Bell’s Palsy
Oleh : Yaniar Uzlifatin 0710710010 Pembimbing : dr. Shahdevi Nandar K, Sp.SSTAF MEDIS FUNGSIONAL NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RSU DR. SAIFUL ANWAR MALANG
DESEMBER 2011 DAFTAR ISI
Halaman Judul 1 Daftar Isi 2 Patofisiologi 3 Resume 10 Pertanyaan 13 Daftar Pustaka 23
Patofisiologi
Bell’s palsy adalah penyakit idiopatik dan merupakan
penyakit saraf tepi yang bersifat akut dan mengenai nervus fasialis (N.VII) yang menginervasi seluruh otot wajah yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini menyebabkan asimetri wajah serta menganggu fungsi normal1,2.
Penyakit ini merupakan salah satu gangguan neurologi yang paling sering dijumpai. Wanita muda usia 10-19 tahun lebih sering terkena dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan wanita hamil memilki resiko 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil2.
Gambar 1 : Distribusi perifer N.VII pada otot-otot wajah dan representasi diagram pada bagian proximal N.VII didalam
Nervus fasialis merupakan saraf motoris dengan sedikit komponen saraf sensoris (N. Intermedius of Wrisberg) yang menyampaikan sensasi rasa dari dua pertiga anterior lidah lewat nervus lingualis dan chorda tympani. Nukleus motoris nervus fasialis terletak diantara anterior dan lateral dari nukleus abdusen dan serabut intrapontine mengait disekitar nukleus abdusen sebelum muncul melalui pons. Nervus fasialis akan melintang melewati kanalis auditori internal bersamaan dengan nervus akustikus. Setelah memasuki kanal, nervus fasialis akan menikung tajam kedepan kemudian kebawah disekitar batas vestibulum telinga dalam untuk keluar melalui foramen stylomastoid. Dari foramen stylomastoid, mereka membagi canalis fasialis menjadi segmen labyrinthine, tympanic, dan mastoid. Segmen
labyrinthine (bagian proximal) memanjang dari fundus kanalis
auditori internal menuju ganglion genikulatum (dengan panjang 3-5 mm). Pada pintu masuk tersebut terdapat bagian tersempit dari kanalis fasialis yang mungkin merupakan lokus minorus (lokasi yang paling rentan mengalami kerusakan)
Gambar 2 : Cabang Saraf Fasialis (N.VII)5
Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun. Bell’s palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang secara langsung
maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi bakteri pada Lyme disease dan otitis media, atau trauma, tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edema nervus fasialis (N.VII) dapat memicu terjadinya bell’s palsy6.
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik vaskuler dan teori infeksi virus1.
1.Teori iskemik vaskuler
Teori ini dikemukakan oleh Mc Groven pada tahun 1955 yang menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini menyebabkan spasme pada arteriol dan stasis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis. Vasospasme ini menyebabkan iskemik dan terjadinya oedem. Hasilnya adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah1,7.
2. Teori infeksi virus
Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab infeksi yang dapat ditemukan pada kasus paralisis saraf fasialis adalah otitis media, meningitis bakteri, penyakit lime, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun 1972 McCromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan edema saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena saraf tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Pada beberapa kasus yang ringan hanya terdapat kerusakan selubung myelin saraf1,8.
3. Teori kombinasi
Teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan bahwa kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau reaktivasi virus Herpes Simpleks dan
merupakan reaksi imunologis sekunder atau karena proses vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi dan penekanan saraf perifer ipsilateral1.
Bell’s palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya
seperti iklim atau faktor meteorologi seperti suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset bell’s palsy muncul. Suhu dingin di salah satu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi nervus fasialis (N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi penyakit ini adalah “hipotesis suhu rendah”. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah satu teori terjadinya bell’s palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar negara dan polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat memicu munculnya bell’s
Resume
Bell’s palsy adalah penyakit idiopatik dan merupakan
penyakit saraf tepi yang bersifat akut dan mengenai nervus fasialis (N.VII) yang menginervasi seluruh otot wajah yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini menyebabkan asimetri wajah serta menganggu fungsi normal.
Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan neurologi
yang paling sering dijumpai. Wanita muda usia 10-19 tahun lebih sering terkena dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan wanita hamil memilki resiko 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil.
Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun. Bell’s palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi bakteri pada Lyme disease dan otitis media, atau trauma, tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edema nervus fasialis (N.VII) dapat memicu terjadinya bell’s palsy.
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik vaskuler dan teori infeksi virus.
1.Teori iskemik vaskuler
Teori ini dikemukakan oleh Mc Groven pada tahun 1955 yang menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik
dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini menyebabkan spasme pada arteriol dan stasis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis. Vasospasme ini menyebabkan iskemik dan terjadinya oedem. Hasilnya adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah.
2. Teori infeksi virus
Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab infeksi yang dapat ditemukan pada kasus paralisis saraf fasialis adalah otitis media, meningitis bakteri, penyakit lime, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun 1972 McCromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan edema saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena saraf tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Pada beberapa kasus yang ringan hanya terdapat kerusakan selubung myelin saraf.
3. Teori kombinasi
Teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan bahwa kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau reaktivasi virus Herpes Simpleks dan merupakan reaksi imunologis sekunder atau karena proses vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi dan penekanan saraf perifer ipsilateral.
Bell’s palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya
dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset bell’s palsy muncul. Suhu dingin di salah satu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi nervus fasialis (N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi penyakit ini adalah “hipotesis suhu rendah”. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah satu teori terjadinya bell’s palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar negara dan polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat memicu munculnya bell’s
Pertanyaan
1. Bagaimana tanda dan gejala dari penyakit Bell’s Palsy ?
a) Tanda
– Saat pasien diminta untuk mengerutkan dahi bagian yang mengalami parese tidak dapat mengerutkan dahi10.
– Saat pasien diminta untuk menutup mata dengan kuat bagian yang mengalami parese tidak dapat menutup mata dengan kuat10.
– Saat pasien diminta untuk meringis / tersenyum sudut mulut yang mengalami parese akan terkulai10. b) Gejala
– Gejala utama yang terjadi tiba-tiba. Biasanya onsetnya terjadi malam hari atau setelah bangun
dari tidur malam dengan kelemahan wajah unilateral komplit selama 24-72 jam5.
– Gejalanya meliputi kelemahan pada satu sisi wajah. Sudut mulut yang terkulai, mata yang tidak dapat menutup kuat (lagophtalmus), tidak dapat mengerutkan dahi, terdapat tanda bell (bola mata berputar keatas)5,10.
– Gejala lain dapat berupa tebal wajah ipsilateral, telingan terasa sakit, hilangnya rasa pada bagian lidah (ageusia), hipersensitivitas terhadap suara atau suara terdengar keras (hiperakusis karena stapedius
palsy), dan kesulitan makan5,10.
– Patologi atau gejala lain bisa berupa gejala bilateral, adanya tanda-tanda UMN, neuropati saraf cranial lainnya (N.V atau N.XII, tapi hanya terdapat pada 8% kasus idiopatik), kelemahan ekstremitas, dan ruam5.
Tabel 2 : Manifestasi Klinis Bell’s palsy2 Gejala pada sisi wajah ipsilateral
– Kelemahan otot wajah ipsilateral – Kerutan dahi menghilang ipsilateral – Tampak seperti orang letih
– Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata
– Hidung terasa kaku – Sulit berbicara
– Sulit makan dan minum
– Salivasi yang berlebihan atau berkurang – Pembengkakan wajah
– Berkurang atau hilangnya rasa kecap – Nyeri di dalam atau disekitar telinga – Air liur sering keluar
Gejala pada mata ipsilateral
– Sulit atau tidak mampu menutup mata ipsilateral
– Air mata berkurang – Alis mata jatuh
– Kelopak mata bawah jatuh – Sensitif terhadap cahaya Residual
– Mata terlihat lebih kecil
– Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
– Senyum yang asimetri
– Spasme hemifasial pascaparalitik – Otot hipertonik
– Sinkinesia
– Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas
– Otot menjadi lebih flaksid jika lelah – Otot menjadi kaku saat letih atau
Pada kasus bell’s palsy gejala dapat bervariasi dari yang ringan, tidak jelas, hingga cukup jelas8.
2. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit Bell’s Palsy ? Diagnosis penyakit bell’s palsy berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang1.
a)Anamnesis
Pasien mengeluh keluhan-keluhan khas pada bell’s
palsy, seperti kelemahan atau paralisis komplit pada
seluruh otot wajah sesisi wajah sehingga pasien merasa wajahnya perot. Selain itu makanan dan air liurdapat terkumpul pada sisiyang mengalami gangguan pada mulut dan dapat tumpah keluar melalui sudut mulut1.
b)Pemeriksaan fisik
– Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga menghilang sesisi, dan sudut mulut jatuh / mulut mencong ke sisi yang sehat1.
– Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika psien diminta untuk mnutup mata maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena bell’s)1.
– Produksi air mata berkurang, iritasi pada mata karena berkurangnya lubrikasi dan paparan langsung1.
Untuk menilai derajat paresis netvus fasialis digunakan House Brackmann Classification of Facial
Function1, yaitu : – Derajat 1
Fungsional normal – Derajat 2
Angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit asimetris.
– Derajat 3
Angkat alis sedikit, menutup mata komplit dengan usaha, mulut bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal.
– Derajat 4
Tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan usaha, mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal.
– Derajat 5
Tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomlit dengan usaha, mulut sedikit bergerak
– Derajat 6
Tidak bergerak sama sekali. c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti MRI Kepala atau CT-Scan dan elektrodiagnosis dengan ENMG dan uji kecepatan hantar saraf serta pemeriksaan laboratorium. Uji ini hanya dilakukan pada kasus-kasus dimana tidak terjadi kesembuhan sempurna atau untuk mencari etiologi parese nervus fasialis. Pemeriksaan ENMG ini dilakukan terutama untuk menentukan prognosis1,2.
Pada pemeriksaan laboratorium diukur Titer Lyme (IgM dan IgG), gula darah atau hemoglobin A1C (HbA1C), pemeriksaan titer serum HSV2.
Pada pemeriksaan MRI tampak peningkatan intensitas N.VII atau di dekat ganglion genikulatum. Sedangkan pemeriksaan CT-Scan tulang temporal dilakukan jika memiliki riwayat trauma2.
3. Apakah diagnosis banding penyakit Bell’s Palsy ? a) Lesi perifer
– Otitis media
Disebabkan oleh bakteri pathogen, onset perlahan, nyeri pada telinga, demam, dan gangguan pendengaran konduktif1.
– Ramsay Hunt Syndrome
Disebabkan oleh virus Herpes Zooster. Sindroma ini terjadi ketika terjadi reaktivasi virus varicella zooster yang latent di ganglion genikulatum N.VII. Gejala yang muncul seperti erupsi vesikular yang nyeri pada kanalis auditorius (herpes zooster
oticus), ear-drum, pinna, lidah, atau palatum
durum. Selain itu juga terdapat gejala kelemahan wajah ipsilateral, hilangnya sensasi rasa, mulut kering, mata kering, vertigo, tinnitus, atau ketulian1,5.
– Penyakit Lyme
Disebabkan oleh Borrelia burgdorfery, riwayat adanya tanda bercak atau nyeri sendi, kontak di daerah endemik penyakit Lyme1.
Disebabkan oleh proses autoimun, sering terjadi bilateral1.
– Tumor
a) Lesi sentral – Multiple sklerosis
Proses demyelenasi, ditemukan defisit neurologis lain1.
– Stroke
Ditemukan defisit neurologi lain1. – Tumor
Metastase atau primer di otak, onset kronik progresif, perubahan status mental, adanya riwayat keganasan1.
2. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Bell’s Palsy ? a) Medikamentosa
Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson dan kerusakan N.VII dapat diberikan prednison (kortikosteroid) dan antiviral sesegera mungkin. Window
of opportunity untuk memulai pengobatan adalan 7 hari
setelah onset. Prednison dapat diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin2.
– Kortikosteroid
Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10 mg/hari dan berhenti selama 10-14 hari1.
Tabel 3 : Dosis Prednison2
Dosis dewasa
1 mg/kg atau 60 mg PO qd selama 7 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian 10 hari.
Dosis Anak
1 mg/kg PO qd selama 6 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian 10 hari.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, diabetes berat yang tak terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC, osteoporosis.
– Obat-obat antiviral
Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari, atau 1000 mg/hari selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 hari. Dapat juga menggunakan Valactclovir 1 gram yang diberikan 3 kali selama 7 hari1.
Tabel 4 : Dosis Antiviral5
Nama Obat
Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja 1. HSV-2, dan VZV
Dosis dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari.
>2 tahun : 20 mg/kg PO selama 10 hari
Kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagal ginjal
– Vitamin B
Preparat aktif B12 (Metilkobalamin) berperan sebagai kofaktor dalam proses remielenasi, dengan dosis 3x500 μg/hari1.
b) Non-medikamentosa
– Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial, elektroterapi menggunakan arus listrik1.
– Perawatan mata
Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja1,2.
– Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas1,2.
– Istirahat2 – Pembedahan
Jika sudah terjadi ectropion yang parah dapat dilakukan lateral tarsorrhaphy5.
3.Apa saja komplikasi dan bagaimana pronosis penyakit Bell’s Palsy ?
a) Komplikasi
– Iritasi dan ulserasi kornea karena pasien bell’s palsy mengalami kesulitan menutup satu mata yang mengalami lesi, sehingga harus selalu diberi lubrikasi dengan artifisial1.
– Kelemahan permanen pada kelopak mata yang mungkin memerlukan tarsorrhaphy1.
– Asimetri wajah dan kontraktur muskuler perlu dilakukan tindakan pembedahan kosmetik atau pemberian injeksi batolinum1.
b) Prognosis
– Paralisis inkomplit
Paralisis inkomplit tanpa degenerasi axonal biasanya akan kembali komplit dalam waktu beberapa minggu5.
– Paralisis komplit
80% pasien akan terjadi penyembuhan spontan tapi 15% dapat terjadi degenerasi axonal (50% pada kehamilan) jika penyembuhan tertunda (>3 bulan) dan memiliki komplikasi rekoneksi abberant, sinkinesia atau kontraktur5.
– Prognosis buruk pada pasien dengan hiperakusis, penurunan sekresi air mata, dan terjadi spasme hemifasial5.
DAFTAR PUSTAKA
1) Dalhar, M. dan Kurniawan, S.N. 2010. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Staf Medis Fungsional Neurologi.
Malang : RSUD Dr.Saiful Anwar/FKUB
2) Dewanto, G dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana
Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
3) Walkinson, L dan lennox, G. 2005. Essential Neurology
Forth Edition. Massachusetts : Blackwell Publishing
4) Roob, G dkk. 1999. Peripheral Facial Palsy : Etilogy, diagnosis, and treatment. European Neurology 41:3-9. Austria : Department of Neurology, Karl Franzens University
5) Longmore, M dkk. 2010. Oxford Handbook of Clinical
Medicine Eight Edition. New York : Oxford University
Press
6) Englebright, S. 2002. Bell's Palsy-Idiopathic Facial Nerve
Paralysis.
http://abel.hive.no/oj/musikk/trompet/tpin/Bells_Palsy_Info .html
7) Duus, P. 1996. Diagnosis Topik Neurologi : Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
8) Empi/VitalStim. 2009. Guidance from the literature: Bell’s
9) Danielides, V dkk. 2001. Research article : Weather
conditions and Bell's palsy: five-year study and review of the literature. BioMed Central
10)Murtagh, J. 2010. Bell’s Palsy. Australia : Australian Doctor