.
PENGENDALI PENCEMAR LOGAM BERAT
O l e h :
0652010012
DEWI APRIANTI
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM
.
SKRIPSI
FUNGSI MANGROVE SEBAGAI
PENGENDALI PENCEMAR LOGAM BERAT
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1)
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
O l e h :
0652010012
DEWI APRIANTI
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM
SURABAYA
.
PENGENDALI PENCEMAR LOGAM BERAT
oleh :
0652010012
DEWI APRIANTI
Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada hari : ………. Tanggal : ……… 2010
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan Untuk memperoleh gelar sarjana (S1), tanggal :
Dekan Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan
xii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
CURRICULUM VITAE ... iv
KATA PENGANTAR ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GRAFIK... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang ... 1
I.2. Rumusan Masalah ... 3
I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3
I.4. Lingkup Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
II.1. Perairan Estuari ... 6
II.1.1. Logam Berat di Perairan Estuari ... 7
II.1.2. Pencemaran Logam Berat di Pantai Timur Surabaya ... 8
II.2. Mangrove ... 12
II.2.1. Keanekaragaman Jenis Mangrove ... 13
II.2.2. Habitat dan Ekosistem Mangrove ... 18
II.2.3. Manfaat Mangrove ... 23
xiii
III.1. Kerangka Penelitian ... 30
III.2. Bahan Penelitian ... 30
III.3. Peralatan Penelitian ... 31
III.4. Cara Kerja ... 31
III.4.1. Tahap Proses Destruksi Sampel ... 31
III.4.2. Tahap Analisis Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu) ... 32
III.5. Variabel... 32
III.6. Analisa Hasil ... 33
III.7. Perhitungan ... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
IV.1. Kondisi Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya ... 35
IV.2. Analisis Kandungan Tembaga (Cu) dalam Sedimen di Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya ... 37
IV.3. Analisis Kandungan Tembaga (Cu) dalam Akar Mangrove api-api (Avicennia marina ) ... 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44
V.1. Kesimpulan ... 44
V.2. Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel IV.1. Kandungan Tembaga (Cu) dalam Sedimen di Muara Kali Wonorejo (mg/lt) pada Tiap Titik dan Tiap Stasiun... 37 Tabel IV.2. Rata-rata Kandungan Tembaga (Cu) dalam Sedimen pada Tiap
Stasiun di Muara Kali Wonorejo (mg/lt) ... 39 Tabel IV.3. Kandungan Tembaga (Cu) dalam Akar Pohon Api-api di Muara
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Avicenniaceae, sp (pohon api-api)... 14
Gambar II.2 Rhizophoraceae, sp (pohon bakau/tinjang)... 15
Gambar II.3 Meliaceae (nyirih)....……… 15
Gambar II.4 Nypa Fructicans (nipah)... 16
Gambar II.5 Sonneratiaceae (preparat)…...………... 16
Gambar II.6 Diagram Ilustrasi Penyebaran Fauna di Habitat Ekosistem Mangrove...………..…...………... 17
xiv
DAFTAR GRAFIK
Grafik IV.1 Pengaruh Jarak terhadap Kadar Tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo... 38 Grafik IV.2 Pengaruh Jarak terhadap Penurunan Kadar Tembaga (Cu) (mg/lt)
dalam Stasiun di Muara Kali Wonorejo... 40 Grafik IV.3 Pengaruh Mangrove Api-api terhadap Penurunan Kadar Tembaga
x
estuari Pantai Timur Surabaya ditumbuhi vegetasi mangrove yang didominasi oleh pohon api-api (Avicennia marina) yang berpotensi sebagai bioakumulator logam berat yang mencemari Pantai Timur Surabaya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat dalam sedimen dan kandungan logam berat yang terakumulasi dalam akar pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo. Kandungan logam berat dalam pohon api-api (Avicennia marina) dan sedimen dihitung menggunakan Spectro pharo.
Hasil pemeriksaan kandungan logam berat menggunakan Spectro pharo menunjukkan bahwa rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo adalah 3,186 mg/lt. Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam akar pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo adalah 5,602 mg/lt.
Hal ini menunjukkan bahwa pohon api-api (Avicennia marina) memiliki kemampuan sebagai bioakumulator tembaga (Cu) sesuai dengan kandungan logam tersebut di dalam sedimennya.
xi ABSTRACT
The estuary of Surabaya East Coast has been polluted by heavy metals including copper (Cu). The heavy metal pollution in Surabaya East Coast should be dreaded, because it has given the indication of heavy metals poisoned in the fisherman community adjacent to Surabaya East Coast. Surabaya East Coast is covered by the mangrove vegetation dominated by api-api tree (Avicennia marina) which potential as bioaccumulator of heavy metal that polluted the waters of Surabaya East Coast.
This research intended to perceive the heavy metal contents in the sediment an in the root of api-api tree (Avicennia marina) that found at the mouth of Wonorejo River. The heavy metal contents in the root of api-api tree (Avicennia marina) and sediment were inquired by using the Spectro pharo.
The heavy metal examination with Spectro pharo showed that the mean content of copper in sediment at the mouth of Wonorejo River is 3,186 mg/lt. The mean content of copper in the root of api-api tree (Avicennia marina) at the mouth Of Wonorejo River is 5,602 mg/lt.
The indicate that api-api tree (Avicennia marina) have ability for bioaccumulator of copper (Cu) and agree with a metal contents in the sediment.
1
I.1.Latar Belakang
Perairan estuari Pantai Timur Surabaya merupakan muara dari 7 buah
sungai besar salah satunya adalah Kali Wonorejo. Sungai-sungai tersebut
membawa limbah padat dan cair yang berasal dari industri maupun rumah tangga
yang pada akhirnya akan menumpuk dan mencemari perairan estuari Pantai Timur
Surabaya. Limbah yang dibuang ke sungai, terutama limbah dari industri
berpotensi mengandung logam berat pencemar yang membahayakan kesehatan
masyarakat.
Pantai timur Surabaya dikabarkan telah tercemar oleh logam berat.
Pencemaran ini diwaspadai karena telah menunjukkan gejala keracunan logam
berat pada masyarakat nelayan di sekitar Pantai Timur Surabaya. Seperti yang
ditulis pada Surabaya Post, Rabu 15 Desember 1999 yang bertajuk “Gejala Idiot
Tampak Pada Anak Nelayan Kenjeran”. Berdasarkan penelitian 3 staff dosen
Psikologi Universitas Surabaya menunjukkan bahwa 80% dari populasi anak
sekolah di Kenjeran mengalami kemunduran intelektual atau Slow Learner. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat Kenjeran telah mengkonsumsi hewan laut di
sekitar Pantai Timur Surabaya yang telah terkontaminasi logam berat, (Arisandi,
2001).
Pencemaran lingkungan antara lain disebabkan oleh industri-industri
2
adalah pencemaran logam tembaga (Cu). Tembaga (Cu) merupakan salah satu
logam berat yang banyak dimanfaatkan dalam industri, terutama dalam industri
elektroplating dan industri logam (alloy). Keberadaan tembaga dalam jumlah kecil
sangat berguna bagi makhluk hidup karena merupakan logam berat essensial, tapi
dalam jumlah besar dapat mengakibatkan masalah kesehatan karena sifatnya yang
toksik. Ion logam tembaga dapat terakumulasi di otak, jaringan kulit, hati,
pankreas dan miokardium. Dengan demikian penanganan limbah logam Cu harus
dilakukan.
Arisandi (1996) melaporkan bahwa Pantai Timur Surabaya ditumbuhi
vegetasi mangrove yang didominasi oleh jenis pohon api-api (Avicennia marina).
Ekosistem mangrove di Pantai Timur Surabaya berpotensi sebagai bioakumulator
logam berat. Dari hasil penelitian terhadap kandungan logam berat tembaga (Cu)
pada mangrove jenis Avicennia marina yang dilakukan oleh Daru Setyo Rini Ssi
(Peneliti Madya Lembaga Kajian dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON) pada
tahun 1999 menunjukkan hasil bahwa pohon api-api (Avicennia marina) di Muara
Kali Wonorejo mengandung tembaga (Cu) di bagian akar sebesar 8,1782 μg/gr,
dibagian kulit batang sebesar 3,8844 μg/gr dan di bagian daun sebesar 2,4649
μg/gr. Sedangkan rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara
Kali Wonorejo adalah 12,7277 μg/gr.
Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat
dijadikan alternatif perlindungan perairan estuari Pantai Timur Surabaya terhadap
pencemaran logam berat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daru
bagian akar pohon api-api karena kandungan tembaga (Cu) terbesar terdapat di
bagian akar.
I.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam kajian ini
adalah :
Adanya kerusakan atau dampak lingkungan yang terlihat secara situasional.
I.3.Tujuan dan Manfaat
I.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1). Mengetahui besarnya kandungan logam berat tembaga (Cu) dalam
sedimen yang terdapat pada Muara Kali Wonorejo.
2). Untuk mengetahui besarnya kandungan tembaga (Cu) pada akar mangrove
jenis api-api di Muara Kali Wonorejo.
3). Mengetahui pengaruh mangrove terhadap pengendalian pencemaran
logam berat tembaga (Cu).
I.3.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi
ilmiah mengenai kemampuan mangrove api-api (Avicennia marina) dalam
mengakumulasi logam berat yang mencemari perairan estuari Pantai
4
perairan Pantai Timur Surabaya dari pencemaran logam berat, serta dapat
memberikan manfaat kepada pihak-pihak terkait seperti :
1). Masyarakat setempat
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada masyarakat
tentang pentingnya hutan mangrove bagi peningkatan kualitas lingkungan
sehingga tumbuh kesadaran untuk menjaga lingkungan khususnya
memelihara hutan mangrove di Kawasan Pantai Timur Surabaya.
2). Pemerintah Kota Surabaya
(a).Pemerintah Kota Surabaya sebagai pembuat keputusan kebijakan
pengelolaan hutan mangrove dapat melakukan tindakan tepat dalam
mengantisipasi perkembangan pembangunan yang dapat merusak
ekosistem yang ada sehingga kondisi alam dan lingkungan terutama
hutan mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya tidak rusak.
(b).Pemerintah Kota Surabaya dapat menggunakan hasil penelitian ini
sebagai pegangan dan arahan dalam melakukan pengembangan hutan
mangrove.
I.4. Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian tentang fungsi mangrove sebagai pengendali pencemar
logam berat adalah :
1). Wilayah studi penelitian dibatasi pada Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya)
dengan 1 kecamatan yaitu Kecamatan Wonorejo.
3). Mangrove yang digunakan dalam penelitian ini adalah mangrove jenis api-api
(Avicennia marina).
4). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar mangrove jenis
api-api serta sedimen yang berada disekitarnya di Muara Kali Wonorejo.
5). Analisa penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia UPN
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.1. Perairan Estuari
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.500
pulau dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km serta lautan seluas
kira-kira 5,8 juta km2
Selain itu wilayah pesisir telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang
dapat menimbulkan benturan kepentingan sehingga mengurangi nilai guna
sumberdaya pesisir dan kelautan. Sesungguhnya saat ini sudah ada
undang-undang dan peraturan di Indonesia yang menyangkut perairan dan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan kelautan secara berkelanjutan, misalnya UU No.5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
yang merupakan 70 % dari seluruh wilayahnya. Sumberdaya
pesisir dan lautan terutama ikan sejak lama menjadi sumber makanan dan protein
utama bagi rakyat Indonesia (White et.al., 1989; Kantor MNLH, 1997 dalam
Arisandi, 2001). Menurut Djajadiningrat dan Amir (1992), lebih dari 80 %
produksi perikanan oleh perikanan rakyat beroperasi di perairan pesisir (Rini
1999),. Sugandhy (1995), mengatakan bahwa ketergantungan penduduk Indonesia
terhadap sumberdaya pesisir dan lautan sangat besar, sekitar 60 % dari penduduk
Indonesia (± 185 juta orang) diketahui tinggal di wilayah pesisir. Terdapat sekitar
4.735 desa dari 64.439 desa yang ada di Indonesia dikategorikan sebagai desa
pantai serta 75 % kota besar dan menengah yang berpenduduk diatas 100.000 jiwa
II.1.1 Logam Berat di Perairan Estuari
Secara alami logam mengalami siklus perputaran dari kerak bumi ke
lapisan tanah, ke dalam makhluk hidup, ke dalam kolom air, mengendap dan
akhirnya kembali lagi ke dalam kerak bumi, tetapi kandungan alamiah logam
berubah-ubah tergantung pada kadar pencemaran yang dihasilkan manusia
maupun karena erosi alami. Pencemaran akibat aktivitas manusia lebih banyak
berpengaruh dibandingkan pencemaran secara alami. Dalam lingkungan perairan,
bentuk logam antara lain berupa ion-ion bebas, pasangan ion organik, dan ion
kompleks. Menurut Palar (1994), kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air.
Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH
mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk
ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk
lumpur (Arisandi. P, 2001). Di dalam zona estuari dan aliran estuari yang terkena
pengaruh pasang surut, terjadi mobilisasi logam berat antara sedimen dan kolom
air. Pikir (1991), mengatakan bahwa lapisan nefeloid, yaitu lapisan lumpur di
dasar perairan Sungai Hudson New York pada jarak 1 km dari tepi pantai
mengandung partikel-partikel lumpur dengan konsentrasi 10 kali lebih besar
dibandingkan konsentrasi di lautan lepas. Hal itu menunjukkan bahwa ion-ion
logam berat yang sebagian besar terikat pada lumpur di dasar perairan tidak
menyebar hingga ke laut lepas (Arisandi. P, 2001). Wilson et.al (1985) dalam
Wilson (1988), menyatakan bahwa logam berat yang terlarut dalam air akan
berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau
8
permukaan partikel sedimen. Materi organik dalam sedimen dan kapasitas
penyerapan logam sangat berhubungan dengan ukuran partikel dan luas
permukaan penyerapan, sehingga konsentrasi logam dalam sedimen biasanya
dipengaruhi ukuran partikel dalam sedimen (Arisandi. P, 2001). Menurut Pikir
(1991), pencemaran merkuri di Teluk Minamata Jepang pada tahun 1953 dan
1961 menunjukkan bahwa pembuangan limbah yang mengandung merkuri (Hg)
dalam jumlah yang relatif kecil dapat menyebabkan pencemaran yang
membahayakan kesehatan manusia karena terjadi bioakumulasi di dalam
organisme dan biomagnifikasi melalui rantai makanan, sehingga keluarga nelayan
yang mengkonsumsi ikan menderita keracunan hebat (Arisandi. P, 2001).
II.1.2 Pencemaran Logam Berat di Pantai Timur Surabaya
Pantai Timur Surabaya diberitakan telah tercemar oleh merkuri (Hg) dan
tembaga (Cu). Hal ini merujuk pada penelitian Anwar (1996) yang menunjukkan
bahwa darah masyarakat nelayan di Kenjeran mengandung tembaga (Cu) sebesar
2511,07 ppb dan merkuri (Hg) sebesar 2,48 ppb, padahal ambang batas tembaga
dalam darah menurut ketetapan WHO adalah 800-1200 ppb, (Rini, 1999). Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Kenjeran telah mengkonsumsi hewan laut di
sekitar Pantai Timur Surabaya yang telah terkontaminasi logam berat. Kualitas
kehidupan biota lumpur (makrozoobenthos) menunjukkan klasifikasi tercemar
berat di bagian utara Pantai Timur Surabaya dan tercemar ringan di bagian
selatan, kecuali bagian litoral Muara Sungai Kali Wonokromo dan Kali Kenjeran
biomagnifikasi yang terjadi akibat beban limbah yang masuk ke perairan terus
bertambah. Komposisi makrozoobenthos terbesar adalah golongan
kerang-kerangan (85,8%). Kandungan logam berat di dalam substrat lumpur di dasar
perairan dan biota di Pantai Timur Surabaya telah melebihi ambang batas
FAO/WHO yang menetapkan kandungan logam berat bersifat akumulatif dan
kronis untuk biota laut. Hal ini menunjukkan bahwa dasar perairan pesisir dan
sungai telah menjadi perangkap logam berat yang terdapat dalam limbah cair yang
dibuang ke sungai. Penelitian oleh DGFTZE pada tahun 1998 terhadap
masyarakat Kenjeran menunjukkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dari ibu-ibu yang
menyusui telah mengandung kadmium sebesar 36,1 ppm, sehingga dikhawatirkan
dapat menyebabkan timbulnya penyakit kanker, cacat janin dan penurunan
kecerdasan anak (Rini, 1999). Pikir, (1991) juga melaporkan bahwasanya
kandungan logam berat dalam sedimen yang terbawa aliran sungai yang bermuara
di perairan estuari Pantai Timur Surabaya berada diatas rata-rata kandungan
logam untuk daerah yang belum tercemar dengan urutan logam terbanyak adalah
Fe, Mn, Zn, Cu, Pb, Ni, Cd, dan Ag, (Arisandi. P, 2001). Tiga unsur logam
terbanyak dalam daging kupang adalah besi (Fe), mangan (Mn), dan seng (Zn),
sehingga masyarakat disarankan untuk mengurangi kualitas dan kuantitas
konsumsi kerang-kerangan. Tembaga (Cu) dan kadmium (Cd) merupakan logam
berat yang sangat membahayakan kesehatan manusia, tetapi logam tembaga (Cu)
juga dibutuhkan dalam kehidupan makhluk hidup sebagai elemen mikro.
Darmono (1995) mengatakan bahwa tembaga (Cu) dibutuhkan sebagai unsur yang
Cu-10
protein yang dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin, kolagen, pembuluh
darah, dan myelin otak (Rini, 1999). Keracunan logam berat bersifat kronis dan
dampaknya baru terlihat setelah beberapa tahun atau menyebabkan cacat janin
jika menyerang ibu hamil. Logam berat bersifat akumulatif di dalam tubuh
organisme dan konsentrasinya mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dalam
tingkatan trofik yang lebih tinggi dalam rantai makanan. Menurut Wilson (1988),
Biomagnifikasi berhubungan langsung dengan manusia yang menempati posisi
top level dalam rantai makanan pesisir, karena konsentrasi logam berat yang
dikandung dalam makanan kita telah mengalami peningkatan mulai dari
komponen di tingkat dasar (produsen) (Rini, 1999). Keracunan tembaga (Cu) pada
manusia menimbulkan dampak seperti kerusakan otak, demyelinasi, penurunan
fungsi ginjal, dan pengendapan tembaga (Cu) dalam kornea mata. Keracunan
kadmium (Cd) bersifat kronis dan biasanya terakumulasi dalam ginjal. Keracunan
kadmium (Cd) dalam waktu lama dapat membahayakan kesehatan paru-paru,
tulang, hati, kelenjar reproduksi dan ginjal. Logam kadmium (Cd) juga bersifat
neurotoksin yang menimbulkan dampak kerusakan indera penciuman (Rini,
1999). Menurut Palar (1994), pencemaran tembaga (Cu) biasanya berasal dari
industri peralatan listrik, peleburan logam, katalisator, algasida, pengawet kayu
dan anti fouling paint. Sedangkan kadmium (Cd) digunakan dalam industri logam,
batere, bahan cat warna, plastik, percetakan, dan tekstil (Rini, 1999).
Anonim (2008), mengatakan bahwa, sebagai logam berat, Cu (tembaga)
berbeda dengan logam-logam berat lainnya seperti Hg, Cd, dan Cr. Logam berat
artinya meskipun Cu merupakan logam berat beracun, unsur logam ini sangat
diperlukan tubuh meski dalam jumlah yang sedikit. Toksisitas yang dimiliki oleh
Cu baru akan bekerja dan memperlihatkan pengaruhnya bila logam ini telah
masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi nilai toleransi
organisme terkait. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam badan
perairan tempat hidupnya. Konsentrasi Cu terlarut yang mencapai 0,01 ppm, akan
mengakibatkan kematian bagi fitoplankton. Hal ini disebabkan daya racun Cu
telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton.
Sesuai dengan sifatnya sebagai logam berat beracun, Cu dapat
mengakibatkan keracunan akut dan kronis. Terjadinya keracunan akut dan kronis
ini ditentukan oleh besarnya dosis yang masuk dan kemampuan organisme untuk
menetralisir dosis tersebut, (Anonim, 2008).
1). Keracunan Akut
Gejala-gejala yang dapat dideteksi sebagai akibat keracunan akut tersebut
diantaranya :
(a).Adanya rasa logam pada pernafasan penderita.
(b).Adanya rasa terbakar pada epigastrum dan muntah yang terjadi secara
berulang-ulang.
2). Keracunan kronis
Pada manusia, keracunan Cu secara kronis dapat dilihat dengan timbulnya
penyakit Wilson dan Kinsy. Gajala dari penyakit Wilson ini terjadinya hepatic
cirrhosis, kerusakan pada otak dan demyelinasi, serta terjadinya penurunan
12
diketahui dengan terbentuknya rambut yang kaku dan berwarna kemerahan
pada penderita. Sementara pada hewan seperti kerang, bila dalam tubuhnya
telah terakumulasi dalam jumlah tinggi, maka bagian otot tubuhnya akan
memperlhatkan warna kehijauan. Hal ini menjadi petunjuk apakah kerang
tersebut masih bisa dikonsumsi oleh manusia.
II.2. Mangrove
Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta
hektar dan yang telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Wilayah
pesisir itu menjadi penting karena merupakan pertemuan antar ekosistem daratan
dan ekosistem lautan.
Ekosistem wilayah pantai berkarakter unik dan khas karena merupakan
pertemuan antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Ekosistem wilayah itu
memiliki arti strategi karena memiliki potensi kekayaan hayati baik dari segi
biologi, ekonomi bahkan pariwisata. Hal itu mengakibatkan berbagai pihak ingin
memanfaatkan secara maksimal potensi tersebut.
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis
tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut, hutan
mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah
ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas, dan memiliki potensi
kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas
lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
yang paling produktif, karena tumbuh di daerah pasang surut pantai. Indonesia
adalah salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dengan luas
ekosistem mangrove sekitar 27% dari luas mangrove di dunia, serta memiliki
ekosistem mangrove dan keragaman jenis tertinggi di dunia yang tersebar di
wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Papua. (Wijayanti, 2007).
II.2.1 Keanekaragaman Jenis Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah
pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan
gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya
mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas
(pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap
keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua dekade ini
keberadaan ekosistem mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis.
Saat ini mangrove yang tersisa hanyalah berupa komunitas-komunitas mangrove
yang ada disekitar muara-muara sungai dengan ketebalan 10-100 meter,
didominasi oleh Avicennia Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia
Caseolaris yang semuanya memiliki manfaat sendiri. Misalkan pohon Avicennia
memiliki kemampuan dalam mengakumulasi (menyerap dan menyimpan dalam
organ akar, batang, dan daun) logam berat pencemar, sehingga keberadaan
mangrove dapat berperan untuk menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran di
perairan laut, dan manfaat ekonomis seperti hasil kayu serta bermanfaat sebagai
14
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat terdapat 89 jenis. Dari sekian banyak bakau
di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain :
1). Avicenniaceae, sp (pohon api-api)
(a). Avicennia marina
(b). Avicennia alba
(c). Avicennia officinals
(d). Avicennia lanata
Gambar II.1. Avicenniaceae, sp (pohon api-api)
2). Rhizophoraceae, sp (pohon bakau/tinjang)
(a). Rhizophora mucronata
(b). Bruguera gymnorrhiza
Gambar II.2. Rhizophoraceae, sp (pohon bakau/tinjang)
3). Meliaceae (nyirih)
(a). Xylocarpus moluccencis
(b). Myrsinnaceae
16
4). Nypa Fructicans (nipah)
(a). Euphorbiaceae
Gambar II.4. Nypa Fructicans (nipah)
5). Sonneratiaceae (preparat)
(a). Sonneratia alba
(b). Sonneratia caseolari
Sedangkan untuk fauna hutan mangrove membentuk pencampuran antara
2 (dua) kelompok, yaitu : (Irwanto, 2006)
1). Kelompok fauna daratan terresterial yang umumnya menempati bagian atas
pohon mangrove terdiri dari : insecta, ular, burung, dan monyet. Kelompok ini
mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove
karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut
pada bagian pohon yang tinggi meskipun mereka dapat mengumpulkan
makanannya berupa hewan laut pada saat air surut.
2). Kelompok fauna/akuatik, terdiri dari dua tipe, yaitu :
(a). Hidup di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang.
(b). Hidup menempati substrat baik keras (akar dan batang) maupun lunak
(lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata
lainnya.
18
II.2.2 Habitat dan Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari
atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub
tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di
antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan
membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai,
mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau,
atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan
nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp.
Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara
bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah
baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah
pantai.
Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO
(1982) : mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan
yang tumbuh di daerah pasang surut (Wijayanti, 2007). Hutan mangrove sering
disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena
sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau
karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti
mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang
tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan
campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah
tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang).
Tempat tumbuh hutan mangrove memerlukan suasana yang khusus, yang
lazim disebut “suasana mangrove” yaitu suasana yang timbul dari perpaduan
unsur-unsur antara lain : iklim tropik basah, curah hujan tinggi, laut tenang, ada
sumber lumpur. Untuk mencapai pertumbuhan yang optimum, mangrove
memerlukan beberapa kriteria berikut didalamnya :
1). Topografi pantai yang relatif landai dengan kemiringan 0-3º dan pantai
terlindung dari hempasan ombak dan angin yang kencang.
2). Terdapat suplai air tawar dan air asin.
3). Terpengaruh pasang surut air laut.
4). Suhu udara 25ºC - 30ºC dengan fluktuasi tidak lebih dari 5ºC.
Berdasarkan jenis pohon penyusun formasi hutan mangrove dari arah laut
kedaratan dapat dibedakan 4 (empat) zona, yaitu :
1). Zona Api-api Prepat (Avicenia sonneratia)
Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah
berlumpur agak lembek (dangkal), sedikit bahan organik dan kadar garam
agak tinggi. Zona ini didominasi oleh jenis Avicennia spp (api-api) dan
20
2). Zona Bakau (Rhizophora)
Terletak di belakang zona api-api prepat, keadaan tanah berlumpur pendek
(dalam). Pada umumnya didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp (tinjang)
dan Xilocarpus spp (nyirih) dan Heririera spp (dungun).
3). Zona Tancang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dengan laut dekat dengan
daratan. Keadaan tanah berlumpur agak keras, agak jauh dengan pantai. Pada
umumnya ditumbuhi jenis Bruguiera spp (tinjang) dan Lumnitzera spp
(duduk/truntun). Jenis Bruguiera gymnorhiza merupakan jenis pohon
penyusun terakhir formasi mangrove.
4). Zona Nipah (Nypa Fructicance)
Terletak paling jauh dari laut/paling dalam ke arah darat, salinitas airnya
sangat rendah dan tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut. Pada
umumnya ditumbuhi jenis Nypah (Nypatructicane), Deris spp, dan
sebagainya.
Pohon mangrove dalam mengatasi siklus hidupnya untuk menyesuaikan
dengan keadaan alam sekitarnya dengan cara beradaptasi, meliputi :
1). Adaptasi fisiologis
Mangrove dapat tumbuh pada substrat dengan kadar garam tinggi, maka
mangrove mampu mengatur pemasukan garam dan memelihara keseimbangan
air di dalam tubuhnya. Beberapa mekanisme yang dikembangkan untuk
menghadapi kondisi ini adalah :
(a).Mangrove menyerap air mengandung garam yang tinggi kemudian
mengeluarkan kembali. Mangrove memiliki trikoma khusus yang
mengandung ion-ion tertentu di dalam tubuh, terutama ion NaO dan CIO
untuk mengatur keseimbangan di dalam tubuhnya. Kelenjar garam
ditemukan pada genus Acantus, Aegiceras, dan Avicennia.
(b).Mangrove menyerap air laut tetapi mencegah masuknya garam ke dalam
tubuh melalui ultra-filter dalam akar. Genus yang mampu menyaring
masuknya garam adalah Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia,
Osbornia, Bruguiera, Aegiceras, Excoecaria, Aegialitis, dan Acrostichum.
(c).Mangrove mengembangkan ketahanan terhadap tingginya kadar garam
dan mengakumulasi garam di dalam jaringan seperti pada kulit, batang,
dan akar serta dalam jaringan daun tua. Penyimpanan garam biasanya
diikuti oleh penebalan daun. Kelebihan garam dikeluarkan dari jaringan
22
2). Akar khusus
Tanah tergantung dengan kandungan oksigen rendah dan substrat setengah
basah yang memberikan mekanik lemah merupakan dua masalah bagi
mangrove untuk dapat tumbuh. Untuk menghadapi masalah ini mangrove
mengembangkan akar-akar khusus yang terdapat di udara sehingga saat air
surut akar udara membantu pertukaran gas dan udara yang dibutuhkan.
(Anonim, 2007)
Terdapat enam jenis tipe akar mangrove (Kitamura et al,
(a).Akar tunjang adalah akar udara yang tumbuh di atas permukaan tanah,
mencuat dari batang pohon dan dahan paling bawah serta memanjang ke
luar dan menuju ke permukaan tanah. Contoh:
1997 dalam
Wijayanti, 2007). Berikut ini deskripsi masing-masing akar mangrove
tersebut:
Rhizophora
(b).Akar nafas adalah akar udara yang berbentuk seperti pensil atau kerucut
yang menonjol ke atas, terbentuk dari perluasan akar yang tumbuh secara
horisontal. Contoh:
spp. (Anonim,
2007)
Avicennia
(c).Akar lutut adalah akar horisontal yang berbentuk seperti lutut terlipat di
atas permukaan tanah, meliuk ke atas dan bawah dengan ujung yang
membulat di atas permukaan tanah. Contoh:
spp. (Anonim, 2007)
Bruguiera
(d).Akar papan adalah akar yang tumbuh secara horisontal, berbentuk seperti
pita di atas permukaan tanah, bergelombang dan berliku-liku ke arah
samping seperti ular. Contoh:
spp.
(e).Akar banir adalah struktur akar seperti papan, memanjang secara radial
dari pangkal batang. Ceriops
(f).Akar tanpa akar udara adalah akar biasa, tidak berbentuk seperti akar
udara. Contoh:
spp.
Aegiceras spp.
II.2.3 Manfaat Mangrove
Mangrove yang biasa disebut bakau memiliki beberapa manfaat bagi
kehidupan sekitarnya, yaitu :
1). Pemeliharaan keanekaragaman fauna
Hutan mangrove menyokong kehidupan hewan karena memberikan sumber
makanan dan tempat hidup. Jenis-jenis biota di Sungai Wonorejo antara lain :
Reptilia, ikan, hewan makrobentos, monyet, biawak, dan burung pelikan.
(Wijayanti, 2007)
2). Tempat pemijahan
Lingkungan mangrove memiliki produktifitas tinggi, menyediakan sumber
energi berupa zat-zat makanan karena itu mangrove merupakan tempat
berteduh dan mencari makan. (Arisandi dkk, 2001 dalam Wijayanti, 2007)
3). Habitat penting bagi burung
Beberapa jenis burung membutuhkan ekosistem mangrove sebagai tempat
mencari makanan dan bersarang. (Arisandi dkk, 2001 dalam Wijayanti, 2007)
4). Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove.
24
5). Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen. (Wijayanti, 2007)
6). Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan
bahan baku kertas (pulp). (Wijayanti, 2007)
7). Bioakumulator logam berat
Tingginya kandungan logam berat Cu, Cd, dan Zn di dalam akar mangrove
menunjukkan bahwa tumbuhan ini dapat mengakumulasi logam berat di
dalam jaringan tubuhnya. (Arisandi dkk, 2001 dalam Wijayanti, 2007)
8). Mengurangi resiko bahaya tsunami
Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk
mengurangi resiko terhadap bahaya Tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan
di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan
adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar
0.7340 dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule.
(Pratikno, 2002 dalam Wijayanti, 2007)
II.2.5 Mangrove Pantai Timur Surabaya
Wilayah Pantai Timur Surabaya merupakan bentang alam yang relatif
datar dengan kemiringan 0-3o, rata-rata ketinggian pasang surut 1,67 meter.
Kawasan ini terbentuk dari hasil pengendapan dari sistem sungai yang ada di
sekitarnya dan dipengaruhi oleh laut. Kondisi daerah delta dengan tanah aluvial
tumbuhnya ekosistem mangrove (Arisandi, 2001). Arisandi, 1996 menemukan 15
jenis vegetasi mangrove di Pantai Timur Surabaya yaitu:
1). Avicennia marina
2). Avicennia alba
3). Avicennia officinalis
4). Rhizophora mucronata
5). Sonneratia alba
6). Sonneratia caseolaris
7). Bruguiera cylindrica
8). Bruguiera gymnorrhiza
9). Xylocarpus moluccencis
10). Excoecaria agallocha
11). Aegiceras corniculatum
12). Lumnitzera racemosa
13). Nypa fruticans
14). Acanthus ilicifolius
15). Acanthus eubracteatus.
Jenis yang mendominasi adalah Avicennia marina dengan ketebalan
vegetasi mangrove hanya berkisar antara 5-100 meter ke arah daratan, bahkan
beberapa bagian garis pantai tidak lagi ditumbuhi vegetasi mangrove karena telah
dialihkan menjadi lahan pertambakan dan rekreasi. Ekosistem mangrove
26
makanan ekosistem pantai. Selain itu ekosistem mangrove yang memiliki
produktivitas tinggi menyediakan makanan berlimpah bagi berbagai jenis hewan
laut dan menyediakan tempat berkembang biak, memijah, dan membesarkan anak
bagi beberapa jenis ikan, kerang, kepiting dan udang, sehingga secara tidak
langsung kehidupan manusia tergantung pada keberadaan ekosistem mangrove.
Mangrove juga memiliki fungsi fisik bagi pantai yaitu sebagai pelindung pantai
dari hempasan ombak dan angin kencang, penahan abrasi, penampung air hujan
sehingga mencegah banjir, dan penyerap limbah yang mencemari perairan.
Mangrove yang tumbuh di ujung sungai besar berperan sebagai penampungan
terakhir bagi limbah dari industri di perkotaan dan perkampungan hulu yang
terbawa aliran sungai. Limbah padat dan cair yang terlarut dalam air sungai
terbawa arus menuju muara sungai dan laut lepas. Area hutan mangrove akan
menjadi daerah penumpukan limbah, terutama jika polutan yang masuk ke dalam
lingkungan estuari melampaui kemampuan pemurnian alami oleh air. Mangrove
alami berperan efektif dalam melindungi pantai dari tekanan alam dan erosi.
Pemandangan menyedihkan yang biasa ditemui pada ekosistem mangrove adalah
banyaknya sampah padat seperti plastik, gabus, kaca dan kardus yang menumpuk
dan tersangkut di akar-akar mangrove. Pembuangan sampah ke dalam ekosistem
ini merupakan indikator rendahnya perhatian masyarakat terhadap ekosistem ini.
Menurut Mastaller (1996), mangrove merupakan tempat yang praktis untuk
pembuangan sampah karena wilayah ini jauh dari pemukiman penduduk
(Arisandi. P, 2001). Kerusakan hutan pasang surut di dunia tidak banyak
tahun ke depan. Mastaller (1996) juga mengatakan bahwa kerusakan dan
punahnya mangrove di seluruh dunia merupakan akibat dari aktivitas manusia.
Pesatnya pembangunan di negara-negara tropis yang berkembang mengubah rawa
mangrove menjadi area pemukiman, pelabuhan, industri, lahan pertanian, dan
pertambakan (Arisandi. P, 2001).
Menurut Tomlinson (1996), pohon api-api (Avicennia marina) telah
dimasukkan dalam suku tersendiri yaitu Avicenniaceae, setelah sebelumnya
dimasukkan dalam suku Verbenaceae, karena Avicennia memiliki perbedaan
mendasar dalam bentuk organ reproduksi dan cara berkembang biak dengan
anggota suku Verbenaceae lainnya. (Arisandi. P, 2001). Pohon api-api (Avicennia
marina) memiliki akar napas (pneumatofore) yang merupakan akar percabangan
yang tumbuh dengan jarak teratur secara vertikal dari akar horizontal yang
terbenam di dalam tanah. Reproduksinya bersifat kryptovivipary, yaitu biji
tumbuh keluar dari kulit biji saat masih menggantung pada tanaman induk, tetapi
tidak tumbuh keluar menembus buah sebelum biji jatuh ke tanah. Buah berbentuk
seperti mangga, ujung buah tumpul dan panjang 1 cm, daun berbentuk ellips
dengan ujung tumpul dan panjang daun sekitar 7 cm, lebar daun 3-4 cm,
permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat dan permukaan bawah berwarna
hijau abu-abu dan suram.
Sel-sel akar tumbuhan umumnya mengandung konsentrasi ion yang lebih
tinggi daripada medium di sekitarnya. Sejumlah besar eksperimen menunjukkan
adanya hubungan antara laju pengambilan ion dengan konsentrasi ion yang
28
konsentrasi substratnya. Menurut Fitter (1982), analogi ini menunjukkan adanya
barier khusus dalam membran sel yang hanya sesuai untuk suatu ion tertentu dan
dapat menyerap ion tersebut, sehingga pada konsentrasi substrat yang tinggi
semua barier berperan pada laju maksimum hingga mencapai laju pengambilan
jenuh (Arisandi. P, 2001). Tembaga (Cu) dalam konsentrasi tinggi atau rendah
bersifat sangat toksik bagi tumbuhan jika berada sebagai satu-satunya unsur dalam
larutan. Sebagai fungisida tembaga (Cu) digunakan dalam bentuk serbuk dan
spray. Tembaga (Cu) juga dibutuhkan oleh beberapa jenis tumbuhan sebagai
elemen mikro yang berperan dalam proses respirasi. Kadmium (Cd) termasuk
dalam elemen stimulator tumbuhan pada bagian tertentu.
Metode pengambilan sampling yang digunakan yaitu Metode Transek
Garis dimana digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas mangrove
dengan melihat mangrove baik, mangrove rusak, bentuk substrat (pasir, lumpur),
dan keberadaan biota lain. Pemilihan lokasi survei harus memenuhi persyaratan
keterwakilan komunitas mangrove di suatu kawasan.
II.3. Landasan Teori
Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat
dijadikan alternatif perlindungan perairan estuari Pantai Timur Surabaya terhadap
pencemaran logam berat. Tumbuhan yang hidup di daerah tercemar memiliki
mekanisme penyesuaian yang membuat polutan menjadi nonaktif dan disimpan di
dalam jaringan tua sehingga tidak membahayakan pertumbuhan dan kehidupan
metabolisme jaringan atau jika tumbuhan tersebut dikonsumsi. Menurut Bryan
and Hummerstone (1971) dalam Wilson (1988), pemberian polutan dapat
merangsang kemampuannya untuk bertahan pada tingkat yang lebih toksik
(Arisandi. P, 2001). Mastaller (1996), mengungkapkan bahwa mangrove yang
tumbuh di muara sungai merupakan tempat penampungan terakhir bagi
limbah-limbah yang terbawa aliran sungai, terutama jika jumlah limbah-limbah yang masuk ke
lingkungan estuari melebihi kemampuan pemurnian alami oleh badan air
(Arisandi. P, 2001). Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap ion-ion
dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Dua sifat penyerapan
ion oleh tumbuhan adalah :
1). Faktor konsentrasi, kemampuan tumbuhan dalam mengakumulasi ion sampai
tingkat konsentrasi tertentu, bahkan dapat mencapai beberapa tingkat lebih
besar dari konsentrasi ion di dalam mediumnya.
2). Perbedaan kuantitatif akan kebutuhan hara yang berbeda pada tiap jenis
tumbuhan.
II.4. Hipotesa
Mangrove dapat dijadikan bioakumulator logam berat di Perairan Estuari
Pantai Timur Surabaya. Semakin banyak jumlah mangrove dalam suatu kawasan
perairan diharapkan dapat menyerap dan mengakumulasi logam berat lebih
30
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Kerangka Penelitian
III.2. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1). Akar mangrove jenis api-api
2). Sedimen yang berada pada stasiun C yaitu Muara Kali Wonorejo, dan stasiun
B yaitu 2 km ke arah Muara Kali Wonorejo, serta stasiun A yaitu 4 km ke arah
Muara Kali Wonorejo.
3). Larutan HCl pekat (12 N)
4). Larutan HNO3 pekat (12 N)
Pengambilan Sampel Penentuan Lokasi
Tahap Proses Destruksi Sampel
Tahap Analisis Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu)
5). Aquadess
III.3. Peralatan Penelitian
Alat yang diperlukan untuk destruksi sampel hingga menjadi larutan
ekstrak adalah oven, oven furnace, blender, timbangan analitik, gelas ukur, pipet,
beaker glass 100 ml, kaca arloji, corong kaca, api bunsen, labu volumetrik 25 ml,
kertas saring dan botol plastik.
III.4. Cara Kerja
Penelitian ini dilakukan secara continue dan dikerjakan dalam dua tahap
proses, yaitu tahap proses destruksi sampel dan tahap analisis kandungan logam
berat tembaga (Cu).
III.4.1. Tahap Proses Destuksi Sampel
Destruksi sampel dilakukan dengan menggunakan metode Dry Ashing
menurut Van Laon (1985) dalam Rini (1999).
1). Sampel tumbuhan yang telah diambil dari lokasi pengamatan dicuci untuk
menghilangkan lumpur yang melekat pada organ tumbuhan, bersama sedimen
kemudian dioven pada suhu 80o
2). Setelah kering sampel dihaluskan hingga menjadi serbuk. Sampel tumbuhan
dihaluskan dengan menggunakan blender, sedangkan sampel sedimen
dihaluskan dengan cara digerus
C selama 48 jam untuk menghilangkan kadar
32
3). Serbuk sampel tumbuhan dan sedimen kemudian ditimbang sebanyak 2-4
gram untuk kemudian dimasukkan ke dalam furnace oven pada suhu 450o
4). Abu sampel kemudian didestruksi secara kimia. Abu sampel dimasukkan ke
dalam beaker glass pyrex kemudian ditambahkan 15 ml HCl pekat dan 5 ml
HNO3 pekat dan mulut beaker ditutup dengan kaca arloji
C
selama 12 jam untuk membuat sampel menjadi abu yang berwarna putih
5). Kemudian beaker glass dipanaskan di atas api bunsen selama 30 menit hingga
larutan asam menguap dan mengering
6). Ke dalam beaker glass diteteskan 1 ml HNO3 pekat, kemudian beaker glass
didinginkan
7). Setelah dingin ditambahkan aquadess sedikit demi sedikit dan larutan sampel
dipindahkan ke dalam labu volumetrik 25 ml menggunakan corong kaca yang
dilapisi kertas saring dan ditetesi aquadess sampai volume larutan tepat 25 ml
III.4.2. Tahap Analisis Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu)
Setelah melalui tahap proses destruksi sampel, maka larutan sampel
tersebut kemudian dituangkan ke dalam botol plastik dan siap untuk dianalisis
kandungan logam berat tembaga (Cu). Sampel sedimen yang dianalisis sebanyak
9 sampel sedangkan sampel akar mangrove api-api sebanyak 3 sampel.
III.5. Variabel
Variabel yang dikerjakan dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel
Wonorejo dibagi menjadi 3 (tiga) titik yang masing-masing berjarak 5 meter,
sedimen yang berada di stasiun B dibagi menjadi 3 (tiga) titik, dimana
masing-masing titik berjarak 5 meter, pengambilan sample diambil secara acak di sekitar
akar mangrove api-api dengan kedalaman 0 cm. Pengambilan sampel sedimen
pada stasiun A dibagi menjadi 3 (tiga) titik, dimana tiap titik masing-masing
berjarak 5 meter. Sampel-sampel tersebut diambil pada hari yang sama dan pada
musim kemarau di kawasan sungai Wonorejo. Penelitian ini dilakukan pada 1
September – 15 Desember 2009, pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 22
November 2009, pukul 13:00-16:00 WIB.
III.6. Analisa Hasil
Analisa hasil kandungan tembaga (Cu) dalam larutan sampel dilakukan
dengan menggunakan Spectro Pharo di Laboratorium Teknik Kimia UPN
“Veteran” Jatim.
III.7. Perhitungan
Setelah memperoleh data hasil Spectro Pharo di Laboratorium Teknik
Kimia UPN “Veteran” Jatim, kemudian hasil kandungan logam berat tembaga
(Cu) pada akar mangrove dilakukan penghitungan rata-rata kadar logam berat
yang terdapat di akar, hal yang sama dilakukan pada sedimen di Muara Kali
Wonorejo, daerah 2 km ke arah muara, serta 4 km ke arah muara, kemudian
34
Cu rata-rata stasiun A = A1 + A2 + A 3
3
Cu rata-rata stasiun B = B1 + B2 + B 3
3
Cu rata-rata stasiun C = C1 + C2 + C3
3
Cu rata-rata A.M = A.M 1 + A.M 2 + A.M 3
3
Dimana : Stasiun A = 4 km ke arah Muara Kali Wonorejo
Stasiun B = 2 km ke arah Muara Kali Wonorejo
Stasiun C = Muara Kali Wonorejo
35
IV.1. Kondisi Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya
Perairan estuari Muara Kali Wonorejo memiliki geomorfologi yang
mengalami proses pembentukan bentang alam oleh akumulasi sedimen (akrasi)
dikarenakan banyaknya suplai sedimen yang terbawa aliran sungai yang bermuara
di sana. Hal ini ditunjukkan oleh adanya hamparan dataran lumpur yang terlihat
jika air laut surut. Sedimen adalah hamparan dataran lumpur yang ada di sekitar
permukaan dekat akar nafas pohon api-api yang diambil secara acak.
Muara Kali Wonorejo memiliki vegetasi mangrove dengan ketebalan
15-20 meter ke arah daratan dan vegetasi tumbuh lebih rapat dengan kanopi daun
yang rimbun. Substrat berupa lumpur halus dan lapisan dalam berwarna
kehitaman. Sketsa Muara Kali Wonorejo ditunjukkan dalam Lampiran C.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 201
Tahun 2004, yang menyatakan bahwa kerapatan pohon mangrove ≥ 1500
pohon/ha tergolong dalam kriteria baik, dan kerapatan pohon mangrove ≥ 1000 –
< 1500 pohon/ha tergolong dalam kriteria sedang atau jarang, sedangkan yang
termasuk dalam kriteria rusak memiliki kerapatan pohon < 1000 pohon/ha.
Berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove tersebut, maka stasiun A
didefinisikan sebagai wilayah hutan mangrove yang tergolong rusak karena
memiliki kerapatan pohon < 1000 pohon/ha, stasiun A berada pada kejauhan 4 km
36
kriteria kerusakan sedang karena memiliki kerapatan pohon ≥ 1000 – < 1500
pohon/ha dan berada pada kejauhan 2 km dari muara kali, sedangkan stasiun C
didefinisikan sebagai wilayah hutan mangrove yang tergolong kriteria baik karena
memiliki kerapatan mangrove ≥ 1500 pohon/ha dimana stasiun C terletak pada
Muara Kali Wonorejo. Pada tiap-tiap stasiun pengambilan sampling dilakukan
pada tiga titik, dimana titik pertama, kedua, dan ketiga masing-masing berjarak 5
meter serta pengambilan sampling dilakukan secara acak.
Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah random atau
acak dengan jarak 5 meter dimana sampling sedimen diambil disekitar akar
mangrove, sedangkan akar mangrove diambil dengan cara menggali untuk
memperoleh akar yang berada dipucuk, diameter akar mangrove yang digunakan
yaitu 5 cm dengan estimasi umur tumbuhan yaitu 5 tahun. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan Siaka, 2008, yang menunjukkan hasil konsentrasi
rata-rata logam berat tembaga (Cu) pada kedalaman sedimen 0 cm (permukaan
sedimen) adalah 35,85 mg/kg, kedalaman 10 cm sebesar 33,69 mg/kg, sementara
pada konsentrasi rata-rata logam berat tembaga (Cu) pada 20 cm adalah 32,22
mg/kg, dilihat dari hasil penelitian tersebut yang menunjukkan bahwa akumulasi
logam berat terbesar terdapat pada kedalaman 0 cm, maka pengambilan sampel
sedimen untuk penelitian ini hanya menggunakan kedalaman 0 cm (permukaan
IV.2. Analisis Kandungan Tembaga (Cu) dalam Sedimen di Perairan
Estuari Pantai Timur Surabaya
Analisis kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo
menggunakan Spectro Pharo di Laboratorium Teknik Kimia UPN “Veteran”
Jatim memberikan hasil yang ditunjukkan dalam tabel 1.
Tabel IV.1. Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Sedimen di Muara Kali
Wonorejo pada Tiap Titik dan Tiap Stasiun
Replikasi Jarak Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) pada Stasiun
(m) A B C
1 5 1,49 1,326 0,859
2 10 0,781 1,041 1,08
3 15 1,003 1,282 0,722
Rata-rata 1,091 1,208 0,887
Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa rata-rata kandungan tembaga (Cu) di
Muara Kali Wonorejo adalah 3,186 mg/lt, dimana hasil ini didapat dari akumulasi
rata-rata hasil pada stasiun A, B, dan C.
Pengaruh jarak terhadap kadar kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di
38
Grafik 1. Pengaruh Jarak terhadap Kadar Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam
Sedimen di Muara Kali Wonorejo
Pada stasiun A di titik 1 memiliki kandungan logam berat tembaga (Cu)
sebesar 1,49 mg/lt, titik 2 sebesar 0,781 mg/lt, dan titik 3 sebesar 1,003 mg/lt. Dan
pada stasiun B di titik 1 memiliki kandungan logam berat tembaga (Cu) sebesar
1,326 mg/lt, titik 2 sebesar 1,041 mg/lt, dan titik 3 sebesar 1,282 mg/lt. Sedangkan
stasiun C pada titik 1 mempunyai kandungan tembaga (Cu) sebesar 0,859 mg/lt,
titik 2 sebesar 1,08mg/lt, dan titik 3 sebesar 0,722 mg/lt. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara tiap titik pada masing-masing stasiun.
Berdasarkan grafik di atas, maka diperoleh persamaan umum untuk stasiun
C dengan menggunakan regresi nonlinier metode parabola kuadratik :
Y = 0,059 + 0,2179 X + (- 0,01158 × X2)
Contoh perhitungan untuk menentukan persamaan kuadratik tercantum dalam
Persamaan kuadratik digunakan untuk menginformasikan model perumusan untuk
mencari nilai Y pada X tertentu. Dimana Y adalah nilai kandungan tembaga (Cu)
(mg/lt), sedangkan X adalah jarak (meter).
Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di tiap stasiun
ditunjukkan dalam tabel 2.
Tabel IV.2. Rata-rata Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Sedimen pada
Tiap Stasiun di Muara Kali Wonorejo
Stasiun Jarak (km) Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt)
C 0 0,887
B 2 1,208
A 4 1,091
Jumlah 3,186
Pengaruh jarak terhadap penurunan kadar tembaga (Cu) tiap stasiun di
40
Grafik 2. Pengaruh Jarak terhadap Penurunan Kadar Tembaga (Cu) (mg/lt)
dalam Stasiun di Muara Kali Wonorejo
Hasil analisa data terhadap kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di
Muara Kali Wonorejo menunjukkan bahwa Muara Kali Wonorejo tercemar logam
berat tembaga sebesar 3,186 mg/lt. Stasiun A mengakumulasi logam berat
tembaga (Cu) sebesar 1,091 mg/lt, stasiun B sebesar 1,208 mg/lt, dan stasiun C
sebesar 0,887 mg/lt. Akumulasi logam berat tembaga (Cu) terbesar terdapat di
stasiun B, diduga logam berat tersebut tidak sempat terbawa arus dan tertahan.
Sedangkan akumulasi logam berat tembaga (Cu) yang terkecil terdapat distasiun
C, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah mangrove semakin besar
potensi penyerapan dan akumulasi logam berat tembaga (Cu).
Besarnya kandungan logam berat tembaga (Cu) yang terdapat di Muara
Kali Wonorejo menunjukkan bahwa muara tersebut menerima suplai limbah yang
mengandung tembaga (Cu) dalam konsentrasi yang cukup besar. Muara Kali
Waru. Pembuangan limbah yang tidak diolah terus terjadi karena lemahnya
pengawasan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
Pergerakan arus kurang berpengaruh terhadap penyebaran sedimen di
Pantai Timur Surabaya, karena kecepatannya relatif rendah. Arus yang lebih
berpengaruh adalah arus dari sungai dan arus pasang surut, sehingga kandungan
logam berat di muara tersebut diduga menunjukkan kandungan logam berat yang
diterima dari aliran sungai yang bermuara ke sana.
Materi organik dalam sedimen dan kapasitas penyerapan berhubungan erat
dengan ukuran partikel dan luas daerah permukaan penyerapan logam, sehingga
konsentrasi logam biasanya bervariasi tergantung distribusi ukuran partikelnya.
Substrat di Muara Kali Wonorejo berupa lumpur halus yang mudah berikatan
dengan logam.
Adanya materi organik hasil penguraian serasah vegetasi mangrove oleh
mikroba diduga menambah kandungan logam berat yang berikatan dalam sedimen
di Muara Kali Wonorejo, karena logam berat berikatan dengan materi organik
tersebut dan mengendap ke dasar perairan membentuk lapisan lumpur halus di
atas permukaan sedimen.
IV.3. Analisis Kandungan Tembaga (Cu) dalam Akar Pohon Api-api
(Avicennia marina)
Analisis kandungan tembaga (Cu) dalam akar pohon api-api (Avicennia
marina) dengan menggunakan Spectro Pharo di Laboratorium Teknik Kimia
42
Tabel IV.3. Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt) dalam Akar Pohon Api-api di
Muara Kali Wonorejo
Replikasi Jarak (m) Kandungan Tembaga (Cu) (mg/lt)
1 5 4,212
2 10 7,175
3 15 5,421
Rata-rata 5,602
Grafik 3. Pengaruh Mangrove Api-api terhadap Penurunan Kadar Tembaga
(Cu) (mg/lt) di Stasiun C pada Muara Kali Wonorejo
Dari tabel dan grafik di atas diketahui bahwa pohon api-api (Avicennia
marina) di Muara Kali Wonorejo memiliki rata-rata kandungan tembaga (Cu)
5,602 mg/lt. Hal ini menunjukkan bahwa akar pohon api-api (Avicennia marina)
dapat mengakumulasi tembaga (Cu). Selain akumulasi, diduga pohon api-api
dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan
menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam
jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Pengenceran
dengan penyimpanan air di dalam jaringan biasanya terjadi pada daun dan diikuti
dengan terjadinya penebalan daun (sukulensi). Ekskresi juga merupakan upaya
yang mungkin terjadi, yaitu dengan menyimpan materi toksik logam berat di
dalam jaringan yang sudah tua seperti daun yang sudah tua dan kulit batang yang
mudah mengelupas, sehingga dapat mengurangi konsentrasi logam berat di dalam
tubuhnya.
Metabolisme atau transformasi secara biologis (biotransformasi) logam
berat dapat mengurangi toksisitas logam berat. Logam berat yang masuk ke dalam
tubuh akan mengalami pengikatan dan penurunan daya racun, karena diolah
menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih sederhana. Menurut Darmono
(1995), proses ini dibantu dengan aktivitas enzim yang mengatur dan
44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1). Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo
adalah 3,186 mg/lt. Hal ini menunjukkan bahwa muara tersebut menerima
suplai limbah yang mengandung logam berat tembaga (Cu) dalam
konsentrasi yang cukup besar.
2). Rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam akar pohon api-api di Muara Kali
Wonorejo adalah 5,602 mg/lt, maka dapat disimpulkan bahwa pohon api-api
dapat mengakumulasi logam berat tembaga (Cu).
3). Stasiun C memberikan pengaruh pengendalian pencemar yang relatif baik
dibandingkan dengan stasiun A dan stasiun B, karena stasiun C dapat
merecovery kadar tembaga (Cu) sebesar 359 %, sedangkan stasiun A hanya
V.2. Saran
Saran yang diajukan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1). Pohon api-api (Avicennia marina) mampu mengakumulasi logam berat di
dalam organ tubuhnya, sehingga keberadaannya di perairan estuari Pantai
Timur Surabaya perlu dipertahankan. Muara Kali Wonorejo perlu
direboisasi dengan vegetasi mangrove dan dijadikan sebagai kawasan
preservasi yang mampu menampung logam berat yang terkandung dalam
limbah industri dan rumah tangga yang terbawa aliran sungai-sungai yang
bermuara di sana.
2). Perlu adanya pengawasan dari lembaga pemerintah yang berwenang
terhadap pembuangan limbah industri ke sungai dan memberikan sanksi
yang tegas terhadap industri yang melakukan pelanggaran, sehingga dapat
mengurangi timbulnya dampak pencemaran di perairan Pantai Timur
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003, “Metode Survei Terumbu Karang Indonesia (Metode Transek)”,
Anonim, 2004, “Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan
Pantai”, Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1) 2004
Anonim, 2004, “Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Air”, Lampiran I Peraturan
Daerah Kota Surabaya Nomor 02, 19 (1) 2004
Anonim, 2004, “Kriteria Baku Kerusakan Mangrove”, Lampiran I Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 201, 13 (10) 2004
Anonim, 2007, “Mau tau jenis-jenis mangrove ? Kenali tipe akarnya”,
Anonim, 2008, “Mekanisme Toksisitas Logam Berat
Arisandi, 2001, “Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian
Logam Berat Pesisir
Irwanto, 2006, “Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove”,
Rini, D.S., 1999, “Analisis Kandungan logam Berat Tembaga (Cu) dan Kadmium
(Cd) dalam Pohon Api-api (Avicennia marina) di Perairan Estuari Pantai
Timur Surabaya”, Skripsi Mahasisiwi Jurusan Biologi Fakultas Matematika
Sudjana, M.A., Prof. DR. M.Sc, “Metode Statistika”, Edisi Ke-6, Halaman 337-340,
Tarsito, Bandung, September 1996
Van Loon, J. C, 1985, “Selected Method of Trace Metal Analysis: Biological and
Environmental Samples”, John Wiley and Sons Inc., Toronto Canada
Wijayanti, T., 2007, “Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Wisata Pendidikan”,
Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan