• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN PROFIL PENYEBAB KEBUTAAN PADA ANAK DI SEKOLAH TUNANETRA (SLB/A) DI DENPASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENELITIAN PROFIL PENYEBAB KEBUTAAN PADA ANAK DI SEKOLAH TUNANETRA (SLB/A) DI DENPASAR"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN

PROFIL PENYEBAB KEBUTAAN PADA ANAK DI SEKOLAH TUNANETRA (SLB/A) DI DENPASAR

Tim Peneliti

dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM (K) dr. I Wayan Eka Sutyawan, SpM dr. Ni Made Ari Suryathi, M.Biomed, SpM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

Februari 2017

(2)

Ringkasan

Profil Penyebab Kebutaan Pada Anak Di Sekolah Tuna Netra (SLB/A) Denpasar Kebutaan pada anak merupakan salah satu prioritas World Health Organization (WHO) dalam usaha pemberantasan kebutaan yang dapat dicegah (avoidable blindness) untuk mencapai VISION 2020 ”The Right to Sight”.

Belum banyak data penelitian yang dapat menunjukkan prevalensi dan penyebab kebutaan pada anak. Pada tahun 2001, WHO menyatakan jumlah kebutaan pada anak mencapai 1,5 juta kasus yang tersebar di seluruh dunia. Salah satu penyebab kebutaan terbanyak pada anak adalah katarak.

Penelitian tentang penyebab kebutaan belum banyak dilakukan di Bali. Sampai saat ini belum ada data yang menyatakan berapa prevalensi kebutaan pada anak di Bali. Demikian juga penelitian mengenai penyebab kebutaan pada anak belum banyak dilakukan di Bali.

Penelitian ini dilaksanakan di sekolah tuna netra (SLB/A) Denpasar, Bali. Pada peneitian ini, peneliti mengumpulkan data mengenai karakteristik anak-anak yang tinggal dan belajar di SLB/A Denpasar, tajam penglihatan, kelaianan anatomi, dan penyebab kebutaan pada anak-anak yang tinggal dan belajar di SLB/A Denpasar.

Pada penelitian ini juga mencari hubungan antara riwayat kehamilan dan persalinan ibu dengan kebutaan yang terjadi pada anak di SLB/A Denpasar. Data yang terkumpul diharakan dapat menjadi acuan bagi program pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi kebutaan pada anak-anak di SLB/A Denpasar pada khususnya.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutaan pada anak merupakan salah satu prioritas World Health Organization (WHO) dalam usaha pemberantasan kebutaan yang dapat dicegah (avoidable blindness) untuk mencapai VISION 2020 ”The Right to Sight”.

Saat ini belum banyak data penelitian yang dapat menunjukkan prevalensi dan penyebab kebutaan pada anak . Pada tahun 2001, WHO menyatakan jumlah kebutaan pada anak mencapai 1,5 juta kasus yang tersebar di seluruh dunia. Dari 1,5 juta kasus tersebut, 1 juta kasus berasal dari Asia, 0,1 juta kasus dari Amerika Latin, 0,1 juta selebihnya berasal dari Eropa, dan Australia. Angka prevalensi gangguan penglihatan berat dan kebutaan pada anak di Eropa bervariasi antara 0,1 sampai 0,41 dari 1000 anak.2

Penelitian tentang penyebab kebutaan belum banyak dilakukan di Bali. Sampai saat ini belum ada data yang menyatakan prevalensi kebutaan pada anak di Bali. Demikian juga penelitian mengenai penyebab kebutaan pada anak belum banyak dilakukan di Bali. Hal ini mungkin disebabkan karena besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan suatu penelitian di masyarakat.

Penelitian ini dilaksanakan di sekolah tuna netra/ Sekolah Luar Biasa-A (nantinya pada tulisan ini akan disingkat dengan SLB/A) Denpasar, Bali. Pada peneitian ini, peneliti mengumpulkan data mengenai karakteristik anak-anak yang tinggal dan belajar di SLB/A Denpasar, tajam penglihatan, kelaianan anatomi, dan penyebab kebutaan pada anak-anak yang tinggal dan belajar di SLB/A Denpasar.

(4)

Penelitian ini juga mencari hubungan antara riwayat kehamilan dan persalinan ibu dengan kebutaan yang terjadi pada anak di SLB/A Denpasar. Data yang terkumpul diharakan dapat menjadi acuan bagi program pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi kebutaan pada anak-anak di SLB/A Denpasar pada khususnya.

Data kesehatan mata pada anak-anak SLB/A masih sangat sedikit jumlahnya. Umumnya anak-anak yang bersekolah di SLB/A sudah memiliki riwayat medis sebelumnya. Namun seringkali follow up yang teratur jarang dilakukan. SLB/A di Denpasar merupakan salah satu SLB/A di Bali yang mendidik kurang lebih 60 orang anak dengan kebutuhan khusus.

Gangguan penglihatan mata yang sering dialami pada anak-anak di SLB/A adalah gangguan penglihatan yang dibawa sejak lahir dan bersifat menetap. Sebuah penelitian di SLB/A di Jakarta menunjukkan bahwa penyebab kebutaan terbanyak pada SLB/A Wiyata Guna adalah stafiloma cornea, cornea scar, ptisis bulbi yang disebabkan karena infeksi. Diikuti dngan kelainan retina, katarak ongenitall, mikropthalmus, dan anophthalmus.

Suatu Studi di Bandung juga memperlihatkan bahwa etiologi anatomi dari penyebab kebutaan pada penelitian di SLB/A di Bandung adalah ptisis (20,41%), diikuti kornea (20,41%) dan lensa (14,28%).

SLB/ A Denpasar merupakan SLB/A yang teretak di pusat kota denpasar dan memiliki akses yang cukup dekat dengan pusat kesehatan mata di Bali Sampai saat ini belum pernah ada data yang mencatat tentang karakteristrik kesehatan mata anak-anak tunanetra di SLB/A di Denpasar. Adanya pencatatan yang baik dapat menjadi acuan nantinya untuk pencegahan kasus – kasus kebutaan pada anak yang dapat dicegah, dan cara pencegahan, pengobatan, dan follow up yang baik.

(5)

Mata merupakan salah satu organ yang berfungsi sebagai penglihatan yang mempunyai peranan yang sangat besar. Gangguan struktur mata seperti bola mata, kornea, lensa, retina, uvea, dan saraf optik akan menggangu fungsi mata sehingga menyebabkan kebutaan. Kebutaan pada anak akan berpengaruh buruk pada perkembangan, mobilitas, pendidikan, sosial, dan kesempatan kerja. Untuk program pengendalian, dibutuhkan data epidemiologi mengenai prevalensi dan penyebab kebutaan pada anak.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah profil penyebab kebutaan pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar ?

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui profil penyebab kebutaan pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar.

Tujuan khusus

Untuk mengetahui karakteristik tajam penglihatan, gambaran kelainan anatomi mata, penyebab kebutaan pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar, dan untuk mengetahui hubungan antara riwayat kehamilan dan persalinan ibu terhadap kebutaan pada anak-anak di SLB/A Denpasar ?

(6)

1.4 Manfaat Penelitian

Untuk mengetahui gambaran penyebab kebutaan pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar.

1.3.1 Manfaat teoritis:

1. Untuk mengetahui karakteristik tajam penglihatan pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar.

2. Untuk mengetahui gambaran kelainan anatomi mata pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar.

3. Untuk mengetahui penyebab kebutaan pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar.

4. Untuk mengetahui hubungan antara riwayat kehamilan dan persalinan pada ibu dengan kebutaan pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar.

5. Dapat menjadi pohon penelitian untuk penelitian berikutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis:

1. Data awal untuk menentukan pencegahan penyakit-penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan terutama pada anak-anak di sekolah luar biasa tuna netra (SLB/A) Denpasar.

2. Data awal untuk menentukan pengobatan penyakit-penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan terutama pada anak-anak di sekolah tuna netra (SLB/A) Denpasar.

(7)

3. Data awal untuk menentukan rehabilitasi dan follow-up pada penyakit-penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan terutama pada anak-anak di sekolah tuna netra (SLB/A) Denpasar.

4. Sebagai data acuan program kesehatan mata berbasis komunitas terutama pada anak- anak di sekolah tuna netra (SLB/A) Denpasar.

(8)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi

WHO memperkirakan jumlah anak dengan diabilitas adalah sekitar 7-10% dari total populasi anak. Di Indonesia, gambaran data anak dengan diabilitas sangat bervariasi, belum ada data terkini tentang jumlah dan kondisi anak dengan disabilitas. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2007, terdapat 8,3 juta jiwa anak dengan disabilitas dari total populasi anak di Indonesia (82.840.600 jiwa anak) atau sekitar 10%.

Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011, terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin, yang terdiri dari : cacat fisik dan mental (19.438 anak); tunadaksa (32.990) anak); tunanetra (5.921 anak), tunarungu (3.861 anak), tunawicara (16.335 anak). Data ini tersebar di seluruh Indonesia dengan proporsi terbanyak di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat 4.

Data Susenas tahun 2003, menunjukkan bahwa jumlah anak dengan disabilitas sebanyak 679.048 anak, dimana sebagian besar anak dengan diasabilitas (85,6%) berada di masyarakat.

Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar masyarakat masih menganggap anak dengan disabilitas sebagai aib keluarga sehingga keluarga cenderung menyembunyikan dan kurang memperhatikan kebutuhan anak sesuai hak anak, baik di bidang pendidikan maupun kesehatan.

Hanya sebagian kecil anak dengan disabilitas (14,4%) berada di institusi yaitu sekolah, panti, dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Di Indonesia terdapat 1.314 Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan jumlah siswa sebanyak 70.501 anak. 5

(9)

Sekolah Luar Biasa mendidik anak-anak dengan disabilitas. Sekolah Luar Biasa yang mendidik anak-anak tunanetra adalah SLB/A. Di Denpasar, Bali terdapat satu SLB/A negeri yang memiliki kurang lebih 60 anak didik.

2.2. Anatomi Mata Penyebab Kebutaan Pada Anak

Penelitian Sitorus pada tahun 2003 di Bandung, memperlihatkan bahwa kelainan antomi yang paling banyak menyebabkan kebutaan pada anak-anak di Panti Tuna Netra Wiyata Guna adalah berturut-turut dari keseluruhan bola mata (32,7%), retina (26%), kornea (17,6%), lensa (13,3%), nervus optikus (6,1%), badan siliar (4,3%).

Bola mata adalah suatu sistem dua bola yang berlainan volume, dimana bola yang lebih kecil terletak di dalam bola yang lebih besar. Bagian depan dari bola kecil membentuk segmen anterior mata, sedangkan sebagian besar bola membentuk segmen posterior mata. Segmen anterior dibatasi oleh kornea yang jernih di depan, serta lensa dan penggantung lensa di belakang. Segmen posterior terletak di belakang lensa dan terdiri dari vitreus, dan retina 6.

Kornea adalah jaringan avaskular transparan yang terpapar langsung dengan lingkungan luar. Permukaan anteriornya dilapisi oleh air mata, sedangkan bagian posteriornya berhubungan dengan humor akuos.7 Struktur kornea terdiri dari 5 lapisan. Lapisan pertama adalah epitel yang merupakan sel epitel skuamosa berlapis nonkeratinisasi. Lapisan tersebut terdiri dari 5 sampai 6 lapis sel epitel yang berbeda, yaitu sel-sel superfisial, wing cells, dan satu lapis sel-sel basal kolumnar. Tebal lapisan tersebut merupakan 10% dari ketebalan seluruh kornea.7 Lapisan yang kedua adalah membran Bowman yang terdiri dari jaringan kolagen tipe IV dan proteoglikan.

Lapisan ini merupakan bagian anterior dari stroma kornea.7 Stroma kornea adalah bagian yang mengisi lebih dari 90% ketebalan kornea. Lapisan tersebut terdiri dari matriks ekstraselular,

(10)

keratosit,dan jaringan saraf.7 Lapisan selanjutnya adalah membran Descemet. Ketebalan membran Descemet bertambah seiring bertambahnya usia. Pada dewasa memiliki ketebalan 10- 12 μm.7 Lapisan yang terakhir adalah satu lapis sel endotel berbentuk poligonal yang melapisi bagian posterior epitel. Jumlah endotel pada ssat lahir adalah 5.000/mm2, sedangkan pada saat dewasa jumlahnya berkurang menjadi 3.000/mm2.7 Kornea merupakan jaringan avaskular. Suplai darah hanya terdapat pada bagian limbus yang berasal dari arteri siliaris anterior yang merupakan cabang arteri oftalmika.7

Lensa mata yang transparan, avaskuler dan berbentuk bikonveks terletak tepat di belakang iris dan di depan vitreus. Lensa berada dalam posisi tersebut karena ia dipegang oleh ligamentum suspensorium yang dikenal juga dengan nama zonula Zinn atau zonula siliaris8,11.

Pembentukan lensa pada manusia dimulai pada akhir minggu keempat setelah pembuahan, dimana panjang embrio sekitar 4 mm10,11. Pada saat ini penonjolan ke arah lateral dari ektoderm (neural ectoderm) yang kemudian disebut vesikel optik berada dalam posisi berhadapan dengan ektoderm permukaan. Ektoderm permukaan tersebut kemudian akan menebal yang disebut lens placode 8,9.

Lensa terdiri atas tiga bagian yaitu , epitel, kapsul dan massa lensa. Lensa adalah struktur yang rata, homogen dan aselular. Pada katarak congenital, lensa mata berubah menjadi keruh dan menyebabkan penurunan tajam penglihatan 9,10.

Badan siliar ialah bagian traktus uvea yang terletak di antara iris dan koroid, berbentuk segitiga pada potongan melintang dan membentang sepanjang 6 mm. Bagian anterior badan siliar melekat pada taji sklera sedangkan bagian posteriornya berhubungan langsung dengan ora serrata 8,9. Badan siliar terdiri atas 2 bagian yaitu pars plana dan pars plikata. Pars plana merupakan bagian yang relatif avaskular dan membentang sepanjang kurang lebih 4 mm dari ora serrata sampai ke pars plikata. Sekitar 70-80 lipatan radial prosesus siliaris menyusun bagian badan siliar yang disebut pars plikata 10.

(11)

Iris adalah bagian mata yang mengelilingi pupil, terletak di sentral dan bertugas mengontrol jumlah cahaya yang masuk ke mata. Permukaan anterior iris dibagi dalam dua zona yaitu zona pupil yang relatif datar dan zona siliar yang ditandai oleh banyak garis radial. Iris memiliki dua lapisan yaitu lapisan stroma dan lapisan epitel pigmen iris 9.

Retina adalah lapisan paling dalam dari ketiga lapisan yang membentuk bola mata.

Merupakan lapisan tipis (± 0,5 mm) dan transparan7. Secara garis besar, retina terbagi 2 yaitu lapisan luar dan lapisan dalam. Lapisan luar retina yaitu lapisan pigmen epitelial, terdiri dari 1 lapis sel, sedangkan lapisan dalam merupakan lapisan neurosensoris yang terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan neurosensoris tersebut berturut-turut dari luar ke dalam adalah Epitel Pigmen Retina (RPE), lapisan sel batang dan kerucut, membrana limitan eksterna, lapisan inti eksterna, lapisan pleksiform eksterna, lapisan inti interna, lapisan pleksiform interna, lapisan sel ganglion, lapisan serabut saraf dan membrana limitan interna. Kedua lapisan ini terbentang dari saraf optik di posterior hingga ora serata di anterior dimana Epitel Pigmen Retina (RPE) akan berubah menjadi lapisan epitel berpigmen, sedangkan lapisan neurosensoris berubah menjadi lapisan epitel tak berpigmen badan siliar dan iris 7,12.

Saraf optik secara anatomis dimulai dari papil saraf optik, tetapi secara fisiologis dan fungsional dimulai dari lapisan sel ganglion yang meliputi seluruh retina13,14. Secara topografis, saraf optik terdiri dari 4 bagian, antara lain bagian intraokular (terdiri dari papil saraf optik, prelaminar, dan laminar), bagian intraorbital (berada dalam selubung otot), bagian intrakanalikular (berada dalam kanal optik), dan bagian intrakranial (berakhir di kiasma optik).

Ukuran panjang saraf optik bervariasi, dari 35 mm hingga 55 mm, dengan rata-rata 40 mm 14. Bagian intraokular saraf optik umumnya disebut sebagai papil saraf optik. Papil saraf optik berbentuk oval, berwarna merah muda, berukuran diameter vertikal 1,5 mm dan horizontal

(12)

1,75 mm 14. Bagian ini merupakan pertemuan dari sekitar 1-1,2 juta akson sel ganglion, menembus sklera melalui lamina kribosa, yang mengandung 200-300 saluran 13,14 .Akson saraf optik tergantung pada produksi metabolisme badan sel saraf di retina. Transpor aksonal dari hasil metabolisme terjadi sepanjang panjang saraf optik. Bagian intraokular saraf optik mendapat suplai darah dari arteriol retina dan cabang arteri siliaris posterior 12,14.

2.3. Penyakit penyebab kebutaan pada anak

Penelitian Sitorus pada tahun 2003 di Bandung, memperlihatkan bahwa penyakit penyebab kebutaan pada anak-anak di Panti Tuna Netra Wiyata Guna adalah ptisis bulbi, mikropthalmi, anophtahalmi, bufthalmus, retina distrofi, Leber Congenital Amaurosis, Retinopathy og Prematurity, retinal detachment, intraocular tumour, stafiloma kornea, scar pada kornea karena infeksi, katarak kongenital, dan toksoplasma kongenital 2.

2.3.1 Ptisis Bulbi

Ptisis bulbi, mikropthalmi, anopthalmi, buftalmi merupakan penyakit mata dimana bola mata mengalami kelaianan sehingga fungsi mata tidak bisa digunakan untuk melihat secara maksimal 9. Ptisis bulbi adalah stadium akhir dari sejumlah penyakit okular dengan penyebab yang bervariasi. Faktor risiko penting yang berperan dalam terjadina ptisis bulbi pada anak adalah infeksi dan inflamasi seperti keratitis, uveitis, dan endoftalmitis, keganasan intraokular seperti melanoma koroidal, retinoblastoma 6.

Insiden ptisis bullbi masih sedikit dilaporkan. Ptisis bulbi sering terjadi pada usia lanjut.

Pada anak-anak dan dwasa muda insidennya adalah 3,7-6,4%, terutama diakibatkan oleh trauma ocular dan malformasi congenital 1,6.

Mikropthalmus adalah bola mata yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran normal. Anopthalmus adalah tidak adanya bola mata. Buftalmus adalah bola mata

(13)

membesar seperti mata sapi yang sering kali dikaitkan dengan penyakit glaukoma yang didapat sejak lahir 6.

2.3.2. Toksoplasma Kongenital

Kelainan pada saraf mata yang seringkali menyebabkan kebutaan pada anak yaitu toksoplasma congenital, dan Retinopathy of Prematurity. Toksoplasmosis kongenital adalah suatu infeksi primer Toxoplasma gondii pada janin yang ditularkan oleh ibu melalui plasenta pada masa kehamilan. Ibu hamil yang dapat menularkan infeksi ini kepada janinnya adalah ibu hamil yang mengalami infeksi toksoplasma pertama kali saat hamil atau dalam jangka waktu 6 bulan sebelumnya 15,16,17.

Di Eropa, 0,17% perempuan terinfeksi toksoplasma selama kehamilan, sedangkan angka penularan infeksi toksoplasma dari ibu hamil kepada janinnya berkisar antara 4,6%

sampai 50% kasus. Sekitar 0,3/1000 sampai 3/1000 kelahiran hidup di Eropa terinfeksi toksoplasma congenital 18.

