• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Di Indonesia, jumlah pengguna internet selalu bertambah setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2019-2020 (Q2), 73,7% penduduk Indonesia atau sebanyak 196,71 juta dari total penduduk 266,91 juta jiwa menggunakan internet. Angka ini bertambah dari tahun sebelumnya, yaitu 171,17 juta dari 264,16 juta jiwa atau 64,8% penduduk Indonesia (APJII, 2020).

Laporan APJII tersebut juga menunjukkan bahwa media sosial menjadi alasan paling utama terbanyak seseorang menggunakan internet. Media sosial atau sering disebut juga situs jejaring sosial (social networking sites) merupakan sebuah platform online di mana seorang individu dapat berinteraksi dengan orang lain, termasuk membangun maupun menjaga hubungan dengan orang lain (Shaw, Timpano, Tran, & Joormann, 2015).

Salah satu media sosial yang banyak digunakan ialah Instagram. Instagram adalah sebuah aplikasi mobile di mana pengguna dapat memposting foto maupun video. Pengguna juga dapat membubuhkan keterangan pada foto atau video yang mereka posting (Trifiro, 2018). Instagram diluncurkan pada 6 Oktober 2010 dan langsung memiliki 25.000 pengguna. Survei yang dilakukan oleh We Are Social dan Hootsuite mencatat, hingga Oktober 2020 Instagram telah memiliki 1.158 juta pengguna aktif (Hootsuite, 2020).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga riset Piper Jaffray terhadap responden remaja Amerika Serikat, 33% remaja berusia 13-19 tahun cenderung lebih banyak mengakses Instagram dibanding media sosial yang lain (Seetharaman, 2015). Survei lain dari Taylor Nelson Sofres Indonesia menyebutkan bahwa sebanyak 59% pengguna Instagram berusia 18-24 tahun, diikuti rentang usia 25-34 tahun sebanyak 30%, dan 35-44 tahun sebanyak 11% (Yusra, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa Instagram lebih diminati oleh kalangan remaja.

commit to user

(2)

2

Secara psikologis, remaja memang membutuhkan interaksi dengan rekan sebaya untuk menunjukkan eksistensinya. Melalui media sosial, remaja dapat memperluas jaringan pertemanan sekaligus menjaga hubungan yang sudah ada.

Selain itu, remaja dapat membagikan aktivitasnya dan mengungkapkan dirinya ke linimasa sehingga dapat dilihat oleh teman-temannya di media sosial dan memperoleh respon, baik berupa like maupun komentar. Respon inilah yang menunjukkan eksistensi mereka di kalangan teman-temannya.

Akan tetapi, media sosial dapat menyebabkan kecanduan. Kaplan (2010) mengatakan, pada awalnya media sosial diciptakan untuk menghubungkan diri mereka secara pribadi dengan komunitasnya yang terpisah secara fisik agar memudahkan mereka untuk berbagi ide, gagasan dan pengalaman (Soliha, 2015).

Namun, pada kenyataannya banyak pengguna media sosial yang akhirnya mengalami kecanduan. Para ahli menilai bahwa seseorang mengalami kecanduan atau ketergantungan pada internet disebabkan rasa cemas yang dimiliki oleh individu (Young, 2011).

Ketika seseorang mengalami kecanduan media sosial, ia akan menjadi kurang bergerak sehingga fisiknya lemah. Selain itu, ia akan terus menggunakan media sosial dan sulit untuk melepaskan diri sehingga mengurangi waktu tidur, lupa makan, hingga menghambat aktivitas sehari-hari. Kecanduan internet juga dapat menyebabkan obesitas, gangguan peredaran darah, gangguan perkembangan, dan penyakit fisik lainnya. Selain menyebabkan penyakit fisik, kecanduan media sosial juga berdampak buruk terhadap kesehatan mental, seperti timbulnya rasa iri yang dapat berakibat depresi dan gangguan kecemasan.

Sebuah survei berjudul #StatusOfMind yang dilaksanakan oleh Royal Society for Public Health – Young Health Movement (RSPH-YHM) pada remaja dan dewasa muda (16-24 tahun) di Inggris tahun 2017 mengungkap bahwa Instagram merupakan media sosial yang memiliki dampak paling buruk bagi kesehatan mental. Instagram berkaitan erat dengan tingkat kecemasan yang tinggi, depresi, bullying, dan FOMO (fear of missing out—fobia ketinggalan berita di

commit to user

(3)

3

jejaring sosial). FOMO dapat menyebabkan penggunaan media sosial yang berlebihan (RSPH, 2017).

Hasil dari survei tersebut menyatakan bahwa tingkat depresi dan kecemasan pada anak muda mengalami kenaikan sebesar 70% dalam 25 tahun terakhir, dan ini berkaitan erat dengan penggunaan media sosial berat. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, salah satunya dengan membandingkan aktivitas orang lain di Instagram yang seolah selalu menikmati hidupnya dan kemudian merasa iri karena tidak dapat melakukannya. Selain itu, survei tersebut juga mengungkap bahwa 7 dari 10 anak muda mengaku pernah mengalami cyberbullying di media sosial, dan 9 dari 10 remaja perempuan merasa tidak bahagia dengan bentuk tubuhnya karena membandingkannya dengan foto orang lain yang mereka lihat di media sosial.

Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan mental juga mempengaruhi meningkatnya angka penderita gangguan mental di Indonesia.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2019), stigma negatif masih menyelimuti isu kejiwaan di Indonesia. Hal ini membuat masyarakat Indonesia cenderung enggan untuk memeriksakan kesehatan mentalnya. WHO mengatakan, tingginya angka bunuh diri akibat depresi pada anak muda berusia 15 – 29 tahun disebabkan oleh gangguan mental yang tidak tertangani. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2017 gangguan mental menjadi penyebab kecacatan (YLDs) terbesar dibanding penyakit lain yaitu sebesar 13,4% (KEMENKES RI, 2019).

Gambar 1 Beban Penyakit di Indonesia commit to user

(4)

4

Menurut perhitungan beban penyakit pada tahun 2017, beberapa jenis gangguan jiwa yang diprediksi dialami oleh penduduk di Indonesia di antaranya adalah gangguan depresi, cemas, skizofrenia, bipolar, gangguan perilaku, autis, gangguan perilaku makan, cacat intelektual, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

Gambar 2 10 Besar Penyakit Mental Disorders Penyebab DALYs

Selama tiga dekade (1990 – 2017), gangguan depresi dan gangguan kecemasan tetap menduduki urutan pertama dan kedua beban penyakit mental di Indonesia. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, gangguan depresi sudah mulai terjadi sejak rentang usia remaja (15 – 24 tahun) dengan prevalensi 6,2% (KEMENKES RI, 2019).

Seperti yang telah disebut sebelumnya, pengguna Instagram terbanyak berada pada rentang usia 18-24 tahun. Pada usia ini, dukungan sosial teman sebaya merupakan hal penting bagi remaja. Berns (2004) menyebut bahwa teman sebaya merupakan sumber dukungan dalam bentuk afeksi, simpati, pemahaman, dan bimbingan moral. Dukungan sosial dapat memberikan dampak positif maupun

commit to user

(5)

5

negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Yunanto (2018) mengatakan bahwa dukungan dari teman sebaya di sekolah dapat membuat remaja merasa nyaman berada di sekolah. Menurut Santrock (2011), teman sebaya memiliki peran yang besar dalam diri seorang remaja karena pada usia ini, peran orangtua / keluarga mulai berkurang.

