• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja. 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja. 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja

Kecemasan merupakan suatu reaksi ketakutan atau kegelisahan yang berlebihan dalam menghadapi suatu hal dan menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi individu yang mengalaminya. Kecemasan dapat dialami oleh siapa saja, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa (Blackburn dan Davidson, 1990). Kecemasan pada tingkat tertentu dapat dianggap sebagai bagian dari respon untuk mengatasi masalah sehari-hari. Taylor dan Asmundson (2004) menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai kegelisahan dan ketegangan mental sebagai reaksi ketidakmampuan dalam menghadapi masalah. Hal tersebut dapat diartikan bahwa kecemasan merupakan dampak dari ketidakmampuan individu dalam memperoleh solusi dari masalah yang dihadapinya. Adanya pertentangan antara dorongan dan usaha individu dalam menyesuaikan diri juga dapat memicu timbulnya kecemasan (Mujib dan Daradjat, 1999). Oleh karena itu, kecemasan dapat diartikan sebagai suatu akibat dari ketidakmampuan individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Lazarus (dalam Semiun, 2006) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan khawatir yang dialami individu dalam menghadapi situasi yang tidak pasti dan dirasakan sebagai suatu pengalaman yang tidak

(2)

menyenangkan dan perlu dihindari. Kecemasan juga dapat diartikan sebagai kondisi psikologis yang terjadi karena adanya tekanan, ketakutan terhadap kegagalan, dan ancaman yang berasal dari lingkungan (Rathus, 2011).

Sarason dan Sarason (1999) mengungkapkan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan karena adanya ketidakpastian mengenai suatu hal, serta adanya ancaman terhadap kegagalan. Hal tersebut menjelaskan bahwa kecemasan berkaitan dengan perasaan gelisah dalam merespon stimulus dan perasaan tidak menyenangkan tersebut terjadi karena adanya ketidakpastian mengenai kemungkinan yang akan terjadi.

Lazarus (dalam Zeidner, 1998) membedakan kecemasan menjadi dua berdasarkan lamanya menetap, yaitu state anxiety dan trait anxiety. State anxiety adalah kecemasan yang bersifat sementara yang timbul ketika individu menghadapi situasi tertentu yang dianggap mengancam, sedangkan trait anxiety adalah kecemasan yang bersifat menetap dan sudah menjadi bagian dari kepribadian individu. Spielberger, dkk. (1983) mengartikan state anxiety sebagai respon emosional individu terhadap situasi tertentu yang dirasakan sebagai ancaman. Apabila ancaman mereda, maka kecemasan yang dialami juga akan menghilang. Dunia kerja dapat dikatakan sebagai situasi yang mengancam dan dapat menimbulkan state anxiety karena ketika ancaman dunia kerja tersebut mereda, maka kecemasan yang dialami akan menghilang.

Berdasarkan uraian di atas, kecemasan menghadapi dunia kerja dapat diartikan sebagai suatu perasaan sementara yang tidak menyenangkan

(3)

mengenai dunia kerja karena adanya ketidakpastian mengenai kemungkinan yang akan terjadi, sehingga menimbulkan kekhawatiran pada individu.

2. Aspek-aspek Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja

Aspek-aspek kecemasan menghadapi dunia kerja dikemukakan oleh beberapa ahli. Greenberger dan Pedesky (1995) mengungkapkan aspek-aspek kecemasan adalah:

a. Biologis atau fisiologi b. Kognitif

c. Perilaku d. Emosi

Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Biologis atau fisiologis

Aspek tersebut berkaitan dengan reaksi fisik individu, yaitu akibat meningkatnya aktivitas sistem saraf otonom. Reaksi tersebut dapat berlangsung lama, dapat pula berlangsung sebentar, tergantung pada lamanya situasi yang dihadapi. Reaksi-reaksi tersebut antara lain jantung berdebar, gugup, dan sulit tidur.

b. Kognitif

Individu yang mengalami kecemasan pada umumnya memikirkan bahaya secara berlebihan. Individu tersebut menganggap bahwa dirinya tidak mampu mengatasi masalah, menganggap tidak penting bantuan yang ada, dan berpikir tentang hal yang buruk. Hal tersebut dapat mengakibatkan

(4)

penurunan konsentrasi, daya ingat, produktivitas, dan lebih beorientasi terhadap masa lampau. Dampak yang paling buruk dari pemikiran negatif adalah sikap putus asa yang menyebabkan terhambatnya individu dalam melakukan suatu aktivitas yang membutuhkan kepercayaan diri.

c. Perilaku

Individu yang sedang cemas menghadapi dunia kerja akan berperilaku menghindari situasi yang menyebabkan kecemasan, meninggalkan situasi ketika kecemasan mulai terjadi, dan mencoba melakukan banyak hal secara sempurna, serta berusaha mencegah bahaya. Ketika individu mengalami kecemasan dalam menghadapi dunia kerja, individu tersebut akan menghindari situasi yang berkaitan dengan dunia kerja, misalnya menghindari informasi-informasi atau pertanyaan-pertanyaan seputar dunia kerja. Perilaku tersebut terjadi karena individu merasa dirinya terganggu dan tidak nyaman.

d. Emosi

Suasana hati dapat berubah secara tiba-tiba pada individu yang mengalami kecemasan menghadapi dunia kerja. Suasana hati tersebut meliputi mudah marah, mudah tersinggung, dan depresi. Perasaan tersebut kemudian dapat menimbulkan kesulitan dalam membuat keputusan.

Sue, dkk. (2010) mengungkapkan empat aspek kecemasan, yaitu:

a. Kognitif b. Motorik c. Somatik

(5)

d. Afektif

Aspek-aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kognitif

Aspek kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan proses berpikir individu. Individu yang mengalami kecemasan akan mengkhawatirkan segala macam permasalahan yang mungkin terjadi di masa depan. Individu juga akan mengalami kesulitan berkonsentrasi dan kesulitan dalam mengambil keputusan.

b. Motorik

Aspek motorik merupakan aspek yang berkaitan dengan kegiatan otot dan fisik. Individu yang mengalami kecemasan sering merasa gugup, gemetar, dan suara bergetar saat berbicara.

c. Somatik

Individu yang cemas akan mengalami reaksi fisik atau biologis, seperti jantung berdebar, berkeringat, tekanan darah meningkat, gangguan pencernaan, dan kelelahan.

d. Afektif

Aspek afektif merupakan aspek yang berkaitan dengan sikap dan nilai.

Individu yang mengalami kecemasan akan merasa tidak tenang dan mudah tersinggung. Pada tingkat kecemasan yang lebih lanjut, individu dapat mengalami depresi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa aspek-aspek kecemasan menghadapi dunia kerja adalah biologis atau fisiologis,

(6)

kognitif, perilaku, dan afektif. Aspek-aspek tersebut digunakan sebagai dasar dalam penyusunan skala kecemasan menghadapi dunia kerja.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja

Faktor-faktor penyebab kecemasan merupakan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya kecemasan. Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang membedakan faktor-faktor penyebab kecemasan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan yang berasal dari dalam individu, sedangkan faktor ekternal merupakan hal- hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ditinjau dari luar individu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Faktor Internal 1) Pengalaman 2) Gender b. Faktor Eksternal

1) Dukungan Keluarga 2) Kondisi Lingkungan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

(7)

a. Faktor Internal 1) Pengalaman

Pengalaman individu dalam menghadapi suatu hal akan mengakibatkan individu tersebut lebih mampu menghadapi hal tersebut pada kesempatan yang lain. Begitu pula sebaliknya, kegagalan individu dalam menghadapi suatu hal akan berpengaruh juga pada sikap individu terhadap hal tersebut pada kesempatan yang lain.

2) Gender

Myers (dalam Trismiati, 2004) menjelaskan bahwa wanita memiliki kemampuan menghadapi kecemasan yang lebih rendah daripada pria.

Hawari (2001) mengungkapkan bahwa perbandingan antara pria dan wanita yang mengalami kecemasan adalah sebesar 1 banding 2. Para pria lebih aktif dan eksploratif dalam menghadapi masalah daripada para wanita karena pria lebih rileks. Selain itu, perasaan wanita yang lebih sensitif daripada pria berpengaruh pada kemampuannya dalam menghadapi kecemasan.

b. Faktor Eksternal 1) Dukungan keluarga

Adanya dukungan keluarga akan menyebabkan individu menjadi lebih siap dalam menghadapi permasalahan, termasuk permasalahan menghadapi dunia kerja.

(8)

2) Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan tempat tinggal, sekolah, atau pekerjaan berpengaruh pada sikap individu dalam menghadapi permasalahan.

Lingkungan yang memberikan efek positif terhadap permasalahan akan menyebabkan individu menjadi lebih kuat dan optimis. Begitu pula sebaliknya, efek negatif yang diberikan oleh lingkungan akan menyebabkan individu menjadi pesimis dalam menghadapi suatu permasalahan.

Collins dan Culberston (2003) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan menghadapi dunia kerja, yaitu:

a. Ancaman b. Konflik c. Ketakutan

d. Kebutuhan yang tidak terpenuhi

Faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan menghadapi dunia kerja tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Ancaman

Ancaman dapat berupa ancaman terhadap fisik (timbulnya rasa sakit akibat suatu penyakit) dan psikis (kehilangan makna hidup).

b. Konflik

Konflik dapat terjadi karena adanya dua keinginan atau lebih yang saling bertolak belakang. Konflik dapat juga terjadi karena keinginan individu tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

(9)

c. Ketakutan

Kecemasan menghadapi dunia kerja dapat terjadi karena adanya ketakutan terhadap adanya kemungkinan kegagalan ketika memasuki dunia kerja.

d. Kebutuhan yang tidak terpenuhi

Kompleksnya kebutuhan manusia dapat memicu terjadinya kecemasan menghadapi dunia kerja karena adanya keinginan untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menghadapi dunia kerja, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi pengalaman, gender, konflik, dan ketakutan, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan, dukungan keluarga, ancaman, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi.

B. Efikasi Diri 1. Pengertian Efikasi Diri

Setiap individu di dalam menjalani kehidupannya diharapkan memiliki keyakinan diri yang dapat memberi semangat bahwa dirinya mampu menjalani kehidupannya dan mampu mengatasi masalah yang terjadi. Baron dan Byrne (2005) menjelaskan bahwa efikasi diri didefinisikan sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan. Bandura (1997) menunjukkan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil dari

(10)

proses kognitif yang berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan mengenai kemampuan dalam melaksanakan tugas tertentu untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini juga dijelaskan oleh Ghufron dan Risnawita (2010) bahwa efikasi diri tidak berkaitan dengan kecakapan yang dimiliki, tetapi berkaitan dengan keyakinan individu mengenai suatu hal. Berdasarkan uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa efikasi diri mengacu pada kecakapan yang dimiliki individu yang dapat menimbulkan keyakinan diri untuk menjalani kehidupan dan menghadapi kenyataan hidup kaitannya dengan pengambilan keputusan dan menjalankan tugas yang dibebankan.

Myers (2002) menjelaskan bahwa efikasi diri merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu sebagai orang yang mampu melakukan tindakan secara tepat. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi memiliki kemampuan untuk menganalisa situasi dan permasalahan, kemudian mengambil tindakan secara efektif. Sebaliknya, individu yang memiliki efikasi diri rendah tidak memiliki kemampuan untuk menganalisa suatu situasi dan permasalahan, sehingga tidak dapat menemukan solusi yang tepat. Alwisol (2009) mengemukakan bahwa efikasi diri sebagai persepsi diri sendiri dalam situasi tertentu. Perspektif individu dalam menilai suatu situasi akan menentukan tindakan yang diambil oleh individu. Efikasi diri dapat mempengaruhi individu untuk mengatasi kekecewaan dan stres dalam mencapai tujuan hidup. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi tidak akan mudah menyerah ketika menghadapi tekanan hidup. Sebaliknya, individu yang memiliki efikasi diri rendah akan cenderung menghindari situasi-situasi yang menekan.

(11)

Myers (2002) menjelaskan bahwa efikasi diri mengarahkan individu untuk menghadapi tugas yang menantang dan tetap bertahan dalam

(dalam Suzuki dan Ponterotto, 2008) menyatakan bahwa efikasi diri berkaitan dengan ketekunan dalam melaksanakan suatu tugas, meskipun individu menghadapi berbagai hambatan dalam prosesnya. Papalia, dkk. (2009) menjelaskan bahwa siswa yang memiliki efikasi diri tinggi memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat mencapai prestasi sekolah yang baik.

Berdasarkan teori tersebut, dapat diartikan bahwa efikasi diri merupakan salah satu hal penting dalam pencapaian prestasi akademik dan keahlian yang dimiliki individu.

Wade dan Tavris (2007) menjelaskan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu meraih hasil yang diinginkan, seperti penguasaan suatu keterampilan baru. Hal tersebut dapat diketahui bahwa individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu menyelesaikan tugas yang diberikan berdasarkan keterampilan yang dimiliki untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan, sedangkan individu yang memiliki efikasi diri rendah akan memiliki keyakinan bahwa dirinya mengalami kesulitan untuk menyelesaikan suatu tugas yang dibebankan. Hal tersebut terjadi karena individu tidak yakin dengan kemampuannya dalam memecahkan masalah.

Dale Schunck (dalam Santrock, 2007), konsep efikasi diri dapat diterapkan pada berbagai aspek prestasi para siswa. Hal tersebut dikarenakan

(12)

efikasi diri mempengaruhi pilihan siswa terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan. Para siswa yang memiliki efikasi diri rendah, cenderung akan menghindari berbagai tugas belajar, khususnya tugas-tugas yang menantang.

Sebaliknya, para siswa dengan efikasi diri tinggi akan menghadapi tantangan- tantangan tersebut dengan antusias. Individu akan melakukan usaha dan bertahan lebih lama dalam menyelesaikan suatu tugas dibandingkan dengan para siswa dengan efikasi diri rendah. Lent, dkk. (dalam Suzuki dan Ponterotto, 2008) menjelaskan bahwa efikasi diri akan membantu individu dalam mengembangkan keahlian dan karirnya seiring dengan tuntutan zaman yang semakin tinggi. Efikasi diri menekankan pada komponen keyakinan diri yang dimiliki seseorang dalam menghadapi situasi yang mengandung kekaburan dan penuh tekanan di masa yang akan datang (Betz, dkk., dalam Santrock, 2007). Hal tersebut menggambarkan bahwa siswa yang memiliki efikasi diri tinggi siap menghadapi tantangan karena adanya keyakinan bahwa dirinya mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat diketahui bahwa efikasi diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki individu berkaitan dengan kemampuannya dalam menyelesaikan suatu tugas dan mampu mengatasi hambatan yang dihadapi untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan.

(13)

2. Aspek-aspek Efikasi Diri

Bandura (1997) menjelaskan bahwa tingkat efikasi diri dapat dilihat berdasarkan aspek-aspek sebagai berikut:

a. Level (tingkat kesulitan)

b. Strength (ketahanan menghadapi tugas) c. Generality (kemampuan pengembangan diri)

Aspek-aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Level (tingkat kesulitan)

Aspek tersebut berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyelesaikan tugas dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Individu akan menyusun tugas-tugas berdasarkan tingkat kesulitannya, mulai dari yang mudah, sedang, hingga sulit, sesuai dengan kemampuannya. Aspek tersebut memiliki implikasi terhadap pemilihan perilaku yang akan dilakukan, sehingga batas kemampuan individu dapat ditunjukkan.

Individu yang memiliki efikasi diri tinggi merasa yakin akan mampu menyelesaikan tugas yang sulit. Sebaliknya, individu yang memiliki efikasi diri rendah merasa tidak yakin akan mampu menyelesaikan suatu tugas yang dianggap sulit.

b. Strength (ketahanan menghadapi tugas)

Aspek tersebut berkaitan dengan tingkat kekuatan pada keyakinan individu mengenai kemampuannya. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki keyakinan yang mantap, sehingga dapat mendorong individu untuk tetap bertahan dalam usahanya, meskipun dalam usahanya tersebut individu

(14)

harus berhadapan dengan berbagai hambatan. Sebaliknya, individu dengan efikasi diri rendah memiliki keyakinan yang lemah, sehingga mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.

c. Generality (kemampuan pengembangan diri)

Aspek tersebut berkaitan dengan luas bidang perilaku yang diyakini sesuai dengan kemampuan individu. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi merasa yakin bahwa dirinya dapat bertindak dalam berbagai situasi.

Sebaliknya, individu yang memiliki efikasi diri rendah merasa tidak yakin terhadap kemampuannya untuk menghadapi berbagai situasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa aspek-aspek efikasi diri, yaitu level (tingkat kesulitan), strength (ketahanan menghadapi tugas), dan generality (kemampuan pengembangan diri). Aspek-aspek tersebut kemudian dijadikan dasar dalam penyusunan skala efikasi diri.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri merupakan sesuatu yang berpengaruh untuk tumbuh dan berkembangnya efikasi diri pada setiap individu dalam menghadapi berbagai tugas atau pekerjaan. Baron dan Greenberg (1990) menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi efikasi diri, yaitu:

a. Pengalaman langsung b. Pengalaman tidak langsung

(15)

Faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pengalaman langsung

Faktor tersebut diperoleh dari pengalaman mengerjakan suatu tugas yang dilakukan oleh individu itu sendiri. Hal tersebut dapat diartikan bahwa tugas yang dihadapi individu pernah dihadapi sebelumnya. Apabila suatu tugas dapat dilaksanakan dengan baik, maka pengalaman tersebut akan menumbuhkan efikasi diri. Sebaliknya, apabila suatu tugas tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka pengalaman tersebut akan melemahkan efikasi diri individu.

b. Pengalaman tidak langsung

Faktor tersebut diperoleh dari pengalaman orang lain dalam melakukan tugas yang sama, dan individu menerjemahkan pengalaman orang lain tersebut dalam melakukan tugas. Apabila individu lain berhasil dalam melaksanakan suatu tugas yang juga dibebankan pada individu tersebut, maka efikasi diri yang dimiliki individu tersebut akan meningkat.

Sebaliknya, apabila individu lain tidak berhasil dalam melaksanakan suatu tugas yang juga dibebankan pada individu tersebut, maka hal tersebut akan melemahkan efikasi diri individu tersebut. Pengalaman kegagalan tersebut menyebabkan individu merasa takut jika mengalami hal serupa.

Bandura (1997) menjelaskan bahwa persepsi terhadap efikasi diri pada setiap individu berkembang secara terus-menerus. Hal tersebut dapat diartikan bahwa kemampuan dalam mempersepsikan secara kognitif terhadap

(16)

kemampuan yang dimiliki akan memunculkan keyakinan yang kemudian digunakan sebagai landasan bagi individu untuk berusaha secara maksimal agar target yang telah ditetapkan dapat tercapai. Bandura kemudian menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri secara lebih rinci, yaitu:

a. Pengalaman keberhasilan b. Pengalaman orang lain c. Persuasi verbal

d. Kondisi fisiologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pengalaman keberhasilan (mastery experience)

Pengalaman keberhasilan pribadi secara nyata dapat meningkatkan efikasi diri individu karena individu tersebut telah mengalami proses untuk menghadapi suatu tugas yang dibebankan, sehingga individu akan mengulangi proses tersebut agar kembali mengalami keberhasilan.

Sebaliknya, pengalaman kegagalan akan menurunkan efikasi diri karena pengalaman kegagalan tersebut akan membayangi individu dalam menghadapi suatu tugas, sehingga menimbulkan kecemasan bahwa individu akan kembali mengalami kegagalan. Jika efikasi diri yang kuat berkembang melalui serangkaian pengalaman keberhasilan, maka dampak negatif dari kegagalan dapat dikurangi. Selanjutnya kegagalan dapat diatasi dengan usaha tertentu yang dapat memperkuat motivasi diri apabila

(17)

individu menemukannya melalui pengalaman bahwa hambatan yang tersulit pun dapat diatasi melalui usaha yang terus-menerus.

b. Pengalaman orang lain (vicarious experience)

Efikasi diri dapat dipengaruhi karena adanya pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan tugas yang sama. Begitu pula sebaliknya, pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan penilaian individu mengenai kemampuannya dan individu akan cenderung mengurangi usaha yang dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh kecemasan individu melihat ketidakberhasilan orang lain dalam menyelesaikan tugasnya. Pengalaman tersebut menyebabkan individu merasa takut jika mengalami hal yang sama.

c. Persuasi verbal

Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan, sehingga dapat meningkatkan keyakinannya bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat mempengaruhi tercapainya suatu tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan meningkatkan usahanya untuk mencapai keberhasilan.

Namun dalam kondisi tertekan dan adanya pengalaman kegagalan yang terus-menerus akan menyebabkan pengaruh sugesti cepat lenyap jika memperoleh pengalaman yang tidak menyenangkan.

(18)

d. Kondisi fisiologis

Kondisi fisiologis berkaitan dengan sistem biologis individu. Kondisi fisiologis yang baik akan mempengaruhi individu dalam menjalankan aktivitasnya secara optimal karena kondisi fisik yang baik akan mendorong individu untuk beraktivitas lebih optimal dalam menjalankan suatu tugas, sedangkan kondisi fisiologis yang kurang baik, seperti adanya ketegangan fisik dalam situasi menekan dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal tersebut dapat melemahkan performansi kerja individu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri yaitu pengalaman langsung atau pengalaman keberhasilan, pengalaman tidak langsung atau pengalaman orang lain, persuasi verbal, dan kondisi fisiologis.

C. Dukungan Sosial Keluarga 1. Pengertian Dukungan Sosial Keluarga

Efikasi diri merupakan salah satu faktor internal yang mengurangi kecemasan menghadapi dunia kerja. Selain faktor internal tersebut, terdapat pula faktor eksternal yang mengurangi kecemasan menghadapi dunia kerja, yaitu dukungan sosial, khususnya dukungan sosial keluarga. Dukungan sosial merupakan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan orang lain yang bermanfaat ketika individu mengalami stres (Sarason dkk., dalam Baron

(19)

dan Byrne, 2005). Alasannya adalah karena berhubungan dengan orang lain dapat memberikan rasa nyaman ketika individu merasa tertekan (Morgan dkk., dalam Baron dan Byrne, 2005). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa saat individu merasa tertekan, kemudian menceritakan pada orang lain tentang masalah yang sedang dialami tidak hanya akan mengurangi perasaan negatif, tetapi juga mengurangi timbulnya masalah kesehatan.

Myers (2002) berpendapat bahwa hubungan yang baik dengan orang tua akan memberikan pengaruh positif bagi anak dalam menjalin hubungan dengan teman dan lingkungan sekitar. Cohen, dkk. (2000) menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah informasi atau nasihat verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh adanya keakraban sosial yang bermanfaat secara emosional dan memiliki efek perilaku tertentu bagi penerima. Sarafino (dalam Pudner, 2010) menjelaskan bahwa dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh individu dari orang lain atau kelompok. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa dukungan sosial dapat memberikan efek afeksi berupa kesenangan karena adanya bantuan dari orang lain, baik fisik, maupun psikologis. Sarason, dkk. (1990) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan dari orang yang berarti bagi individu. Pemberian bantuan tersebut dapat memberikan pengaruh positif bagi individu yang menerimanya. Dukungan sosial merupakan pertukaran perasaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keberadaan orang-orang yang mampu diandalkan untuk memberi bantuan, semangat, penilaian, dan

Referensi

Dokumen terkait

Sepertihalnya hasil penelitian-penelitian terdahulu bahwa spiritualitas memiliki peran penting dalam penyelesaian permasalahan psikologis manusia (Amos Lal et al., 2020),

berhasil mencapai tujuan programnya. Gambaran yang kaya mengenai perasasan sukses dari penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang tercantum dalam visi Bimbingan dan

Kurva selektivitas ikan petek yang tertangkap (masuk codend ) dan lolos (masuk cover net ) pada arad yang dilengkapi JTEDs dengan lebar kisi 17,5 mm..

Hasil pengeringan pada penelitian ini dibedakan menjadi 3 kategori yaitu hasil material dari pengujian karakteristik (lidah buaya cair dan Persegi), hasil lidah

Suryawan (2005), dari sumber isolat yang sama dengan yang digunakan dalam penelitian ini, dengan cara pengayaan yang sama namun waktu inkubasi diperpanjang dari 7 menjadi

Pada persiapan penelitian dilakukan survei awal ke wilayah studi. Survei awal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi reaktor biogas dan pengomposan. Selanjutnya dilakukan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor predisposisi umur dan sikap diketahui memiliki kecenderungan kontribusi yang tinggi terhadap perilaku higiene

Dengan perluasan pengenaan sampai dengan tingkat Pedagang Eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 maka sesuai dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dalam Undang-undang Nomor