• Tidak ada hasil yang ditemukan

Widya Sandhi : ISSN Volume 6. Nomor 1. Mei 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Widya Sandhi : ISSN Volume 6. Nomor 1. Mei 2015"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

801

SIMBOL-SIMBOL AGAMA NON-HINDU PADA TEMPAT SUCI HINDU DI DESA LINGSAR KECAMATAN LINGSAR KABUPATEN LOMBOK BARAT

(BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA)

I Made Putu Sujana Dosen Jurusan Dharma Sastra

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram

Diterima : 06 Januari 2015 Direvisi : 12 Maret 2015 Disetujui : 3 April 2015

Abstrak

Dalam penelitian ini penulis akan membahas berbagai hal yang berhubungan dengan bentuk-bentuk simbol agama non-Hindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan lingsar dapat di jumpai yaitu seperti Pedewaq, Kemaliq Lingsar dan upacara Perang Tupat.Fungsi simbol-simbol Agama nonHindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar, yaitu : 1) fungsi sosial kemasyarakatan, 2) fungsi relegius, 3) fungsi keseimbangan, 3) fungsi pemersatu umat, 4) fungsi penyucian.Makna yang tersirat pada penggunaan simbol-simbol Agama nonHindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar, yaitu : 1) makna Relegi, 2) makna upakara/sesajen, dan 3) makna budaya

PENDAHULUAN

Globalisasi dan modernisasi membawa perubahan-perubahan baik perubahan kemajuan mapun perubahan kemunduran. Termasuk adanya pergeseran nilai-nilai dan orientasi manusia, yakni selalu menganggap hidup ini buruk, selalu ingin menundukkan alam, bekerja hanya untuk mendapatkan kedudukan tertentu serta berkembangnya sifat-sifat individualistik. Adanya perubahan orientasi dan pergeseran nilai-nilai budaya yang terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, bahkan di Lombok telah mengalaminya. Fenomena kehidupan di masyarakat akhir-akhir ini sungguh sangat mencemaskan dan memperihatinkan, terutama jika dikaitkan dengan merebaknya konflik-konflik yang berdalih agama. Baik konflik antar umat beragama maupun intern umat beragama. Konflik- konflik sering berlanjut dengan pembakaran dan perusakan perumahan penduduk, kantor-kantor dan tempat- tempat suci. Ujungnya adalah kebrutalan, kehancuran, dan kekerasan masyarakat luas. jikalau semua bertekad memulihkan keselarasan dan kemanusiaan, aspek-aspek itulah yang mesti diperhatikan semua pihak yang bertekad baik di negeri ini.

Demi memulihkan keselarasan dan kemanusiaan, sikap yang layak dikembangkan adalah sikap tanpa kekerasan. Masing-masing dihormati dan dihargai sebagai kekayaan untuk memperteguh keragaman dalam persatuan atau kebersamaan (Bhineka Tunggal

(2)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

802

Ika ). Membangun sikap saling menghormati satu sama lain, sehingga lahirlah tata hidup yang harmonis, adil, dan sejahtera bagi semuanya. Dengan demikian diharapkan tumbuh kerjasama yang melampaui sekat-sekat pemisah dan berkembangnya sebuah tata kehidupan yang rukun dan damai. Kehidupan yang rukun dan damai yang sejak awal telah ada, namun akhir-akhir ini dihancurkan oleh organisasi pihak-pihak tertentu yang ingin meluluhlantahkan peradaban negeri ini.

Selanjutnyab aktivitas religi yang demikian berhubungan dengan pura sebagai wahana dalam berinteraksi khususnya dalam kegiatan yang bernuansa keagamaan. Hal itu berarti bahwa dalam setiap aktivitas ritual senantiasa berhubungan dengan pura sebagai tempat pelaksanaan upacara ataupun sebagai media untuk berinteraksi dengan sesama umat dan juga untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-Nya. Demikian pentingnya pura itu sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat Hindu di Lombok, maka tidak heran bahwa tempat suci itu dapat ditemukan dimana-mana. Eksistensi pura yang cukup banyak itu sebagai fundamental image bagi masyarakat Hindu di Lombok.

Bila ditelusuri secara mendalam kuantitas tempat suci dengan polarasi tradisi upacaranya itu bukan hanya merupakan refleksi dari relegiusitas masyarakat setempat, tetapi juga merupakan refleksi iklusivisme tradisi budaya masyarakat Hindu di Lombok, bahkan lebih jauh dapat diterjemahkan sebagai ” strategi” elit lokal dalam membina kerukunan intern dan antar umat beragama. Dalam hal kerukunan antar umat beragama, tidak hanya diperlihatkan oleh perilaku kesehariannya yang toleran (inclusive), namun terlihat pula dalam aktivitas ritus dan bahkan terlihat dalam tatanan arsitektur bangunan Pura tersebut.

Ciri inklusive dalam kehidupan masyarakat Hindu di Lombok diperkuat oleh suatu realitas bahwa, banyaknya tradisi ritus dan kontruksi pura di Lombok yang mengawinkan konsep agama Hindu dengan paham agama lain, seperti; ajaran suku sasak wetu telu. Indikasi tersebut terlihat pada konstruksi Pura Lingsar di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat, yang memperlihatkan adanya pengaruh suku sasak wetu telu dan umat Hindu setempat. Eksistensi sebuah aktivitas ritual dilaksanakan bukan tanpa motif dan tanpa makna. Ritus pemujaan seperti dengan media Pedewaq dilaksanakan dengan tujuan yang sama serta pelaksanaannya berulang dengan pola yang sama (recurrent of patern) baik dilihat dari perspektif agama, filosofis dan nilai- nilai sosial yang membungkus sebuah tradisi. Sampai saat ini eksistensi ritual

(3)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

803

tersebut hanya dipahami apa adanya dan belum ada kajian yang mendalam yang berupaya menyingkap aspek simbol-simbol agama non-Hindu pada tempat suci Hindu dan strategi elit agama dibalik sebuah upaya ”mempertahankan tradisi yang mengadopsi kultur agama lain.

Penelitian ini difokuskan untuk merepresentasi simbol-simbol non Hindu pada tempat suci Hindu pada masyarakat lokal dan strategi elit lokal di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat dalam pembinaaan kerukunan hidup beragama yang mendorong pelaksanaan ritus dengan tradisi yang berbeda.

Rumusan Masalah

Penelitian ini akan diarahkan oleh perumusan masalah sebagai berikut :

a) Bagaimanakah bentuk simbol-simbol Agama non-Hindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

b) Apakah fungsi simbol-simbol Agama non-Hindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

c) Apakah makna yang tersirat pada penggunaan simbol-simbol Agama non-Hindu pada tempat suci non-Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang representasi simbol-simbol Agama non-Hindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

Metode

Penelitian ini dilakukan ditengah kehidupan komunitas Hindu di Lombok. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan rangangan penelitian lapangan (field research). Rencana penelitian ini secara global dirancang mulai dari direduksi, diklarifikasi dan diinterpretasikan selama dilapangan sampai pada tahap penyusunan laporan. Kerliger mengemukakan bahwa desain atau rancangan penelitian merupakan rencana dan struktur penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti akan memperoleh jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan untuk penelitiannya (Suprayogo dan Tabroni, 2001:119). Rencangan penelitian ini menggunakan rancangan dengan struktur yang memiliki koherensi mulai dari observasi lapangan, penyususunan rencana penelitian, pengambilan data hingga pada penyususunan laporan penelitian.

(4)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

804

PENBAHASAN

1. Bentuk Representasi Simbol-Simbol Agama NonHindu Pada Tempat Suci

Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat

Bentuk simbol-simbol yang ada di Pura Ligsar, yaitu: a. Pedewaq

Melihat langsung rupa dari Pedewaq merupakan batu dalam berbagai bentuk, seperti lonjong, pipih dan bulat, semuanya tampak masih alami tanpa pahatan, dibungkus dengan kain/wastra berwarna putih dan kuning. Nama Pedewaq merupakan istilah bagi suku Sasak Wetu Telu sedangkan bagi umat Hindu disebut pratima atau pralingga. Berdasarkan wawancara dengan para Pemangku dan pengurus Pura Lingsar (wawancara tanggal 10 Mei 2013) maka peneliti menganalisis bahwa Manefestasi Tuhan yang di puja melalui media pedewaq adalah:

1. Siwa

Pedewaq dengan bentuk lonjong, dalam agama Hindu merupakan simbol dari Lingga. Salah satu simbol diantara demikian banyak simol-simbol siswa adalah Siwalingga, simbol yang sangat penting, simbol yang sangat penting. Terdapat dua jenis lingga, yakni yang bergerak dan yang tidak bergerak adalah lingga yang dibuat permanen disuatu pura atau yang ada sedemikian rupa dengan sendirinya. Lingga yang dapat dibawa kemana-mana dibuat dari tanah, batu, kayu, permata dan lain-lain, dan lingga dari batu sebagai bagian laki-laki/purusa (lingga) dan sebagai bagian wanita/pradana (yoni), (Titib, 2003 : 263).

2. Wisnu

Titib (2003 : 218) menjelaskan bahwa Visnu adalah manifestasi Tuhan yang diyakini sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya. Kemahakuasaan-Nya dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh sakti-Nya yang bernama Sri Laksmi. Dalam agama Hindu, Dewa Wisnu adalah dewa yang menguasai air dan air itu memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan.

Umumnya umat Hindu dan masyarakat suku sasak wetu telu selalu melaksanaan pemujaan di pura lingsar untuk memohon hujan, salah satunya adalah dengan melaksanakan upacara nunas mel-mel dan upacara perang tupat. Tidak hanya umat Hindu dan suku sasak wetu telu saja yang melakukan pemujaan di Pura Lingsar, etnis Cina yang beragama Budha dan Kong Fu tse juga banyak datang ke Pura Lingsar untuk melakukan pemujaan guna keberhasilan usaha mereka dalam hal

(5)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

805

berdagang. Hal ini menunjukkan bahwa pemujaan dengan media pedewaq selain sebagai wujud pwmujaan kepada Siwa juga merupakan wujud pemujaan kepada Wisnu beserta sakti Beliau Sri Laksmi dengan tujuan untuk memohon keuburan dan keberhasilan usaha.

b. Kemaliq

Bangunan Kemaliq Lingsar merupakan sebuah bangunan berbentuk altar berundag dari batu pualam dengan atap seng seperti bangunan masyarakat sasak. Pada punden berundag tersebut pada bagian atasnya berdiri batu dengan berbagai bentuk seperti lonjong, pipih, bulat yang dikatakan bersal dari Gunung Rinjani. Batu-batu tersebut dikeramatkan oleh penganut wetu telu karena dianggap mengandung kekuatan magis. Batu tersebut dinamakan pedewaq. Disebutkan batu tersebut memiliki kekuatan spiritual yang dipercaya merupakan bale samar dari betara lingsar, bale samar merupakan keyakinan masyarakat yang dipercaya membantu Anak Agung Karangasem dalam memimpin pasukan karangasem menguasai Lombok. (Panca Putra, 1999:22-23)

Menurut Soeparman, Kemaliq Lingsar berkaitan dengan Dewi Anjani, Beliau yang berstana di Gunung Rinjani, sehingga dalam mewujudkannya diperlukan kemampuan intelektual yang tinggi sehingga terwujudlah seperti pada bangunan berupa palinggih seorang gadis cantik dengan disebelahnya terdapat perwujudan pengiringnya. Pada bagian samping bangunan kemaliq terdapat patung sebagai perwujudan seorang laki-laki yang membawa kepala manusia yang diletakkan pada kedua tangan orang yang sedang bersila. patung ini merupakan simbolis bahwa I Gusti Anglurah Ktut Karangasem dahulu membawa panjak tatadan sebagai pengiringnya.

Setiap tahun diadakan acara pembersihan pada Pura Kemaliq Lingsar, yaitu pekerjaan membersihkan kemaliq dan alat-alat upacara dengan dipimpin oleh pemangku pura. Pembersihan ini dilakukan secara-bersama-sama oleh anggota banjar (kelompok) suku Sasak dan suku Bali, terdiri dari para petani yang berkelompok dalam beberapa subak. Acara pembersihan dilaksanakan tiga hari setelah upacara perang tupat, tepatnya setiap pinanggal 12 sasih kapitu pada setiap tahunnya. Ketupat yang dipergunakan sebagai sesajen pada saat upacara pujawali dan perang tupat adalah berupa ketupat telur (tipat talu), yaitu ketupat yang bentuknya bulat oval menyerupai telur. Adapun peralatan yang terdapat di kemalik lingsar adalah sebagai berikut : 1) Momot dan gedah 2) nare (talam kuningan), dulang, tabag, 3) kain-kain untuk hiasan kemaliq yaitu kain lelingsir,

(6)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

806

langse,lamak,leluhur, bukus teken, 4) piring dan cangkir, 5) kain hiasan berupa umbul-umbul, 6) payung agung dan tombak, 7) tikar, lantai, lamak tilam sebagai alas duduk.

c. Perang Tupat

Upacara Perang Tupat dilaksanakan sekali dalam setahun disetiap purnamaning sasih keenam. Bila ditilik dari waktu pelaksanaan, maka sasih keenam jatuh pada masan ngaro, yakni masa dimana petani-petani di Lombok Barat turun ke sawah untuk menanam padi. Dalam sistem wariga (ilmu perhitungan saat dan waktu) yang dianut masyarakat suku Sasak di Lombok Barat. Hitungan bulan dimulai dari terbitnya bintang rowot. Bulan pertama dihitung mulai terbitnya bintang rowot. Dalam satu tahun terdapat dua belas bulan yang terdiri dari dua musim yalrni masan bailit (musim kemarau) dan masan taun/masan ujan (musim hujan). Satu tahun kalender menurut perhitungan kalender yang dianut masyarakat sasak disebut setaun sebailit yang artinya dalam satu tahun terdiri dari dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan.

Awal musim hujan, dimulai pada sasih (bulan) keenam. Masa untuk musim hujan ini selama enam bulan, umur tiap bulan ada tiga puluh hari. Musim penghujan atau masan taun merupakan saat yang dinanti-nantikan petani untuk menanam padi. Sedangkan masan bailit atau musim kemarau, kebiasaan petani di Lombok Barat adalah menanam gegadon atau palawija. (Wawancara tanggal 12 Mei 2015). Upacara Perang Tupat dilaksanakan oleh umat Hindu dan suku sasak wetu telu bertujuan untuk memohon kesuburan pertanian mereka, hal ini diaplikasikan dengan memanam ketupat yang diperoleh pada saat upacara Perang Tupat pada areal persawahan mereka.

2. Fungsi Representasi Simbol-Simbol Agama non-Hindu Pada Tempat Suci

Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan (wawancara tanggal 2 Mei 2015) diketahui bahwa pedewaq dalam konsep Hindu disebut pratima yang berfungsi sebagai sarana atau media dalam menghubungkan diri kepada Tuhan dalam berbagai manifestasi Beliau. Tidak hanya itu, pedewaq juga merupakan suatu alat dalam menjalin/membina hubungan antar sesama manusia, hal tersebut terlihat bahwa selain umat Hindu, suku sasak wetu telu pun meyakini keberadaan pedewaq sebagai media/sarana pemujaan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipaparkan tentang fungsi beberapa simbol, sebagai berikut :

(7)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

807

a. Fungsi sosial

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, fungsi Pura Lingsar adalah sebagai pusat komunikasi sosial antar agama, bagi umat Hindu di Desa Lingsar, juga berpengaruh terhadap peroses adaptasi umat Hindu dari berbagai daerah yang datang untuk mengikuti upacara di Pura Lingsar memiliki adat dan budaya yang tidak sama, kidung pengiring upacara dan lagu dalam pengucapan mantra juga berbeda. Dengan berkumpul dalam suatu upacara, maka terjadi peroses adaptasi atau penyesuaian sehingga umat dari berbagai daerah akan menumbuhkan sikap saling mengerti, menghargai, menghormati, dan menumbuhkan rasa persaudaraan sesama umat Hindu, khususnya di daerah Lombok. Artinya, Pura Lingsar tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, dan tempat menyelenggarakan upacara-upacara ritual, tetapi juga memiliki fungsi sosial itu diantaranya untuk menunjukan identitas kelompok, memperkuat solidaritas antar umat Hindu, mengintensifkan solidaritas umat Hindu dan fungsi adaptasi.

b. Fungsi Religiusitas

Simbol suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut dengan daerah

kekeran dengan ukuran apeneleg (sejauh mata memandang), apenimpug (sejauh

lemparan), dan agongan (sejauh bunyi gong dapat di dengar). Menurut bhisama, yang dikeluarkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengenai kesucian Pura dinyatakan bahwa di daerah radius kesucian Pura hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan agama Hindu, misalnya didirikan pasraman bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya tirta yatra, dharma yatra, dharma wacana, dharma tula, dan dharma gita). Dalam kehidupan masyarakat Hindu, khususnya di Lombok masih kelihatan sekali corak kehidupannya yang menunjukan hidup bermasyarakat yang bersifat sosial-religius.

c. Fungsi Keseimbangan

Umat Hindu dalam menjalin hubungan yang seimbang untuk mencapai kebahagiaan lahir maupun bathin di sebabkan oleh terbinannya hubungan yang harmonis dengan Tuhan melalui pemujaan/persembahyangan berdasarkan sradha bakti umat Hindu. Untuk mewujudkan keharmonisan dan keseimbangan maka sangatlah perlu membina hubungan dengan Tuhan maupun antar sesama manusia serta dengan lingkungan. Hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam lingkungan bukan merupakan hal yang terpisah.

(8)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

808

Terkait dengan konsep Tri Hita Karana, maka masyarakat di desa Lingsar benar-benar mengimplementasikan ajaran keseimbangan dalam menggunakan Pura Lingsar sehingga secara langsung dapat menjaga keharmonisan dan keseimbangan hubungan antar manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungan.

Kewajiban sebagai manusia dalam membina hubungan yang harmonis dengan Tuhan merupakan suatu wujud bhakti dan ungkapan terimakasih atas segala anugrah yang di berikan serta kewajiban manusia untuk membayar hutang budi kepada Tuhan yang di sebut Dewa Rna. Dewa Rna artinya hutang budi kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan dunia berserta segala isinya. Dengan demikian sudah sewajarnya umat Hindu melakukan persembahan (yajña) kepada Tuhan dan dengan cinta kasihNya kepada umat manusia, Beliau memberkahi segala yang ada di bumi.

d. Fungsi Pemersatu Umat

Fungsi pura selain sebagai tempat sembahyang untuk menghubungkan diri kehadapan Tuhan/Ida Sang Hyang widhi wasa. Pura juga berfungsi sebagai tempat melaksanakan kegiatan-kegitan sosial, keberadaan Pura Lingsar juga bisa berfungsi untuk mempersatukan umat dalam melaksanakan kegitan-kegitan keagamaan mulai dari menghias pura, membuat sesajen untuk persembahan yajña. dengan konsep ngayah dan gotong royong yang diterapkan didalam sebuah pura akan tercipta suatu hubungan kebersamaan dalam kesatuan masyarakat yang relegius dalam konteks bhakti kepada Tuhan. Jadi dapat di simpulkan bahwa fungsi Pura Lingsar selain sebagai tempat pemujaan juga berfungsi sebagai pemersatu umat yaitu dari umat Hindu yang ada di Lombok dan Luar Lombok baik dalam melaksanakan kegiatan ngayah/gotong royong dan melaksanakan persembahyangan ataupun pemujaan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Lingsar secara bersama-sama, baik dari suku Sasak wetu telu yang beragama Islam maupun dari warga suku Cina yang beragama Khong Hucu dan Budha.

e. Fungsi Penyucian

Berdasarkan hasil wawancara, fungsi penyucian di Pura Lingsar merupakan suatu yang paling diprioritaskan dengan melaksanakan berbagai bentuk pelaksanaan upacara baik Dewa Yajña, Manusa Yajña, Rsi Yajña, Pitra Yajña dan Bhuta Yajña. Pada saat upacara seperti persembahyangan dengan kesadaran masyarakat bahwa alam semesta (Bhuana Agung) ini perlu disucikan.Bila diperhatikan lebih lanjut ada beberapa

(9)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

809

jenis penyucian antara lain penyucian secara umum adalah dengan mandi, berkumur dan berpakaian yang bersih serta menghias diri dengan baik. Sedangkan penyucian dalam arti agama adalah dengan jalan menyelenggarakan upacara manusia yajña yaitu dari bayi dalam kandungan hingga manusia itu meninggal.

Berdasarkan pendapat informan di atas dapat ditegaskan bahwa keberadaan Pura Lingsar dalam kaitannya dengan pujawali, terlihat dari upacara yajña seperti melukat atau memercikkan air suci yang dilakukan oleh para masyarakat Desa Lingsar dan umat Hindu yang akan memasuki areal pura, sarana yang digunakan berupa air yang sudah diberi mantram (tirta panglukatan) dan sarana persembahyangan yang lain. Demikian pula Pandita dan pinandita/pemangku, baik pemangku dari masyarakat suku sasak wetu telu maupun umat Hindu sebelum memulai upacara mengantarkan upakara/sesaji yang akan dipersembahkan maka beliau memohon tirta pelukatan sebagai sarana penyucian, yang digunakan untuk menyucikan sarana upakara/sesaji dan para bhakta yang mengikuti persembahyangan. Mengingat yang akan dipuja adalah Tuhan, maka sarana pemujaan, dan para bhakta pun hendaknya dalam keadaan suci atau bersih.

3. Makna Yang Tersirat Pada Penggunaan Simbol-Simbol Agama NonHindu

Pada Tempat Suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat

a. Makna Relegiusitas

Berbicara mengenai unsur relegi yang kedua yaitu sistem upacara keagamaan. Da1am Hindu timbulnya rasa serta aktifitas untuk melaksanakan upacara adalah karena konsep yajna. Yajna berarti pengabdian, pcrsembahan. Melaksanakan yajna dalam bentuk persembahan bukanlah dilakukan dengan rnengharapkan balasan atau pamrih ataupun dilakukan semata-mata hanya untuk menyombongkan diri atas kemewahan persembahan itu, akan tetapi beryajna dengan ketulusan hati bahwa yajna adalah suatu kewajiban yang didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang : l). Hutang kepada Tuhan Yang.Maha Esa /Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Dewa Rna), karena atas yajna-Nyalah

alam semesta tercipta beserta isinya, 2) Hutang kepada Orang tua dan leluhur (Pitra Rna) atas jasanya melahirkan, memelihara, mendidik dari dalam kandungan sampai mampri hidup mandiri, dan 3). Hutang kepada Rsi atau orang-orang suci (Rsi Rna) yang

(10)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

810

beryajna menyebarkan ilmu pengetahuan, memberikan bimbingan setta ajaran-ajaran tentang kesusilaan, kerohanian maupun spiritual.

b. Makna Upakara/Sesajen

Upakara atau sesajen ada tentunya karena adanya kerja. Dalam agama Hindu diajarkan bahwa kerja adalah karma dan karma tidak lepas dari pahala. Oleh karena itu usahakanlah menghaturkan persembahan semampu kita apalagi

dengan tangan kita sendiri. Selain upakara menunjukkan “kerja” sudah sewajarnyalah apa yang dihasilkan oleh umat manusia terlebih dahulu dipersembahkan kepada Tuhan, sehingga apa yang dipersembahkan akan berwujud “Amertha”. Sedangkan penganut wetu telu menggunakan sarana ritual Kebon Odeq dengan perangkat dan alat-alat yang digunakan pada saat pelaksanaan ritual Perang Topat di Lingsar. Kebon odeq adalah sejenis sesajen seperti pajegan kecil dua buah yang mencerminkan lanang dan istri atau laki dan perempuan. Selain itu Kebon Odeq memiliki makna simbul kesuburan alam semesta. sesajen ini mempunyai pendamping atau runtutan sarana lain yang merupakan rombongan dalam satu rangkaian penataannya yang terdiri dari :

1) Lekes atau kinangan makan sirih dan rokok

2) Sekar atau bunga-bunga yang ditaruh di atas talam yang terdiri dari beraneka warna bunga,

3) Kebon Odeq yang memakai dua tempat beralas bokor Kuningan yang isinya yakni: apoh lekoq atau kapur sirih buah pinang, buah-buahan (Pisang Keladi, Pepaya, Nenas, Jambu, Mangga, Manggis), Bunga, seperti Bunga Kamboja, Nusa Indah, Kembang Pinang, Bunga Kantil, Kembang Gading, Daun-daunan seperti daun Beringin, Daun Sirih, Daun Andong, Daun Temen Merah dan Putih, Rokok Kulit Jagung, Kelapa, Lidi, Bambu, Beras Kuning, Uang Bolong atau Kepeng, Empok-empok.

4) Pedek adalah tikar dan bantal masing-masing satu buah digulung dan dibungkus dengan kain.

5) Rombong adalah sejenis bakul tempat nasi yang diisi berbagai biji-bijian atau hasil bumi, beras kuning, uang kepeng tujuh atau sembilan kepeng.

6) Kotak yaitu tempat berbentuk kotak persegi yang terbuat dari daun lontar yang dihiasi mote-mote yang isinya biji-bijian hasil bumi.

7) Momot adalah sebuah botol kasong berukuran besar, bentuk lehernya panjang. Botol tersebut dibungkus dengan kain kuning dan dilapisi daun andong, seperti

(11)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

811

menata Kebon odeq Menurut keyakinan Wetu Telu botol momot yang dipersembahkan, pada akhir upacara beteteh ketika dibuka batol tersebut berisi air secara gaib berarti permohonan mereka dikabulkan tau memperoleh karunia. 8) Gedah yaitu gelas atau toples terbuka berisi air yang diambil dari air Kemaliq

oleh pemangku yang diisi beberapa macam bunga.

9) Wastra adalah kain yang belum pernah dipakai atau masih baru dilipat persegi empat, tiap tumpukan berisi sembilan kain sebanyak dua tumpukan.

10) Cecep adalah ceret tanah yang berisi air.

11) Ajengan adalah makanan atau penganan sebanyak sembilan dulang ditutup tembolaq atau sahab yang terbuat dari daun lontar dengan hiasan mote.

12) Dulang adalah meja kecil bundar berkaki satu, yang isinya nasi putih dengan lauk pauk kering seperti kacang-kacangan, daging abon, telur, ikan asin, teri, serundeng.

13) Sanganan adalah penganan berupa beraneka jajan tradisional berjumlah sembilan jenis seperti jajan Pisang Goreng, Keciprut, Gerontongan, Iwel, Tarik. Jaja tujak, Tape, Cerorot, Tekel, Kaiadem, Wajik dan Banget (ketan). Seluruh rangkaian sarana kebon odeq dijunjung oleh beberapa orang ketika acara mendak sehari sebelum Perang Tupat.

Berikutnya Upakara pokok di Pura Gaduh yang terdiri dari tujuh dulang masing masing berisi tumpeng adalah lambang Sapta Parwata yaitu tujuh gugusan gunung. Demikian pula tujuh pasang canang sekar di Kemaliq. Menurui lontar Yajna Prakerthi, Canang adalah inti bebanten. Jadi tujuh dulang bebanten di Pura Gaduh itu adalah tujuh canang yang diperbesar atau disempurnakan. Sembilan dulang banten sesayut di Pura Gaduh dan sembilan Ajuman Gibungan di Kemaliq adalah lambang kelengkapan isi dunia. Daksina adalah kumpulan upakara yang mempunyai fungsi antara lain sebagai Pamogpog artinya suku cadang yang berguna untuk menanggulangi bila terjadi kekurangan, demikian juga rombong yang melengkapi Kebon Odeq.

Canang Pengerawos pada kumpulan Pula Gembal dan sedah pembukak kuri pada Kebon Odeq sama-sama berfungsi sebagai penyapa atau pembuka komunikasi. Upakara saji yang disebut Pula Gembal dan Kebon Odeq itu lebih mempertegas lagi makna Puja Wali yaitu, suatu pengakuan umat pada Tuhan bahwa, dunia serta segala isinya adalah ciptaan dan milik Beliau serta berada di bawah KuasaNya, dan pada

(12)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

812

akhirnya semuanya akan kembali kepada Tuhan. Demikianlah maknanya, upakara dibuat sebagai simbol dunia dengan segala isinya.

c. Makna Budaya

Tepat pukul 17.00 Wita, kul-kul (kentongan) dibunyikan, tanda Perang Tupat dimulai. Tampak beberapa orang laki-laki dalam Kemaliq memanjat tembok Kemaliq untuk menerima bakul-bakul berisi ketupat, kemudian dilemparkan kepada peserta upacara yang berada diluar Kemaliq. Peserta yang berada di luar Kemaliq terbagi dua, pertama peserta yang berada di pelataran bawah yang terdiri dari masyarakat sasak. Kedua peserta yang berada dipelataran atas atau dipelataran Pura Gaduh, terdiri dari umat Hindu, sedangkan di pelataran luar Pura terdiri dari undangan dan penonton.

Selama Perang Tupat berlangsung peserta upacaranya ditilik dari usia dapat digolongkan menjadi dua yakni golongan muda dan golongan tua. Keduanya berbeda dalam aksi, yang muda sangat aktif untuk saling lempar, namun yang tua bersifat pasif, namun ia sangat reaktif bila melihat ada keiupat yang jatuh dan dengan cepatnya mengangbil ketupat tersebut. Tampak sekali golongan tua berusaha memperoleh ketupat-ketupat tersebut. Menurut mangku Soeparman (pemangku Kemaliq yang sekarang), ketupat-ketupat yang mereka terima dari dalam Kemaliq tidak boleh dibawa pulang langsung, tetapi harus dilemparkan pada lawan yang berada di pelataran atas. Setelah itu baru ketupat-ketupat itu, boleh dipunggut dan dibawa pulang. Hal ini melambangkan persaudaraan antara masyarakat Sasak yang menganut Islam Wetu Telu dengan masyarakat Hindu suku Bali, sehingga antara keduanya saling membantu manakala mengalami kesulitan dan berbagi kebahagiaan manakala kebahagiaan itu sedang diperoleh.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dikemukakan pada Bab IV, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk simbol agama nonHindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan lingsar dapat di jumpai yaitu seperti Pedewaq, Kemaliq Lingsar dan upacara Perang Tupat.

2. Fungsi simbol-simbol Agama nonHindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar, yaitu : 1) fungsi sosial kemasyarakatan, 2) fungsi relegius, 3) fungsi keseimbangan, 3) fungsi pemersatu umat, 4) fungsi penyucian.

(13)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

813

3. Makna yang tersirat pada penggunaan simbol-simbol Agama nonHindu pada tempat suci Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar, yaitu : 1) makna Relegi, 2) makna upakara/sesajen, dan 3) makna budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Panca, Putra ,K, 1999. Pura Lingsar, Wetu Telu dan Hindu, Sebuah Tafsir sejarah Atas Dasar Analisis Hipotese. Tanggal 15 Suklapaksa Purnama Sasih Asadha Masa Anggara kliwon Wuku Medangsia Isaka Warsa 1921 (29 juni 1999)

Suprayogo, Imam dan Tabroni, 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

(14)

I Made Putu Sujana : Simbol-Simbol Agama Non-Hindu Pada Tempat Suci Hindu Di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Bentuk, Fungsi Dan Makna) 801-814

Referensi

Dokumen terkait

Ciri lain Arthopoda yaitu pada tubuhnya bersegmen dan pada setiap segmen dapat mempunyai embelan / alat tambahan (appendages) atau tidak ; tubuh mempunyai lapisan luar keras

VLSM presentasi 6-7 Mampu memahami dan menjelaskan mengenai: generasi berikutnya dari IP, yakni IPv6, fungsionalitas apa yang disediakan oleh IPv6, bagaimana struktur,

Sedangkan proses penganalisisan data berpedoman pada langkah-langklah analisis data penelitian kualitatif yang terdiri dari tiga alur kegiatan, yaitu (1) reduksi data, (2)

Lakukan hal yang sama seperti penerapan pada adobe Premiere Pro yang sudah dijabarkan sebelumnya yaitu, membuat projek baru dan mengimport file lalu menambahkan

Tugas yang dilakukannya adalah memanipulasi data surat masuk dan surat keluar, Melakukan pencatatan posisi document, mencatat data penerima surat,

(4) M, semua proses TI perlu dinilai secara teratur atas suatu waktu untuk kualitas dan pemenuhan kebutuhan pengendalian. Domain ini mengarahkan kesalahan manajemen

Penyakit darah tinggi atau Hipertensi (Hypertension) adalah suatu keadaan di Penyakit darah tinggi atau Hipertensi (Hypertension) adalah suatu keadaan di

Mengesahkan Laporan Keuangan Perseroan Tahun Buku 2019 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik AMIR ABADI JUSUF, ARYANTO, MAWAR & REKAN sesuai dengan Laporannya