Tidak terkecuali mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS. Sebagai bagian dari Generasi Z yang sudah sangat akrab dengan internet, mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP UNS menggunakan Instagram sebagai salah satu sarana baik untuk menghubungkan antar-mahasiswa dalam satu angkatan maupun untuk berbagi informasi mengenai kampus.

Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh intensitas penggunaan Instagram dan dukungan sosial teman sebaya di Instagram terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret.

B. RUMUSAN MASALAH

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah intensitas penggunaan Instagram berpengaruh terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret?

2. Apakah dukungan sosial teman sebaya di Instagram berpengaruh terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret?

3. Berapa besar pengaruh intensitas penggunaan Instagram dan dukungan sosial teman sebaya di Instagram terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret?

4. Berapa besar sumbangan pengaruh intensitas penggunaan Instagram dan dukungan sosial teman sebaya di Instagram terhadap tingkat gangguan

commit to user

(6)

6

kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret dibanding variabel-variabel lain?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah intensitas penggunaan Instagram berpengaruh terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret.

2. Untuk mengetahui apakah dukungan sosial teman sebaya di Instagram berpengaruh terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret.

3. Untuk mengetahui berapa besar pengaruh intensitas penggunaan Instagram dan dukungan sosial teman sebaya di Instagram terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret.

4. Untuk mengetahui berapa besar sumbangan pengaruh intensitas penggunaan Instagram dan dukungan sosial teman sebaya di Instagram terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP Universitas Sebelas Maret dibanding variabel-variabel lain?

D. MANFAAT PENELITIAN

Dengan melakukan penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah:

1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat guna menambah khazanah kelimuan mengenai pengaruh intensitas penggunaan

commit to user

(7)

7

Instagram dan dukungan sosial teman sebaya di Instagram terhadap tingkat gangguan kecemasan mahasiswa baru.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan acuan bagi dosen serta pihak universitas untuk memberikan perhatian terhadap kesehatan mental mahasiswa.

E. KERANGKA TEORI 1. Media Baru

Flew mendefinisikan media baru sebagai: as those forms that combine the three Cs: computing and information technology (IT); Communication Network;

digitised media & information content. Sedangkan, Power dan Littlejohn menyebut media baru sebagai: a new periode in which interactive technologies and network communications, particularly the internet, would transform society. Persamaan definisi tentang konsep media baru memperlihatkan bahwa kekuatan dalam suatu media baru itu adalah penguasaan teknologi (terutama internet) yang dapat membawa perubahan dalam masyarakat (Indrawan, Efriza, & Ilmar, 2020).

Denis McQuail mendefinisikan new media atau media baru sebagai perangkat teknologi elektronik yang mencakup beberapa sistem teknologi seperti:

sistem transmisi (melalui kabel atau satelit), sistem miniaturisasi, sistem penyimpanan dan pencarian informasi, sistem penyajian gambar (dengan menggunakan kombinasi teks dan grafik secara lentur), dan sistem pengendalian (oleh komputer). McQuail juga menyebutkan ciri utama yang membedakan media baru dengan media lama adalah desentralisasi (pengadaan dan pemilihan berita tidak lagi sepenuhnya berada di tangan komunikator), kemampuan tinggi (pengantaran melalui kabel atau satelit mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya), komunikasi timbal balik (komunikan dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi dan dihubungkan dengan

commit to user

(8)

8

penerima lainnya secara langsung), kelenturan fleksibilitas bentuk, isi, dan penggunaan) (McQuail, 2011).

Sedangkan Rice dalam Suparno (2016) menjelaskan media baru sebagai kombinasi dari: 1) teknologi komputer yang dapat memproses isi, memperolehnya kembali dan sekaligus menstrukturnya sebagai bentuk kegiatan komunikasi; 2) jaringan telekomunikasi yang menjadikan seseorang dapat mengakses dan tersambung dengan orang-orang yang berbeda-beda, berragam, dan berada pada jarak tertentu; 3) digitalisasi terhadap isi media yang menjadikan seseorang dapat melakukan transferensi dan presentasi melalui berbagai model seperti teks, audio, video.

Suparno (2016) menyebutkan lima karakteristik media baru yang membedakannya dengan media konvensional, di antaranya:

1. Packet-Switching

Aspek teknis ini membedakan bentuk transmisi. Media baru dikembangkan sebagai alat pengiriman dan penerimaan data melalui cara yang berragam. Pada sebuah tujuan transmisi, sebuah komputer dapat memecah data ke dalam paket- paket informasi. Contoh dari packet switching adalah E-mail, Chatting, Browsing, ataupun Posting.

2. Multimedia

Jika seseorang membuka akses web (world wide web), maka web itu memberi fasilitas dalam beberapa bentuk pesan komunikasi seperti teks, gambar, foto, animasi, suara, ilustrasi, video, dan lain-lain. Dengan kata lain, web dapat menyampaikan pesan melalui berbagai saluran. Sebagai contoh, sebuah web dapat menyajikan audio, video, dan grafis secara bersamaan atau sendiri-sendiri.

3. Interactivity

Fasilitas-fasilitas di internet seperti E-mail, BBS (Bulletin Board Systems), IRC (Internet Relay Chat), MUD (Multiuser Domains), dan penggunaan World

commit to user

(9)

9

Wide Web memungkinkan seseorang melakukan komunikasi interaktif ke dalam beberapa level atau tataran, seperti one to many, many to one, dan many to many.

4. Synchronity

Seseorang dapat berinteraksi dengan satu orang atau lebih dalam satu waktu.

Artinya, dua orang atau lebih dapat berkomunikasi dalam ruang dan waktu secara bersamaan. Hal inilah yang disebut sebagai synchronous communication, yaitu bentuk komunikasi yang terjadi ketika dua atau lebih partisipan komunikasi berkomunikasi secara real time.

5. Hypertextuality

Secara sederhana, istilah ini diterjemahkan sebagai teks non-linear atau tidak mengalir secara sekuensial. Data, teks, gambar, foto, audio, dan video dapat saling berhubungan satu dengan yang lain dan secara atraktif dapat disajikan secara simultan. Konsep inilah yang menjadi poin penting dalam hypertekstualitas.

2. Media Sosial

Akses terhadap informasi dan komunikasi semakin dipermudah dengan semakin canggihnya teknologi. Saat ini, individu dapat memperoleh informasi dari berbagai belahan dunia dengan cepat dan mudah. Thomas L. Friedman (2007) mengemukakan gagasan mengenai the world is flat yang berarti bahwa dunia semakin rata dan setiap orang bisa mengakses apapun dari sumber manapun.

Richard Hunter (2002) juga menyebutnya dengan world without secrets yang mana kehadiran media baru (new media / cybermedia) menjadikan informasi sebagai sesuatu yang mudah dicari dan terbuka (Nasrullah, 2015),

Pada tahun 2005, O’Reilly memopulerkan istilah Web 2.0 di mana internet bukan lagi menghubungkan individu dengan komputer, namun juga melibatkan individu untuk memublikasikan secara bersama, saling mengolah dan melengkapi data, web sebagai platform atau program yang bisa dikembangkan, sampai pada

commit to user

(10)

10

pengguna dengan jaringan dan alur yang sangat panjang (the long tail) (Nasrullah, 2015).

Fuchs (2014) menjabarkan definisi media sosial menurut beberapa ahli, di antaranya:

1. Menurut Mandibergh (2012), media sosial adalah media yang mewadahi kerja sama di antara pengguna yang menghasilkan konten (user-generated content).

2. Menurut Shirky (2008), media sosial dan perangkat lunak sosial merupakan alat untuk meningkatkan kemampuan pengguna untuk berbagi (to share), bekerja sama (to co-operate) di antara pengguna dan melakukan tindakan secara kolektif yang semuanya berada di luar kerangka institusional maupun organisasi.

3. Boyd (2009) menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain.

Media sosial memiliki kekuatan pada user-generated content (UGC) di mana konten yang dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa.

4. Menurut Van Dijk (2013), media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antarpengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.

5. Meike dan Young (2012) mengartikan kata media sosial sebagai konvergensi antara komunikasi personal dalam arti saling berbagi di antara individu (to be shared one-to-one) dan media publik untuk berbagi kepada siapa saja tanpa ada kekhususan individu.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa media sosial adalah media yang menjembatani komunikasi antarindividu dengan user-generated content melalui jaringan internet.

commit to user

(11)

11

User-generated content menjadi salah satu ciri khas yang hanya dimiliki media sosial. Selain itu, Nasrullah (2015) juga menyebutkan karakteristik media sosial yang tidak dimiliki media lain, di antaranya:

1. Jaringan (network) antarpengguna

Media sosial memberikan medium bagi pengguna untuk terhubung melalui perangkat teknologi, yang pada akhirnya membentuk komunitas atau masyarakat dan kemudian memunculkan nilai-nilai sebagaimana masyarakat sebenarnya, baik secara sadar maupun tidak. Manuel Castells (2002) mengatakan bahwa “the network is the message, and the internet is the messenger”. Dengan adanya media sosial, muncul ikatan sosial di internet, nilai-nilai dalam masyarakat virtual, hingga struktur sosial dalam jaringan.

2. Informasi (information)

Informasi merupakan aspek penting dalam media sosial, bahkan sudah menjadi komoditas. Informasi di media sosil diproduksi dan didistribusikan oleh pengguna, kemudian dikonsumsi oleh pengguna yang lain. Dari kegiatan inilah terbentuk sebuah jaringan. Terdapat dua karakter informasi di media sosial, yaitu:

(1) media sosial bekerja berdasarkan informasi yang menjadikan pengguna dapat saling berinteraksi dan membentuk jaringan; dan (2) informasi menjadi komoditas di media sosial. Untuk membuat akun di media sosial, pengguna harus menyertakan informasi pribadinya yang menjadi representasi diri pengguna. Terbentuknya jaringan antarpengguna, salah satunya disebabkan adanya kesamaan, seperti hobi, domisili, dan sebagainya. Data informasi pengguna bisa juga diperdagangkan untuk keperluan bisnis.

3. Arsip (archive)

Setiap informasi yang ada di media sosial tersimpan dan dapat diakses oleh diri sendiri dan/atau orang lain. Arsip di internet tidak pernah benar-benar tersimpan, ia selalu berada dalam jaringan, terdistribusi sebagai sebuah informasi, dan menjadi mediasi antara manusia-mesin dan sebaliknya (Appadurai, 2003).

Beer menyebut konsekuensi kunci dalam perkembangan (teknologi informasi) commit to user

(12)

12

bahwa kehidupan sehari-hari maupun rutinitas menemukan saluran untuk diarsipkan secara digital sebagai rekaman seseorang dan bagaimana mereka membagikan hari demi hari kehidupannya, terkait dengan preferensi kehidupan personalnya, pandangan politik maupun agama, dan refleksi dari peristiwa yang mereka alami (Beer, 2006).

4. Interaksi (interactivity)

Seperti sudah disebut sebelumnya bahwa jaringan di media sosial terbentuk karena adanya interaksi antarpengguna. Berbeda dengan media massa yang mana khalayaknya cenderung pasif dan anonim, pengguna media sosial dapat saling berinteraksi baik antar pengguna maupun dengan produsen pesan. Media sosial menjadi medium antarpengguna untuk saling berinteraksi.

5. Simulasi sosial (simulation of society)

Media sosial merupakan medium bagi berlangsungnya masyarakat di dunia virtual. Di media sosial, interaksi yang ada memang mirip dengan realitas, tapi sebenarnya interaksi yang terjadi adalah simulasi dan terkadang berbeda sama sekali. Fenomena simulasi sosial menurut Feng (2005) merupakan suatu realitas yang dibangun dari model tanpa referensi, sehingga ilusi, fantasi, maupun citra layar dari komputer maupun smartphone yang terhubung dengan internet saat berkomunikasi menjadi tampak nyata dan menjadi sebuah dunia baru bagi pengguna jejaring, karena mampu menghubungkan antara masyarakat untuk saling mengeksplorasi dan membagikan berbagai aktivitas kesehariannya yang sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukannya sehari-hari (Astuti, 2017).

6. Konten oleh pengguna (user-generated content)

Di media sosial, konten sepenuhnya milik dan berdasarkan kontribusi pengguna atau pemilik akun. User-generated content (UGC) merupakan relasi simbiosis dalam budaya media baru yang memberikan kesempatan dan keleluasaan pengguna untuk berpartisipasi (Lister, Dovey, Giddings, Grant, & Kelly, 2009).

Jenkins (2002) mengatakan bahwa media baru, termasuk media sosial, menawarkan perangkat atau alat serta teknologi baru yang memungkinkan khalayak (konsumen)

commit to user

(13)

13

untuk mengarsipkan, memberi keterangan, menyesuaikan, dan menyirkulasi ulang konten media. Di media sosial, khalayak menjadi produsen, distributor, sekaligus konsumen pesan.

7. Penyebaran (share)

Pengguna media sosial bukan hanya membuat konten, tapi juga membagikan sekaligus mengembangkan konten tersebut. Ada beberapa alasan mengapa sharing merupakan aspek penting di media sosial, antara lain:

- Upaya membagi informasi yang dianggap penting kepada anggota komunitas (media) sosial lainnya.

- Menunjukkan posisi atau keberpihakan khalayak terhadap sebuah isu atau informasi yang disebarkan.

- Konten yang disebarkan merupakan sarana untuk menambah informasi atau data baru lainnya sehingga konten menjadi semakin lengkap (crowdsourcing).

Selain tiga alasan di atas, ada semacam kesadaran bahwa konten yang disebar itu patut atau layak diketahui oleh pengguna lain dengan harapan ada konsekuensi yang muncul, seperti aspek hukum, politik, edukasi masyarakat maupun perbincangan sosial.

Salah satu jenis media sosial yang paling populer adalah jejaring sosial (social networking). Saxena (2014) mengatakan bahwa jejaring sosial memungkinkan anggota untuk berinteraksi satu sama lain. Interaksi terjadi tidak hanya pada pesan teks, tetapi juga termasuk foto dan video yang mungkin menarik perhatian pengguna lain. Semua posting (publikasi) merupakan real time, memungkinkan anggota untuk berbagi informasi seperti apa yang sedang terjadi.

Karakteristik utama dari situs jejaring sosial adalah setiap pengguna membentuk jaringan pertemanan, baik terhadap pengguna yang sudah diketahuinya dan kemungkinan sering bertemu di dunia nyata (offline) maupun membentuk jejaring pertemanan baru.

commit to user

(14)

14 3. Dukungan Sosial Teman Sebaya

Dukungan sosial adalah perasaan sosial yang dibutuhkan terus-menerus dalam interaksi dengan orang lain (Smet, 1994). Gottlieb (1983) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan sosialnya atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya.

Sarafino (1994) menggambarkan dukungan sosial sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain maupun kelompok. Sarason, Levine, Basham & Sarason (1983) berpendapat bahwa dukungan sosial mencakup jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia, hal ini merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan bantuan.

Halim (2019) mengatakan, dukungan sosial teman sebaya adalah adanya kawan atau teman-teman yang menjadi sumber daya yang mampu memberikan kenyamanan baik fisik maupun mental yang didapat dari hasil interaksi remaja dengan teman sebaya sehingga remaja tersebut merasa mendapatkan rasa cinta, kepeculian dan penghargaan yang merupakan bagian dari kelompok sosial.

Dukungan sosial yang diperoleh remaja dari kawan-kawannya dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan apa yang harus dikerjakan oleh remaja, serta dapat pula memberikan timbal balik atas apa yang remaja kerjakan dalam kelompok dan di lingkungan masyarakat. Seseorang yang mempunyai kekerabatan yang dekat dengan orang lain seperti keluarga atau teman akan berusaha meningkatkan kompetensinya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi setiap hari.

Dukungan teman sebaya menurut Hurlock (2000) sangat penting bagi remaja karena remaja memiliki keinginan untuk diterima dalam kelompoknya. Apa yang disampaikan oleh teman atau digunakan teman akan membuat remaja cenderung menirunya.

commit to user

(15)

15

House dalam Sarafino (1994) mengemukakan beberapa bentuk dukungan sosial, antara lain:

a. Dukungan emosional (emotional support)

Dinyatakan dalam bentuk bantuan yang memberikan dukungan untuk memberikan kehangatan dan kasih sayang, memberikan perhatian, percaya terhadap individu serta pengungkapan simpati.

b. Dukungan penghargaan (esteem support)

Dukungan penghargaan dapat diberikan melalui penghargaan atau penilaian yang positif kepada individu, dorongan untuk maju dan semangat atau persetujuan mengenai ide atau pendapat individu serta melakukan perbandingan secara positif terhadap orang lain.

c. Dukungan instrumental (tangible or instrumental support)

Mencakup bantuan langsung seperti memberikan pinjaman uang atau menolong dengan melakukan suatu pekerjaan guna membantu tugas-tugas individu.

d. Dukungan informasi (informational support)

Memberikan informasi, nasihat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang membutuhkan.

e. Dukungan jaringan sosial (network support)

Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan aktivitas sosial. Dukungan jaringan sosial juga disebut sebagai dukungan persahabatan (companionship support) yang merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain, yang memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan.

Weiss dalam Maslihah (2011) mengemukakan enam komponen dukungan sosial yang dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yaitu:

commit to user

(16)

16 1. Instrumental Support

a. Reliable alliance, merupakan pengetahuan yang dimiliki individu bahwa ia dapat mengandalkan bantuan yang nyata ketika dibutuhkan. Individu yang menerima bantuan ini akan merasa tenang karena ia menyadari ada orang yang dapat diandalkan untuk menolongnya bila ia menghadapi masalah dan kesulitan.

b. Guidance (bimbingan) adalah dukungan sosial berupa nasihat dan informasi dari sumber yang dapat dipercaya. Dukungan ini juga dapat berupa pemberian feedback (umpan balik) atas sesuatu yang telah dilakukan individu (Sarafino, 1997).

2. Emotional Support

a. Reassurance of worth ialah dukungan sosial yang berbentuk pengakuan atau penghargaan terhadap kemampuan dan kualitas individu (Cutrona, Cole, Colangelo, Assouline, & Russel, 1994). Dukungan ini akan membuat individu merasa dirinya diterima dan dihargai. Contoh dari dukungan ini misalnya memberikan pujian kepada individu karena telah melakukan sesuatu dengan baik.

b. Attachment, yaitu berupa pengekspresian dari kasih sayang dan cinta yang diterima individu (Cutrona, Cole, Colangelo, Assouline, & Russel, 1994) yang dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerima. Kedekatan dan intimacy merupakan bentuk dari dukungan ini.

c. Social integration yang berbentuk kesamaan minat dan perhatian serta rasa memiliki dalam suatu kelompok (Cutrona, Cole, Colangelo, Assouline, &

Russel, 1994).

d. Opportunity to provide nurturance, berupa perasaan individu bahwa ia dibutuhkan oleh orang lain.

Dukungan sosial menurut Goetlieb (1983) dapat bersumber dari profesional (seperti dokter, konselor, psikiater, psikolog, dan pengacara) maupun non- profesional, misalnya orang-orang terdekat (seperti teman dan keluarga).

commit to user

(17)

17

Myers dalam Hobfoll (1986) menyatakan bahwa terdapat sedikitnya tiga faktor penting yang mendorong seseorang untuk memberikan dukungan yang positif, di antaranya:

1. Empati, yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain.

2. Norma dan nilai sosial, yang berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan.

3. Pertukaran sosial, yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan, dan informasi. Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik ini membuat individu lebih percaya bahwa orang lain akan menyediakan bantuan.

4. Teori S-O-R

Teori S-O-R dikemukakan oleh Hovland (1953) sebagai singkatan dari Stimullus – Organism – Response. Asumsi dasar teori ini adalah bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku bergantung pada kualitas rangsangan (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Menurut teori ini, organisme menghasilkan perilaku tertentu jika ada kondisi stimulus tertentu pula, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan (Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, 2003).

Perilaku organisme (komunikan) dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Faktor reinforcement memegang peranan penting. Pola S-O-R dapat berlangsung secara positif atau negatif. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak.

commit to user

(18)

18

Teori S-O-R dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Gambar 3 Bagan Teori S-O-R

Hovland, Janis dan Kelley menyatakan bahwa dalam menelaah sikap yang baru ada tiga variabel penting, yaitu perhatian, pengertian, dan penerimaan (Mar'at, 1982). Komunikasi yang terjadi dapat berjalan apabila komunikan memberikan perhatian terhadap stimulus yang disampaikan kepadanya sehingga komunikan tersebut memikirkannya kemudian timbul pengertian dan penerimaan atau mungkin sebaliknya. Setelah komunikan mengolah dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap. Perubahan sikap yang dapat terjadi berupa perubahan kognitif, afektif, atau behavioral (Effendy, 2003).

Dalam proses komunikasi, yang dapat menjadi stimulus untuk merangsang komunikan adalah pesan yang diberikan oleh komunikator. Agar pesan komunikasi dapat dimengerti komunikan maka harus ditunjang oleh komunikasi yang efektif pula. Wilbur Schramm dalam Effendy (2007) menyebutkan “the condition of success in communication”, yaitu kondisi yang harus dipenuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki, di antaranya:

1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian komunikan.

2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama mengerti.

3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.

Stimulus

Organisme:

• Perhatian

• Pengertian

• Penerimaan

Respon

commit to user

(19)

19 5. Gangguan Kecemasan

Kecemasan (anxiety) berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku dan “ango”, “anci” yang berarti mencekik (Annisa & Ifdil, 2016). Kecemasan didefinisikan sebagai suatu bentuk reaksi emosional berupa kekhawatiran dan kegelisahan yang timbul oleh penyebab yang tidak spesifik yang berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan, serta menimbulkan perasaan tidak nyaman dan terancam. Keadaan emosi ini biasanya merupakan pengalaman individu yang subyektif yang tidak diketahui secara khusus penyebabnya (Stuart & Laraia, 1998).

Kaplan dan Sadock (Sadock & Sadock, 2011) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif. Menurut Stuart dalam Kaplan dan Sadock (1997), kecemasan dapat terjadi tanpa obyek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui, dan didahului oleh pengalaman baru. Berbeda dengan takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam, cemas merupakan respon emosi terhadap penilaian tersebut.

Kaplan & Sadock (2010) menguraikan tiga kelompok teori kecemasan secara psikologis, yaitu:

1. Teori psikoanalitik

Menurut Sigmund Freud, kecemasan merupakan sinyal adanya ancaman atau bahaya yang tidak disadari individu. Kecemasan atau ansietas dipandang sebagai hasil dari konflik psikis antara keinginan tidak disadari yang besifat seksual atau agresif serta ancaman terhadap hal tersebut datang dari realitas eksternal atau superego. Sebagai respon terhadap sinyal ancaman tersebut, ego memobilisasi suatu mekanisme pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima agar tidak muncul ke kesadaran. Idealnya, penggunaan represi sudah cukup untuk memulihkan keseimbangan psikologis tanpa menyebabkan gejala, karena represi yang efektif dapat menahan dorongan di bawah sadar. Namun jika represi tidak berhasil sebagai pertahanan, mekanisme pertahanan lain (seperti konversi, pengalihan, dan regresi) mungkin menyebabkan pembentukan gejala dan

commit to user

(20)

20

menghasilkan gambaran gangguan neurotik yang klasik, seperti histeria, fobia, neurosis obsesif-kompulsif.

2. Teori perilaku-kognitif

Menurut teori ini, kecemasan adalah respon yang diciptakan berdasarkan adanya stimulus yang spesifik berasal dari lingkungan suatu individu. Kecemasan timbul apabila suatu individu mempersepsikan stimulus tersebut sebagai stimulus yang tidak disukai. Individu pada akhirnya memiliki kebiasaan menghindari stimulus yang tidak disukai tersebut setelah mengalaminya berulang kali. Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap tingkat bahaya dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman.

3. Teori eksistensial

Menurut teori eksistensial, model untuk gangguan kecemasan menyeluruh tanpa adanya stimulus spesifik yang dapat diidentifikasi untuk perasaan cemas.

Konsep pusat teori ini adalah kecemasan merupakan respon individu terhadap rasa kekosongan atau kehampaan yang luas mengenai keberadaan dan arti di dalam hidup.

Stuart (Solomon & Patch, 1974) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan, yaitu:

1. Ansietas ringan

Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari- hari. Pada tingkat ini, individu akan menjadi berhati-hati dan waspada, serta lapang persepsinya akan melebar. Orang yang mengalami ansietas ringan akan terdorong untuk menghasilkan kreativitas.

2. Ansietas sedang

Tingkat ansietas ini memungkinkan lapang persepsi menurun sehingga individu berfokus pada hal yang penting saat itu juga dan mengesampingkan yang lain.

commit to user

(21)

21 3. Ansietas berat

Pada tingkat ini, lapang persepsi menjadi sangat sempit. Individu cenderung memikirkan hal-hal kecil dan mengabaikan hal-hal lain, serta sulit berpikir realistis dan membutuhkan banyak pengarahan untuk memusatkan perhatian pada area lain.

4. Panik

Pada tingkatan panik, lapang persepsi sudah sangat sempit dan individu mengalami gangguan sehingga tidak bisa mengendalikan diri lagi. Individu akan sulit melakukan apapun meskipun sudah diberikan pengarahan.

Tingkat Ansietas Respon Fisiologis Respon Kognitif Respon Perilaku dan Emosi

Ansietas Ringan Sesekali mengalami napas pendek, naiknya tekanan darah dan nadi, muka berkerut, bibir bergetar, dan mengalami gejala pada lambung.

Lapang persepsi melebar, dapat menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan masalah secara efektif.

Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang

meninggi.

Ansietas Sedang Sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gelisah.

Lapang persepsi menyempit,

rangsangan luar sulit diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatian.

Gerakan tersentak- sentak, meremas tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman.

Ansietas Berat Napas pendek dan tekanan darah naik, banyak berkeringat, rasa sakit kepala, penglihatan kabur, dan

Lapang persepsi sangat sempit dan

tidak mampu

menyelesaikan masalah.

Perasaan tidak aman, verbalisasi yang cepat, dan blocking.

commit to user

(22)

22 mengalami

ketegangan.

Panik Napas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi, dan koordinasi motorik sangat rendah.

Lapang persepsi yang sangat pendek sekali dan tidak mampu berpikir logis.

Agitasi, mengamuk dan marah-marah, ketakutan dan berteriak-teriak, blocking, kehilangan kontrol diri dan memiliki persepsi yang kacau.

Tabel 1 Tingkatan Gangguan Kecemasan

F. KERANGKA PIKIR

Gangguan kecemasan merupakan salah satu penyakit mental yang paling banyak diderita terutama oleh remaja. Kecemasan adalah suatu bentuk reaksi emosional berupa kekhawatiran dan kegelisahan yang timbul oleh penyebab yang tidak spesifik yang berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan, serta menimbulkan perasaan tidak nyaman dan terancam. Keadaan emosi ini biasanya merupakan pengalaman individu yang subyektif yang tidak diketahui secara khusus penyebabnya (Stuart & Laraia, 1998). Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau sepertinya datang tanpa ada penyebabnya—

yaitu bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan (Nevid, Rathus,

& Greene, 2005).

Gangguan kecemasan yang timbul tergantung dari bagaimana seseorang berhadapan dengan kehilangan dan bahaya yang mengancam, yang dipengaruhi oleh kebutuhan, keinginan, konsep diri, dukungan keluarga, pengetahuan, kepribadian, dan kedewasaan orang tersebut (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1997).

Oleh sebab itu, hubungan dengan orang lain merupakan salah satu hal yang dapat memengaruhi tingkat gangguan kecemasan seseorang.

commit to user

(23)

23

Dalam teori uses and gratifications, konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana (lewat media mana) mereka menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya.

Dalam penelitian ini, individu memilih menggunakan Instagram untuk berkomunikasi dengan teman-temannya, terutama teman sebaya. Instagram bukan hanya digunakan untuk berhubungan dengan teman, namun juga mencari informasi, mengikuti topik dan idola yang disukai, bergabung dengan komunitas, dan sebagainya. Bukan hanya dampak positif yang dirasakan oleh pengguna, tapi juga dampak negatif. Di Instagram, pengguna telah menyaring hal apa saja yang ingin ditunjukkannya. Pengguna cenderung lebih membagikan hal yang menyenangkan ke Instagram dibandingkan yang tidak menyenangkan. Hal ini terkadang membuat pengguna lain merasa iri karena merasa hidupnya tidak lebih baik dari orang lain karena tidak dapat melakukan hal-hal yang ditunjukkan orang-orang di Instagram.

Survei berjudul #StatusOfMind yang dilaksanakan oleh Royal Society for Public Health – Young Health Movement (RSPH-YHM) mengungkap bahwa Instagram berkaitan erat dengan tingkat kecemasan yang tinggi, depresi, bullying, dan FOMO (fear of missing out—fobia ketinggalan berita di jejaring sosial). FOMO dapat menyebabkan penggunaan media sosial yang berlebihan (RSPH, 2017).

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

commit to user

(24)

24

Gambar 4 Bagan Kerangka Pikir

G. DEFINISI KONSEPTUAL

1. Intensitas Penggunaan Instagram

Boyd (2009) menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada user-generated content (UGC) di mana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa (Nasrullah, 2015).

Weber (2009) juga menyatakan bahwa media tradisional seperti TV, radio, dan koran memfasilitasi komunikasi satu arah sementara media sosial komunikasinya dua arah dengan mengijinkan setiap orang dapat mempublikasikan dan berkontribusi lewat percakapan online (Supradono & Hanum, 2011).

Sedangkan O’Reilly (2005) berpendapat media sosial adalah platform yang mampu memfasilitasi berbagai kegiatan seperti mengintegrasikan situs web, interaksi sosial, dan pembuatan konten berbasis komunitas. Melalui layanan media sosial

Intensitas Penggunaan Instagram - Frekuensi

- Durasi - Perhatian - Penghayatan

Dukungan Sosial Teman Sebaya di Instagram

- Dukungan sosial

- Dukungan penghargaan - Dukungan instrumental - Dukungan informasi - Dukungan jaringan sosial

Tingkat Gangguan Kecemasan - Aspek fisiologis

- Aspek intelektual - Aspek emosional

commit to user

(25)

25

dapat memfasilitasi konten, komunikasi, dan percakapan. Pemakai dapat membuat/co-create, mengatur, mengedit, mengomentari, mentag, mendiskusikan, menggabungkan, mengoneksikan, dan berbagi konten (Nasrullah, 2015).

Instagram adalah sebuah aplikasi mobile di mana pengguna dapat memposting foto maupun video. Pengguna juga dapat membubuhkan keterangan pada foto atau video yang mereka posting (Trifiro, 2018). Instagram berasal dari dua kata: instan dan gram. Instan, karena Instagram seperti kamera polaroid yang pada masanya lebih dikenal dengan sebutan “foto instan”. Instagram juga dapat menampilkan foto-foto secara instan, seperti polaroid di dalam tampilannya.

Sedangkan gram berasal dari kata telegram, di mana cara kerja telegram sendiri adalah untuk mengirimkan informasi kepada orang lain dengan cepat. Sama halnya dengan Instagram yang dapat mengunggah foto dengan menggunakan jaringan internet, sehingga informasi yang ingin disampaikan dapat diterima dengan cepat.

Tujuan umum dari Instagram itu sendiri salah satunya yakni sebagai sarana kegemaran dari masing-masing individu yang ingin mempublikasikan kegiatan, barang, tempat, ataupun dirinya sendiri ke dalam bentuk foto. Hal tersebut menjadi menarik jika dikaitkan dengan konsep eksistensi remaja dalam Instagram, apakah pengguna menggunakan sebagai ajang pamer atau yang lainnya.

Intensitas berasal dari Bahasa Inggris “intensity”, yaitu suatu sifat kuantitatif dari suatu penginderaan, yang berhubungan dengan intensitas perangsangnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, intensitas merupakan tingkatan atau ukuran intensnya. Menurut Anshari dan Kartono (Ruhban, 2013), intensitas adalah kuatnya tingkah laku, pengalaman, kekuatan dengan apa suatu pendapat atau sikap dipertahankan.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa intensitas penggunaan media sosial Instagram adalah tingkatan atau ukuran intensnya seseorang dalam menggunakan media sosial Instagram.

Menurut Del Bario (Laila, 2014), terdapat empat aspek yang diukur dalam intensitas penggunaan media sosial Instagram, di antaranya:

commit to user

(26)

26

a. Frekuensi (frequency), yaitu seberapa sering terjadi pengulangan sikap pada saat membuka dan menggunakan Instagram.

b. Durasi (duration), yaitu berapa lama waktu yang dihabiskan pengguna untuk mengakses Instagram.

c. Perhatian (attention), yang mencakup minat dan tujuan dalam menggunakan Instagram.

d. Penghayatan (comprehension), yang meliputi perasaan ketika menggunakan media sosial Instagram, pemahaman konten dan fitur serta penggunaan fitur Instagram.

2. Dukungan Sosial Teman Sebaya di Instagram

Dukungan sosial teman sebaya adalah adanya kawan atau teman-teman yang menjadi sumber daya yang mampu memberikan kenyamanan baik fisik maupun mental yang didapat dari hasil interaksi remaja dengan teman sebaya sehingga remaja tersebut merasa mendapatkan rasa cinta, kepeculian dan penghargaan yang merupakan bagian dari kelompok sosial. Dukungan sosial yang diperoleh remaja dari kawan-kawannya dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan apa yang harus dikerjakan oleh remaja, serta dapat pula memberikan timbal balik atas apa yang remaja kerjakan dalam kelompok dan di lingkungan masyarakat. Seseorang yang mempunyai kekerabatan yang dekat dengan orang lain seperti keluarga atau teman akan berusaha meningkatkan kompetensinya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi setiap hari (Halim, 2019).

Hurlock (2000) mengatakan, dukungan sosial teman sebaya sangat penting bagi remaja karena remaja memiliki keinginan untuk diterima dalam kelompoknya.

Apa yang disampaikan oleh teman atau digunakan teman akan membuat remaja cenderung menirunya.

commit to user

(27)

27

House dalam Sarafino (1994) mengemukakan beberapa bentuk dukungan sosial, antara lain:

a. Dukungan emosional (emotional support)

Dinyatakan dalam bentuk bantuan yang memberikan dukungan untuk memberikan kehangatan dan kasih sayang, memberikan perhatian, percaya terhadap individu serta pengungkapan simpati.

b. Dukungan penghargaan (esteem support)

Dukungan penghargaan dapat diberikan melalui penghargaan atau penilaian yang positif kepada individu, dorongan untuk maju dan semangat atau persetujuan mengenai ide atau pendapat individu serta melakukan perbandingan secara positif terhadap orang lain.

c. Dukungan instrumental (tangible or instrumental support)

Mencakup bantuan langsung seperti memberikan pinjaman uang atau menolong dengan melakukan suatu pekerjaan guna membantu tugas-tugas individu.

d. Dukungan informasi (informational support)

Memberikan informasi, nasihat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang membutuhkan.

e. Dukungan jaringan sosial (network support)

Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan aktivitas sosial. Dukungan jaringan sosial juga disebut sebagai dukungan persahabatan (companionship support) yang merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain, yang memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan.

Selain secara langsung, dukungan sosial juga dapat diberikan melalui media sosial, salah satunya Instagram. Keduanya memiliki manfaat yang sama, yaitu untuk mendapatkan bantuan ketika seseorang membutuhkan saran, arahan,

commit to user

(28)

28

motivasi, inspirasi hingga kabar terbaru dari teman (Rachmawati & Nurhamida, 2018).

Dengan media yang berbeda, wujud dukungan yang diberikan juga berbeda.

Namun tujuan dan bentuk dari dukungan sosial baik di dunia nyata maupun di dunia maya sama. Seperti yang ditulis oleh Rachmawati & Nurhamida (2018), bahwa tujuan dari dukungan instrumental yaitu mengurangi kecemasan agar individu dapat memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi agar dapat tercapai. Di dunia nyata, dukungan sosial instrumental dapat diwujudkan dengan memberikan bantuan secara langsung. Sedangkan di Instagram, seorang individu dapat memberi dukungan dengan menyebarkan informasi yang penting sesuai dengan yang dibutuhkan oleh penerima dukungan instrumental, sehingga diharapkan lebih menjangkau banyak orang dan orang yang membutuhkan dukungan tersebut lebih cepat menerima bantuan dari orang lain.

Untuk dukungan informatif, dukungan dapat berupa nasehat, sugesti, arahan langsung, dan informasi (Apollo & Cahyadi, 2012). Tidak ada perbedaan signifikan dari wujud dukungan informatif di dunia nyata maupun dunia maya, hanya media yang digunakan berbeda (Rachmawati & Nurhamida, 2018).

Di dunia nyata, dukungan emosional dapat didapatkan dengan bercerita secara langsung ke teman yang dapat dipercaya. Sedangkan dukungan emosional di Instagram dapat diperoleh dengan menunjukkan perasaan individu ke Instagram yang kemudian akan mendapatkan respon yang diharapkan dari teman-temannya.

Dapat juga dengan bercerita kepada teman melalui Direct Message (DM).

Dukungan penghargaan di Instagram dapat berwujud like dan komentar pada postingan yang dibuat oleh individu, balasan pada InstaStory, dan bercakap- cakap melalui DM seperti menanyakan kabar (Rachmawati & Nurhamida, 2018).

Dukungan ini berhubungan dengan eksistensi seseorang di Instagram. Sebagai contoh, individu yang memperoleh banyak like dan komentar pada postingannya akan merasa diakui keberadaannya oleh teman-teman sebayanya. Tidak dapat dipungkiri, manusia membutuhkan pengakuan dari orang-orang di lingkungan

commit to user

(29)

29

sekitarnya (Mahendra, 2017). Terutama bagi remaja, yang mana pengakuan dari teman-teman sebayanya merupakan hal yang penting.

Jika dukungan jaringan sosial di dunia nyata bisa dilakukan dengan terlibat secara langsung di suatu kelompok atau jaringan sosial, di Instagram dukungan jaringan sosial didapatkan dengan mengikuti akun-akun Instagram yang sesuai dengan minat pengguna. Sehingga individu mendapatkan dukungan secara internal berupa motivasi mengenai wawasan yang sesuai dengan minatnya (Rachmawati &

Nurhamida, 2018). Pengguna Instagram juga dapat menggunakan fitur tagar (hashtag) untuk menelusuri konten-konten di Instagram yang sesuai dengan minatnya sehingga ia mendapatkan motivasi dan inspirasi.

3. Tingkat Gangguan Kecemasan

Kecemasan (anxiety) berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku dan “ango”, “anci” yang berarti mencekik (Annisa & Ifdil, 2016). Kecemasan didefinisikan sebagai suatu bentuk reaksi emosional berupa kekhawatiran dan kegelisahan yang timbul oleh penyebab yang tidak spesifik yang berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan, serta menimbulkan perasaan tidak nyaman dan terancam. Keadaan emosi ini biasanya merupakan pengalaman individu yang subyektif yang tidak diketahui secara khusus penyebabnya (Stuart & Laraia, 1998).

Kaplan dan Sadock (Sadock & Sadock, 2011) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif. Menurut Stuart dalam Kaplan dan Sadock (1997), kecemasan dapat terjadi tanpa obyek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui, dan didahului oleh pengalaman baru. Berbeda dengan takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam, cemas merupakan respon emosi terhadap penilaian tersebut.

Menurut Adler dan Rodman (Annisa & Ifdil, 2016), terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu:

a. Pengalaman negatif pada masa lalu

commit to user

(30)

30

Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak, yaitu timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang sama dan juga menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal dalam mengikuti tes.

b. Pikiran yang tidak rasional

Pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu:

- Kegagalan katastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta perasaan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi permasalahannya.

- Kesempurnaan, yaitu ketika individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu menjadikan ukuran kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang dapat memberikan inspirasi.

- Persetujuan.

- Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan. Ini terjadi pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.

Kecemasan menurut Taylor (2003) dapat dilihat dari tiga aspek reaksi, di antaranya:

a. Aspek fisiologis, seperti peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, debar jantung dan napas tidak beraturan, berkeringat dingin, nafsu makan hilang, mudah lelah, sakit kepala, tangan bergetar, gangguan perut atau diare, susah tidur, dan sebagainya.

b. Aspek intelektual, seperti tidak mampu berkonsentrasi, sulit berpikir jernih, tidak mampu memecahkan masalah, dan penurunan perhatian.

c. Aspek emosional, seperti penarikan diri atau mudah merasa malu, mudah tersinggung (sensitif), merasa tidak tenang atau gugup, khawatir, tegang, merasa hancur, merasa tidak bahagia, mudah cemas, kurang sadar diri, kurang percaya diri, dan mudah marah.

commit to user

(31)

31 H. DEFINISI OPERASIONAL

1. Intensitas Penggunaan Instagram

Intensitas penggunaan media sosial Instagram dapat diukur berdasarkan empat aspek, yaitu:

a. Frekuensi (frequency), yaitu seberapa sering terjadi pengulangan sikap pada saat membuka dan menggunakan Instagram. Semakin tinggi frekuensi seseorang mengakses Instagram, maka semakin tinggi pula intensitas pengguna tersebut dalam menggunakan Instagram,

b. Durasi (duration), yaitu berapa lama waktu yang dihabiskan pengguna untuk mengakses Instagram, yang mencakup:

- Waktu yang dihabiskan pengguna untuk mengakses Instagram dalam satu hari. Data tahunan yang dirilis oleh Hootsuite dan #WeAreSocial pada bulan Februari 2020 menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang digunakan oleh orang Indonesia untuk mengakses media sosial adalah 3 jam 26 menit (Hootsuite, 2020), atau jika dibulatkan menjadi 3,5 jam. Sehingga durasi penggunaan media sosial dikatakan tinggi jika melebihi durasi tersebut.

- Waktu yang dihabiskan pengguna untuk mengakses Instagram dalam satu minggu.

c. Perhatian (attention), yang mencakup minat dan tujuan dalam menggunakan Instagram, dengan indikator:

- Perhatian pengguna saat menggunakan Instagram.

- Kepuasan pengguna dalam mengakses atau menggunakan Instagram.

- Hubungan atau komunikasi pengguna dengan sesama pengguna.

- Ketertarikan pengguna untuk menggunakan fitur dalam Instagram.

d. Penghayatan (comprehension), yang meliputi perasaan ketika menggunakan Instagram, pemahanan konten dan fitur serta penggunaan fitur Instagram, dengan indikator:

- Perasaan pengguna saat mengakses atau menggunakan Instagram.

commit to user

(32)

32

- Penghayatan dan pemahanan pengguna terhadap fitur dan konten dalam Instagram.

2. Dukungan Sosial Teman Sebaya di Instagram

Dukungan sosial teman sebaya di Instagram dapat dihitung menggunakan skala Online Social Support Scale (OSSS) yang disusun oleh Elizabeth Nick, dkk (2018) dengan indikator yang berdasarkan pada lima aspek dukungan sosial, yaitu:

1. dukungan emosional 2. dukungan penghargaan 3. dukungan jaringan sosial 4. dukungan informasional 5. dukungan instrumental.

Semakin tinggi nilai yang diperoleh, menujukkan bahwa dukungan sosial teman sebaya yang diterima responden di Instagram juga tinggi. Sebaliknya, semakin rendah nilai yang diperoleh, maka dukungan sosial teman sebaya yang diterima juga rendah.

3. Tingkat Gangguan Kecemasan

Tinggi rendahnya tingkat gangguan kecemasan dapat diketahui dari skor skala kecemasan yang mengacu pada Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS).

Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi tingkat kecemasannya. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh, semakin rendah pula tingkat kecemasannya.

Kecemasan menurut Taylor (2003) dapat dilihat dari tiga aspek reaksi, di antaranya:

a. Aspek fisiologis, seperti peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, debar jantung dan napas tidak beraturan, berkeringat dingin, nafsu makan hilang,

commit to user

(33)

33

mudah lelah, sakit kepala, tangan bergetar, gangguan perut atau diare, susah tidur, dan sebagainya.

b. Aspek intelektual, seperti tidak mampu berkonsentrasi, sulit berpikir jernih, tidak mampu memecahkan masalah, dan penurunan perhatian.

c. Aspek emosional, seperti penarikan diri atau mudah merasa malu, mudah tersinggung (sensitif), merasa tidak tenang atau gugup, khawatir, tegang, merasa hancur, merasa tidak bahagia, mudah cemas, kurang sadar diri, kurang percaya diri, dan mudah marah.

Ketiga aspek kecemasan tersebut dikategorikan dalam pengukuran pada subjek penelitian yang dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

I. METODOLOGI

1. Jenis dan Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kausalitas dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif artinya bahwa semua informasi atau data diwujudkan dalam bentuk angka dan menggunakan analisis statistik. Metode penelitian kuantitatif berfungsi untuk meneliti suatu sampel atau populasi melalui penggunaan instrumen penelitian untuk mengumpulkan data, serta metode statistik dalam menganalisis data dengan tujuan untuk menguji sebuah hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2014).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Masri &

Effendi, 1989).

2. Subjek Penelitian

commit to user

(34)

34

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP UNS sebanyak 373 orang yang terbagi pada program studi Ilmu Komunikasi sebanyak 97 orang, Sosiologi sebanyak 87 orang, Administrasi Negara sebanyak 121 orang, dan Hubungan Internasional sebanyak 68 orang.

3. Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi menurut Rosady Ruslan adalah keseluruhan subjek penelitian yang merupakan wilayahgeneralisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik suatu kesimpulan (Ruslan, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa S-1 Reguler angkatan 2019 FISIP UNS yang berjumlah 373 orang.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek atau fenomena yang akan diamati (Krisyantono, 2007). Sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan Rumus Slovin dengan formula:

𝑛 = 𝑁

1 + 𝑁(𝑒)2 di mana:

n : ukuran sampel N : ukuran populasi

e : Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, dalam penelitian ini 10%

Berdasarkan rumus di atas, dapat dihitung jumlah sampel sebagai berikut:

commit to user

(35)

35

𝑛 = 𝑁

1 + 𝑁(𝑒)2

𝑛 = 373

1 + 373(0,01)

𝑛 = 373

1 + 3,73 𝑛 = 373

4,73 𝑛 = 78,86 𝑛 = 79

Maka jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 79 orang.

4. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan simple random sampling, dengan kriteria awal yaitu:

a. Merupakan mahasiswa S-1 Reguler Angkatan 2019 FISIP UNS;

b. Memiliki akun Instagram.

5. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh peneliti langsung dari subjek atau objek penelitian. Sumber data primer penelitian ini adalah kuesioner.

b. Data Sekunder, adalah data yang didapatkan secara tidak langsung dari objek atau subjek penelitian.

commit to user

(36)

36 6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain:

a. Angket (kuesioner)

Kuesioner merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup, yaitu kuesioner yang telah menyediakan pilihan jawaban untuk dipilih oleh subjek penelitian.

b. Studi pustaka

Pencarian informasi yang berkaitan dengan objek penelitian, yang diperoleh dengan cara mempelajari berbagai literatur, baik buku, artikel, majalah, koran ataupun literatur lainnya yang ada di perpustakaan, juga dari situs-situs internet.

7. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang diperoleh dari lapangan terkumpul, tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengolah data tersebut. Data yang diperoleh dari lapangan akan melalui tahapan sebagai berikut:

1) Editing, yaitu membaca kembali data yang telah terkumpul melalui kuesioner untuk melihat apakah ada hal-hal yang masih meragukan dari jawaban responden. Tujuan dari editing adalah untuk memperbaiki kualitas data dan menghilangkan keraguan data.

2) Koding, yaitu memberi kode pada jawaban-jawaban responden untuk memudahkan dalam menganalisis data.

3) Tabulasi data, yaitu mengolah data dengan memasukkan data ke dalam tabel atau daftar sehingga memudahkan dalam pengamatan dan evaluasi. Hasil tabulasi data ini dapat menjadi gambaran tentang hasil penelitian, karena data-data yang diperoleh dari lapangan sudah tersusun dan terrangkum dalam tabel-tabel yang mudah dipahami maknanya. Selanjutnya peneliti bertugas untuk memberi

commit to user

(37)

37

penjelasan atau keterangan dengan menggunakan kalimat atas data-data yang diperoleh.

4) Analisis data, dengan menggunakan metode statistik tertentu sehingga data penelitian mempunyai arti. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear sederhana dengan menghitung pengaruh variabel Intensitas Penggunaan Instagram terhadap Tingkat Gangguan Kecemasan dan variabel Dukungan Sosial Teman Sebaya di Instagram terhadap Tingkat Gangguan Kecemasan secara parsial.

5) Interpretasi data, merupakan penjelasan terperinci tentang arti sebenarnya dari materi yang dipaparkan agar kesimpulan-kesimpulan penting mudah ditangkap oleh pembaca.

8. Pengujian Instrumen a. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah (Arikunto, 2002).

Tujuan dari uji validitas adalah untuk mengetahui apakah suatu alat sudah benar-benar mengukur apa yang hendak diukur, yang berarti apakah alat ukur tersebut telah memiliki taraf kesesuaian dan ketepatan dalam melakukan suatu penelitian. Validitas alat ukur ini akan diukur dengan menggunakan uji Pearson.

Dalam menentukan validitas setiap item, maka nilai yang diperoleh akan dibandingkan dengan r tabel sebagai berikut:

commit to user

(38)

38

Tabel 2 Daftar r tabel untuk df = N-2

Pada tabel r di atas, nilai df diperoleh dengan rumus N-2 dengan N sebagai jumlah sampel yang diambil untuk uji validitas. Sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 31 orang, sehingga nilai df dalam penelitian ini adalah 29.

Peneliti menggunakan tingkat signifikansi 5%, sehingga r tabel yang digunakan adalah 0,3550. Apabila r hitung yang diperoleh kurang dari 0,3550 makan item pertanyaan dianggap tidak valid.

b. Uji Reliabilitas

commit to user

(39)

39

Reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto, 2006). Reliabilitas berkenaan dengan tingkat keajegan atau ketetapan hasil pengukuran (Sukmadinata, 2009). Tujuan dari pengujian reliabilitas ini adalah untuk menguji apakah kuesioner yang dibagikan kepada responden benar-benar dapat diandalkan sebagai alat ukur. Bila suatu pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukur yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata lain, reliabel menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama.

Untuk pengukuran reliabilitas instrumen, peneliti menggunakan rumus Koefisien Alpha Cronbach. Apabila angka reliabilitas yang diperoleh kurang dari 0,60 maka instrumen penelitian tidak reliabel.

commit to user

Gambar

Gambar 1 Beban Penyakit di Indonesia  commit to user
Gambar 2 10 Besar Penyakit Mental Disorders Penyebab DALYs
Gambar 3 Bagan Teori S-O-R
Tabel 1 Tingkatan Gangguan Kecemasan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan di atas maka yang dimaksud bahwa penelitian ini menggunakan deskriptif analisis adalah memberikan deskripsi secara sistematis mengenai objek

Hubungan Self efficacy, Dan Motivasi Berprestasi Dengan Kecemasan Mahasiswa Yang Sedang Mengerjakan Skripsi. Metode analisis data menggunakan analisis regresi linier

Sumber Data Primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari lapangan yang meliputi keterangan atau data hasil wawancara dengan dengan Hakim di Pengadilan Negeri

Metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode Analisis kualitatif, tahap pertama peneliti melakukan pengumpulan data sekaligus mereduksi data atau memilih data

Dalam penulisan makalah ini, kami menggunakan beberapa metode tang diperoleh dari keterangan lain yang berhubungan dengan morfologi batang dan filotaksis khususnya pada rumput

BAB III METODE PENELITIAN bab ini berisikan tentang pendekatan dan jenis penelitian, unit analisis, tahap-tahap penelitian dan teknik analisis data BAB IV PENYAJIAN DATA DAN

Perencanaan obat di instalasi farmasi Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Bengkulu menggunakan metode konsumsi, dimana metode ini menggunakan data konsumsi obat

Spesifikasi Penelitian Penulisan ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analitis, yaitu analisis deskripsi terhadap hasil penelitian yang diperoleh dari data primer dan