• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA DENGAN PENDEKATAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA KANDANGAN, KALIMANTAN SELATAN JAMILAH HAYATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA DENGAN PENDEKATAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA KANDANGAN, KALIMANTAN SELATAN JAMILAH HAYATI"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN PENDEKATAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA KANDANGAN, KALIMANTAN SELATAN

JAMILAH HAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

DENGAN PENDEKATAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA KANDANGAN, KALIMANTAN SELATAN

JAMILAH HAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

DENGAN PENDEKATAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA KANDANGAN, KALIMANTAN SELATAN

JAMILAH HAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau dengan Pendekatan Konsep Kota Hijau di Kota Kandangan, Kalimantan Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013 Jamilah Hayati NRP A156120334

(4)
(5)

JAMILAH HAYATI. Studi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau dengan Pendekatan Konsep Kota Hijau di Kota Kandangan, Kalimantan Selatan.

Dibimbing oleh SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS dan SITI NURISJAH.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan bagian penting dalam penataan ruang kota karena berperan sebagai penyeimbang ekosistem kota. Konversi lahan hijau menjadi lahan terbangun karena pertumbuhan kota yang tidak terkendali menimbulkan perubahan iklim dan berkurangnya kenyamanan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah memberlakukan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan setiap daerah menyediakan RTH seluas 30%

dari wilayahnya. Kementerian Pekerjaan Umum mengembangkan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) untuk mendukung pelaksanaan mandat UU tersebut.

Kota Kandangan merupakan kota yang sedang bertumbuh dan giat membangun infrastruktur fisik. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah lahan terbangun dari 9,54% menjadi 16,74% pada periode 2008 – 2010. Hal ini cenderung diikuti oleh berkurangnya kenyamanan thermal akibat kenaikan suhu udara rata-rata tahunan dari 26,79oC menjadi 27,36oC pada periode yang sama.

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) mengidentifikasi dan memetakan RTH eksisting Kota Kandangan, (2) Menganalisis kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kenyamanan thermal dan preferensi masyarakat (3) Menyusun arahan pengembangan RTH Kota Kandangan.

Penelitian dilaksanakan di Kota Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan sejak pertengahan bulan April hingga Oktober 2013. Pada tahap awal dilaksanakan inventarisasi RTH eksisting dan pemetaannya. Analisis kebutuhan RTH dihitung berdasarkan luas wilayah sesuai ketentuan UU No. 26 tahun 2007, berdasarkan prediksi jumlah penduduk hingga 20 tahun ke depan (2032) dengan standarisasi kebutuhan RTH per kapita dalam PermenPU No. 5/PRT/M/2008, berdasarkan indeks kenyamanan thermal menggunakan metode yang dikembangkan oleh Niewolt (1975) dan berdasarkan preferensi masyarakat dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

Pendekatan Konsep Kota Hijau dengan atribut Green Open Space digunakan sebagai strategi untuk mencapai kebutuhan RTH tersebut. Hasilnya kemudian diintegrasikan dalam rencana penggunaan lahan atau Zoning Regulation dari RDTRK Kota Kandangan.

Hasil penelitian menunjukkan RTH Kota Kandangan saat ini didominasi RTH privat berupa lahan pertanian (83,26%). RTH publik yang tersedia hanya sebesar 0,22% dari luas wilayah Kota Kandangan. RTH publik ini terdistribusi di wilayah pusat kota dan jalur jalan utama. Oleh karena itu, pengembangan RTH Kota Kandangan ditekankan pada pemenuhan kebutuhan RTH publik yaitu 20%

dari luas wilayah.

Kebutuhan RTH publik Kota Kandangan berdasarkan luas wilayah adalah 739,38 ha dan berdasarkan prediksi jumlah penduduk tahun 2032 adalah 170,85 ha. Berdasarkan kenyamanan thermal, Kota Kandangan masih berada pada kisaran nyaman, kecuali pada lahan terbangun dengan penutupan vegetasi yang kurang. Preferensi masyarakat memberikan bobot tertinggi untuk fungsi ekologis,

(6)

rekreasi, tanaman pohon peneduh dan asal tanaman lokal.

Atribut Kota Hijau yang sesuai untuk upaya pengembangan RTH Kota Kandangan adalah Green Open Space. Strategi pengembangan dari atribut ini yang bisa diterapkan di Kota Kandangan yaitu membangun lahan hijau (hub) baru dengan perluasan melalui pembelian lahan, mengembangkan koridor ruang terbuka hijau (link), dan peningkatan kualitas RTH kota melalui refungsi RTH eksisting. Berdasarkan Zoning Regulation strategi pengembangan RTH Kota Kandangan ditekankan pada menjaga kesinambungan fungsi RTH eksisting berupa lahan pertanian. Pendistribusian RTH ditempatkan berdasarkan pembagian Bagian Wilayah Kota (BWK) menurut RDTRK Kota Kandangan, dengan model jaringan hierarki.

Strategi dan arahan untuk pengembangan RTH Kota Kandangan adalah intensifikasi dengan peningkatan kualitas RTH eksisting dan ekstensifikasi melalui pembelian lahan untuk RTH. Selain itu, juga dilakukan pengukuhan keberadaan lahan-lahan hijau produksi, konservasi dan lindung sebagai lahan hijau abadi melalui penyesuaian Zoning Regulation (re-zoning) serta pengukuhan jejaring hijau jalan (green corridor) dan memperluas penggunaan fungsi ekologis untuk mengendalikan kondisi thermal kota

Kata kunci : Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH), Ruang Terbuka Hijau (RTH), RTH publik.

(7)

JAMILAH HAYATI. Development of Green Open Space Study with Green City Concept in Kandangan City, South Kalimantan. Supervised by SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS and SITI NURISJAH.

Green Open Space (RTH) is an important part of spatial planning as a counterweight for city ecosystem. Conversion of green land into built land by uncontrolled urban growth have caused micro climate change and decreased comfort. To overcome this problem, the government introduced Act No. 26/2007 about Spatial Planning, which required each county to provide 30% of its territory as RTH. Ministry of Public Works introduced the Green City Development Program (P2KH) to assist the implementation of the mandate of this Act. Kandangan is a growing city and rapidly developing physical infrastructure. This resulted an increasing amount of built land from 9,54% to 16,74% during the period of 2008 – 2010. This tends to be followed by a reduction in thermal comfort due to rising annual average air temperature 0f 26,79oC to 27,36oC during the same period.

This research was conducted with the aims: (1) Identifying and mapping existing condition of Kandangan City RTH, (2) Analyzing requirements of Kandangan city green open space based on vast territory, population, thermal comfort dan community preferences, (3) Arranging development strategy to increase the amount of green open space in Kandangan city.

The research was held in the Kandangan City, Hulu Sungai Selatan, South Kalimantan since mid April to October 2013. In the early stages implemented RTH existing inventory and mapping. Analysis of green open space requirement is calculated based on vast territory in accordance with Act No. 26/2007, based on predictions of population up to 20 years (2032) with green open space requirement standard per capita as in Permen PU No. 5/PRT/M/2008, based on thermal comfort index using the method developed by Niewolt (1975) and based on community preferences with Analytical Hierarchy process (AHP). Green Open Space is the attribute from Green City Concept approach which is used as a strategy to achieve the requirement of the green open space. The result are then integrated into the land use plan or Zoning Regulation in RDTRK of Kandangan City.

The result showed Kandangan City RTH is currently dominated by private RTH as agricultural land (83,26%). Pubic RTH available is only 0,22% of Kandangan City territory. This public RTH is distributed around the city center and main roads. Therefore, the development of Kandangan City RTH focused on fulfilling requirement of public RTH which is 20% of its vast territory.

The requirement of Kandangan City public RTH based on vast territory is 739,38 ha and based on total population predicted by 2032 is 170,85 ha. Based on thermal comfort, Kandangan City still in comfortably range, except on buildt land with less vegetation cover. Community preferences give the highest weight to ecological function, the spread distribution, the shape is green corridor, supporting facilities for recreational activities, plant shade trees and native local plants.

(8)

Kandangan City is Green Open Space. Development strategy that can be applied in Kandangan City is building green open spaces (hub) with expansion through the acquisition of new land, developing green corridor (link), and quality improvement through refunction of existing RTH. Based on Zoning Regulation, Kandangan City development strategy focused on maintaining continuity of existing RTH function as agricultural land. The requirement of RTH is distributed by the division part of the city (BWK) according to RDTRK of Kandangan City, as a hierarchical network model.

Strategies and referrrals for development of Green Open Space of Kandangan City are intensification by increasing the quality of existing RTH and extensification by acquisition of new land for RTH. Other efforts are inauguration of the green lands for production, conservation and preservation as eternal green lands by reconciliation of Zoning Regulation (re-zoning), inauguration of green lane network (green corridor), and expand the use of ecological function to manage the thermal condition of the city.

Keywords : Green City Development Program, Green Open Space, Public Green Open Space

(9)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

DENGAN PENDEKATAN KONSEP KOTA HIJAU DI KOTA KANDANGAN, KALIMANTAN SELATAN

JAMILAH HAYATI

Tesis

sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayahpada

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(12)
(13)

Konsep Kota Hijau Di Kota Kandangan, Kalimantan Selatan Nama : Jamilah Hayati

NIM : A156120334

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir. Santun R.P. Sitorus Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA

Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 November 2013 Tanggal Lulus:

(14)
(15)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan bimbingan-Nya pada akhirnya penulis berhasil menyelesaikan proposal penelitian ini. Proposal penelitian ini disusun dengan judul “Studi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Dengan Pendekatan Konsep Kota Hijau Di Kota Kandangan, Kalimantan Selatan”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P.

Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Siti Nurisjah MSLA selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Setia Hadi MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Khursatul Munibah MSc selaku pemimpin sidang atas masukan yang diberikan pada pelaksanaan ujian tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ir H A Syakhfiani, MSc beserta staf Dinas Lingkungan Hidup, Tata Kota dan Perdesaan, Ir H Tarjidinnoor, MT beserta staf Dinas Pekerjaan Umum, Dedi Hamdani, ST MT dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan serta Bapak Abdul Khair beserta staf dari Laboratorium Proteksi Hama Penyakit Tanaman Sungai Raya dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan segenap responden yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu-persatu yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami Syaifullah dan anakku M Zulkarnain Akbari serta kakak, nenek dan ibu mertua atas kesetiaan, kesabaran, dukungan dan doanya selama penulis menjalani perkuliahan. Tidak lupa juga penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan- rekan seperjuangan Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Kelas Khusus Bappenas angkatan 2012 atas dukungan fisik dan moril yang diberikan selama menjalani studi.

Penulis berharap semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan secara khusus bermanfaat bagi upaya pengembangan RTH di kawasan perkotaan, khususnya Kota Kandangan.

Bogor, November 2013 Jamilah Hayati A156120334

(16)

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Kerangka Pemikiran 5

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Kota Hijau 7

Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan 8

Pengertian Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan 8

Jenis-jenis RTHKP 9

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau 9

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau 12

Kenyamanan Thermal 14

Fenomena Urban Heat Island 14

Temperature Humidity Index 17

Keterkaiatan RTH dengan UHI 17

Analytical Hierarchy Process 18

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian 20

Bahan dan Alat 21

Tahapan Penelitian 21

Tahap Persiapan 21

Tahap Pengumpulan Data 22

Tahap Analisis Kebutuhan 22

Tahap Penyusunan Arahan Pengembangan RTH Kota Kandangan 25 KONDISI UMUM

Letak Geografis dan Administrasi 28

Kondisi Fisik Kota Kandangan 30

Topografi 30

Tanah 31

Hidrologi 31

Iklim 32

Kondisi Sosial Kota Kandangan 32

Jumlah Penduduk 32

Kepadatan Penduduk 32

Penggunaan Lahan 34

(17)

Identifikasi RTH Eksisting Kota kandangan 37

Kebutuhan RTH Kota Kandangan 40

Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah 40

Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk 42 Kebutuhan RTH Berdasarkan Indeks Kenyamanan Thermal (THI) 44

Suhu Udara 44

Kelembaban Relatif 47

Indeks Kenyamanan Thermal (THI) 49

Preferensi Masyarakat Kota Kandangan 51

Penyusunan Arahan Pengembangan RTH Kota Kandangan 55

Pendekatan Konsep Kota Hijau 55

Analisis Ketersediaan Lahan untuk RTH Berdasarkan Zoning

Regulation 58

Arahan Pengembangan RTH Kota Kandangan 61

Konsep Pengembangan 61

Pengintegrasian Kebutuhan RTH ke dalam Zoning Regulation 67 Tahapan Pencapaian Kebutuhan RTH Publik Kota Kandangan 72 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 73

Saran 74

DAFTAR PUSTAKA 75

LAMPIRAN 79

RIWAYAT HIDUP 91

(18)

1. Klasifikasi jenis RTH kawasan perkotaan 10

2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk 13

3. Definisi skor pembobotan AHP 19

4. Indeks Random 19

5. Matriks data dan metode analisis 23

6. Proporsi luas wilayah kecamatan terhadap luas Kota Kandangan 29 7. Luas dan proporsi kelas lereng Kota Kandangan 30 8. Perubahan penggunaan lahan Kota Kandangan periode 2008 - 2010 34

9. Proporsi penggunaan lahan di Kota Kandangan 38

10. Klasifikasi RTH Kota Kandangan 39

11. Neraca kebutuhan dan ketersediaan RTH publik Kota Kandangan

berdasarkan luas wilayah 41

12. Prediksi pertambahan jumlah penduduk Kota Kandangan hingga tahun

2032 42

13. Neraca kebutuhan dan ketersediaan RTH publik Kota Kandangan 43

14. Fluktuasi harian suhu udara Kota Kandangan 45

15. Fluktuasi harian kelembaban relatif Kota Kandangan 47 16. Fluktuasi rata-rata harian THI Kota Kandangan 50 17. Proporsi penambahan RTH Kota Kandangan berdasarkan nilai THI 51 18. Hasil perhitungan AHP untuk penentuan prioritas pengembangan RTH

publik Kota Kandangan 54

19. Luasan lahan untuk penambahan RTH publik berdasarkan strategi

Pengembangan dari atribut Green Open Space 59

20. Luas penggunaan lahan berdasarkan Zoning Regulation Kota Kandangan 61 21. Arahan pengembangan RTH publik berdasarkan zonasi penggunaan

Lahan dalam Zoning Regulation 71

(19)

1. Perubahan proporsi penggunaan lahan di Kota Kandangan 3

2. Kerangka Pikir Penelitian 6

3. Tipologi RTH 9

4. Pola RTH yang mengikuti pola tata ruang kota 14

5. Fenomena UHI secara Spasial 15

6. Wilayah lokasi penelitian 20

7. Alat yang digunakan untuk pengamatan suhu udara dan kelembaban

Relatif 24

8. Struktur hierarki pengembangan RTH Kota Kandangan 26

9. Tahapan pelaksanaan penelitian 27

10. Batas wilayah Kota Kandangan 29

11. Peta kontur Kota Kandangan 30

12. Kondisi sempadan Sungai Amandit 31

13. Kurva pertumbuhan jumlah penduduk Kota Kandangan 33 14. Tingkat kepadatan penduduk tiap desa di Kota Kandangan 33

15. Kondisi komplek perumahan di Kota Kandangan 34

16. Peta penggunaan lahan Kota Kandangan tahun 2010 35

17. Kondisi kebun campuran di Kota Kandangan 35

18. Kondisi persawahan di Kota Kandangan 36

19. Peta penyebaran RTH publik Kota Kandangan 39

20. Peta distribusi rata-rata harian suhu udara Kota Kandangan 46 21. Peta distribusi rata-rata harian kelembaban relatif Kota Kandangan 48

22. Areal perdagangan dan jasa Kota Kandangan 49

23. Peta distribusi rata-rata harian indeks kenyamanan Kota Kandangan 50 24. RTH publik Kota Kandangan yang paling banyak dikunjungi 52

25. Kondisi jalur hijau jalan Kota Kandangan 57

26. Kondisi fasilitas olahraga dan taman pemakaman umum 58 27. Peta pengembangan RTH Kota Kandangan berdasarkan strategi dari

atribut Green Open Space 59

28. Peta Zoning Regulation Kota Kandangan Tahun 2010 – 2029 60

29. Model jaringan hierarki RTH Kota Kandangan 62

30. Penyebaran RTH berdasarkan model jaringan hierarki 64

31. Bentuk tajuk jenis tanaman peneduh 65

32. Pola penanaman jalur hijau jalan tanpa median 66 33. Pola penanaman jalur hijau jalan dengan median 66

(20)

1. Nama Desa/Kelurahan dalam wilayah Kota Kandangan dan luasnya 79

2. Peta Kelerengan Kota Kandangan 80

3. Kepadatan penduduk Kota Kandangan pada masing-masing desa/

Kelurahan 81

4. Peta penggunaan lahan Kota Kandangan tahun 2008 82

5. Identifikasi RTH Publik Kota Kandangan 83

6. Peta fluktuasi suhu harian Kota Kandangan 84

7. Peta fluktuasi kelembaban relatif Kota Kandangan 86

8. Peta fluktuasi THI Kota Kandangan 88

9. Ikhtisar fluktuasi harian suhu, kelembaban relatif dan THI Kota

Kandangan 90

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kab. HSS) dengan ibukotanya Kota Kandangan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan.

Kabupaten ini memiliki lokasi strategis pada jalur transportasi barang dari pelabuhan di Kota Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu menuju Banua Lima (sebutan bagi beberapa kabupaten di kawasan hulu sungai meliputi Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan dan Tapin). Hal ini membuat Pemerintah Kab. HSS (Pemkab HSS) berusaha untuk menjadikan Kab. HSS menjadi “Banua Lima Plus Centre”, yaitu sebagai pusat pertumbuhan bagi wilayah Banua Lima.

Keinginan menjadikan Kab. HSS sebagai pusat pertumbuhan bagi wilayah Banua Lima tersebut diiringi berbagai upaya pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan dan pusat pelayanan, antara lain pembangunan kawasan Terminal Antar Kota, pembangunan Pasar Sentra Agribisnis, pembangunan gedung Rumah Sakit H. Hasan Basry baru dan pembangunan jalan lingkar luar kota. Selain itu, berkembang pula beberapa kawasan pemukiman baru. Sitorus et al. (2011) menyatakan perkembangan sektor-sektor ekonomi menyebabkan kebutuhan sumberdaya lahan meningkat untuk penyediaan sarana pendukung sehingga meningkatkan alih fungsi lahan ruang terbuka hijau (RTH) menjadi penggunaan lain atau lahan terbangun yang mengurangi keberadaan RTH di perkotaan.

Konversi lahan menjadi lahan terbangun mengakibatkan berkurangnya kuantitas dan kualitas RTH. Miller (1986) dalam Irwan (2008) menyatakan bahwa bangunan beton dan jalan aspal menyerap panas sepanjang hari dan melepaskannya secara lambat pada malam hari. Pusat kota tidak hanya lebih panas dari pinggir kota tetapi juga kurang nyaman, mengandung banyak polusi, kurang sinar matahari, kurang angin dan kelembabannya rendah. Suhu udara dan kelembaban adalah salah satu elemen iklim yang mempengaruhi kenyamanan manusia. Menurut Niewolt (1975) dalam Rushayati et al. (2011) kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan yang dinyatakan secara kuantitatif melalui hubungan kelembaban udara dan suhu udara yang disebut dengan Temperature Humidity Index (THI).

Menurut hasil penelitian Mom (1947) dalam Effendy (2007) indeks kenyamanan di Indonesia berada pada kisaran 20-26.

Ditjen Penataan Ruang (2008) menyebutkan fungsi utama RTH adalah fungsi ekologis yang di antaranya yaitu sebagai pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, penyerap polutan dan penahan angin. Fracillia (2007) menyebutkan tanaman pohon, semak dan rumput memperbaiki suhu udara kota dengan mengontrol radiasi matahari. Daun menahan, memantulkan, menyerap dan meneruskan radiasi matahari. Selama matahari bersinar, daun menahan radiasi matahari dan menurunkan suhu. Tanaman juga memperbaiki suhu udara panas dengan evapotranspirasi.

(22)

Joga dan Ismaun (2011) menyatakan bahwa persaingan dalam pemanfaatan lahan saat ini lebih banyak berdimensi ekonomi dibandingkan ekologis. Hal ini menjadi salah satu penyebab konversi RTH di daerah perkotaan makin tidak terkendali. Kenaikan kebutuhan lahan yang pesat untuk pembangunan infrastruktur fisik dan pemukiman tidak dimbangi dengan penyediaan lahan yanng memadai. Akibatnya terjadi mekanisme pasar dengan persaingan yang semakin ketat, di mana lahan alami (RTH) di lokasi strategis dianggap tidak mempunyai nilai ekonomi sehingga terancam fungsi ekologisnya. Pemberlakuan Undang- undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, mengubah paradigma pembangunan selama ini. Undang-undang ini mengamanatkan setiap daerah menyediakan RTH seluas 30% dari luas wilayahnya untuk menyeimbangkan ekosistem kota baik sistem hidrologi, klimatologi, menyediakan udara bersih, keanekaragaman hayati dan estetika. RTH ini terdiri atas RTH publik yang dikelola oleh pemerintah daerah seluas 20% dan RTH privat yang dimiliki oleh masyrakat dan swasta.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (Ditjen Penataan Ruang) mulai tahun 2011 mengembangkan prakarsa Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Program ini merupakan salah satu langkah nyata Pemerintah bersama pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten dalam memenuhi amanat Undang-undang Penataan Ruang, sekaligus sebagai jawaban atas tantangan perubahan iklim di Indonesia (Kementerian PU 2012).

Salah satu pengertian Kota Hijau menurut Kementerian PU (2012) adalah kota yang mengutamakan keseimbangan ekosistem hayati dengan lingkungan terbangun sehingga tercipta kenyamanan bagi penduduk kota yang tinggal di dalamnya maupun bagi para pengunjung kota. Pengembangan Kota Hijau berbasis pada memperkuat karakter lokal, tingkat kepadatan lingkungan, bentuk pola ruang yang efektif, aksesibilitas dan pilihan moda transportasi, di mana RTH menjadi komponen penting penyatu dalam tata ruang kota (infrastruktur hijau).

Sejak Maret 2012, Pemkab HSS telah mencanangkan Gerakan Kandangan Bersih dan Hijau sebagai upaya untuk mewujudkan Kandangan menjadi Kota Hijau. Keseriusan Pemkab. HSS dalam program ini ditandai dengan kegiatan penanaman pohon yang dipimpin langsung oleh Bupati HSS di wilayah Kota Kandangan, seperti di Kawasan Pondok Pesantren Darul Ulum, sekitar lokasi Rumah Sakit H. Hasan Basry yang baru, dan dan beberapa ruas jalan di pusat kota. Menyadari pentingnya peran masyarakat untuk menjaga keberlanjutan usaha pengembangan RTH tersebut, Pemkab. HSS berusaha melibatkan masyarakat serta pihak swasta untuk turut berpartisipasi. Pemkab. HSS juga telah membentuk forum komunikasi untuk memupuk kesadaran lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di areal sempadan sungai, dipimpin oleh Lurah Kandangan Kota.

