• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Identifikasi Permasalahan Implementasi Program Minapolitan

Indentifikasi permasalahan implementasi program minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu dilakukan dengan pendekatan sistem. Menurut Eriyatno (2003), pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pada kajian ini, tahapan pendekatan sistem yang digunakan adalah 1) analisis kebutuhan, 2) formulasi masalah, dan 3) identifikasi sistem. Data dan informasi diperoleh dari hasil survei lapangan, wawancara dan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait. Wawancara melibatkan informan kunci yang mewakili pelaku sistem minapolitan, meliputi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten, Bappeda, pengelola PPN Palabuhanratu, industri perikanan (eksportir tuna dan layur), nelayan, dan pemilik kapal tuna dan layur.

4.1.1 Analisis kebutuhan

Kebutuhan pokok pelaku sistem minapolitan (Tabel 3) dikelompokkan berdasarkan pendekatan klaster industri, meliputi 1) industri inti tuna dan layur, 2) industri pemasok, 3) pembeli, 4) industri pendukung, dan 5) lembaga pendukung. Industri inti tuna dan layur terdiri dari nelayan dan pengusaha penangkapan. Industri pemasok meliputi industri kapal, perbengkelan dan perawatan kapal, industri/penjual alat tangkap, pengelola BBM, serta pengusaha perbekalan nelayan. Pembeli terdiri dari eksportir, pengolah ikan, dan kosumen lokal. Industri pendukung adalah pihak perbankan sedangkan lembaga pendukung meliputi pengelola TPI/PPI, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pariwisata, Bappeda, koperasi nelayan, dan akademisi. Tabel 3 menggambarkan kebutuhan pelaku-pelaku sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu yang harus dapat dikelola secara sinergis sehingga diharapkan dapat mengurangi konflik kepentingan akibat tuntutan kebutuhan pokok dari pelaku-pelaku tersebut.

(2)

Tabel 3 Kebutuhan pelaku-pelaku sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu

Pelaku sistem minapolitan Kebutuhan Pokok 1. Industri inti tuna dan layur

1) Nelayan - Keberlanjutan sumberdaya ikan - Harga ikan stabil dan layak - Peningkatan hasil tangkapan

- Kemudahan dalam pemasaran hasil tangkapan - Keberlanjutan kerja

- Peningkatan kesejahteraan keluarga 2) Pengusaha penangkapan - Keberlanjutan sumberdaya ikan

- Kemudahan memperoleh sarana dan prasarana usaha - Peningkatan hasil tangkapan

- Peningkatan keuntungan usaha penangkapan - Jaminan pelaksanaan usaha penangkapan - Keberlanjutan usaha

2. Industri pemasok:

1) Industri kapal - Kemudahan memperoleh bahan baku pembuatan kapal

- Peningkatan omset penjualan kapal - Keuntungan usaha

- Jaminan usaha 2) Perbengkelan dan perawatan

kapal

- Kelengkapan sarana dan prasarana docking - Kemudahan usaha

- Keuntungan usaha

3) Industri/penjual alat tangkap - Kemudahan memperoleh input produksi alat tangkap - Peningkatan produksi

- Keuntungan usaha

4) Pengelola BBM - Kontinuitas pasok (stok) BBM bagi nelayan - Peningkatan kapasitas pelayanan

5) Pengusaha perbekalan nelayan

- Kemudahan memperoleh bahan baku perbekalan nelayan

- Peningkatan pelayanan - Keuntungan usaha 3. Pembeli:

1) Eksportir - Mutu ikan yang sesuai dengan standar ekspor - Jaminan kontinuitas produksi ikan

- Kemudahan memperoleh bahan baku - Jaminan keamanan usaha

- Kebijakan yang mendukung iklim usaha yang kondusif

- Kemudahan aksisibilitas - Keuntungan usaha maksimal

(3)

Tabel 3 Lanjutan

Pelaku sistem minapolitan Kebutuhan Pokok 2) Pengolah ikan - Keuntungan maksimal

- Mutu ikan yang baik

- Jaminan kontinuitas produksi ikan - Kemudahan mendapatkan bahan baku - Kemudahan memperoleh input pengolahan - Kemudahan pasar

- Keberlanjutan usaha 3) Konsumen lokal - Harga ikan stabil dan layak

- Jaminan keamanan produk - Mutu ikan yang baik

- Jaminan kontinuitas produksi ikan

4. Industri pendukung (perbankan) - Jaminan kelayakan usaha yang akan diberi modal - Pengembalian kredit yang lancar

- Peningkatan nasabah 5. Lembaga pendukung

1) Pengelola TPI/PPI - Terlaksananya pelelangan ikan yang baik dan berdaya saing tinggi

- Peningkatan jumlah unit penangkapan ikan yang melakukan pelelangan ikan

- Fasilitas PPI yang layak dan terus meningkat - Peningkatan aktivitas pendaratan ikan

- Pemberian pelayanan nyaman, baik dan berdaya saing 2) Dinas Kelautan dan

Perikanan

- Produksi ikan dapat memenuhi kebutuhan pasar - Perlindungan kelestarian sumberdaya lkan - Penegakan hukum

- Pemberdayaan nelayan - Peningkatan devisa

3) Dinas Pekerjaan Umum - Pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana umum yang sesuai

- Peningkatan kualitas dan kuantitas bangunan fisik pelayanan publik

4) Dinas Pariwisata - Peningkatan jumlah wisata bahari

- Peningkatan daya saing obyek wisata bahari - Peningkatan devisa

- Pemberdayaan masyarakat 5) Bappeda - Peningkatan lapangan kerja

- Peningkatan pendapatan daerah (PAD) - Peningkatan perekonomian daerah - Pengembangan wilayah pesisir terpadu

6) Koperasi nelayan - Peningkatan peranan KUD dalam kesejahteraan nelayan

- Peningkatan kesadaran masyarakat nelayan tentang koperasi nelayan

7) Akademisi - Penelitian dan pengembangan wilayah pesisir di Palabuhanratu

(4)

4.1.2 Formulasi masalah

Formulasi masalah merupakan suatu kegiatan untuk memilih permasalahan yang dianggap paling penting untuk segera diselesaikan dari sekian banyak permasalahan sehingga sistem minapolitan perikanan tangkap dapat berjalan dengan baik. Atas dasar tersebut formulasi masalah dilakukan dengan cara menentukan akar masalah. Penentuan akar masalah dilakukan dengan pendekatan pohon masalah yang dibagi menjadi 3 bidang masalah yaitu 1) ekonomi, 2) sumberdaya alam dan lingkungan, serta 3) sosial kelembagaan.

Pada bidang ekonomi, permasalahan yang paling mendasar adalah kemiskinan nelayan. Berdasarkan diagram pohon masalah (Gambar 11) dapat diketahui bahwa akar permasalahan kemiskinan nelayan adalah 1) jumlah unit penangkapan ikan semakin meningkat, 2) kualitas SDM nelayan relatif rendah, 3) penggunaan teknologi relatif sederhana, 4) praktek monopoli harga, dan 5) keterbatasan modal.

Gambar 11 Akar permasalah kemiskinan nelayan di Palabuhanratu dengan pendekatan diagram pohon masalah.

Kemiskinan Nelayan Pendapatan rendah Produktivitas rendah Harga rendah Teknologi sederhana Produksi menurun Mutu ikan rendah Kualitas SDM rendah Persaingan usaha Produksi menurun Jumlah UPI banyak monopoli Praktek Monopoli Ikatan patront client kuat

Sistem bagi hasil tidak seimbang

Kesadaran penanganan ikan rendah Keterbatasan modal Keterangan: : akar permasalahan : penyebab masalah

(5)

Pada bidang sumber daya alam dan lingkungan, permasalahan mendasar adalah penurunan stok sumber daya ikan (SDI). Gambar 12 menunjukkan bahwa akar permasalahan terjadinya penurunan stok sumber daya ikan adalah 1) penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, 2) perubahan iklim, cuaca dan musim, dan 3) tingginya upaya penangkapan, 4) sedimentasi dan pencemaran pantai.

Gambar 12 Akar permasalahan penurunan stok sumberdaya ikan di Palabuhanratu dengan pendekatan diagram pohon masalah.

Gambar 13 Akar permasalahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut di Palabuhanratu dengan pendekatan diagram pohon masalah.

Kinerja kelembagaan belum optimal Koordinasi antar

kelembagaan belum optimal Konflik pemanfaatan ruang

wilayah pesisir dan laut

Tumpang tindih kewenangan pengelolaan pesisir dan laut Perebutan fishing

ground

Penurunan stok sumber daya ikan

Alat tangkap tidak ramah lingkungan banyak monopoli

Perubahan iklim, cuaca dan musim ekosistem perikanan pantai Tingginya upaya penangkapan perikanan pantai Sedimentasi dan pencemaran pantai Degradasi ekosistem perikanan pantai Keterangan: : akar permasalahan : penyebab masalah Keterangan: : akar permasalahan : penyebab masalah

(6)

Permasalahan mendasar dalam bidang sosial kelembagaan adalah konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan diagram pohon masalah (Gambar 13) dapat diketahui bahwa akar permasalahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut tersebut adalah 1) perebutan daerah penangkapan ikan, 2) koordinasi antar kelembagaan belum optimal, dan 3) kinerja kelembagaan yang ada belum optimal.

4.1.3 Identifikasi sistem

Hasil identifikasi sistem berupa gambaran terhadap sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu dalam bentuk diagram yaitu diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) dan diagram input-output. Pada diagram causal loop (Gambar 14) terlihat keterkaitan dalam sistem minapolitan, yaitu kelembagaan dan kebijakan pemerintah memberi kontribusi positif terhadap regulasi pengelolaan SDI. Regulasi pengelolaan SDI tersebut seharusnya dapat melindungi kelestarian sumberdaya ikan, khususnya komoditas unggulan minapolitan (tuna dan layur). Namun regulasi berdampak negatif terhadap teknologi penangkapan ikan maupun unit penangkapan. Dengan regulasi, penggunaan jenis teknologi penangkapan dan jumlah total penangkapan dapat dibatasi agar tidak mengancam ketersediaan SDI (over fishing dan over capacity). Teknologi penangkapan ikan yang tidak terkontrol dan tidak ramah lingkungan juga akan memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan.

Kelembagaan dan kebijakan pemerintah daerah maupun pusat juga berdampak positif terhadap industrialisasi perikanan yang menjadi kegiatan inti dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Dengan terciptanya industrialisasi perikanan di kawasan PPN Palabuhanratu ini berdampak positif terhadap hasil tangkapan nelayan. Akan tetapi, secara tidak langsung industrialisasi perikanan dapat berdampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan jika tidak diimbangi dengan regulasi pengelolaan perikanan yang tepat. Idealnya, regulasi tersebut tidak semata-mata untuk meningkatkan daya saing industri yang berbasis pada komoditas unggulan tetapi juga untuk menjaga kelestarian SDI.

(7)

Pelayanan pelabuhan perikanan yang baik akan berpengaruh positif terhadap pengembangan industrialisasi perikanan. Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat melalui kebijakan dan perangkat kelembagaannya berperan menyediakan saran dan prasarana pelabuhan perikanan. Sarana dan prasarana tersebut diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada armada penangkapan ikan dan industri pengolahan ikan secara optimal. Fasilitas sarana aksesibilitas (transportasi dan telekomunikasi) yang disediakan pemerintah juga akan menjadi daya tarik investor untuk berpartisipasi dalam pengembangan industrialisasi perikanan di kawasan PPN Palabuhanratu. Sarana transportasi dan telekomunikasi (teknologi informasi) yang baik akan berdampak pada efisiensi biaya transaksi yang dikeluarkan oleh setiap anggota rantai pasok. Selain itu, proses integrasi antar wilayah maupun integrasi antar pelaku dalam rantai pasok juga lebih optimal.

Gambar 14 Diagram sebab akibat (causal loop) sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Kelembagaan dan kebijakan Pemerintah Teknologi Penangkapan Ikan Juragan Sistem bagi hasil usaha

Pendapatan & Kesejahteraan Nelayan Stabilitas Harga Ikan Industri Pengolahan Ikan Hasil Tangkapan Perluasan Kredit Penyerapan Tenaga Kerja Mutu Kredit Bank Regulasi Pengelolaan SDI Jumlah Unit Penangkapan Ikan Ketersediaan SDI + + + + + + + + + + + + + + + + + - + - Industrialisasi Perikanan + + - - + + Infrastuktur transportasi dan telekomunikasi /TPI PAD + +

+ Pelayanan pelabuhan perikanan

+ Kualitas SDM + + + + + + + + + + + +

(8)

Interaksi antara unit penangkapan dengan sumberdaya ikan diperoleh hasil tangkapan. Hasil tangkapan ini akan dijual melalui mekanisme pasar yang idealnya dikelola oleh TPI dengan sistem pelelangan. Namun pemerintah setempat menerapkan kebijakan khusus terhadap komoditas ikan ekspor (tuna dan layur), yaitu proses penjualan komoditas ikan ekspor tidak dilakukan melalui mekanisme pelelangan. Mekanisme pasar pada komoditas ikan ekspor ditentukan oleh interaksi (pola kerja sama kemitraan) antara perusahaan eksportir, pemilik kapal (pedagang pengumpul) dan nelayan. Pola kerjasama antara nelayan ABK dan pemilik kapal (juragan) dilakukan dengan sistem bagi hasil usaha. Sistem bagi usaha yang adil akan berdampak positif pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Selain itu, hasil tangkapan dipengaruhi oleh kualitas SDM nelayan. Jika kualitas SDM nelayan dalam kondisi optimal akan berdampak posisif terhadap hasil tangkapan dan mutu yang dihasilkan. Produktivitas dan mutu hasil tangkapan tersebut akan berdampak positif terhadap stabilitas harga ikan. Resultan dari stabilitas harga ikan, produktivitas hasil tangkapan dan sistem bagi hasil usaha berdampak positif terhadap pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Jika pendapatan dan kesejahteraan nelayan terpenuhi akan berdampak positif terhadap penyerapan kredit perbankan bahkan sangat mungkin terjadinya perluasan kredit. Peluang perluasan kredit tersebut berdampak positif terhadap perluasan skala usaha penangkapan ikan maupun usaha sampingan lainnya dalam bentuk pengembangan usaha alternatif. Selain itu, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan juga dapat menjadi salah satu daya dorong untuk meningkatkan kualitas SDM nelayan.

Retribusi yang dihasilkan dari pajak menjualan produk dari industri pengolahan ikan (eksportir) akan berdampak positif terhadap PAD. Pada dasarnya PAD ini akan digunakan sebagai dana pembangunan di bidang perikanan khususnya untuk pengembangan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi serta fasilitas pelabuhan perikanan. Keberadaan industri pengolahan ikan dan jumlah unit penangkapan ikan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di kawasan minapolitan. Ketika terjadi penyerapan tenaga kerja yang signifikan, maka diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dan pembangunan kawasan minapolitan di Palabuhanratu.

(9)

Gambar 15 Diagram input-output sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu.

Berdasarkan diagram lingkar sebab akibat kemudian direpresentasikan dalam bentuk diagram input output sebagaimana Gambar 15. Diagram input

output (Gambar 15) menggambarkan hubungan antara input, proses dan output.

Masukan (input) meliputi input terkendali, input tak terkendali, input lingkungan dan beberapa keluaran (output) meliputi output yang dikehendaki dan tak dikehendaki. Output yang tidak dikehendaki dapat diatasi dengan mekanisme

SISTEM MINAPOLITAN PERIKANAN TANGKAP DI PALABUHANRATU INPUT TIDAK TERKENDALI

- Stok sumberdaya ikan (kg) - Musim penangkapan (bulan) - Fluktuasi harga ikan (Rp/kg) - Kondisi perairan

- Daerah penangkapan ikan - Nelayan dari daerah lain - Banyaknya supply ikan dari

daerah lain melalui transportasi darat ke PPN Palabuhanratu

INPUT TERKENDALI

- Teknologi penangkapan ikan (ukuran kapal dan alat tangkap) - Jumlah kapal (unit)

- Investasi (Rp)

- Teknologi penanganan hasil tangkapan

- Sumberdaya manusia (keahlian, ketrampilan, dan kinerja) - Sarana, prasarana dan

infrastruktur

- Kebijakan dan kelembagaan

OUTPUT DIKEHENDAKI

- Peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk kelautan dan perikanan

- Peningkatan pendapatan nelayan - Integrasi pasar, rantai pasok dan

kelembagaan minapolitan - Pengembangan kawasan

minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah kawasan Minapolitan

OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI

- Kemiskinan nelayan - Kelangkaan sumberdaya ikan - Konflik pemanfaatan ruang wilayah

pesisir dan laut

- Praktek monopoli dan bisnis tidak sehat di kawasan minapolitan - Tumpang tindih kewenangan dalam

pengembangan minapolitan - Nelayan kecil semakin terpinggirkan - Pola kerja sama kemitraan yang

kurang adil

Lingkungan

- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/2009 - Keputusan Menteri Kelautan No.32/2010

- Keputusan Bupati Sukabumi No.523/Kep.565-Dislutkan/2010 - Keputusan Bupati Sukabumi No.523.05/Kep.565-Dislutkan/2010

(10)

kontrol yang dibutuhkan dalam sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu.

Input terkendali memiliki peranan sangat penting dalam sistem minapolitan

perikanan tangkap terutama kegiatan operasi penangkapan ikan tuna maupun layur yang menjadi komoditas unggulan daerah. Input terkendali meliputi teknologi penangkapan ikan, jumlah kapal, investasi, teknologi penanganan hasil tangkapan, sumberdaya manusia (ketrampilan, keahlian dan kinerja), sarana, prasarana dan infrastruktur serta kebijakan dan kelembagaan. Semua input (masukan) dalam sistem ditujukan untuk membangun sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu yang diharapkan dapat menghasilkan output yang dikehendaki yaitu 1) peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk kelautan dan perikanan, 2) peningkatan pendapatan nelayan, 3) integrasi pasar, rantai pasok dan kelembagaan minapolitan, 4) pengembangan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil ini (output yang dikehendaki) dapat dicapai dengan memanipulasi input terkendali, tak terkendali, dan input lingkungan.

Input tak terkendali meliputi stok sumberdaya ikan, musim penangkapan,

daerah penangkapan ikan, fluktuasi harga ikan, kondisi perairan, nelayan dari daerah lain dan banyaknya pengiriman ikan dari daerah lain melalui jalur transportasi darat ke PPN Palabuhanratu. Sistem minapolitan perikanan tangkap tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol input ini, tetapi input ini diperlukan agar sistem dapat berfungsi.

Input lingkungan yang mempengaruhi sistem adalah beberapa regulasi yang

terdapat dalam sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Mengacu pada Masterplan Kawasan Penunjang Minapolitan Palabuhanratu (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi 2011c), regulasi yang menjadi dasar hukum dalam sistem minapolitan di Pababuhanratu sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

(11)

5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah

7) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

8) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

9) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah

11) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2008 tentang Penetapan Lokasi Pengembangan Kawasan Minapolitan

12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.31/MEN/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan Kota

13) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.18/MEN/2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan

14) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2011 tentang Penetapan Lokasi Minapolitan

15) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Propinsi Jawa Barat 2008-2013

16) Peraturan Daerah Kabupataen Sukabumi Nomor 13 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Sukabumi Tahun 2009 Nomor 13)

Selanjutnya Nasrudin (2010) menambahkan beberapa regulasi terkait lainnya, yaitu 1) Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 523/Kep.565-Dislutkan/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan Berbasis Perikanan Tangkap di Kabupaten Sukabumi, dan 2) Keputusan Bupati Sukabumi Nomor

(12)

523.05/kep566-Dislutkan/2010 tentang Tim Pengelola Pengembangan Minapolitan Berbasis Perikanan Tangkap di Kabupaten Sukabumi.

Output yang tak dikehendaki meliputi 1) kemiskinan nelayan, 2) penurunan

stok sumber daya ikan, 3) konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut, 4) praktek monopoli dan bisnis tidak sehat di kawasan minapolitan, 5) nelayan kecil semakin terpinggirkan, dan 6) pola kerja sama kemitraan yang kurang adil. Melalui sistem kontrol manajemen minapolitan, output yang tak dikehendaki akan dikontrol dan diharapkan dapat memberikan informasi penting dalam pengelolaan selanjutnya. Output ini dapat dikendalikan dengan berbagai cara seperti 1) pengaturan jumlah upaya penangkapan yang beroperasi, 2) pengaturan waktu dan daerah penangkapan ikan disesuaikan dengan musim penangkapan, 3) pengaturan alat tangkap, 4) pembinaan usaha nelayan (penangkapan dan pengolahan) untuk meningkatkan nilai tambah, 5) penanganan hasil tangkapan, 6) pola kerja sama kemitraan yang adil, 7) koordinasi dan konsolidasi lintas pelaku, serta 8) keberpihakan kebijakan anggaran yang berorientasi pada kepentingan masyarakat nelayan di kawasan minapolitan.

Gambar 16 Struktur sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu.

Kebijakan dan Kinerja Kelembagaan Minapolitan Sistem Minapolitan Perikanan

Tangkap

Purse Seine

Manajemen Manajemen

Manajemen

Integrasi pasar ikan antara zona inti dan zona penunjang

Keterkaitan antar wilayah dan antar komoditas

Integrasi kelembagaan kemitraan Daya saing industri terkait

dalam kondisi optimal

Ke bu tu ha n M en du ku ng Ke bu tu ha n M en du ku ng

- Peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk perikanan - Peningkatan pendapatan nelayan

- Integrasi pasar, rantai pasok dan kelembagaan minapolitan - Pengembangan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan

ekonomi daerah

Hasil yang diharapkan

Integrasi rantai pasok komoditas tuna dan layur pemanfaatan sumberdaya

ikan Ketersediaan

Komoditas Unggulan Kemitraan bisnis

minapolitan yang optimal

Industrialisasi Perikanan di kawasan zona inti

Mendukung Kebutuhan

(13)

Berdasarkan hasil identifikasi sistem sebagaimana telah dijelaskan pada Gambar 15, selanjutnya diformulasikan dalam bentuk struktur sistem minapolitan perikanan tangkap (Gambar 16). Gambar 16 menunjukkan bahwa sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu mencakup dua subsistem pokok, yaitu 1) industrialisasi perikanan di zona inti (PPN Palabuhanratu) dan 2) kebijakan dan kinerja kelembagaan minapolitan. Industrialisasi perikanan di PPN Palabuhanratu merupakan salah satu rencana aksi yang menjadi unggulan di kawasan minapolitan. Program tersebut seharusnya menjadi langkah awal dalam menumbuhkembangkan klaster industri perikanan tangkap di kawasan zona inti. Klaster industri perikanan tersebut akan berkembang dengan baik ketika terjadi integrasi rantai pasok (supply chain) dari komoditas ikan yang menjadi unggulan di kawasan minapolitan. Oleh karena itu, manajemen rantai pasok (tuna dan layur) merupakan kebutuhan mendasar dalam subsistem industrialisasi perikanan. Manajemen rantai pasok yang optimal dapat menjadi daya dorong bagi peningkatan daya saing industri terkait.

Subsistem kebijakan dan kelembagaan minapolitan juga menjadi elemen kunci dalam sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Dalam rangka menciptakan kebijakan dan kinerja kelembagaan minapolitan yang optimal membutuhkan integrasi kelembagaan minapolitan yang merupakan elemen kunci efektifnya sistem minapolitan tersebut. Kelembagaan minapolitan harus mampu menciptakan struktur kelembagaan dengan peran dan fungsi yang jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan di antara kelembagaan yang ada. Koordinasi yang baik di antara kelembagaan yang berperan dalam sistem minapolitan merupakan kunci sukses terbentuknya integrasi kelembagaan kemitraan minapolitan. Selanjutnya diharapkan dapat terbentuk kemitraan bisnis minapolitan yang optimal dan berkelanjutan. Kebijakan dan kinerja kelembagaan minapolitan juga diharapkan dapat mendukung terjadinya proses integrasi pasar yang dapat mencerminkan adanya keterkaitan antar wilayah dan antar komoditas antara zona inti (PPN Palabuhanratu) dan zona pendukung (daerah sekitarnya).

Integrasi pasar dalam kondisi optimal ketika kebijakan pemerintah berorientasi pada optimalisasi dan peningkatan intrastruktur transportasi, fasilitas pelabuhan perikanan, sistem informasi harga dan pasar yang transparan. Integrasi

(14)

antara zona inti dan zona pendukung tersebut akan memperkuat terbentuknya industrialisasi perikanan di zona inti yang merupakan pusat pertumbuhan ekomomi bagi daerah-daerah sekitarnya. Subsistem industrialisasi perikanan dan subsistem kebijakan dan kelembagaan yang berjalan dengan baik tercermin oleh adanya kemitraan bisnis minapolitan yang optimal, keterkaitan antar wilayah dan komiditas, serta daya saing industri terkait dalam kondisi optimal. Resultan dari kedua subsistem tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan tercapainya tujuan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu seperti 1) peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk perikanan, 2) peningkatan pendapatan nelayan, 3) integrasi pasar, rantai pasok dan kelembagaan minapolitan, dan 4) pengembangan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah.

4.2 Analisis Model Integrasi Pasar, Rantai Pasok dan Kelembagaan

Mengacu pada struktur sistem minapolitan perikanan tangkap sebagaimana Gambar 16, analisis model integrasi dalam pengembangan minapolitan dibatasi pada 3 aspek yaitu 1) model integrasi pasar ikan komoditas unggulan, 2) model integrasi supply chain komoditas unggulan, dan 3) model integrasi kelembagaan minapolitan.

4.2.1 Analisis model integrasi pasar ikan tuna dan layur

Data time series yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar tuna adalah harga ikan tuna yang dicatat di PPN Palabuhanratu dan harga ikan tuna yang dicatat di Tokyo Central Wholesale Market (TCWM). Data time series yang diolah untuk menganalisis integrasi pasar layur adalah harga ikan layur dicatat di PPN Palabuhanratu, CFR Cina, dan 5 PPI/TPI lain di kawasan Teluk Palabuhanratu (Cibangban, Cisolok, Ciwaru, Minajaya, dan Ujung Genteng). Perbedaan harga ikan di pasar acuan (PPN Palabuhanratu, TCWM dan CFR Cina) menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya integrasi pasar selain adanya fasilitas sarana dan prasarana pasar, serta jaringan transportasi dan komunikasi yang baik.

(15)

1. Fluktuasi harga ikan tuna dan layur

Gambar 17 menunjukkan bahwa harga bigeye tuna segar di Tokyo Central

Wholesale Market sangat berfluktuatif. Dalam 4 tahun terakhir, harga bigeye tuna

segar per bulan pada tahun 2011 relatif lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya dan pada tahun 2010 harganya relatif paling rendah. Fluktuasi harga

bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu juga relatif stabil pada 3 tahun terakhir.

Kondisi berbeda terjadi pada tahun 2008, dimana harga bigeye tuna segar relatif rendah pada bulan Januari sampai April (harga sekitar Rp 10 ribu/kg). Kemudian menjelang akhir tahun, harga bigeye tuna segar meningkat hingga mencapai sekitar Rp 24 ribu/kg. Peningkatan harga bigeye tuna segar terjadi pada tahun 2009-2011, dimana harga rata-rata per tahun secara berturut-turut mencapai Rp 24 ribu/kg, Rp 27 ribu/kg dan Rp 28 ribu/kg. Fenomena rendahnya harga bigeye tuna segar pada bulan Januari-April 2008 jika dikaitkan dengan harga rata-rata bigeye

tuna segar 3 tahun sebelumnya ternyata relatif sama. Kisaran harga rata-rata bigeye tuna segar mulai tahun 2005 hingga 2007 secara berturut-turut adalah Rp 8

ribu/kg, Rp 10 ribu/kg, dan Rp 10 ribu/kg. Artinya, pada akhir tahun 2008 merupakan titik balik kenaikan harga bigeye tuna segar hingga mencapai dua kali lipat dari harga tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan harga yang sangat signifikan ini merupakan salah satu indikator mulai berkembangnya usaha perikanan tuna di Palabuhanratu baik yang terkait dengan usaha penangkapan maupun pengolahan (pengepakan hasil tangkapan tuna).

Tabel 4 Jumlah alat tangkap pancing tonda dan longline yang beroperasi di PPN Pabuhanratu tahun 2005-2011

(16)

Sumber: diolah dari National Marine Fisheries Service ( 2011) dan PPN Palabuhanratu (2011)

Gambar 17 Fluktuasi harga bigeye tuna (fresh) per bulan di Tokyo Center

Wholesale Market dan PPN Palabuhanratu pada tahun 2008-2011.

Indikasi berkembangnya perikanan tuna di Palabuhanratu dapat dilihat dari indikator jumlah alat tangkap yang beroperasi di PPN Palabuhanratu. Produksi tuna di Palabuhanratu didominasi oleh jenis alat tangkap pancing tonda dan

longline. Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah pancing tonda yang beroperasi

di PPN Palabuhanratu tahun 2005-2008 jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pancing tonda pada periode tahun 2009-2011. Jumlah alat tangkap

longline yang beroperasi pada tahun 2007-2008 relatif sedikit jika dibandingkan

dengan jumlah alat tangkap longline pada periode tahun 2009-2011. Mulai berkembangnya perikanan tuna di Palabuhanratu, kemungkinan besar merupakan dampak dari pembangunan PPN Palabuhanratu tahap II yang telah dilakukan pada tahun 2002-2005. Dalam Buku Profil Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (Lamatta 2011) dijelaskan bahwa pembangunan pelabuhan perikanan tangkap tahap kedua diprioritaskan untuk menunjang aktivitas kapal berukuran 30-150 GT. Artinya, kapal-kapal longline ukuran 30-150 GT dapat

5,000 15,000 25,000 35,000 45,000 55,000 65,000 75,000 85,000 95,000 105,000 115,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan H a rg a r a ta -r a ta b ig ey e tu n a (R p /k g ) PPNP 2008 PPNP 2009 PPNP 2010 PPNP 2011 TCWM 2008 TCWM 2009 TCWM 2010 TCWM 2011

(17)

mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu setelah tahun 2005. Dampak lainnya adalah mulai berkembangnya usaha penanganan hasil tangkapan tuna yang dilakukan oleh beberapa perusahaan (agen tuna). Agen tuna ini berfungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan produk tuna dari PPN Palabuhanratu ke perusahaan tuna di Jakarta melalui jalur transportasi darat.

Sumber: diolah dari Infofish Trade News dan Statistis PPN Palabuhanratu

Gambar 18 Fluktuasi harga ikan layur di pasar CFR Cina dan PPN Palabuhanratu tahun 2010-2011.

Gambar 18 juga menunjukkan adanya fluktuasi harga ikan di CFR Cina yang sangat tajam. Puncak harga tertinggi selama 2 tahun terakhir terjadi pada bulan Agustus-September dan bulan April. Pada bulan September 2011 harga ikan layur di CFR mencapai 5,41 US$/kg atau sekitar Rp 49.186,00 (asumsi 1 US$ = Rp 9.100,00). Harga terendah terjadi sekitar bulan Juni-Juli dan Oktober. Harga ikan layur bulanan di CFR Cina selama tahun 2011 lebih tinggi jika dibandingkan harga ikan layur tahun 2010 pada bulan yang sama. Kondisi ini mengindikasikan

5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 50,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan H a rg a i k a n l a y u r (R p /K g ) CFR Cina 2011 PPN Palabuhanratu 2010 PPN Palabuhanratu 2011 CFR Cina 2010

(18)

bahwa permintaan pasar layur di CFR Cina semakin meningkat dan menjadi salah satu pasar acuan bagi eksportir layur selain Korea dan Jepang.

Gambar 18 juga menunjukkan kondisi pasar ikan layur di PPN Palabuhanratu dimana harga layur dalam 1 tahun terakhir cenderung konstan pada bulan Januari sampai bulan Juli. Harga layur di PPN Palabuhanratu tahun 2011 relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga tahun 2010. Harga rata-rata ikan layur pada bulan Oktober 2011 terjadi penurunan yang sangat tajam dan selisih harganya mencapai sekitar Rp 5.000,00/kg. Penurunan harga rata-rata layur tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor kualitas mutu ikan layur dari unit penangkapan payang dimana harganya hanya mencapai sekitar Rp 8.000,00/kg. Fakta ini menunjukkan bahwa mutu ikan layur untuk komoditas ekspor dipengaruhi oleh unit penangkapan yang digunakan nelayan (cara ikan tertangkap) disamping penanganan hasil tangkapan. Berdasarkan penggunaan alat tangkapnya, mutu ikan layur terbaik dihasilkan dari unit penangkapan pancing ulur. Rendahnya harga/mutu ikan layur dari unit penangkapan payang kemungkinan besar akibat banyaknya layur dalam kondisi pecah perut. Pada kondisi ikan layur pecah perut, harga di tingkat eksportir di PPN Palabuhanratu turun mencapai sekitar 50% dari harga normal. Oleh karena itu, pihak pengumpul (tawe) merespon kondisi tersebut dengan melakukan penawaran harga ikan layur dari nelayan payang sangat rendah. Namun jika dilihat dari harga layur di CFR Cina pada bulan Oktober juga menurun tajam, maka kemungkinan besar pihak eksportir layur di Palabuhanratu merespon penurunan harga layur di CFR Cina dengan menurunkan harga beli layur dari tawe. Sebagai konsekunsinya, pihak tawe juga menurunkan harga layur di tingkat nelayan (harga yang dicatat di PPN Palabuhanratu adalah harga layur di tingkat nelayan).

Gambar 19 menunjukkan bahwa pada tahun 2011, harga layur di Kawasan Teluk Palabuhanratu tertinggi terjadi di PPN Palabuhanratu dengan rata-rata harga selama 1 tahun sekitar Rp 17.000,00/kg dan terendah terjadi di TPI Ujung Genteng yaitu sekitar Rp 6.000,00/kg. Harga rata-rata layur di 4 TPI/PPI lainnya di Kawasan Teluk Palabuhanratu berada di kisaran Rp 8.000,00/kg sampai Rp 11.000,00/kg. Harga di TPI Ciwaru berfluktuasi pada bulan Januari sampai Juni dan bulan selanjutnya relatif konstan. Secara keseluruhan harga di masing-masing

(19)

TPI di Kawasan Teluk Palabuhanratu dapat dikatakan cenderung konstan. Kondisi ini terjadi karena harga yang dicatat di masing-masing TPI (termasuk di PPN Palabuhanratu) adalah harga ikan layur di tingkat nelayan (sistem transaksi nelayan dengan pengumpul/pemilik kapal). Berdasarkan hasil wawancara, kenaikan harga di tingkat nelayan terjadi ketika harga di tingkat eksportir naik tajam atau terjadi kesepakatan kenaikan harga antar tawe di suatu lokasi.

Gambar 19 Fluktuasi harga ikan layur di kawasan minapolitan perikanan tangkap Palabuhanratu tahun 2011.

Seluruh ikan layur berkualitas ekspor dibeli oleh pengumpul lokal (tawe) kemudian dijual kembali ke perusahaan eksportir yang berdomisili di PPN Palabuhanratu. Ikan layur yang tidak termasuk kualitas ekspor dibeli pedagang kecil untuk konsumsi pasar lokal. Atas dasar alasan jarak tempuh masing-masing lokasi TPI/PPI ke lokasi perusahaan eksportir, para tawe membeli layur di masing-masing lokasi berbeda-beda. Selisih harga layur di PPN Palabuhanratu dengan TPI/PPI lainnya dimanfaatkan oleh tawe untuk biaya penanganan hasil tangkapan, biaya transportasi dan keuntungan usaha. Informasi harga beli layur

4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000 15000 16000 17000 18000 19000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan H a rg a i k a n l a y u r (R p /K g )

PPN Palabuhanratu TPI Ciwaru TPI Cisolok

(20)

dari pihak perusahaan eksportir umumnya dikuasai oleh para tawe dan informasi tersebut tidak diteruskan ke nelayan. Sistem kontrak informal atau bagi hasil usaha yang diterapkan pemilik kapal (sekaligus sebagai pembeli) juga membuat nelayan tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dalam penentuan harga layur. Pemilik kapal (tawe) memiliki posisi tawar yang sangat dominan dalam penentuan harga dan di setiap TPI harga layur ditetapkan berdasarkan kesepakatan informal para tawe setempat.

2. Model integrasi pasar ikan tuna dan layur

Model integrasi pasar ikan tuna dan layur yang merupakan model regresi linier berganda telah memenuhi kaidah-kaidah persyaratan uji analisis seperti uji normalitas, multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas (Lampiran 2-8). Tabel 5 menunjukkan hasil formulasi dan validasi model integrasi pasar bigeye tuna segar dan layur pada berbagai jenis pasar. Hasil validasi model menunjukkan bahwa model integrasi pasar layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina tidak signifikan (Fhitung < Ftabel), sama halnya dengan model integrasi pasar layur antara

TPI Ciwaru dan PPN Palabuhanratu. Artinya, model integrasi pasar pada daerah-daerah tersebut tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor harga tetapi lebih dominan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak masuk dalam model seperti aturan main di antara anggota rantai pasok, musim, kebijakan pemerintah, infrastruktur pasar dan kondisi pasar global. Ketujuh model yang dihasilkan adalah:

1) Model integrasi pasar bigeye tuna segar antara PPN Palabuhanratu dan TCWM dengan rumus sebagai berikut:

Pit = 4248,679 + 0,891(Pit-1) - 2,955(Pjt - Pjt-1) - 1,333(Pjt-1)

2) Model integrasi pasar ikan layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina dengan rumus sebagai berikut:

Pit = 9913,106 + 0,347(Pit-1) + 433,665(Pjt - Pjt-1) + 277,993(Pjt-1)

3) Model integrasi pasar layur antara TPI Ciwaru dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut:

(21)

4) Model integrasi pasar ikan layur antara TPI Cibangban dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut:

Pit = 6299,502+ 0,769 (Pit-1) - 0,025 (Pjt-Pjt-1) - 0,249 (Pjt-1)

5) Model integrasi pasar layur antara TPI Cisolok dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut:

Pit = 2029,607 + 0,000(Pit-1) + 0,496(Pjt-Pjt-1) - 0,456(Pjt-1)

6) Model integrasi pasar layur antara TPI Minajaya dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut:

Pit = 3091,992 + 0,000(Pit-1) + 0,003(Pjt-Pjt-1) + 0,396(Pjt-1)

7) Model integrasi pasar layur antara TPI Ujung Genteng dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut:

Pit = 6145,577 + 1,014 (Pit-1) + 0,0392 (Pjt-Pjt-1) + 0,356 (Pjt-1)

Berdasarkan model-model tersebut dapat diketahui integrasi pasar ikan dalam jangka pendek dengan melihat nilai koefisien variabel (Pjt-Pjt-1) atau nilai

b2. Integrasi pasar ikan jangka panjang dilihat dari nilai IMC. Tabel 5

menunjukkan bahwa pasar layur di TPI Ujung Genteng hanya terintegrasi dalam jangka pendek dengan PPN Palabuhanratu (nilai b2 = 0,392 mendekati 1 dan nilai

IMC = 2,848 >1). Pasar layur di TPI Ciwaru, Cibangban, Cisolok dan Minajaya terintegrasi dalan jangka panjang maupun jangka pendek dengan PPN Palabuhanratu, terlihat dari nilai IMC lebih kecil dari 1 dan nilai b2 mendekati 1.

Pasar yang terintegrasi dalam jangka panjang adalah 1) pasar bigeye tuna segar antara PPN Palabuhanratu dan TCWM, dan 2) pasar layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina.

Terjadinya proses integrasi jangka panjang antara pasar bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu dan TCWM akibat informasi harga ikan bigeye tuna segar di TCWM tertransmisikan dengan baik ke agen tuna di PPN Palabuhanratu. Selain itu, sarana transportasi dan komunikasi dari PPN Palabuhanratu ke Jakarta juga cukup baik sehingga memudahkan proses distribusi ikan ke negara tujuan yang dilakukan melalui Jakarta. Berdasarkan fakta di lapangan, harga bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu ditentukan oleh agen (pengumpul). Agen sangat

(22)

dimungkinkan melakukan aksi pengurangan harga beli bigeye tuna segar dari nelayan di Palabuhanratu guna mengambil keuntungan semaksimal mungkin pada saat harga di Tokyo naik. Informasi pasar ekspor tuna juga dikuasai penuh oleh pihak eksportir/agen sehingga pemilik kapal/nelayan tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pihak eksportir dalam hal penentuan harga. Selain itu, pihak agen di Palabuhanratu juga sering melakukan transaksi penjualan dengan nelayan di atas kapal melalui kapal carrier. Pihak agen Palabuhanratu umumnya melakukan sistem penjualan tuna dengan ”sistem titip” yaitu menjual ikan tuna dengan dengan harga yang berlaku di TCWM. Sitorus (2004) menjelaskan bahwa konsep perdagangan dengan ”sistem titip” ini dijalankan dengan menandatangani kesepakatan dimana pembeli diberikan kekuasaan oleh produsen (pemilik kapal) untuk menjualkan ikan tuna sesuai dengan harga tuna yang berlaku di TCWM. Harga yang diterima oleh produsen adalah harga jual di TCWM dikurangi dengan biaya pengiriman dan pajak pendapatan.

Terintegrasinya harga bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu dengan harga di TCWM mencerminkan bahwa pergerakan harga domestik sangat dipengaruhi oleh dinamika harga di pasar Tokyo. Kondisi ini dapat memberikan petunjuk bagi pihak-pihak terkait bahwa pengembangan komoditas ekspor tuna segar seharusnya mempertimbangkan efisiensi dan daya saing di pasar Tokyo pada khususnya maupun pasar dunia pada umumnya. Menurut Clenia (2009) daya saing produk perikanan Indonesia di pasar labil disebabkan oleh pasar yang tidak efisien. Pasar dikatakan efisien apabila kegiatan pemasaran memberikan suatu balas jasa yang seimbang kepada semua pihak yang terlibat yaitu produsen, pedagang perantara, dan pengecer serta mampu menyampaikan komoditi hasil ke konsumen dengan biaya rendah. Kurangnya informasi pasar merupakan salah satu hambatan dalam bidang pemasaran hasil perikanan. Agar pasar menjadi lebih efisien Laping (1997) menyarankan pihak pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur secara kontinyu dan mengembangkan sistem informasi pasar. Transportasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi integrasi pasar. Dengan demikian, strategi yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengembangkan sarana transportasi dan fasilitas pasar. Selain itu, pemerintah juga harus memiliki perhatian yang lebih terhadap pengembangan sistem

(23)

informasi harga dan transparansi pasar. Transparansi pasar tersebut dapat membantu pedagang untuk memiliki pengetahuan tentang kualitas, kuantitas dan informasi harga komoditas secara lengkap setiap saat.

Dalam jangka pendek, sistem pemasaran bigeye tuna segar dari PPN Palabuhanratu ke TCWM tidak terintegrasi. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sitorus (2004) yang menganalisis integrasi pasar tuna segar antara Benoa dan TCWM. Dijelaskan pula bahwa integrasi pasar jangka pendek disebabkan oleh adanya perubahan margin di TCWM dan informasi perubahan margin yang ada disalurkan dengan baik ke Benoa oleh perwakilan pembeli yang memasarkan ikan tuna segar ke Tokyo. Jika fluktuasi marginnya kecil sedangkan biaya transaksi tetap, maka pedagang tidak tertarik untuk mengadakan transaksi yang lebih besar antara pasar lokal dengan pasar Tokyo. Kondisi ini menyebabkan harga di pasar lokal cenderung konstan dan harga di pasar Tokyo cenderung turun. Laping (1997) menyatakan bahwa respon harga dengan segera (integrasi jangka pendek derajat tinggi) hanya dapat terjadi jika infrastruktur trasportasi, fasilitas pasar desa yang paling mendasar, sistem informasi harga dan pasar yang transparan sudah terbangun dengan baik. Selama faktor-faktor ini belum terbangun dan tersedia maka respon harga dengan segera tersebut sukar untuk dapat terwujud. Berdasarkan pendapat Laping (1997) dan fakta di lapangan, tidak terintegrasinya pasar bigeye tuna antara PPN Palabuhanratu dan TCWM disebabkan oleh sistem informasi harga dan pasar bigeye yang tertutup serta penentuan harga cenderung bersifat monopoli. Praktek bisnis monopoli tersebut ada kemungkinan akibat mekanisme pasar tuna (komoditas ekspor) di PPN Palabuhanratu tidak dilakukan melalui proses pelelangan sehingga harga tuna yang diterima oleh nelayan di PPN Palabuhanratu tidak dalam kondisi optimal.

Secara teoritis, harga sangat dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan penawaran atas produk yang diperdagangkan. Kondisi permintaan tuna Indonesia di Jepang dapat mengacu pada penelitian Suharno dan Santoso (2008) yang mengkaji model permintaan yellowfin segar Indonesia di pasar Jepang. Pada penelitian tersebut diperoleh nilai elastisitas permintaan yellowfin segar terhadap harga adalah negatif sebesar 1,283 dan bersifat elastis. Artinya, peningkatan harga

(24)

Indonesia oleh Jepang menurun sebesar 1,283 persen, begitu juga sebaliknya. Dengan kondisi seperti ini, maka yellowfin segar Indonesia merupakan produk normal yang sensitif terhadap harga. Namun demikian nilai elastisitas yang lebih besar dari 1 ini dapat menguntungkan Indonesia. Jika Indonesia menurunkan harga sebesar 1 persen, maka permintaan yellowfin segar Indonesia akan meningkat sebesar 1,283 persen. Solusinya adalah Indonesia harus mampu berproduksi yellowin yang bermutu tinggi dengan biaya minimum sehingga harga

yellowin segar Indonesia dapat kompetitif dengan harga yellowfin dari

negara-negara pesaing. Namun solusi tersebut bukan berarti bahwa seluruh pengusaha tuna Indonesia berlomba-lomba meningkatkan upaya penangkapan tuna tanpa memperhatikan aspek kelestarian sumber daya tuna di masa mendatang. Harga tuna Indonesia yang kompetitif dan menguntungkan secara bisnis di pasar Jepang dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya proses integrasi pasar antara pasar tuna di Indonesia dan pasar tuna di Jepang.

Tabel 5 Hasil analisis integrasi pasar bigeye tuna segar dan layur

Integrasi pasar Jenis ikan Parameter model

Konstanta b1 b2 b3

PPN Palabuhanratu vs TCWM Bigeye segar 4248,679tn 0,891* -2,955tn -1,333tn

PPN Palabuhanratu vs CFR Cina Layur 9913,106* 0,347tn 433,665tn 277,993tn

TPI Ciwaru vs PPN Palabuhanratu Layur 7872,287tn 0,003tn 0,070tn 0,147tn

TPI Cibangban vs PPN Palabuhanratu Layur 6299,502* 0,769* -0,025tn -0,249tn

TPI Cisolok vs PPN Palabuhanratu Layur 2029,607* 0,000 0,496* -0,456*

TPI Minajaya vs PPN Palabuhanratu Layur 3091,992* 0,000 0,003tn 0,396*

TPI Ujung Genteng vs PPN Palabuhanratu Layur 6145,577* 1,014* -0,392* -0,356*

Integrasi pasar Jenis ikan Validasi model IMC

R2 F nilai Klasifikasi

PPN Palabuhanratu vs TCWM Bigeye segar 0,857 85,564* 0,668 terintegrasi

PPN Palabuhanratu vs CFR Cina Layur 0,256 2,175tn 0,001 terintegrasi

TPI Ciwaru vs PPN Palabuhanratu Layur 0,017 0,039tn 0,021 terintegrasi

TPI Cibangban vs PPN Palabuhanratu Layur 0,863 14,645* 0,249 terintegrasi

TPI Cisolok vs PPN Palabuhanratu Layur 0,998 2190,200* 0,000 terintegrasi

TPI Minajaya vs PPN Palabuhanratu Layur 0,999 1800,985* 0,000 terintegrasi

TPI Ujung Genteng vs PPN Palabuhanratu Layur 0,999 2838,671* 2,848 tidak terintegrasi

Keterangan : * menunjukkan signifikan pada = 5%, tn menunjukkan tidak signifikan

Tabel 5 menunjukkan bahwa antara harga layur di di PPN Palabuhanratu dan harga layur di CFR Cina terjadi intergasi pasar dalam jangka panjang (nilai IMC= 0,0012 < 1) dan tidak terjadi integrasi pasar jangka pendek (nilai b2 jauh

(25)

mendekati 0 dan nilai b3 jauh lebih besar dari 1. Rendahnya nilai b1 tersebut

menunjukkan bahwa harga layur di PPN Palabuhanratu pada waktu sekarang memiliki kecenderungan tidak dipengaruhi harga layur pada waktu sebelumnya. Dengan kata lain, harga layur di PPN Palabuhanratu pada waktu sekarang cenderung lebih dipengaruhi oleh lag harga layur di CFR Cina. Fenomena nilai IMC mendekati nol (Clenia 2009; Musmedi 2011; Anjardiani et al. 2011) mengindikasikan bahwa kedua pasar secara relatif lebih terintegrasi dalam jangka panjang. Berdasarkan tingkat integrasinya, jika nilai IMC mendekati nol maka kedua pasar memiliki tingkat integrasi pasar lebih tinggi (Mohamed dan Arsyad 1996; Oladapo dan Momoh 2007). Zain (2007) menyebutnya dengan istilah tingkat integrasi semakin tinggi dalam jangka panjang sedangkan Kalsum (2009) memberikan istilah pasar terintegrasi sempurna.

Pada pasar tingkat lokal, harga ikan layur di PPN Palabuhanratu sebagai pasar acuan bagi TPI-TPI yang ada disekitarnya. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar TPI-TPI di sekitarnya (kecuali TPI Ujung Genteng) terintegrasi dalam jangka panjang maupun jangka pendek dengan PPN Palabuhanratu. Pasar ikan layur di TPI Ujung Genteng hanya terintegrasi dalam jangka pendek dengan PPN Palabuhanratu. Fenomena ini diduga ada kaitannya dengan kesepakatan informal antar pedagang pengumpul di tiap-tiap TPI yaitu kenaikan harga layur di tingkat nelayan harus disepakati oleh pedagang pengumpul setempat. Selain itu, informasi harga jual pedagang pengumpul ke pihak perusahaan eksportir tidak secara transparan diinformasikan kepada nelayan. Meskipun lambat laun informasi harga beli perusahaan eksportir sampai kepada nelayan, namun adanya ikatan patront-clinet yang kuat antara nelayan dan pemilik kapal (pedagang pengumpul) menyebabkan nelayan hanya menerima harga yang telah ditetapkan oleh pedagang pengumpul. Jarak antara TPI Ujung Genteng dan PPN Palabuhanratu yang cukup jauh dan jalur transportasi darat kurang mendukung dijadikan faktor resiko bisnis bagi pedangang pengumpul sehingga ketika harga ikan di PPN Palabuhanratu naik tidak segera direspon pedagang pengumpul dengan menaikkan harga beli ikan layur dari nelayan.

Menurut Laping (1997) integrasi pasar jangka pendek menunjukkan bahwa perubahan harga di satu pasar di beberapa periode akan segera mempengaruhi

(26)

perubahan harga di pasar lain pada periode berikutnya. Kondisi ini juga mencerminkan kepekaan penyebaran harga produk antara pasar. Integrasi jangka pendek derajat tinggi hanya dapat terjadi jika infrastruktur transportasi, fasilitas pasar desa yang paling mendasar, sistem informasi harga dan pasar yang transparan sudah terbangun dengan baik. Kasimin (2009) menegaskan, selama faktor-faktor ini belum terbangun dan tersedia maka sulit mewujudkan perubahan harga di pasar acuan dapat segera direspon oleh pasar lokal.

Secara umum kondisi infrastruktur transportasi dari masing-masing TPI menuju PPN Palabuhanratu cukup baik meskipun belum dalam kondisi optimal. Kondisi infrastruktur transportasi tersebut masih dapat menjadi daya tarik bagi pedangan pengumpul (tawe) di daerah lain untuk menjual layur ke PPN Palabuhanratu. Faktor lain yang menjadi daya tarik adalah harga jual layur di PPN Palabuhanratu lebih tinggi dan masih menguntungkan secara bisnis. Lubis dan Sumiati (2011) menjelaskan bahwa banyaknya ikan yang masuk melalui jalur darat ke PPN Palabuhanratu terkait akses yang relatif mudah sehingga biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan ikan relatif kecil selain mutu ikan rata-rata masih segar karena waktu distribusinya relatif tidak terlalu lama. Selain intrastruktur transportasi, jaringan telekomunikasi di kawasan teluk Palabuhanratu juga cukup baik sehingga informasi harga layur dari para eksportir di PPN Palabuhanratu dapat diakses oleh para tawe.

Proses pelelangan ikan yang sebagian besar tidak berjalan di masing-masing TPI tidak menjadi fakor penting pembentukan harga layur karena adanya kebijakan khusus bahwa setiap ikan komoditas ekspor (tuna dan layur) tidak melalui proses lelang di TPI. Harga layur di setiap TPI ditentukan oleh kesepakatan antar tawe setempat, artinya sistem transaksi jual beli layur cenderung bersifat monopoli. Kecenderungan praktek monopoli pada perdagangan layur di Kawasan Teluk Palabuhanratu perlu diantisipasi oleh pemerintah setempat. Pada dasarnya, kondisi ini dapat diantisipasi ketika peran penting PPN Palabuhanratu dapat dijalankan secara optimal. Lamatta (2011) menjelaskan bahwa, dalam kaitannya dengan fungsi pelabuhan sebagai pusat pasar ikan (klaster perikanan) maka PPN Palabuhanratu harus mampu menyediakan TPI yang cukup luas dan lembaga keuangan sebagai penyedia uang

(27)

tunai dan transfer. Selain itu, dalam mempercepat transaksi pemasaran ikan, PPN Palabuhanratu seharusnya dapat menciptakan sistem pemasaran yang efektif. Lubis (2012) juga menjelaskan bahwa pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan, baik bagi nelayan maupun pedagang. Dengan demikian sistem pemasaran dari TPI ke konsumen harus diorganisir dengan baik dan teratur. Pelelangan ikan adalah kegiatan awal dari sistem pemasaran ikan di pelabuhan perikanan untuk mendapatkan harga yang layak, khususnya bagi nelayan.

Dalam kaitannya dengan integrasi pasar, peran dan fungsi pelabuhan merupakan faktor penting yang mempengaruhi derajat integrasi pasar layur di Kawasan Teluk Palabuhanratu. Selain itu, optimalisasi fungsi pelelangan ikan dapat menjadi salah satu solusi mengantisipasi praktek monopoli harga layur. Kebijakan proses transaksi ikan ekspor (tuna dan layur) tidak melalui proses pelelangan perlu dikaji ulang tingkat efektif dan efisiensinya. Apakah kebijakan tersebut benar-benar mendukung mekanisme pasar yang adil (fair trade) dan menguntungkan nelayan maupun pedagang. Ketika pilihan kebijakan tersebut tetap dipertahankan maka harus ada suatu mekanisme tertentu untuk mengevaluasi tingkat kelayakan harga layur di tingkat nelayan dan pedagang pengumpul. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, pemerintah dapat menentukan harga layur minimal di tingkat nelayan dan pedagang pengumpul yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.

Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat perbandingan tingkat integrasi pasar ikan pada berbagai pasar yang dikaji. Dalam jangka pendek, pasar ekspor bigeye tuna di TCWM lebih terintegrasi dibandingkan dengan pasar ekspor layur di CFR Cina. Mengacu pendapat Laping (1997), faktor penyebabnya adalah perbedaan sistem informasi harga dan transparansi pasar. Sistem informasi harga dan transparansi harga ikan layur di negara tujuan ekspor (Korea dan Cina) masih tertutup bagi kalangan publik. Akses informasi pasar layur di Cina dan Korea tidak tersedia di layanan internet. Infofish trade news adalah salah satu buletin yang menyediakan informasi harga ikan ekspor (termasuk layur) di berbagai negara. Buletin tersebut bisa diperoleh dengan biaya yang tinggi. Meskipun KKP telah menerbitkan buletin wartapasarikan dimana informasi harga pasar ekspor

(28)

bersumber dari Infofish Trade News tetapi harga ekspor layur tidak secara konsisten dicantumkan dalam setiap penerbitannya. Jika dilihat dari aspek SDM, pedagang layur tidak memahami teknologi informasi sehingga kalaupun tersedia akses sistem informasi pasar, mereka tidak bisa memanfaatkan informasi tersebut dengan baik. Harga jual layur dari pedagang pengumpul ke perusahaan eksportir cenderung bersifat monopoli seperti halnya terjadi pada harga jual layur dari nelayan ke pedangan pengumpul. Fakta ini sangat berbeda dengan pasar tuna di Jepang dimana informasi harga pasar relatif terbuka dan dapat diakses oleh publik. Tingkat monopoli harga dari perusahaan eksportir tuna tidak sekuat di perusahaan eksportir layur, terlihat adanya perusahaan/agen yang bersedia memberikan jasa ekspor kepada pemilik kapal tuna. Perusahaan tersebut bertindak sebagai mitra ekspor dimana seluruh pembiayaan ekspor tuna ditanggung pemilik kapal dan perusahaan menerima jasa dari hasil penjualan tuna di negara tujuan. Besaran jasa (fee) perusahaan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Dalam integrasi pasar jangka panjang, Tabel 5 menunjukkan bahwa pasar layur di TPI Minajaya dan TPI Cisolok secara relatif lebih terintegrasi dalam jangka panjang dengan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan TPI yang lain karena nilai IMC nol. Nilai IMC nol akibat dari nilai b1 pada kedua model tersebut

bernilai nol. Semakin tinggi derajat integrasi pasar menunjukkan bahwa kondisi di pasar acuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya harga di pasar lokal. Perubahan harga di pasar acuan ditransformasikan ke pasar lokal dan mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal tersebut. Integrasi pasar jangka panjang merefleksikan kondisi terintegrasinya suatu pasar dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga jika ada sedikit guncangan harga di pasar acuan akan segera berpengaruh terhadap kondisi harga di pasar lokal.

Pada kasus pasar layur di kawasan Teluk Palabuhanratu (tingkat pasar lokal), jarak yang relatif dekat dan kondisi jalan yang cukup baik antara PPN Palabuhanratu (pasar acuan) dan TPI-TPI lainnya mengakibatkan informasi pasar di PPN Palabuhanratu dapat langsung diakses oleh pembeli (tawe) yang berdomisili di masing-masing TPI. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Kasimin (2009) bahwa integrasi harga (pasar) yang relatif tinggi dapat terjadi karena sarana transportasi yang sudah baik di tingkat kabupaten dan provinsi, kemudahan dan

(29)

kelancaran komunikasi di antara mereka, dan akses yang lebih baik terhadap pasar alternatif sebagai pembanding harga.

Pasar yang efisien akan memiliki integrasi harga yang baik. Jaminan aliran informasi yang baik antar pasar yang terpisah akan memudahkan terjadinya integrasi antar pasar tersebut. Adanya integrasi pasar juga menunjukkan transmisi harga yang baik antara pelaku. Kondisi ini dapat terjadi karena kedekatan hubungan dan pola komunikasi yang baik antar pelaku. Komunikasi yang baik antar pelaku menunjukkan adanya kerja sama dan kepuasan di antara mereka dan sebaliknya (Oladapo dan Momoh 2007). Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa antara nelayan, pemilik kapal (pengumpul), dan eksportir di Palabuhanratu telah terjadi kerja sama yang cukup baik. Kerja sama antara nelayan dan pemilik kapal telah menjadi ikatan patront-client yang sudah mengakar di masyarakat, hal yang sama juga terjadi antara pemilik kapal dengan pihak eksportir. Hubungan dan komunikasi antara pemilik kapal dan eksportir telah diwujudkan dalam bentuk kemitraan seperti perjanjian pinjaman modal, mitra beli, dan mitra ekspor. Meskipun demikian, perlu dikaji tentang tingkat kepuasan antar pihak yang bermitra. Idealnya, kerja sama yang terbangun harus berdasarkan pada prinsip

win-win partnership. Artinya, tingkat kepuasan dirasakan mulai dari tingkat

nelayan, pedagang pengumpul (pemilik kapal) dan perusahaan eksportir.

Pada ikan komoditas ekspor, nilai IMC layur (0,001) lebih mendekati nilai nol dibanding nilai IMC bigeye tuna segar (0,668). Artinya, integrasi pasar layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina secara relatif lebih terintegrasi dalam jangka panjang jika dibandingkan dengan integrasi antara pasar bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu dan Tokyo Central Wholesale Market. Kondisi ini terjadi karena lag harga layur di CFR Cina sangat dominan mempengaruhi mempengaruhi pembentukan harga layur di PPN Palabuhanratu (koefisien b3 jauh

lebih tinggi dari b1). Oladapo dan Momoh (2007) menjelaskan bahwa tingginya

tingkat integrasi pasar sangat terkait dengan tingginya permintaan. Menurut Kasimin (2009) peningkatan integrasi harga dapat dilakukan melalui: 1) perbaikan sistem pembayaran yang lebih menyenangkan bagi kedua belah pihak, 2) transparansi pembentukan harga jual, 3) perbaikan manajemen pemasaran dan 4) perbaikan fungsi pasar. Jika dilihat dari aspek sistem pembayaran, sistem

(30)

pembayaran komoditas ekspor layur di PPN Palabuhanratu lebih menguntungkan pihak pedagang pengumpul jika dibandingkan dengan sistem pembayaran tuna. Proses transaksi pembayaran antara pemilik kapal tonda dan perusahaan eksportir di PPN Palabuhanratu membutuhkan waktu sekitar 3 hari setelah bongkar muat hasil tangkapan. Sebaliknya, proses transaksi pembayaran antara pemilik kapal layur dan perusahaan eksportir layur hanya membutuhkan waktu maksimal 1 hari (dibayar tunai setelah proses administrasi selesai). Namun pada model integrasi pasar layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina memiliki nilai koefisien determinan relatif kecil (0,256), artinya masih ada 74,6% faktor lain yang tidak masuk dalam model yang kemungkinan dapat mempengaruhi nilai IMC. Faktor variasi harga pada pasar ekspor layur bukan merupakan faktor utama yang membentuk proses integrasi pasar. Faktor di luar variasi harga di kedua pasar tersebut lebih dominan dalam proses pembentukan integrasi pasar seperti, musim, sistem transaksi, transparansi harga, efisiensi pasar dan manajemen pemasaran.

Faktor-faktor yang mempengarui pasar-pasar dapat terintegrasi atau tidak dijelaskan Anindita (2004) sebagai berikut:

1) infrastruktur pasar, meliputi: transportasi, komunikasi, kredit dan fasilitas penyimpanan yang ada di pasar;

2) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem pemasaran, misalnya pengetatan perdagangan, regulasi-regulasi kredit dan regulasi-regulasi transportasi;

3) ketidakseimbangan produksi antar daerah sehingga terdapat pasar surplus (hanya mengekspor ke pasar lain) dan pasar defisit (hanya mengimpor dari pasar lain);

4) supply shock seperti banjir, kekeringan, penyakit akan mempengaruhi kelangkaan produksi yang terlokalisasi sedangkan hal-hal tak terduga lain seperti aksi mogok akan mempersulit transfer komoditi.

Menurut Heytens (1986) diacu Adiyoga et al. (2006), keberadaan integrasi pasar merupakan salah satu indikator penting efisiensi sistem pemasaran. Pengukuran integrasi pasar dapat memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar yang dapat berguna untuk 1) memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, 2) memantau pergerakan harga, 3) melakukan peramalan harga dan 4)

(31)

memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran. Pentingnya analisis terhadap integrasi pasar juga dijelaskan Prayoga (2012) seperti 1) pengetahuan tentang integrasi pasar akan mempermudah pengawasan terhadap perubahan harga, 2) digunakan untuk memperbaiki rencana kebijakan pemerintah sehingga tidak ada duplikasi intervensi, 3) digunakan untuk memprediksi harga-harga di semua negara (tidak hanya pasar lokal tetapi juga pasar dunia) dan 4) digunakan sebagai dasar untuk merumuskan jenis infrastruktur pemasaran yang lebih relevan untuk pengembangan pasar ikan.

4.2.2 Analisis model integrasi supply chain tuna dan layur

Komoditas tuna dan layur merupakan komoditas unggulan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Tuna dan layur sebagai komoditas ekspor yang memiliki pangsa pasar yang sangat baik, tentunya harus didukung dengan daya saing yang baik pada penerapan manajemen rantai pasoknya. Kecenderungan aktivitas perdagangan yang kurang terpadu, kerja sama yang belum sinergis antar pelaku usaha di kawasan minapolitan dan rantai pasok yang tidak efisien merupakan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan minapolitan. Analisis model integrasi supply chain ini dibatasi hanya untuk mendeskripsikan struktur rantai pasok, sasaran rantai pasok, manajemen rantai pasok, sumberdaya rantai pasok dan proses bisnis rantai pasok.

1. Strukur rantai pasok

Struktur rantai pasok komoditas tuna dan layur di Palabuhanratu salah satunya dipengaruhi oleh faktor kualitas produk yang dihasilkan (diperdagangkan) oleh anggota rantai pasok. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah aturan main yang dibangun di antara berbagai pihak yang terlibat dalam sistem minapolitan maupun pihak yang terlibat dalam sistem rantai pasok komoditas tuna dan layur. 1) Struktur rantai pasok layur

Gambar 20 menunjukkan bahwa aliran komoditas layur di Palabuhanratu terbagi ke dalam dua submodel rantai pasok yaitu submodel rantai pasok layur untuk kebutuhan pasar lokal dan submodel rantai pasok layur untuk kebutuhan pasar luar negeri. Kedua submodel tersebut terjadi akibat perbedaan kualitas layur

(32)

yang dihasilkan nelayan. Anggota primer (pelaku utama) dalam rantai pasok layur adalah nelayan, pedagang pengumpul, dan perusahaan eksportir sedangkan anggota sekunder (penunjang operasional nelayan) adalah industri kapal, perbengkelan kapal, alat tangkap, BBM, pabrik es, penyedia umpan, dan toko perbekalan nelayan.

Gambar 20 Model rantai pasok layur di Palabuhanratu.

Gambar 21 Prosentase produksi layur per alat tangkap di PPN Palabuhanratu tahun 2011. 1.7% 7.1% 0.4% 90.8% Pancing Ulur Purse Seine Payang Bagan Nelayan Pancing Ulur Nelayan Bagan Pedagang Pengumpul Lokal Palabuhanratu Nelayan Payang Nelayan Gillnet

Pasar Lokal Perusahaan Ekspor Layur

Pasar Luar Negeri: Korea, Cina Konsumen Lokal Konsumen Lokal Pedagang Pengumpul Kabupaten Lain Keterangan:

(33)

Ikan layur di Palabuhanratu dihasilkan oleh nelayan pancing ulur, nelayan payang, nelayan purse seine dan nelayan bagan (Gambar 21). Nelayan pancing ulur merupakan produsen utama penghasil layur di Palabuhanratu, terlihat dari kapasitas produksi mencapai 90,8% dari total produksi layur di PPN Palabuhanratu pada tahun 2011. Sisanya dihasilkan oleh nelayan payang, bagan dan purse seine dengan prosentase produksi masing-masing sebesar 7,1%, 1,7% dan 0,4%. Berdasarkan jenis perahu yang digunakan, 99% produksi layur dari nelayan pancing ulur menggunakan jenis perahu motor tempel (outboard boat) dan 1% sisanya menggunakan kapal motor (inboard boat) 5-10 GT.

Secara kualitas, layur yang dihasilkan oleh nelayan pancing ulur memiliki kualitas layur terbaik. Seluruh hasil tangkapan nelayan pancing ulur relatif sesuai dengan standar kualitas ekspor, namun jika nelayan kurang memperhatikan penanganan hasil tangkapannya (komposisi es kurang sehingga suhu > 50C) akan menurunkan kualitas sekaligus harga jual di tingkat perusahaan. Harga di tingkat nelayan (harga beli pedagang pengumpul) tidak ditentukan oleh kualitas layur. Pedagang pengumpul yang sebagian besar sebagai pemilik kapal membeli seluruh hasil tangkapan dengan harga cenderung konstan dan ditentukan berdasarkan kesepakan informal pedagang setempat. Resiko dan keuntungan akibat perbedaan kualitas layur tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pedagang pengumpul. Kualitas layur yang tidak masuk katagori kualitas ekspor dipasarkan oleh pedagang pengumpul ke pasar lokal.

Produksi layur di PPN Palabuhanratu tidak hanya berasal dari nelayan setempat (berdasarkan kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu), tetapi juga dipasok melalui jalur darat seperti Ujung Genteng, Cisolok, Loji, Cidaun (Cianjur), Pamengpek (Garut), Binuangeun (Banten) dan Jakarta. Gambar 22 menunjukkan bahwa produksi layur di PPN Palabuhanratu pada tahun 2011 berasal dari nelayan Palabuhanratu (19%), Ujung Genteng (47%), Cidaun (11%), Cisolok (8%), Pamengpek (6%), Binuangeun (6%), Loji (2%) dan Jakarta (1%). Artinya, prosentase pasok layur terbesar ke PNN Palabuhanratu berasal dari pedagang dari Ujung Genteng dan pasokan terbesar dari kabupaten lain berasal dari Cianjur.

(34)

Gambar 22 Prosentase produksi layur yang masuk lewat darat ke PPN Palabuhanratu tahun 2011.

Perusahaan ekspor layur di PPN Palabuhanratu yang menerima pasokan layur dari pedagang pegumpul adalah 1) PT. Duta I, 2) PT. Duta II, 3) PT. Uri, 4) PT AGB Palabuharatu, 5) PT. Ratu Prima Bahari Nusantara, 6) CV. Bahari Express, 7) PT. Topmed, 8) PT. Jiko Gantung Power. Kapasitas yang diterima perusahaan tersebut bervariasi sekitar 600-800 ton/tahun. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi (2010), PT AGB Palabuhanratu merupakan perusahaan yang memiliki kapasitas daya tampung ikan tertinggi yaitu 800 ton/tahun dengan rata-rata ekspor layur mencapai 650 ton per tahun.

Proses distribusi layur dari pedagang pengumpul ke perusahaan menggunakan mobil bak terbuka dan ikan ditempatkan dalam cool box

(steroform). Pedagang pengumpul yang wilayah kerjanya di PPN Palabuhanratu,

umunnya pengangkutan cool box hanya menggunakan motor ketika jumlahnya sedikit. Perusahaan eksportir melakukan proses pembekuan dan pengepakan ikan layur di Palabuhanratu. Ikan layur beku dikemas dalam box khusus dengan kapasitas 10 kg/box. Pihak perusahaan melakukan proses distribusi layur melalui jalan darat menuju ke Jakarta dengan menggunakan mobil box (refrigeration

thermo king system) dengan kapasitas sekitar 6 ton. Proses pengiriman ke negara

tujuan ekspor (Korea dan Cina) dilakukan melalui kapal ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok. Layur yang diekspor ke Korea menggunakan kontainer

19% 6%

47% 1%

11%

6% 2% 8%

Palabuhanratu Pamengpek (Garut)

Ujung Genteng Cisolok Loji Binuangeun (Baten) Cidaun (Cianjur) Jakarta

Gambar

Gambar 11   Akar permasalah kemiskinan nelayan di Palabuhanratu  dengan pendekatan diagram pohon masalah
Gambar 12   Akar  permasalahan  penurunan  stok  sumberdaya  ikan  di  Palabuhanratu  dengan  pendekatan  diagram  pohon  masalah
Gambar 15   Diagram input-output sistem minapolitan perikanan tangkap di  Palabuhanratu
Gambar 17   Fluktuasi  harga  bigeye  tuna  (fresh)  per  bulan  di  Tokyo  Center  Wholesale Market dan PPN Palabuhanratu pada tahun 2008-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman baru atau bahan baru dari pelajaran yang sedang dibahas dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh

menjelaskan anatomi histologi gigi geligi, morfologi gigi sulung dan permanen, anomali gigi, menjelaskan radiografi dasar serta menjelaskan material wax kedokteran gigi

Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya melalui Bidang Permukiman berupaya untuk selalu mereview dan memperbaharui status dari Database infrastruktur,

Skripsi ini menganalisa sebuah novel karya Jane Austen yang berjudul Pride and Prejudice. Novel ini bercerita tentang Elizabeth Bennet. Novel ini menarik untuk dianalisa

Pengujian kinerja traktor tangan Huanghai DF-12L dengan berbagai campuran bahan bakar dalam mengolah tanah pada penelitian ini dilakukan di lahan kering (lahan

Kepolisian.. Keberadaan pelatihan di lingkungan kepolisian merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Pelatihan dalam pembahasan ini adalah pelatihan dalam penggunaan kekuatan

Metode penelitian yang digunakan adalah socio-legal yang melakukan studi tekstual dan menganalisis secara kritikal kebijakan lokalisasi data dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82

Sebagai persiapan pelaksanaan kegiatan, pelaku program di tingkat desa dan kecamatan menyiapan dokumen-dokumen untuk keperluan pencairan dana BLM yang akan diajukan ke KPPN,