• Tidak ada hasil yang ditemukan

MOTIVASI BELAJAR KETERAMPILAN MENJAHIT REMAJA PUTUS SEKOLAH DI BALAI PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL REMAJA YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MOTIVASI BELAJAR KETERAMPILAN MENJAHIT REMAJA PUTUS SEKOLAH DI BALAI PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL REMAJA YOGYAKARTA."

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

MOTIVASI BELAJAR KETERAMPILAN MENJAHIT REMAJA PUTUS SEKOLAH DI BALAI PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI

SOSIAL REMAJA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi sebagai Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Dwi Murwani NIM 12102241026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

 “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila

engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan

yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap” (Terjemahan

QS. Al-Insyirah, 6-8).

(6)

PERSEMBAHAN

Atas Karunia Allah SWT

Karya ini akan saya persembahan untuk:

1. Ibunda, ayahanda dan adik tercinta yang telah mencurahkan segenap kasih sayangnya dan memanjatkan doa-doa yang mulia untuk keberhasilan penulis dalam menyusun karya ini.

(7)

MOTIVASI BELAJAR KETERAMPILAN MENJAHIT REMAJA PUTUS SEKOLAH DI BALAI PERLINDUNGAN DAN REHABILITASI SOSIAL

REMAJA YOGYAKARTA Oleh

Dwi Murwani NIM 12102241026

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) Motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta, (2) Upaya meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta, (3) Faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian ini adalah remaja putus sekolah, instruktur dan pegawai BPRSR Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti merupakan instrumen utama dalam melakukan penelitian dibantu oleh pedoman observasi, pedoman wawancara dan pedoman dokumentasi. Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan. Teknik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta masih dipengaruhi oleh faktor dari luar diri remaja seperti instruktur, pegawai, fasilitas dan layanan, (2) Upaya meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta dilakukan dengan cara menggairahkan remaja untuk belajar, memberikan harapan yang realistis, memberikan insentif berupa pujian dan hukuman serta pendampingan remaja binaan (3) Faktor intrinsik yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit adalah minat, cita-cita di masa depan, kemampuan IQ dan kondisi psikologis remaja, sedangkan faktor ekstrinsik adalah fasilitas, layanan, pujian dan hukuman, peran instruktur, peran pegawai, dukungan keluarga dan teman bergaul.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Motivasi Belajar Keterampilan Menjahit Remaja Putus Sekolah di

Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Yogyakarta” guna memperoleh gelar

sarjana pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memperkenankan saya dalam menyelesaikan skripsi dan studi saya di Universitas Negeri Yogyakarta. 2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah berkenan mengizinkan saya

dalam menyelesaikan studi dan memberikan kemudahan di dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, yang tiada hentinya memberikan semangat dan doa kepada saya.

4. Bapak Dr. Sujarwo, M. Pd. selaku dosen pembimbing dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini yang telah memberikan arahan-arahan dan kesabaran dalam membimbing saya.

(9)
(10)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Motivasi belajar... 11

1. Pengertian Motivasi Belajar ... 11

2. Teori tentang Motivasi ... 14

3. Jenis-Jenis Motivasi ... 17

4. Fungsi Motivasi dalam Belajar ... 18

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar... 19

(11)

B. Keterampilan Menjahit... 27

C. Remaja Putus Sekolah ... 30

1. Pengertian Remaja ... 30

2. Batas Usia Remaja ... 31

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 33

4. Remaja Putus Sekolah... 37

E. Penelitian Relevan ... 38

F. Kerangka Berpikir ... 40

G. Pertanyaan Peneliti... 42

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian... 44

B. Waktu dan Tempat Penelitian... 45

C. Subyek Penelitian ... 45

D. Teknik Pengumpulan Data ... 46

E. Instrumen Penelitian ... 48

F. Teknik Analisis Data ... 49

G. Keabsahan Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja ... 54

1. Sejarah BPRSR Yogyakarta... 54

2. Visi, Misi, Tujuan dan Tugas Pokok... 55

3. Struktur Organisasi dan SDM ... 57

4. Sasaran ... 58

5. Tahapan Pelayanan... 59

6. Sarana dan Prasarana... 67

7. Sumber Dana... 68

8. Jaringan Kerjasama ... 68

B. Hasil Penelitian... 69

(12)

Remaja Putus Sekolah di BPRSR Yogyakarta ... 92

3. Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Keterampilan Remaja Putus Sekolah di BPRSR Yogyakarta... 103

C. Pembahasan ... 111

1. Motivasi Belajar Keterampilan Menjahit Remaja Putus Sekolah di BPRSR Yogyakarta... 111

2. Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Keterampilan Menjahit Remaja Putus Sekolah di BPRSR Yogyakarta ... 119

3. Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Keterampilan Remaja Putus Sekolah di BPRSR Yogyakarta... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 133

B. Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135

(13)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Jumlah Anak Putus Sekolah di DIY ... 2

Tabel 2. Indikator Motivasi Belajar ... 27

Tabel 3. Teknik Pengumpulan Data ... 48

Tabel 4. Data Kelompok Sasaran Periode Februari 2016 ... 59

Tabel 5. Sarana dan Prasarana BPRSR Yogyakarta ... 67

Tabel 6. Sarana dan Prasarana Keterampilan Menjahit ... 68

(14)

DAFTAR GAMBAR

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ... 138

Lampiran 2. Catatan Lapangan. ... 143

Lampiran 3. Catatan Wawancara ... 157

Lampiran 4. Reduksi,Displaydan Kesimpulan ... 181

Lampiran 5. Data Remaja, Instruktur dan Pegawai BPRSR... 194

Lampiran 6. Dokumentasi... 196

(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Remaja sebagai generasi penerus bangsa merupakan aset masa depan dalam pelaksanaan pembangunan. Remaja akan mengisi berbagai posisi dalam masyarakat serta meneruskan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara di masa depan. Remaja perlu disiapkan melalui upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. UU No 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar warga belajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, remaja perlu disiapkan melalui pendidikan sehingga dapat mendukung pelaksanaan pembangunan bangsa.

(17)

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2013: 128) mencatat jumlah anak putus sekolah menurut jenjang sekolah dan kabupaten atau kota di DIY. Jumlah anak putus sekolah SD/MI di DIY pada tahun 2012/2013 sebesar 214 anak, SMP/MTS sebesar 231 anak dan SMA/SMK/MA sebesar 715 anak. Jadi jumlah total anak putus sekolah di DIY sebanyak 1.160 anak dengan persebaran Kabupaten Kulon Progo sebanyak 131 anak, Kabupaten Bantul sebanyak 332 anak, Kabupaten Gunung Kidul sebanyak 354 anak, Kabupaten Sleman sebanyak 164 anak dan Kota Yogyakarta sebanyak 179 anak. Data dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Jumlah Anak Putus Sekolah menurut Jenjang Sekolah dan Kabupaten atau Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012/2013 Tingkat

Jumlah Total 131 332 354 164 179 1.160

Sumber: Dinas Pendidikan D.I Yogyakarta

(18)

Menurut Lutfi Wibawa (2010: 26), remaja yang mengalami putus sekolah berada pada kondisi yang rentan terhadap depresi dan perilaku-perilaku negatif yang disebabkan karena putus sekolah dan kehilangan keseimbangan dalam berpikir. Remaja putus sekolah berpikir semua telah berakhir pada saat itu, tidak ada harapan lagi, semuanya dipandang serba salah, tidak ada yang mau mengerti dan memahami, serta menganggap dunia tidak lagi berpihak padanya. Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan bila tidak dicari pemecahan dan penanggulangannya, padahal angka putus sekolah di DIY masih tinggi, sementara itu pendidikan nonformal belum menjadi pilihan utama sebagai pengganti pendidikan formal.

Remaja putus sekolah secara individu sama dengan remaja lainnya yang mempunyai keinginan, harapan, kebutuhan dan potensi, tetapi karena sebab baik dari dalam diri maupun dari luar dirinya tidak dapat melanjutkan sekolah formal (Isep Sepriyan, 2001: 1). Remaja putus sekolah perlu kesadaran baru bahwa kehidupan tidak hanya ditentukan oleh berhasilnya seseorang dalam pendidikan formal. Remaja putus sekolah seharusnya memutuskan kembali jalan kehidupan yang akan dilalui seperti halnya masuk dalam pendidikan nonformal contohnya belajar keterampilan, pendidikan kesetaraan dan berwirausaha. Pelaksanaan pola pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan remaja, mendorong terciptanya kondisi yang memungkinkan meningkatkan motivasi belajar remaja.

(19)

Andriani, 2014: 2). Minimnya keterampilan yang dimiliki remaja putus sekolah, menjadi permasalahan yang harus diatasi. Cara mengatasi permasalahan tersebut dengan memberikan pelatihan keterampilan bagi remaja putus sekolah. Pelatihan keterampilan bermaksud untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan serta keterampilan kerja sebagai bekal untuk kehidupan dan penghidupan di masa depan.

Remaja pada umumnya memiliki motivasi belajar tinggi dan kadang rendah tergantung kondisi remaja, apa lagi remaja yang putus sekolah. Remaja putus sekolah cenderung bersifat pesimis, minder, rendah diri sehingga motivasi belajarnya rendah karena kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar. Motivasi diartikan sebagai kekuatan atau energi seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri yaitu motivasi intrinsik maupun dari luar individu yaitu motivasi ekstrinsik (Kompri, 2015: 3).

(20)

Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Yogyakarta adalah lembaga yang berada di bawah naungan dinas sosial yang memberikan layanan kepada remaja yang mengalami putus sekolah atau remaja terlantar akibat korban broken home, kekerasan dalam rumah tangga, pelaku tindakan kriminal dan kemiskinan. Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mempersiapkan dan membantu remaja putus sekolah atau remaja terlantar dengan memberikan kesempatan dan kemudahan agar dapat mengembangkan potensi dirinya, baik jasmani, rohani dan sosialnya. Selain itu BPRSR juga berupaya untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan serta keterampilan kerja sebagai bekal untuk kehidupan dan penghidupannya di masa yang akan datang.

Selama di BPRSR, remaja mendapatkan fasilitas dan bimbingan. Fasilitas tersebut berupa perawatan kesehatan, pakaian seragam, makanan, sarana pendidikan, pelatihan keterampilan, tutorial, bimbingan mental, keagamaan dan etika budi pekerti serta bantuan sarana asrama. Bimbingan yang diselenggarakan di BPRSR Yogyakarta terdiri dari empat bimbingan yaitu bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan sosial dan pelatihan keterampilan. Bimbingan fisik berupa olah raga dan pemeriksaan kesehatan. Bimbingan mental berupa agama, konseling psikologi, ESQ dan kedisiplinan. Bimbingan sosial berupa motivasi kelompok, etika budi pekerti, pembinaan generasi muda, out bond dan relaksasi. Sedangkan Pelatihan keterampilan berupa keterampilan tata rias/ salon, menjahit dan bordir, montir sepeda motor, tukang las dan pertukangan kayu.

(21)

kemampuan di tengah-tengah perkembangan tuntutan dan kebutuhan nyata setiap saat. Pelatihan keterampilan bermaksud untuk mengembangkan kemampuan remaja putus sekolah agar memiliki peluang sehingga dapat bersaing dengan remaja yang menempuh pendidikan formal. Pelatihan keterampilan dilaksanakan lima kali dalam seminggu yaitu setiap hari Senin sampai Kamis dan hari Sabtu jam 09.00 sampai 11.30 WIB. Setelah lulus remaja akan mendapatkan sertifikat yang nantinya dapat digunakan untuk bekerja.

Metode pembelajaran yang digunakan adalah ceramah, praktek dan magang atau praktek kerja lapangan. Umumnya metode yang sering digunakan adalah praktek karena remaja lebih tertarik dan mudah dipahami. BPRSR Yogyakarta sudah menyediakan sarana, prasarana dan media yang diperlukan dalam pelatihan keterampilan sehingga remaja dapat memanfaatkannya untuk memperlancar kegiatan pembelajaran. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pelatihan keterampilan sudah disediakan oleh BPRSR Yogyakarta. Sumber belajar berasal dari instruktur dan modul pembelajaran. Instruktur pelatihan keterampilan berasal dari ahli keterampilan tertentu yang diambil dari luar seperti BLK dan praktisi.

(22)

Remaja putus sekolah yang mengikuti pelatihan keterampilan perlu memiliki motivasi belajar yang tinggi agar hasilnya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Remaja putus sekolah termasuk penyandang masalah sosial sehingga memiliki motivasi belajar rendah karena pengalaman di masa lalu. Remaja perlu mendapatkan pelayanan khusus untuk dapat meningkatkan motivasi belajarnya. Motivasi berfungsi mendorong, menggerakkan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas warga belajar dalam belajar sehingga mencapai hasil yang maksimal. Upaya meningkatkan motivasi dapat berasal dari diri sendiri, keluarga, instruktur dan lingkungan sekitar.

Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam permasalahan tersebut, maka penulis mengambil judul penelitian “Motivasi Belajar Keterampilan Menjahit Remaja Putus Sekolah di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :

1. Pada tahun 2012/2013 masih terdapat 943 remaja putus sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta

2. Remaja putus sekolah cenderung belum memiliki kesadaran bahwa keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh keberhasilan dalam pendidikan formal.

(23)

4. Remaja putus sekolah cenderung bersifat pesimis, minder, rendah diri karena cap negatif dari lingkungan sekitar sehingga motivasi belajarnya rendah. Remaja memiliki motivasi belajar yang rendah karena pengalaman di masa lalu seperti putus sekolah akibat kemiskinan, broken home, kemampuan rendah dan remaja bermasalah dengan hukum.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang diperoleh, masalah dalam penelitian ini dibatasi pada rendahnya motivasi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Yogyakarta karena remaja cenderung bersifat pesimis, minder, rendah diri karena cap negatif dari lingkungan sekitar akibat pengalaman di masa lalu seperti putus sekolah karena kemiskinan, broken home, kemampuan rendah dan bermasalah dengan hukum. Penelitian ini berjudul “Motivasi Belajar Keterampilan Menjahit Remaja Putus Sekolah di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Yogyakarta”. Peneliti berharap dengan

adanya pembatasan masalah tersebut, peneliti dapat menyusun sebuah penelitian yang sesuai dengan tujuan yang direncanakan.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut peneliti dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :

(24)

2. Apa saja upaya meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta?

3. Apa faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta.

2. Upaya meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta.

3. Faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Remaja Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dibagi ke dalam dua bagian yaitu : 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi kajian dan rujukan akademis serta menambah wawasan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti tentang motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah.

2. Manfaat praktis a. Bagi Peneliti

(25)

2) Memperoleh pengalaman nyata dan mengetahui secara langsung situasi dan kondisi yang nantinya akan jadi bidang garapannya.

b. Bagi Lembaga BPRSR

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi BPRSR Yogyakarta dalam meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah.

c. Bagi Instruktur

Hasil penelitian ini sebagai bahan serta masukan dalam memberikan motivasi belajar keterampilan bagi remaja putus sekolah.

d. Bagi Masyarakat

(26)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Motivasi Belajar

1. Pengertian Motivasi Belajar

Setiap individu memiliki kondisi internal yang berperan dalam aktifitas sehari-hari, salah satu kondisi internal yaitu motivasi. Motivasi didefinisikan sebagai energi yang menggerakkan dan terdapat pada setiap diri manusia (Yuli Fajar Susetyo, 2012: 77). Menurut Mc. Donald dalam Sardiman (2007: 73) menjelaskan bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan

terhadap adanya tujuan. Motivasi menurut Kompri (2015: 4) merupakan suatu dorongan dari dalam individu untuk melakukan suatu tindakan dengan cara tertentu sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Lebih lanjut Nyayu Khodijah (2014: 150) mendefinisikan motivasi sebagai suatu pendorong yang mengubah energi di dalam diri seseorang ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Sondang P Siagian (2004: 138) mendefinisikan motivasi sebagai berikut:

“Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerakan kemampuan, dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya”

(27)

dalam individu maupun dari luar individu untuk melakukan suatu tindakan dengan cara tertentu sesuai dengan tujuan yang direncanakan.

Belajar merupakan kebutuhan setiap manusia. Menurut Passer dalam Eva Latipah (2012: 69) belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai akibat dari adanya latihan. Pendapat tersebut didukung oleh Sugihartono (2012: 74) yang menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Hamzah B. Uno (2014: 22) memaparkan bahwa belajar merupakan suatu pengalaman yang diperoleh berkat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya.

(28)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman sehingga terjadi perubahan perilaku yang terjadi secara sadar, bersifat kontinu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bersifat permanen, bertujuan atau terarah serta mencakup seluruh aspek tingkah laku akibat adanya latihan dan interaksi individu dengan lingkungan.

Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar (Nyayu Khodijah, 2014: 151). Motivasi belajar merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri yang menimbulkan kegiatan-kegiatan belajar dan menjamin kelangsungan kegiatan-kegiatan belajar sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai (Sardiman, 2007: 75). Hakikat motivasi belajar menurut Hamzah B. Uno (2014: 23) adalah dorongan internal dan eksternal pada warga belajar yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku.

(29)

2. Teori tentang Motivasi

Teori motivasi menurut beberapa ahli sebagai berikut: a. Hierarki Kebutuhan Maslow

Hierarki kebutuhan maslow dalam Hamzah B. Uno (2014: 41-42) didasarkan pada anggapan bahwa jika telah memuaskan satu tingkat kebutuhan tertentu, maka akan bergeser pada tingkat yang lebih tinggi. Maslow mengemukakan lima tingkat kebutuhan yaitu: 1) kebutuhan fisiologis yakni kebutuhan yang harus dipuaskan untuk dapat tetap hidup, termasuk makanan, perumahan, pakaian, udara untuk bernapas dan sebagainya; 2) kebutuhan akan rasa aman yakni kebutuhan keselamatan sehingga merasa aman dari setiap jenis ancaman fisik, kehilangan atau merasa terjamin; 3) kebutuhan akan cinta kasih atau kebutuhan sosial yakni didasari melalui hubungan-hubungan antar pribadi yang mendalam, tetapi juga yang dicerminkan dalam kebutuhan untuk menjadi bagian berbagai kelompok sosial; 4) kebutuhan akan penghargaan yakni memiliki pekerjaan yang dapat diakui sebagai bermanfaat, menyediakan sesuatu yang dapat dicapai, serta pengakuan umum dan kehormatan di dunia luar; 5) kebutuhan aktualisasi diri yakni berkaitan dengan keinginan pemenuhan diri untuk mencapai secara penuh potensinya.

b. Teori Imbalan dengan Prestasi

Motivasi menurut Herzberg dalam Kompri (2015: 15) yang dikenal dengan “Model Dua Faktor” dari motivasi yaitu faktor motivasional dan

(30)

adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang bersifat intrinsik yang bersumber dalam diri seseorang, sedangkan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor ekstrinsik yang bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku dalam kehidupan seseorang.

c. Teori Kebutuhan McClelland

Teori kebutuhan McClelland yang dikembangkan oleh David McClelland dalam Kompri (2015: 13) berfokus pada tiga kebutuhan yaitu:

a. Kebutuhan berprestasi adalah dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.

b. Kebutuhan berkuasa adalah kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya.

c. Kebutuhan berafiliasi adalah keinginan untuk menjalin suatu hubungan antar personal yang ramah dan akrab.

Teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement

(31)

McClelland menjelaskan bahwa setiap individu memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Dorongan nAch yaitu kebutuhan akan pencapaian mengarahkan individu untuk berjuang lebih keras untuk memperoleh pencapaian pribadi ketimbang memperoleh penghargaan (Kompri, 2015: 13). Hal ini menyebabkan melakukan sesuatu yang lebih efisien dibanding sebelumnya. Kebutuhan kekuatan nPow merupakan keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi yang berpengaruh dan mengendalikan orang lain (Kompri, 2015: 14). Kebutuhan nAff adalah kebutuhan untuk memperoleh hubungan sosial yang baik dalam lingkungan kerja yang ditandai dengan motif yang tinggi untuk persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif dan menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan tingkat mutual yang tinggi (Kompri, 2015: 14).

(32)

3. Jenis-Jenis Motivasi

Jenis motivasi menurut Sardiman (2007: 89) ada dua yaitu: a. Motivasi intrinsik

Menurut Sardiman (2007: 89) motivasi intrinsik menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan melakukan sesuatu. Bentuk motivasi yang di dalam aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajarnya (Sardiman, 2007: 90).

b. Motivasi ekstrinsik

Menurut Sardiman (2007: 91) motivasi ekstrinsik aktif dan berfungsinya karena adanya perangsangan dari luar. Bentuk motivasi yang di dalam aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar (Sardiman, 2007: 91).

Jenis-jenis motivasi menurut Sumadi Suryabrata (2011: 72-73) dibedakan menjadi dua yakni motif intrinsik dan motif ekstrinsik.

(33)

b. Motif ekstrinsik yaitu motif-motif yang berfungsinya karena adanya perangsangan dari luar. Motif ekstrinsik dapat berasal dari keluarga, instruktur, lingkungan sekitar, teman sebaya. Misalnya orang yang giat karena diberi tahu bahwa sebentar lagi akan ada ujian, orang membaca sesuatu karena diberi tahu bahwa hal itu harus dilakukannya sebelum melamar pekerjaan dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi terdiri dari dua jenis yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik yaitu motif-motif yang berfungsinya karena adanya perangsangan dari luar.

4. Fungsi Motivasi dalam Belajar

Motivasi membuat hasil belajar menjadi optimal. RBS Fudyartanto dalam Purwo Atmo Prawira (2013: 320-322) menuliskan fungsi motivasi adalah mengarahkan dan mengatur tingkah laku individu, penyeleksi tingkah laku individu serta memberi energi dan menahan tingkah laku individu. Sedangkan menurut Ishak Arep dan Hendri Tanjung (2004: 16) motivasi berfungsi menciptakan gairah kerja sehingga produktifitas kerja meningkat.

Menurut Hamalik (2006: 161), pada dasarnya motivasi mendorong timbulnya kekuatan dan mempengaruhi serta mengubah kelakuan. Fungsi motivasi meliputi :

(34)

b. Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan

c. Motivasi berfungsi sebagai penggerak. Motivasi berfungsi sebagai mesin bagi mobil. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.

Menurut Sardiman (2007: 85), ada tiga fungsi motivasi yaitu sebagai berikut:

a. Mendorong manusia untuk berbuat. Motivasi merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

b. Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan.

c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berfungsi mendorong manusia untuk berbuat, menentukan arah perbuatan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki serta sebagai penggerak untuk melakukan sesuatu yang telah diseleksi.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar menurut Purwanto dalam Prasetyo Handrianto (2012) sebagai berikut:

(35)

Minat adalah ketertarikan individu terhadap sesuatu, di mana minat belajar yang tinggi akan menyebabkan belajar menjadi lebih mudah dan cepat. Minat berfungsi sebagai daya penggerak yang mengarahkan seseorang melakukan kegiatan tertentu yang sepesifik. Kegiatan atas dasar keterpaksaan bukan minat, maka tidak akan tercipta motivasi belajar sehingga hasil yang didapat tidak optimal meskipun cara belajar sudah efektif.

2) Cita-cita

Cita-cita untuk menjadi seseorang (gambaran ideal) akan memperkuat semangat belajar. Seseorang dengan kemauan besar serta didukung oleh cita-cita yang sesuai maka akan menimbulkan semangat dan dorongan untuk bisa meraih apa yang diinginkan.

3) Kondisi warga belajar

(36)

b. Faktor ekstrinsik

1) Kecemasan terhadap hukuman

Motivasi ekstrinsik berkenaan dengan intensif eksternal seperti penghargaan dan hukuman. Motivasi belajar muncul jika ada kecemasan atau hukuman yang menyertai pembelajaran. Konsep motivasi belajar berkaitan dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang terkena hukuman (punishment).

2) Pujian

Pujian menimbulkan efek diantaranya mengalihkan konsentrasi warga belajar dalam proses pembelajaran pada bidang yang harus dipelajari karena faktor penghargaan. Penghargaan mempunyai efek negatif atas keinginan individu untuk mencoba tugas-tugas yang menantang dan penghargaan dapat mempertahankan perilaku tertentu hanya dalam jangka waktu pendek.

3) Peran orang tua

Lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar. Perjumpaan dan interaksi sangat besar pengaruhnya bagi perilaku dan prestasi seseorang.

4) Peran instruktur

(37)

belajar lewat penyajian pembelajaran, sanksi-sanksi dan hubungan pribadi remaja.

5) Kondisi lingkungan

Lingkungan sekitar berupa keadaan alam, tempat tinggal, pergaulan sebaya dan lingkungan sekitar. Karakteristik lingkungan belajar, keterjangkauan dan ketersediaan SDM dapat mempengaruhi motivasi belajar. Lingkungan yang aman, nyaman dan bisa disesuaikan sendiri dapat menumbuhkan dorongan untuk belajar.

Menurut Dimyati dan Mudjiyono (2011: 97-99) unsur-unsur yang mempengaruhi motivasi dalam belajar sebagai berikut:

a. Cita-cita dan aspirasi

Cita-cita akan memperkuat motivasi belajar baik intrinsik maupun ekstrinsik, sebab tercapainya cita-cita akan mewujudkan aktualisasi diri. b. Kemampuan warga belajar

Keinginan seseorang perlu diikuti dengan kemampuan atau kecakapan dalam pencapaian tujuan belajar. Kemampuan akan memperkuat motivasi untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan.

c. Kondisi warga belajar

(38)

d. Kondisi lingkungan warga belajar

Lingkungan dapat berupa keadaan alam, lingkungan tempat tinggal, pergaulan sebaya dan kehidupan bermasyarakat. Kondisi lingkungan belajar yang sehat, lingkungan yang aman, tentram, tertib, indah akan meningkatkan semangat motivasi belajar yang lebih kuat bagi warga belajar.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari minat, cita-cita dan kondisi warga belajar. Faktor ekstrinsik yaitu kecemasan terhadap hukuman, penghargaan dan pujian, peran orang tua, peran instruktur dan kondisi lingkungan.

6. Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar

Menurut De Decce dan Grawford dalam Kompri (2015: 243) ada empat cara pemeliharaan dan peningkatan motivasi belajar warga belajar, yaitu: a. Menggairahkan warga belajar artinya instruktur harus menghindari hal-hal

yang monoton dan membosankan dalam pembelajaran.

b. Memberikan harapan realistis artinya instruktur harus memelihara harapan warga belajar yang realistis dan memodifikasi harapan-harapan yang kurang atau tidak realistis.

(39)

warga belajar untuk melakukan usaha lebih untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.

d. Mengarahkan perilaku warga belajar artinya instruktur harus memberikan respon terhadap warga belajar yang tidak terlibat secara langsung dalam pembelajaran agar berpartisipasi aktif.

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (2011: 101-108) sebagai berikut:

a. Optimalisasi prinsip belajar

Untuk dapat membelajarkan atau mengajarkan bahan pelajaran, instruktur harus menguasai materi dengan baik. Upaya pembelajaran terkait dengan prinsip belajar, antara lain menjelaskan tujuan belajar secara hirarkis, peletakan ukuran masalah yang menantang harus disusun dengan baik, membantu pembelajaran dalam pengajaran unit atau proyek dan memberikan kriteria keberhasilan atau kegagalan belajar.

b. Unsur dinamis belajar dan pembelajaran

Instruktur adalah pendidik dan pembimbing belajar. Instruktur lebih memahami keterbatasan waktu bagi warga belajar. Oleh karena itu instruktur dapat mengupayakan optimalisasi unsur-unsur dinamis yang ada dalam diri warga belajar dan yang ada di lingkungan warga belajar.

c. Unsur pemanfaatan pengalaman dan kemampuan warga belajar

(40)

menentukan cara memecahkan hal-hal yang sukar dan menghargai pengalaman dan kemampuan warga belajar agar bekerja secara mandiri. d. Pengembangan cita-cita dan apresiasi belajar

Upaya pengembangan cita-cita dan apresiasi belajar warga belajar dapat dilakukan dengan cara menciptakan suasana belajar yang menggembirakan, mengikutsertakan semua warga belajar dalam pemeliharaan fasilitas belajar dan bekerjasama dengan instruktur lain.

Menurut Wina Sanjaya dalam Kompri (2015: 253-255), ada beberapa petunjuk yang dapat dilakukan instruktur dalam rangka meningkatkan motivasi belajar warga belajar.

a. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai b. Membangkitkan minat warga belajar

c. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar

d. Berilah pujian yang wajar terhadap keberhasilan warga belajar e. Berikan penilaian

f. Berikan komentar terhadap hasil pekerjaan warga belajar g. Ciptakan persaingan dan kerjasama

h. Memberikan hukuman

(41)

perilaku remaja untuk aktif dalam pembelajaran agar dapat mencapai harapan atau cita-cita yang diinginkan.

7. Indikator Motivasi Belajar

Motivasi berada di dalam diri seseorang, sehingga keberadaanya merupakan suatu substansi yang tidak dapat diamati secara langsung. Motivasi dapat diteliti dengan mengidentifikasi indikator-indikator dalam term-term tertentu. Menurut Kompri (2015: 247-248) ada sejumlah indikator untuk mengetahui warga belajar yang memiliki motivasi belajar dan memiliki motivasi belajar yang rendah dalam proses pembelajaran. Indikator untuk mengetahui warga belajar yang memiliki motivasi belajar adalah:

“a) memiliki gairah yang tinggi; b) penuh semangat; c) memiliki rasa penasaran atau rasa ingin tahu yang tinggi; d) mampu jalan sendiri ketika tutor meminta warga belajar mengerjakan sesuatu; e) memiliki rasa percaya diri; f) memiliki daya konsentrasi yang lebih tinggi; g) kesulitan dianggap sebagai tantangan yang harus dihadapi; h) memiliki kesabaran dan daya juang yang tinggi”

Indikator warga belajar yang memiliki motivasi belajar yang rendah sebagai berikut:

“a) perhatian terhadap materi pelajaran kurang; b) semangat juang rendah; c) mengerjakan sesuatu merasa seperti diminta membawa beban berat; d) sulit untuk jalan sendiri ketika diberi tugas; e) memiliki ketergantungan kepada orang lain; f) warga belajar bisa berjalan kalau sudah dipaksa; g) daya konsentrasi kurang meskipun secara fisik berada di kelas namun pikirannya di luar kelas; h) cenderung menjadi pembuat kegaduhan serta mudah berkeluh kesah dan pesimis ketika menghadapi kesulitan”

(42)

belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan warga belajar dapat belajar dengan baik. Adapun indikator motivasi belajar menurut Hamzah B. Uno dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. Indikator Motivasi Belajar

No Aspek Indikator

1 Intrinsik a. Tanggung jawab warga belajar dalam mengerjakan tugas b. Adanya hasrat untuk mendalami materi pelajaran

c. Kesenangan dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran

d. Adanya harapan untuk berprestasi dan keberhasilan di masa depan

2 Ekstrinsik a. Belajar hanya untuk menghindari hukuman dari orang tua atau instruktur

b. Belajar karena mengharapkan hadiah yang dijanjikan tutor atau orangtua

c. Belajar untuk mengungguli orang lain karena gengsi d. Belajar karena tertarik pada kegiatan pembelajaran yang

dilakukan instruktur

Berdasarkan indikator-indikator motivasi di atas, dapat dirumuskan bahwa dalam penelitian ini menggunakan indikator yang dibuat oleh Hamzah B. Uno. Indikator motivasi belajar adalah adanya hasrat dan keinginan berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan belajar, adanya harapan dan cita-cita masa depan, adanya penghargaan dalam belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan warga belajar dapat belajar dengan baik.

B. Keterampilan Menjahit

(43)

(Sudaresti dan Yoyon Suryono, 2015: 68). Keterampilan adalah gambaran kemampuan motorik seseorang yang ditunjukkan melalui penguasaan suatu gerakan (Heri Rahyubi, 2012: 211). Pendapat tersebut didukung oleh Muhibbin Syah (2011: 126) bahwa belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot dengan tujuan memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Sedangkan menurut Anwar (2006:8-9), keterampilan merupakan salah satu potensi dan tujuan asasi manusia yang kualitasnya dipengaruhi oleh faktor eksternal dalam bentuk rekayasa sistematis untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keterampilannya serta memanfaatkan segenap potensi dirinya untuk memperlihatkan eksistensi dirinya terhadap orang lain. Menurut Hasanah (2011: 94) menjahit merupakan proses menyatukan dua helai kain menjadi satu dengan menggunakan tusuk-tusuk.

(44)

adalah masukan mentah (raw input), masukan instrumental (instrumental input), masukan lingkungan (environmental input), proses keluaran (output) dan dampak (impact) (Fauzia, 2011: 20).

Fits yang dikutip Klausmeier dalam Hamzah B. Uno (2014: 18), mengidentifikasi tiga tahap dalam belajar keterampilan:

1. Tahap kognitif, biasanya berlangsung relatif singkat. Pada tahap ini, pembelajaran mengkaji dan memikirkan bagaimana melakukan keterampilan. Selama tahap ini, program gerak (yang ada dalam petunjuk atau manual) dipelajari.

2. Tahap intermedietet tahap pengorganisasian. Pada tahap ini, operasi

reseptor-efektor-umpan balik, menjadi terorganisasi. Semakin sedikit

perhatian yang diberikan pada gerakan-gerakan tertentu.

3. Tahap penyempurnaan. Pada tahap ini, gerakan-gerakan spesifik menjadi semakin lancar dan kurang mendapat perhatian, kontrol terhadap gerakan-gerakan spesifik juga semakin berkurang, kontrol justru diberikan kepada gerakan secara keseluruhan. Dengan kata lain, keterampilan menjadi semakin otomatis untuk dilakukan.

(45)

terorganisir, sistematis dalam waktu yang relatif singkat melalui kegiatan pelatihan. Tahap belajar keterampilan adalah tahap kognitif, tahap pengorganisasian dan tahap penyempurnaan.

C. Remaja Putus sekolah 1. Pengertian Remaja

Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial (Agoes Dariyo, 2004: 13). Secara kronologis yang tergolong remaja berkisar antara usia 12/13-21 tahun. Menurut Erikson (Agoes Dariyo, 2004: 14) untuk menjadi dewasa, remaja akan melalui masa kritis di mana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity).

Menurut Santrock (2007: 20-21), masa remaja adalah transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai perubahan dramatis baik secara biologis, kognitif dan sosio-emosional. Perubahan secara biologis ditandai dengan pertambahan tinggi badan, perubahan hormonal dan kematangan seksual. Perubahan secara kognitif ditandai dengan meningkatnya berpikir abstrak, idealistik dan logis. Sedangkan perubahan secara sosio-emosional meliputi tuntutan untuk mencapai kemandirian, konflik dengan orang tua dan keinginan meluangkan waktu bersama teman-teman sebaya.

(46)

perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa.World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja dalam (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 7) adalah suatu masa ketika:

1) Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat mencapai kematangan seksual.

2) Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Berdasarkan beberapa pengertian remaja yang telah dikemukakan para ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang sedang berada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa dan ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, psikis dan sosial.

2. Batas Usia Remaja

Terdapat batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut santrock (2007: 21) masa remaja dibagi menjadi dua yaitu periode awal dan periode akhir. Periode awal berlangsung di masa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir, sedangkan periode akhir terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan.

(47)

Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.

2) Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal ini rentan akan timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya.

3) Remaja Akhir (18-21 Tahun)

(48)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa remaja terdiri dari remaja awal (12-15 Tahun) pada tahap ini remaja remaja merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa, remaja pertengahan (15-18 Tahun) pada tahap ini remaja menemukan kemantapan pada diri sendiri atau jati diri dan remaja akhir (18-21 Tahun) pada tahap ini remaja sudah mantap dan stabil sehingga mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut adanya perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku remaja terhadap perubahan-perubahan yang alami. Perubahan tersebut mencakup perubahan fisik, perubahan sosial, perubahan emosi, perubahan minat, perubahan moral dan perubahan kepribadian. Havighurst (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2006: 165) menyebutkan adanya beberapa tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik oleh remaja yaitu:

a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita dengan jalan mempelajari peran anak perempuan sebagai wanita dan anak laki-laki sebagai pria, menjadi dewasa diantara orang dewasa dan belajar memimpin tanpa menekan orang lain

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita dengan tugas mempelajari peran sosial sesuai dengan jenis kelaminnya sebagai pria dan wanita

(49)

fisiknya sendiri, menjaga dan melindungi, serta menggunakannya secara efektif

d. Mencari kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, dengan tugas membebaskan sifat kekanak-kanakkan yang selalu menggantungkan diri pada orang tua, mengembangkan sikap dan perasaan tertentu kepada orang tua tanpa menggantungkan diri padanya dan mengembangkan sikap hormat kepada orang dewasa tanpa menggantungkan sikap hormat.

e. Mencapai jaminan kebebasan ekonomis dengan tugas merasakan kemampuan membangun kehidupan sendiri

f. Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan dengan jalan memilih pekerjaan yang memerlukan kemampuan serta mempersiapkan pekerjaan g. Persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga dengan cara

mengembangkan sikap positif terhadap kehidupan keluarga

h. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep yang penting untuk kompetensi kewarganegaraan dengan cara mengembangkan konsep tentang hukum, politik, ekonomi dan kemasyarakatan

i. Mencapai dan mengharapkan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat dan mampu menjunjung tinggi nilai-nilai masyarakat dalam bertingkah laku

(50)

Menurut Petro Blos dalam Sarlito Wirawan Sarwono (2006:24), bahwa perkembangan pada hakekatnya adalah usaha penyesuaian diri (coping) yaitu untuk secara aktif mengatasistressdan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan Sarlito Wirawan Sarwono (2006: 25) membagi ada tiga tahap perkembangan remaja yaitu: a. Remaja Awal (Early Adolescence)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Remaja mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya oleh lawan jenis, remaja sudah berfantasi erotis. Kepekaan yang berlebih-lebihan ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan remaja awal

sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa. b. Remaja Madya (Middle Adolescence)

(51)

pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lain jenis.

c. Remaja Akhir (Late Adolescence)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini:

1) Minat yang mantap terhadap fungsi-fungsi intelek

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru

3) Terbentuknya identitas sekual yang tidak akan berubah lagi

4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

5) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).

(52)

4. Remaja Putus Sekolah

Remaja adalah individu yang sedang berada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa dan ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, psikis dan sosial. Putus sekolah adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar (Musfiqon, 2007: 19) artinya adalah terlantarnya anak dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai, dikeluarkan dari sekolah dll.

Menurut Gunawan dalam Purnama (2014: 4) putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Putus sekolah ditunjukan kepada seseorang yang pernah bersekolah, namun berhenti untuk sekolah. Mestina dalam Purnama (2014: 5) mengemukakan bahwa faktor penyebab putus sekolah yaitu adanya faktor dari internal yang meliputi dari dalam diri anak, pengaruh teman dan adanya sanksi sehingga terjadi drop out; sedangkan faktor eksternal yaitu meliputi keadaan status ekonomi keluarga, perhatian orang tua dan hubungan orang tua yang kurang harmonis.

(53)

konsep diri yang negatif yaitu penilaian yang negatif tentang diri remaja putus sekolah, merasa tidak pernah cukup baik dengan apa yang dirasakan dan selalu membandingkan apa yang akan dicapai dengan yang dicapai orang lain.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa remaja putus sekolah adalah seseorang yang berada dalam masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang dihenti secara terpaksa oleh suatu lembaga pendidikan tempat seseorang belajar karena berbagai alasan. Faktor penyebab putus sekolah yaitu adanya faktor dari internal yang meliputi dari dalam diri remaja, pengaruh teman dan adanya sanksi sehingga terjadi drop out; sedangkan faktor eksternal yaitu meliputi keadaan status ekonomi keluarga, perhatian orang tua dan hubungan orang tua yang kurang harmonis. Remaja putus sekolah mempunyai konsep diri yang negatif. D. Penelitian yang Relevan

Penelitian berikut ini adalah hasil penelitian yang dinilai relevan dengan penelitian yang mengangkat masalah motivasi belajar keterampilan remaja putus sekolah.

1. Hasil penelitian oleh Ria Kholifah pada tahun 2015 tentang motivasi belajar

(54)

menjadi anak pintar, rendahnya kemampuan membaca, lingkungan sekolah yang mendukung proses pembelajaran, pergaulan teman sebaya yang kurang baik serta berbagai upaya guru dalam membelajarkan siswa. Lingkungan keluarga tidak mempengaruhi motivasi belajar seorang slow learner karena orang tua tidak memberikan fasilitas belajar yang lengkap, tidak menciptakan situasi yang kondusif, tidak membimbing anak belajar, tidak memberikan pujian hukuman dan hadiah serta anggota keluarga tidak mempunyai kebiasaan belajar. Obyek penelitian ini berfokus pada motivasi belajar seorang

slow learner. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan berfokus pada motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta. Hasil penelitian dari Ria Khalifah digunakan sebagai referensi dalam membuat pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta.

2. Hasil penelitian oleh Galih Jatmika pada tahun 2013 tentang upaya tutor dalam menumbuhkan motivasi belajar warga belajar keaksaraan fungsional di PKBM Mandiri Kretek Bantul. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran keaksaraan fungsional, upaya tutor dalam menumbuhkan motivasi belajar dan dampak tumbuhnya motivasi belajar terhadap keberlanjutan program keaksaraan fungsional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan tutor dalam dalam menumbuhkan motivasi belajar warga belajar keaksaraan fungsional yaitu tutor memberikan motivasi secara pribadi kepada warga belajar, pemberian

(55)

penggunaan multi media pembelajaran sebagai media menumbuhkan motivasi belajar. Obyek penelitian ini berfokus pada upaya yang dilakukan tutor dalam dalam menumbuhkan motivasi belajar warga belajar keaksaraan fungsional.

Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan berfokus pada motivasi belajar keterampilan menjahit, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit serta faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja Yogyakarta.

E. Kerangka Berpikir

Remaja sebagai generasi penerus bangsa merupakan aset masa depan dalam pelaksanaan pembangunan. Remaja yang mengalami putus sekolah, berada pada kondisi yang rentan terhadap depresi dan perilaku-perilaku negatif. Remaja putus sekolah berpikir semua telah berakhir pada saat itu, tidak ada harapan lagi, semuanya dipandang serba salah, tidak ada yang mau mengerti dan memahami, serta menganggap dunia tidak lagi berpihak padanya. Selain itu minimnya keterampilan yang dimiliki remaja putus sekolah membuat mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, remaja putus sekolah perlu mendapatkan pelatihan keterampilan sehingga remaja dapat menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan serta keterampilan kerja sebagai bekal untuk kehidupan dan penghidupan masa depannya secara wajar.

(56)

tindakan kriminal dan kemiskinan. Kegiatan yang dilakukan di BPRSR bertujuan untuk mempersiapkan dan membantu remaja putus sekolah atau remaja terlantar dengan memberikan kesempatan dan kemudahan agar dapat mengembangkan potensi dirinya, baik jasmani, rohani dan sosialnya. BPRSR memberikan pelatihan keterampilan seperti keterampilan kayu, montir motor, las, menjahit dan bordir serta salon atau tata rias.

(57)

Gambar 1. Kerangka Berpikir F. Pertanyaan Peneliti

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat diajukan pertanyaan penelitian yang diharapkan mampu menjawab permasalahan yang akan diteliti, sebagai berikut:

1. Bagaimana motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta?

a. Bagaimana keinginan remaja untuk berhasil dalam mengikuti pelatihan keterampilan menjahit?

b. Bagaimana kebutuhan belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta?

c. Bagaimana cita-cita remaja setelah selesai mengikuti pelatihan keterampilan?

d. Apa saja pujian dan hukuman yang diberikan kepada remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta?

Remaja putus sekolah

Bimbingan keterampilan di BPRSR

Motivasi belajar keterampilan

Tercapainya tujuan pelatihan

Masa depan remaja

Motivasi belajar

Upaya peningkatan

Faktor yang mempengaruhi

(58)

e. Bagaimana ketertarikan remaja putus sekolah dalam mengikuti pelatihan keterampilan menjahit?

f. Bagaimana kondisi lingkungan belajar yang ada pada pelatihan keterampilan menjahit?

2. Bagaimana upaya meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta?

a. Bagaimana cara menggairahkan remaja putus sekolah untuk belajar? b. Bagaimana cara memberikan harapan realistis kepada remaja putus

sekolah?

c. Bagimana cara memberikan insentif kepada remaja putus sekolah? d. Bagaimana cara mengarahkan perilaku remaja putus sekolah?

3. Apa faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta?

a. Apa saja faktor intrinsik yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta? b. Apa saja faktor ekstrinsik yang mempengaruhi motivasi belajar

(59)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Moleong (2009: 4) metodologi penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang tertentu dan perilaku yang dapat diamati. Ciri dari pendekatan penelitian kualitatif adalah bersifat deskriptif sehingga semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti, serta laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran dalam penyajian laporan (Moleong, 2009: 11). Moleong (2009: 6) menyatakan bahwa jenis penelitian tersebut merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

(60)

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 sampai dengan 16 Maret 2016 di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Yogyakarta yang beralamat di Beran, Tridadi, Sleman. Proses wawancara pada informan dilakukan disela-sela waktu pelatihan keterampilan. Kegiatan penelitian dilakukan sebelum pelatihan keterampilan menjahit, pada saat pelaksanaan pelatihan keterampilan menjahit dan setelah pelaksanaan pelatihan keterampilan menjahit, untuk mendapatkan data tentang motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah serta faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja Yogyakarta.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang dijadikan sebagai sumber data adalah orang-orang yang dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya kepada peneliti sesuai dengan tujuan penelitian yang terdiri dari informan kunci dan informan pendukung. Informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling

yang dilakukan secara sengaja dan tidak dipersoalkan ukuran dan jumlahnya. Menurut Sugiyono (2013: 299), penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.

(61)

remaja binaan, instruktur pelatihan keterampilan menjahit dan pegawai BPRSR Yogyakarta. Adapun maksud dari pemilihan informan ini untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber sehingga data yang diperoleh dapat diakui kebenarannya. Informan tersebut merupakan orang-orang yang terlibat langsung dalam kegiatan pelatihan keterampilan menjahit dan mengetahui motivasi belajar, upaya meningkatkan motivasi belajar serta faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.

1. Observasi

(62)

motivasi belajar keterampilan menjahit, upaya meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit dan faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta.

2. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan di mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan (Cholid Narbuko & H Abu Ahmadi, 2007: 83). Pada penelitian ini, wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan secara semiterstruktur, yaitu bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diwawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2013:320). Wawancara dilakukan secara langsung kepada subyek penelitian sehingga proses wawancara diharapkan benar-benar dapat menghasilkan data yang diinginkan. Wawancara dilakukan untuk mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan dari subyek penelitian tentang motivasi belajar keterampilan menjahit, upaya meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit dan faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta.

3. Dokumentasi

(63)

untuk melengkap data dari wawancara dan observasi. Data yang dibutuhkan oleh peneliti berupa profil lembaga, data instruktur, data pekerja sosial, data remaja, jadwal kegiatan, struktur organisasi, foto kegiatan pembelajaran serta catatan lain yang berhubungan dengan motivasi belajar keterampilan menjahit, upaya meningkatkan motivasi belajar keterampilan menjahit dan faktor yang mempengaruhi motivasi belajar keterampilan menjahit remaja putus sekolah di BPRSR Yogyakarta.

(64)

Moleong (2009: 168) kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis, penafsir data pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian.

Instrumen pengumpulan data lainnya dalam hal ini adalah alat-alat yang digunakan pada proses pengumpulan data penelitian, meliputi pedoman wawancara pedoman observasi, pedoman dokumentasi dan alat perekam untuk merekam jawaban hasil wawancara. Instrumen pengumpulan data tersebut digunakan pada saat proses wawancara dengan subyek penelitian sedang berlangsung. Pedoman wawancara pada penelitian ini memuat pokok-pokok pertanyaan untuk dijawab subyek penelitian. Pedoman wawancara yang digunakan sifatnya adalah sebagai penuntun proses wawancara sehingga memungkinkan untuk dikembangkan secara langsung ketika wawancara berlangsung. Tujuan penggunaan pedoman wawancara adalah sebagai alat pengingat bagi peneliti terhadap aspek-aspek yang dicari jawabannya pada proses wawancara. Berikut merupakan kisi-kisi pedoman wawancara:

F. Teknik Analisis Data

(65)

verifikasi. Menurut Sugiyono (2013: 338) proses siklus analisis data interaktif model Miles dan Humbberman dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Analisis Data Interaktif Model Miles dan Humbberman

Sistematika analisis data interaktif model Miles dan Humbberman melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan jalan wawancara. Data-data lapangan dicatat dalam catatan lapangan berbentuk deskriptif tentang apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dialami atau dirasakan oleh subyek penelitian. Catatan deskriptif adalah catatan data alami, apa adanya dari lapangan tanpa adanya komentar atau tafsiran dari peneliti tentang fenomena yang dijumpai. Dari catatan lapangan peneliti perlu membuat catatan reflektif. Catatan refektif merupakan catatan dari peneliti sendiri yang berisi komentar, kesan, pendapat dan penafsiran terhadap fenomena yang ditentukan berdasarkan fokus penelitian.

2. Reduksi data

Reduksi data merupakan suatu proses di mana data yang diperoleh dari lapangan tersebut dilakukan reduksi, dirangkum dan dipilih hal-hal yang

Pengumpulan data Penyajian data

Reduksi data

(66)

pokok dan difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya serta membuang hal yang tidak diperlukan sehingga akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2013: 338). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa proses reduksi data berlangsung terus-menerus selama proses penelitian berjalan. Reduksi data memungkinkan peneliti dapat mengelompokkan data-data yang telah diperoleh serta menyisihkan terlebih dahulu data-data-data-data yang tidak sesuai dengan tema penelitian. Pada penelitian ini, reduksi data dilakukan dengan cara memilah data hasil wawancara dan kemudian menyisihkan data-data yang tidak sesuai dengan aspek yang telah ditentukan.

3. DisplayData

Pada penelitian kualitatif display data atau penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie chard, pictogram dan sejenisnya sehingga data terorganisasikan dan mudah dipahami (Sugiyono, 2013: 341). Pada penelitian ini data disajikan secara sistematis dalam bentuk uraian deskriptif yang mudah dibaca atau dipahami, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian dalam konteks sebagai satu kesatuan. Hasil display data maka selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan.

4. Penarikan Kesimpulan atau verifikasi

(67)

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya tetapi apabila kesimpulan pada tahap awal didukung bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan maka disebut kesimpulan yang kredibel (Sugiyono, 2013:345). Pada penelitian ini, penarikan kesimpulan dilakukan selama penelitian berlangsung. Seiring dengan data-data yang diperoleh, kesimpulan penelitian menjadi semakin jelas dan karena jawaban dari rumusan masalah telah dapat diketahui dari data-data yang dapat dicapai.

G. Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian diperlukan untuk menjamin bahwa data-data yang digunakan dalam menjawab rumusan masalah adalah data-data-data-data yang sifatnya valid, serta sesuai dengan maksud penelitian. Uji keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi. Triangulasi yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut (Moleong, 2009: 330). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keabsahan data dilakukan dengan tidak hanya mencari suatu data dari satu sumber tunggal.

(68)
(69)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja Yogyakarta Deskripsi lembaga ini digali dari dokumen Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Yogyakarta yang meliputi sejarah; visi, misi tujuan, tugas pokok dan fungsi; struktur organisasi; sasaran; tahapan pelayanan; sarana dan prasarana; sumber dana; serta jaringan kerjasama, selengkapnya diuraikan sebagai berikut:

1. Sejarah BPRSR Yogyakarta

(70)

berdasarkan Perda nomor 4 tahun 2004 dan SK Gubernur nomor 96 tahun 2004, berdirilah Dinas Sosial Provinsi DIY. Unit-unit pelaksana teknis yang menangani masalah-masalah kesejahteraan sosial, salah satunya UPTD Panti Sosial Bina Remaja (PSBR). Sejak tahun 2004 panti-panti sosial di Lingkungan Dinas Sosial Provinsi DIY memperoleh kepercayaan untuk menerima dan mengelola anggaran langsung dari Pemerintah Provinsi DIY. Tahun 2008 berdasarkan Peraturan Gubernur No. 44 tahun 2008 tentang uraian tugas dan fungsi dinas dan Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial bahwa Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Sosial Provinsi DIY. Peraturan Gubernur DIY No. 100 tahun 2015 tentang pembentukan susunan organisasi, uraian tugas dan fungsi serta tatakerja unit pelaksana teknis pada Dinas Sosial bahwa mulai tanggal 1 Januari tahun 2016 PSBR berganti nama menjadi Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Yogyakarta.

2. Visi, Misi, Tujuan dan Tugas Pokok a. Visi

(71)

b. Misi

Misi BPRSR Yogyakarta sebagai berikut:

1) Meningkatkan kualitas perlindungan pelayanan dan rehabilitasi sosial remaja terlantar yang meliputi bimbingan fisik, mental sosial serta pembekalan keterampilan dan bimbingan kerja

2) Menumbuhkembangkan kesadaran tanggung jawab kesetiakawanan sosial dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial remaja terlantar

3) Meningkatkan profesionalisme pegawai di bidang pelayanan sosial khususnya penanganan kesejahteraan remaja terlantar.

c. Tujuan

BPRSR Yogyakarta bertujuan sebagai berikut:

1) Mempersiapkan dan membantu remaja putus sekolah/remaja terlantar dengan memberikan kesempatan dan kemudahan agar dapat mengembangkan potensi dirinya baik jasmani, rohani dan sosialnya. 2) Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan serta keterampilan

kerja sebagai bekal untuk kehidupan dan penghidupan masa depannya secara wajar.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Anak Putus Sekolah menurut Jenjang Sekolah dan Kabupatenatau Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012/2013
Tabel 2. Indikator Motivasi Belajar
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Tabel 3. Teknik Pengumpulan Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan terhadap faktor penyebab ketidakberdayaan pada remaja putus sekolah yang mengikuti program pemberdayaan sosial melalui sistem panti di

Penulis mengambil judul Pemberdayaan Keterampilan Otomotif Bagi Remaja Putus Sekolah karena hakikatnya remaja putus sekolah tersebut harus diberdayakan melalui

Dalam kegiatan pembinaan oleh pekerja sosial kepada remaja putus sekolah di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Rumbai banyak faktor yang menjadi penghambat dalam

Fokus penelitian ini adalah konsep diri remaja putus sekolah yang didefinisikan sebagai bentuk-bentuk kepercayaan, cara pandang, pengetahuan, evaluasi-evaluasi, dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA

Putus sekolah merupakan salah satu masalah bagi remaja. Balai resos memberikan solusi bagi remaja yang putus sekolah, salah satunya dengan pembinaan keterampilan

Seorang pekerja sosial harus mampu mendampingi dan membantu remaja putus sekolah dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi selama proses pelayanan sosial

Seorang pekerja sosial harus mampu mendampingi dan membantu remaja putus sekolah dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi selama proses pelayanan sosial