• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Karakteristik dan Angka Kejadian Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik Medan Periode 2012-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Karakteristik dan Angka Kejadian Bell’s Palsy di RSUP. H. Adam Malik Medan Periode 2012-2014"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saraf Perifer

Neuron merupakan sel struktural dan fungsional pada sistem saraf. Neuron merespon stimulus saraf dan menyalurkan stimulus di sepanjang sel. Badan sel dan neuron disebut dengan soma (Norton, 2007).

Bagian Neuron (Balaji, 2013):

a. Badan sel saraf: Merupakan masa sitoplasma yang didalamnya terdapat nukleus. Bagian luar dan badan sel saraf dibatasi oleh membran plasma. b. Dendrit : Sel saraf memiliki lima hingga tujuh cabang yang disebut dengan

dendrit yang meluas hingga keluar dan badan sel dan menyebar.

c. Axon : Neuron memiliki serabut axon yang berasal axon hillock dan badan saraf. Axon hillock merupakan bagian yang menebal pada badan saraf. d. Neuron yang bermielin : Diluar sistem saraf pusat, axon dilapisi oleh

selubung mielin.

e. Epineurium : Epineurium merupakan bagian terluar yang melapisi saraf perifer. Epineurium terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah yang menyuplai darah pada saraf perifer.

f. Serabut saraf

2.2. Nervus Fasialis

(2)

6

Nervus fasialis terdiri dari saraf motoris dan sensoris yang lebih dikenal dengan nama saraf intermedius (Lowis, 2012).

Menurut Norton (2007), nervus fasialis mengandung 4 jenis serabut, yaitu:

a. Serabut somato-sensorik yang menghantarkan rasa nyeri, suhu dan sensasi raba dan sebagian kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

b. Serabut visero-sensorik yang bertindak sebagai reseptor rasa pada 2/3 anterior lidah.

c. Serabut visero-motorik (parasimpatik) yang berasal dari nukleus salivarius superior. Serabut saraf ini mempersarafi kelenjar lakrimal, rongga hidung, kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual.

d. Serabut somato-motorik yang mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

(3)

7

Gambar 2.1. Nervus fasialis

Menurut Snell (2006), nervus fasialis terbagi atas lima cabang terminal, yaitu: a. Ramus Temporalis muncul dari pinggir atas glandula dan mempersarafi

muskulus auricularis anterior dan superior, venter frontalis muskulus occipitofrontalis, muskulus orbicularis oculi dan muskulus corrugator supercilii.

b. Ramus Zygomaticus muncul dari pinggir anterior glandula dan mempersarafi muskulus orbicularis oculi.

c. Ramus Buccalis muncul dari pinggir anterior glandula di bawah ductus parotideus dan mempersarafi muskulus buccinator dan otot – otot bibir atas serta nares.

(4)

8

e. Ramus Cervicalis muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke depan di leher bagian bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus platysma. Saraf ini menyilang pinggir bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus depressor anguli otis.

2.3. Bell’s Palsy

2.3.1. Pengertian

Bell’s palsy merupakan bentuk kelumpuhan wajah yang paling umum terjadi yang disebabkan oleh inflamasi pada saraf fasialis. Adanya inflamasi menyebabkan saraf membengkak dan menghambat penghantaran sinyal antara otak dan otot-otot wajah. Bell’s palsy didefinisikan sebagai paralisis nervus fasialis perifer yang bersifat unilateral, akut dan tidak disertai kelainan neurologi lainnya (Marson, 2000).

BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg, 2009).

2.3.2. Etiologi

Penyebab Bell’s palsy masih tidak jelas atau masih menjadi perdebatan. Pada masa lain, paparan dingin secara terus menerus dianggap sebagaI satu-satunya penyebab Bell’s palsy (Victor, 2000; Balaji, 2013; Gerg, 2012).

Secara luas teori yang diyakini sebagai etiologi penyebab Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik saraf, reaksi autoimun, trauma dan kongenital (Victor, 2000; Balaji, 2013; Gerg, 2012).

(5)

9

Pada tahun 1972 Mc Connick pertama kali mengemukakan bahwa Herpes

Simplex Virus (HSV) bertanggungjawab dalam menyebabkan kelumpuhan fasial

idiopatik. Teori ini berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikel-vesikel, kemudian menetap dan bersifat laten di ganglion genikulatum. Sejak saat itu, sering dilakukan autopsi pada pasien Bell‘s palsy dan hasilnya mengarah kepada terdapatnya HSV di ganglion genikulatum pada pasien Bell’s palsy. Diduga HSV berjalan melalui akson sensoris dan menetap di sel ganglion. Sehingga pada saat terjadi stress, virus akan mengalami reaktivasi dan merusak selubung mielin (Balaji, 2013; Gerg, 2012).

Paralisis wajah yang dibawa sejak lahir atau terjadi secara kongenital sangat jarang ditemukan.Penyebab utamanya adalah trauma pada saat kelahiran misalnya pada riwayat persalinan yang sulit (Balaji, 2013).

Menurut Victor (2000) dan Silva (2010), tindakan kedokteran gigi juga dapat menyebabkan Bell„s palsy. Tindakan kedokteran gigi yang diduga menyebabkan Bell‘s palsy, yaitu:

a. Komplikasi sesudah penyuntikan anestesi lokal pada pencabutan gigi, dimana terjadi paralisis nervus fasialis perifer (Bell‘s palsy) yang umumnya bersifat sementara. Paralisis nervus fasialis dapat terjadi jika jarum telah menembus kapsul kelenjar parotis.

b. Adanya sumber infeksi di daerah mulut seperti radang parotis.

c. Trauma pada saat operasi sendi temporo mandibular, terjadi trauma pada bagian kondilus mandibular akan menyebabkan gangguan pleksus saraf fasialis pada bagian atas.

d. Trauma ketika dilakukan penyingkiran tumor glandula parotis yang menyebabkan terputusnya nervus fasialis dimana terjadi gangguan pada pleksus saraf fasialis bagian bawah.

(6)

10

2.3.3. Epidemiologi

Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dari seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing-masing negara (Finsterer, 2008).

Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus (Finsterer, 2008).

Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak-anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang-kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3-2% (Finsterer, 2008).

Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga yang positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012).

2.3.4. Gambaran Klinis

Bell’s palsy dapat memiliki tanda dan gejala seperti kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba. Rasa nyeri sering dikeluhkan dan dapat terjadi pada daerah telinga, yang menyebar luas pada kepala, leher ataupun mata. Rasa nyeri biasanya muncul setelah beberapa jam dan dapat mengawali terjadinya kelumpuhan hingga 72 jam, tetapi terkadang rasa nyeri muncul setelah beberapa hari terjadi paralisis dan dapat menjadi lebih parah dan menetap (Balaji, 2013).

(7)

11

memutar ke atas (Bell‘s phenomenon), lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. (Gambar 2.2) (Balaji, 2013; Gerg, 2012).

Gejala lain Bell’s palsy adalah rasa kebas pada sisi wajah yang terkena, terutama pada bagian dahi, mastoid area, dan sudut mandibula. Rongga mulut dapat menjadi kering akibat berkurangnya sekresi saliva dan perubahan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan hyperaesthesia sebagian pada nervus trigeminal serta hiperakusis (Balaji, 2013; Gerg, 2012).

Gambar 2.2. Gambaran klinis Bell‘sPalsy

Menurut Norton (2007) perbedaan lokasi lesi saraf fasialis dapat menimbulkan gejala yang berbeda. Tanda dan gejala klinis pada Bell’s palsy berdasarkan lokasi lesinya (Gambar 2.3):

1. Lesi di interkranial dan atau meatus akustikus internus:

Tanda dan gejala klinis sama dengan lesi di ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulokoklearis.

2. Lesi di ganglion genikuli :

(8)

12

3. Lesi di kanalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani :

Tanda dan gejala klinis sama dengan lesi di luar foramen stilomastoideus, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan pada 2/3 bagian anterior lidah. Berkurangnya sekresi saliva akibat terkenanya korda timpani. Terjadi juga hiperaukusis.

4. Lesi dibawah foramen stilomastoideus (tumor kelenjar parotis, trauma): Mulut tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul diantara gigi dan gusi, sensasi pada wajah rnenghilang, tidak ada lipatan dahi dan mata tidak dapat menutuppada sisi yang terkena, atau karena tidak terlindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

Gambar 2.3. Lokasi lesi Bell’s Palsy.

(9)

13

grading yang dikembangkan oleh House dan Brackmann (Tabel 2.1). Caranya adalah dengan mengukur gerakan ke atas alis dan gerakan ke samping sudut bibir. Setiap gerakan 0,25 cm diberikan 1 poin dengan maksimal penilaian 1 poin untuk masing-masing bagian. Jadi total nilai maksimalnya adalah 8. (Balaji, 2012; Malamed, 2004).

Tabel 2.1. Tingkat keparahan nervus fasialis menurut House Brackmann System. Grade Deskripsi Karakteristik

I Normal Gerakan wajah normal, tidak ada synkinesis II Ringan Deformitas ringan, synkinesis ringan, dahi

berfungsi normal, sedikit asimetri

III Sedang Kelemahan wajah jelas terlihat, mata menutup dengan baik, asimetri, Bell’s phenomenon muncul

IV Sedang Kelemahan wajah jelas terlihat, terlihat synkinesis, dahi tidak dapat digerakkan

V Berat Kelumpuhan wajah yang sangat jelas, tidak dapat menutup mata

VI Total Kelumpuhan wajah secara keseluruhan, tidak ada gerakan

2.3.5. Diagnosis

Langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis Bell„s palsy adalah anamnesis dan pemeriksaan klinis(Lowis, 2012).

(10)

14

ditanyakan guna membedakan dengan penyakit paralisis saraf lainnya. Bell‘s palsy ditandai dengan kelumpuhan yang sering terjadi unilateral atau hanya pada satu sisi wajah dengan onset mendadak dalam 1-2 jam dan maksimal dalam 3 minggu kurang (Lowis, 2012).

Pemeriksaan fisik yang lengkap dilakukan untuk membedakan dengan penyakit yang serupa dan kemungkinan penyebab lain. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pada pemeriksaan ini akan ditemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Tes yang dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan beberapa hal berikut (Balaji, 2013):

a. Menaikkan alis untuk menguji aktivitas frontalis corrugator

b. Menutup rapat mata untuk menguji fungsi orbicularis oculi sphincter c. Meminta pasien untuk menyeringai untuk menguji kemampuan otot untuk

tertarik pada sudut mulut d. Menguji pengecapan

e. Pasien diminta untuk meniupkan udara, menahan udara didalam mulut dan bersiul

Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis(Norton, 2007).

Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang terkena (Norton, 2007).

(11)

15

a. Computed TomographyScanning (CT Scan) atau Magnetic Resonance

Imaging (MRI)diindikasikan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan keadaan setelah 1 bulan mengalami paralisis wajah, hilangnya pendengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda-tanda paralisis pada anggota gerak atau gangguan sensorik.

b. Pemeriksaan pendengaran dilakukan jika dicurigai kehilangan pendengaran, maka dilakukan tes audio untuk menyingkirkan neuroma akustikus.

c. Pemeriksaan laboratorium penting jika pasien memiliki gejala keterlibatan penyakit sistemik tanpa perbaikan signifikan setelah lebih dan 4 minggu.

2.3.6. Diagnosis Banding

Terdapat beberapa penyakit yang juga memiliki gejala paralisis fasialis yang menyerupai dengan Bell’s palsy namun juga memiilki gejala yang dapat dijadikan pembeda (Norton, 2007; Delong, 2008; Yonamine, 2014)

Penyakit - penyakit tersebut adalah: a. Lyme disease

Penyakit ini juga dapat menyebabkan paralisis nervus fasialis yang bersifat unilateral ataupun bilateral, namun yang paling sering adalah bilateral.

b. Ramsay Hunt Syndrome

Merupakan komplikasi dari herpes zoster. Pasien dengan penyakit ini memiliki prodromal nyeri. Paralisis pada nervus fasialis yang bersifat unilateral juga ditemukan, namun juga dapat melibatkan nervus vestibulococlearis sehingga menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan.

c. Otitis media

(12)

16

d. Sarcoidosis

Pasien dengan penyakit ini juga mengalami paralisis pada nervus fasialis, namun bersifat bilateral, disertai juga dengan demam, pembesaran kelenjar limfe hilus, parotis dan kadang hiperkalsemia.

2.3.7. Penatalaksanaan

Pada beberapa evaluasi ditemukan bahwa 71% dari pasien yang tidak mendapatkan perawatan mengalami perbaikan secara sempurna dan 84% mengalami perbaikan fungsi yang mendekati normal. Namun 20-30% pasien tidak mengalami kesembuhan sehingga diperlukan perawatan (Gilden, 2004).

Penatalaksanaan Bell’s palsy masih menjadi perdebatan akibat etiologinya yang belum jelas. Secara umum diyakini pengobatan Bell’s palsy dapat dilakukan dengan menggunakan terapi farmakologis, terapi fisik dan pembedahan (Balaji, 2013; Gerg, 2012).

Terapi farmakologis yang digunakan pada pasien Bell’s palsy adalah kortikosteroid dan antivirus. Penggunaan kortikosteroid dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi kemungkinan paralisis permanen dan pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Kortikosteroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kgBB/hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off (Gronseth, 2012).

(13)

17

placebo pada pengobatan Bell’s palsy. Studi lain juga menemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon dan asiklovir (Gronseth, 2012).

Terapi fisik juga disarankan untuk dilakukan dengan menggunakan terapi panas superfisial. Selama 15 menit/sesi untuk otot wajah lebih diutamakan untuk diberikan stimulasi elektrik. Pemijatan yang selama ini juga disarankan pada Bell’s palsy guna meningkatkan sirkulasi dan dapat mencegah kontraktur. Akupuntur dan terapi magnet juga dilakukan sebagai kombinasi fisioterapi perawatan Bell’s palsy, namun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk melihat efisiensinya (Lowis, 2012).

Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy diajukan untuk dilakukan karena hipotesis bahwa adanya kemungkinan nervus fasialis mengalami kompresi patologis akibat oedema pada fallopian canal. Bedah dekompresi diharapkan dapat mengurangi oedema. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pendekatan fossa media dan lebih baik dilakukan dalam 2 minggu, sebelum kerusakan serabut saraf tidak dapat diperbaiki (Balaji, 2013).

Menurut Mehta (2009) penatalaksanaan dengan pembedahan dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen primer dan manajemen sekunder. Manajemen primer terdiri dan perbaikan saraf, nerve graft dan nerve sharing atau transposisi saraf. Sedangkan manajemen sekunder bertujuan untuk mengembalikan fungsi wajah atau perbaikan estetis wajah(Gerg, 2012).

(14)

18

neurorrhaphy adalah great auricular nerve, sural nerve, dan antebrachial

cutaneous nerve (Gerg, 2012).

Manajemen sekunder yang memiliki tujuan untuk mengembalikan fungsi wajah dengan melakukan bedah rekonstruksi. Teknik statis pada pembedahan dianggap lebih cocok untuk dilakukan karena lebih mudah dilakukan dan hanya membutuhkan intervensi sebanyak satu kali. Secara umum tujuan dari pembedahan dengan teknik statis adalah melindungi kornea dan mengangkat kembali sudut mulut yang turun(Gerg, 2012).

Selain terapi yang telah diuraikan diatas, perlindungan pada mata dan otot wajah juga perlu dilakukan. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Perlindungan dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas pada saat tidur, kacamata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah) (Gerg, 2012).

2.3.8 Prognosis

Sekitar 80-90% pasien Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetris muskulus fasialis presisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren (Lowis, 2012; Taylor, 2014).

Faktor yang mengarah ke prognosis buruk adalah palsy komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus yang memiliki hasil CT Scan dengan kontras jelas (Gerg, 2012; Lowis, 2012).

(15)

19

2.3.9. Kualitas Hidup Pasien Bell’s palsy

Kelumpuhan pada wajah yang dialami pasien Bell‘s palsy dapat mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup(Kahn, 2001).

Gambar

Gambar 2.1. Nervus fasialis
Gambar 2.2. Gambaran klinis Bell‘sPalsy
Gambar 2.3. Lokasi lesi Bell’s Palsy.
Tabel 2.1. Tingkat keparahan nervus fasialis menurut House Brackmann System.

Referensi

Dokumen terkait

Banyaknya kasus bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan menyebabkan Kelestarian alam yang terganggu juga membuktikan bahwa pelaksanaan penegakkan

Sebagai perbandingan di Indonesia, hal serupa juga terjadi, di mana universitas Islam di bawah KEMENAG tidak memiliki akses yang sama terhadap sumberdaya yang

Pada saat konverter frekuensi tersambung ke hantaran listrik AC, motor dapat dimulai dengan saklar eksternal, perintah bus serial, sinyal reference input, atau kondisi masalah

Susunan perkuliahan ini juga dirancang agar sejak sekarang kebutuhan untuk merespon akreditasi internasional pendidikan arsitektur yang mensyaratkan lama waktu lima (5) tahun

[r]

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-1/W1, 2017 ISPRS Hannover Workshop: HRIGI 17 – CMRT 17 – ISA 17

Fasilitas kredit kepada bank lain yang belum ditarik 5003. Lainnya

Bina Desa pembuatan hand sanitizer berbahan dasar alami daun sirih, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat dalam hal produk