• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedang PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar (BPS, 2000).

Perkembangan PDRB ADHB dari tahun ke tahun menggambarkan perkembangan yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan dan perubahan dalam tingkat harganya dan menunjukkan pendapatan yang dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun. PDRB ADHB ini digunakan untuk melihat struktur ekonomi pada suatu tahun. Oleh karenanya untuk dapat mengukur perubahan volume produksi atau perkembangan produktivitas secara nyata, faktor pengaruh atas perubahan harga perlu dihilangkan dengan cara menghitung PDRB ADHK.

(2)

Penghitungan atas dasar harga konstan ini berguna antara lain dalam perencanaan ekonomi, proyeksi dan untuk menilai pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral. PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan apabila dikaitkan dengan data mengenai tenaga kerja dan barang modal yang dipakai dalam proses produksi, dapat memberikan gambaran tentang tingkat produktivitas dan kapasitas produksi dari masing-masing lapangan usaha tersebut

Penghitungan PDRB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, antara lain (BPS, 2000):

a. Pendekatan Produksi

PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah tertentu pada periode tertentu (biasanya satu tahun). Nilai tambah merupakan hasil pengurangan output dengan input antara. Unit-unit produksi dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) lapangan usaha (sektor).

PDRB menurut lapangan usaha dikelompokkan dalam sembilan sektor: 1) Pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan

perikanan)

2) Pertambangan dan Penggalian 3) Industri Pengolahan

4) Listrik, Gas dan Air Bersih 5) Konstruksi

6) Perdagangan, Hotel dan Restoran 7) Pengangkutan dan Komunikasi

(3)

8) Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 9) Jasa-jasa

Untuk tujuan penyederhanaan sembilan sektor tersebut dikelompokkan dalam sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer terdiri atas sektor 1 dan 2 (pertanian; pertambangan dan penggalian), sektor sekunder terdiri atas sektor 3, 4 dan 5 (industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; konstruksi) sedangkan sektor tersier terdiri dari sektor 6, 7, 8 dan 9 (perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa).

b. Pendekatan Pendapatan

PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi tersebut adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewiraswastaan), semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup penyusutan dan pajak tak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).

c. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok dan (5) ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Dengan kata lain,

(4)

PDRB merupakan jumlah dari empat kelompok pengeluaran yaitu konsumsi, investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor neto (Mankiw, 2007). Jika dituliskan ke dalam suatu formula, dimana PDRB disimbolkan dengan Y, maka

Y = C + I + G + NX (2.1) − Konsumsi (C) terdiri barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi

dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa.

− Investasi (I) terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan.

− Pembelian pemerintah (G) adalah barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah pusat, negara bagian, dan daerah. Kelompok ini meliputi peralatan militer, jalan layang, dan jasa yang diberikan pegawai pemerintah.

− Ekspor neto (NX) memperhitungkan perdagangan dengan negara lain. Ekspor neto adalah nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai barang dan jasa yang diimpor dari negara lain.

PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi. Nilai PDRB per kapita didapatkan dari hasil bagi antara total PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB per kapita sering digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. Apabila data tersebut disajikan secara berkala akan menunjukkan adanya perubahan kemakmuran.

Menurut Jhingan (2010), kenaikan pendapatan per kapita dapat tidak menaikkan standar hidup riil masyarakat apabila pendapatan per kapita meningkat

(5)

akan tetapi konsumsi per kapita turun. Hal ini disebabkan kenaikan pendapatan tersebut hanya dinikmati oleh beberapa orang kaya dan tidak oleh banyak orang miskin. Di samping itu, rakyat mungkin meningkatkan tingkat tabungan mereka atau bahkan pemerintah sendiri menghabiskan pendapatan yang meningkat itu untuk keperluan militer atau keperluan lain.

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2007). Perkembangan tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan PDRB pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa (Todaro dan Smith, 2006):

1). Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2). Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3). Kemajuan teknologi.

Pertumbuhan ekonomi belum tentu melahirkan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berlaku pula pertambahan penduduk. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan

(6)

tidak melebihi tingkat pertambahan penduduk, pendapatan rata-rata masyarakat (pendapatan per kapita) akan mengalami penurunan. Sedangkan apabila dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk, maka perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan (stagnan) dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajuan. Dengan demikian, salah satu syarat penting yang akan mewujudkan pembangunan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan ekonomi harus melebihi tingkat pertambahan penduduk (Sukirno, 2007).

2.1.3 Teori Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktural sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan kesenjangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006). Jadi, pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi adalah dua hal yang berbeda. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika di negara tersebut terdapat lebih banyak output dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya, sedangkan suatu negara dikatakan mengalami adanya pembangunan jika mengalami pertumbuhan sekaligus juga terdapat perubahan dalam kelembagaan, pengetahuan, dan pengurangan ketidakmerataan pendapatan. Jadi, pertumbuhan ekonomi adalah bagian dari pembangunan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi adalah salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan ekonomi.

(7)

2.1.4 Teori Kesenjangan

Kuncoro (2003) menyatakan bahwa kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Kesenjangan antardaerah disebabkan karena adanya perbedaan faktor anugerah awal. Perbedaan inilah yang menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan di berbagai wilayah berbeda-beda. Terjadinya kesenjangan antardaerah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antardaerah yang pada akhirnya menyebabkan kesenjangan pendapatan. Karena itu, aspek kesenjangan pembangunan antardaerah ini juga mempunyai implikasi terhadap formulasi kebijakan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Menurut Emilia dan Imelia (2006), faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan ekonomi antara lain:

a. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah: ekonomi dari daerah dengan konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan dengan daerah yang tingkat konsentrasi ekonomi rendah

b. Alokasi investasi: rendahnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif.

c. Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah: kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan kapital antar provinsi merupakan penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi regional.

(8)

d. Perbedaan sumber daya alam antarwilayah: pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumber daya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin sumber daya alam.

e. Perbedaan kondisi demografis antarwilayah: jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi, etos kerja tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

f. Kurang lancarnya perdagangan antarwilayah: tidak lancarnya arus barang dan jasa antardaerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui sisi permintaan dan sisi penawaran.

Perbedaaan kemajuan antardaerah berarti tidak samanya kemampuan untuk tumbuh sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan. Kuznets menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis dengan mengemukakan hipotesis “Kurva U Terbalik”. Hipotesis ini dihasilkan melalui kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti dengan hubungan korelasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan.

Proses trade off ini terjadi di negara sedang berkembang, dimana pada saat proses pembangunan dilaksanakan, kesenjangan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada pada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik, sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu

(9)

memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial budaya sehingga akibatnya kesenjangan pembangunan antardaerah cenderung meningkat karena pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal, 2008).

2.1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Bhinadi (2002) melakukan penelitian yang berjudul “Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa”. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi data panel. Dengan PDRB migas riil, didapatkan bahwa nilai efisiensi atau produktifitas faktor total Jawa lebih rendah daripada luar Jawa. Sedangkan dengan PDRB non migas riil, didapatkan bahwa nilai efisiensi atau produktifitas faktor total Jawa lebih tinggi daripada luar Jawa.

Sutarno dan Kuncoro (2003) melakukan penelitan dengan mengambil judul “Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antarkecamatan: Kasus Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah”. Penelitian ini menggunakan Tipologi Daerah, indeks Williamson, indeks Entropy Theil, hipotesis Kuznets dan korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam periode pengamatan 1993-2000, terjadi kecenderungan peningkatan kesenjangan, baik di analisis dengan indeks Williamson maupun dengan indeks Entropy Theil. Berdasarkan tipologi daerah, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi

(10)

empat kelompok daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, daerah maju tapi tertekan, daerah yang berkembang cepat, dan daerah yang relatif tertinggal. Dalam penelitian ini hipotesis kurva U-terbaliknya Kuznets berlaku di Kabupaten Banyumas. Sedangkan berdasarkan perhitungan analisis korelasi Pearson antara pertumbuhan PDRB dengan indeks Williamson dan indeks Entropy Theil, didapatkan bahwa ada korelasi yang kurang kuat.

Bhakti (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Kesenjangan Antardaerah di Pulau Jawa Ditinjau dari Perspektif Sektoral dan Regional”. Alat analisis yang digunakan adalah indeks Williamson dan Theil. Hasil penelitian mengatakan bahwa tahun 1983-2001 masih terjadi kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa dan mengalami tren kesenjangan antardaerah yang relatif menaik. Kondisi ini dipicu pula oleh peningkatan besamya kontribusi sektor industri yang mampu mendorong terciptanya peran pada sektor jasa di Pulau Jawa (derived demand). Secara empiris terbukti, bahwa di Pulau Jawa telah terjadi transformasi stuktural. Kesenjangan antardaerah pasca pemekaran wilayah di Pulau Jawa cenderung naik.

Khusaini (2004) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Disparitas Antardaerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Provinsi Banten”. Dalam penelitiannya menggunakan Indeks Williamson untuk mengukur kesenjangan dan model regresi persamaan tunggal untuk mengetahui dampak kesenjangan dan variabel lain terhadap pertumbuhan regional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan indeks Williamson kesenjangan tertinggi di Kota Cilegon pada tahun 2003, dan yang terendah di

(11)

Kota Tangerang pada tahun 2002. Sedangkan hasil estimasi menunjukkan variabel aglomerasi dan kapital berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi regional. Sedangkan variabel tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Caska dan Riadi (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Pertumbuhan dan Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antardaerah di Provinsi Riau”. Analisis data yang digunakan antara lain analisis tipologi Klassen, indeks Williamson, indeks Entropi Theil, dan kurva U terbalik. Selama periode pengamatan 2003-2005, terjadi kesenjangan pembangunan yang tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson. Sedangkan menurut indeks Entropi Theil, kesenjangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadinya pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan. Sebagai akibatnya hipotesis Kuznets tentang kurva U terbalik tidak terbukti di Provinsi Riau.

Wijayanto (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Daerah di Kabupaten Semarang (Tahun 1999-2003)”, menggunakan teknik perhitungan LQ, Shift Share dan indeks Williamson. Hasil penelitian mengatakan bahwa sektor unggulan di Semarang yaitu sektor industri, sektor listrik, gas, dan air, sektor lembaga keuangan dan persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Dengan perhitungan indeks Williamson dengan dan tanpa mengikutkan sektor industri dapat diketahui bahwa sektor industri merupakan faktor penyebab terjadinya kesenjangan.

(12)

Chrisyanto (2006) juga melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Perekonomian Antardaerah di Indonesia”. Untuk menganalisis kesenjangan digunakan indeks Williamson dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan digunakan analisis regresi linier berganda. Dari hasil analisis ditemukan bahwa terjadinya kesenjangan ekonomi antardaerah disebabkan oleh tingginya pendapatan per kapita DKI Jakarta yang menyebabkan kesenjangan di Pulau Jawa dan tingginya pendapatan per kapita di Kalimantan Timur yang menyebabkan kesenjangan di luar Jawa.

Saskara (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesenjangan Pembangunan Ekonomi Antardaerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali’, menggunakan koefisien disparitas yang sudah dimodifikasi oleh Setyarini (1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karangasem merupakan kabupaten yang memiliki kesenjangan yang paling lebar. Sedangkan kabupaten Badung dan Kota Denpasar memiliki pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi dan berada di atas pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali.

Hartono (2008) dengan penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesenjangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah”, menggunakan alat analisis indeks Williamson dan analisis regresi linier sederhana. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kesenjangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah yang diukur dengan indeks Williamson dalam kurun waktu 1981 sampai dengan 2005 cenderung relatif meningkat. Berdasarkan analisis regresi linier, diketahui bahwa variabel investasi swasta per kapita dan rasio

(13)

angkatan kerja berpengaruh negatif terhadap kesenjangan. Sedangkan alokasi dana pembangunan per kapita berpengaruh positif terhadap kesenjangan.

Prasetyo (2008) melakukan penelitian dengan judul “Kesenjangan dan Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Kawasan Barat Indonesia”. Beberapa alat analisis yang digunakan antara lain indeks Williamson, tipologi Klassen, analisis Location Quotient, dan analisis regresi data panel. Kesenjangan ekonomi di wilayah KBI dari tahun 1995-2007 cukup besar. Kesenjangan tertinggi terjadi pada tahun 2000 tepat pada saat awal-awal mulai diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kesiapan masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Dengan model fixed effect ditemukan bahwa infrastruktur panjang jalan, listrik, dan air bersih mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga pendapatan per kapita.

Priyanto (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesenjangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten”, menggunakan alat analisis berupa indeks Williamson, tipologi Klassen, analisis regresi data panel. Berdasarkan indeks Williamson diketahui bahwa pada tahun 2001-2008 di Provinsi Banten terjadi kesenjangan antarkabupaten/kota yang meningkat, sedangkan menurut tipologi Klassen hanya Kota Tangerang dan Kota Cilegon yang termasuk daerah maju dan cepat tumbuh. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa belanja modal, angkatan kerja berpengaruh nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun angka melek huruf tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten.

(14)

Bhakti (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesenjangan Pendapatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Sebelum dan Selama Desentralisasi” menggunakan tipologi Klassen, indeks Williamson, dan indeks Theil dalam analisisnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesenjangan selama desentralisasi relatif meningkat. Hal ini diduga lebih terkait dengan adanya pemekaran wilayah, karena pada analisis yang tergabung dengan kabupaten induknya, kesenjangannya tidak meningkat.

Masli (2009) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Regional antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat” menggunakan indeks Williamson, indeks Entropi Theil, dan tipologi Klassen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mengalami fluktuasi dan menunjukkan arah negatif jika dibandingkan pada awal penelitian. Menurut tipologi Klassen, pada umumnya kabupaten/kota di Jawa Barat termasuk klasifikasi daerah relatif tertinggal. Sedangkan menurut indeks Williamson dan indeks Entropi Theil kesenjangan antarkabupaten/kota meningkat.

Rani (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kesenjangan Antardaerah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2003-2009” menggunakan indeks Williamson, indeks Theil, indeks Atkinson dan tipologi Klassen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan tipologi Klassen pada tahun 2009 hanya Kota Dumai yang diklasifikasikan sebagai daerah relatif tertinggal karena laju pertumbuhan dan PDRB per kapita dengan sektor migas berada di bawah laju pertumbuhan dan PDRB per kapita dengan sektor migas Provinsi

(15)

Riau. Jika tanpa sektor migas, tidak ada kabupaten/kota yang diklasifikasikan sebagai daerah relatif tertinggal selama tahun 2009.

Kesenjangan di Provinsi Riau berdasarkan perhitungan indeks Williamson dengan migas sangat tinggi dan jika tanpa migas kesenjangan rendah. Jika menggunakan indeks Theil, Provinsi Riau berada pada tingkat kesenjangan rendah dengan migas ataupun tanpa migas. Kesenjangan tanpa migas jauh lebih rendah daripada kesenjangan dengan migas. Tren kesenjangan dengan migas dan tanpa migas menunjukkan bahwa tiap tahunnya terjadi penurunan kontribusi kesenjangan antarkelompok sehingga di tahun 2009 sudah mulai seimbang antara kontribusi kesenjangan antar kelompok dan inter kelompok.

Indeks Atkinson menunjukkan social welfare loss dengan migas menunjukkan pergerakan yang makin menurun terkecuali pada tahun 2007 ketika terjadi krisis global. Sedangkan bila tanpa migas justru meningkatnya social welfare loss dimulai pada tahun 2005 hingga tahun 2009. Bagi Provinsi Riau, sektor migas memang sangat mempengaruhi perekonomian tetapi sektor migas justru menimbulkan kesenjangan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa sektor migas. Selain kesenjangan yang lebih tinggi, sektor migas juga menyebabkan social welfare loss yang lebih besar bagi masyarakat. Tren kesenjangan tanpa sektor migas terus meningkat tetapi peningkatan tersebut tidak siginifikan dan tidak menyebabkan social welfare loss yang besar.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini bermaksud menganalisis kesenjangan antarwilayah di Provinsi NTT selama kurun waktu 2007-2010. Dalam analisis ini dilakukan penghitungan sampai dengan level

(16)

kabupaten/kota. Untuk mengukur kesenjangan antarwilayah digunakan alat analisis indeks Williamson, indeks Theil dan indeks Atkinson. Adapun tipologi Klassen digunakan untuk mengklasifikasikan daerah berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita.

2.2 Kerangka Pemikiran

Salah satu penyebab kesenjangan antardaerah adalah adanya perbedaan potensi dan sumber daya dari masing-masing daerah. Beberapa studi mengatakan bahwa terpusatnya pembangunan nasional di Jawa, khususnya di DKI Jakarta sebagai ibukota negara, turut menjadi penyebab terjadinya kesenjangan di luar Jawa. Adanya kepercayaan penuh terhadap mekanisme trickle down effect dimana diharapkan pertumbuhan ekonomi menetes dengan sendiri ternyata berjalan lambat. Akibatnya pembangunan ekonomi hanya terpusat di suatu daerah yang kuat potensinya. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menganalisis seberapa besar kesenjangan pembangunan antardaerah di luar Jawa khususnya pada wilayah Provinsi NTT.

Penelitian ini menggunakan indeks Williamson, indeks Theil dan indeks Atkinson untuk mengukur kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT. Selanjutnya, dari hasil perhitungan kesenjangan, akan dianalisis tren kesenjangan yang terjadi di Provinsi NTT. Tipologi Klassen digunakan untuk memberikan gambaran klasifikasi daerah di Provinsi NTT berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan bisa

(17)

memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan (growth with equity).

Untuk memudahkan dalam mencermati alur pemikiran mengenai penelitian ini, maka alur kerangka pemikiran penelitian dijelaskan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Kesenjangan pembangunan antarkabupaten/kota − Perbedaan potensi daerah di Provinsi NTT − Provinsi NTT menduduki peringkat kelima

provinsi termiskin di Indonesia

− Menganalisis kesenjangan antarkabupaten/kota − Menganalisis social welfare loss

− Mengetahui klasifikasi wilayah kabupaten/kota

Rekomendasi kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi disertai pemerataan (growth with equity) Indeks Williamson Indeks Theil Tipologi Klassen Indeks Atkinson

Referensi

Dokumen terkait

PRC-0022 Dewi & Candra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta S1 Laporan Kerja Praktek Pembangunan Wilayah Di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Instruksi Bupati Bantul tentang Penertiban Bangunan Atau Tempat Usaha Pada Ruas-Ruas Jalan

TAN-0039 Riana estriani Universitas Gadjah Mada Yogyakarta S1 Pengaruh Penyuluhan Melalui Media Cetak Terhadap Motivasi Dalam Penerapan Inovasi Ayam Kampung Unggul Badan

bahwa dengan semakin meluasnya bentuk-bentuk penyakit masyarakat di Kabupaten Bantul, maka perlu mendapatkan perhatian yang serius dari

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan, dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan Pengadaan Secara

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Tersebut akan diumumkan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa Kantor Perpustakaan, PDE dan Arsip Daerah Kota Bandar Lampung

Untuk melihat perubahan gambaran darah tepi sebelum dan sesudah pemberian kemoradioterapi pada penderita karsinoma nasofaring guna untuk menunjang pengambilan

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan ( Field Research ), dengan kepala sekolah, guru, serta karyawan SMK Muhammadiyah 4 Wonogiri sebagai informan dalam