MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
PRAJABATAN GOLONGAN III
Drs. Salamoen Soeharyo, MPA Dra. Nasri Effendy, M.Sc
Hak Cipta Pada : Lembaga Administrasi Negara Edisi Tahun 2006
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110
Telp. (62 21) 3868201, Fax. (62 21) 3800188
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Jakarta – LAN – 2006 142 hlm: 15 x 21 cm
ISBN: 979 – 8619 – 83 – 8
iii
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
KATA PENGANTAR
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2005 – 2009 telah menetapkan bahwa visi pembangunan nasional adalah: (1) terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai; (2) terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak asasi manusia; serta (3) terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan visi ini, mutlak diperlukan peningkatan kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS), khususnya para Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang akan menjadi PNS. PNS memainkan peran dan tanggungjawabnya yang sangat strategis dalam mendorong dan mempercepat perwujudan visi tersebut.
Untuk mempercepat upaya meningkatkan kompetensi tersebut, Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menetapkan kebijakan desentralisasi dengan pengendalian kualitas dengan standar tertentu dalam penyelenggaraan Diklat Prajabatan. Dengan kebijakan ini, jumlah penyelenggaraan dapat lebih menyebar disamping jumlah alumni yang berkualitas dapat meningkat pula. Standarisasi meliputi keseluruhan aspek penyelenggaraan Diklat, mulai dari aspek kurikulum yang meliputi rumusan kompetensi, mata Diklat dan strukturnya, metode dan skenario pembelajaran dan lain-lain sampai pada aspek administrasi seperti persyaratan peserta, administrasi penyelenggaraan, dan sebagainya. Dengan standarisasi ini, maka kualitas penyelenggaraan dan alumni diharapkan dapat lebih terjamin.
Salah satu unsur Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan yang mengalami penyempurnaan antara lain modul atau bahan ajar untuk para peserta. Oleh karena itu, kami menyambut baik penerbitan modul yang telah disempurnakan ini, sebagai antisipasi dari perubahan lingkungan stratejik yang cepat dan luas diberbagai sektor. Dengan kehadiran modul ini, kami mengharapkan agar peserta Diklat dapat memanfaatkannya secara optimal, bahkan dapat menggali keluasan dan kedalaman substansinya bersama melalui diskusi sesama dan antar peserta dengan fasilitator para Widyaiswara dalam proses kegiatan pembelajaran selama Diklat berlangsung.
Kepada penulis dan seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi, kami haturkan terima kasih. Semoga buku hasil perbaikan ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, Desember 2006
KEPALA
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUNARNO
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Deskripsi Singkat... 1
B. Manfaat Pembelajaran ... 1
C. Tujuan Pembelajaran ... 1
BAB II SISTEM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA ... 3
A. Pengertian ... 3
B. Penyelenggaraan Kekuasaan Pemerintahan Negara... 4
C. Rangkuman... 6
D. Latihan/Diskusi... 6
BAB III PENYELENGGARAAN TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) ... 7
A. Pengertian dan Pemahaman Tata Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance) ... 7
vi
Yang Baik (Good Governance) ... 10
C. Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ... 18
D. Peradilan Tata Usaha Negara... 24
E. Rangkuman ... 26
F. Latihan ... 28
BAB IV PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN... 29
A. Asas Peraturan Perundang-undangan ... 29
B. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan ... 33
C. Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang ... 36
D. Kerangka Peraturan Perundang-undangan... 41
E. Rangkuman ... 42
F. Latihan ... 43
BAB V LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAH ... 44
A. Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah ... 45
B. Urusan Pemerintah Yang Menjadi Kewenangan Daerah ... 48
C. Lembaga Pemerintah Tingkat Pusat ... 51
D. Lembaga Pemerintah Tingkat Daerah ... 74
E. Lembaga Perekonomian Negara ... 81
vii D. Rangkuman... 85
D. Latihan... 87
BAB VI HUBUNGAN PRESIDEN DENGAN LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA LAINNYA DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA ... 88
A. Hubungan Presiden Dengan MPR... 88
B. Hubungan Presiden Dengan DPR... 89
C. Hubungan Presiden Dengan DPD ... 90
D. Hubungan Presiden Dengan BPK... 90
E. Hubungan Presiden Dengan MA... 91
F. Hubungan Presiden Dengan MK... 91
G. Hubungan Presiden Dengan Bank Indonesia... 92
H. Rangkuman... 93
I. Latihan... 93
BAB VII PROSES MANAJEMEN PEMERINTAHAN ... 95
A. Perencanaan ... 95
B. Pengorganisasian ... 98
C. Pelaksanaan ... 102
D. Pengawasan ... 114
E. Rangkuman... 126
BAB VIII PENUTUP... 130
A. Tes... 130
B. Tindak Lanjut... 131
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Deskripsi Singkat
Mata Diklat Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia membahas pengertian sistem penyelenggaraan pemerintahan negara RI, penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik (good governance), pembentukan
peraturan perundang-undangan, lembaga-lembaga pemerintah, hubungan Presiden dengan lembaga-lembaga negara lainnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara, dan proses manajemen pemerintahan dengan mengacu kepada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
B.
Manfaat Pembelajaran
Dengan mempelajari mata Diklat ini peserta Diklat akan memperoleh pengetahuan tentang Pelaksanaan Sistem
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Kesatuan RI yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan tugas peserta.
C.
Tujuan Pembelajaran
1. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
penyelenggaraan pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.
2. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan mampu:
a. Menjelaskan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
b. Menjelaskan tata kepemerintahan yang baik (good
governance);
c. Menjelaskan pembentukan peraturan perundangan; d. Menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah;
e. Menjelaskan hubungan Presiden dengan
lembaga-lembaga negara lainnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara;
f. Menjelaskan proses manajemen pemerintahan.
BAB II
SISTEM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN NEGARA
A.
Pengertian
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara pada hakikatnya merupakan uraian tentang bagaimana mekanisme pemerintahan negara dijalankan oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan Negara. Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara ialah sistem bekerjanya Pemerintahan sebagai fungsi
yang ada pada Presiden.
Pada dasarnya Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara tidak membicarakan Sistem Penyelenggaraan Negara oleh Lembaga-lembaga Negara secara keseluruhan. Dalam arti sempit, istilah Penyelenggaraan Negara tidak mencakup
lembaga-lembaga Negara yang tercantum dalam UUD 1945. Sedangkan dalam arti luas, istilah penyelenggaraan negara mengacu pada tataran supra struktur politik (lembaga negara dan lembaga pemerintah), maupun pada tataran infrastruktur politik (organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan). Dengan demikian, yang dimaksud dengan Sistem Penyelenggaraan
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 4
B.
Penyelenggaraan Kekuasaan Pemerintahan
Negara
Menurut UUD 1945, Presiden adalah sebagai penyelenggara atau pemegang kekuasaan Pemerintahan Negara. Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang
Wakil Presiden. Selain itu, dalam menjalankan fungsinya
Presiden dibantu oleh Menteri-Menteri Negara, dimana setiap
Menteri Negara membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Menteri-menteri Negara ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Sebagai Kepala Lembaga Eksekutif atau Kepala Pemerintahan, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dan
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan
Undang-undang sebagaimana mestinya. Presiden tidak dapat
membekukan dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai Kepala Negara, Presiden: 1. Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Udara, dan Angkatan Laut;
2. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain dengan persetujuan DPR;
3. Dalam membuat perjanjian lainnya yang menimbulkan
akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 5
perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan
persetujuan DPR ;
4. Menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat
keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang ;
5. Mengangkat Duta dan Konsul. Dalam mengangkat Duta, memperhatikan pertimbangan DPR ;
6. Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR ;
7. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung (MA) ;
8. Memberi abolisi dan amnesti dengan memperhatikan
pertimbangan DPR ;
9. Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan
yang diatur dengan Undang-undang ;
10. Membentuk Dewan Pertimbangan yang bertugas memberi
nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan Undang-undang;
11. Membahas rancangan Undang-undang untuk mendapatkan
persetujuan bersama DPR;
12. Mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah
disetujui bersama DPR untuk menjadi Undang-undang. 13. Dalam hal ikhwal kegentingan memaksa, Presiden berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang;
14. Mengajukan Rancangan Undang-undang APBN untuk
15. Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih oleh DPR atas dasar pertimbangan DPD;
16. Menetapkan Calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi
Yudisial dan telah mendapat persetujuan DPR untuk menjadi Hakim Agung ;
17. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR ;
18. Menetapkan dan mengajukan anggota hakim konstitusi.
C.
Rangkuman
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara tidak membicarakan sistem penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga negara secara keseluruhan akan tetapi adalah membicarakan mekanisme bekerjanya lembaga-lembaga eksekutif yang dipimpin oleh Presiden baik selaku Kepala
Pemerintahan maupun sebagai Kepala Negara.
D.
Latihan/Diskusi
1. Apakah yang dimaksud dengan Sistem Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara?
2. Apa saja tugas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan
sebagai Kepala Negara?
3. Mengapa Menteri-menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR?
BAB III
PENYELENGGARAAN TATA
KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
(
GOOD GOVERNANCE
)
A.
Pengertian
dan
Pemahaman
Tata
Kepemerintahan
Yang
Baik
(
GOOD
GOVERNANCE
)
Sejalan dengan kemajuan masyarakat dengan peningkatan permasalahannya, birokrasi cenderung terus semakin besar.
Akibatnya adalah timbul masalah kuantitas dan kualitas birokrasi yang semakin lama semakin serius, termasuk beban negara menjadi terus bertambah berat. Keadaan ini diperparah dengan datangnya era globalisasi, yang merupakan era semakin luas dan tajamnya kompetisi antar bangsa. Globalisasi
menimbulkan masalah yang harus di atasi agar kepentingan nasional tidak dirugikan, di lain pihak menimbulkan pula peluang yang perlu dimanfaatkan untuk kemajuan dan
kepentingan nasional. Namun hal itu tidak mungkin mampu
dihadapi dan ditanggulangi lagi oleh pemerintah sendiri.
ESCAP mengartikan governance sebagai proses pengambilan keputusan dan proses diimplementasikan atau tidak
diimplementasikannya keputusan: “the process of decision
making and the process by which the decision are implemented
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 8
dapat digunakan dalam beberapa konteks, seperti “corporate
governance”, “international governance”, “national
governance” dan “local governance”.
Osborn dan Gaebler (1992: 24) mendefinisikan governance
sebagai proses dimana kita memecahkan masalah kita
bersama dan memenuhi kebutuhan masyarakat “the process
in which we solve our problem collectivelly and meet the society
needs”. Meuthia Ganie – Rahman (Jakarta Post 26-10-1999: 2),
mendefinisikan governance sebagai “pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan negara dan sektor non
pemerintah dalam suatu usaha kolektif”.
Governance melibatkan berbagai pelaku, pelaku-pelaku yang berkepentingan atau stakeholder, yang pada dasarnya terdiri atas negara atau pemerintah dan non pemerintah atau masyarakat, yang tergantung dari permasalahan dan peringkat pemerintahannya dapat meliputi kalangan yang sangat luas dan
beraneka ragam seperti organisasi politik, LSM, organisasi profesi, dunia usaha/swasta, koperasi, individu dan bahkan lembaga internasional. Oleh karena itu, UNDP (PT. Wahana…, 1999: 14) juga menyebutkan bahwa governance yang baik sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat.
