• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penggunaan Masker dengan Gambaran Klinis, Faal Paru dan Foto Toraks Pekerja Terpajan Debu Semen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Penggunaan Masker dengan Gambaran Klinis, Faal Paru dan Foto Toraks Pekerja Terpajan Debu Semen"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Penggunaan Masker dengan

Gambaran Klinis, Faal Paru dan Foto

Toraks

Pekerja Terpajan Debu Semen

Tria Damayanti,

*

Faisal Yunus,

*

Mukhtar Ikhsan,

*

Kiki Sutjahyo

**

*Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta **South East Asian Regional Coordinator on Health Monitoring and Industrial Hygiene

Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kebiasaan menggunakan

APD masker dengan gambaran klinis, faal paru dan foto toraks akibat pajanan debu semen. Penelitian dengan desain potong lintang dan pengambilan sampel secara

stratified random sampling dilakukan terhadap 182 pekerja. Kuesioner terpimpin

untuk mendapatkan data demografik, kebiasaan menggunakan masker N95 dan kebiasaan merokok. Kadar debu semen respirabel terbaru didapatkan dari alat

personal dust sampler (PDS). Pemeriksaan foto toraks dinilai berdasarkan sistem International Labour Organization (ILO). Prevalens gejala klinis didapatkan 9,9%,

penurunan faal paru 30,8% dan kelainan foto toraks 4,9%. Kadar debu respirabel rata-rata adalah 0,4167 mg/m3 (Nilai Ambang Batas [NAB] 3 mg/m3). Tidak

didapatkan hubungan kebiasaan menggunakan masker dengan gambaran klinis dan kelainan foto toraks akibat pajanan debu semen. Kelompok dengan kebiasaan menggunakan masker yang buruk mempunyai nilai faal paru yang lebih rendah pada 34,5% pekerja dibandingkan kelompok dengan kebiasaan menggunakan masker yang baik pada 27,6% pekerja namun secara statistik tidak berbeda bermakna. Analisis multivariat mendapatkan lama kerja setelah menilai tingkat pendidikan, area kerja, usia dan kebiasaan menggunakan APD masker mempunyai hubungan bermakna secara statistik dengan penurunan faal paru (Prevalence Ratio [PR] 1,074, 95%CI 1,035 - 1,115). Kebiasaan merokok setelah menilai usia, lama kerja, status gizi dan kebiasaan menggunakan APD masker mempunyai hubungan bermakna secara statistik dengan kelainan foto toraks (PR 11,667, 95%CI 1,058 – 128,662). Tidak didapatkan hubungan kebiasaan menggunakan APD masker dengan kelainan klinis, faal paru dan foto toraks akibat pajanan debu semen, namun lama kerja berhubungan bermakna dengan penurunan faal paru dan kebiasaan merokok berhubungan bermakna dengan kelainan foto toraks. Penggunaan APD masker secara teratur melindungi pekerja dari bahaya pajanan debu semen di masa yang akan datang.

Kata kunci: debu semen, APD masker, gambaran klinis, faal paru, foto toraks.

Artikel Penelitian

(2)

Association Between Mask and Respiratory Symptoms,

Lung Functions and Chest X-Ray Due to Cement Dust Exposure

Tria Damayanti,

*

Faisal Yunus,

*

Mukhtar Ikhsan,

*

Kiki Sutjahyo,

**

*Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia, **South East Asian Regional Coordinator on Health Monitoring and Industrial Hygiene

Abstract: The aim of this studywas to determine the association between habit of using respirator and respiratory symptoms, lung functions and chest x-ray due to cement dust exposure. A cross sectional study with stratified random sampling was performed in 182 workers. An interviewer-administered questionnaire was collected to record demographic data, habit of using respirator N95 and smoking habit. Current respirable dust exposure levels were collected using personal dust sampler (PDS). CXR were assessed according to the ILO system. The prevalence of respiratory symptoms, lung function impairment and abnormalities of CXR were 9.9%, 30.8% and 4.9%, respectively. The mean level of respirable dust was 0.42 mg/m3 (PEL 3 mg/m3). There was no association between habit of using respirator and and abnormalities of CXR due to cement dust exposure. A bad habit of using respirator group had lower lung function was found in 34.5% workers than 27.6% in a good habit of using respirator group, but there was no significant differentiation. Duration of working had significant association with lung function impairment (PR 1.07, 95% CI 1.04 to 1.12) after adjustment for education level, working area, age and respirator use. Smoking habit had significant association with abnormalities of CXR (PR 11.7, 95%CI 1.06 to 128.7) after adjustment for age, duration of working, BMI and respirator use.

It was concluded that adverse respiratory health effects observed among cement workers could not be explained by habit of using respirator, age, BMI, exposure to cement dust, and were probably caused by duration of working and smoking habit with mean levels of respirable dust exposure below PEL. However, correct respirator use still has a major contribution to protect workers from the hazard of dust exposure in the future.

Key words: cement dust, respirator PPE, respiratory symptoms, lung function, CXR.

Pendahuluan

Penggunaan semen sebagai bahan utama pembuatan bangunan di Indonesia tiap tahun terus meningkat. Prevalens penyakit paru akibat pajanan debu semen tentu akan meningkat terutama pada pekerja pabrik semen sehingga dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas kerja. Pengukuran kadar debu semen di lingkungan kerja menjadi sangat penting karena tingkat pajanan mempengaruhi kesehatan paru.2,3 Salah satu usaha pencegahan adalah penggunaan alat pelindung diri (APD) masker selama dalam lingkungan kerja yang bermanfaat melindungi pekerja dari bahaya pajanan debu semen. Diagnosis penyakit paru akibat kerja tidaklah mudah karena

onset yang lama dan tanpa gejala pada awalnya.

Walaupun demikian usaha untuk mencari

kemungkinan ditemukannya kelainan foto toraks dan faal paru harus dijalankan secara terus menerus. Pencegahan yang efektif harus dilakukan melalui program kesehatan dan keselamatan kerja, salah satu sasarannya adalah penggunaan alat pelindung saluran

pernapasan. Masker ternyata belum dapat memberi perlindungan maksimal untuk mencegah gangguan pernapasan akibat debu semen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan menggunakan APD masker dengan gambaran klinis, faal paru dan foto toraks akibat pajanan debu semen.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan pengambilan sampel secara stratified

random sampling dan dilaksanakan pada bulan Oktober 2006-Januari 2007 di pabrik semen PT. X. Subjek yang diteliti dibagi ke dalam 4 kelompok area kerja yaitu area bahan baku, terak, semen dan campuran. Kriteria inklusi adalah tenaga kerja laki-laki usia 30-55 tahun, telah bekerja minimal 10 tahun di pabrik semen tersebut dan bersedia mengikuti

penelitian secara penuhuntuk diwawancara,

dilakukan pemeriksaan fisis, foto toraks dan spirometri dengan menandatangani surat persetujuan

(3)

pada formulir informed consent. Besar sampel yang didapatkan dengan α sebesar 5%, hipotesis dua arah, β sebesar 20% diperoleh besar sampel tiap kelompok sebesar 89. Jumlah sampel untuk 2 kelompok sesuai perhitungan di atas dengan perkiraan drop out 10% adalah 196 orang.