Keseriusan upaya Pemkab. HSS saat ini belum didukung oleh perencanaan yang memadai. Kegiatan pengembangan RTH sifatnya masih insidentil, tergantung kebutuhan dan ketersediaan anggaran dan lokasi pengembangan pada tahun berjalan. Belum ada perencanaan penataan RTH yang sifatnya terpadu dan menyeluruh untuk dijadikan arahan dalam upaya pengembangan RTH di Kota Kandangan. Kendati telah diuraikan dalam Revisi Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kota Kandangan Tahun 2010 - 2029, namun rencana tersebut belum memperhatikan hal-hal penting untuk mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan seperti disebutkan oleh Nurisjah (2005) sebagai berikut:

(23)

1. Luas minimum yang diperlukan,

2. Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH, 3. Bentuk yang dikembangkan, dan

4. Distribusinya dalam kota.

Menurut Dahlan (1992), pendekatan untuk pembangunan RTH kota di Indonesia memandang RTH sebagai bagian dari suatu kota. Oleh karena itu, untuk penghitungan kebutuhan luasannya mempertimbangkan aspek:

1. Persentase, yaitu luasan RTH ditentukan dengan menghitungnya dari luasan kota.

2. Perhitungan per kapita, yaitu luasan RTH ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya.

3. Berdasarkan isu utama yang muncul, misalnya berdasarkan tujuan pemenuhan kebutuhan akan oksigen, air dan kebutuhan lainnya.

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menyusun arahan bagi perencanaan pengembangan RTH di Kota Kandangan dalam upaya mendukung perwujudan Kota Kandangan sebagai Kota Hijau. Penelitian ini menggunakan pendekatan penghitungan kebutuhan luasan RTH sebagai dasar perencanaan dan mempertimbangkan preferensi masyarakat sebagai karakter lokal yang sangat berperan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan pembangunan.

Perumusan Masalah

Hingga saat ini, lebih dari 80% RTH di Kota Kandangan, didominasi oleh lahan pertanian berupa tegalan/kebun campuran dan sawah. Jenis RTH ini rentan mengalami konversi menjadi lahan terbangun, terutama dengan semakin tingginya intensitas pembangunan. Selama periode 2008 – 2010, terjadi peningkatan proporsi lahan terbangun dari 9,54% menjadi 16,74% (Gambar 1). Jika tidak dikendalikan, kualitas dan kuantitas RTH di daerah ini cenderung akan semakin menurun sejalan dengan meningkatnya intensitas pembangunan.

Sumber: Bappeda HSS (2009) dan citra Bingmaps (2010) Gambar 1 Perubahan proporsi penggunaan lahan Kota Kandangan

periode 2008 - 2010

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00

Kebun Campuran Sawah Terbangun 34,05

56,41

9,54 48,17

35,09

16,74

2008 2010

(24)

Kota Kandangan berada di daerah dataran rendah aluvial yang terkadang berawa-rawa dengan ketinggian 0 – 25 m di atas permukaan laut (Bappeda HSS 2009). Hal ini berakibat suasana yang tidak nyaman karena udara yang panas dan lembab. Data iklim dari Laboratorium Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (Lab Proteksi TPH) Sungai Raya menunjukkan suhu udara rata-rata tahunan Kota Kandangan meningkat dari 26,79 OC dan kelembaban rata-rata tahunan 86,03%

pada tahun 2008 menjadi 27,36OC dan 88,33% pada tahun 2010. Oleh karena itu, keberadaan RTH sangat diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan fisik/thermal ini. Bila RTH menurun, tentu akan berakibat menurunnya kenyamanan.

Peningkatan intensitas pembangunan cenderung diiringi dengan menurunnya kualitas dan kuantitas RTH. Oleh karena itu, perlu upaya pengendalian dalam bentuk perencanaan sejak awal. Perencanaan ini bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan hijau menjadi lahan terbangun, terutama di wilayah-wilayah yang kenyamanan thermalnya kurang. Dengan demikian, meskipun pembangunan terus berjalan, namun suasana nyaman di dalam kota akan terus terjaga.

Salah satu upaya yang telah ditempuh Pemerintah Daerah Kab. HSS untuk memenuhi kebutuhan RTH Kota adalah menginventarisasi RTH publik yang berada dalam pengelolaan pemerintah daerah dan menetapkannya dalam Surat Keputusan Bupati HSS. Hanya saja, inventarisasi RTH publik ini masih dalam bentuk data tabular, sehingga tidak diketahui distribusi spasial dan luasannya.

Atas dasar perumusan masalah di atas, disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi RTH eksisting Kota Kandangan?

2. Berapa prakiraan kebutuhan RTH kota yang akan datang untuk meningkatkan kenyamanan melalui pendekatan konsep Kota Hijau?

3. Bagaimana arahan pengembangan RTH Kota Kandangan berdasarkan kebutuhan tersebut?

Tujuan Penelitian

Upaya pengembangan RTH publik perlu perencanaan yang bisa dijadikan arahan agar bisa berhasil dengan baik. Karena itulah penelitian ini dilakukan, sebagai tahapan awal dari proses perencanaan pengembangan RTH di Kota Kandangan, dengan tujuan umum yaitu menyusun arahan pengembangan RTH Kota Kandangan untuk memenuhi tuntutan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan pendekatan Konsep Kota Hijau. Tujuan antara dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dan memetakan RTH eksisting Kota Kandangan.

2. Menganalisis kebutuhan RTH Kota Kandangan berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kenyamanan thermal dan preferensi masyarakat.

3. Menyusun arahan pengembangan RTH Kota Kandangan.

(25)

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Sebagai data dan bahan informasi spasial mengenai kondisi eksisting RTH Kota Kandangan

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kab. HSS untuk upaya pengembangan RTH Kota Kandangan dengan Konsep Kota Hijau

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya permasalahan akibat pembangunan yang tidak terkendali. Meningkatnya jumlah lahan terbangun akibat pembangunan infrastruktur fisik berakibat berkurangnya kualitas dan kuantitas RTH Kota Kandangan. Hal ini cenderung diikuti oleh berkurangnya kenyamanan thermal akibat kenaikan suhu udara kota. RTH dengan berbagai fungsinya diharapkan dapat menjawab permasalahan ini. Oleh karena itu, Pemerintah dalam UU No. 26 tahun 2007 mengamanatkan setiap daerah untuk menyediakan 30%

wilayahnya sebagai RTH demi menjaga kelangsungan ekosistem kota. Amanat UU No. 26 tahun 2007 ini dijabarkan oleh Kementerian PU dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) No. 5/PRT/M/2008 dan diwadahi dalam wujud Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH).

Di pihak lain, data mengenai kondisi eksisting RTH Kota Kandangan masih minim, terutama terkait dengan jumlah, tipologi dan penyebarannya di dalam kota. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap RTH eksiting Kota Kandangan sebagai tahap awal. Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu prakiraan kebutuhan RTH Kota Kandangan, dilakukan analisis kebutuhan RTH ditinjau dari luas wilayah, jumlah penduduk dan indeks kenyamanan thermal. Preferensi masyarakat dipertimbangkan sebagai karakter lokal menurut pendekatan Konsep Kota Hijau. Pendekatan konsep Kota Hijau juga digunakan untuk menentukan atribut dan strategi yang akan digunakan untuk mencapai RTH 30%, Selanjutnya disusun konsep perencanaan penataan RTH Kota Kandangan.

Peta Zoning Regulation dalam RDTRK Kota Kandangan digunakan untuk melihat ketersediaan lahan potensial untuk pengembangan RTH. Arahan pengembangan disusun dengan mengakomodasi kebutuhan RTH dan memperhatikan lahan tersedia (Gambar 2).

(26)

Gambar 2 Kerangka pikir penelitian

Permasalahan perkotaan akibat pembangunan yang tidak terkendali

(Meningkatnya jumlah lahan terbangun diikuti menurunnya kualitas dan kuantitas RTH di Kota Kandangan)

Berkurangnya

kenyamanan thermal UU/Peraturan mengenai

penataan RTH Kondisi Eksisting RTH Kota Kandangan

Analisis Kebutuhan RTH Kota Kandangan

(berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kenyamanan thermal dan preferensi masyarakat)

Konsep Kota Hijau Zoning Regulation

Arahan Pengembangan RTH Kota Kandangan UU No. 26 tahun 2007

PermenPU No.

5/PRT/M/2008 Program Pengembangan

Kota Hijau (P2KH)

Tipologi Penyebaran

Jumlah

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Kota Hijau

Konsep Kota Hijau muncul dilatarbelakangi oleh pertumbuhan kota yang begitu cepat dan berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau (RTH) serta fenomena perubahan iklim (Ernawi 2012). Kementerian PU (2011) mengartikan Kota Hijau sebagai kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Selanjutnya Kementerian PU (2012) menjelaskan atribut yang diperlukan untuk mewujudkan kota hijau yaitu:

1. perencanaan dan perancangan kota (Green Planning and Design), yang bertujuan meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang lebih sensitif terhadap agenda hijau, upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

2. pembangunan ruang terbuka hijau (Green Open Space) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik kota/kabupaten, dengan target RTH 30%.

3. Green Community, yaitu pengembangan jaringan kerjasama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat.

4. pengurangan dan pengolahan limbah dan sampah (Green Waste), dengan menerapkan zero waste.

5. pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (Green Transportation) yang mendorong warga untuk menggunakan transportasi publik ramah lingkungan, serta berjalan kaki dan bersepeda dalam jarak pendek.

6. peningkatan kualitas air (Green Water) dengan menerapkan konsep ekodrainase dan zero runoff.

7. Green Energy, yaitu pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan, misalnya listrik tenaga surya, tenaga angin, dsb.

8. Green Building, yaitu penerapan bangunan hijau (green building), taman atap (roof garden) dan taman vertikal (vertical garden).

Keseluruhan atribut Kota Hijau ini merupakan satu kesatuan yang integral, termasuk dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi lokal sebagai dampak ikutan dari perwujudan masing-masing atribut. Konsep Kota Hijau bersifat universal, mencakup berbagai sektor kehidupan, bukan sekedar pengembangan RTH saja, tetapi untuk mewujudkan kinerja hijau yang dapat menjawab fungsi ekologi. Kota Hijau merupakan metafora dari kota berkelanjutan, yang berlandaskan penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Tulang punggung konsep Kota Hijau ini adalah keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Karena itu, Pemerintah, lewat Kementerian Pekerjaan Umum mencanangkan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) dengan tujuan:

(28)

1. Meningkatkan kualitas ruang kota khususnya perwujudan RTH 30 % ( 20 % publik dan 10 % privat) sekaligus implementasi RTRW Kota/Kabupaten 2. Meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam implementasi agenda

hijau perkotaan (Kementerian PU 2011).

Lingkup kabupaten/kota dalam P2KH disebutkan dalam Kementerian PU (2011) yaitu:

1. Kabupaten : Ibukota kabupaten sebagai kawasan perkotaan 2. Kota : Batas administrasi (City Wide)

Kota Hijau (berkelanjutan) merupakan kota yang dibangun dengan tidak mengikis atau mengorbankan aset kota-wilayah (city-region), melainkan terus- menerus memupuk semua kelompok aset meliputi manusia, lingkungan terbangun, sumber daya alam, lingkungan dan kualitas prasarana perkotaan.

Karena itu, pengembangan Kota Hijau berarti pembangunan manusia kota yang kaya inisiatif dalam melakukan perubahan dan gerakan kolektif dari seluruh pemangku kepentingan kota (Kementerian PU 2011). Konsep dasar pengembangan Kota Hijau berbasis pada memperkuat karakter lokal, tingkat kepadatan lingkungan, bentuk pola ruang yang efektif, aksesibilitas dan pilihan moda transportasi, kawasan terbangun dan bangunan bertipe campuran, di mana RTH menjadi komponen penting penyatu dalam rata ruang kota (infrastruktur hijau) (Kementerian PU 2012). Dengan demikian, bentuk kegiatan P2KH akan disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan kabupaten/kota masing-masing.

Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan Pengertian Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

Purnomohadi (1995) mengartikan RTH sebagai sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk, dan batas geometris tertentu dengan status penguasaan apa pun; yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tanaman tahunan (perennial woody plant), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan. Menurut Ditjen Penataan Ruang (2007) Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Nurisjah (2005) menyatakan ruang terbuka hijau (RTH) suatu kota adalah ruang-ruang terbuka (open spaces) di berbagai tempat wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan sebagai daerah penghijauan dan berfungsi dalam mendukung kualitas lingkungan wilayah perkotaan. Menurut Depdagri (2007) Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Samsudi (2010) menjelaskan tujuan pembentukan RTH di wilayah perkotaan yaitu:

1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan

(29)

2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dalam lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.

Jenis-Jenis RTHKP

Pengklasifikasian jenis-jenis RTH sangat beragam. Secara fisik RTH dibedakan menjadi RTH alami dan non alami atau binaan. RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung, dan taman-taman nasional. RTH non alami atau binaan berupa taman, lapangan olahraga, pemakanan atau jalur-jalur hijau jalan. Dilihat dari fungsi, RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika dan ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hierarki dan struktur ruang perkotaan. Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan menjadi RTH publik dan RTH privat (Ditjen Penataan Ruang 2008). Secara ringkas, tipologi pengklasifikasian RTH bisa dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Ditjen Penataan Ruang (2008)

Gambar 3 Tipologi RTH

Mengacu pada pembagian jenis RTH menurut Depdagri (2007) dan Ditjen Penataan Ruang (2008), secara garis besar RTH binaan dibedakan menjadi 5 jenis utama, yaitu RTH Pekarangan, RTH Taman dan hutan kota, RTH Jalur hijau jalan, RTH Fungsi tertentu dan RTH Pertanian perkotaan (Tabel 1). Selanjutnya, berdasarkan kepemilikan dan pengelolaan, RTH dibedakan menjadi RTH Publik dan RTH Privat.

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau

RTH merupakan bagian penting dalam penataan ruang kota karena memiliki berbagai fungsi dan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk perbaikan keadaan lingkungan kehidupan perkotaan, karena keberadaan tanaman secara fisik dan/ataupun jasa lingkungan yang dihasilkannya yaitu (Nurisjah, 2005):

1. Fungsi ekonomi, yaitu fungsi dan manfaat RTH yang secara langsung dapat diperhitungkan dengan nilai ekonomi pasar (Rp.) seperti nilai jual dari tanaman atau bagian-bagian tanaman (kayu, bunga, dan daun), dan juga yang dapat digunakan untuk tempat berusaha bagi warga kota.

(30)

Tabel 1 Klasifikasi jenis RTH kawasan perkotaan

Sumber: Depdagri (2007) dan Ditjen Penataan Ruang (2008)

2. Fungsi biofisik, yaitu fungsi dan manfaat RTH yang mencakup fungsi ekologis dan perlindungan fisik terutama karena adanya hubungan timbal- balik antara RTH dan/atau keberadaan RTH dengan lingkungan sekitarnya (contoh: habitat burung, konservasi air dan tanah; untuk pengendalian pencemaran)

3. Fungsi arsitektural, yaitu fungsi dan manfaat yang dihasilkan RTH, terutama yang terkait dengan pengertian habitability, comfortability dan estetika, terhadap warga dan estetika lingkungan kota. Contohnya adalah bentuk atau

Depdagri (2007) Ditjen Penataan Ruang (2008)

1 Taman wisata alam

Taman hutan raya Hutan lindung

Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah Cagar alam

2 RTH Pekarangan Pekarangan Rumah Tinggal

Halaman perkantoran, pertokoan dan tempat usaha

Taman Atap Taman atap bangunan

Taman RT Taman RW Taman Kelurahan Taman Kecamatan

Taman kota Taman Kota

Taman rekreasi Kebun raya Kebun binatang Lapangan olahraga Lapangan upacara

Hutan kota Hutan Kota

Kawasan dan jalur hijau Sabuk Hijau (green belt ) Pulau Jalan

Median Jalan Jalur pejalan kaki

ruang di bawah jalan layang

RTH Fungsi Tertentu RTH sempadan rel kereta api

Jalur di bawah tegangan tinggi

(SUTT dan SUTET) jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi

RTH Sempadan sungai RTH sempadan pantai RTH Pengamanan sumber air baku/mata air

Pemakaman umum Pemakaman

Daerah penyanga (buffer zone) lapangan udara

Parkir terbuka

RTH Pertanian Perkotaan Lahan pertanian perkotaan RTH Taman dan Hutan

Kota Taman lingkungan perumahan

dan permukiman

Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian

Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa RTH

Alami

RTH NonAlami (Binaan)

Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial

RTH Jalur Hijau Jalan

Klasifikasi RTH Menurut:

No. Fisik

RTH Jenis RTH

(31)

struktur RTH yang efisien, mudah dikenal, identitas kawasan), indah; serta kenyamanan

4. Fungsi sosial, yaitu fungsi dan manfaat RTH, secara langsung dan tidak langsung, untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan.

Contohnya adalah RTH sebagai suatu tempat peningkatan pengetahuan dan kesehatan, bersosialisasi, dan berekreasi, dan bertemunya anggota dari suatu komuniti.

Depdagri (2007) menjelaskan secara sempit fungsi RTHKP adalah sebagai berikut:

a. Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;

b. Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;

c. Tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati;

d. Pengendali tata air; dan e. Sarana estetika kota.

Menurut Ditjen Penataan Ruang (2008), RTH memiliki fungsi yang tidak terlalu jauh berbeda dengan pendapat Nurisjah, dengan lebih terperinci, yaitu sebagai berikut:

a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:

 memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota);

 pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar;

 sebagai peneduh;

 produsen oksigen;

 penyerap air hujan;

 penyedia habitat satwa;

 penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta;

 penahan angin.

b. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:

 Fungsi sosial dan budaya:

- menggambarkan ekspresi budaya lokal;

- merupakan media komunikasi warga kota;

- tempat rekreasi;

- wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam

 Fungsi ekonomi:

- sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur

- bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lainlain.

 Fungsi estetika:

- meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan

- menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;

- pembentuk faktor keindahan arsitektural;

(32)

- menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun

Manfaat RTHKP menurut Depdagri (2007) adalah sebagai berikut:

a. Sarana untuk mencerminkan identitas daerah;

b. Sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;

c. Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;

d. Meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;

e. Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;

f. Sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;

g. Sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;

h. Memperbaiki iklim mikro; dan

i. Meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.

Menurut Ditjen Penataan Ruang (2008) manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas:

a. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah);

b. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau

Dahlan (1992) menggambarkan dua pendekatan yang biasa digunakan dalam membangun RTH kota yaitu:

1. RTH kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu saja.

Berdasarkan pendekatan ini, RTH merupakan bagian dari pemanfaatan lahan suatu kota. Penentuan luasannya dapat berdasarkan:

a. Persentase, yaitu luasan RTH kota ditentukan dengan menghitungnya dari luasan kota.

b. Perhitungan per kapita, yaitu luasan RTH kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya.

c. Berdasarkan isu utama yang muncul. Misalnya untuk menghitung luasan RTH kota pada suatu kota dapat berdasarkan tujuan pemenuhan kebutuhan oksigen, air dan kebutuhan lainnya.

2. Semua areal yang ada di suatu kota pada dasarnya adalah areal untuk RTH kota.

Pada pendekatan ini, komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran, dan industri dipandang sebagai suatu enklave (bagian) yang ada dalam RTH kota.

Ditjen Penataan Ruang (2008) menjelaskan rincian penyediaan RTH di kawasan perkotaan sebagai berikut:

1. Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah

Ketentuan ini merupakan penjabaran dari amanat UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. RTH di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH privat

(33)

b. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% terdiri dari RTH privat.

c. Apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita. Ditjen Penataan Ruang (2008) menentukan kebutuhan luas RTH per kapita di Indonesia adalah 20 m2, dengan perincian seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk

Sumber: Purnomohadi (2006) dan Ditjen Penataan Ruang (2007) 3. Penyediaan RTH berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengamanan pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu. Dahlan (1992) menjelaskan bahwa pembangunan RTH kota disesuaikan dengan isu penting pada kota tersebut.

Misalnya luas RTH yang harus dibangun pada kota yang memiliki masalah kekurangan air bersih, dapat ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan air. Lain halnya kota dengan penduduk yang padat dan jumlah kendaraan bermotor dan industri yang tinggi, maka luas RTH yang dibangun dapat dihitung berdasarkan pendekatan pemenuhan oksigen. Adapun untuk

No. Unit

Lingkungan Tipe RTH

minimal/Luas unit (m2)

minimal/Luas

kapita (m2) Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 di tengah lingkungan

RT, radius 100 - 200 m

2 2.500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 di pusat kegiatan RW, radius 200 - 300 m

3 30.000 jiwa Taman

Kelurahan 9.000 0,3 dikelompokkan dengan

sekolah/pusat kelurahan Taman

Kecamatan 24.000 0,2 dikelompokkan dengan sekolah/pusat

kecamatan Pemakaman disesuaikan 1,2 tersebar

Taman Kota 144.000 0,3 di pusat wilayah/kota Hutan kota disesuaikan 4,0 di dalam/kawasan

pinggiran untuk fungsi-

fungsi tertentu disesuaikan 12,5 disesuaikan dengan kebutuhan

5 480.000 jiwa 4 120.000 jiwa

(34)

kota-kota di daerah dataran rendah dan pesisir yang umumnya memiliki suhu udara yang tinggi, luas RTH bisa didasarkan pada kenyamanan thermal.

Nurisjah (2005) menyatakan bahwa dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan ada empat hal utama yang harus diperhatikan yaitu:

o luas minimum yang diperlukan

o lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH o bentuk yang dikembangkan (Gambar 4) dan

o distribusinya dalam kota

Sumber: Tim IPB (1993) dalam Nurisjah (2005)

Gambar 4 Pola RTH yang mengikuti pola tata ruang kota

Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Min, et al. (2011) di Semenanjung Macau mengusulkan pendekatan berkelanjutan untuk pengembangan RTH di daerah perkotaan yang padat dengan bentuk hierarkis yang dihubungkan oleh jaringan berbentuk jalur. Bahkan untuk menyiasati keterbatasan lahan, strategi ini dapat dikombinasikan dengan pengembangan RTH tiga dimensi yaitu dengan green wall dan roof garden. RTH ini tersebar di seluruh penjuru kota dengan jarak pelayanan efektif 200 m yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki maksimal 15 menit.

Kenyamanan Thermal Fenomena Urban Heat Island

Menurut Voogt (2002) dalam Effendy (2007) fenomena Urban Heat Island (UHI) merupakan gambaran peningkatan suhu udara perkotaan (urban) pada urban cover layer (UCL) di bawah gedung dan tajuk vegetasi dibandingkan wilayah pinggiran (rural). Rushayati (2011) mengartikan UHI sebagai kondisi di

(35)

mana udara (atmosfer) di atas kawasan perkotaan digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban (kota), dengan suhu udara yang semakin menurun ke arah suburban dan rural. Dinamakan pulau panas karena bentuk fenomena ini bila digambarkan secara spasial menyerupai sebuah pulau dengan suhu tertinggi di pulau tersebut (Gambar 5).

Sumber: Voogt (2002) dalam Effendy (2007)

Gambar 5 Fenomena UHI secara Spasial

Perbedaan suhu udara antara wilayah perkotaan dan pinggirannya ini menurut Irwan (2008) disebabkan oleh lima sifat fisik permukaan bumi, yaitu:

1. Bahan Penutup Permukaan

Perkotaan memiliki permukaan yang terdiri dari beton dan semen yang konduktivitas kalornya tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanah berpasir yang basah. Akibatnya, permukaan kota menerima dan menyimpan energi lebih banyak daripada perdesaan.

2. Bentuk dan Orientasi Permukaan

Bentuk dan orientasi permukaan kota lebih bervariasi daripada daerah pinggiran atau perdesaan, sehingga energi matahari yang datang dipantulkan berulang kali dan mengalami beberapa kali penyerapan dan disimpan dalam bentuk panas. Padatnya kota mengubah pola aliran udara yang bertindak sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi.

3. Sumber Kalor

Sumber panas di kota antara lain berasal dari aktivitas manusia, kendaraan bermotor, pemanas atau pendingin ruangan, mesin-mesin pabrik dan sebagainya meningkatkan konsentrasi panas sepanjang tahun di kota. Selain itu, sumber kalor akibat dari aktivitas dan panas metabolisme penduduk

(36)

diakibatkan oleh kepadatan penduduk kota yang semakin tinggi juga semakin meningkat.

4. Sumber Kelembaban

Di perkotaan air hujan cenderung menjadi aliran permukaan, akibat adanya permukaan semen, parit, selokan, dan pipa-pipa saluran drainase. Di daerah perdesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga cadangan air untuk penguapan dapat menyejukkan udara. Jumlah badan air (sungai, danau, kolam dan rawa-rawa) per satuan luas lebih kecil di kota daripada di sekitarnya, sehingga panas yang hilang karena evaporasi dari air lebih kecil.

5. Kualitas Udara

Banyaknya bangunan bertingkat dan tingkat pencemaran yang tinggi dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor di perkotaan menyebabkan timbulnya kubah debu (dust dome), yaitu selubung polutan yang menyelimuti kota.

Rushayati (2011) menyebutkan sumber permasalahan UHI adalah:

1. Emisi gas rumah kaca

Pulau bahang (UHI) yang terbentuk di area perkotaan diakibatkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca (GRK). Fenomena ini disebut sebagai efek rumah kaca. Anggraini (2011) menjelaskan efek rumah kaca dianalogikan sebagai bumi yang dikelilingi gelas kaca, di mana panas matahari dapat masuk ke bumi menembus gelas tersebut. Sebagian energi matahari tersebut diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke ruang angkasa. Akan tetapi, panas yang seharusnya dipantulkan ini tak bisa menembus lapisan gelas kaca sehingga terperangkap di bumi. Hal ini menyebabkan suhu bumi menjadi lebih panas. Anggraini (2011) juga menyebutkan zat-zat yang termasuk dalam kelompok GRK adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (C2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluokarbon (PFC), sampai sulfur heksafluorida (SF6). Sumber utama penghasil emisi GRK ini antara lain pembangkit listrik bertenaga batu bara dan pembakaran kendaraan bermotor.

2. Pengaruh penutupan lahan

a. Neraca Radiasi dan Neraca Energi

Penutupan lahan yang ada di area perkotaan menentukan neraca radiasi (termasuk pengaruh dari albedo) serta neraca energi di area perkotaan.

Rushayati (2011) mengartikan albedo sebagai perbandingan antara jumlah radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan jumlah radiasi gelombang pendek yang diterima suatu permukaan. Masing- masing jenis penutupan lahan mempunyai kemampuan memantulkan dan menyerap radiasi surya (albedo) yang berbeda-beda. Semakin banyak radiasi surya yang dipantulkan, maka radiasi neto akan semakin tinggi sehingga suhu permukaan dan suhu udara di sekitarnya rendah. Demikian juga sebaliknya. Atap bangunan yang gelap, bangunan beton dan jalan- jalan beraspal memiliki albedo yang rendah, sehingga lebih banyak menyerap radiasi surya, sehingga suhu permukaan dan suhu udaranya lebih tinggi dibandingkan daerah yang didominasi oleh RTH.

b. Evaporasi dan Evapotranspirasi berbagai jenis penutupan lahan

(37)

Mather (1974) dalam Rushayati (2011) memberikan pengertian evaporasi adalah transfer massa uap air dan energi dari suatu permukaan ke atmosfer (penguapan). Transpirasi adalah kehilangan air dari vegetasi melalui proses penguapan. Evapotranspirasi merupakan kombinasi antara evaporasi dan transpirasi. Evaporasi dan transpirasi selain ditentukan oleh faktor iklim (radiasi, suhu udara, kelembaban udara, perbedaan tekanan udara, angin), juga ditentukan oleh jenis vegetasi. Vegetasi mengkonduksikan radiasi surya dan menggunakannya untuk evapotranspirasi sehingga suhu permukaan dan suhu udara di sekitarnya lebih rendah.

Temperature Humidity Index

Kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia.

Parameter iklim yang paling umum digunakan untuk menilai kenyamanan manusia adalah suhu udara dan kelembaban relatif (RH). Suhu dan kelembaban saling mempengaruhi, di mana RH akan menurun apabila suhu meningkat, dan meningkat ketika suhu turun. Kedua parameter ini sama-sama mempengaruhi kenyamanan manusia. Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengganggu kegiatan manusia, sedangkan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi lingkungan yang tidak nyaman bagi manusia. Landsberg (1981) dalam Kalfuadi (2009) menyatakan suhu ideal bagi kenyamanan manusia adalah 27 oC – 28oC dan kelembaban 40% - 75%

Temperature Humidity Index (THI) yang dikenal sebagai indeks kenyamanan merupakan metode untuk mengetahui adanya cekaman panas dan menetapkan efek dari kondisi panas tersebut pada kenyamanan manusia dengan mengkombinasikan parameter suhu dan kelembaban udara. Effendy (2007) mendefinisikan THI sebagai besaran yang dapat dikaitkan dengan tingkat kenyamanan yang dirasakan populasi manusia di wilayah perkotaan.

Kondisi nyaman apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif dan upaya pengaturan suhu tubuh berada pada level minimal (Effendy 2007). Kenyamanan secara kuantitatif dapat dinyatakan sebagai THI, yang dirumuskan oleh Nieuwolt (1975). Menurut hasil penelitian Mom (1947) dalam Effendy (2007) indeks kenyamanan di Indonesia berkisar pada nilai 20 – 26.

Adapun menurut Wirasasmita et al. (2003) dalam Kalfuadi (2009) indeks kenyamanan dibedakan menjadi tiga kondisi yaitu kondisi nyaman pada kisaran nilai THI 19 – 23, kondisi sedang pada kisaran 23 – 27 dan tidak nyaman pada nilai THI di atas 27.

Keterkaitan RTH dengan UHI

Fungsi ekologis RTH yang di antaranya adalah memperbaiki iklim mikro berdampak pada penurunan suhu udara. Penelitian oleh Zhou et al. (2011) menunjukkan bahwa persentase penutupan vegetasi adalah faktor terpenting untuk mengurangi efek UHI. Menerapkan green roof dan meningkatkan luasan kanopi pohon secara efektif dapat mengurangi efek UHI.

Berbagai penelitian yang dihimpun oleh Bowler et al. (2010) membuktikan bahwa suhu udara di bawah pohon, baik itu individual maupun gerombol adalah lebih rendah daripada di area terbuka. Dalam hal ini, spesies pohon memiliki

(38)

kemampuan yang berbeda-beda dalam menurunkan suhu udara, tergantung ukuran pohon dan karakteristik kanopinya, yang mempengaruhi penetrasi radiasi matahari. Penelitian yang dilakukan oleh Shashua-Bar et al. (2009) menunjukkan bahwa kombinasi bayangan pohon dan rumput merupakan strategi lanskap yang paling efektif untuk menurunkan suhu udara hingga 2 K.

Effendy (2007) menyatakan hubungan RTH dan suhu udara bersifat nonlinear dengan pola berbanding terbalik. Pengurangan 50% RTH meningkatkan suhu udara 0,4 – 1,8 oC, sedangkan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0,2 – 0,5 oC. Karena itu penting sekali mempertahankan keberadaan RTH di kawasan perkotaan. Dari berbagai penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa RTH mempunyai fungsi untuk menurunkan suhu udara sehingga dapat memperbaiki iklim mikro (ameliorasi iklim).

Dampak RTH terhadap penurunan suhu udara dengan mengurangi efek UHI akan berdampak terhadap THI berupa persamaan non-linear dengan pola berbanding lurus. Setiap peningkatan UHI akan menyebabkan kenaikan THI.

Peningkatan UHI 0,2 – 1,0oC menyebabkan peningkatan THI secara tajam, lalu melandai. Tetapi penurunan UHI sebesar 0,4 oC saja akan menurunkan nilai THI yang setara dengan peningkatan UHI 1,2 oC. Artinya, setiap upaya penekanan dampak UHI menghasilkan nilai THI yang sangat nyata berkurang (Effendy 2007).

Analitical Hierarchy Process

Analitical Hierarchy Process (AHP) merupakan teknik yang dikembangkan oleh Dr. Thomas Saaty pada tahun 1970-an. Teknik ini digunakan untuk menidentifikasi dan menentukan prioritas dalam pengambilan keputusan yang kompleks yang melibatkan berbagai kriteria (Firdaus et al. 2011). Prasyarat dapat digunakannya analisis ini adalah responden harus orang yang benar-benar memahami situasi yang sedang ditelaah.

Proses penyusunan AHP menurut Panuju (2012) meliputi beberapa tahap yaitu:

1. Menetapkan tujuan, dan sub tujuan yang ingin dicapai sebagai keputusan 2. Mendefinisikan kriteria, sub kriteria, sub subkriteria dan seterusnya untuk

bisa mencapai tujuan dimaksud

3. Mendefinisikan alternatif solusi berdasarkan kriteria tersebut

4. Menyusun hierarki. Tujuan, kriteria dan alternatif solusi tersebut disusun sebagai level yang berhierarki untuk diperbandingkan

5. Membuat perbandingan berpasangan untuk memberikan pembobotan 6. Menyusun matriks perbandingan nilai-nilai hasil pembobotan

7. Menetapkan prioritas yang akan diambil

Dalam perbandingan berpasangan, digunakan nilai pembobotan dengan skala 1 – 9 dengan interpretasi skala seperti dicantumkan dalam Tabel 3.

(39)

Tabel 3 Definisi Skor Pembobotan AHP

Sumber: Panuju (2012)

Kelebihan teknik AHP ini adalah adanya prosedur untuk memeriksa kekonsistenan dalam penilaian oleh tim sehingga mengurangi bias dalam pengambilan keputusan (Firdaus et al. 2011). Cara pengukuran konsistensi yang diusulkan oleh Saaty dan Sodenkamp (2008) adalah melalui indeks konsistensi dengan rumus

= −

dengan n menyatakan jumlah kriteria/alternatif yang dibandingkan dan λ− 1 maks

adalah nilai eigen (eigenvalue) yang terbesar dari matriks perbandingan berpasangan orde n. Jika IK bernilai 0 maka berarti keputusan penilaian tersebut bernilai konsisten sempurna di mana λmaks sama dengan jumlah kriteria yag dibandingkan yaitu n. Semakin tinggi IK maka semakin tinggi pula tingkat ketidakkonsistenan dari keputusan hasil (bobot) perbandingan yang diberikan.

Rasio konsistensi (RK) dirumuskan sebagai perbandingan antara indeks konsistensi (IK) dan Indeks Random (IR) dengan rumus

=

Nilai IR dapat dilihat dari tabel IR berdasarkan jumlah kriteria/alternatif yang digunakan (Tabel 4).

Tabel 4 Indeks Random

Sumber: Saaty dan Sodenkamp (2008)

Intensitas Definisi Keterangan

1 Sama penting Kedua pilihan berkontribusi sama penting terhadap tujuan

3 Moderat lebih penting Salah satu pilihan sedikit lebih diminati dibandingkan pilihan lainnya

5 Lebih penting Salah satu pilihan lebih diminati dibandingkan pilihan lainnya

7 Sangat lebih penting Sangat nyata lebih penting dan terbukti dari beberapa fakta sangat lebih penting

dibandingkan pilihan lainnya

9 Amat sangat lebih penting Jelas dan sangat meyakinkan jauh lebih penting dibandingkan dengan pilihan lainnya

2, 4, 6, 8 Kondisi di antara dua pilihan Dipilih jika perlu kompromi antara 2 pilihan yang dibandingkan

Resiprok

Jika pilihan I berbobot salah satu dari pilihan di atas dibandingkan pilihan i maka jika perbandingan dibalik menjadi nilai

kebalikannya

Asumsi logis

Order 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

RI 0,00 0,00 0,52 0,89 1,11 1,25 1,35 1,40 1,45 1,49 First Order

Differences 0,00 0,52 0,37 0,22 0,14 0,10 0,05 0,05 0,04

(40)

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Kandangan sebagai ibukota Kab. HSS. Kota Kandangan secara geografis terletak di 2o45’10” – 2o48’47”

Lintang Selatan dan 115o14’47” – 115o17’49” Bujur Timur. Luas kawasan Kota Kandangan menurut data BPS adalah seluas 191,13 km2 terdiri dari 32 desa/keluharan pada 5 wilayah kecamatan (Gambar 6).

Kota Kandangan secara fisik memiliki batas-batas sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Kecamatan Angkinang

 Sebelah Timur : Kecamatan Padang Batung

 Sebelah Selatan : Kecamatan Sungai Raya

 Sebelah Barat : Kecamatan Simpur

Penelitian ini dilaksanakan sejak pertengahan bulan April 2013 sampai dengan Oktober 2013, melalui tahapan persiapan penelitian, pengumpulan data, analisis dan pengolahan data, penyusunan arahan pengembangan dan penyusunan laporan.

Sumber: Bappeda HSS (2009) dan Bappeda HSS (2012) Gambar 6 Wilayah lokasi penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh untuk keefektifan pembelajaran berbasis proyek terhadap kreativitas siswa adalah 62% berada pada kategori efektif.. Berdasarkan hasil tersebut

Kecemasan diri yang sifatnya abstrak akan sulit jika divisualkan secara langsung tanpa ditampilkan secara simbolik. Maka dari itu ungkapan secara simbolik digunakan

Hasil akhir dari Tugas Akhir ini adalah analisis dan desain sistem informasi HRD khususnya pada proses bisnis penerimaan dan pelatihan karyawan yang nantinya

Penelitian tentang corporate governance , kualitas laba, dan nilai perusahaan telah dilakukan oleh Hamonangan dan Mas’ud (2006), yang dilakukan. pada semua perusahaan

  Perubahan   morfologi  tersebut  dianalisa  berdasarkan  hasil  penjalaran  serta  transpor  sedimen  berupa   perubahan  profil  pantai,  kemunduran  garis

Revitalisasi kebijakan pembangunan perumahan yang berkelanjutan dalam wacana potensi (kearifan) lokal dapat diperluas lebih dari tiga aspek yang ada mengenai

Pada gambar 4.11 dan gambar 4.12, kita dapat melihat pengaruh heat flux yang diberikan terhadap nilai koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa, dimana semakin besar heat

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan yang mengacu pada model pengembangan dari Borg & Gall yang telah dimodifikasi, yaitu: (1) melakukan