Apabila ibu hamil terinfeksi primer pada trimester pertama, umumnya berakhir dengan abortus atau janin lahir mati. Bila bayi lahir hidup, gejala toksoplasmosis kongenital dapat muncul pada masa neonatal atau dikemudian hari. Trias tanda klasik toksoplasmosis kongenital adalah retinoporoiditis, hidrosefalus, dan kalsifikasi intrakranial. Retinokoroiditis terjadi pada 75-80% kasus 16,17,19.Sebagian besar retinokoroiditis didapatkan pada polus posterior retina 20,22. Toksoplasmosis okular kongenital merupakan terbanyak kebutaan kedua terbanyak di Indonesia (23,6%) 21.

2.3.3. Retinopathy of Prematurity

Retinopathy of Prematurity (ROP) adalah retinopati proliferatif jaringan vaskular retina pada bayi prematur dengan sistem vaskularisasi retina perifer belum lengkap. Terry (1942)

(14)

mengajukan istilah untuk penyakit ini sebagai retrolental fibroplasia untuk pertama kalinya.

Umumnya terdapat riwayat pemberian oksigen pada bayi saat lahir. Retina pada bayi dengan ROP akan mengalami proliferasi pembuluh darah, neovaskularisasi, dan pada stadium lanjut dapat terjadi ablasio retina 23,24,25.

ROP merupakan salah satu penyebab kebutaaan pada anak-anak di negara maju.

Sekitar tahun 1942 di Amerika Serikat didapatkan 300 dari 1.000.000 kelahiran yang menderita kebutaan akibat ROP 23,25,27. Insiden ROP sebesar 15%-56 % pada neonatus dengan BB lahir kurang dari 1500 gr atau dengan masa kehamilan kurang dari 32 minggu 25. Penelitian ROP yang dilakukan di Indonesia oleh Girsang, dkk. (2004) di Jakarta Eye Center melaporkan insiden ROP sebesar 66% pada bayi dengan BB lahir < 1251 gr dan 82% pada bayi dengan BB lahir < 1000 gr 25. Data di RSCM mendapatkan insiden ROP sebesar 30,3 % pada bayi dengan BB lahir < 2000 gr dan masa kehamilan < 36 minggu. ROP lebih sering terjadi pada ras kulit putih dengan jenis kelamin laki – laki 26,27,29.

Etiopatogenesis ROP dahulu diduga akibat pemberian oksigen dengan tekanan tinggi.

Walaupun demikian, insiden ROP tetap tinggi setelah perbaikan tatalaksana terapi oksigen pada bayi prematur. Seiring dengan meningkatnya pelayanan perinatal care menyebabkan menurunnya angka Infant Mortality Rate (IMR), sehingga risiko ROP lebih tinggi. Saat ini diduga adanya peranan vascular endothelial growth factor ( VEGF) insulin like growth factor -1 (IGF -1) dalam terjadinya ROP. Sebagai faktor pencetus untuk terjadinya ROP adalah berat badan lahir yang rendah ( < 1500 gr ) dengan masa kehamilan kurang dari 32 minggu 26,29.

Manifestasi klinis ROP bervariasi tergantung pada stadiumnya. International Classification of Retinopathy of Prematurity (ICROP) mengklasifikasikan ROP berdasarkan : lokasi, luas, stadium dan ada tidaknya plus diseases 28,29.

(15)

Stadium ROP juga dipengaruhi oleh berat badan lahir bayi. Penelitian yang dilakukan oleh Multicenter Trial of Cryotheraphy untuk ROP (CRYO –ROP Study) mendapatkan ROP stadium 3 yang ditemukan pada neonatus dengan BB lahir kurang dari 750 gr adalah sebesar 37 %, BB lahir 750 -999 gr sebesar 21,9 % dan BB lahir 1000 -1250 gr sebesar 8,5% 29.

2.3.4. Leber’s congenital amaurosis

Leber’s congenital amaurosis (LCA, MIM 204000, 204100), ditemukan pertama kali oleh Theodore Leber (1840-1917), adalah istilah yang dipakai untuk grup distrofi retina herediter, yang ditandai dengan penurunan penglihatan bilateral yang berat sejak lahir 30,31 . Distrofi retina sendiri ada banyak variannya, dan LCA termasuk di dalam kelompok rod-cone dystrophies yakni kelompok kelainan yang heterogen secara klinis dan genetik. Pada kelainan ini terjadi distrofi sel batang diikuti oleh sel kerucut secara progresif yang menimbulkan penurunan penglihatan yang berat 31 .

Insiden LCA lebih tinggi pada negara dengan tingkat konsanguinitas yang tinggi pula.

Insiden LCA sekitar 3 dalam 100.000 bayi baru lahir, mencapai lebih dari 5% retinopati herediter. Selain itu kelainan ini ditemukan pada sekitar 20% anak di institusi khusus tunanetra.

Sebuah studi di institusi tunanetra di Indonesia mendapatkan distrofi retina (sebagian besar adalah LCA) adalah penyebab kebutaan pada 20,6% siswanya 34.

Dalam upaya pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi penyakit ini, para peneliti di seluruh dunia masih mengidentifikasi dan mempelajari gen-gen yang menjadi penyebab LCA.

Saat ini telah teridentifikasi tujuh gen yang menyebabkan terjadinya LCA 30,31. Diperkirakan ketujuh gen penyebab tersebut bertanggung jawab terhadap kurang lebih 50% kasus LCA, sehingga kemungkinan masih banyak lagi kandidat gen penyebab yang belum teridentifikasi 32.

(16)

LCA biasanya diturunkan secara autosomal resesif meskipun pernah dilaporkan adanya kasus autosomal dominan. Perbedaan etnik dan variasi geografis dapat mempengaruhi insiden dan pola mutasi gen LCA34 . Tingkat konsanguinitas diperkirakan sebagai salah satu faktor yang membedakan frekuensi LCA di berbagai negara 32,34. Dalam salah satu penelitian di Indonesia, LCA yang disebabkan mutasi gen RPE65 memiliki frekuensi 9,5% sedangkan yang disebabkan mutasi AIPL1 sebanyak 4,8% 31. Hal ini sesuai dengan sebaran mutasi gen penyebab LCA yang dilaporkan, melengkapi riset genetik molekuler yang selama ini mengambil sampel dari populasi kaukasia. Berkembangnya teknik genetika molekuler menumbuhkan harapan akan diterapkannya terapi genetik di masa mendatang bagi pasien LCA, terutama pada pasien dengan defek gen RPE65 32,34.

2.3.5 Katarak kongenital

Katarak kongenital (baik unilateral maupun bilateral) dan katarak traumatik pada anak yang berusia kurang dari 8-10 tahun, yang menyebabkan gangguan penglihatan secara signifikan, dapat menimbulkan ambliopia apabila terlambat mendapat penanganan 6,10 . Operasi katarak pada kasus-kasus tersebut harus segera dilakukan disertai usaha rehabilitasi visual 6.

2.3.6. Xeropthalmia

Xerophthalmia merupakan suatu kondisi yang mencakup seluruh abnormalitas okular yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A, antara lain buta senja, retinopati, xerosis konjungtiva dan kornea, serta ulkus kornea. Defisiensi vitamin A lebih sering terjadi pada anak-anak dan wanita

35,36

.

Manifestasi klinis xerophthalmia terutama terdapat pada konjungtiva, kornea dan retina.

World Health Organization (WHO) telah menyusun klasifikasi manifestasi klinis xerophthalmia pada tahun 1980, dan sampai sekarang klasifikasi tersebut masih dipergunakan 35,36.

(17)

Penatalaksanaan terhadap xerophthalmia mencakup dua hal, yaitu pencegahan defisiensi vitamin A dan pengobatan terhadap gangguan okularnya. Kondisi ini termasuk dalam kedaruratan medis karena melibatkan kornea. Hal-hal yang dapat mengganggu metabolisme vitamin A juga harus diperhatikan 36,37.

Defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian dunia kesehatan internasional. Upaya untuk mengontrol defisiensi vitamin A, serta mengurangi angka mortalitas dan mencegah kebutaan pada anak-anak telah disebutkan dalam The Declaration of the rights of children (Grant, 1993) dan Plan of action of the international conference on nutrition (International Conference on Nutririon,1992) 35.

Data-data prevalensi vitamin A berubah dari tahun ke tahun. Survei nasional pertama yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1978-1980 mendapatkan prevalensi xerophthalmia dengan xerosis konjungtiva dan bercak Bitot sebanyak 1,2 %, dan dengan kelainan kornea sebanyak 9,8%. Hasil survei kesehatan mata tahun 1982 menyebutkan prevalensi defisiensi vitamin A sebanyak 0,7%, dan merupakan penyebab kebutaan keenam. Berdasarkan data

WHO, pada tahun 1992, diseluruh dunia diperkirakan terdapat lebih dari 154 juta anak yang mengalami defisiensi vitamin A, dengan 10 juta anak menderita xerophthalmia dan sekitar 500 ribu menjadi buta setiap tahunnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departemen Kesehatan RI pada tahun 1992 melakukan survei vitamin A di 14 propinsi didapati angka prevalensi vitamin A 0,33% 34,35. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WHO melalui program vision 2020, pada tahun 1997, memperkirakan 1 dari 1000 anak di bawah umur 16 tahun di Asia mengalami kebutaan. Disebutkan juga bahwa penyebab kebutaan tersering pada anak, antara lain katarak kongenital, sikatrik kornea akibat defisiensi vitamin A, dan retinopathy of prematurity 36.

(18)

Penelitian yang dilakukan oleh SEAMEO-TROPMED di kecamatan Tambora, Jakarta pada tahun 1996 menunjukkan terdapatnya defisiensi vitamin A sebesar 15,6% pada anak usia prasekolah, dan kadar vitamin A pada batas ambang minimal sebesar 65,1% 35. Pada tahun 1998 Helen Keller mendapatkan defisiensi vitamin A pada 60 ribu anak balita yang disertai dengan gejala bercak Bitot dan terdapat sekitar 10 juta (50%) anak balita menderita defisiensi vitamin A sub-klinis yang ditandai dengan rendahnya kandungan vitamin A serum (<20 μg/dl) 35,36.

2.3.7. Trakoma

Trakoma adalah keratokonjungtivitis kronis yang disebabkan oleh Clamydial trachomatis

39,40

. Trakoma merupakan penyakit infeksi utama pada mata dan penyebab kebutaan kedua di dunia setelah katarak 40. Penderita trakoma mencapai 150-360 juta orang di seluruh dunia. Angka kebutaan akibat trakoma mencapai 8 juta kasus dan 84 juta dalam fase aktif trakoma. Kasus trikiasis akibat komplikasi trakoma mencapai 10,6 juta kasus 40,41. Kebutaan akibat parut pada cornea sebesar 5,9 juta pada orang dewasa 41,42. Kemiskinan, sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk yang tinggi, iklim, dan taraf pendidikan yang rendah merupakan faktor resiko bagi timbulnya trakoma 43,44.

Prevalensi trakoma sebagai penyebab kebutaan di dunia berdasarkan survey yang dilakukan oleh WHO adalah sebesar 3,6% 43. Prevalensi trakoma di Indonesia tidak didapatkan, namun prevalensi trakoma di negara Asia Tengggara lainnya( Banglades, India, Nepal dan Pakistan) berdasarkan survey tersebut dilaporkan sebesar 1,7% 43. Umumnya prevalensi tertinggi pada usia anak –anak 43,44.Trakoma lebih banyak pada wanita dibandingkan laki – laki yaitu 2:1

43. Wanita tiga kali lebih sering mengalami kebutaaan dibandingkan laki – laki akibat penyakit ini 44. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena wanita lebih sering kontak dengan anak – anak 44. Patogenesis trakoma berawal dari respon inflamasi pejamu terhadap infeksi C.Trachomatis dan

(19)

dipertahankan oleh adanya reinfeksi atau persistensi 45. Manifestasi klinis trakoma timbul akibat infeksi C. trachomatis pada sel epitel konjungtiva dan kornea serta reaksi inflamasi yang timbul pada jaringan sub epitel 46. Keluhan subjektif yang dirasakan penderita berupa sensasi benda asing, mata merah, lakrimasi, dan sekret mukopurelen yang merupakan keluhan umum konjungtivitis akut 43,44. Gejala objektif yang ditemukan adalah folikel konjungtiva, Herbert’s pits, Arlt’s line, dan pannus. Komplikasi yang dapat timbul adalah defisiensi air mata, trikiasis, entropion, dan kekeruhan kornea 45,46.

2.3.8. Sifilis Kongenital

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema Palidum.

Kelainan ini dapat bermanifestasi pada mata yang dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu congenital ocular syphilis dan acquired ocular syphilis (AOS) 47,48. Pertama kali Sifilis diketahui ketika terjadi epidemik di Eropa pada akhir abad ke-15. Pada tahun 1903 didapatkan penularan sifilis pada hewan percobaan dan pada tahun 1905 Schaudin dan Hoffman menemukan T.

pallidum sebagai agen penyebabnya 49. Keratitis interstisial dan uveitis pada pasien sifilis pertama kali dilaporkan oleh Jonathan Hutchinson pada tahun 1858 48,49.

Prevalensi penyakit ini dalam populasi dewasa muda di Amerika sekitar 1,7 per 100.000 populasi pada kelompok usia 15 sampai 19 tahun. Pasien laki-laki lebih sering terkena dibandingkan perempuan. Pada tahun 1980-an mulai terjadi peningkatan jumlah penderita laki- laki usia 20-24 tahun dan lebih banyak pada keturunan Afrika-Amerika (12,8 per 100.000) dibandingkan Latin-Amerika (1,8 per 100.000).1 Pada tahun 1999 di Amerika, sekitar 35.600 kasus sifilis telah dilaporkan ke departemen kesehatan, suatu penurunan sejak dilaporkan 128.000 kasus pada tahun 1991.7 Uveitis pada AOS terdapat pada lebih dari 5% penderita sifilis.6

(20)

Manifestasi klinis pada Acquired Ocular Syphilis (AOS) meliputi chancre pada konjungtiva dan kelopak mata (stadium primer). Stadium sekunder terdapat keratitis interstisial, sklerokonjungtivitis, iritis dan iridosiklitis. Pada stadium tersier ditandai dengan uveitis, korioretinitis, bahkan papil atrofi.3

Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang.2,5,8 Pemeriksaan penunjang berupa dark field microscopy dan pemeriksaan Liquid Cerebrospinal (LCS).1,7 Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan serologis antara lain tes non treponema yaitu venereal disease research laboratory test (VDRL) dan rapid plasma reagin (RPR). Pemeriksaan treponema yaitu fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS) dan microhemagglutination assay-T pallidum (MHA-TP). Wasserman memperkenalkan pemeriksaan dengan antibodi ini pada tahun 1910.9

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema Palidum.

Kelainan ini dapat bermanifestasi pada mata yang dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu congenital ocular syphilis dan acquired ocular syphilis (AOS).

Manifestasi klinis pada sifilis congenital meliputi chancre pada konjungtiva dan kelopak mata (stadium primer). Stadium sekunder terdapat keratitis interstisial, sklerokonjungtivitis, iritis dan iridosiklitis. Pada stadium tersier ditandai dengan uveitis, korioretinitis, bahkan papil atrofi.3 Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang.2,5,8 Pemeriksaan penunjang berupa dark field microscopy dan pemeriksaan Liquid Cerebrospinal (LCS).1,7 Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan serologis antara lain tes non treponema yaitu venereal disease research laboratory test (VDRL) dan rapid plasma reagin (RPR). Pemeriksaan treponema yaitu fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS) dan

(21)

microhemagglutination assay-T pallidum (MHA-TP). Wasserman memperkenalkan pemeriksaan dengan antibodi ini pada tahun 1910 50.

2.3.9. Gonococcal ophthalmia neonatorum (GON)

Ophthalmia neonatorum adalah konjungtivitis yang terjadi pada bulan pertama kehidupan yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau bahan kimia. Konjungtivitis pada bayi yang terjadi kurang dari tiga hari setelah kelahiran dan disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae disebut Gonococcal ophthalmia neonatorum (GON) 41. Neisseria gonorrhoeae pertama kali diperkenalkan oleh Albert Neisser pada tahun 1882, setelah ia menemukan adanya mikroorganisme pada pus penderita gonorrhoe 41.

Saat ini insiden GON di negara maju sangat rendah. Insiden GON di Amerika hanya 0,3% sedangkan di Eropa kurang dari 1%.5 Insiden yang rendah ini disebabkan keberhasilan program pencegahan ophthalmia neonatorum di negara tersebut 42. Keadaan yang berbeda dijumpai pada negara berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara. Insiden di negara tersebut lebih tinggi karena status ekonomi yang rendah, tingginya insiden penyakit menular seksual, serta kurangnya perawatan prenatal. Saat ini insiden di Afrika lebih dari 10 %, di Asia 4%, sedangkan di Amerika Latin 5% 42.

Faktor risiko GON adalah bayi yang lahir dari ibu dengan status sosial ekonomi rendah, memiliki riwayat penyakit menular seksual, dan mengalami infeksi vagina (vaginitis). Ras tidak berpengaruh terhadap kejadian GON tersebut 41,42.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis, dan pemeriksaan penunjang. Tanda klinis yang terlihat adalah edema kelopak mata, hiperemia konjungtiva, eksudat purulen, dan kemosis. Ulkus kornea atau perforasi kornea dapat terjadi pada keadaan yang lanjut 41,42. Pemeriksaan gram dilakukan untuk melihat mikroorganisme diplokokus gram

(22)

negatif intrasel. Pemeriksaan lainya adalah pemerikasaan kultur bakteri dengan menggunakan media Chocolate blood agar ataupun Thayer-Martin agar. Pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan diagnosis pasti GON 43.

GON merupakan ophtalmia neonatorum terbanyak kedua setelah chlamydial ophthalmia neonatorum. Insidennya di negara berkembang masih tinggi, termasuk di Asia Tenggara.

Virulensi N. Gonorrhoeae yang tinggi dan adanya resistensi terhadap penisilin dan tetrasiklin merupakan masalah yang harus dihadapi 44. Pada penderita GON yang tidak ditatalaksana dengan baik dan cepat dapat terjadi perforasi kornea dan endoftalmitis yang dapat berakhir pada kebutaan 42,43.

2.4. Klasifikasi penyebab kebutaan pada anak-anak

Penyebab kebutaan pada anak menurut Sitorus dibedakan menjadi faktor herediter, faktor postnatal, faktor perinatal, faktor intrauterin, dan faktor yang tidak diketahui 2.

Faktor herediter penyebab kebutaan pada anak-anak adalah Leber Congenital Amaurosis (LCA) dan early onset retinitis pigmentosa (RP) yang seringkali diturunkan secara autosomal resesif 2.

Faktor postnatal penyebab kebutaan pada anak-anak adalah stafiloma kornea, kornea scar, ptisis bulbi yang seringkali terjadi akibat infeksi sepeti trakoma ataupun trauma pada mata.

Faktor perinatal dimana faktor intrauterine berperan besar pada penyebab kebutaan pada anak adalah toksoplasma kongenital, dan GON 2. Faktor lain yang bisa menyebabkan kebutaan yang etiologinya tidak diketahui termasuk di dalamnya adalah mikroptalmus, katarak kongenital, disgenesis anterior segmen 2.

Pemeriksaan yang penting pada kebutaan pada anak adalah pemeriksaan lengkap yang meliputi sacred seven dan fundamental four. Riwayat kehamilan, persalinan pada ibu, hubungan

(23)

kekerabatan, penting untuk ditanyakan 2,41. Pemeriksaan mata yang lengkap yang meliputi tajam penglihatan terbaik, pemeriksaan segmen anterior dan posterior harus dikerjakan. Dengan demikian melakukan pelebaran orang-orangan mata dengan menggunakan midriatil wajib dilakukan untuk mengetahui diagnosis penyebab kebutaan 1,2.

2.5. Dampak Kebutaan

Kebuatan pada anak sebaiknya dideteksi dini dan diobati. Deteksi dini penting dilakukan agar kualitas hidup anak dapat ditingkatkan. Pencegahan, pengobatan, dan follow up yang baik pentig untuk menurunkan angka progresifitas kebutaan.

2.6. Klasifikasi kebuataan dan gangguan penglihatan

Berdasarkan pembagian WHO, seseorang dikatakan buta jika tajam penglihatan yaitu <

3/60 pada kedua mata dengan koreksi terbaik. Gangguan penglihatan berat (severe visual impairement) yaitu jika tajam penglihatan < 6/60 sampai 3/60 pada kedua mata dengan koreksi terbaik. Gangguan penglihatan sedang (moderate visual impairement) yaitu jika tajam penglihatan <6/18 sampai 6/60 dengan koreksi terbaik. Gangguan penglihatan ringan (mild visual impairement) yaitu jika tajam penglihatan <6/12 sampai 6/18 dengan koreksi terbaik 1,2,40.

2.7. Kerangka Konsep

Dari kajian pustaka dan kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka selanjutnya dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian seperti yang dicantumkan dalam Gambar 2.1.

(24)

Gambar 2.1. Bagan kerangka konsep penelitian Kelainan

Anatomi Mata : -Bola Mata -Kornea -Uvea -Lensa -Retina

-Traktus Optikus

Penyebab Kebutaan:

- Ptisis bulbi

- Toksoplasma Congenital -Retinopathy of

Prematurity -Leber Congenital Amaurosis

-Katarak Kongenital -Xerophthalmia -Trakoma

-Sifilis Kongenital

Klasifikasi Gangguan Penglihatan:

-Blind

-Severe Visual Impairment -Moderate Visual Impairement -Mild Visual Impairment Faktor internal:

genetik, riwayat kehamilan dan persalinan ibu

Faktor eksternal:

riwayat trauma, infeksi pada masa kecil

Faktor penyebab kebutaan:

-faktor herediter -faktor postnatal -faktor perinatal -faktor intrauterine

-faktor yang tidak diketahui

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi potong lintang (cross sectional). Data dikumpulkan secara prospektif . Pengumpulan data dilakukan dengan kunjungan ke SLB/A Denpasar untuk melakukan pencatatan dan pemeriksaan kesehatan mata pada anak-anak di SLB tersebut. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik subyek baik dari catatan medis, anamnesis kepada orang tua dan guru, tajam penglihatan, pemeriksaan mata segmen anterior dan posterior. Metoda pengambilan data secara potong lintang. Selain itu dilakukan pencatatan data yang meliputi jenis kelamin, umur, domisili, anamnesis terhadap riwayat kehamilan dan persalinan ibu, riwayat tumbuh kembang, catatan medis, pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan segmen anterior dan pemeriksaan bagian belakang bola mata.

Dan dilakukan pelebaran orang-orangan mata sehingga penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan dapat diketahui.

Rancangan penelitian secara skematis digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Sampel

penelitian anak-anak di SLB/A Denpasar

Pemeriksaan Kesehatan mata meliputi :

-anamnesis riwayat kehamilan dan persalinan ibu

-riwayat tumbuh kembang -catatan medis

-pemeriksaan tajam penglihatan

-pemeriksaan segmen anterior dan posterior bola mata

Tajam Penglihatan

Penyakit penyebab kebutaan

Kelainan anatomi mata yang menyebabkan kebutaan

(26)

Penelitian dilakukan di desa SLB/A di Denpasar pada bulan Maret-April 2017.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi target penelitian ini adalah semua anak di SLB/A Denpsar.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah semua anak di SLB/A Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.3.2.1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.3.2.1.1. Kriteria inklusi

a. Anak di SLB/A yang bertempat tinggal dan bersekolah di SLB/A denpasar b. Pasien bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.

3.3.2.1.2. Kriteria eksklusi

a. Anak di SLB/A yang tidak hadir saat pelaksanaan pemeriksaan 3.3.2.2 Besar Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah semua anak-anak di SLB/A Denpasar.

3.3.2.3. Cara Pemilihan Sampel

Populasi penelitian ini semua anak di SLB/A Denpasar. Sampel penelitian adalah semua anak di SLB/A yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksa dilakukan diawali dengan anamnesis terhadap riwayat kehamilan dan persalinan ibu, riwayat tumbuh kembang, catatan medis, pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan segmen anterior dan pemeriksaan

(27)

bagian belakang bola mata. Dan dilakukan pelebaran orang-orangan mata sehingga penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan dapat diketahui.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel

1. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini terdiri dari identitas yaitu umur, jenis kelamin, riwayat kehamilan ibu, riwayat persalinan, dan riwayat tumbuh kembang

2. Variabel pemeriksaan kesehatan mata yang akan diteliti pada penelitian ini adalah tajam penglihatan, pemeriksaan segmen anterior, dan segmen posterior serta kelainan anatomi penyebab kebutaan.

3.4.2. Definisi Operasional Variabel

1. Buta : Tajam Penglihatan kurang dari 3/60 dengan koreksi terbaik.

2. Gangguan penglihatan berat (severe visual impairement) : tajam penglihatan < 6/60 - 3/60 pada kedua mata dengan koreksi terbaik.

3. Gangguan penglihatan sedang (moderate visual impairement) yaitu jika tajam penglihatan

<6/18 sampai 6/60 dengan koreksi terbaik.

4. Gangguan penglihatan ringan (mild visual impairement) yaitu jika tajam penglihatan <6/12 sampai 6/18 dengan koreksi terbaik.

5. Kelainan Anatomi Penyebab Kebutaan : Kelaianan bentuk dari anatomi mata yang normal yang merupakan penyebab dari gangguan penglihatan atau bahkan sampai penyebab dari kebutaan pada anak-anak di SLB/A.

(28)

6. SLB/A Denpasar : Sekolah luar biasa A yang mendidik anak-anak tuna netra yang beralamat di Jalan Serma Gede, Denpasar.

7. Tajam Penglihatan : Tajam penglihatan yang diukur berdasarkan metoda snellen dan atau LEA.

8. Penyebab kebutaan: penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kebuataan atau ganggua penglihatan yang bisa diterapi, ataupun difollow up perkembangannya.

10. Umur adalah lama waktu hidup terhitung dari tanggal kelahiran sampai saat dilakukan penelitian, umur dinyatakan dalam tahun. Data diperoleh dari anamnesa dan data rekam medis.

11. Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir, diperoleh dari melihat fenotip dan rekam medis.

12. Pendidikan Terakhir adalah pendidikan formal dan terstruktur yang terakhir diikuti 3.5. Instrumen Penelitian

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pemeriksaan kesehatan mata yang meliputi lembar anamnesis, lembar peeriksaan mata.

3.6. Prosedur Penelitian 3.6.1 Tahap persiapan

a. Mengurus surat ijin etik ke Litbang FK UNUD

b. Mengurus surat ijin penelitian ke LPPM Renon

c. Melakukan survei pendahuluan jumlah anak di SLB/A

d. Penyusunan lembar pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan kesehatan mata

e. Turun ke lapangan dan mengumpulkan data pemeriksaan

(29)

3.6.2. Pelaksanaan Penelitian

Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengelompokan anak-anak berdasarkan usia

2. Melakukan wawancara dan anamnesis kepada orang tua, guru, dan jika ada meminjam atu meminta catatan medis dari anak-anak SLB/A

3. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan metode standar Snellen. Namun jika tidak bisa dilanjutkan dengan metode LEA. Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan oleh seorang dokter residen mata

4. Pemeriksaan segmen anterior dan segmen posterioe mata. Pemeriksaan ini dilakukan oleh tim dokter mata. Pada pemeriksaan mata dikumpulkan data tentang kelainan antomi yang menyebabkan kebutaan dan penyakit mata penyebab kebutaan pada anak di SLB/a denpasar.

3.7. Alur Penelitian

Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 3.

Gambar 3.3. Skema Alur Penelitian

Informed Consent (orang tua, guru)

Analisis Data Sample Kriteria Eksklusi

Anak-anak yang tidak hadir saat pemeriksaan

kesehatan mata

Persetujuan Komisi Etik, Litbang PS Unud, LPPM Renon

Aanak-anak SLB/ A Denpasar Kriteria Inklusi

Anak-anak SLB/A Denpasar yang bersedia diperiksa

Eligible Sample

Data Tajam Penglihatan Data Kelainan Anatomi Penyebab Kebutaan

Data Penyakit Penyebab Kebutaan pada Anak-anak di

SLB/A

(30)

3.8. Analisis Data Statistik

Semua data yang diperoleh dimasukkkan ke dalam tabel kerja dan dianalisis dengan program SPSS versi 16.0. Data mengenai karakteristik subyek dianalisis secara deskriptif. Data berskala kategorik dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan persentase sedangkan data berskala numerik dilakukan pengkategorian sehingga didapatkan data ordinal dengan tujuan untuk memudahkan analisis data.

Adapun tahapan analisis data sebagai berikut:

1. Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator program Stastical Package for The Social Sciences (SPSS).

2. Analisi statistik deskriptif

Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi frekuensi variabel, yaitu : umur, jenis kelamin, pendidikan. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi dan tabel-tabel.

3. Untuk melihat perbandigan usai kelahiran, riwayat persalinan, riwayat tumbuh kembang, tajam penglihatan, kelaianan anatomi mata, penyakit penyebab kebutaan disajikan dalam bentuk tabel-tabel dan prosentase

4. Uji Normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov, jumlah sampel lebih dari 30 untuk menguji apakah data penelitian berdistribusi normal atau tidak. Data dinyatakan berdistribusi normal jika p > 0,05

5. Untuk melihat apakah ada hubungan kelahiran yang lebih awal (prematur) pada kelainan anatomi mata yang dapat menyebabkan kebutaan.

6. Uji statistik dalam penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95%.

3.9. Rencana Publikasi

Publikasi rencananya akan dilakukan ke jurnal komunitas berstandar nasional, atau jurnal kesehatan internasional. Data yang dimasukkan meliputi data diskriptif dan analitik.

(31)

BAB IV

BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN

4.1. Biaya

Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis di komunitas (masyarakat). Penelitian ini memerlukan dana Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Rincian penggunaan dana tersebut terlampir pada lampiran 2.

4.2. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian secara rinci dapat dilihat pada gambar 4.1

No Kegiatan Maret 2017 April 2017 Mei 2017

I II III IV I II III IV I II III IV

1. Persiapan administrasi 2. Ijin Litbang 3. Ijin LPPM

Renon 4. Survey Awal 5. Pengumpulan

data

6. Memasukkan Data

7. Analisis 8. Pembahasan 9. Penyusunan

Laporan 10. Rencana Publikasi

Gambar 4.1 Jadwal Penelitian

(32)

Informed Consent

INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN

Profil Penyebab Kebutaan Pada Anak Di Sekolah Tuna Netra (SLB/A) Denpasar

Bapak dan Ibu Yth,

Kebutaan pada anak merupakan salah satu prioritas World Health Organization (WHO) dalam usaha pemberantasan kebutaan yang dapat dicegah (avoidable blindness) untuk mencapai VISION 2020 ”The Right to Sight”.

Belum banyak data penelitian yang dapat menunjukkan prevalensi dan penyebab kebutaan pada anak. Pada tahun 2001, WHO menyatakan jumlah kebutaan pada anak mencapai 1,5 juta kasus yang tersebar di seluruh dunia. Salah satu penyebab kebutaan terbanyak pada anak adalah katarak.

Penelitian tentang penyebab kebutaan belum banyak dilakukan di Bali. Sampai saat ini belum ada data yang menyatakan berapa prevalensi kebutaan pada anak di Bali. Demikian juga penelitian mengenai penyebab kebutaan pada anak belum banyak dilakukan di Bali.

Penelitian ini dilaksanakan di sekolah tuna netra (SLB/A) Denpasar, Bali. Pada peneitian ini, peneliti mengumpulkan data mengenai karakteristik anak-anak yang tinggal dan belajar di SLB/A Denpasar, tajam penglihatan, kelaianan anatomi, dan penyebab kebutaan pada anak-anak yang tinggal dan belajar di SLB/A Denpasar.

Pada penelitian ini juga mencari hubungan antara riwayat kehamilan dan persalinan ibu dengan kebutaan yang terjadi pada anak di SLB/A Denpasar. Data yang terkumpul diharakan dapat menjadi acuan bagi program pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi kebutaan pada anak-anak di SLB/A Denpasar pada khususnya.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Pengembangan Profesionalitas Guru Biologi Madrasah Aliyah (MA) Dengan Efektivitas Pembelajaran Di Kabupaten Probolinggo); Riatiningsih, 070210193137; 2011; 168

Wawancara yang dilakukan oleh pemilik atau perwakilan biro iklan adalah untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, modal,

Penelitian ini menggunakan sub variabel kualitas hubungan: kepuasan, kepercayaan dan komitmen afektif.Penelitian ini juga berfokus pada kualitas customer contact centre

Reduksi data dilakukan untuk merangkum data hasil wawancara dengan para informan mengenai objek penelitian yaitu upaya pemanfaatan e- learning dalam proses pembelajaran

Dengan demikian pata orang tua dan konselor perlu memahami kreativitas yang ada pada diri anak-anak, dengan bersikap luwes dan kreatif pula-. Bahan-bahan pelajaran di

Islam dalam mengembangkan kurikulum materi pendidikan Agama Islam.. terbagi ke dalam dua bahagian yaitu: kegiatan atau upaya yang termasuk. ke dalam kegiatan intra-kurikuler dan

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik melakukan penelitian pada tugas akhir ini dan mengaitkan pengujian tanah menggunakan alat DCP untuk mengetahui tingkat

Sedang semua transfer yang terjadi antara Sabang dan negara-negara lain dikendalikan oleh Komando Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang menurut peraturan yang akan