Dalam UUPK terdapat pengertian dasar, asas dan tujuan dari perlindungan konsumen. Pada sub bab ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Pembahasan sekilas mengenai pengertian, asas, dan tujuan hukum dari hukum perlindungan konsumen diperlukan untuk memberikan deskripsi yang jelas mengenai aspek perlindungan konsumen terhadap peredaran obat tradisional yang mengandung bahan kimia/zat berbahaya. Di Indonesia perlindungan terhadap konsumen diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Di negara negara lain, pengakuan hak-hak konsumen diatur, bahkan dalam konstitusi (UUD) suatu negara. Sebagai contoh, Filiphina, Thailand, dan Vietnam.

17Dari segi isinya ada tiga model pendekatan dalam upaya perlindungan konsumen dibawah undang-undang, sebagai berikut:

1. Pendekatan sektoral, Artinya hak hak konsumen diakomodir dalam berbagai produk undang-undang sektoral. Contohnya hak hak konsumen pangan diatur dalam Undang-Undang Pangan, dan seterusnya;

2. Pendekatan holistrik, ada undang-undang yang secara khusus mengatur masalah perlindungan konsumen, sekaligus menjadi payung undangundang sektoral yang berdimensi konsumen;

3. Pendekatan gabungan, Selain ada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara khusus, untuk hal-hal yang lebih detail dan teknis masih

17 .Sudaryatmo, Hak-Hak Konsumen dalam Az Nasution Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2009), h. 3

(22)

dipertegas dalam undang-undang sektoral. Di Indonesia pendekatan inilah yang dipakai oleh pemerintah.

a. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UUPK di rumuskan pengertian mengenai perlindungan konsumen sebagai: “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.18

Rumusan perlindungan konsumen ini yang terdapat dalam perlindungan komsumen pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (selanjutnya disebut undang-undang perlindungan konsumen/UUPK) tersebut cukup memadai. 19Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”. Diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang wenang yang merugikan pelaku usaha hanya untuk kepentingan usah, keistimewahan karena beberapa perekonomian nasional banyak ditemukan oleh pelaku usaha.

Hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan barang dan/atau jasa antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan hukum perlindungan konsumen sendiri adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan penggunaan barang dan/atau jasa konsumen antara penyedia

18. Undang Undang Repoblik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

19. Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Rajawali Pers,2010). h 21

(23)

dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.20

Indonesia seperti halnya negera berkembang lainnya menghadapi permasalahan yang tidak jauh berbeda dalam bidang hukum perlindungan konsumen. Kondisi konsumen di Indonesia masih sering mengalami hal hal yang merugikan dirinya, tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah.21 Permasalahan ketidak seimbangan kedudukan konsumen tersebut dijembatani oleh hukum perlindungan konsumen.

Az. Nasution22 dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

2. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

20. Az Nasution, Konsumen dan Hukum; Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1995), h. 37

21. Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers. 2011), h 1

22. Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,(Jakarta: Diadit Media 2001), h. 13

(24)

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hans W.Miklitz23 secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen yaitu:

a. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Memiliki tingkat pendidikan tertentu;

2) Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar bebas;

3) Lancar berkomunikasi.

b. Konsumen yang tidak terinformasi yang memiliki ciri-ciri:

1) Kurang berpendidikan;

2) Termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah;

3) Tidak lancar dalam berkomunikasi.

Kepastian hukum itu meliputi segalah upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membelah hak hak nya apabila dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. 24Dengan kata lain, perlindungan konsumen yang sesungguhnya identic dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.

23. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo Edisi Revisi 2004), h 3

24. Celiana Tri Siswi Kristiyanti,hukum perlindungan konsumen, Cet III, (Jakarta : Sinar Grafika 2011), h 21

(25)

Secara umum ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:

a) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety) b) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to informed) c) Hak untuk memilih (the right to choose)

d) Hak untuk didengar (the right to be heard)

Empat hak dasar yang diakui secara internasional dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam the internasional organisiaton of consumer union (IOCU) menambakan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan ganti kerugian, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam setiap undang undang yang sudah di buat pembentukan undang undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang undang tersebut. Asas asas hukum merupakan pondasi suatu undang undang dan peraturan pelaksanaanya.25 Bila asas asas di kesempingkan, maka runtulah bangunan undang undang itu dan segenap peraturan pelaksanaanya.26

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembagunan nasional yaitu:

27Berdasarkan UU perlindumgan konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.

25 Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo 2006), h 3

26 Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia 2002) h 25

27. Happy susanto, Hak-hak Konsumen jika dirugikan,(Bandung: transmedia pustaka, 2008), h. 17.

(26)

1. Asas manfaat

Yang di maksud asas ini segalah upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruan.

2. Asas keadilan

Asas yang dimaksud agar partisipasi seluru rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberi kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen. Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari peraturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini ditujukankan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam pengunaan pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikomsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperolehkeadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Memperhatikan substansi pasal 2 Undang-undang perlindungan konsumen demikian pula penjelasnya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi

(27)

pembagunan nasional yaitu pembaguanan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara repoblik Indonesia.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan subtansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

a. Asas keamanfaatan di dalamnya meliputi asas keseimbangan dan keselamtan konsumen ,

b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan c. Asas kepastian hukum.

1) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberi kan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan informasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.28

c. Hak Hak Dan Kewajiban Konsumen

Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan oleh hukum atau perlindungan mengunakan perantara dan sarana hukum. Ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut:29

1. Membuat peraturan (by giving regulation) yang bertujuan untuk:

a. Memberikan hak dan kewajiban;

b. Menjamin hak hak para subjek hukum

28 Ahmadi Miru,hukum perlindungan konsumen, Cet.2. (Jakarta: Rajawali Pers,2010), h.21

29 Munir Fuadi, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku II (Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1994) h 184

(28)

2. Menegakaan peraturan (by the law enforcement) melalui:

a. Hukum administasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak hak konsumen, dengan perizinan dan pengawasan

b. Hukum pidana berfungsi untuk melindungi (repressive) setiap pelanggaran terhadap peraturan perundangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman

c. Hukum perdata yang berfungsi unntuk memulihkan hak (curative recovery) dengan membayar kompensasi atau ganti rugi karna istilah

“perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlinduangan hukum.

Munir Fuadi menyatakan kehadiran suatu kaidah hukum, aturan hukum, alat hukum dan ketegakan hukum yang menetap adalah dambaan masyarakat indonesia sekarang ini, hingga para konsumen, produsen, bahkan segenap masyarakat akan memetik hasilnya.30

B. Hak Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 1. Hak Pelaku usaha

UUPK tidak hanya mengatur hak-hak konsumen tetapi juga mengatur perilaku pelaku usaha sehingga secara tidak langsung juga akan turut mempengaruhi perilaku dunia usaha untuk melakukan persaingan yang lebih sehat dan jujur. Untuk mengatur perilaku pelaku usaha, maka Pasal 6 UUPK telah mengatur hak-hak dan kewajiban pelaku usaha yang diatur sebagai berikut:

30 Nurmayandjito, kesiapan perangkat peraturan perundang undangan tentang perlindungan konsumen di indonesia , “dalam husni syawali dan neni Sri Irmaniyati, penyunting buku hukum perlindungan konsumen (Bandung: Mandar Maju 2000) h. 18

(29)

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Kewajiban Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya tidak hanya memerima haknya saja, tapi juga dalam menjalankan usahanya ada beberapa kewajiban yang harus di taati sebagaimana yang di atur dalam pasal 7 UUPK. Kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai berikut:

a. Beritikad baik dalam melakukan usaha.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen dengan benar dan jujur serta tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau di

(30)

perdagangkanberdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

3. Perbuatan yang di Larang Dalam Usaha

Seperti yang telah diketahui bahwa UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud sebagai hal yang membawa dampak negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus di hindari dari pelaku usaha. Untuk menghindari akibat negatif dari barang dan/atau jasa tersebut, maka UUPK menentukan berbagai larangan. Dalam BAB IV UUPK mulai dari pasal 7-18 menjelaskan semua upaya yang di larang dalam pelaku usaha. Ketentuan dalam pasal 8 UUPK merupakan ketentuan umum yang berlaku bagi kegiatan usaha dari pelaku usaha pabrikan atau distributor di negara Republik Indonesia (RI). Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa pelaku usaha

(31)

dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:31 a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,

31. Abd haris hamid“ Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia” (Makassar: CV SAH Media) h 142

(32)

tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu,32 pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Jika ada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran maka pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Secara garis besar perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha dalam Pasal 8 UUPK dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu,

1) Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;

2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen.33

Sedangkan dalam Pasal 9 UUPK mengatur bahwa pada dasarnya pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar. Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 10

32 Abd haris hamid“ Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia” (Makassar: CV SAH Media) h 142

33 Duwi Handoko “ Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen” (Pekambaru: Hawa dan Ahwa 2019) h 29

(33)

UUPK, yaitu bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a) harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

b) kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c) kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d) tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

C. Tahap Tahap Transaksi Konsumen

Konsep pemahaman perlindungan konsumen akan lebih mudah untuk di analisis jika dilihat dari segi transaksinya. Transaksi konsumen berarti proses terjadinya peralihan pemilikan atau penikmatan barang atau jasa konsumen dari penyedia barang atau penyelenggara jasa kepada konsumen. Peralihan dapat terjadi karena adanya suatu hubungan hukum tertentu sebagaimana diatur dalam (KUH Perdata)atau perundang undangan lainnya.

Menurut AZ. Nasution (1995) dalam bukunya konsumen dan hukum menempatkan arti transaksi konsumen adalah proses terjadinya peralihan pemikilan barang atau pememfaatan jasa konsumen dari peyedia ke pada konsumen. Adapun beberapa tahapan terjadinya transaksi konsumen terdiri dari tiga tahap, yaitu :

(34)

1. Tahap pra-transaksi konsumen;

2. Tahap transaksi konsumen;

3. Tahap purna transaksi konsumen;34

Tahap-tahap diatas, tidaklah secara tegas terpisah satu sama lain. Mungkin saja tahap pertama dan kedua langsung terjadi dalam satu kegiatan konsumen.

Tahap-tahap transaksi konsumen tersebut diperlukan agar dapat dengan mudah memahami akar permasalahan dan mencarikan jalan penyelesaiannya. Disamping itu, dengan pemahaman ini penyusunan suatu perundang-undangan yang khusus untuk melindungi konsumen lebih mudah dan terarah.

Tahapan-tahapan tersebut akan dijelasakan lebih lanjut pada sub bab dibawah ini:

a. Tahap pra transaksi konsumen

Pada tahap pra transaksi konsumen ini transaksi belum terjadi, konsumeen masih mencari cari keterangan dari barang dan/atau jasa yang akan digunakan tersebut, berapa harga dan syarat yang harus ia penuhi, serta mempertimbangkan berbagai fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan. Pada tahap ini, informasi memegang peranan penting. Informasi yang benar dan bertanggungjawab tentang barang atau jasa merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum ia dapat mengambil suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi, baik yang disampaikan dalam memperkenalkan dan memasarkan produk konsumen tersebut, maupun yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Selanjutnya informasi

34 AZ. Nasutioan, konsumen dan hukum, “dalam Extrix Mangkepriyanto, Penyunting Pidana , ITE dan Perlindungan Konsumen” ( GUEPEDIA Publisher 2019) h 127

(35)

tersebut dapat berbentuk:

1) Label etiket pada produk;

2) Kegiatan meningkatkan penjualan dengan menggunakan pamflet, brosur, selebaran, dan sebagainya;

3) Kegiatan hubungan kemasyarakatan dengan upacara-upacara pengguntingan pita, pelepasan produk perdana, pengadaan penyerahan hadiah atau sumbangan;

4) Periklanan atau cara-cara lain memperkenalkan produk pada konsumen b. Tahap transaksi konsumen

Tahapan ini adalah tahapan dimana terjadinya proses peralihan kepemilikan barang dan/atau jasa tertentu dari pelaku usaha kepada pihak konsumen. Pada tahap transaksi ini yang menentukan adalah syarat-syarat perjanjian peralihan pemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa tersebut serta ada tidaknya perjanjian dengan klausula baku yang dilakukan secara sepihak.35

Pelaku usaha wajib memperlakukan konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu barang dan/atau jasa sesuai standar yang berlaku, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji dan mencoba barang/jasa tertentu dan tidak menyediakan klausula baku yang dilarang undang- undang, baik dalam dokumen penjualan maupun rancangan perjanjiannya.

Permasalahan yang sering dihadapi pada tahap ini adalah menyangkut eksistensi dari perjanjian baku yang dibuat oleh pelaku usaha. Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perjanjian baku merupakan wujud dari

35. Az Nasution, (e) Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, cet.1, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional,1995), hlm. 10-11.

(36)

kebebasan berkontrak, tetapi ada sebagian kalangan lagi yang menyatakan bahwa perjanjian baku bukan wujud dari kebebasan berkontrak.

Hal ini terjadi karena perjanjian tersebut ditentukan sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), sedangkan konsumen tinggal memutuskan untuk menerima atau menolak. Biasanya konsumen tidak punya pilihan lain.36

Pada tahapan ini, pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.37 Oleh karena itu, setiap klausula baku yang bertentangan dengan ketentuan khusus dalam UUPK, batal demi hukum.

c. Tahap purna traksaksi

Tahap purna atau pasca transaksi adalah tahapan pemakaian, penggunaan, dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang telah beralih pemilikannya atau pemanfaatannya dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada tahap ini, transaksi konsumen telah terjadi dan pelaksanaannya telah diselenggarakan.

Apabila informasi dari barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha, sesuai dengan ketentuan yang ditentukan dalam pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen tersebut, maka konsumen akan puas.

Tetapi, apabila sebaliknya yang terjadi, maka akan timbul ”masalah” antara konsumen dan pelaku usaha bersangkutan, sehingga timbul sengketa konsumen.

36 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm.35

37Indonesia, Undang undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen pasal. 18 ayat (2).

(37)

D. Penyesesaian Sengketa dan Sanksi Sanksi a. Penyelesaian Sengketa

Yang dimaksud sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha tentang barang dan/atau jasa konsumen tertentu. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan apakah suatu sengketa termasuk dalam sengketa konsumen dalam UUPK, yaitu;

1. pihak konsumen yang bersengketa harus merupakan konsumen seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UUPK.

2. Produk yang disengketakan haruslah merupakan produk konsumen.

Dalam penyelesaian sengketa konsumen, segala peraturan perundang- undangan yang berlaku dan berupa hukum positif, tetap dapat digunakan sepanjang tidak diatur secara khusus atau bertentangan dengan ketentuan dalam UUPK. Hal tersebut didukung dengan jelas dalam ketentuan Pasal 64 UUPK yang berbunyi sebagai berikut :

“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.”

Melalui ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui pengadilan.

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk

(38)

mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali kerugian yang diderita oleh konsumen, sedangkan penyelesaian sengketa di pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku.

Penyelesaian sengketa tersebut tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh kedua pihak yang bersengketa.

Gugatan kepada pelaku usaha dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan kepada pengecer, distributor dan bahkan produsen atau importir dari barang atau jasa yang diperoleh. Pemerintah telah membentuk lembaga antara lain Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berfungsi menangani dan menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan melalui cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi.

Setiap keputusan yang diambil BPSK bersifat final dan mempunyai kekuatan yang mengikat para pihak yang bersengketa.

Meskipun putusan BPSK bersifat final dan mengikat, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Walaupun UUPK hanya memberikan hak kepada pihak yang tidak merasa puas untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun peluang untuk mengajukan kasasi terbuka bagi setiap pihak dalam perkara.

Selain melalui BPSK, para pihak juga dapat mengadukan sengketa yang timbul dengan pelaku usaha melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya (LPKSM) yaitu lembaga non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Tata

(39)

cara penyelesaian sengketa melalui LPKSM juga dapat ditempuh cara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Namun perlu diketahui bahwa keputusan yang dibuat oleh LPKSM sifatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat karena sifatnya hanya menjembatani antara para pihak yang sersengketa.

b. Sanksi Sanksi

Aturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan, dapat ditemukan dalam Pasal 60 sampai Pasal 63 UUPK. Pada prinsipnya hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen adalah hubungan hukum keperdataan. Ini berarti setiap perselisihan yang mengakibatkan kerugian, harus diselesaikan secara perdata.

Meskipun demikian, hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen dapat pula berupa hubungan hukum pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 19 ayat (4) jo. Pasal 22 UUPK. Hal ini dapat saja terjadi apabila pelaku usaha dianggap telah melakukan perbuatan yang merugikan terhadap konsumen dan perbuatan tersebut dapat diancam dengan hukum pidana. Sanksi-sanksi tersebut apabila diuraikan akan terdiri dari :

1. Sanksi Administratif

Sanksi administratif merupakan suatu “hak khusus” yang diberikan oleh UUPK kepada BPSK untuk menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan. Sanksi tersebut mengatur bahwa BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00.

(40)

2. Sanksi Pidana Pokok

Dalam Pasal 61 UUPK memungkinkan dilakukannya penuntutan pidana terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan yang diatur dalam UUPK.

Pidana yang dijatuhkan berupa sanksi pidana pokok. Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Rumusan Pasal 62 UUPK menjelaskan bahwa sanksi pidana dapat dikenakan bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9 Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00. Selain itu bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12 Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00. Sedangkan terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

3. Sanksi Tambahan

Ketentuan Pasal 63 UUPK memungkinkan diberikannnya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan Pasal 62. Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan, berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya

(41)

kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin usah.

E. Pengertian Obat Tradisional

Dalam pasal 1 ayat 1 peraturan kepala pengawasan obat dan makanan republik indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang persyaratan mutu obat tradisional di rumuskan bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sari(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.38

Sedangkan Definisi obat sendiri menurut KBBI di artikan sebagai “bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit, atau menyembuhkan seseorang dari penyakit”.39.

Pada era modert ini obat tradisional kembali digemari oleh masyrakat, selain karena harganya yang relatif lebih murah juga karena efek samping dari penggunaan obat relatif lebih kecil jika digunakan secara tepat.

1. Jenis Obat Tradisional40 a. Jamu

Jamu adalah obat tradisional yang berisi seluru bahan bahan tamanan yang menjadi openyusun jamu tersebut. Jamu di sajikan dalam bentuk serbuk seduhan,

38. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Mutu Obat Tradisional.

39. Mulyono dan Astuti, Sehat Dengan Obat Tradisional, (Depok: PT Agro MediaPustaka 2005) h. 14

40. Suharmiati dan Lestari Handayani, Cara Benar meracik Obat Tradisiona, (Depok:

Agro Media Pustaka 2005) h 5

(42)

pil atau cairan. Umumnya, obat tradisional ini dibuat dengan mengacu pada pada resep peninggalan leluhur, satu jenis jamu disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya anatar 5-10 macam, bahkan lebih. Jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, tapi cukup dengan pembuktian empiris. Di samping klaim khasiat yang di buktikan secara empiris jamu juga harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu. Jamu yang telah di guanakan selama berpuluh puluh tahun atau bahkan sampai beratus ratus tahun telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan.

b. Obat Herbal standar

Meskipun obat tradisional yang di sajikan dari hasil ekstraksi atau penyaringan bahan alam, baik tanaman obat, binatang, maupun mineral. Dalam proses pembuatannya, dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal daripada jamu. Obat herbal ini pada umumnya ditunjang oleh pembuktian ilmiah berupa penelitian praktis. Penelitian ini meliputi standardisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusunannya, stadardisasi pembuatan ekstrak yang higeienis serta uji toksisitas akut maupun kronis.

2. Manfaat Obat Tradisional

Disamping kebutuhan akan sandang, pangan, dan pendidikan, kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan manusia, karena dengan kondisi kesehatan yang baik dan kondisi tubuh yang prima, manusia dapat melaksanakan proses aktifitas dengan baik.

Pada dasarnya, ada dua tipe penggomsumsi obat tradisional. Pertama tipe orang yang panatik terhadap obat tradisional, yang artinya mereka hanya

(43)

menggunakan obat obat tradisional untuk menyembuhkan penyakit. Sementara itu tipe yang ke dua, adalah orang yang ingin mencari alternatif penyembuhan dengan ramuan tradisional setelah ‘putus asa’ menggunakan obat obat kimia (modert). 41 3. Perkembangan Peredaran Obat Tradisional

Saat ini pemerintah mengemukakan gagasan untuk memasukkan obat tradisional ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Misalnya Departemen Kesehatan Republik Indonesia sudah mencanangkan program jamu masuk Puskesmas. Dilain pihak terutama produsen jamu modern, menganggap bahwa seyogyanya jamu yang telah dikemas secara modern dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas, karena bentuk ketersediaannya sudah sama dengan obat modern.

Dalam menanggapi rencana pemerintah itu, maka profesi kedokteran mengemukakan pendapatnya bahwa mereka tidak apriori menerima atau menolak masuknya obat tradisional ke dalam pelayanan kesehatan formal.

Sikap yang selama ini dianut adalah agar sebelum suatu bahan obat digunakan dalam pelayanan kesehatan, perlu dilakukan serangkaian penelitian guna mendapatkan bukti-bukti ilmiah tentang kebenaran khasiat maupun keamanan bahan alami itu. Bila telah terbukti nyata bahwa bahan obat tradisional itu berkhasiat dan aman maka terbukalah jalan bagi obat tradisional untuk masuk dalam pelayanan kesehatan formal seperti fitofarmaka.42

Pada saat sekarang ini, dokter tidak dapat membuat resep dengan menggunakan obat tradisional karena dapat melanggar kode etik kedokteran.

41. Irvan Prapanza dan Lukito Adi Marianto, Sehat Dengan Ramuan Tradisional,(Depok:

Agro Media 2003) h 2

42.Departemen Kesehatan, Kebijakan Obat Tradisional Nasional, (Jakarta: Departemen Kesehatan. 2007), h. 11.

(44)

Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), untuk sementara obat tradisional tidak boleh dipakai dalam pelayanan kesehatan formal karena belum ada penelitian lebih lanjut terhadap obat tradisional dan pengaturan yang memperbolehkan dokter memberikan resep obat tradisional. Selain itu, menurut kode etik kedokteran, dokter tidak boleh menjual obat, termasuk menjual obat tradisional.

Masyarakat kedokteran harus ikut memikirkan akan keselamatan para pemakai obat tradisional. Obat tradisional yang saat ini aktif dipergunakan sebenarnya telah mengalami tempaan secara trial and error selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Meskipun demikian informasi yang diperoleh sekarang ini merupakan pengetahuan empiris dan belum menjadi ilmu pengetahuan itu diperlukan pelaksanaan penelitian-penelitian yang mengikuti sistematika dan kaidah ilmiah. Disadari bahwa pola pengembangan kedua jenis obat tradisional melalui jalur yang sangat berbeda, namun demi keamanan masyarakat Indonesia perlu diterapkan prinsip dasar pengujian obat yang telah diberlakukan. Agar pengembangan obat tradisional tidak dirugikan, memang diperlukan beberapa penyesuaian kaidah etik penelitian. Tahap-tahap berikutnya dalam jangka panjang harus tetap berpegang teguh pada prinsip dasar pengujian suatu obat. Berbagai kendala kuat masih terasa menghambat pelaksanaan pengujian obat tradisional secara ilmiah. Kendala utama adalah kenyataan bahwa para pengusaha obat tradisional cenderung merahasiakan komposisi temuannya, suatu sikap yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pengujian obat. Selain itu masalah kekurangan dana penelitian juga merupakan faktor penghambat yang tidak kecil peranannya.

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian.

Penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kalitatif.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang cenderung menggunakan analisis. Penelitian ini menggambarkan sejauh mana perlindungan konsumen terhadap beredarnya obat tradisional yang mengandung zat kimia berbahaya.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di BPOM kota Makassar (Badan pengawasan obat dan makanan), dimana lembaga tersebut secara langsung melakukan pengawasan terhadap produk kebutuhan manusia, sehingga tidak ada lagi korban atas produk obat dan makanan berbahaya yang dikonsumsi oleh masyarakat.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini yang menggunakan penelitian empiris, yaitu penelitian yang berfokus terhadap suatu fenomena atau keadaan dari objek penelitian secara detail dengan menghimpun kenyataan yang terjadi serta mengembangkan konsep yang ada.

(46)

C. Sumber Data

Adapun sumber data dari penyusunan skripsi ini terdiri dari:

1. Sumber data primer

Data primer merupakan sumber yang di peroleh dari penelitian lapangan yang di lakukan secara observasi dan melakukan wawancara secara langsung kepada informen yang terkait dengan penelitian.

2. Sumber data sekunder

Data sekunder yaitu data yang di kumpulkan dari hasil kajian pustaka, jurnal, dan dokumen dokumen yang lain yang terkait dengan objek penelitian. Seperti:

a. KUHAP Perdata

b. Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

c. Undang-undang no.36 tahun 2009 tentang tentang kesehatan D. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Observasi

Pengamatan secara langsung pada obyek penelitian, peneliti melakukan pengamatan sikap, perilaku, dan tindakan yang dilakukan oleh obyek penelitian. Peneliti melakukan catatan catatan penting sebagai hasil pengamatan untuk data sesuai dengan permasalahan yang dikaji tentang.

2. Interview (wawancara)

Wawancara Merupakan suatu metode dalam penelitian yang bertujuan

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukan dengan menerapkan metode demonstrasi melalui peningkatan kemampuan membaca cepat menggunakan metode demonstrasi di kelas V SD Negeri 06 Toho

Pendapat di atas menjelaskan, bahwa komunikasi vertikal adalah komunikasi dua arah yang dilakukan secara timbal balik antara pimpinan dengan bawahan dalam suatu organisasi

nilai-nilai budaya yang ada pada situs-situs peninggalan masa klasik di beberapa tempat Kabupaten Wonosobo serta pengaruh dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Unsur

a) Untuk mengkoordinasikan dan mengkorelasikan usaha manusia dalam struktur organisasi. Hanya bila usaha dari semua divisi telah dijadwalkan dan dikoordinasikan secara layak,

Dengan demikian salah satu target yang harus diusahakan semaksimal mungkin adalah revitalisasi pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam melalui cara-cara yang sesuai

KABUPATEN/KOTA PENGHASIL KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA JENIS MINYAK MENTAH Rasio Lifting Penerimaan Minyak Bumi per KKKS Penerimaan Minyak Bumi per Daerah. 2

Sebelum melaksanakan tes setiap siswa melakukan pretest baik kelas kontrol maupun kelas eksperimen untuk melihat kemampuan awal siswa sekaligus menentukan yang akan dijadikan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel yang diteliti yaitu usia, riwayat hipertensi, aktivitas fisik dan tingkat pendidikan tidak menun- jukkan adanya