Berhubung dengan keterlibatan berbagai pihak: negara, dunia
usaha dan masyarakat tersebut, maka antara lain UNDP (ibid)
mengemukakan ciri governance yang baik adalah:
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 9
1. Partisipasi, bahwa setiap warga negara baik langsung mau pun melalui perwakilan, mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan dalam pemerintahan;
2. Aturan hukum (rule of law), kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama untuk hak asasi manusia;
3. Transparansi, yang dibangun atas dasar kebebasan arus
informasi. Informasi dapat diperoleh oleh mereka yang
membutuhkan serta dapat dipahami dan dimonitor;
4. Ketanggapan (responsiviness), yang berarti bahwa berbagai
upaya lembaga dan prosedur-prosedur harus berupaya untuk melayani setiap stakeholder dengan baik, aspiratif;
5. Orientasi pada konsensus. Governance yang baik menjadi
perantara kepentingan-kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas;
6. Kesetaraan (equity). Semua warga negara, mempunyai
kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau
mempertahankan kesejahteraannya;
7. Efektifitas dan efisiensi, penggunaan sumber-sumber daya
secara berhasilguna dan berdayaguna.
Demikianlah kini istilah “good governance” telah menjadi perhatian orang dimana-mana.
Dalam bahasa Indonesia telah ada tiga terjemahan untuk
governance: kepemimpinan (Sofyan Effendi, lihat Bintoro),
penyelenggaraan (Bondan Gunawan). Mengingat istilah
governance dapat digunakan dalam beberapa konteks seperti
dikemukakan oleh ESCAP di atas, dan untuk negara/pemerintah mestinya public governance, maka istilah pengelolaan dan
penyelenggaraan nampaknya lebih tepat. Akan tetapi
dikaitkan dengan istilah yang ada dalam UUD 1945 penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan negara nampaknya untuk kita, dalam penyelenggaraan negara/
pemerintahan, lebih baik governance diterjemahkan sebagai
penyelenggaraan.
BAPPENAS, melalui Tim Pengembangan Kebijakan Nasional menyatakan bahwa “istilah tata kepemerintahan yang baik mulai
banyak dikenal di tanah air sejak tahun 1997, ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai
dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat madani.
Selain sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggaraan peme rintahan, tata kepemerintahan yang baik juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara
pemerintah, dunia usaha/swasta, dan masyarakat”.
B.
Upaya Mewujudkan Tata Kepemerintahan
Yang Baik (
Good Governance
)
Upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik membutuhkan komitmen kuat, daya tahan, dan waktu yang
tidak singkat karena diperlukan pembelajaran, pemahaman,
serta implementasi nilai-nilai tata kepemerintahan yang baik
secara utuh oleh seluruh komponen bangsa termasuk oleh
aparatur pemerintah dan masyarakat luas. Di samping itu,
perlu adanya kesepakatan bersama serta rasa optimistik yang
tinggi dari seluruh komponen bangsa bahwa penyelenggaraan
tata kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi pencapaian masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
Untuk itu, Bappenas melalui Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik, menyatakan bahwa dalam upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik perlu diperhatikan prinsip-prinsip Tata Kepemerintahan Yang
Baik dengan indikator minimal dan perangkat pendukung
indikatornya sebagai berikut:
1. Wawasan Kedepan (Visionary):
a. Indikator Minimal:
1) Adanya visi dan strategi yang jelas dan mapan
dengan menjaga kepastian hukum;
2) Adanya kejelasan setiap tujuan kebijakan dan
program;
3) Adanya dukungan dari pelaku untuk mewujudkan visi.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Peraturan/kebijakan yang memberikan kekuatan
hukum pada visi dan strategi;
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 12
2. Keterbukaan dan Transparansi (Openness and
Transparancy)
a. Indikator Minimal:
1) Tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan publik;
2) Adanya akses pada informasi yang siap, mudah
dijangkau, bebas diperoleh, dan tepat waktu.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan informasi;
2) Pusat/balai informasi ;
3) Website (e-government, e-procurement, dsb);
4) Iklan layanan masyarakat ;
5) Media cetak ; 6) Papan pengumuman.
3. Partisipasi masyarakat (Participation):
a. Indikator Minimal:
1) Adanya pemahaman penyelenggara negara tentang
proses/metode partisipatif;
2) Adanya pengambilan keputusan yang didasarkan
atas konsensus bersama.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Pedoman pelaksanaan proses partisipatif;
2) Forum konsultasi dan temu publik, termasuk forum
stakeholder ;
3) Media massa nasional maupun media lokal sebagai sarana penyaluran aspirasi masyarakat;
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 13
4) Mekanisme/peraturan untuk mengakomodasi kepentingan yang beragam.
4. Tanggung Gugat (Accountability):
a. Indikator Minimal:
1) Adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan;
2) Adanya sanksi yang ditetapkan atas kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan kegiatan.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Mekanisme pertanggungjawaban;
2) Laporan tahunan;
3) Laporan pertanggungjawaban;
4) Sistem pemantauan kinerja penyelenggara negara; 5) Sistem pengawasan;
6) Mekanisme reward and punishment.
5. Supremasi Hukum (Rule of Law):
a. Indikator Minimal:
1) Adanya kepastian dan penegakkan hukum; 2) Adanya penindakan setiap pelanggar hukum; 3) Adanya pemahaman mengenai pentingnya
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Sistem yuridis yang terpadu/terintegrasi
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan);
2) Reward and punishment yang jelas bagi aparat
3) Sistem pemantauan lembaga peradilan yang objektif, independen, dan mudah diakses publik (ombudsman); 4) Sosialisasi mengenai kesadaran hukum.
6. Demokrasi (Democracy):
a. Indikator Minimal:
1) Adanya kebebasan dalam menyampaikan aspirasi dan berorganisasi;
2) Adanya kesempatan yang sama bagi setiap anggota
masyarakat untuk memilih dan membangun konsensus dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
Peraturan yang menjamin adanya hak dan kewajiban
yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk turut serta dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
7. Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and
Competency):
a. Indikator Minimal:
1) Berkinerja tinggi; 2) Taat asas;
3) Kreatif dan inovatif;
4) Memiliki kualifikasi di bidangnya.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Standar kompetensi yang sesuai dengan fungsinya;
2) Kode etik profesi;
3) Sistem rewardandpunishment yang jelas; 4) Sistem pengembangan SDM;
5) Standar dan indikator kinerja.
8. Daya Tanggap (Responsiveness):
a. Indikator Minimal:
1) Tersedianya layanan pengaduan dengan prosedur
yang mudah dipahami oleh masyarakat;
2) Adanya tindak lanjut cepat dari laporan dan pengaduan.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Standar pelayanan publik;
2) Prosedur dan layanan pengaduan hotlin ;
3) Fasilitas komunikasi dan informasi.
9. Keefesienan dan Keefektifan (Efficiency and Effectiveness):
a. Indikator Minimal:
1) Terlaksananya administrasi penyelenggaraan
negara yang berkualitas dan tepat sasaran dengan penggunaan sumber daya yang optimal;
2) Adanya perbaikan berkelanjutan;
3) Berkurangnya tumpang tindih penyelenggaraan
fungsi organisasi/unit kerja.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Standar dan indikator kinerja untuk menilai efisiensi dan efektifitas pelayanan;
2) Survei-survei kepuasan stakeholders.
10.Desentralisasi (Decentralization):
a. Indikator Minimal:
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 16
b. Perangkat Pendukung Indikator:
Peraturan perundang-undangan mengenai: 1) Struktur organisasi yang tepat dan jelas;
2) Job description (uraian tugas) yang jelas.
11.Kemitraan Dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat (Private Sector and Civil Society Partnership):
a. Indikator Minimal:
1) Adanya pemahaman aparat pemerintah tentang pola
kemitraan;
2) Adanya lingkungan yang kondusif bagi masyarakat
kurang mampu (powerless) untuk berkarya;
3) Terbukanya kesempatan bagi masyarakat/dunia
usaha swasta untuk turut berperan dalam penyediaan pelayanan umum;
4) Adanya pemberdayaan institusi ekonomi
lokal/usaha mikro, kecil, dan menengah, serta koperasi.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Peraturan-peraturan dan pedoman yang mendorong
kemitraan pemerintah-dunia usaha swasta-masyarakat;
2) Peraturan-peraturan yang berpihak pada masyarakat kurang mampu;
3) Program-program pemberdayaan.
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 17
12.Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan
(Commitment to Reduce Inequality):
a. Indikator Minimal:
1) Adanya langkah-langkah atau kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat yang kurang mampu (subsidi silang,
affirmative action, dan sebagainya);
2) Tersedianya layanan-layanan/fasilitas-fasilitas
khusus bagi masyarakat tidak mampu;
3) Adanya kesetaraan dan keadilan gender;
4) Adanya pemberdayaan kawasan tertinggal.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Peraturan-peraturan yang berpihak pada pember
dayaan gender, masyarakat kurang mampu, dan kawasan tertinggal;
2) Program-program pemberdayaan gender, masyara kat kurang mampu, dan kawasan tertinggal.
13.Komitmen pada Lingkungan Hidup (Commitment to
Environmental Protection):
a. Indikator Minimal:
1) Adanya keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan/konservasinya;
2) Penegakan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan;
3) Rendahnya tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan;
4) Rendahnya tingkat pelanggaran perusakan
b. Perangkat Pendukung Indikator:
1) Peraturan dan kebijakan yang menjamin
perlindungan dan pelestarian sumber daya alam dan ling kungan hidup;
2) Forum kegiatan peduli lingkungan ;
3) Reward and punishment dalam pemanfaatan
sumber daya dan perlindungan lingkungan hidup.
14.Komitmen pada Pasar Yang Fair (Commitment to
Fair Market):
a. Indikator Minimal:
1) Tidak ada monopoli;
2) Berkembangnya ekonomi masyarakat; 3) Terjaminnya iklim kompetisi yang sehat.
b. Perangkat Pendukung Indikator:
Peraturan-peraturan mengenai persaingan usaha yang menjamin iklim kompetisi yang sehat.
C.
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang berdayaguna, berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab, telah diterbitkan Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP).
Pelaksanaannya lebih lanjut didasarkan atas Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara (Keputusan Kepala LAN No. 589/ IX/6/4/1999 dan telah
dirubah dengan Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003).
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik.
1. Pengertian Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban atau menjawab dan menerangkan
kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Berdasarkan pengertian ini, maka semua instansi pemerintah, badan dan lembaga negara di
pusat dan daerah sesuai dengan tugas pokok masing-masing harus memahami lingkup akuntabilitasnya masing-masing, karena akuntabilitas yang diminta meliputi keberhasilan dan juga kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan.
2. Prinsip-Prinsip Akuntabilitas
Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah, perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel;
b. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 20
c. Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan;
d. Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta
hasil dan manfaat yang diperoleh;
e. Harus jujur, objektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyusunan laporan
akuntabilitas.
Di samping itu, akuntabilitas kinerja harus pula menyajikan penjelasan tentang deviasi antara realisasi kegiatan dengan rencana serta keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian
sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, pengukuran kinerja dimulai dari perencanaan strategis dan berakhir dengan penyerahan laporan akuntabilitas kepada pemberi mandat (wewenang). Dalam pelaksanaan akuntabilitas ini, diperlukan pula perhatian dan komitmen
yang kuat dari atasan langsung instansi yang
memberikan akuntabilitasnya, lembaga perwakilan dan
lembaga pengawasan, untuk mengevaluasi akuntabilitas
kinerja instansi yang bersangkutan.
3.Perencanaan Strategis
Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah perencanaan strategis merupakan langkah awal untuk melaksanakan mandat. Perencanaan strategis instansi pemerintah memerlukan integrasi antara keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 21
tuntutan perkembangan lingkungan strategis, nasional dan global. Analisis terhadap lingkungan organisasi, baik internal
maupun eksternal merupakan langkah yang sangat penting dalam memperhitungkan kekuataan (strengths), kelemahan
(weaknesses), peluang (opportunities), dan tantangan/kendala
(threats) yang ada. Analisis terhadap unsur-unsur tersebut
sangat penting dan merupakan dasar bagi perwujudan visi dan misi serta strategi instansi pemerintah.
Dengan perkataan lain, perencanaan strategis yang disusun oleh suatu instansi pemerintah harus mencakup: (1) pernyatan visi, misi, strategi, dan faktor-faktor keberhasil an organisasi; (2) rumusan tentang tujuan, sasaran dan uraian
aktivitas organisasi; dan (3) uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Dengan visi, misi, dan strategi yang jelas maka diharapkan instansi pemerintah akan dapat menyelaraskan dengan potensi, peluang dan kendala yang dihadapi. Perencanaan strategis bersama dengan
pengukuran kinerja serta evaluasinya merupakan
rangkaian sistem pengukuran kinerja yang penting.
4. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan
termasuk penciptaan indikator kinerja atau pengukuran keberhasilan pelaksanaan program, sehingga dengan
demikian dapat diukur dan dievaluasi tingkat keberhasilan nya.
Pengukuran kinerja merupakan jembatan antara perencanaan strategis dengan akuntabilitas. Suatu instansi pemerintah dapat dikatakan berhasil jika terdapat bukti-bukti atau
indikator-indikator atau ukuran-ukuran pencapaian yang mengarah pada perencanaan misi. Tanpa adanya pengukuran kinerja sangat sulit dicari pembenaran yang logis atau pencapaian misi organisasi instansi. Sebaliknya dengan disusunnya perencanaan strategis yang jelas, perencanaan
operasional yang terukur, maka dapat diharapkan tersedia pembenaran yang logis dan argumentasi yang memadai untuk mengatakan suatu pelaksanan program berhasil atau tidak. Dalam pengukuran kinerja perlu adanya:
a. Penetapan Indikator Kinerja
Penetapan indikator kinerja merupakan proses identifi kasi dan klasifikasi indikator kinerja melalui sistem pengumpulan dan pengolahan data/informasi untuk menentukan capaian tingkat kinerja kegiatan/program.
b. Penetapan Capaian Kinerja
Penetapan capaian kinerja dimaksudkan untuk
mengetahui dan menilai capaian indikator kinerja pelaksanaan kegiatan/program dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh suatu instansi pemerintah.
5. Evaluasi Kinerja
Setelah tahap pengukuran kinerja dilalui, berikutnya adalah tahap evaluasi kinerja. Tahapan ini dimulai dengan menghitung nilai capaian dari pelaksanaan perkegiatan. Kemudian dilanjutkan dengan menghitung capaian kinerja dari pelaksanaan program didasarkan pembobotan dari setiap kegiatan yang ada di dalam suatu program.
6. Pelaporan
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) harus disampaikan oleh instansi-instansi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Penyusunan laporan harus mengikuti prinsip-prinsip yang lazim, suatu laporan harus disusun
secara jujur, objektif dan transparan. Di samping itu perlu
pula diperhatikan prinsip-prinsip:
a. Prinsip pertanggungjawaban, sehingga harus cukup
jelas hal–hal yang dikendalikan maupun yang tidak dikendalikan oleh pihak yang melaporkan harus dapat
di mengerti pembaca laporan;
b. Prinsip pengecualian, yang dilaporkan yang penting
dan terdepan bagi pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban instansi yang bersangkutan instansi yang bersangkutan seperti keberhasilan dan
kegagalan, perbedaan realisasi dan target;
c. Prinsip manfaat yaitu manfaat laporan harus lebih
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 24
Selanjutnya, perlu pula diperhatikan beberapa ciri laporan yang baik seperti relevan, tepat waktu, dapat
dipercaya/diandalkan, mudah dimengerti (jelas dan
cermat), dalam bentuk yang menarik (tegas dan konsisten,
tidak kontradiktif), berdaya banding tinggi, berdayasaing,
lengkap, netral, padat dan terstandarisasi. Agar LAKIP
dapat lebih berguna sebagai umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka bentuk dan isinya diseragamkan
tanpa mengabaikan keunikan masing-masing instansi pemerintah. Penyeragaman ini paling tidak dapat mengurangi perbedaan cara pengkajian yang cenderung menjauhkan pemenuhan prasyarat minimal akan informasi yang seharusnya dimuat dalam LAKIP. Penyeragaman juga
dimaksudkan untuk pelaporan yang bersifat rutin, sehingga perbandingan atau evaluasi dapat dilakukan secara memadai. LAKIP dapat dimasukkan dalam ketegori laporan rutin, karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan setahun sekali.
D.
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang dinamis, bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram,
serta tertib. Dalam tata kehidupan yang demikian itu, dijamin persamaan warga negara di dalam hukum. Dalam usaha mewujudkan tujuan tersebut di atas, sesuai dengan sistem
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 25
pemerintahan negara yang dianut dalam UUD 1945, melalui aparaturnya di bidang Tata Usaha Negara, Pemerintah
diharuskan berperan aktif dan positif.
Pemerintah wajib secara terus menerus membina,
menyempurnakan, dan menertibkan aparatur tersebut agar menjadi aparatur yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian bagi masyarakat.
Sadar terhadap peran aktif dan positif tersebut di atas, Pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah untuk
menghadapi timbulnya benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. Sengketa yang terjadi antara Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga negara ini disebut sengketa Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara
Kehakiman. PTUN diciptakan untuk menyelesaikan sengketa
antara Pemerintah dengan warga Negaranya. Dalam hal ini
sengketa timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang melanggar hak warga negaranya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PTUN diadakan dalam rangka memberi perlindungan kepada rakyat. Dengan kata lain tujuan PTUN sebenarnya tidak semata-mata untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, melainkan juga
untuk melindungi hak-hak masyarakat.
Di samping itu dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang bersih, efisien dan efektif telah dikembangkan pula berbagai pengawasan. Keseluruhan sistem
pengawasan tersebut akan diuraikan dalam Bab VII.
E.
Rangkuman
Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik sudah menjadi suatu tuntutan dan kebutuhan universal yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi. Upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik membutuhkan komitmen kuat, daya tahan, waktu yang relatif panjang. Karena itu diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta implementasi nilai-nilai tata kepemerintahan yang baik secara utuh oleh seluruh komponen bangsa termasuk
oleh aparatur pemerintah dan masyarakat luas.
Berbagai kebijakan pendukung untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik telah dikeluarkan pemerintah
Indonesia baik dalam era reformasi maupun sebelum reformasi. Kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
dalam era reformasi seperti TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; UU No. 28 Tahun 1999 yang juga tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP).
Adapun peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah sebelum era reformasi yang berkaitan dengan upaya perwujudan tata kepemerintahan yang baik adalah UU No. 8 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004.
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik.
Sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara ini dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa antara Pemerintah dengan warga negaranya yang mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 28
F.
Latihan
1. Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik (good
governance) perlu melibatkan semua pihak yang terkait
(stakeholder) yang pada dasarnya terdiri dari 3 sektor. Apa
saja sektor-sektor itu dan jelaskan peranan masing-masing sektor tersebut!
2. Apakah prinsip-prinsip penyelenggaraan tata kepemerintahan
yang baik (good governance) ini menurut UNDP?
3. Menurut Bappenas apa saja upaya yang diperlukan untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik di Indonesia? Sebutkan pula prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan beserta indikator-indikator minimal dan perangkat pendukung
indikatornya!
4. Apa pengertian akuntabilitas yang resmi dianut pemerintah
dan apa prinsip-prinsipnya?
5. Mengapa Peradilan Tata Usaha Negara juga merupakan upaya yang diperlukan dalam mewujudkan tata
kepemerintahan yang baik?
BAB IV
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Keseluruhan aspek penyelenggaraan pemerintahan negara dalam pelaksanaannya diatur dengan dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Menjamin kepastian hukum, karena Indonesia adalah negara
hukum;
2. Melindungi masyarakat dari tindakan aparatur dan pihak lain yang
sewenang-wenang;
3. Melindungi aparatur dari tindakan masyarakat yang melawan
hukum.
A.
Asas Peraturan Perundang-Undangan
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi:
1. Kejelasan Tujuan
2. Kelembagaan atau Organisasi Pembentuk yang Tepat
Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
3. Kesesuaian antara Jenis dan Materi Muatan
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.
4. Dapat Dilaksanakan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6. Kejelasan Rumusan
Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Keterbukaan
Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demi kian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan materi muatan Peraturan perundang-undangan mengandung asas:
1. Pengayoman
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
2. Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3. Kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
4. Kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 32
5. Kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6. Bhinneka Tunggal Ika
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7. Keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
8. Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
9. Ketertiban dan Kepastian Hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 33
10.Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan.
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
B.
Jenis Dan Hierarkhi Peraturan
Perundang-Undangan
1. Jenis
Dalam ketentuan Pasal 7 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis peraturan perundang-undangan meliputi: UUD Negara RI 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; dan Peraturan Daerah.
Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana tersebut di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Adapun jenis peraturan perundang-undangan selain sebagimana tersebut di atas, antara lain adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh MPR; DPR; DPD; MA; MK; BPK; Gubernur BI; Menteri; DPRD Provinsi; DPRD
undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang; Kepala Desa atau yang setingkat.
2. Hierarki
Yang dimaksud hierarki adalah penjenjangan setiap jenis
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya.
Hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan Pasal 7 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 adalah:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu)
Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Sedangkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan yang harus diatur dengan UU atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah: hak-hak
asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara; pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara serta
pembagian kekuasaan negara; wilayah negara dan pembagian daerah; kewarganegaraan dan kependudukan; dan keuangan negara.
c. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang undangan yang ditetapkan oleh Presiden berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mesti nya.
d. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden berisi materi yang
diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
e. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah yang dimaksud meliputi:
1) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh Dewan
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 36
Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus
serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua; 2) Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota;
3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama
dengan kepala desa atau nama lainnya.
C.
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang
Tata cara mempersiapkan RUU diatur dalam Keputusan
Presiden No. 188 Tahun 1998. Dalam Keppres ini diatur tentang Prakarsa Penyusunan RUU; Panitia Antar Departemen dan Lembaga; Konsultasi RUU; Penyampaian RUU kepada DPR; Tata Cara Pembahasan RUU yang disusun oleh DPR; Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan
Undang-Undang.
1. Prakarsa Penyusunan RUU
Menteri atau pimpinan LPND selanjutnya disebut Pimpinan
Lembaga dapat mengambil prakarsa penyusunan RUU
untuk mengatur masalah yang menyangkut bidang tugasnya.
Prakarsa ini wajib dimintakan persetujuan lebih dahulu kepada Presiden dengan dilengkapi penjelasan mengenai konsepsi pengaturan yang meliputi: latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; pokok pikiran,
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 37
lingkup atau obyek yang akan diatur, dan jangkauan dan arah pengaturan.
Untuk pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan
yang akan dituangkan dalam RUU, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan UU wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsep tersebut dengan Menteri Kehakiman (dalam Kabinet Indonesia Bersatu:
Menteri Hukum dan HAM) dan Pimpinan lembaga lainnya yang terkait.
Apabila keharmonisan, kebulatan dan kemantapan konsepsi tidak dapat dihasilkan dalam forum konsultasi, maka Menteri
Kehakiman dengan Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa bersama-sama Menteri Sekretaris Negara melaporkannya kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan.
Sebaliknya dalam hal telah diperoleh keharmonisan, kebulatan dan kemantapan konsepsi, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa secara resmi mengajukan permintaan persetujuan prakarsa penyusunan RUU kepada Presiden.
2. Panitia Antar Departemen dan Lembaga
Lembaga yang diketuai pejabat yang ditunjuk untuk menyusun RUU tersebut.
Permintaan keanggotan Panitia dilakukan langsung oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa kepada Menteri Sekretaris Negara, Menteri Kehakiman, Menteri atau Pimpinan Lembaga yang terkait dengan materi yang akan diatur.
Surat keputusan Pembentukan Panitia Antar Departemen dan Lembaga ditetapkan paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya surat Menteri Sekretaris Negara mengenai persetujuan pemrakarsa. Kepala Biro Hukum atau Kepala
Satuan Kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada Departemen atau Lembaga
pemrakarsa, secara fungsional bertindak sebagai
Sekretaris Panitia Antar Departemen.
3. Konsultasi RUU
Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa menyampaikan RUU yang dihasilkan Panitia kepada Menteri Kehakiman dan Menteri atau Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait, untuk memperoleh pendapat dan pertimbangan terlebih
dahulu. Pendapat dan pertimbangan dapat pula dimintakan kepada Perguruan Tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai kebutuhan.
Penyampaian pendapat dan pertimbangan dilakukan paling lambat 30 hari kerja sejak diterimanya pemintaan pendapat
dan pertimbangan tersebut.
Apabila RUU tersebut telah memperoleh kesepakatan, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada Presiden. Kemudian Menteri Sekretaris Negara melaporkan RUU kepada Presiden dan sekaligus
mempersiapkan Amanat Presiden bagi penyampaiannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Penyampaian RUU kepada DPR
Dalam Amanat Presiden kepada pimpinan DPR ditegaskan
hal-hal yang dianggap perlu, antara lain: a. Sifat penyelesaian RUU yang dikehendaki ;
b. Cara penanganan atau pembahasannya, dalam hal RUU yang disampaikan lebih dari satu ;
c. Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam
pembahasan RUU di DPR.
Amanat Presiden disampaikan juga kepada Wakil Presiden, para Menteri Koordinator, Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemrakarsa dan Menteri Kehakiman (dalam Kabinet
Indonesia Bersatu, 2004-2009 disebut Menteri Hukum dan HAM).
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 40
serta arah RUU, Menteri yang mewakili Presiden wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada Presiden dengan
disertai saran pemecahan yang diperlukan untuk memperoleh keputusan.
5. Tata Cara Pembahasan RUU Yang Disusun dan Disampaikan Oleh DPR.
RUU yang disusun oleh DPR dan disampaikan kepada Presiden dilaporkan oleh Menteri Sekretaris Negara
disertai saran mengenai Menteri yang akan ditugasi untuk mengkoordinasikan pembahasannya dengan Menteri atau Pimpinan Lembaga lain yang terkait. Tata cara selanjutnya
sama seperti tata cara yang telah disebutkan pada butir 2, 3, dan 4.
6. Pengesahan, Pengundangan & Penyebarluasan UU Menteri Sekretaris Negara menyiapkan naskah RUU yang
telah disetujui DPR dan selanjutnya diajukan kepada
Presiden guna memperoleh pengesahan (persetujuan
bersama). Bila RUU yang telah disetujui tersebut tidak ditanda-tangani Presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut tetap sah dan menjadi UU dan wajib diundangkan.
Kemudian Menteri Sekretaris Negara mengundangkan UU tersebut dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara. Sedangkan Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa berkewajiban secepatnya menyebar luaskan jiwa, semangat dan substansi UU tersebut kepada masyarakat.
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 41
7. Ketentuan Lain-Lain
Persetujuan pemrakarsa penyusunan RUU juga merupakan persetujuan bagi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Keputusan Presiden (Perpres) dan peraturan lainnya, yang pelaksanaannya dilakukan sebagai satu kesatuan kegiatan.
Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya diselesaikan paling lambat satu tahun setelah pengundangan
UU yang bersangkutan.
D.
Kerangka Peraturan Perundang-Undangan
Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas: judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan (jika diperlukan)
dan lampiran (jika diperlukan).
1. Judul
a. Judul memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama Peraturan Perundang-undangan ;
b. Nama peraturan perundang-undangan dibuat secara
singkat dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan;
c. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang
diletakkan ditengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
2. Pembukaan
a. Frase Dengan Rahmat Tuhan YME;
d. Dasar Hukum; e. Diktum.
3. Batang Tubuh a. Ketentuan Umum;
b. Materi Pokok Yang Diatur;
c. Ketentuan Pidana (jika diperlukan); d. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan); e. Ketentuan Penutup.
4. Penutup
a. Penjelasan (jika diperlukan); b. Lampiran (jika diperlukan).
E.
Rangkuman
Keseluruhan aspek penyelenggaraan pemerintahan negara dalam pelaksanaannya diatur dengan dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan agar ada jaminan kepastian hukum, ada perlindungan masyarakat dari tindakan
aparatur dan pihak lain yang sewenang-wenang dan juga agar aparatur terlindungi dari tindakan masyarakat yang melawan hukum.
Oleh karena itu, agar setiap peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh lembaga-lembaga negara atau pejabat yang berwenang berkualitas dan tidak bertentangan satu sama lain maka dalam pembentukannya perlu memperhatikan asas pembentukan, asas tentang materi muatannya, jenis dan
hierarkinya, dan tata cara mempersiapkan rancangan undang-undangnya.
F.
Latihan
1. Apakah konsekuensi bahwa Indonesia adalah negara hukum
dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara? 2. Apa perlunya ada ketetapan tentang Hierarki Peraturan
Perundang-undangan?
3. Dalam strata kebijakan publik, kebijakan Menteri adalah
kebijakan pelaksanaan, sebagai penjabaran kebijakan umum yang ditetapkan oleh Presiden. Bagaimana dalam hubungannya dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?
BAB V
LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAH
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara, pemerintah
membentuk lembaga-lembaga pemerintahan seperti Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Lembaga-Lembaga lainnya. Pada dasarnya lembaga-lembaga pemerintah ini dapat dibagi dua, yaitu lembaga-lembaga pemerintah tingkat Pusat dan
lembaga-lembaga pemerintah tingkat Daerah. Lembaga-lembaga
penyelengara pemerintahan negara tersebut merupakan aparatur pemerintah atau disebut juga sebagai birokrasi pemerintah. Presiden bersama-sama lembaga-lembaga pemerintah menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Tugas umum pemerintahan adalah tugas-tugas atau urusan-urusan pemerintahan yang sejak dahulu dilaksanakan oleh pemerintah dimana saja dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penyelenggaraan pendidikan, pelayanan kesehatan dan lain-lain.
Sedangkan tugas pembangunan adalah tugas-tugas atau urusan-urusan dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan.
Dengan adanya lembaga-lembaga pemerintah ini, maka urusan-urusan pemerintahan akan terbagi habis ke dalam lembaga lembaga
pemerintahan yang ada. Akan tetapi tidak harus setiap urusan pemerintahan diwadahi dalam satu lembaga pemerintahan.
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 45
A.
Urusan
Pemerintahan
Yang
Menjadi
Kewenangan Pemerintah
Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan-urusan yang menyangkut
terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara
keseluruhan.
Urusan pemerintahan yang menjadi Urusan Pemerintah tersebut adalah:
1. Politik Luar Negeri, antara lain meliputi:
a. Mengangkat pejabat politik dan menunjuk warga negara
untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional; b. Menetapkan kebijakan luar negeri;
c. Melaksanakan perjanjian dengan negara lain;
d. Menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri. 2. Pertahanan, antara lain meliputi:
a. Mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata; b. Menyatakan damai dan perang;
c. Menyatakan negara atau sebagai wilayah negara dalam
keadaan bahaya;
d. Membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan;
e. Menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara
bagi setiap warga negara.
3. Keamanan, antara lain meliputi:
a. Mendirikan dan membentuk kepolisian negara; b. Menetapkan kebijakan keamanan nasional;
d. Menindak kelompok atau setiap organisasi yang kegiatannya melanggar keamanan negara.
4. Moneter dan Fiskal, antara lain:
a. Mencetak uang dan menentukan nilai mata uang;
b. Menetapkan kebijakan moneter; c. Mengendalikan peredaran uang. 5. Yustisi, antara lain:
a. Mendirikan lembaga peradilan; b. Mengangkat hakim dan jaksa;
c. Mendirikan lembaga permasyarakatan;
d. Menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberi grasi, amnesti, abolisi, membentuk Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional.
6. Agama, antara lain:
a. Menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional;
b. Memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu
agama;
c. Menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan
kehidupan keagamaan.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat
concurrent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian
urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.
Dengan kata lain bahwa Pemerintah dapat:
a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. Melimpahkan sebagai urusan pemerintahan kepada Gubernur
selaku Wakil Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan dengan berdasarkan asas tugas pembantuan.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent
secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota, maka disusun kriteria yang meliputi:
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
Kriteria Eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 48
Kriteria Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat
pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah
tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan
dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan
demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria Efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan.
B.
Urusan
Pemerintahan
Yang
Menjadi
Kewenangan Daerah
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar
seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan
hidup minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedangkan
urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan
potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang
meliputi:
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 49
2. Perencanaan, pemanfataan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/ kota; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/ kota; 9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan
menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/ kota; 12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah Kabupaten/Kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota meliputi:
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfataan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan;
7. Penanggulangan masalah sosial; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan
menengah;
10. Pengendalian lingkungan hidup; 11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal; 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Gambar V.1: Pembagian Urusan Pemerintahan Provinsi,
Kabupaten/Kota
Sumber: Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
C.
Lembaga Pemerintah Tingkat Pusat
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dikatakan bahwa
Pemerintah Pusat atau Pemerintah adalah Presiden RI yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara RI. Dalam
[image:31.792.481.743.142.371.2]Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI 52
Pemerintah Non Departemen (LPND), Kesekretariatan yang membantu Presiden; Kejaksaan Agung; Perwakilan RI di Luar
Negeri; Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara RI (Polri); Badan/Lembaga Ekstra Struktural.
1. Kementerian Negara
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Negara, disebutkan bahwa Kementerian Negara terdiri dari Kementerian Koordinator, Kementerian Negara yang berbentuk Departemen dan Kementerian Negara.
a. Kementerian Koordinator
Kedudukan
Kementerian Koordinator adalah unsur pelaksana Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Koordinator
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Tugas
Kementerian Koordinator mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta mensikronkan pelaksanaan
kebijakan di bidangnya.
Fungsi
Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Koordinator menyelenggarakan fungsi:
Modul Diklat Prajabatan Golongan III 53
1) Koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan di bidangnya;
2) Sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya; 3) Pengendalian penyelenggaraan kebijakan, sebagai
mana dimaksud pada huruf 1) dan 2);
4) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang men