• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan kasus asfiksia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan kasus asfiksia"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan kasus

ASFIKSIA BERAT

Oleh:

Rudi Anandra

70 2008 012

Pembimbing: dr. Ridhayani Sp.A,

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2012

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang berjudul "Asfiksia Berat".

Dalam penyelesaian penyusunan laporan kasus ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rhidayani Sp.A atas bimbingan dalam penulisan laporan kasus ini. Tujuan penulisan laporan ksus ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan pada kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah-RS Palembang Bari.

Pepatah lama mengatakan "Tak ada gading yang tak retak", begitu juga penulis menyadari masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan dan penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun sangat diharapkan dengan tujuan pembuatan dan penyusunan laporan kasus ini dapat menjadi lebih baik.

Palembang, April 2012

(3)

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI

Nama : By. H Umur : 0 hari Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Lr. Santai no. 212 Rt 05/01 kel. 8 Ulu Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam No. RM : 078746

Pav/kelas : Neonatus / III

MRS Tanggal : 04 April 2012 pukul 10.15 WIB

II. ANAMNESIS (alloanamnesis dengan ibu penderita pada tanggal 9 April 2012)

Bayi perempuan lahir spontan dari ibu G1P0A0, Posterm, hamil > 42

minggu, ditolong oleh bidan di ruang kebidanan RSUD Palembang Bari, saat lahir tidak langsung menangis, APGAR Score 2/3/7 dilakukan pembersihan jalan nafas + VTP, Riwayat KPSW (+) , ketuban hijau (+), bau (+), kental (+), mekonium (+), tali pusat layu (+), LK : 33 cm, anus (+), BB= 3100 gram, PB 48 cm.

Riwayat kehamilan

Riwayat ibu demam (-) Riwayat ibu Hipertensi (-) Riwayat ibu diabetes melitus (-) Riwayat ibu anemia (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat penyakit dalam keluarga (-)

Pedigree Keluarga:

Tn. A 34 thn, Ny. H 30 thn, Karyawan swasta Wiraswasta

(4)

Riwayat Sosial Ekonomi

Os adalah anak Pertama dari Tn.A yang bekerja sebagai Pegawai swasta, dan Ny K yang bekerja sebagai wiraswasta. Secara ekonomi, keluarga Os tergolong ekonomi menengah ke keatas.

III. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum :

Tampak sakit sedang, Aktifitas: kurang aktif Refleks hisap: Lemah Tangis: Merintih

Nadi : 132 x/menit, isi dan tegangan kurang Pernapasan : 64 x/menit

Suhu badan : 36,4 oC Berat badan : 3100 gram Panjang badan : 48 cm Lingkar kepala : 33 cm

Kesan: Gizi Baik

Pemeriksaan Khusus

Kepala :caput (-), normocephali, flushing (-) Rambut : hitam

Ubun-ubun : frontanemia mayor dan minor belum menutup. Muka : tidak ada kelainan bentuk, muka oval.

Mata : simetris, sklera tidak icterus, conjungtiva, tidak anemis.

Hidung : NCH (+), sekret (-), epistaksis (-) Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-) Telinga : simetris, bersih, tidak ada serumen.

Leher : Tidak ada pembesaran KGB

Thoraks Paru-paru

Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi (+) Palpasi : stemfremitus kanan = kiri

(5)

Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronchi (-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : pulsasi (-), iktus (-), voussur cardiaque (-) Palpasi : iktus (-), thrill (-)

Perkusi : dalam batas normal

Auskultasi : HR= 116 x/menit, irama regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba Perkusi : timpani , shifting dullness (-) Auskultasi : bising usus (+) normal

Tali pusat : Belum lepas, Radang (-), bau busuk (-)

Lipat paha dan genitalia : Anus (+)

Ekstremitas : akral dingin (-), sianosis (-), CRT < 3 detik, sindactyly -/-, polidactily -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin (04 April 2012)

Hb : 16,1 g/dl Ht : 44 % Leukosit : 20.400/mm3 Trombosit : 317.000/mm3 Diff count : 0/0/1/61/32/6 CRP : (+)

Rontgen : Cor / Pulmotidak ada kelainan

V. DIAGNOSA SAMENTARA

lahir spontan ibu G1P0A0

Neo posterm/AGA,

Asfiksia berat + T. Infeksi + RDS

VI. RESUME

Pada tanggal 04 April 2012 pukul 10.15 WIB lahir seorang bayi perempuan, berusia 0 hari, beralamat di Lr. Santai no. 212 Rt 05/01 kel. 8 Ulu, berkebangsaan Indonesia, beragama Islam, lahir spontan dari ibu G1P0A0, Posterm, hamil > 42 minggu, ditolong oleh bidan di ruang

(6)

APGAR Score 2/3/7 dilakukan pembersihan jalan nafas + VTP, Riwayat KPSW (+) , ketuban hijau (+), bau (+), kental (+), mekonium (+), tali pusat layu (+), LK : 33 cm, anus (+), BB= 3100 gram, PB 48 cm. Pada pemeriksaan umum didapatkan tampak sakit berat, aktifitas: kurang aktif, refleks hisap: lemah, tangis: merintih, nadi 116 x/menit, isi dan tegangan kurang, pernapasan 48 x/menit, suhu badan 36,4 oC. dilakukan pemeriksaan darah rutin, didapatkan hasil: hb 16,1 g/dl, ht 44 %, leukosit 20.400/mm3 trombosit 317.000/mm3,diff count : 0/0/1/61/32/6, CRP (+). OS lalu dikirim ke NICU (Neonatal Intensive Care) RSUD Palembang bari untuk dilakukan perawatan.

VII. DIAGNOSIS BANDING

Asfiksia berat + tersangka infeksi + RDS

VIII. DIAGNOSIS KERJA

Asfiksia berat + tersangka infeksi + RDS

IX. PENATALAKSANAAN

1. Inj. Vit K 1 strip (i.m) 2. Zalf mata Oxytetsa 3. Stop Oral

4. IVFD D10 1/5 NS gtt 8x/m 5. Inj. Ampicilin 2 x 155 mg 6. Inj. Gentamicin 8 mg/ 18 jam 7. Rontgen Thorax

8. Oksigenasi (O2 2 L/menit)

9. Monitor

X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam Quo ad fungsional : bonam

XI. FOLLOW UP

(Tanggal 5 April 2012)

S : (-) BBL: 3100 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3100 gr

Aktifitas: Aktif U: 1 hr Tangis: Kuat (merintih)

R. Hisap: Kuat

HR : 160x/m RR : 40 x/mnt

(7)

Suhu : 36,4oC KS: Kepala : NCH (-) Leher : t.a.k

Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)

Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: Akral dingin (-) A: Asfiksia berat + T. Infeksi Penatalaksanaan

 Inj. Vit K 1 strip (i.m)  Zalf mata Oxytetsa

 Kebutuhan cairan: 186 cc/hr  Asi/Pasi 12x2 cc (Oral & Ogt)  IVFD D10 gtt 8 x/m

 Inj. Ampicilin 2 x 155 mg  Inj. Gentamicin 8 mg/ 18 jam  O2 k/p (Tanggal 6 April 2012) S : (-) BBL: 3100 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3100 gr Aktifitas: Aktif U: 2 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 114x/m RR : 44 x/mnt Suhu : 36,2oC KS: Kepala : NCH (-) Leher : t.a.k

Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)

Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: Akral dingin (-) A: Asfiksia berat + T. Infeksi Penatalaksanaan

 Kebutuhan cairan: 248 cc/hr  Asi/Pasi 12x3 cc (Oral & Ogt)  IVFD D10 gtt 10x/m

 Inj. Ampicilin 2 x 155 mg  Inj. Gentamicin 8 mg/ 18 jam  O2 k/p

(8)

(Tanggal 7 April 2012) S : (-) BBL: 3100 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3100 gr Aktifitas: Aktif U: 3 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 112x/m RR : 52 x/mnt Suhu : 36,5oC KS: Kepala : NCH (-) Leher : t.a.k

Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)

Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: Akral dingin (-) A: Asfiksia berat + T. Infeksi Penatalaksanaan

 Kebutuhan cairan: 300 cc/hr  Asi/Pasi 12x4 cc

 IVFD D10 gtt 12x/m  Inj. Ampicilin 2 x 155 mg  Inj. Gentamicin 8 mg/ 18 jam  O2 k/p (Tanggal 8 April 2012) S : (-) BBL: 3100 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3100 gr Aktifitas: Aktif U: 4 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 127x/m RR : 60 x/mnt Suhu : 36,8oC

KS: Kepala : NCH (-), dyspneu (-), sianosis (-) Leher : t.a.k

Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)

Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N

Extremitas: Akral dingin (-), CRT < 3 dtk A: Asfiksia berat + T. Infeksi

Penatalaksanaan

(9)

 Asi/Pasi 12x8 cc  IVFD D10 gtt 15x/m  Inj. Ampicilin 2 x 155 mg  Inj. Gentamicin 8 mg/ 18 jam  O2 k/p (Tanggal 9 April 2012) S : (-) BBL: 3100 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3100 gr Aktifitas: Aktif U: 5 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 136x/m RR : 59 x/mnt Suhu : 36,6oC

KS: Kepala : NCH (-), dyspneu (-), sianosis (-) Leher : t.a.k

Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)

Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N

Extremitas: Akral dingin (-), CRT < 3 dtk A: Asfiksia berat + T. Infeksi

Penatalaksanaan

 Kebutuhan cairan: 403 cc/hr  Asi/Pasi 12x10 cc

 IVFD D10 gtt 12x/m  Inj. Ampicilin 2 x 155 mg  Inj. Gentamicin 8 mg/ 18 jam  O2 k/p (Tanggal 10 April 2012) S : (-) BBL: 3100 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3200 gr Aktifitas: Aktif U: 6 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 130x/m RR : 56 x/mnt Suhu : 36,4oC

(10)

Leher : t.a.k

Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)

Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N

Extremitas: Akral dingin (-), CRT < 3 dtk A: Asfiksia berat + T. Infeksi

Penatalaksanaan

 Kebutuhan cairan: 448 cc/hr  Asi/Pasi 12x10 cc

 IVFD D10 gtt 14x/m  Inj. Ampicilin 2 x 155 mg  Inj. Gentamicin 8 mg/ 18 jam  O2 k/p (Tanggal 11 April 2012) S : (-) BBL: 3100 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3300 gr Aktifitas: Aktif U: 7 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 136x/m RR : 59 x/mnt Suhu : 36,6oC

KS: Kepala : NCH (-), dyspneu (-), sianosis (-) Leher : t.a.k

Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-)

Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N

Extremitas: Akral dingin (-), CRT < 3 dtk A: Asfiksia berat + T. Infeksi

Penatalaksanaan

 Kebutuhan cairan: 495 cc/hr  Asi/Pasi 12x17c cc

 IVFD D10 gtt 12x/m  Inj. Ampicilin 2 x 155 mg  Inj. Gentamicin 8 mg/ 18 jam  O2 k/p

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Asfiksia Neonatorum A. Definisi

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir1.

Menurut American College of Obstetricans and Gynecologists (ACOG) dan American Academy of Pediatrics (AAP), seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut.

a. Nilai Apgar menit kelima 0-3.

b. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0). c. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma). d. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan

kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).

e. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multi organ, kejang dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

B. Etiologi Asfiksia Neonatorum

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit - menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir (McGuire, 2007).

Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan Pernafasan pada bayi, yang terdiri dari :

1. Faktor ibu a. Hipoksia ibu

Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam.

(12)

Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan :

a). Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat.

b). Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan. c). Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.

3. Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbulikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada kelainan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat janin dan jalan lahir, dan lain-lain.

4. Faktor Neonatus

Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, sebagai berikut.

a. Pemakaian obat anastesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin.

b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.

c. Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresi/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru, dan lain-lain. (Abdoerrachman dkk, 1985)

C. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum

1. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang

(13)

bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Pada saat bayi mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli paru dan cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya, udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang mengandung oksigen. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.

Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

(14)

2. Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi

Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan napas dan paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan.

Aliran darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten (Persisten Pulmonary Hypertension of the Neonate) pada bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan gagal napas (Dharmasetiawani, 2008).

3. Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi

Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen.

Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun

(15)

demikian, jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

D. Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum

Beberapa faktor risiko yang berperan dalam menimbulkan asfiksia neonatorum diuraikan sebagai berikut.

1. Faktor Risiko Ibu

a. Primigravida dan primiparitas

Gravida dan paritas turut menjadi faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum karena persalinan yang lama biasanya terjadi pada wanita yang baru menjalani kehamilan dan persalinan anak pertama.

b. Penyakit pada ibu

Penyakit pada ibu seperti Pregnancy Induced Hypertension/PIH yang apabila telah timbul gejala kejang dan disusul dengan koma akan menyebabkan gangguan aliran darah ke uterus sehingga berakibat terjadinya asfiksia berat.

2. Faktor Risiko Intrapartum a. Kelainan tali pusat

Adanya lilitan pusat pada bayi dapat menyebabkan asfiksia, dimana saat mulai timbul kontraksi dan kepala janin mulai turun, maka lilitan tali pusat menjadi semakin erat akibat terkompresi sehingga dapat mengakibatkan hipoksia.

b. Partus lama

Kala II lama akan menyebabkan kompresi tali pusat dan kontraksi uterus yang berlangsung lama sehingga transportasi oksigen ke janin berkurang.

(16)

c. Mekoneum dalam ketuban

Kondisi hipoksia pada janin akan menyebabkan reaksi pengurangan aliran darah ke beberapa organ untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan jantung. Vasokontriksi pembuluh darah usus yang diikuti relaksasi sfingter ani akan mengakibatkan pengeluaran mekonium dalam air ketuban sehingga bercampurnya air ketuban dalam mekonium merupakan kondisi yang dapat menunjukkan terjadinya gawat janin dan apabila teraspirasi oleh janin akan menyebabkan asfiksia.

d. Induksi Oksitosin

Induksi oksitosin adalah pemberian oksitosin pada ibu yang bertujuan untuk merangsang atau menginduksi terjadinya persalinan. Induksi oksitosin ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko kelahiran dengan seksio sesaria.

e. Plasenta Previa

Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian ataupun seluruh pembukaan jalan lahir.

f. Seksio sesarea

Seksio sesarea adalah operasi untuk melahirkan atau mengeluarkan bayi dari rahim ibu dengan cara membuat sayatan pada perut dan rahim ibu. Hal ini dapat mengakibatkan asfiksia neonatorum karena tidak adanya kompresi bayi seperti pada persalinan normal 3. Faktor Risiko Janin

a. Prematuritas

Preterm adalah kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu. Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat asfiksia neomatorum. Bayi prematur mempunyai organ tubuh yang belum berfungsi dengan baik termasuk pada organ paru-paru sehingga mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

b. BBLR

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari 2.500 gram (1500 gram sampai dengan 2.499 gram) tanpa memandang masa kehamilan. Pada bayi BBLR biasanya disertai dengan prematuritas maupun dismaturitas termasuk organ-organ seperti sistem respirasi. Bayi BBLR sering mengalami defisiensi surfaktan akibat paru yang belum sempurna sehingga tegangan membran permukaan udara-air (darah) menjadi tinggi dan risiko alveoli kolaps pada saat ekspirasi sangat besar yang menyebabkan alveoli akan menguncup selama

(17)

ekspirasi (atelektasis) dan paru kolaps yang pada akhirnya akan menyebabkan asfiksia.

c. Keterlambatan pertumbuhan dalam rahim/IUGR

Janin tidak mendapat dukungan plasenta secara adekuat karena terjadi insufisiensi uteroplasenta sehingga masukan nutrisi dan oksigenisasi menjadi sangat terbatas. Pada saat persalinan terjadi pengurangan aliran oksigen ke plasenta sebagai akibat kontraksi dinding uterus sehingga kekurangan oksigen yang terjadi akan bertambah menjadi lebih berat.

E. Klasifikasi Asfiksia Neonatorum

Klasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat keparahan asfiksia yang dinilai berdasarkan skor apgar. Nilai Apgar ditemukan pada tahun 1952 oleh seorang obstetrical anesthesiologist bernama dr. Virginia Apgar di Sloane Hospital for Women, New York.

Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor apgar 1 menit ini menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat demgan morbiditas dan mortalitas neonatal (Abdoerrachman dkk, 1985).

Skor Apgar

Tanda Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Warna kulit

(Appearance)

Biru/pucat Tubuh kemerahan,

ekstremitas biru Tubuh dan ekstremitas kemerahan Frekuensi jantung (Pulse)

Tidak ada <100x/menit >100x/menit

Refleks

(Grimace)

Tidak ada Gerakan sedikit Menangis

Tonus otot

(Activity)

Lumpuh Ekstremitas fleksi

sedikit

Gerakan aktif

(18)

bernafas

(Respiration)

Berdasarkan standar penatalaksanaan ilmu kesehatan anak Rumah Sakit Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang, asfiksia neonatorum dapat dibagi sebagai berikut:

1. Tidak asfiksia, yaitu skor Apgar menit pertama antara 8 - 10. 2. Asfiksia ringan, yaitu skor Apgar menit pertama antara 5 - 7. 3. Asfiksia sedang, yaitu skor Apgar menit pertama antara 3 - 4. 4. Asfiksia berat, yaitu skor Apgar menit pertama antara 0 - 2.

F. Diagnosis Asfiksia Neonatorum

1. Anamnesis

Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terjadinya asfiksia. 2. Pemeriksaan Fisik

a. Bayi tidak bernafas atau menangis. b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit. c. Tonus otot menurun.

d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium pada tubuh bayi. e. BBLR.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium beupa analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat:

a. PaO2 < 50 mm H2O b. PaCO2 > 55 mm H2 c. pH < 7,30

Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :

a. Darah perifer lengkap

b. Analisis gas darah sesudah lahir c. Gula darah sewaktu

d. Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium) e. Ureum kreatinin

f. Laktat g. Ronsen dada

h. Ronsen abdomen tiga posisi i. Pemeriksaan USG kepala

j. Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala (IDAI, 2004).

(19)

G. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum

Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin timbul di kemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir. Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk menetukan apakah tindakan resusitasi harus segera dimulai. Segera setelah lahir dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara melihat :

1. Apakah bayi lahir cukup bulan ?

2. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium ? 3. Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis ?

4. Apakah tonus otot baik ?

Apabila semua jawaban diatas „Ya‟, berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan Asuhan Bayi Normal. Bila salah satu atau lebih jawaban „tidak‟, bayi memerlukan tindakan resusitasi segera.

1). Langkah awal dalam stabilisasi a. Memberikan kehangatan

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.

b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.

c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.

d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan

(20)

sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh dan ekstremitas bayi.

2). Ventilasi tekanan positif

Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, ventilasi tekanan positif harus dimulai bila bayi tetap apnea setelah stimulasi atau pernapasan tidak adekuat, dan/atau frekuensi jantung memadai tetapi sianosis sentral, bayi diberi oksigen aliran bebas. Bila setelah ini bayi tetap sianosis, dapat dicoba melakukan ventilasi tekanan positif.

3). Pemberian Oksigen

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen. Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa oksigen. Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang bulan karena dapat merusak jaringan. Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka pemeberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.

4). Kompresi dada

Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Kompresi dada dilakukan dengan menekan sternum menggunakan 1 jempol atau 2 jari tegak lurus di linea parasentralis kiri sedalam 1/3 diameter anteroposterior rongga dada dengan 3 kali penekanan dan 1 kali ventilasi dalam 2 detik (45 kali kompresi dada dan 15 kali ventilasi selama 30 detik).

5). Terapi Medikamentosa a. Epinefrin 1:10.000

Dosis : 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg berat badan diberikan secara cepat, dilarutkan dengan larutan NaCl 0,9% menjadi 1-2 ml bila secara endotrakea.

(21)

b. Cairan penambah volume darah (plasma expander)

Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara intravena. Bila bayi menunjukkan perbaikan yang minimal setelah pemberian dosis pertama, dapat dberikan dosis tambahan lagi 10 ml/kg.

c. Nalokson

Dosis : 0,1 mg/kg diberikan secara intravena atau intramuskular. d. Natrium Bikarbonat

Dosis : 1-2 mEq/kg diberikan secara intravena setelah ventilasi dan perfusi adekuat dicapai, diberikan dalam kira-kira 2 menit yaitu 1 mEq/kg/menit (Dharmasetiawani, 2008).

H. Prognosis Asfiksia Neonatorum

Apabila bayi yang mengalami asfiksia dapat bertahan hidup pada 24 jam pertama maka prognosis kehidupannya biasanya akan baik. Namun, sekitar 1 juta bayi yang bertahan dari asfiksia neonatorum hidup dengan gangguan perkembangan otak kronik, termasuk cerebral palsy, retardasi mental dan kesulitan belajar.

I. Komplikasi Asfiksia Neonatorum

Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia neonatorum adalah asidosis metabolik, hipoglikemia, enselofati hipoksia iskemik dan gagal ginjal. Kompresi dada juga dapat menyebabkan trauma pada bayi. Organ vital dibawah tulang iga adalah jantung, paru, dan sebagian hati. Tulang rusuk juga rapuh dan mudah patah. Kompresi harus dilakukan dengan hati-hati supaya tidak merusak organ dibawahnya (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

(22)

BAB III

ANALISIS KASUS

Bayi Ny H, perempuan, berusia 0 hari, lahir spontan dari ibu G1P0A0,

Posterm, hamil > 42 minggu, ditolong oleh bidan di ruang kebidanan

RSUD Palembang Bari,saat lahir tidak langsung menangis, APGAR Score 2/3/7 dilakukan pembersihan jalan nafas + VTP, Riwayat KPSW (+) , ketuban hijau (+), bau busuk (+), kental (+), mekonium (+), tali pusat layu (+), LK : 33 cm, anus (+), BB= 3100 gram, PB 48 cm.

Pada pemeriksaan umum didapatkan tampak sakit berat, aktifitas: kurang aktif, refleks hisap: lemah, tangis: merintih, nadi 132 x/menit, isi dan tegangan kurang, pernapasan 64 x/menit, suhu badan 36,4 oC. dilakukan pemeriksaan darah rutin, didapatkan hasil: hb 16,1 g/dl, ht 44 %, leukosit 20.400/mm3 trombosit 317.000/mm3,diff count : 0/0/1/61/32/6, CRP (+). OS lalu dikirim ke NICU (Neonatal Intensive Care) RSUD Palembang bari untuk dilakukan perawatan.

Pada saat lahir bayi tidak langsung menangis dan nilai APGAR SCORE menit pertama 2, menit kelima 3 dan menit ke sepuluh 7 yang menandakan bahwa bayi Ny. H mengalami asfiksia berat. Hal ini dapat disebabkan dari faktor ibu, faktor persalinan maupun faktor janin. Dari anamnesis didapatkan bahwa ibu tidak memiliki riwayat penyakit seperti hipertensi, anemia, gagal jantung maupun infeksi sistemik. Sehingga dalam kasus ini kemungkinan penyebabnya adalah dari faktor janin dan persalinan, yaitu umur bayi yang > 42 minggu / posterm dan riwayat KPSW (+), ketuban hijau, bau busuk (+), kental (+) dan terdapat mekonium.

Setelah ± 4 jam pertama kelahiran pada pemeriksaan umum didapatkan tampak sakit berat, aktifitas: kurang aktif, frekuensi nafas bayi 64 x/menit, merintih pada waktu ekspirasi, retraksi otot-otot penafasan dan NCH (+), dapat disimpulkan bayi tersebut juga mengalami gangguan ventilasi pernafasan / respiratory distres syndrom, yang dapat disebabkan gangguan pada traktus respiratorius seperti HMD, TTN, sindrom aspirasi, pneumonia, maupun hernia diafragmatica, ataupun gangguan dari luar traktus respiratorius seperti kelainan jantung kongenital, kelainan metabolik, darah dan SSP.

Pada kasus ini HMD, dapat disingkirkan, karena riwayat bayi yang posterm / usia kehamilan > 42 minggu dan berat badan lahir yang normal. Sedangkan TTN biasanya terjadi pada bayi dengan sectio cessaria, sehingga diagnosis TTN juga dapat disingkirkan. Sehingga diagnosis yang

(23)

paling mungkin dalam kasus ini adalah RDS akibat aspirasi mekonium yang dapat dilihat dari usia kehamilan posterm dan air ketuban yang terdapat mekonium.

Sedangkan untuk gangguan pada luar traktus respiratorius, belum sepenuhnya dapat disingkirkan, pada pemeriksaan rontgen thorax tidak ditemukan kelainan. Sehingga hernia diafragmatica dan pneumonia dapat disingkirkan, tetapi kelainan jantung kongenital, kelainan metabolik, darah dan SSP belum sepenuhnya dapat disingkirkan dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Tetapi kelainan tersebut jarang terjadi. Tetapi bila terdapat gangguan ventilasi pernafasan yang menetap dalam jangka waktu lama, perlu dipertimbangkan pemeriksaan penunjang lainnya.

Riwayat KPSW (+) , ketuban hijau (+), bau (+), kental (+), mekonium (+), tali pusat layu (+), dan CRP (+) dapat dipikirkan pula kemungkinan bayi Ny. H adalah tersangka infeksi sehingga diperlukan perawatan lebih lanjut.

(24)

BAB V

KESIMPULAN

Bayi Ny H, perempuan, berusia 0 hari, lahir spontan mengalami asfiksia + tersangka infeksi + RDS ec. Aspirasi mekonium.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdoerrachman, dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak : “Asfiksia Neonatorum”. Jilid 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia, hal. 1072-1081.

2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH. 2010. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. RSMH, Palembang, Indonesia, hal. 1.

3. Dewi, Novita, dkk. Faktor Resiko Asfiksia Neonatorum pada Bayi Cukup Bulan. Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 37, No. 3, 2005, hal. 143-149. 4. Health Technology Assesment Indonesia Depkes RI. 2008. Pencegahan

dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

5. IDAI. 2004. Asfiksia Neonatorum. Dalam : Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; hal. 272- 276.

6. Indahwati, Elvi. 2010. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia Neonatorum di Instalasi Rawat Inap Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari - 31 Desember 2008. Skripsi, Jurusan Kedokteran Unsri (tidak dipublikasikan). 7. Wiknjosastro, dkk. 2005. Ilmu Kebidanan : “Bayi dengan Berat Badan

Lahir Rendah”. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Indonesia, hal. 771 - 784.

(26)

Fisiologi pernafasan neonatus Proses persalinan pervaginam Terjadi kompresi intermitten pada

Referensi

Dokumen terkait

Uygun ortam sağlandığında, iç ve dıĢ mekanların imgesel çizimini perspektif kurallarına dikkat ederek kara kalemle yapabileceksiniz..  Ġmgesel resim, modelden

Abdul Chaer, Leksikologi dan Leksikologi Indonesia , (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h.. بيرع سوماق - يسينكدناك يسينكدنا – سوماقب ؿكؤم بيرع بيرع – .ويلام

Karena mereka berpendapat bahwa fenomena konvensional tidak ada, shunya dari sisinya sendiri, mereka berpendapat bahwa sifat keberadaan yang paling mendalam ( ultimate nature

(1) Ketentuan mengenai perizinan dan nonperizinan, tata ruang, penyediaan tanah, komponen dalam negeri, jaminan Pemerintah, pengadaan barang dan jasa, serta

Ikal, Arai dan Jimbron memang terlahir dari keluarga yang sederhana, sekolah di SMA Negeri Manggar merupakan tempat mengenyam pendidikan yang pas dengan keuangan orangtua

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan terhadap lama latihan aerobik menggunakan permainan dance dance revolution (DDR) terhadap nilai VO 2 maks

Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya, patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin (regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi

Pengaruh beban pendingin terhadap kinerja mesin pendingin menggunakan refrigeran R12 dan LPG ditunjukkan pada Gambar 9 dengan hasil penelitian menggunakan R12