PT INDOFARMA Tbk
PT INDOFARMA Tbk
LATAR BELAKANG
PT. INDOFARMA merupakan pabrik obat yang didirikan pada tahun 1918 dengan nama Pabrik
Obat Manggarai. Pada tahun 1950, Pabrik Obat Manggarai ini diambil alih oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan dikelola oleh Departemen Kesehatan. Pada tahun 1979, nama pabrik obat ini diubah
menjadi Pusat Produksi Farmasi Departemen Kesehatan. Kemudian, berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 20 tahun 1981, Pemerintah menetapkan Pusat Produksi
Farmasi Departemen Kesehatan menjadi Perusahaan Umum Indonesia Farma (Perum Indofarma).
Selanjutnya pada tahun 1996, status badan hukum Perum Indofarma diubah menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero) berdasarkan PP No. 34 tahun 1995.
Kasus Indofarma ini bermula saat perusahaan yang memproduksi 80% (delapan puluh persen)
obat generik itu mengalami kerugian sebesar Rp. 20,097 (dua puluh koma sembilan puluh tujuh)
miliar pada akhir tahun 2002. Padahal hingga kuartal in tahun yang sama, laba bersih Indofarma
mencapai Rp. 88,57 (delapan puluh delapan koma lima puluh tujuh) miliar.1 Kerugian ini sebenarnya
tidak bisa dilepaskan dari kekeliruan yang dilakukan oleh manajemen padatahuntahun sebelumnya
yang pada akhirnya berdampak pada tahun-tahun berikutnya.
Faktor penyebab kerugian itu menurut manajemen Indofarma:
Adanya perubahan regulasi pemerintah,yaitu:
sejak dihapuskannya subsidi pengadaan obat generik yang diberlakukan secara efektif
sejak tahun 2001.
penerapan Undang-undang Otonomi Daerah yang mengharuskan tender pengadaan obat
generic dilakukan secara desentralisasi di tingkat Kabupaten dan Kota atau hilangnya
captive market.
Persaingan yang semakin ketat antar produsen obat dan mengarah pada terjadinya perang
harga dengan memberikan diskon yang pada akhirnya mengakibatkan beban
pokokpenjualan meningkat.
Komposisiportofolioprodukyang sangat bergantung pada obat generik yang saat ini
mencapai lebih dari 80% (delapan puluh person) dari total penjualan dan penjualan
obatgenerik ini menurun sejalan adanya pe-rubahan regulasi pemerintah ditambah dengan
kondisi pasar yang
over supply
selama tahun 2003.
Pengembangan 40 (empat puluh) jenis obat-obat
ethical
yang berharga murah dengan
merek
(low-price branded generic)
sampai sekarang belum membuahkan hasil yang
maksimal.
Inefisiensi produksi yang disebabkan oleh kapasitas menganggur (idle cpacity) dari fasilitas produksi, adanya kapasitas menganggur karena penambahan fasilitas produksi tanpamemperhatikan kebutuhan riil pasar dengan sangat besamya fasilitas produksi yang tidak didukung oleh daya serap pasar mengakibatkan utilisasi fasilitas produksi menjadi sangat rendah dan bahkan sampai dibawah 10%
(sepuluh persen). Dengan demikian maka harga pokok produk menjadi tinggi karena overhead cost- nya sangat tinggi;
Sejak tahun 2000 Perusahaan mendirikan anak perusahaan yaitu PT. Indofarma Global Medika(IGM) yang menjadi distributor untuk semua produk Indofarma. Pendirian IGM ini dengan investasi yang sangat tinggi seperti pergudangan, sarana trans-portasi, SDM, teknologi infpormasi dan Iain-lain. Tetapi harga produk sudah ditentukan oleh pemerintah mang-akibatkan marjin keun-tungan yang diperoleh IGM ini sangat kecil dan ini yang mengakibat-kan rendahnya tingkat pengembalian investasi; Adanya Peningkatan persediaan (obat jadi, bahan baku, alat-alat kesehatan dan Iain-lain) tapi tidak melalui perencanaan yang baik dan juga tidak didukung oleh kebutuhan atau daya serap pasar khususnya alat-alat kesehatan. Yang pada akhirnya overstock barang menjadi rusak karena terlalu lama dalam gudang dan 8. akhirnya tidak dapat dijual. Memasuki akhir tahun 2003 manajemen menemukan
over stock tersebut yang keadaannya masuk dalam kategori rusak, kadaluarsa, tidak dapat dipakai, tidak bergerak dan tidak dapat diserap pasar. Untuk itu diputuskan untuk melakukan penghapus bukuan (write off). Setelah dihitung over stock tersebut mencapai angka sebesar Rp. 80,04 (delapan puluh koma nol empat) miliar dan ini secara otomatis berdampak pada kenaikan biaya yang diperhitungkan dalam cadangan penyisihan nilai persediaan.
Beban usaha mengalami peningkatan sebesar Rp. 183,88 (seratus delapan puluh tiga koma delapan puluh delapan) miliar yang juga mendorong meningkatnya kerugian ditambah dengan beban bungan pinjaman sebesar Rp. 40,95 (empat puluh koma sembilan puluh lima) miliar.
Deskripsi 1999 2000 2001 2002 2003
Penjualan bersih 392,02 493,37 615,43 687,98 498,21 Laba kotor 182,06 272,54 393,79 123,16 136,84 Laba (rugi) usaha 125,92 182,07 172,33 (52,26) (47,05) Laba (rugi) bersih 117,01 110,29 122,54 (59,82) (129,05) Total aktiva 487,51 538,17 811,62 810,03 635,96 Aktiva lancer 421,71 432,79 688,96 647,16 443,65 Aktiva tidak lancer 65,80 105,38 122,66 162,87 192,96 Total kewajiban 239,92 245,61 294,19 412,03 368,01 Kewajiban lancer 239,92 245,61 289,76 373,22 343,16 Kewajiban tidak lancer - - 4,43 38,81 24,85
Ekuitas 247,59 292,57 510,84 390,43 260,86
Anak Perusahaan Aktivitas Utama Presentase Pemilikan sampai 2003
Pemilikan Langsung
PT. Indofarma Global Medika (IGM)
Distribusi dan pedagangan farmasi
99,97%
PT. Riasima Abadi Farma Produsen bahan baku obat 57,79%
Pemilikan Tidak Langsung
PT. Rima Mega Trading (anak perusahaan PT. Riasima
Ekspor impor bahan baku obat, hasil pertanian dan perkebunan
51%
TABEL 1
Sesuai dengan Laporan Keuangan tahun 2001, Indofarma masih memperoleh subsidi dari pemerintah untuk impor bahan baku obat exencial generic untuk pelayanan kesehatan disamping bahan-bahan pelayanan gawat darurat rumah sakit dan keluarga berencana. Subsidi berakhir pada tahun 2000 dan masih ada sisa subsidi yang dibawa ke tahun 2001. Dimana tentunya ini menjadi inventori berupa barang jadi yang bisa dijual dan masuk dalam penjualan tahun 2001.
Dengan demikian adanya kemungkinan terjadinya mark up dalam Work in Process pada Laporan Keuangan tahun 2001. Secara umum terdapatnya 2 (dua) faktor yang menyebabkan Indofarma rugi, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor obyektif dari persaingan industri farmasi Indonesia saat ini, seperti pasar institusi (pemerintah kabupaten dan kota) untuk obat generik yang terfragmentasi akibat kebijakan otonomi daerah dan kegagalan Indofarma dalam bersaing dengan sesama produsen obat generik. Sedangkan faktor internal merupakan kesalahan yang dilakukan baik oleh dewan Direksi selaku pelaksana kebijakan perusahaan maupun dewan komisaris selaku pengawas.
Setidaknya terdapat 4 (empat) kesalahan Direksi Indofarma. Pertama, membeli alat kesehatan yang kemudian tidak laku sehingga menyebabkan stok mati (deadstock). Kedua, ikut dalam persaingan obat generik di pasar regular. Ketiga, melakukan diversifikasi produk dengan memproduksi dan memasarkan obat ethical branded. Keempat, melakukan ekspansi usaha di bidang ritel (apotek) yang pasarnya tidak dikuasai perseroan. Akibat terjadinya kerugian selama 2 (dua) tahun berturut-turut yaitu tahun 2002 dan 2003, BEJ menjatuhkan sanksi penghentian sementara (suspesi) perdagangan saham perusahaan farmasi tersebut sejak 25 Maret 2004.
Pada tanggal 17 Mei 2004 BEJ mencabut suspen dan memperdagangkan kembali saham Indofarma. Hal ini dikarenakan pada tanggal 14 Mei 2003 manajemen Indofarma telah menyampaikan penegasan mengenai data Laporan Keuangan per 30 Juni 2003 dan per 39 September 2003. Selain itu, pada 13 Mei 2004 Indofarma telah menyampaikan penjelasan sebagai tidak lanjut dengan pendapat yang dilakukan di BEJ tentang penghapus bukuan (write off).
Perusahaan Itu dalam Laporan Keuangan 2001 menyajikan nilai barang yang lebih tinggi dari
seharusnya
(overstated)
Dalam persediaan barang Dalam proses senilai Rp.28,87 (dua Puluh
delapan koma delapan puluh tujuh) miliar
Overstated
Persediaan itu mempengaruhi harga pokok
penjualan sehingga laba bersih mengalami penilaian lebih tinggi dengan nilai serupa Rp. 28,87 (dua
puluh delapan koma delapan puluh tujuh) miliar. Dengan demikian berdasarkan hasil pemeriksaan
Bapepam tersebut ditemukan bahwa Indofarma terbukti melakukan pelanggaran terhadap
beberapa ketentuan, yaitu:
Pasal 69 UUPM
Angka 2 huruf a Peraturan Bapepam Nomor VIII.G7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan
Pedoman Standar Akuntan Publik (PSAK) Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Kueuangan berkaitan dengan materialitas (paragraf 30)
Pedoman Standar Akuntan Publik (PSAK) kerangka dasar pe-nyusunan dan penyajian Laporan
Keuangan khususnya berkaitan dengan keandalan (paragraf 31)
Oleh karenanya Bapepam memberikan sanksi kepada Direksi yang menjabat pada periode terbitnya
Laporan Keuangan Tahunan periode 2001 diberikan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan memerintahkan kepada Direksi Indofarma untuk:
Segera membenahi dan atau menyusun sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi
perusahaan yang memadai untuk menghindari timbulnya permasalahan yang sama dikemudian hari.
Pembenahan dan atau penyusunan sistem pengendalian internal Dan sistem akuntasi perusahaan
yang memadai tersebut sudah hams diselesaikan selambat-lambatnya Pada akhir semester I tahun
Buku 2005.
Menyampaikan laporan perkembangan atas pembenahan dan atau penyusunan sistem pengendalian
internal dan sistem akuntansi perusahaan tersebut secara berkala setiap akhir bulan kepada
Bapepam.
Menunjuk Akuntan Publik yang terdaftar di Bapepam untuk melakukan audit khusus untuk melakukan
penilaian atas sistem pengendalian internal dan sistem akuntasi tersebut apabila perusahaan telah
selesai melakukan pembenahan dan atau penyusunan sistem pengendalian internal dan sistem
akuntansi perusahaan. Hasil audit khusus tersebut wajib disampaikan ke Bapepam
Analisis Kasus
Pada dasarnya kasus Indofarma ini tidak jauh berbeda dengan kasus Kimia Farma yang pada intinya telah terjadi misleading information dengan melakukan mark up terhadap Laporan Keuangan periode 2001. Awal mula dari kasus ini karena selama 2 (dua) tahun berturut-turut Indofarma mengalami kerugian yaitu pada tahun 2002 dan 2003. Padahal tahun 2001 perusahaan farmasi tersebut meraih laba yang cukup besar (lihat tabel 1). Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Bapepam ternyata telah adanya kesalahan dalam penyajian informasi di dalam Laporan Keuangan 2001. Kejadian ini merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasar Modal (UUPM dan peraturan Bapepam) dan Pedoman Standar Akuntan Publik (PSAK).
Bahwa di dalam ketentuan Pasar Modal yaitu yang terdapat dalam Pasal 69 ayat (l) UUPM: "Laporan Keuangan yang disampaikan kepada Bapepam wajib disusun Berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum”.
Dalam hal ini terkait dengan adanya kesalahan penilaian terhadap barang-barang di dalam kategori Work in Process. Barang-barang tersebut dinilai lebih tinggi dari nilai yang seharusnya pada proses buku tahun 2001. Dengan demikian berakibat meningkatnya laba bersih. Kesalahan penyajian tersebut merupakan fakta materiil yang dapat mempengaruhi keberadaan Laporan Keuangan yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga efek di bursa. Dengan adanya penyampaian informasi materiil yang tidak benar atau tidak diungkapkan merupakan suatu pelanggaran terhadap Pasal 90 huruf c UUPM. Bahwa kejadian ini sebelumnya tidak diungkapkan kepada publik maka pihak-pihak yang mengetahui dapat dikenakan sanksi yang terdapat pada Pasal 107 UUPM karena ada sesuatu yang disembunyikan tapi tidak diungkapkan.
Atas kejadian ini berdasarkan peraturan Bapepam Nomor VIII. G7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan yang bertanggung jawab dalam penyajian Laporan Keuangan adalah manajemen dari Emiten atau Perusahaan Publik (Direksi). Oleh karenanya tindakan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari Direksi yang menjabat pada saat Laporan Keuangan tersebut dikeluarkan. Sanksi yang diberikan oleh Bapepam Merupakan kewajiban dari Direksi yang menjabat pada waktu itu secara bersama-sama (tanggung renteng).
Tidak jelas apa yang menjadi latar belakang dari BAPEPAM hanya memberikan sanksi administratif
berupa membayar denda pada kasus ini. Dalam press releasenya BAPEPAM hanya menyebutkan bahwa
telah terjadi penilaian barang yang lebih tinggi dari harga seharusnya. Dengan demikian tidak
diketahui apakah tindakan tersebut merupakan suatu kesengajaan atau tidak dari manajemen untuk
memberikan Laporan Keuangan dengan kinerja yang bagus kepada publik. Sehingga publik akan
menanamkan atau tidak modalnya terhadap perusahaan farmasi tersebut.
Kalau tindakan ini merupakan satu hal yang disengaja dan diketahui oleh manajemen Indofarma jelas
merupakan suatu kejahatan di Pasar Modal. Untuk itu dapat ditindak lanjuti dengan proses pidana
dengan mencari bukti-bukti yang kuat sehubungan dengan tindakan tersebut. Lain halnya jika
tindakan tersebut bukan merupakan suatu unsur kesengajaan dari manajemen Indofarma. Maka
BAPEPAM sesuai dengan kewenangan-nya berdasrkan Pasal 102 UUPM dapat memberikan sanski
administratif kepada Direksi Indofarma. Seharusnya agar dapat menciptakan Pasar Modal yang aman
dan tertib pengenaan sanksi tidak terbatas pada sanksi denda saja tetapi sanksi pidana penjara. Hal
ini untuk memberikan
shock therapy
kepada Emiten atau perusahaan publik agar tidak main-main
dalam menyajikan Laporan Keuangannya.
KESIMPULAN