Wawancara atau pengisian kuesioner dilakukan

dengan menggunakan kuesioner berdasarkan

Pneumobile Project Indonesia8 dan British

Occupational Hygiene Society Committee on Hygiene Standards9 ditambah pertanyaan lainnya tentang kebiasaan menggunakan APD masker sehingga didapat karakteristik responden mencakup identitas (umur, pendidikan, masa kerja, tempat kerja, riwayat

pekerjaan), kebiasaan merokok, kebiasaan

menggunakan APD masker serta gejala klinis kelainan paru meliputi batuk kronik, berdahak kronik, sesak napas dan mengi. Pemeriksaan faal paru menggunakan nilai prediksi faal paru

Pneumobile Project Indonesia 19928 dengan parameter yang diukur adalah kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1/KVP. Pemeriksaan foto toraks mengikuti standar dan kriteria ILO yaitu posisi postero-anterior.10

Pengukuran debu di lingkungan kerja dari hasil pengukuran pada lingkungan kerja PT. X pada bulan Januari 2006 menggunakan alat static sampler dan pengukuran debu respirabel individu dilakukan pada saat penelitian ber-langsung.menggunakan alat

personal dust sampler (PDS) dan debu yang ada tertangkap oleh kertas saring polyvinyl chloride (PVC) dengan diameter 37 mm dan ukuran pori-pori 5 mm serta kecepatan aliran 2 liter/menit.

Analisis Data

Semua data yang terkumpul dicatat dan dilakukan editing dan coding untuk kemudian dimasukkan kedalam program komputer Statistical

Package for Social Sciences (SPSS) untuk diolah lebih lanjut. Analisis dilakukan dengan uji kemaknaan Chi-Square, uji Fisher atau

Kolmogorov-Smirnov. Data numerik dianalisis dengan uji kemaknaan uji t tidak berpasangan dan uji

Mann-Whitney. Bila pada uji hipotesis nilai p < 0,05 maka secara statistik bermakna. Pengukuran kekuatan hubungan dilakukan dengan peng-hitungan rasio prevalens.11,12 Analisis multivariat meng-gunakan regresi Cox.12

Hasil

Kelompok yang diteliti adalah pekerja pabrik semen PT.X. Kebanyakan pekerja adalah laki-laki yang berhubungan langsung dengan proses produksi semen dan terbagi menjadi kelompok dengan

kebiasaan baik menggunakan APD sebesar 98 orang dan kebiasaan buruk menggunakan APD sebesar 84 orang. Sebanyak 14 orang tidak diikutkan dalam penelitian ini. Tiga orang menolak ikut serta penelitian, 3 orang dalampenahanan polisi, 2 orang dipindah tugaskan ke Cilacap, 2 orang sulit ditemui karena kesibukannya, 2 orang belum melakukan pemeriksaan foto toraks sampai batas waktu yang ditetapkan dan 2 orang sulit ditemui karena shift kerja yang berubah. Rata-rata usia subjek penelitian 41,65 tahun dengan usia minimum 30 tahun dan maksimum 54 tahun (Gambar 1).

Gambar 1. Distribusi Usia

Pendidikan subjek penelitian paling banyak adalah tingkat pendidikan sedang (SMA) pada 132 orang (72,5%) diikuti tingkat pendidikan rendah (tidak bersekolah, SD sampai SMP) sebanyak 34 orang (18,7%) dan tingkat pen-didikan tinggi (diploma dan sarjana) pada 16 orang (8,8%). Status gizi menunjukkan IMT normal paling banyak didapatkan pada 99 orang (54,4%) diikuti subjek dengan kelebihan berat badan sebanyak 72 orang (39,6%), obesitas pada 8 orang (4,4%) dan hanya 3 orang (1,6%) dengan status gizi kurang. Rerata IMT sebesar 24,72 dengan simpang baku 3,30 dan rentang nilai 24,24 sampai 25,21. Kebiasaan merokok yang terbanyak ditemukan adalah perokok ringan sebanyak 75 orang (41,2%), diikuti perokok sedang 66 orang (36,3%) dan bukan perokok 35 orang (19,2%). Perokok berat hanya didapatkan pada 6 orang (3,3%). Nilai tengah IB didapatkan 147 dengan nilai minimum 0 dan nilai maksimum 840 (Gambar 2). Pajanan Debu

Distribusi subjek penelitian berdasarkan area kerja pa-ling banyak didapatkan pada area kerja terak sebanyak 59 orang (32,4%). Subjek penelitian yang bekerja di area semen berjumlah 53 orang (29,1%) dan subjek yang bekerja di area bahan baku dan campuran masing-masing 35 orang (19,2%).

Lama Kerja 11 28 18.1 21.4 21.4 0 5 10 15 20 25 30 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 Usia (tahun)

(4)

19.2 41.2 36.3 3.3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Bukan perokok Perokok ringan Perokok sedang Perokok berat Kebiasaan merokok 19.3 33.3 26.9 20.5 18.2 18.2 63.6 0 0 10 20 30 40 50 60 70

Bahan baku Terak Semen Campuran

Area kerja

< 3 ≥ 3 Subjek penelitian rata-rata telah bekerja selama

15,1 tahun dengan lama kerja minimal 10 tahun dan maksimal 32 tahun. Subjek penelitian paling banyak telah bekerja selama 10–14 tahun sebanyak 61 orang (33,5%) serta paling sedikit telah bekerja selama 20– 24 tahun dan 30–34 tahun masing-masing sebanyak 14 orang (7,7%).

Gambar 2. Sebaran Kebiasaan Merokok

Kadar Debu

Nilai ambang batas kadar debu total lingkungan yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 mg/m3 sesuai dengan ketetapan Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia10 sedangkan NAB kadar debu respirabel individu yang digunakan adalah 3 mg/m3 berdasarkan National Occupational Health and

Safety Commission (NOHSC).13 Hasil pengukuran kadar debu total lingkungan yang diambil dari data sekunder dengan menggunakan alat static sampler pada beberapa lokasi di tiap area kerja menunjukkan bahwa debu terdapat di hampir seluruh area pabrik dengan rerata kadar debu lingkungan 21,1871 mg/m3, nilai paling rendah 0,055 mg/m3 dan nilai diatas NAB sebesar 492 mg/m3. Kadar debu dengan nilai tengah tertinggi didapatkan pada area proses pembuatan semen sebesar 25,500 mg/m3. Rata-rata kadar pajanan debu respirabel semen terhadap subjek penelitian adalah sebesar 0,4167 mg/m3 dengan kadar pajanan terendah sebesar 0,0000 mg/m3 didapatkan pada semua area kerja dan terdapat seorang responden di area semen dengan kadar pajanan tertinggi diatas NAB sebesar 10,6250 mg/m3 (Tabel 1).

Tabel 1. Kadar Debu Respirabel Sesuai Area Kerja Area kerja Nilai Nilai Nilai

tengah minimum maksimum (mg/m3) (mg/m3) (mg/m3)

Bahan baku 0,6250 0,0000 7,9167

Terak 0,4167 0,0000 5,8333

Semen 0,8333 0,0000 10,6250

Campuran 0,2083 0,0000 2,9167

Pengukuran kadar debu respirabel individu men-dapatkan kadar diatas NAB 3 mg/m3 hanya didapatkan pada 11 orang (6,0%) dan kadar debu respirabel dibawah nilai ambang batas sebanyak 171 orang (94%). Kadar debu respirabel individu yang melebihi NAB didapatkan pada area kerja semen sebesar 63,6% seperti terlihat pada gambar 3.

Gambar 3. Sebaran Area Kerja terhadap NAB

Kebiasaan Menggunakan APD Masker

Sebanyak 98 orang (53,8%) mempunyai

kebiasaan baik menggunakan APD masker

sedangkan 84 orang (46,2%) mempunyai kebiasaan buruk dalam menggunakan APD masker. Subjek penelitian yang tidak dilengkapi filter pada APD maskernya hanya 2 orang (1,1%) dan subjek penelitian yang tidak selalu menggunakan APD masker sebanyak 38 orang (20,9%) sedangkan subjek penelitian yang tidak mema-kai APD masker pada area berdebu sebanyak 82 orang (45,1%).

Prevalensi Kelainan Paru

Kelainan Klinis

Kelainan klinis yang ditemukan pada subjek penelitian di pabrik semen PT. X sebanyak 18 orang (9,9%) dan yang tanpa kelainan klinis sebanyak 164 orang (90,1%). Kelainan klinis yang dialami oleh 18 subjek dapat mempunyai keluhan lebih dari satu namun yang terbanyak adalah dahak kronik 9,3% diikuti batuk kronik 4,4%, sesak napas 3,3% dan mengi 1,6%.

Kelainan Faal Paru

Kelainan faal paru didapatkan pada 56 orang (30,8%) dan 126 orang (69,2%) tidak didapatkan kelainan faal paru. Kelainan faal paru berupa kelainan restriksi saja pada 35 orang (19,2%) dengan perincian 33 orang (18,1%) restriksi ringan dan 2 orang (1,1%) restriksi sedang. Kelainan obstruksi ringan didapatkan pada 15 orang (8,2%) serta kelainan campuran pada 6 orang (3,3%). Kelainan campuran berupa restriksi ringan dan obstruksi ringan, restriksi sedang dan obstruksi ringan serta

(5)

restriksi sedang dan obstruksi sedang yang masing-masing sebanyak 2 orang. Rerata nilai KVP yang didapat adalah 3062,53 ml dengan SB 578,013 dan rentang 2977,99–3147,07 ml. Rerata %KVP 88,653% dengan SB 14,4721 dan rentang 86,537–90,770%. Volume ekspirasi paksa detik pertama didapatkan angka rerata sebesar 2531,92 ml dengan SB 518,897

dan rentang 2456,03–2607,82 ml. Nilai

VEP1/KVP(%) didapatkan nilai tengah 83,55% dengan nilai minimum 45,5% dan maksimum 94,1%.

69.2 18.1 1.1 8.2 3.3 0 10 20 30 40 50 60 70 Normal Restriksi ringan Restriksi sedang Obstruksi ringan Campuran Kelainan faal paru

Gambar 4. Sebaran Kelainan Faal Paru

Kelainan faal paru restriksi sedang didapatkan pada perokok ringan sampai berat, kelainan restriksi ringan ditemukan paling banyak pada perokok ringan. Kelainan obstruksi ringan didapatkan pada perokok ringan sampai sedang sedangkan kelainan obstruksi sedang ditemukan pada perokok sedang. Kelainan Foto Toraks

Kelainan foto toraks didapatkan pada 9 (4,9%) subjek penelitian sedangkan yang tidak ditemukan kelainan foto toraks pada 173 (95,1%) subyek penelitian. Kelainan foto toraks yang ditemukan berupa bercak halus dengan dengan kerapatan 1/0 dan ukuran s/s sesuai kriteria ILO pada 1 subjek (0,5%), corakan bronkovaskular meningkat pada 4 subjek (2,2%), gambaran fibrosis saja didapatkan pada 2 subjek (1,1%) dan fibrosis yang disertai kalsifikasi pada 2 subjek (2,2%).

Hubungan Antara Variabel Bebas dengan Variabel Tergantung

Tabel 2 memperlihatkan kelainan klinis yang didapatkan pada 10 orang (11,9%) dengan kebiasaan buruk menggunakan APD masker dan 8 orang (8,2%) dengan kebiasaan yang baik menggunakan APD masker namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,399).

Kelainan faal paru pada subjek penelitian kelompok yang buruk kebiasaan menggunakan APD masker tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang baik kebiasaan meng-gunakan APD masker (p=0,310). Kelainan foto toraks di-dapatkan pada 2 orang (2,5%) dengan kebiasaan meng-gunakan APD masker yang buruk dan 3 orang (3,2%) dengan kebiasaan menggunakan APD masker yang baik namun secara statistik tidak berbeda bermakna. Hubungan Antara Variabel Perancu dengan Variabel Tergantung

Tabel 3 memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat pendidikan, status gizi, kebiasaan merokok, area kerja dan kadar pajanan debu dengan terjadinya kelainan klinis. Usia dan lama kerja juga tidak berhubungan secara statistik dengan terjadinya kelainan klinis.

Hubungan Antara Variabel Perancu dengan Kelainan Faal Paru

Usia dan lama kerja mempunyai hubungan bermakna secara statistik akan terjadinya kelainan faal paru seperti terlihat pada tabel 4. Tabel 5 memperlihatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan, status gizi, kebiasaan merokok, area kerja dan kadar pajanan debu dengan terjadinya kelainan faal paru.

Hubungan Antara Variabel Perancu dengan Kelainan Foto Toraks

Tabel 6 memperlihatkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat pendidikan, area kerja, dan kadar pajanan debu dengan terjadinya kelainan foto toraks. Usia dan lama kerja juga tidak berhubungan bermakna dengan terjadinya kelainan foto toraks. Status gizi dan kebiasaan merokok mempunyai hubungan bermakna secara statistik dengan terjadinya kelainan foto toraks. Kelebihan berat badan berhubungan bermakna dengan kelainan foto toraks (p=0,022) dan perokok berat mempunyai risiko 11,667 kali (95%IK 1,244-109,457) mendapat kelainan foto toraks.

(6)

Tabel 2. Kebiasaan menggunakan APD masker

Kebiasaan menggunakan Kelainan klinis

APD masker Ada Tidak ada Rasio IK95% p n % n % Prevalensi

Buruk 10 11,9 74 88,1 1,458 0,603 – 3,526 0,399*

Baik 8 8,2 90 91,8

Kelainan faal paru

Buruk 29 34,5 55 65,5 1,253 0,811 – 1,937 0,310*

Baik 27 27,6 71 72,4

Kelainan foto toraks

Buruk 5 6,0 79 94,0 1,458 0,405 – 5,256 0,735#

Baik 4 4,1 94 95,9

#Uji Chi-Square; *Uji Fisher

Tabel 3. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, Area Kerja dan Kadar Pajanan dengan Kelainan Klinis

Kelainan klinis Rasio IK95% p Ada Tidak ada Prevalensi-

n % n %

Tingkat pendidikan

Rendah 6 17,6 28 82,4 Tdd - 0,159*

Sedang 12 9,1 120 90,9 Tdd - 0,364*

Tinggi 0 0 16 100 Rujukan

Status gizi (IMT)

Kurang BB 1 33,3 2 66,7 3,300 0,600-18,151 0,292* Kelebihan BB 5 6,9 67 93,1 0,688 0,246- 1,925 0,471# Obesiti 2 25,0 6 75,0 2,475 0,650- 9,418 0,220* Normal 10 10,1 89 89,9 Rujukan Kebiasaan merokok Perokok ringan 4 5,3 71 94,7 0,467 0,123- 1,758 0,262* Perokok sedang 9 13,6 57 86,4 1,193 0,396- 3,600 1,000* Perokok berat 1 16,7 5 83,3 1,458 0,195-10,916 0,567*

Bukan perokok 4 11,4 31 88,6 Rujukan

Area kerja

Bahan baku 4 11,4 31 88,6 4,000 0,470-34,019 0,356*

Terak 9 15,3 50 84,7 5,339 0,706-40,377 0,085*

Semen 4 7,5 49 92,5 2,642 0,308-22,662 0,644*

Campuran 1 2,9 34 97,1 Rujukan

Kadar Pajanan debu

Pajanan rendah 16 9,4 155 90,6 0,515 0,135-1,961 0,298*

Pajanan tinggi 2 18,2 9 81,8

#Uji Chi-Square; *Uji Fisher, Tdd=tidak dapat dihitung

Tabel 4. Hubungan Antara Usia dan Lama Kerja dengan Kelainan Faal Paru

Kelainan faal paru p

Ada Tidak Ada

Usia 47,54(33-54)# 40,21(30-54) # 0,000^

Lama kerja 23,52(10-32)# 14,99(10-31)# 0,000^

^Uji Mann-Whitney; #Median(nilai minimal-maksimal)

Analisis Multivariat

Dilakukan analisis multivariat terhadap semua hubungan antara variabel yang mempunyai nilai p<0,250 menggunakan analisis regresi Cox. Analisis

multivariat menunjukkan bahwa faktor tingkat pendidikan, status gizi, area kerja dan kebiasaan menggunakan APD masker tidak berhubungan

dengan kelainan

(7)

klinis. Analisis multivariat yang menilai faktor tingkat pendidikan, area kerja, kebiasaan menggunakan APD masker usia dan lama kerja terhadap timbulnya kelainan faal paru menunjukkan bahwa faktor tingkat pendidikan, area kerja, usia dan

kebiasaan menggunakan APD masker tidak

berhubungan dengan kelainan faal paru. Faktor lama kerja berhubungan bermakna dengan kelainan faal paru (p=0,000) dan mempunyai risiko mendapatkan kelainan faal paru setiap 6,6 tahun kenaikan lama kerja.

Analisis multivariat pada faktor usia, lama kerja, status gizi, kebiasaan menggunakan APD masker dan kebiasaan merokok yang mempengaruhi timbulnya kelainan foto toraks menunjukkan bahwa faktor usia, lama kerja, status gizi dan kebiasaan menggunakan APD masker tidak berhubungan secara bermakna dengan kelainan foto toraks. Kebiasaan merokok berhubungan bermakna dengan terjadinya kelainan foto toraks (p=0,039) dengan perokok berat mempunyai risiko 11,667 kali mendapatkan kelainan foto toraks (IK95%1,058-128,662 dan p=0,045).

Diskusi

Pabrik semen PT.X yang berlokasi di Bogor merupakan salah satu pabrik semen terbesar yang ada di Indonesia. Studi potong lintang yang bersifat analitik belum dapat menegakkan hubungan kausal namun masih memungkinkan mencari hubungan fungsional dengan pendekatan studi kasus kontrol. Besarnya tingkat risiko masih dapat diper-kirakan bila dilakukan analisis hubungan statistik dalam asosiasi antara variabel tergantung dan variabel bebas.

Rerata usia subjek penelitian adalah usia 41,65 tahun dengan usia minimum 30 tahun dan maksimum 54 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Laraqui et al4 (41±6 tahun) dan Abrons et al.15 (41 tahun) namun lebih tinggi dibandingkan dengan rerata umur responden pada penelitian Widjaja et al4 (34,3 tahun), Wihastuti et al5 (38,9±8,9 tahun), Alvear-Galindo et al14 (39 tahun) dan Meo et al16 (36,9 [20-60] tahun) serta lebih rendah dibandingkan rerata umur pada penelitian Fordiastiko et al6 (44,9±4,9), Yang et al14 (44 tahun) dan Al-Neaimi et al3 (44,2±9,9 tahun).

Tabel 5. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, Area Kerja dan Kadar Pajanan dengan Kelainan Faal Paru

Kelainan faal paru Rasio Prevalensi IK95% p Ada Tidak ada

n % n %

Tingkat pendidikan

Rendah 14 41,2 20 58,8 2,196 0,734-6,573 0,118#

Sedang 39 29,5 93 70,5 1,576 0,550-4,519 0,558*

Tinggi 3 18,8 13 81,3 Rujukan

Status gizi (IMT)

Kurang BB 1 33,3 2 66,7 1,065 0,209-5,415 1,000* Kelebihan BB 20 27,8 52 72,2 0,887 0,553-1,424 0,618# Obesitas 4 50,0 4 50,0 1,597 0,753-3,387 0,434* Normal 31 31,3 68 68,7 Rujukan Kebiasaan merokok Perokok ringan 23 30,7 52 69,3 1,342 0,668-2,694 0,396# Perokok sedang 22 33,3 44 66,7 1,458 0,726-2,930 0,273# Perokok berat 3 50,0 3 50,0 2,188 0,800-5,978 0,316*

Bukan perokok 8 22,9 27 77,1 Rujukan

Area kerja

Bahan baku 11 31,4 24 68,6 1,000 0,501-1,998 1,000#

Terak 12 20,3 47 79,7 0,647 0,320-1,307 0,227#

Semen 22 41,5 31 58,5 1,321 0,736-2,369 0,339#

Campuran 11 31,4 24 68,6 Rujukan

Kadar pajanan debu

Pajanan rendah 51 29,8 120 70,2 0,656 0,330-1,304 0,317*

Pajanan tinggi 5 45,5 6 54,5

#Uji Chi-Square; *Uji Fisher

(8)

Tabel 6. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, Area Kerja dan Kadar Pajanan dengan kelainan foto toraks

Kelainan foto toraks Rasio Prevalensi IK95% p Ada Tidak ada

n % n %

Tingkat pendidikan

Rendah 2 5,9 32 94,1 Tdd - 1,000*

Sedang 7 5,3 125 94,7 Tdd - 1,000*

Tinggi 0 0 16 100 Rujukan

Status gizi (IMT)

Kurang BB 0 0 3 100 Tdd - 1,000* Kelebihan BB 0 0 72 100 Tdd - 0,022* Obesitas 2 25 6 75 3,536 0,875- 14,290 0,135# Normal 7 7,1 92 92,9 Rujukan Kebiasaan merokok Perokok ringan 1 1,3 74 98,7 0,467 0,030- 7,246 0,537# Perokok sedang 5 7,6 61 92,4 2,652 0,322- 21,817 0,662# Perokok berat 2 33,3 4 66,7 11,667 1,244-109,457 0,051#

Bukan perokok 1 2,9 34 97,1 Rujukan

Area kerja

Bahan baku 1 2,9 34 97,1 0,500 0,047- 5,265 1,000*

Terak 1 1,7 58 98,3 0,297 0,028- 3,153 0,553*

Semen 5 9,4 48 90,6 1,651 0,339- 8,042 0,698*

Campuran 2 25,7 33 94,3 Rujukan

Kadar Pajanan debu

Pajanan rendah 9 5,3 162 94,7 Tdd - 1,000*

Pajanan tinggi 0 0 11 100

#Uji Chi-Square; *Uji Fisher, Tdd=tidak dapat dihitung

Perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan kriteria inklusi, usia pensiun pekerja atau masa beroperasinya pabrik yang berbeda.

Status gizi pasien yang dilihat dari IMT

menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja

mempunyai IMT normal (54,4%) maka dapat dianggap umumnya daya tahan tubuh dan mekanisme perlindungan paru pada umumnya baik. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Wihastuti et al5 dan Fordiastiko et al6 pada pabrik yang sama mendapatkan pekerja dengan IMT normal masing-masing 74,5% dan 55,5%, pekerja dengan kelebihan berat badan 20,2% dan 31,5%, obesitas 2,1% dan 3,1% serta pekerja dengan IMT kurang dari normal hanya 3,2% dan 9,9%. Dari nilai tersebut terlihat penurunan persentase jumlah pekerja IMT normal dan IMT kurang dari normal namun terdapat peningkatan jumlah pekerja yang kelebihan berat badan dan obesitas dibandingkan penelitian terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan pekerja saat ini mendapatkan asupan gizi yang mencukupi disertai kesejahteraan yang semakin meningkat namun kurang diimbangi kegiatan olahraga atau pekerjaan yang dilakukan semakin ringan karena bantuan mesin.

Kebiasaan merokok pada subjek penelitian didapatkan nilai cukup tinggi sebesar 80,8% yang berarti hampir setiap subjek penelitian adalah perokok dengan perincian perokok ringan 41,2%, perokok sedang 36,3% dan perokok berat 3,3%

sedangkan yang bukan perokok hanya 19,2%. Widjaja et al.4 juga mendapatkan prevalens merokok yang cukup tinggi sebesar 66% pada pekerja di pabrik semen yang berbeda. Hasil ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok masih belum bisa dipisahkan dari gaya hidup pekerja sehari-hari.

Subjek penelitian rata-rata telah bekerja selama 15,1 tahun dengan lama kerja minimal 10 tahun dan maksimal 32 tahun. Hasil ini lebih tinggi daripada penelitian Widjaja dkk.4 yang mendapatkan rerata lama kerja 8,9±3,4 tahun dan Hossini et al14 (14±4 tahun). Hasil ini lebih rendah daripada penelitian Fordiastiko et al6 (18,7±3,6 tahun) dan Yang et al14 dengan rerata lama kerja 17 tahun.

Pajanan Debu

Rerata kadar debu total lingkungan sebesar 21,1871 mg/m3 melebihi NAB menurut ketetapan Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia7 namun nilai ini dapat berubah-ubah sesuai kondisi lapangan kerja saat dilakukan pengukuran. Hasil pemeriksaan debu respirabel individu mendapatkan bahwa pajanan debu yang dialami subjek penelitian belum melampaui NAB 3 mg/m3 berdasarkan NOHSC yaitu sebanyak 94% sedangkan hanya 6% yang terpajan debu respirabel >3 mg/m3. Rata-rata nilai pajanan debu respirabel adalah 0,4167 mg/m3 (0,0000-10,6250 mg/m3), hasil ini sedikit lebih rendah dari Abrons et al.15 yang mendapatkan rata-rata kadar debu respirabel 0,57 mg/m3 (0,01-46,22

(9)

mg/m3) pada pabrik di Amerika Serikat Fell et al.16 mendapatkan rerata kadar debu respirabel sebesar 0,91 mg/m3 dan debu total 7,4 mg/m3 pada pabrik di Norwegia. Pengontrolan kadar debu respirabel sampai dengan sekitar 1 mg/m3 dapat melindungi pernapasan terhadap efek debu semen. Nilai yang didapatkan Widjaja et al4 jauh lebih tinggi sebesar 3,17 mg/m3 (2,45-3,89 mg/m3). Mwaiselage et al19 mendapatkan 4 mg/m3 yang mungkin disebabkan peng-gunaan mesin pabrik yang sudah tua selain pengendalian debu pada pabrik tersebut belum maksimal. Pabrik pada penelitian ini dan di Eropa serta Amerika Serikat telah menerapkan strategi pengontrolan debu dengan meng-gunakan mesin dalam ruangan tertutup, ventilasi exhaust lokal, otomatisasi mesin dan perawatan mesin yang lebih baik sehingga dapat mengurangi debu yang beterbangan di udara.19

Pajanan rendah lebih banyak dijumpai pada subjek penelitian mungkin disebabkan semakin baiknya pengontrolan debu di lingkungan kerja dengan tersedianya alat electrostatic precipitator dan pengawasan kebocoran alat sehingga debu yang beterbangan akibat proses produksi dapat lebih diminimalisasi. Hasil penelitian mendapatkan kadar pajanan tinggi didapatkan pada area kerja semen sebesar 63,6% dengan nilai tengah kadar debu respirabel 0,8333 mg/m3, sedangkan daerah dengan kadar pajanan di bawah NAB terbanyak didapatkan pada area terak 33,3%. Hasil ini sesuai dengan yang didapatkan oleh penelitian Abuhaise et al14 yang mendapatkan bahwa kadar debu respirabel tertinggi didapatkan pada area semen 3,9±4,0, di area terak 1,6±2,6 dan area campuran 0,5±2,1. Hal ini dapat dipahami karena pada area semen dihasilkan produk akhir berupa tepung semen yang sangat halus sehingga mudah beterbangan di udara.

Kebiasaan Menggunakan APD Masker

Sebanyak 53,8% subjek penelitian mempunyai

kebiasaan baik menggunakan APD masker

sedangkan 46,2% lainnya mempunyai kebiasaan buruk menggunakan APD masker. Angka ini tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan oleh Widjaja et

al4 yang mendapatkan kebiasaan menggunakan APD kategori baik sebesar 59%, kebiasaan menggunakan

APD kategori sedang 32% dan kebiasaan

menggunakan APD kategori buruk sebesar 9%. Namun parameter yang digunakan berbeda sehingga sulit untuk dibandingkan. Penelitian Wihastuti et al5 dan Fordiastiko et al6 pada pabrik yang sama 9 tahun yang lalu didapatkan kebiasaan yang baik meng-gunakan APD masker masing-masing sebesar 47,5% dan 40,8%. Nilai ini di bawah angka yang didapatkan pada penelitian saat ini (53,8%) sehingga dapat dikatakan terdapat peningkatan kebiasaan yang baik

menggunakan APD masker. Peningkatan ini dapat disebabkan beberapa hal seperti peraturan tentang APD yang semakin ketat, peralatan APD yang semakin baik, pengetahuan pekerja yang semakin meningkat serta dilakukan pengawasan langsung di lapangan.

Kebiasaan buruk menggunakan APD masker pada penelitian ini masih cukup banyak (46,2%) walaupun dibandingkan penelitian Wihastuti et al.5 (52,1%) dan Fordiastiko et al.6 (59,2%) terdapat penurunan. Dalam 4 tahun terakhir ini pabrik semen PT. X menetapkan peraturan cukup ketat tentang APD dengan pemberian sangsi bagi mereka yang tidak mematuhi sehingga diharapkan pekerja selalu mematuhi peraturan yang ada.

Pabrik semen yang menghasilkan berbagai macam polusi udara berpotensi menyebabkan gangguan saluran napas. Alat pelindung diri masker yang sesuai prosedur diwajibkan digunakan pada area berdebu di pabrik semen. Berdasarkan rekomendasi NIOSH20 dan OSHA21 masker dengan filter N95 mampu melindungi pekerja dengan baik terhadap kondisi yang sangat berdebu sekalipun.Pabrik semen PT. X telah menggunakan masker yang sesuai dengan NIOSH yaitu masker debu dengan filter N95 yang melindungi pekerja dari pajanan debu di tempat kerja namun bila pekerja menghadapi zat kimia atau gas lainnya dibutuhkan masker yang berbeda untuk melindungi diri dari zat berbahaya.

Hasil penelitian yang ada mendapatkan bahwa 1,1% subjek penelitian ternyata tidak memiliki masker yang dilengkapi filter bahkan mereka hanya menggunakan kain syal sebagai masker. Hal ini terjadi karena mereka merasa lebih nyaman menggunakan masker kain yang tidak mengganggu gerak mereka saat bekerja selain masker mereka yang ada sudah rusak tetapi belum juga diganti karena belum sempat meminta yang baru di Bagian Keselamatan Kerja. Subjek penelitian yang tidak selalu menggunakan masker didapatkan sebesar 20,9%. Hal ini berarti dari 84 subjek penelitian yang mempunyai kebiasaan buruk menggunakan APD masker hampir seperempatnya tidak selalu meng-gunakannya dengan berbagai macam alasan seperti merasa kegerahan, mengganggu gerak kerja, merasa berada di area yang tidak berdebu secara kasat mata, sudah terbiasa bekerja tanpa masker dan bila terlalu lama memakai masker terasa sesak napas. Subjek penelitian yang tidak memakai masker pada area berdebu sebesar 45,1% dengan alasan mereka hanya sebentar berada di area tersebut, merasa tidak melihat debu secara kasat mata, mengganggu gerakan saat bekerja atau tidak merasa ada debu yang masuk ke hidung.

(10)

Prevalens Kelainan Paru

Lingkungan kerja pabrik semen berpotensi menye-babkan berbagai penyakit akibat kerja. Debu yang terinhalasi dapat menyebabkan kelainan di saluran napas atas, bawah dan bahkan sampai ke parenkim paru22 selain itu debu semen dapat pula menyebabkan kelainan kromosom.23 Keluhan yang timbul bisa berupa batuk produktif, sesak napas, berdahak kronik dan mengi. Hossini et al14 mendapatkan prevalensi gejala pernapasan lebih tinggi sebesar 65% dibandingkan pekerja yang tidak terpajan debu dengan keluhan paling sering didapatkan berupa batuk, berdahak, sesak napas dan rinitis. Hasil Al-Neaimi et al3 sedikit berbeda dengan keluhanyang paling sering adalah batuk (30%) diikuti berdahak (25%), sesak napas (21%) dan mengi (8%). Noor et al14 juga mendapatkan hasil yang berbeda dengan mendapatkan keluhan batuk 25%, diikuti berdahak 24% dan dada terasa berat 19% sedangkan Mengensha et al14 mendapatkan hasil yang sama dengan Al-Neaimi et al3 yaitu keluhan tersering adalah batuk sebesar 30%.

Namun selain debu semen pekerja pabrik semen juga dapat terpajan debu dari materi bahan baku semen seperti debu batu kapur, debu tanah liat, debu silika, debu pasir besi sampai debu terak. Asal materi debu secara pasti yang memajan pekerja pabrik semen belum dapat ditentukan dari penelitian yang sudah ada sehingga belum dapat disingkirkan bahwa kelainan klinis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh materi bahan baku atau produk setengah jadi semen.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Meo et al16 yang mendapatkan kelainan restriksi. Mwaiselage et al17 mendapatkan nilai VEP

1 lebih rendah (82%±15) dibanding kontrol dan VEP1/KVP 0,77±0,1 untuk pekerja yang terpajan juga lebih rendah dari kontrol dan secara statistik berbeda bermakna. Penelitian oleh Al-Neaimi et al3 mendapatkan semua parameter spirometri secara bermakna lebih rendah dibandingkan kontrol. Prevalens kelainan faal paru pada penelitian Wihastuti et al5 dan Fordiastiko et al6 yang lebih rendah dibandingkan penelitian ini setelah 9 tahun kemudian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lama pajanan dengan penurunan faal paru dan hal ini diperkuat hasil analisis multivariat yang mendapatkan hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan kelainan faal paru. Seperti diketahui debu semen portlandTM yang mengandung silika dan kalsium oksida dengan ukuran antara 2-100 mm mempunyai proporsi debu respirabel lebih tinggi dibanding debu total. Debu yang terinhalasi masuk ke dalam saluran napas dan berhasil mencapai alveoli akan mengalami berbagai mekanisme pertahanan

paru baik fisis maupun selular. Debu semen yang bersifat basa dapat mengiritasi epitel saluran pernapasan dan bila pajanan ini berlangsung terus menerus dapat menyebabkan perubahan struktur jaringan saluran napas sampai terjadi fibrosis sehingga terjadi gangguan pengembangan paru dan menyebabkan peningkatan kelainan restriksi.3,20,21

Kelainan foto toraks berupa bercak halus dengan kerapatan 1/0 dan ukuran s/s menurut ILO didapatkan sebesar 0,5%, corakan bronkovaskular yang meningkat 2,2%, gambaran fibrosis saja didapatkan sebesar 1,1% dan fibrosis yang disertai kalsifikasi 2,2%. Hasil yang lebih rendah didapatkan pada penelitian Abrons et al15 yang hanya mendapatkan gambaran bercak halus pada 1% pekerja semen dan 1,6% dengan kelainan pleura.

Kelainan klinis didapatkan paling tinggi pada 11,9% subjek penelitian dengan kebiasaan yang buruk meng-gunakan APD masker dibandingkan dengan kebiasaan yang baik menggunakan APD masker (8,2%) namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,399). Hal ini terjadi mungkin karena manifestasi keluhan klinis yang terjadi cukup sedikit dan umumnya pekerja tidak mengeluh sakit sampai keadaan kelainan parunya makin memburuk selain itu kadar pajanan debu yang memang sudah cukup rendah (0,4167 mg/m3) seperti yang didapatkan pada penelitian di Amerika Serikat18 dan Norwegia.15

Tanpa penggunaan APD, debu akan

menimbulkan efek yang lebih buruk terutama debu respirabel dan silika bebas yang dikandungnya terhadap timbulnya kelainan klinis. Jenis APD yang dipakai saat ini cukup baik untuk digunakan selanjutnya. Kebiasaan yang baik menggunakan APD masker pada pekerja hanya mencapai 53,8% karena itu perlu upaya untuk meningkatkan kesadaran pekerja menggunakan APD dengan lebih sering diberikan induksi atau pengarahan setiap sebelum melakukan pekerjaan rutin.

Tidak didapatkan hubungan bermakna antara kebiasaan menggunakan APD masker dengan kelainan faal paru pada penelitian ini dapat disebabkan beberapa hal seperti pekerja yang awalnya mempunyai kebiasaan menggunakan APD masker yang buruk tetapi setelah diketahui mendapatkan kelainan baik klinis, faal paru atau foto toraks maka pekerja tersebut berubah kebiasaannya menjadi baik sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian. Sebab lainnya adalah seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan pendapatan perusahaan maka manajemen pabrik menambah jumlah alat penghisap debu seperti alat electrostatic

precipitator sehingga yang dulunya lingkungan pabrik sangat berdebu sekali maka saat sekarang jauh berkurang. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengukuran kadar debu respirabel individu kadar

(11)

diatas NAB 3 mg/m3 hanya didapatkan pada 11 orang (6%) dan terbanyak ditemukan kadar debu respirabel dibawah NAB sebanyak 171 orang (94%).

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak didapatkan hubungan antara kebiasaan menggunakan APD masker dengan kelainan klinis, faal paru dan foto toraks akibat pajanan debu semen,

namun kelompok yang buruk kebiasaan

menggunakan masker pada pekerja pabrik semen PT. X menunjukkan kecenderungan penurunan faal paru walaupun secara statistik tidak bermakna.

Penggunaan APD masker dengan filter N95 saat sedang bekerja serta mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok pada pekerja yang terpajan debu semen akan melindungi pekerja dari berkembangnya penyakit pernapasan kronik yang lebih berat di masa yang akan datang. Subjek penelitian yang sudah menunjukkan kelainan faal paru perlu terus dipantau perkembangannya dengan mengukur tingkat pajanan debu dan pemantauan kesehatan secara teratur dan berkesinambungan karena dengan semakin lama bekerja maka semakin meningkat pula risiko perburukan faal paru. Pengawasan lingkungan kerja pabrik dengan mengurangi pajanan debu akibat kebocoran mesin dan melakukanperawatan secara teratur sebelum terjadi kerusakan mesin.

Walaupun tidak didapatkan hubungan antara kebiasaan menggunakan APD masker dengan kelainan klinis, faal paru dan foto toraks, penggunaan APD masker harus tetap digalakkan melalui peran serta team leader, bagian Keselamatan Kerja dan manajemen perusahaan karena penggunan APD masker merupakan usaha paling akhir dalam mengatasi bahaya pajanan debu semen.

Daftar Pustaka

1. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. Dalam: Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B, editor. Pulmonologi klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992.p.205-14.

2. Kusuma HSP. Penyakit akibat kerja sebagai dampak perkembangan industri dan pengaruhnya terhadap produktivitas. Maj Kes Masy Ind 1994;9:570-2.

3. Al-Neaimi YI, Gomes J, Lloyd OL. Respiratory illnesses and ventilatory function among workers at a cement factory in a rapidly developing country. Occup Med 2001; 51:367-73. 4. Widjaja M, Yunus F, Azwar A, Soedirman. Pola penyakit dan

gejala pernapasan pada pekerja pabrik semen PT. Indocement Tunggal Prakarsa. Paru 1994;14: 6-14.

5. Wihastuti R. Prevalensi bronkitis kronik dan asma kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhi pada pekerja pabrik semen. Maj Kedokt Indon 2002;51:241-52.

6. Fosdiastiko. Prevalensi kelainan foto toraks dan penurunan faal paru pekerja di lingkungan kerja pabrik semen. J Respir Indo 2002;22:4-7.

7. Nilai ambang batas debu di udara lingkungan kerja. Surat edaran Menteri Tenaga Kerja no SE-01 tahun 1997 tentang

NAB debu. Badan perencanaan dan pengembangan tenaga kerja. Pusat hiperkes dan keselamatan kerja. Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, 1977.

8. Alsagaff H, Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Bernstein RS, Johnson L. Nilai normal faal paru orang Indonesia pada usia sekolah dan pekerja dewasa berdasarkan rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987. Paru 1992;12:3-18. 9. World Health Organization. Deteksi Dini Penyakit Akibat

Kerja (Early detection of occupational diseases).Alih bahasa: Wijaya C. Jakarta; EGC: 1993.p.1-277.

10. International Labour Organization. Guidelines for the use of the ILO international classification of radiographs of pneumoconioses. Occupational Safety and Health Series 22. Geneva: International Labour Officer, 2000.p.3-38. 11. Ghazali MV, Sastromihardjo S, Soedjarwo SR, Soelaryo T,

Pramulyo H. Studi cross-sectional. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, editor. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2002.p.97-109.

12. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Uji Hipotesis dengan menggunakan SPSS program 12 jam. Jakarta: Arkans; 2005.p.1-142.

13. Tranter M. Occupational hygiene and risk management. Sydney: Allen & Unwin; 2004.p.2-339.

14. Health and Safety Executive (HSE). Portland cement dust. Hazard assessment document. [cited 2006 Jun 3]. Available from: http://www.hse.gov.uk/pubns/eh75/7.pdf

15. Abrons HL, Petersen MR, Sanderson WT, Engelberg AL, Harber P. Chest radiography in portland cement workers. Occup Environ Med 1997;39:1047-54.

16. Meo SA. Health hazards of cement dust. Saudi Med J 2004;25:1153-9.

17. Mwaiselage J, Bratveit M, Moen B, Yost M. Variability in dust exposure in cement factory in Tanzania. Ann Occup Hyg 2005; 49:511-9.

18. Fell AKM, Thomassen TR, Kristensen P, Egeland T, Kongerud J. Respiratory symptoms and ventilatory function in workers exposed to portland cement dust. J Occup Environ Med 2003;45:1008-14.

19. Mwaiselage J, Bratveit M, Moen B. Mashalla Y. Dust exposure and respiratory health effects in the cement industry. IOHA 2005 PILANESBERG: Paper R3-2.p.1-10. 20. Janssen LL. Efficiency and pressure drop effects of high

concentrations of cement dust on N95 electret filters. J Int Soc Respir Prot 2004;21:75-82.

21. Occupational Safety and Health Administration. OSHA pocket guide. Worker safety series. Concrete Manufacturing. OSHA 3221-12N 2004. [cited 2006 Jun 3]. Available from: www.osha.gov.

22. International Labor Organization. Encyclopedia of occupational health and safety volume I, II. New York: McGraw Hill Book Co.; 1983.p.436-9.

23. Becket WS. Occupational and respiratory diseases. N Engl J Med 2000;342:406-13.

24. Oleru UG. Pulmonary function and symptoms of Nigerian workers exposed to cement dust. Environ Res 1984; 33:379-85.

HQ

Gambar

Tabel 1.   Kadar Debu Respirabel Sesuai Area Kerja
Gambar 4. Sebaran Kelainan Faal Paru
Tabel 3. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, Area Kerja dan Kadar Pajanan  dengan Kelainan                   Klinis
Tabel 5. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, Area Kerja dan Kadar Pajanan   dengan Kelainan Faal Paru
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tax avoidance jangka panjang terhadap nilai perusahaan dengan karakter eksekutif sebagai variabel

Menurut Qodri Azizy, selama ini telah terjadi anggapan negatif terhadap pelaksanaan pendidikan agama (Islam) di lembaga pendidikan. Anggapan yang kurang menyenangkan itu

Dengan adanya penambahan variabel mengenai kemiringan lereng, elevasi, dan arah hadap lereng maka proses pengestimasian curah hujan tidak bisa menggunakan metode regresi

Hipotesis dari penelitian ini adalah pembuatan sistem temu kembali informasi (Information Retrieval) dengan cara menentukan objek layanan kesehatan mana yang lebih relevan

Dari hasil penelitian ini sebagian besar mahasiswa mengalami kecemasan yang masih ringan dan dapat diatasi dengan mekanisme koping individu dan strategi koping

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Powers (Tarigan, 1985: 19) yang mengemukakan bahwa salah satu faktor penunjang keberhasilan berbicara seseorang yaitu dengan

cara yang sangat baik untuk mewujudkannya, dan mewakili suatu bentuk dari

Penerapan pengembangan kelompok tani Asgita untuk adopsi penerapan inovasi teknologi Strawberry Asgita Red Ripe di desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung