commit to user
43 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Naskah Ketoprak “Rembulan Wungu” Karya Bondan Nusantara
Naskah ketoprak “Rembulan Wungu” merupakan salah satu naskah karya Bondan Nusantara. Naskah ketoprak “Rembulan Wungu” dibuat oleh penulisnya pada tahun 2005. Naskah ketoprak ini memiliki 33 halaman dan terdiri dari 5 babak. Terdapat kurang lebih 15 tokoh yang ditampilkan dalam naskah ketoprak ini, yaitu Prabu Amangkurat Agung, Pangeran Pekik, Ratu Wandan, Adipati Anom Tejaningrat, Bei Wirareja, Nyi Wirareja, Rara Hoyi, Ki Mangunjaya, Nyi Mangunjaya, Tumenggung Wiranala, Tumenggung Wirakerti, Galengsong dan teman-temannya, Patih Sindureja, Tumenggung Alap-Alap, serta Panji Karsula.
Naskah ketoprak ini bercerita tentang kehidupan kerajaan Mataram saat diperintah oleh Prabu Amangkurat Agung. Rakyat Mataram dibuat menderita dan sengsara di bawah pemerintahan Prabu Amangkurat Agung yang dengan sewenang-wenangnya memberikan perintah tanpa mempertimbangkan keadaan rakyat Mataram. Sang Prabu memberikan perintah untuk membangun bendungan segarayasa dengan membendung sungai Opak dan membangun keraton baru di Pleret. Adapun yang terjadi pada waktu itu rakyat sedang dilanda musim paceklik dan rakyat Mataram pun habis karena pada masa pemerintahan ayah Prabu Amangkurat Agung yaitu Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma, rakyat Mataram banyak yang berperang melawan penjajah dari Jakarta. Pangeran Pekik dan Ratu Wandan menyampaikan ketidaksetujuannya namun Sang Prabu terlalu sombong untuk mau menerima pendapat orang lain, dan bahkan tidak segan-segan untuk menghukum mati siapapun yang menentangnya.
Kehidupan di dalam istana pun juga tidak lepas dari konflik, bahkan Prabu Amangkurat Agung berselisih dengan anaknya sendiri, Pangeran Adipati Anom Tejaningrat karena Rara Hoyi yang akan dijadikan selir oleh Prabu
commit to user
Amangkurat ternyata dinikahi oleh Pangeran Adipati Anom. Sikap arogan dari Prabu Amangkurat Agung mendatangkan banyak pemberontakan baik pemberontakan dari penghuni keraton maupun pemberontakan dari luar keraton. Pangeran Pekik dan Ratu Wandan sebagai mertua Prabu Amangkurat Agung pun berulang kali mengingatkan tentang sikapnya yang tidak mencerminkan sebagai raja pelindung rakyat. Prabu Amangkurat Agung dengan congkaknya menghukum mertuanya sendiri.
Hingga pada akhirnya pemberontakan terakhir yang terjadi bahkan dipimpin oleh anaknya sendiri yaitu Pangeran Adipati Anom, Prabu Amangkurat Agung tidak menyangka jika hal tersebut akan terjadi, namun tidak ada yang bisa dilakukan karena prajurit sudah kalang kabut menghadapinya. Prabu amangkurat Agung yang tidak bisa membendung arus pemberontakan akhirnya tersadar bahwa sikap dan sifatnya telah menyengsarakan banyak orang terutama rakyat Mataram, dan beliau seketika wafat.
Setiap tokoh dalam naskah ini tentu memiliki wataknya masing- masing, ada yang berperan sebagai protagonis sebagai pendukung cerita, tentu ada pula peran antagonis sebagai penentang cerita. Setiap perbedaan watak dalam tokoh ini menggambarkan kehidupan yang sesungguhnya, ketika manusia memiliki berbagai macam watak dan perangai, dalam cerita naskah ini watak baik dan jahat tentu dihadirkan agar para pembaca dapat meneladani dan mengambil amanat serta nilai yang disajikan.
Kagunan basa yang dimasukkan dalam naskah mencerminkan keindahan bahasa dan memberikan warna dalam naskah tersebut. Seperti diketahui, sebuah karya sastra Jawa tidak terlepas dari keindahan bahasa yang diberikan oleh penulisnya. Lewat kagunan basa, penulis menampilkan kekayaan budaya Jawa dalam rangkaian kata-kata yang indah.
Naskah ketoprak ini memiliki keunggulan yaitu terletak pada nilai pendidikan karakter yang ada di dalamnya. Naskah ini juga banyak memberikan amanat bagi para pembaca atau penontonnya jika ditampilkan
commit to user
dalam sebuah pementasan ketoprak. Yang menarik dalam sebuah naskah ketoprak yaitu ketika konflik-konflik hingga mencapai puncaknya, maka pihak yang baiklah yang akan menang, dimana kebaikan selalu mengalahkan kejahatan.
B. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Kawruh Kagunan Basa Dalam Naskah Ketoprak “Rembulan Wungu”
Kawruh dalam bahasa Indonesia berarti ilmu. Adapun kebudayaan yang lahir dengan isi keindahan disebut kagunan adi luhung atau kagunan edi peni, terkadang hanya disebut kagunan saja. Dalam kamus Bausastra Jawa, kata kagunan diartikan: 1. Kapinteran, kalantipan; 2. gegawean sing edi peni; 3. wudharing pambudi kang nganakake kaendahan. Adapun kagunan basa berarti kebudayaan dengan keindahan yang mengacu pada bahasanya. Oleh karena itu, kawruh kagunan basa dapat diambil keimpulan bahwa berarti ilmu kebudayaan yang terdapat pada keindahan bahasanya. Kagunan basa ini sangat penting untuk dipelajari karena seperti yang kita tahu kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang sangat kaya dengan keindahan bahasanya, dan anak muda sekarang sudah mulai melupakan bahkan tidak paham lagi dengan kawruh kagunan basa.
Dalam naskah ini, penulis menyajikan kagunan basa untuk lebih memperindah dan menekankan tata krama bahasa Jawa dalam dialog- dialognya. Berikut ini deskripsi kagunan basa dalam naskah ketoprak
“Rembulan Wungu”.
a. Tembung Saroja
Tembung Saroja yang berarti dua kata yang ‘arti’nya sama atau hampir sama dipakai secara bersamaan. Tembung saroja yang dipakai didalam penulisan sebuah dialog dimaksudkan agar dialog tersebut memiliki nyawa dengan kesan untuk lebih me’yakin’kan dan sebagai unsur estetis pula tentunya. Di dalam naskah “Rembulan Wungu” ini ditemukan beberapa tembung saroja yang digunakan oleh penulis. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
commit to user 12.RATU WANDAN
Rehne wis ora ana meneh perkara liya sing kudu dirembug, dhawuh timbalanku marang sliramu kabeh, adicara jumenengan ndak keparengake diwiwiti (RW: 3)
‘sepertinya tidak ada lagi masalah yang harus didiskusikan, perintahku kepadamu semua, acara jumenengan aku ijinkan untuk dimulai’.
Pada kata yang dicetak tebal terdapat kata dhawuh-timbalan yang berarti perintah. Dalam bausastra Jawa, kata dhawuh dan timbalan sebenarnya memiliki arti yang sama, yaitu perintah. Kedua kata ini digabung untuk memenuhi unsur estetis dan me’lebih’kan kalimat. Dalam dialog tersebut kata dhawuh timbalan digunakan oleh Ratu Wandan untuk memerintahkan kepada seluruh yang hadir pada pertemuan kerajaan tersebut untuk memulai acara Jumenengan, karena memang penggunaan kata dhawuh timbalan dalam kebudayaan Jawa lumrah digunakan oleh seorang ratu kepada bawahannya atau digunakan oleh orang yang derajatnya lebih tinggi untuk memberikan perintah kepada bawahannya.
Hal tersebut juga terdapat dalam kutipan:
49.AMANGKURAT
Kaya rembugingsun wingi, sak-bubare pisowanan sira ingsun keparengake lumawat menyang Mbanyuwangi, sakperlu nindakke dhawuh timbalaningsun.(RW: 6)
‘seperti pembicaraanku kemarin, setelah acara pisowanan kamu aku ijinkan pergi ke Banyuwangi, untuk menjalankan perintahku’
Kata dhawuh-timbalan kembali digunakan oleh penulis, untuk menggambarkan bahwa kata dhawuh-timbalan hanya digunakan untuk memberikan perintah dari atasan kepada orang yang derajatnya lebih rendah, seperti yang dilakukan oleh Prabu Amangkurat untuk memberikan perintah kepada Tumenggung Wiranala dan Wirakerti untuk menjalankan tugas ke Banyuwangi.
33.RATU WANDAN
Pemanggih kula mila mekaten, Sinuwun. Awit, mbotena kula monjuk, Sampeyan Ndalem temtu priksa. Sak sampunipun Bapak Dalem Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakesuma ngetabaken wadyabala nundhung Kumpeni saking Njakarta, Metaram ketelasan tiyang. Sabin tuwin pategalan sami njembrung jalaran mboten wonten ing nanemi (RW: 4)
commit to user
‘pendapat saya seperti ini, Sinuwun (panggilan raja). Meskipun saya tidak mengatakannya, sampeyan ndalem (panggilan raja) pasti mengetahui. Setelah ayah dalem (Prabu Amangkurat Agung) Kanjeng Sultan Agung Hanyakrekesuma mengirimkan prajurit untuk melawan kumpeni (penjajah) dari Jakarta, Mataram kehabisan orang. Sawah dan tegal kotor ditumbuhi oleh rumput karena tidak ada yang menanami’.
62.AMANGKURAT
(mantep) Alas Demung dijegi para kraman seka Mekasar sing dipandhegani dening Kraeng Galengsong. Mula dhawuhingsun marang sira, ketabnya wadyabala Metaram, rangketen Kraeng Galengsong sak kancane (RW: 7)
‘(mantab) Alas demung diduduki oleh para kraman (orang-orang yang melawan penguasa) dari Makasar yang dipimpin oleh Kraeng Galengsong. Maka perintahku kepadamu, kirim prajurit Mataram, ringkus Kraeng Galengsong dan teman-temannya’.
Pada data di atas, kata yang dicetak tebal yaitu kata wadyabala.
Dalam bausastra Jawa, kata wadya dan bala sebenarnya juga memiliki arti yang sama yaitu prajurit. Dalam dialog Ratu Wandan dan Prabu Amangkurat, keduanya menggunakan kata wadya bala untuk menyebut prajurit kerajaan Mataram. Tembung saroja dipakai dalam dialog tersebut untuk memenuhi unsur estetis dan menghidupkan dialog.
10.MALEWA
(nesu) Kurangajar! Suwaramu ngabangke kuping! Wuwusmu tanpa suba sita! Apa kok kira wulu githokku bakal njegrig krungu kandhamu! ... (ngguyu) Ora! Aku lan wong-wong Mekasar ora bakal mundur sak jangkah ngadhepi tandange prajurit Metaram!!(RW: 12)
‘(marah) Kurangajar! Kata-katamu memerahkan telinga!
Perkataanmu tanpa tata-krama! Apa kamu kira bulu kudukku akan merinding mendengar kata-katamu!... (tertawa) tidak! Aku dan orang-orang Makasar tidak akan mundur satu langkah menghadapi prajurit Mataram!!!’
Dalam kutipan dialog Malewa di atas, kata yang tercetak tebal merupakan tembung saroja yang berarti aturan atau tata krama yang dianut. Dalam dialog tersebut tokoh Malewa sedang menghina dan menantang para prajurit Mataram yang siap menyerangnya. Penulis menggunakan kata suba-sita untuk lebih menekankan makna kalimat dan memperindah kalimat.
commit to user 12.ADIPATI ANOM
Hoyi (mesem). …. Apik jenengmu Laras karo pasuryan lan solah bawamu sing merak ati. (ngguyu) Ngertiya yen Wirareja duwe anak sliramu, aku mesthi kerep tindak mrene supaya bisa sak patemon karo sliramu. (RW: 14)
‘Hoyi (senyum)... bagus namamu, sesuai dengan wajah dan tingkah lakumu yang indah. (tertawa) Seandainya aku tahu jika Wirareja memiliki anak yaitu kamu, aku pasti sering datang kesini supaya dapat bertemu denganmu’
Dalam kutipan dialog di atas terdapat kata dicetak tebal yaitu solah-bawa yang termasuk dalam tembung saroja. Kata solah-bawa dapat diartikan sebagai tingkah laku, sifat, dan tindakan. Kutipan dialog Pangeran Adipati Anom diatas, kata solah-bawa digunakan ketika sang pangera sedang memuji Rara Hoyi dengan mengatakan bahwa solah-bawa Rara Hoyi yang merak-ati, disini penulis tidak memilih kata tindak-tanduk yang artinya hampir sama dengan tingkah laku, mungkin karena untuk memuji seorang wanita, kata solah-bawa yang lebih halus dan luwes dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan tingkah-laku seorang Rara Hoyi.
86.PEKIK
(nyaut) Mula saka iku, Beine lan kowe Nyi. Yen atimu sakloron lega lila, Hoyi bakal ndak pundhut. Ndak boyong menyang Kasatriyan kareben nambani gerahe wayah Pengeran Tejaningrat. Piye, kowe ora kabotan ta Beine?(RW: 20)
‘(menyaut) Maka dari itu, Bei dan kamu Nyi. Bila hatimu berdua sudah rela, Hoyi akan aku ambil. Akan ku boyong ke Kasatriyan untuk mengobati sakitnya cucuku Pangeran Tejaningrat. Bagaimana, kamu tidak keberatan kan, Bei?’
Pada data tersebut tembung saroja terdapat pada kata lega lila yang berarti sangat rela. Kata lega lila yang dipakai dalam dialog pangeran Pekik berfungsi untuk meyakinkan Bei Wirareja, agar mau menyerahkan Rara Hoyi untuk diserahkan kepadanya dan dinikahkan dengan Pangeran Adipati Anom Tejaningrat sehingga Pangeran Adipati Anom Tejaningrat dapat sembuh dari sakitnya. Kata lega dan lila memiliki arti yang hampir sama, yaitu rela, namun ketika kedua kata ini digabung membentuk tembung saroja, gabungan kedua kata tersebut memiliki makna yang
commit to user
terkesan “lebih’, yaitu menjadi sangat rela. Adapun dalam bausastra Jawa, kata lega lila berarti marem, ora duwe getun, seneng, rila ‘puas, tidak kecewa, senang, rela’.
100.PNG PEKIK
Blaka suta wae ya Beine. Lelakon iki ora bakal rampung yen kowe lan aku ora cawe-cawe. Malah yen ora kepeneran, kawula bakal saya okeh sing dadi kurban merga dipeksa nyambut gawe yasa bendungan lan gawe kraton anyar ing Plered. Yen kahanan iki ora enggal didandani, sapa sing bakal rugi?(RW: 21)
‘Sejujurnya saja ya Bei. Masalah ini tidak akan selesai jika kamu dan aku tidak ikut campur. Bahkan jika tidak seperti yang diharapkan, rakyat akan semakin banyak yang menjadi korban karena dipaksa bekerja membangun bendungan dan membuat keraton baru di Plered.
Jika keadaan ini tidak segera dibenahi, siapa yang akan rugi?’
Kata blaka-suta termasuk dalam tembung saroja karena terdiri dari kata blaka dan suta yang jika digabungkan memiliki kesan arti ‘lebih’
yaitu dalam kata tersebut memiliki arti ‘sejujur-jujurnya’. Penulis menggunakan kata blaka-suta dalam dialog pangeran Pekik sehingga mengesankan bahwa pada situasi tersebut, pangeran Pekik mengatakan secara terang-terangan kepada Bei Wirareja bahwa yang dikatakannya memang benar apa adanya dan jujur.
Penggunaaan tembung saroja pada kutipan-kutipan diatas tidak bisa digunakan secara asal-asalan, karena penggunaan tembung saroja harus digunakan sebagaimana lumrahnya dan tidak boleh susunan katanya dibolak-balik seenaknya, hal ini sudah menjadi aturan yang baku dalam penggunaannya. Penggunaan tembung saroja pada beberapa kutipan diatas cenderung untuk menjadikan kata dalam dialog memiliki kesan makna
‘lebih’.
b. Tembung garba
Tembung garba adalah penyambungan dua kata kemudian dari dua kata tersebut terdapat suku kata yang dihilangkan. Adapun tembung garba biasanya ditemukan dalam sebuah tembang, ketika terdapat baris yang memiliki kelebihan suku kata dalam tembang dan tidak memenuhi aturan
commit to user
tembang maka biasanya pencipta tembang akan mengurangi jumlah suku katanya dengan menggabungkan dua kata atau lebih dalam baris tersebut, namun dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” terdapat tembung garba yang digunakan oleh penulis. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
45.AMANGKURAT
(wibawa) Wiwit sesuk, para kawula didhawuhi nyambutgawe yasa kedhaton lan bendungan! Sapa sing wani mbadal dhawuhingsun kudu diukum pati! Dene yen ana nayaka sing ora sarujuk, enggal dibanda lan dipepe neng ngalun-alun Metaram!(RW: 6)
‘(berwibawa) Mulai besok, para rakyat diperintah untuk bekerja membangun keraton dan bendungan! Siapa yang berani menentang perintahku harus dihukum mati! Sedangkan jika ada nayaka penghuni keraton yang tidak setuju, segera diikat tangannya dan dijemur di alun-alun Mataram!’
22.HOYI
(ngadeg radi tebih) Ana apa ta Pak kok ngundang aku? Aku ki lagi masak neng pawon, nyepakke dhahar. …. (maju) Ana apa ta Pak?
(RW: 9)
‘(berdiri agak jauh) Ada apa sih Pak kok memanggilku? Aku ini sedang memasak di dapur, menyiapkan makan... (maju) Ada apa sih Pak?’
52.WIRAREJA
Seka sowan. Terus weruh kowe nggejejer neng kono kaya reca.(RW:
17)
‘Dari menghadap. Terus melihatmu berdiri di situ seperti arca’
57.NYI WIRAREJA
Mbok sampeyan niku kelingan dhek isih teng ndesa! Saben sore ming kemul sarung karo njedhodhog neng pinggir buk! Upama mboten kula kukup, dadi napa sampeyan?(RW: 17)
‘kamu itu ingatlah ketika masih di desa! Setiap sore hanya berselimut sarung dan duduk diam di pinggir buk pembatas jalan air yang ada di jalan! Seandainya tidak aku selamatkan, jadi apa kamu?’
64.WIRAREJA
(rada gugup) Haiya kowe, wong sing neng kene kowe! Ning ora Nyi Kandhanmu mau tenan apa piye?(RW: 18)
‘(agak gugup) Ya kamu, yang disini Cuma kamu! Tapi tidak Nyi, perkataanmu tadi apakah benar?’
82.NYI WIRAREJA
commit to user
Alaaaah,… neng kene muni ngisin-isini, saru! (ngece) Ning engko tekan njero, … “bagianku endi?” …….. Ngono ta? (RW: 19)
‘alaaaaah, disini bilang memaluka, tidak pantas! (menghina) tapi nanti sampai didalam, ... “bagianku mana?”... begitu kan?’
Dalam kutipan tersebut terdapat kata neng yang bercetak tebal, kata neng termasuk dalam tembung garba karena terdiri dari dua kata yang digabung dan dihilangkan suku katanya. Kata neng berasal dari kata ana
‘ada’ dan ing ‘di’ yang jika digabung akan membentuk kata aneng dan kemudian dihilangkan suku kata terdepannya yaitu [a-]. Dalam beberapa kutipan dialog tersebut digunakan tembung garba dengan kata neng karena tujuan dari naskah ketoprak ini memang untuk dipraktekan sehingga kata dalam dialognya merupakan bahasa pengucapan yang lumrah diucapkan oleh orang Jawa sehari-hari. Dalam kutipan dialog Prabu Amangkurat, Rara Hoyi, Wirareja, dan Nyi Wirareja, kata neng dalam dialog tersebut bermakna ‘di’.
32.WIRANALA
(nyaut) Hoyi! Kowe pancen isa kandha kaya ngono. Ning minangka jejering kawula, kowe ora bisa mbadal dhawuhing Ratu. Semono uga Bapakmu. Mula sak iki, kowe kudu gelem tak boyong neng Metaram!
(Wiranala nggeret Hoyi, Hoyi mberot – nyedhaki Mangunjaya) (RW:
10).
‘(menyahut) Hoyi! Kamu memang bisa berkata seperti itu. Tetapi sebagai rakyat, kamu tidak bisa menentang perintah Raja. Begitu juga bapakmu. Jadi sekarang, kamu harus mau aku boyong ke Mataram!
(Wiranala menyeret Hoyi, Hoyi berusaha meloloskan-mendekati Mangunjaya)
38.WIRAKERTI
(nggetak) Cukup!….Uwis cukup! Rembug iki ora perlu digawe dawa!
(maju) Hoyi! Mung kari sepisan iki aku ngendika! Gelem apa ora kowe diboyong neng Metaram!? (RW: 11)
‘(membentak) Cukup!... Sudah cukup! Pembicaraan ini tidak perlu dibuat panjang! (maju) Hoyi! Hanya tinggal sekali ini aku berbicara!
Mau atau tidak kamu diboyong ke Mataram?!’
20.AMANGKURAT
(duka) Sindureja! Netraningsun sepet nyawang uwong iki! Age digawa neng ngalun-alun lan dipidana pati! (RW: 25)
commit to user
‘(marah) Sindureja! Mataku sepat melihat orang ini! Segera dibawa ke alun-alun dan dipidana mati!’
79.AMANGKURAT
Wiranala, Wirakerti!… Paman Pekik lan Bibi Wandan, digawa neng ngalun-alun! (RW: 31)
‘Wiranala, Wirakerti!... Paman Pekik dan Bibi Wandan, dibawa ke alun-alun!’
Adapun dalam kutipan dialog Wiranala, Wirakerti, dan Prabu Amangkurat kata neng jika dilihat dari konteks kalimatnya maka kata tersebut berubah menjadi bermakna ‘ke’ dan bukan lagi ‘di’.
c. Tembung Plutan
Tembung plutan juga hampir sama dengan tembung garba, penggunaannya biasa ditemukan dalam tembang untuk memenuhi aturan yang mengikat dalam tembang. Dalam pembuatan tembang khususnya macapat terdapat aturan-aturan yang harus dipenuhi seperti penentuan huruf vokal dalam akhir baris, jumlah suku kata, dan baris, di sinilah fungsi digunakannya tembung plutan. Plutan sendiri berasal dari kata pluta yang berarti rangkap, sedangkan dipluta berarti dirangkap, kata yang dipluta maka dinamakan tembung plutan. yang membedakan tembung plutan dengan tembung garba yaitu jumlah kata yang dirangkap, jika dalam tembung garba jumlah kata yang dirangkap bisa dua kata atau lebih, sedangkan dalam tembung plutan yang dirangkap adalah suku kata dari satu kata itu sendiri.
Dalam naskah ini ditemukan konjungsi yang memang sengaja dirangkap suku katanya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
39.AMANGKURAT
(kesenggol atine) Paman Pekik! ... Sampeyan ampun minteri kula!
Senajan kula luwih enom timbang sampeyan, ning Ratune niku kula, Man! (RW: 5)
‘(tersenggol hatinya) Paman Pekik!.. kamu jangan menggurui aku!
Meskipun saya lebih muda daripada kamu, tapi rajanya itu aku, Man!’
commit to user 41.AMANGKURAT
(nyaut – kemaki) Nek Ratune kula,... sampeyan manut kula! Karo malih nggih Man, senajan jejer sampeyan niku Pengeran Sentana, ning olehe dadi piyayi rak merga diparingi triman Bibi Ratu Wandan dening Bapak Ingkang Sinuwun. Nek sampeyan mboten nampa triman Bibi Ratu, napa klakon sampeyan dadi bapa paman kula lan maratuwa kula? (nylekit) Mboten Man!.... Mboten klakon!(RW: 5)
‘(menyahut-sombong) kalau rajanya itu aku.. kamu mengikutiku!
Lagipula ya Man, meskipun kedudukanmu itu Pangeran Sentana, tapi bisa jadi piyayi kan karena diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan oleh Bapak Sinuwun. Kalau kamu tidak menerima ijin menikahi Bibi Ratu, apa bisa kamu jadi pamanku dan mertuaku?
(nyelekit) Tidak Man!... Tidak akan terjadi!’
17.MANGUNJAYA
(nyaut) Ning menika mboten nyata Dhi. Toya ing sumur kula ngganda wangi menika jalaran kula nandur wit cendhana wonten ing celak sumur. (RW: 9)
‘(menyahut) Tapi itu tidak nyata Dhi. Air yang ada di sumurku itu berbau wangi karena aku menanam pohon cendana di dekat sumur’.
19.MANGUNJAYA
(ribet) Kula ngertos. Lan kula injih lila. Ning yen anak kula mboten purun lajeng dospundi? (RW: 9)
‘(ribet) aku tahu dan aku juga rela. Tapi kalau anakku tidak mau lantas bagaimana?’
28.HOYI
(mrengut) Ning kula mboten saged nglampahi Ndara Nggung!
Kula mboten purun dipun pundhut selir Ingkang Sinuwun, jalaran kula teksih remen gesang wonten ndhusun sareng kaliyan Bapak lan Simbok kula!(RW: 10)
‘(cemberut) Tapi aku tidak bisa melaksanakannya Ndara Nggung!
Aku tidak mau dijadikan selirnya Sinuwun, karena aku masih suka hidup di dusun bersama bapak dan simbokku!’
32.WIRANALA
(nyaut) Hoyi! Kowe pancen isa kandha kaya ngono. Ning minangka jejering kawula, kowe ora bisa mbadal dhawuhing Ratu.
Semono uga Bapakmu. Mula sak iki, kowe kudu gelem tak boyong neng Metaram! (Wiranala nggeret Hoyi, Hoyi mberot – nyedhaki Mangunjaya) (RW: 10)
commit to user
‘(menyaut) Hoyi! Kamu memang bisa berkata seperti itu. Tapi kedudukanmu sebagai rakyat, kamu tidak bisa menentang perintah Raja. Begitu pula dengan bapakmu. Maka sekarang kamu harus mau aku bawa ke Mataram! (Wiranala menyeret Hoyi, Hoyi memberontak-mendekati Mangunjaya)’
36.NYI MANGUNJAYA
(nesu) Pak! Sampeyan niku pripun ta?! Anake wedok niki njaluk direwangi! Ning kena napa sampeyan malah ming meneng mawon! Sampeyan niku Bapakne lho! Mosok ora isa ngewangi anak sing lagi ketaman perkara!! Mbok omong ta Pak!
Omong!!(RW: 10)
‘(marah) Pak! Kamu itu bagaimana? Anak perempuannya ini minta dibantu! Kenapa bapak hanya diam saja! Kamu itu bapaknya lho!
Masa tidak bisa membantu anaknya yang sedang dirundung masalah!! Bicaralah Pak! Bicara!!’
37.MANGUNJAYA
(nyaut – jengkel) Ning nek perkara siji iki aku ora isa Nyi! Ora isa!!! (RW: 11)
‘(menyahut-jengkel) Tapi kalau masalah yang satu ini aku tidak bisa Nyi! Tidak bisa!!!’
01B. ADIPATI ANOM
Anu Nyi. Sekawit aku ya mung arep sanja wae. Ning bareng weruh kowe lagi gladhen karo wanita iki, penggalihku kok banjur kepranan. Mula, kowe ndak keparengake semingkir dhisik, aku kepengin rembugan karo momonganmu. (RW: 13)
‘Begini Nyi. Tadinya aku ya hanya ingin datang kesini saja. Tapi setelah melihatmu berlatih dengan wanita ini, hatiku jadi tertarik.
Oleh karena itu, kamu aku ijinkan untuk pergi dahulu, aku ingin berbincang dengan asuhanmu’.
20.ADIPATI ANOM
Arepa sliramu dipingit, ning yen sing nimbali aku, Bapak lan Biyungmu ora bakal kabotan. Sebab aku iki Pengeran Adipati Anom calon Ratu ing Metaram. Malah iki mau, sakwise aku priksa sliramu, penggalihku dadi kepranan marang sliramu.(RW: 15)
‘Meskipun kamu dipingit, tapi jika yang memanggilmu aku, bapak dan biyungmu tidak akan keberatan. Sebab aku ini Pangeran Adipati Anom, calon raja di Mataram. Bahkan ini tadi, setelah aku mengertimu, perasaanku jadi tertarik denganmu’.
64.WIRAREJA
(rada gugup) Haiya kowe, wong sing neng kene kowe! Ning ora Nyi Kandhanmu mau tenan apa piye?(RW: 18)
commit to user
‘(agak gugup) Ya kamu, kan yang disini kamu! Tapi tidak Nyi katamu tadi benarkah?’
72.WIRAREJA
(ribet) Coba sak iki pikiren. Nek Njeng Pengeran Tejaningrat mundhut Hoyi, awake dhewe kudu wangsulan piye? Ora entuk cilaka, entuk ya cilaka! Nek sak iki Hoyi dikukuhi, nek Njeng Pengeran klakon jumeneng Ratu, awake dhewe mesthi cilaka!
Ning nek diulungke sak iki awake dhewe ya rekasa Nyi! (RW: 19)
‘(ribet) Sekarang coba dipikirkan. Jika Pangeran Tejaningrat membawa Hoyi, kita harus menjawab apa? Tidak dapat celaka, dapat ya celaka. Jika sekarang kita mempertahankan Hoyi, kalau Pangeran benar-benar jadi raja, kita pasti celaka! Tapi kalau diserahkan sekarang kita juga susah Nyi!’
82.NYI WIRAREJA
Alaaaah,… neng kene muni ngisin-isini, saru! (ngece) Ning engko tekan njero, … “bagianku endi?” …….. Ngono ta?(RW: 19)
‘Alaaaah,... disini bilang memalukan, tidak pantas! (menghina) Tapi nanti sampai didalam...”bagianku mana?” .. iya kan?’
88.RATU WANDAN
(nyaut) Aku ngerti Beine. Ning kowe ora sah wedi. Yen mengko Kanjeng Sunan duka, matura wae. Sing mundhut aku karo Kangmas Pengeran Pekik. Rak ya ngono ta Nyi? (RW: 20)
‘(menyahut) aku tau bei. Tapi kamu tidak usah takut. Kalau nanti Kanjeng Sunan marah, bilang saja. Yang mengambil aku dan Kangmas Pangeran Pekik. Bukan begitu kan Nyi?’
91.NYI WIRAREJA
(manteb) Lhaenggih dicaoske Kanjeng Ratu! Wong Kanjeng Ratu lan Kanjeng Pengeran empun kersa nanggung perkarane! Karo malih nggih Pak, nek kula entuk kandha nyata, wong wedok kalih wong lanang niku sejatine rak duwe hak padha. Mula nek onten wong lanang, klebu Kanjeng Sunan, ajeng meksa wewenange wong wedok, kaya ngoten niku kleru. Sebab mboten ming nglanggar paugeraning para bangsa, ning nggih nyalahi kodrating jagad! (RW: 20)
‘(mantap) ya diberikan Kanjeng Ratu! Kan Kanjeng Ratu dan Kanjeng Pangeran Pekik sudah mau menanggung perkaranya!
Lagipula ya pak, kalau aku bisa bicara yang sebenarnya, perempuan dan laki-laki itu mempunyai hak yang sama. Maka kalau ada laki-laki, termasuk Kanjeng Sunan, mau memaksa wewenang perempuan, seperti itu keliru. Sebab tidak hanya menyalahi aturan para bangsa tapi juga menyalahi kodratnya jagad!’
commit to user 92.WIRAREJA
(sengol) Aku ngerti Nyi, Ngerti! Ning kowe ya kudu ngerti nek sing nitipke lan arep mundhut garwa Hoyi kuwi Ingkang Sinuwun!(RW:
20)
‘(membentak) Aku tahu Nyi, tahu! Tapi kamu juga harus tahu kalau yang menitipkan dan akan menjadikan istri Hoyi itu Sinuwun!’
93.NYI WIRAREJA
(nyaut) Ning napa enggih Ingkang Sinuwun duka, wong sing ajeng mundhut Hoyi niku putrane dhewe! Mosok, Bapak kok ora gelem ngalah karo anak! (RW: 20)
‘(menyahut) Tapi apa Sinuwun akan marah, kalau yang akan memperistri Hoyi itu anaknya sendiri! Masa, bapak kok tidak mengalah dengan anak!’
94.PEKIK
Bojomu bener, Beine. Ora-orane Kanjeng Sunan duka marang kowe. Sing luwih wigati. Aku nyurung dhaupe Tejaningrat karo Hoyi kuwi ora mung kanggo aku. Ning ya kanggo kawigatene Metaram. …Coba pikiren, Kanjeng Sunan kae Ratu sing angel dingerteni sipat lan pikirane! Lha wong Metaram lagi paceklik malah ngundha layangan karo tindak besiyar tekan sak jabaning rangkah Metaram! (RW: 20)
‘Istrimu benar, Bei. Tidak akan Kanjeng Sunan marah kepadamu.
Yang lebih penting. Aku mendorong bersatunya Tejaningrat dengan Hoyi itu tidak hanya untukku. Tapi juga untuk kepentingan Mataram.. Coba pikirkan, Kanjeng Sunan itu raja yang tidak bisa dimengerti sifat dan pikirannya! Rakyat Mataram sedang paceklik malah menerbangkan layang-layang dan pergi berjalan-jalan hingga keluar wilayah Mataram!’
13.WIRAREJA
(mangkel banget) Owalah, bola bali nek wong wedok lancang!
Senengane mesthi ndhisiki karepe wong lanang! Kowe ki rak ngerti ta! Hoyi kae sengkeran ndalem Kanjeng Sunan! Olehe dititipke ana kene supaya diwulang suba sitaning putri!! …Ning sak iki?! Hoyi maalh kok caosake Kanjeng Pengeran Pekik! Apa kaya ngono kuwi aku ora entuk muni: “Edan! Gendheng! Kenthir!
Pethuk? Slewah?” (RW: 22)
(jengkel sekali) Oalah, berulang kali kalau perempuan itu lancang!
Sukanya pasti mendahului keinginannya laki-laki! Kamu itu kan tahu! Hoyi itu putri pingitan Kanjeng Sunan! Bisanya dititipkan disini supaya diajari bagaimana sifat putri!!... tapi apa sekarang?!
commit to user
Hoyi malah kamu berikan pada Kanjeng Pangeran Pekik! Apa kalau seperti itu aku tidak boleh bilang: “Gila! Gila! Gila! Bodoh!
Gila?
114.NYI WIRAREJA
(manteb) Entuk! Entuk mawon Pak! Nek ming muni-muni, napamalih nganggo nesu kalih bojo niku ora papa! …. Ning nggih niku. Nek empun nganggo mara tangan,ohhh,… aja takon dosa!
Tekan pundi mawon mesthi kula larag! Sebab wong lanang kalih wong wedok niku duwe hak padha! Enggih mboten?!(RW: 22)
‘(mantap) Boleh! Boleh saja pak! Kalau hanya bilang kasar apalagi pakai marah dengan istri itu tidak apa-apa!... Tapi ya itu. Kalau sudah menggunakan tangan, oohh jangan tanya dosa! Sampai kemanapun pasti akan aku kejar! Sebab laki-laki dan perempuan itu punya hak yang sama! Iya tidak?!’
08.AMANGKURAT
(duka) Sira iku piye ta Beine?! Hoyi Ingsun titipake ana ing Wirarejan iku supaya digulawentah trapsilaning putri Metaram!
Ning kena apa dadi bojone Pengeran Dipati Anom? Sira sing wani nggathukke Hoyi karo putraningsun? Hiya?! (RW: 24)
‘(marah) Kamu itu bagaimana Bei?! Hoyi aku titipkan di Wirarejan itu supaya diasuh dan diajari tatacara putri Mataram! Tapi kenapa menjadi istrinya Pangeran Adipati Anom? Kamu yang berani mempertemukan Hoyi dengan putraku? Iya?!’
12.AMANGKURAT
(duka) Ning sing titip Hoyi iku sapa Beine?! Ingsun!.... Kena apa sira ulungake Paman Pekik lan Bibi Wandan?! (RW: 25)
‘(marah) tapi yang menitipkan Hoyi itu siapa Bei?! Aku!.. kenapa kamu berikan Paman Pekik dan Bibi Wandan?!’
14.AMANGKURAT
(nyaut) Wedi marang Paman Pekik, ning wani marang ingsun?!
Ngono?! (RW: 25)
‘(menyahut) Takut dengan paman Pekik, tapi berani kepadaku?!
Begitu?!’
29.AMANGKURAT
(jengkel) Hemmm, sira iku piye, ta, Tejaningrat, Tejaningrat!
Bocah enom, bagus, mangka ya Pengeran Pati, calon Ratu Metaram, …lha kok golek bojo wae ora isa! Arepa ingsun ora
commit to user
ngendika, ning mesthine sira rak ngerti! Hoyi kae sapa? … Kae kagunganingsun Ngger! (RW: 26)
‘(jengkel) hemmm, kamu itu bagaimana Tejaningrat, Tejaningrat!
Anak muda, tampan, padahal ya Pangeran Adipati, calon raja Mataram,... lha kok mencari istri saja tidak bisa! Meskipun aku tidak berbicara, tapi kan seharusnya kamu tahu! Hoyi itu siapa?
Dia itu punyaku Ngger!’
35.AMANGKURAT
(nyaut) Uga kanggo piranti ngedu sira karo ingsun! Mula yen sira prayitna! Katresnane Hoyi marang sira iku ora bakal tulus!
Jalaran sira mung kanggo piranti ngleksanani karepe Eyangira!
Mula saka iku, sira kudu wani milih. Abot Hoyi, apa abot kalengahan Pangeran Pati. Yen Sira abot Hoyi, kalenggahan Pangeran Pati ingsun pundhut! Ning yen sira abot kalenggahan Pangeran Pati, sira kudu tegel mateni Hoyi! (RW: 27)
‘(menyahut) Juga sebagai alat untuk mengadu kamu denganku!
Maka kalau kamu waspada! Kasih sayang Hoyi kepadamu tidak akan tulus! Karena kamu hanya sebagai alat untuk melaksanakan keinginan eyangmu! Maka dari itu, kamu harus berani memilih.
Berat Hoyi atau berat kedudukanmu sebagai Pangeran Adipati.
Jika kamu berat ke Hoyi, kedudukanmu sebagai Pangeran Adipati aku ambil! Tapi jika kamu lebih berat kedudukanmu sebagai Pangeran Adipati, kamu harus tega membunuh Hoyi!
40.AMANGKURAT
(kemaki) Ning yen sira abot ingsun, uga abot kalengguhan Pangeran Pati, (ngunus keris) Pusaka iki ditampani! Ingsun mundhut patine Hoyi! (RW: 27)
‘(sombong) Tapi jika kamu berat kepadaku, juga pada kedudukanmu, (mengeluarkan keris) Pusaka ini terimalah! Aku menginginkan kematian Hoyi!’
64.AMANGKURAT
(nglulu) Mboten Man! Sampeyan niku parampara pinujul, tilas senapati Metaram sing ampuh!…..Nek mboten merga sampeyan, napa klakon Rama Sultan Agung mbedhah Nggiri Prapen lan nungkulake Kadipaten Surabaya, saktemah sampeyan diparingi triman Bibi Ratu Wandan dan disengkakake ngaluhur dadi parampara Metaram! ....(kemaki – nylekit) Ning nggih niku, merga sampeyan duwe watak keminter, mula njur ajeng minteri kula!
Merga sampeyan mboten sarujuk nek kula jumeneng Ratu Metaram! Enggih ta? (RW: 29)
‘(menyindir) Tidak Man! Kamu itu parampara yang unggul, bekas senapati Mataram yang ampuh!... Kalau bukan karena kamu, apa bisa Rama Sultan Agung membedah Giri Prapen dan mengalahkan kadipaten Surabaya, sehingga kamu diberikan ijin menikahi Bibi
commit to user
Ratu Wandan dan diangkat derajatnya menjadi parampara Mataram!... (sombong-menyakitkan) Tapi ya itu, karena kamu punya watak sok pintar, maka kamu jadi menggurui aku! Karena kamu tidak setuju jika aku menjadi raja Mataram! Iya kan?’
77.AMANGKURAT
(duka) Paman Pekik! Kena napa sampeyan meneng mawon?!
Kuping sampeyan mboten krungu nek sampeyan ajeng kula ukum gantung?! Enggih?! … (marang Ratu Wandan) Bibi Ratu?! Bibi badhe kula ukum pejah! Ning kenging menapa Bibi mendel kemawon?! Kenging menapa mboten nyuwun pengentheng- entheng lan nyuwun welas dhateng kula?! Penjenengan menika badhe seda! Seda dipun gantung wonten ing Ngalun-alun, sareng kaliyan Paman Pekik! (RW: 31)
‘(marah) Paman Pekik! Kenapa kamu diam saja?! Telingamu tidak dengar jika kamu akan aku hukum gantung?! Iya?! (kepada Ratu Wandan) Bibi Ratu?! Bibi akan aku hukum mati! Tapi kenapa bibi diam saja?! Kenapa tidak meminta keringanan dan belas kasihan padaku?! Kamu itu mau mati! Mati digantung di alun-alun dengan Paman Pekik!’
Kata yang tercetak tebal pada kutipan-kutipan dialog di atas adalah kata ning yang memiliki arti ‘tetapi’, kata ning berasal dari kata nanging yang kemudian dipluta atau dirangkap suku katanya dan menjadi tembung plutan ning. Naskah “Rembulan Wungu” ini memang berorientasi untuk dipentaskan sehingga penggunaan kata ning lebih luwes dan fleksibel ketika diucapkan, kata ning lebih dipilih daripada kata nanging terlihat dari banyaknya kata ning yang ditemukan dalam naskah ini.
Dalam naskah “Rembulan Wungu” ini juga terdapat tembung plutan yang memang berada di dalam tembang dan digunakan untuk memenuhi aturan di dalam tembang tersebut. Tampak pada kutipan berikut ini.
60.AMANGKURAT
(pucung) Atur ulun. Mring Sang Prabu ing matarum. Ndadosna pamriksa. Ing Ndemung mengsah ngejegi. …..Para Kraeng king Makasar asalira. (marang Panji Karsula) Karsula.(RW: 7)
‘(Tembang Pocung) Atur ulun. …..Mring Sang Prabu ing matarum. Ndadosna pamriksa. Ing Ndemung mengsah ngejegi.
…..Para Kraeng king Makasar asalira. (kepada Panji Karsula) Karsula.’
commit to user
Pada kata yang tercetak tebal pada kutipan diatas terdapat kata mring. Kata mring berasal dari kata maring yang berarti ‘kepada. Kata tersebut dipluta agar bisa memenuhi aturan dalam tembang Pocung tersebut karena jika kedua kata tersebut tidak kurangi suku katanya maka aturan dalam tembang tidak terpenuhi, pengurangan suku kata pada kedua kata tersebut tidak mengubah arti kata itu sendiri.
Dalam naskah ini ditemukan tembung plutan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
41.AMANGKURAT
(nyaut – kemaki) Nek Ratune kula,... sampeyan manut kula! Karo malih nggih Man, senajan jejer sampeyan niku Pengeran Sentana, ning olehe dadi piyayi rak merga diparingi triman Bibi Ratu Wandan dening Bapak Ingkang Sinuwun. Nek sampeyan mboten nampa triman Bibi Ratu, napa klakon sampeyan dadi bapa paman kula lan maratuwa kula? (nylekit) Mboten Man!.... Mboten klakon!(RW: 5)
‘(menyahut-sombong) kalau rajanya itu aku.. kamu mengikutiku!
Lagipula ya Man, meskipun kedudukanmu itu Pangeran Sentana, tapi bisa jadi piyayi kan karena diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan oleh Bapak Sinuwun. Kalau kamu tidak menerima ijin menikahi Bibi Ratu, apa bisa kamu jadi pamanku dan mertuaku? (nyelekit) Tidak Man!... Tidak akan terjadi!’
18.WIRANALA
(nyaut) Napa nek ngoten sampeyan ngowel bakal diboyonge anak sampeyan? Eling lho Kang. Nek anak sampeyan klakon dipundhut selir, sampeyan kalih bojo sampeyan bakal melu mukti onten Metaram.(RW: 9)
‘(menyahut) apa kalau begitu kamu menolak dengan dibawanya anakmu? Ingat lho Kang. Kalau anakmu benar-benar dijadikan selir, kamu dan istrimu yang akan ikut bahagia hidupnya di Mataram’.
72.WIRAREJA
(ribet) Coba sak iki pikiren. Nek Njeng Pengeran Tejaningrat mundhut Hoyi, awake dhewe kudu wangsulan piye? Ora entuk cilaka, entuk ya cilaka! Nek sak iki Hoyi dikukuhi, nek Njeng Pengeran klakon jumeneng Ratu, awake dhewe mesthi cilaka! Ning nek diulungke sak iki awake dhewe ya rekasa Nyi! (RW: 19)
‘(ribet) Coba sekarang ini kamu pikir. Kalau Kanjeng Pangeran Tejaningrat megambil Hoyi, kita menjawab apa? Tidak dapat bisa celaka, dapat ya bisa celaka! Kalau sekarang Hoyi dipertahankan, kalau Kanjeng Pangeran benar-benar jadi raja, kita juga pasti celaka!
Tapi kalau diberikan sekarang kita juga yang susah Nyi!’
commit to user 64.AMANGKURAT
(nglulu) Mboten Man! Sampeyan niku parampara pinujul, tilas senapati Metaram sing ampuh!…..Nek mboten merga sampeyan, napa klakon Rama Sultan Agung mbedhah Nggiri Prapen lan nungkulake Kadipaten Surabaya, saktemah sampeyan diparingi triman Bibi Ratu Wandan dan disengkakake ngaluhur dadi parampara Metaram! ....(kemaki – nylekit) Ning nggih niku, merga sampeyan duwe watak keminter, mula njur ajeng minteri kula! Merga sampeyan mboten sarujuk nek kula jumeneng Ratu Metaram! Enggih ta? (RW: 29)
‘(menyindir) Tidak Man! Kamu itu parampara yang unggul, bekas senapati Mataram yang ampuh!... Kalau bukan karena kamu, apa bisa Rama Sultan Agung membedah Giri Prapen dan mengalahkan kadipaten Surabaya, sehingga kamu diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan dan diangkat derajatnya menjadi parampara Mataram!...
(sombong-menyakitkan) Tapi ya itu, karena kamu punya watak sok pintar, maka kamu jadi menggurui aku! Karena kamu tidak setuju jika aku menjadi raja Mataram! Iya kan?’
Kata yang dicetak tebal pada kutipan dialog di atas yaitu kata klakon yang berasal dari kata kalakon yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah ‘terjadi’ kemudian dipluta menjadi kata klakon.
Penggunaan tembung plutan klakon pada naskah “Rembulan Wungu” ini sama fungsinya dengan tembung plutan lain yang ditemukan pada naskah ini yaitu agar dialognya lebih fleksibel ketika diucapkan dalam pementasan.
25.WIRAKERTI (sengol) Sing arep perlu perlu aku Nyi. …. Ngertiya Nyi,… lan kowe
Hoyi…. Aku karo Adhi Wiranala iki sejatine diutus dening sing kagungan panguwasa Metaram. Rehne kowe bisa dadi srana saya moncere Metaram, mula aku didhawuhi mboyong kowe. Jalaran kowe arep dipundhut selir Ingkang Sinuwun Amangkurat Agung ing Metaram!(RW: 9)
(membentak) Yang ada perlu aku Nyi. ... Ketahuilah Nyi... dan kamu Hoyi... aku dan adik Wiranala ini sejatinya diutus oleh yang menguasai Mataram. Karena kamu bisa menjadi sarana semakin jayanya Mataram, oleh karena itu aku diperintah untuk membawamu.
Sebab kamu akan dijadikan selir oleh Sinuwun Amangkurat Agung di Mataram’
Kata srana yang dicetak tebal pada kutipan dialog diatas berasal dari kata sarana yang artinya sama jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hanya pada pengucapannya saja berbeda. Tembung plutan
commit to user
kembali digunakan pada kutipan dialog di atas, karena pengucapan tembung yang dipluta lebih fleksibel jika digunakan dalam pementasan.
91.NYI WIRAREJA
(manteb) Lhaenggih dicaoske Kanjeng Ratu! Wong Kanjeng Ratu lan Kanjeng Pengeran empun kersa nanggung perkarane! Karo malih nggih Pak, nek kula entuk kandha nyata, wong wedok kalih wong lanang niku sejatione rak duwe hak padha. Mula nek onten wong lanang, klebu Kanjeng Sunan, ajeng meksa wewenange wong wedok, kaya ngoten niku kleru. Sebab mboten ming nglanggar paugeraning para bangsa, ning nggih nyalahi kodrating jagad! (RW: 20)
‘(mantap) Lha iya diberikan Kanjeng Ratu! Kanjeng Ratu dan Kanjeng Pangeran saja sudah mau menanggung perkaranya! Lagipula ya pak, kalau aku boleh bicara yang sebenarnya, perempuan dan laki- laki itu sejatinya kan punya hak yang sama. Maka dari itu kalau ada laki-laki termasuk Kanjeng Sunan, ingin memaksa wewenangnya perempuan, seperti itu keliru. Sebab tidak hanya melanggar aturan para bangsa yapi juga menyalahi kodrat jagad’.
102.NYI WIRAREJA
(nyaut – sengol) Klebu sampeyan barang niku! (RW: 21)
‘(menyahut-marah) termasuk kamu juga itu!’
Adapun kata yang dicetak tebal pada kutipan dialog di atas adalah kata klebu yang berasal dari kata kalebu yang berarti ‘termasuk’.
Tembung plutan yang digunakan pada banyak kutipan dialog dalam naskah “Rembulan Wungu” ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pengucapan banyak digunakan oleh penulisnya daripada bahasa tulis untuk lebih mempermudah tokoh dalam mendalami dialog-dialog yang ada dalam naskah.
d. Tembung Wancahan
Tembung wancahan masih termasuk dalam tembung plutan, hanya saja pada tembung wancahan, suku kata yang dikurangi dengan cara dibuang dan tidak dipakai bukan digabungkan. Tembung wancahan pada
commit to user
naskah “Rembulan Wungu” banyak ditemukan pada penyebutan kata panggilan untuk memanggil sesorang. Hal tersebut terlihat pada kutipan.
02.WIRANALA & WIRAKERTI (gembira) Enggih, Kang. (RW: 8)
‘(gembira) iya, Kang.’
04.WIRANALA
(ngguyu) Omah kula rika nggih padha mawon, Kang! (RW: 8)
‘(tertawa) Rumahku disana juga sama saja Kang!’
05.WIRAKERTI
(ngguyu) Metaram kalih Mbanyuwangi niku pun mboten onten bedane, Kang.(RW: 8)
‘(tertawa) Mataram dengan Banyuwangi itu sudah tidak ada bedanya, Kang’.
07.WIRAKERTI
(dhehem) Anu, Kang. Kula tak matur blaka mawon. Nek sejatine, sowan kula niki diutus dening Ingkang Sinuwun.(RW: 8)
‘(berdehem) Begini, Kang. Aku akan bilang sejujurnya saja. Sejatinya kedatanganku ini diperintah oleh Sinuwun’
11.WIRANALA
(manteb) Enggih Kang! Anak sampeyan Hoyi niku rak ajeng dipundhut selir. Kula kalih Kakang Wirakerti didhawuhi mriki, ……
mboyong anak sampeyan! (RW: 8)
‘(mantab) Iya Kang! Anakmu Hoyi itu akan dijadikan selir. Aku dan kakang Wirakerti diperintah kesini, untuk membawa anakmu!’
18.WIRANALA
(nyaut) Napa nek ngoten sampeyan ngowel bakal diboyonge anak sampeyan? Eling lho Kang. Nek anak sampeyan klakon dipundhut selir, sampeyan kalih bojo sampeyan bakal melu mukti onten Metaram.(RW: 9)
‘(menyahut) apa kalau begitu kamu tidak mau kalau Hoyi sampai dibawa? Ingat lho Kang. Kalau anakmu dijadikan selir, kamu dan istrimu pasti hidupnya akan bahagia di Mataram’.
03.MANGUNJAYA
(gembira) Nyuwun pangapunten,…. wonten ndhusun Dhi. Papanipun reged tur mboten mitayani.(RW: 8)
‘(gembira) Minta maaf... di dusun Dhi. Tempatnya kotor dan tidak meyakinkan’.
commit to user 06.MANGUNJAYA
(sareh) Ning anu Dhi. Kula kepeksa badhe nyuwun priksa. ……
Wonten wigatos menapa dene Adhi Tumenggung kekalih rawuh wonten nggriya kula. Mangka tanpa kabar langkung rumiyin.
(ngingset lingguhe) Wonten menapa ta Dhi? (RW: 8)
‘(sabar) Tapi Dhi. Aku terpaksa ingin tahu.... ada kepentingan apa Adhi Tumenggung berdua datang ke rumahku. Bahkan tanpa kabar terlebih dahulu (membenarkan duduknya) Ada apa Dhi?’
14.MANGUNJAYA
Ingkang criyos sinten Dhi?(RW: 9)
‘Yang bercerita siapa Dhi?’
17.MANGUNJAYA
(nyaut) Ning menika mboten nyata Dhi. Toya ing sumur kula ngganda wangi menika jalaran kula nandur wit cendhana wonten ing celak sumur. (RW: 9)
‘(menyahut) tapi itu tidak nyata Dhi. Air di sumurku itu berbau wangi karena aku menanam pohon cendana di dekat sumur’
Tampak pada kutipan di atas, kata yang dicetak tebal adalah kata kang yang berasal dari kata kakang yang berarti ‘kakak’ dalam bahasa Indonesia. Dalam tembung wancahan terdapat 5 cara untuk mengurangi suku kata dalam sebuah kata, salah satunya adalah dengan mengurangi suku kata terdepan dalam sebuah kata. Kata kang yang berasal dari kata kakang kemudian diwancah dengan mengurangi suku kata terdepan dalam kata tersebut. Adapun hal tersebut juga tampak pada kata dhi yang berasal dari adhi yang berarti ‘adik’, kata adhi dikurangi suku kata terdepannya sehingga berubah menjadi dhi.
Tembung wancahan yang memuat kata panggilan lain juga ditemukan dalam naskah ini. Berikut kutipan dialog yang dimaksud.
06.SINDUREJA
(nyembah) Punapi, Njeng Pengeran. (RW: 2)
‘(menyembah) Apa, Kanjeng Pangeran.
11.ALAP-ALAP
(manteb) O, nantang pati kowe!! (marang Karsula) Njeng Pengeran, mangga sami dipun adhepi sesarengan! (RW: 12)
‘(mantap) o, nantang mati kamu!!! (kepada Karsula) Kanjeng Pangeran, ayo dihadapi bersama-sama!’
01.JURUBEKSA
commit to user
(nyembah) Punten ndalem sewu Njeng Pengeran. Kok kadingaren tindak Katumenggungan. Kagungan kersa menapa.(RW: 13)
‘(menyembah) Maaf Kanjeng Pangeran. Kok tumben pergi ke Katumenggungan. Ada apa’.
02. JURUBEKSA
(nyembah) Sendika Njeng Pengeran. (RW: 13)
‘(menyembah) Baik Kanjeng Pangeran.’
07.HOYI
(lungguh – nyembah) Punten ndalem sewu, Njeng Pengeran. (RW:
13)
‘(duduk-menyembah) Maaf, Kanjeng Pangeran’.
09.HOYI
(ngadeg - nyembah) Kula ajrih Njeng Pengeran. (RW: 13)
‘(berdiri-menyembah) Aku takut Kanjeng Pangeran’.
35.NYI WIRAREJA
Injih. (nyembah) Kok sajak ketingal goreh, wonten menapa Njeng Pengeran? (RW: 16)
‘Iya. (menyembah) Kok terlihat gelisah, ada apa kanjeng Pangeran?’
37.NYI WIRAREJA
Badhe mundhut priksa menapa Njeng Pengeran? (RW: 16)
‘Ingin menanyakan apa Kanjeng Pangeran?’
41.NYI WIRAREJA
(nyembah) Punten ndalem sewu,…. Manah kula sakestu bingah, dene Njeng Pengeran badhe mundhut Hoyi. Namung kemawon,….. (ribet) kula,..kula,… (RW: 16)
‘(menyembah) Maaf,.. hati saya sebenarnya bahagia, jika Kanjeng Pangeran ingin mengambil Hoyi. Hanya saja,... (ribet) saya,..saya,..’
43.NYI WIRAREJA
Mboten Njeng Pengeran. (RW: 16)
‘Tidak Kanjeng Pangeran’.
60.WIRAREJA
(santai) Kowe ki ya aneh. Uwong ketemu uwong ki rak ya lumrah ta.
Lha nek uwong ketemu macan terus diklethak ki jenenge aneh. ….
Karo meneh, nek Njeng Pengeran ketemu anakmu ki njur piye? Rak ya lumrah ta? (RW: 18)
‘(santai) Kamu itu aneh. Orang ketemu orang itu kan ya lumrah. Lha kalau orang ketemu macan terus dimakan itu namanya aneh. Lagipula, kalau Kanjeng Pangeran ketemu anakmu itu terus bagaimana?’
commit to user 61.NYI WIRAREJA
(rada sengol) Lumrah pripun? Genah niki wau, bareng Njeng Pengeran priksa anak sampeyan terus kepranan penggalihe. (RW:
18)
‘(agak marah) Lumrah bagaimana? Ini tadi, setelah Kanjeng Pangeran tahu anakmu langsung jatuh cinta’.
68. WIRAREJA
Karang le mati malem minggu, apa le ngabari disemayani Senin! … Wis, sak iki ora sah ngrembug Surti. Aku butuh ngerti perkarane Njeng Pengeran Tejaningrat. (RW: 18)
‘Memang meninggalnya malam minggu, apa iya mengabarinya dijanjikan Senin! Sudah, sekarang tidak usah membicarakan Surti.
Aku ingin tahu masalahnya Kanjeng Pangeran Tejaningrat’.
69.NYI WIRAREJA
Ngeten lho Pak. Sak empune Njeng Pengeran ngendika nek kepranan kalih Hoyi, kula rak njur matur. Nek Hoyi niku calon garawane Ingkang Sinuwun. Bareng ngerti kaya ngoten niku,… Njeng Pengeran terus jengkar tanpa pamit!(RW: 18)
‘Begini lho pak. Setelah kanjeng Pangeran mengatakan kalau tertarik dengan Hoyi, aku terus bilang kalau Hoyi itu calon istrinya Sinuwun.
Setelah tahu begitu Kanjeng Pengeran pergi tanpa pamit!’
72.WIRAREJA
(ribet) Coba sak iki pikiren. Nek Njeng Pengeran Tejaningrat mundhut Hoyi, awake dhewe kudu wangsulan piye? Ora entuk cilaka, entuk ya cilaka! Nek sak iki Hoyi dikukuhi, nek Njeng Pengeran klakon jumeneng Ratu, awake dhewe mesthi cilaka! Ning nek diulungke sak iki awake dhewe ya rekasa Nyi! (RW: 19)
‘(ribet) Coba sekarang kamu pikir. Kalau Kanjeng Pangeran Tejaningrat mengambil Hoyi, kita harus menjawab apa? Tidak dapat ya bisa celaka, kalau dapat ya celaka! Kalau sekarang Hoyi dipertahankan, kalau pangeran benar-benar jadi raja, kita pasti celaka!
Tapi kalau diberikan sekarang kita juga susah Nyi!’
73.NYI WIRAREJA
Nek ngoten, apike Hoyi dicaoske Njeng Pengeran Tejaningrat mawon Pak.(RW: 19)
‘Kalau begitu bagusnya Hoyi diberikan Kanjeng Pangeran Tejaningrat saja pak’.
75.NYI WIRAREJA
(manteb) Kula niki omong tenan Pak! Wong dhek Hoyi sak patemon kalih Njeng Pengeran wau, kula weruh kok. Lan sajake, Hoyi nggih kepranan kalih Njeng Pengeran. Napamalih kiyambake kerep kandha kula, mboten duwe tresna kalih Ingkang Sinuwun!(RW: 19)
commit to user
(mantap) Aku ini bicara sesungguhnya pak! Tadi saat Hoyi bertemu dengan Kanjeng Pangeran, aku melihat dan kelihatannya Hoyi juga jatuh cinta dengan Kanjeng Pangeran. Apalagi dia sering bilang padaku, tidak punya rasa cinta pada Sinuwun!’
77.WIRAREJA
(gembira) Waah, mangga, mangga lenggahipun Njeng pengeran.
(RW: 19)
‘(gembira) Waah, silakan, silakan duduk Kanjeng Pangeran’.
Kata yang dicetak tebal pada kutipan-kutipan dialog di atas adalah kata njeng yang berasal dari kanjeng kemudian dihilangkan suku kata terdepannya. Kata kanjeng adalah sebutan untuk bangsawan Jawa atau untuk sebutan priyayi. Pada naskah ini panggilan kanjeng diberikan oleh orang yang kedudukannya lebih rendah dan ditujukan untuk pangeran dan raja di kerajaan Mataram.
28.HOYI
(mrengut) Ning kula mboten saged nglampahi Ndara Nggung! Kula mboten purun dipun pundhut selir Ingkang Sinuwun, jalaran kula teksih remen gesang wonten ndhusun sareng kaliyan Bapak lan Simbok kula!(RW: 10)
‘(cemberut) tapi aku tidak bisa melaksanakannya Ndara Tumenggung!
Aku tidak mau dijadikan Selirnya Sinuwun, karena aku masih suka hidup di dusun bersama bapak dan simbokku!
Terdapat kata panggilan lain selain kanjeng yang penggunaannya dihilangkan suku kata terdepannya, dalam kutipan dialog Rara Hoyi di atas, Rara Hoyi memanggil Tumenggung Wiranala dengan sebutan nggung saja, penggunaannya sama dengan kata kanjeng yang kemudian diwancah menjadi njeng saja. Jabatan Tumenggung biasa digunakan untuk menyebut pimpinan prajurit atau bupati dalam kerajaan-kerajaan di Jawa.
Dalam kutipan dialog Prabu Amangkurat dengan Pangeran Pekik, Prabu Amangkurat juga lebih sering memanggil Pangeran Pekik dengan sebutan man yang berasal dari panggilan paman yang kemudian suku kata terdepannya dihilangkan, namun panggilan man tersebut justru mengesankan jika Prabu Amangkurat kurang menghargai Pangeran Pekik dan pendapat-pendapat yang disampaikannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dialog berikut.
37.AMANGKURAT
commit to user
(keminter) Kula caosi priksa nggih Man. Kula ajeng yasa kedhaton anyar onten Plered niku merga duwe penggayuh. Penggayuh kula, punjering peprentahan cedhak kalih Kali Opak! Pamrihe, para among dagang seka mancanegara luwih gampang olehe sesambungan kalih Metaram!.... Lha nek laku dagang niku lancar, sing ajeng kepenak sinten? (kemaki) Kawula Metaram, Man! ….Kejaba niku nggih Man, kula dhawuh gawe bendungan niku merga kula mikir butuhe kawula!
Nek bendungan niku maujud, kawula sing padha among tani gampang olehe entuk banyu kanggo ngileni sawahe! … Cetha?(RW: 5)
‘(sok pintar) Aku beritahu ya, Man. Aku mau membangun keraton baru di Plered itu karena punya cita-cita. Cita-citaku, pusat pemerintahan dekat dengan sungai Opak! Supaya mitra dagang dari mancanegara lebih mudah dalam menjalin komunikasi dengan Mataram! Kalau kegiatan berdagang itu lancar, yang ingin merasakan enak siapa? (sombong) Rakyat Mataram, Man! Kecuali itu ya Man, aku memerintahkan untuk membangun bendungan itu karena aku memikirkan kebutuhan rakyat! Kalau bendungan terwujud, rakyat yang bertani dapat mudah mendapatkan air untuk mengairi sawahnya!
Jelas?
39.AMANGKURAT (kesenggol atine) Paman Pekik! ... Sampeyan ampun minteri kula!
Senajan kula luwih enom timbang sampeyan, ning Ratune niku kula, Man!(RW: 5)
‘(tersenggol hatinya) Paman Pekik! Kamu jangan menggurui aku!
Meskipun aku lebih muda daripada kamu, tapi rajanya itu saya, Man!’
41.AMANGKURAT
(nyaut – kemaki) Nek Ratune kula,... sampeyan manut kula! Karo malih nggih Man, senajan jejer sampeyan niku Pengeran Sentana, ning olehe dadi piyayi rak merga diparingi triman Bibi Ratu Wandan dening Bapak Ingkang Sinuwun. Nek sampeyan mboten nampa triman Bibi Ratu, napa klakon sampeyan dadi bapa paman kula lan maratuwa kula? (nylekit) Mboten Man!.... Mboten klakon!(RW: 5)
‘(menyahut-sombong) kalau rajanya itu aku.. kamu mengikutiku!
Lagipula ya Man, meskipun kedudukanmu itu Pangeran Sentana, tapi bisa jadi piyayi kan karena diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan oleh Bapak Sinuwun. Kalau kamu tidak menerima ijin menikahi Bibi Ratu, apa bisa kamu jadi pamanku dan mertuaku? (nyelekit) Tidak Man!... Tidak akan terjadi!’
45.AMANGKURAT
(nyawang – sinis – mlengos) O,…Sampeyan, Man!(RW: 28)
commit to user
‘(memandang-sinin-melengos) O, kamu, Man!’
50.AMANGKURAT
(sinis - lirih) Mboten Man!…. Mboten aneh! (RW: 28)
‘(sinis) Tidak Man! Tidak aneh!’
54.AMANGKURAT
(ngalem – sinis) Pinter! Sampeyan pancen pinter, Man!(RW: 28)
‘(memuji-sinis) Pintar! Kamu memang pintar, Man!’
58.AMANGKURAT
(nyaut) Nggih mesthi tekan riku Man!…. Nek dede sampeyan sing nuduhke papan dununge Hoyi, lan Mangunjaya dede abdi kinasih sampeyan,…. pandakwa kula mboten ajeng tekan riku! ….(sinis – ngenyek) Sampeyan niku pripun ta Man, Man?! Kula teksih meger- meger urip, lha kok sampeyan, dudu Bapakne Tejaningrat, wani ndhaupke anak kula kalih Hoyi! ….. Napa mang kira kula mboten isa mantokke anak kula?! (kemaki) Kula niki Ratu Man! …Sugih kula timbang sampeyan! (RW: 29)
‘(menyahut) Ya pasti sampai situ Man! Kalau bukan kamu yang menunjukkan tempatnya Hoyi, dan Mangunjaya bukan abdi kesayanganmu, tuduhanku tidak akan sampai situ! (sinis-menghina) Kamu itu bagaimana, Man, Man?! Aku masih hidup sehat begini, kok kamu bukan bapak Tejaningrat, berani menyatukan anakku dengan Hoyi! Apa kamu kira aku tidak bisa menikahkan anakku?! (sombong) Aku ini raja Man! Lebih kaya aku daripada kamu!’
64.AMANGKURAT
(nglulu) Mboten Man! Sampeyan niku parampara pinujul, tilas senapati Metaram sing ampuh!…..Nek mboten merga sampeyan, napa klakon Rama Sultan Agung mbedhah Nggiri Prapen lan nungkulake Kadipaten Surabaya, saktemah sampeyan diparingi triman Bibi Ratu Wandan dan disengkakake ngaluhur dadi parampara Metaram! ....(kemaki – nylekit) Ning nggih niku, merga sampeyan duwe watak keminter, mula njur ajeng minteri kula! Merga sampeyan mboten sarujuk nek kula jumeneng Ratu Metaram! Enggih ta?(RW: 29)
‘(memuji sindiran) Tidak Man! Kamu itu parampara yang unggul, bekas senapati Mataram yang ampuh!... Kalau bukan karena kamu, apa bisa Rama Sultan Agung membedah Giri Prapen dan mengalahkan kadipaten Surabaya, sehingga kamu diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan dan diangkat derajatnya menjadi parampara Mataram!... (sombong-menyakitkan) Tapi ya itu, karena kamu punya watak sok pintar, maka kamu jadi menggurui aku!
Karena kamu tidak setuju jika aku menjadi raja Mataram! Iya kan?’
68.AMANGKURAT
commit to user
(manteb) Naaa! Mbok ngoten!…. Sing satriya mawon Man!(RW: 30)
‘(mantap) Naaa! Begitu! Selayaknya satriya saja Man!’
70.AMANGKURAT
Kula Ratu sing kagungan panguwasa gedhe, Man!(RW: 30)
‘Aku raja yang punya kekuasaan besar, Man!
Dalam naskah ini juga terdapat dialog tembang Pocung yang memuat tembung wancahan. Tampak pada kutipan berikut.
60.AMANGKURAT
(pucung) Atur ulun. …..Mring Sang Prabu ing matarum. ….Ndadosna pamriksa
Ing Ndemung mengsah ngejegi. …..Para Kraeng king Makasar asalira. (marang Panji Karsula) Karsula.(RW: 7)
‘(Pocung) Atur ulun. …..Mring Sang Prabu ing matarum.
….Ndadosna pamriksa
Ing Ndemung mengsah ngejegi. …..Para Kraeng king Makasar asalira. (kepada Panji Karsula) Karsula’.
Pada kutipan dialog di atas kata yang dicetak tebal adalah kata king yang berasal dari kata saking yang memiliki arti ‘dari’. Penggunaan kata saking yang diwancah menjadi kata king bukan tanpa alasan, pemilihan kata king dalam tembang tersebut berfungsi untuk memenuhi aturan yang mengikat pada tembang. Adapun jika kata saking yang digunakan, maka baris dalam tembang Pocung tersebut akan memiliki jumlah suku kata yang lebih dari seharusnya sehingga dikurangilah suku kata terdepan dari kata saking.
Pada naskah “Rembulan Wungu” ini juga ditemukan konjungsi yang termasuk dalam tembung wancahan. Tampak pada kutipan berikut.
60.WIRAREJA
(santai) Kowe ki ya aneh. Uwong ketemu uwong ki rak ya lumrah ta.
Lha nek uwong ketemu macan terus diklethak ki jenenge aneh. ….
Karo meneh, nek Njeng Pengeran ketemu anakmu ki njur piye? Rak ya lumrah ta? (RW: 18)
‘(santai) Kamu itu aneh. Orang ketemu orang itu kan ya lumrah. Lha kalau orang ketemu macan terus dimakan itu namanya aneh. Lagipula, kalau Kanjeng Pangeran ketemu anakmu itu terus bagaimana?’
69.NYI WIRAREJA
Ngeten lho Pak. Sak empune Njeng Pengeran ngendika nek kepranan kalih Hoyi, kula rak njur matur. Nek Hoyi niku calon garawane
commit to user
Ingkang Sinuwun. Bareng ngerti kaya ngoten niku ,… Njeng Pengeran terus jengkar tanpa pamit! (RW: 18)
‘Begini lho pak, setelah Kanjeng Pangeran berkata jika sudah jatuh cinta pada Hoyi, aku terus bilang. Kalau Hoyi itu calon istri Sinuwun.
Setelah tahu seperti itu, Kanjeng Pangeran pergi tanpa pamit!’
99.NYI WIRAREJA
Ribet mang gawe dhewe kok njur nyalahke kula!!(RW: 21)
‘Ribet dibuat sendiri kok terus menyalahkanku!!’
122.NYI WIRAREJA
(nesu) Nek kula pinter omong njur sampeyan ajeng napa?! Ajeng ngejak pegatan, engghih!… Mbok ayo, nek nyata sampeyan wani megat,..kula mang pegat sakniki!(RW: 23)
‘(marah) kalau aku pintar bicara terus kamu mau apa?! Apa mengajak pisah,iya!... ayo, kalau kamu benar berani pisah, aku dipisah sekarang!’
127.NYI WIRAREJA
(menjeb) Heh, ora pandak! Angger kalah eyel njur lunga! Nesu! … Ora wurung ming ora pandak! …Titen-titenan! Engko bengi mesthi nyedhak karo nganyih-anyih! …. “Turu jejer kowe ya Nyi.”(RW: 23) (mulut mencos) Heh, tidak betah! Setiap kalah berdebat terus pergi!
Marah! Tidak bisa cuma tidak betah! Kita lihat! Nanti malam pasti dekat-dekat sambil bisik-bisik! “tidur dekat kamu ya Nyi.’
56.AMANGKURAT
(sinis) Contone sampeyan, enggih ta? Rehne sampeyan mendem kuwasa, kepengin nguwasani Metaram, sampeyan njur ngedu kula kalih Tejaningrat nganggo piranti Rara Hoyi! Enggih ta?!(RW: 22) (sinis) contohnya kamu, iya kan? Karena kamu mabuk kekuasaan, ingin menguasai Mataram, kamu terus mengadu aku dan Tejaningrat dengan alat Rara Hoyi! Iya kan?’
64.AMANGKURAT
(nglulu) Mboten Man! Sampeyan niku parampara pinujul, tilas senapati Metaram sing ampuh!…..Nek mboten merga sampeyan, napa klakon Rama Sultan Agung mbedhah Nggiri Prapen lan nungkulake Kadipaten Surabaya, saktemah sampeyan diparingi triman Bibi Ratu Wandan dan disengkakake ngaluhur dadi parampara Metaram! ....(kemaki – nylekit) Ning nggih niku, merga sampeyan duwe watak keminter, mula njur ajeng minteri kula! Merga sampeyan mboten sarujuk nek kula jumeneng Ratu Metaram! Enggih ta? (RW: 29)
‘(menyindir) Tidak Man! Kamu itu parampara yang unggul, bekas senapati Mataram yang ampuh!... Kalau bukan karena kamu, apa bisa Rama Sultan Agung membedah Giri Prapen dan mengalahkan
commit to user
kadipaten Surabaya, sehingga kamu diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan dan diangkat derajatnya menjadi parampara Mataram!...
(sombong-menyakitkan) Tapi ya itu, karena kamu punya watak sok pintar, maka terus mau menggurui aku! Karena kamu tidak setuju jika aku menjadi raja Mataram! Iya kan?’
Dalam kutipan-kutipan dialog di atas terlihat kata yang dicetak tebal yaitu njur yang berasal dari kata banjur. Kata banjur jika diartikan dalam bahasa Indonesia yaitu ‘terus’ atau ‘kemudian’. Dalam percakapan masyarakat Jawa penggunaan kata njur lebih sering digunakan karena lebih luwes dan singkat. Dalam naskah ini, Bondan Nusantara pun menggunakan cukup banyak kata njur daripada kata banjur itu sendiri.
16. SINDUREJA
(nyembah – mantep) Sendika! (nyembah – ngadeg ing pojok madhep penonton - wibawa) Para ingkang padha sowan kabeh wae.(RW: 3)
‘(menyembah-mantap) Baiklah! (menyembah-berdiri di pojok menghadap penonton-berwibawa) Kepada semua saja yang hadir menghadap.’
18.SINDUREJA
(wibawa) Adhedhasar unjuk rembuge Hastha Nayaka, kadang Sentana lan para Pengeran, dina iki, aku, iya badal wakil dalem kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma sarta para Parampara Metaram, byawara marang para kang padha sowan kabeh!
………(wibawa) Sepisan, wiwit dina Respati manis iki, Raden Mas Jibus, iya Kanjeng Pengeran Adipati Anom Arya Metaram, putra dalem Kanjeng Sultan Agung ingkang angka sepuluh, resmi jumeneng Nata jejuluk, Kanjeng Susuhunan Ingalaga, iya Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung ing Metaram!…….(wibawa) Kapindhone, Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung, kepareng amisudha putra dalem Kanjeng Pengeran Tejaningrat minangka Pangeran Adipati Anom! Sapa kang ora sarujuk marang byawara iki bakal adu arep karo Kanjeng Pangeran Pekik sarta para senapati Metaram liyane!(RW: 3)
‘(berwibawa) berdasarkan pembicaraan dari para pejabat keraton, abdi keraton, dan para pangeran, hari ini aku sebagai wakil dari Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma serta para juru bicara Mataram, diumumkan kepada semua yang hadir menghadap. (berwibawa) Yang pertama, mulai hari Kamis manis ini, Raden Mas Jibus sebagai Kanjeng Pangeran Adipati Anom Arya Mataram, putra dari Kanjeng Sultan Agung yang kesepuluh resmi diberi gelar Kanjeng Susuhunan Ingalaga dan diangkat menjadi Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung di Mataram. (berwibawa) Yang kedua, Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung resmi menjadikan putranya Kanjeng Pangeran
commit to user
Tejaningrat sebagai Pangeran Adipati Anom! Siapa yang tidak setuju dengan pengumuman ini akan beradu tanding dengan Pangeran Pekik serta para Senapati Mataram yang lain.’
Pada kutipan dialog di atas tampak perbedaan pada kata yang dicetak tebal, pada dialog Sindureja yang pertama kata yang dicetak tebal yaitu ingkang sedangkan kata yang dicetak tebal pada dialog Sindureja yang kedua adalah kang. sebenarnya kedua kata yang dicetak tebal tersebut tidak memiliki perbedaan makna, hanya saja kata ingkang sudah dihilangkan suku kata terdepannya sehingga berubah menjadi tembung wancahan dan bentuknya menjadi kang. Adapun arti dari kata ingkang atau kang pada kutipan dialog di atas yaitu ‘yang’. Berikut bentuk kata kang ‘yang’ pada kutipan dialog yang lain.
27. AMANGKURAT
Yoh, ingsun nedha nrima Sindureja. Awit, ingsun pancen ngersakake kraton Metaram kang mapan ana ing Kerta iki dipindhah menyang Plered. Uga nambak kali Opak kanggo gawe bendungan Segarayasa.
(RW: 4)
‘Ya, aku menerimanya Sindureja. Memang aku menginginkan Keraton Mataram yang ada di Kerta ini dipindah ke Plered. Juga menambak sungai Opak untuk dibuat bendungan Segarayasa.
e. Kerata Basa
Dikerata berarti diartikan sesuai urutan suku kata atau pengucapannya, dengan di otak atik agar sesuai. Kerata basa berarti bahasa atau kata yang dikerata. Dalam naskah “Rembulan Wungu” ini terdapat beberapa kerata basa yang ditemukan. Tampak pada kutipan berikut.
41.AMANGKURAT
(nyaut – kemaki) Nek Ratune kula,... sampeyan manut kula! Karo malih nggih Man, senajan jejer sampeyan niku Pengeran Sentana, ning olehe dadi piyayi rak merga diparingi triman Bibi Ratu Wandan dening Bapak Ingkang Sinuwun. Nek sampeyan mboten nampa triman Bibi Ratu, napa klakon sampeyan dadi bapa paman kula lan maratuwa kula? (nylekit) Mboten Man!.... Mboten klakon!(RW: 5)
‘(menyahut-sombong) kalau rajanya itu aku.. kamu mengikutiku!
Lagipula ya Man, meskipun kedudukanmu itu Pangeran Sentana, tapi bisa jadi piyayi kan karena diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan oleh Bapak Sinuwun. Kalau kamu tidak menerima ijin menikahi Bibi Ratu, apa bisa kamu jadi pamanku dan mertuaku? (nyelekit) Tidak Man!... Tidak akan terjadi!’
commit to user
Pada kutipan dialog di atas kata yang dicetak tebal adalah kata maratuwa yang berarti mertua yaitu orang tua dari istri atau suami. Dalam kerata basa, kata maratuwa berarti mara-mara bareng wis tuwa ‘datang-datang sudah tuwa’. Maksud dari ‘datang-datang sudah tuwa’ ini terlihat memang mertua itu datang dan hadir dalam hidup kita saat mereka sudah sepuh atau tua. Dalam mengartikan kata maratuwa ini sebenarnya hanya diotak-atik saja katanya dan dicarilah kata yang pas, itulah kepintaran masyarakat Jawa, kata sederhanapun bisa diartikan dalam kata yang bermacam-macam dan disesuaikan dengan makna kata tersebut.
09.WIRAKERTI
Enggih! (ngingset lingguhe) Dene wigatine,….. Ingkang Sinuwun dhawuh kula, mboyong anak sampeyan.(RW: 8)
‘Iya! (membenarkan posisi tempat duduk) sedangkan masalah yang penting, Sinuwun memerintahkanku untuk membawa anakmu.’
Kerata basa yang ada pada kutipan di atas ada pada kata yang dicetak tebal yaitu kata anak. Kerata basa dari kata anak yaitu samubarang kekarepane kudu ana lan sarwa kepenak ‘apapun keinginannya harus ada dan serba nyaman’. Kerata basa ini memang sangat cocok sekali artinya bahwa sebagai anak itu sering meminta kepada orang tua dan keinginannya harus terpenuhi serta ingin hidup nyaman dibawah asuhan orang tua.
20.WIRANALA
Sampeyan niku rak Bapakne. Mosok ora isa ngandhani anak supaya manut wong tuwa.…. Ngendi ana pandhe kalah karo wesi. ….Pun sakniki Hoyi mang undang, mang takoni onten ngarep kula kalih Kakang Wiranala.(RW: 9)
‘Kamu itu kan bapaknya, masa tidak bisa memberitahu anak supaya patuh pada orang tuwa.... mana ada pandai besi kalah dengan besi.
Sudah sekarang panggilkan Hoyi, ditanya didepanku dan Kakak Wiranala.’
Pada kutipan dialog di atas kerata basa yang ditunjukkan pada kata bapak. Kerata basa dari kata bapak yaitu bab apa-apa sarwa pepak ngelmune lan pengalamane ‘bab apapun selalu lengkap ilmu dan pengalamannya’. Memang sosok bapak adalah sosok orang yang selalu membimbing dan melindungi kita, orang pertama yang selalu kita tanyai