II.1 Kerangka Teori
Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi
seperti itu. Proposisi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri
atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Adapun
teori dalam penelitian ini adalah :
II.2 Kebijakan Publik
Chandler dan Plano (1988:107) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah
pemanfaatan strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik menurut
Thomas Dye (1981:1) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau
tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not).
Definisi kebijakan publik menurut Thomas Dye tersebut mengandung makna
bahwa : (1) Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan
swasta; (2) Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan oleh badan pemerintah. Sedangkan James E. Anderson (1979:3)
mendefiniskan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh
badan-badan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa bahwa kebijakan publik
dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah. Dalam
pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu
pula pemerintah mengalokasi nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap
kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya ( dikutip Dye,
hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktika-pratika sosial yang ada dalam
masyarakat ( Subarsono, 2009:3 ). Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan
publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya,
suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan
praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Dalam pandangan Ripley (1985:49), tahapan kebijakan publik digambarkan
sebagai berikut :
Bagan 2.1 Proses Kebijakan Publik
Diikuti
Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang diperlukan
yakni ; (1) Membangun persepsi dikalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena
benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh
masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai masalah; (2)
Membuat batasan masalah; dan (3) Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut
dapat masuk dalam agenda pemerintah. Pada tahap formulasi dan legitimasi
kebijakan, analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi
yang berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha
mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan
melakukan negoisasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang terpilih.
Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Pada tahap ini perlu dukungan
sumberdaya, dan penyusunan organisasi pelaksanan kebijakan. Dalam proses
implementasi sering ada mekanisme insentif dan sanksi agar implementasi suatu
kebijakan berjalan dengan baik. Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja
dan dampak kebijakan, dan proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap
implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi
penentuan kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan
datang lebih baik dan berhasil
II.3 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan
dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah
dirumuskan akan sia-sia belaka. Oleh karena itulah impelementasi kebijakan
mempunyai kedudukan yang penting di dalam kebijakan publik. Menurut Robert
Nakamura dan Frank Smallwood (Tangkilisan, 2003:17), hal-hal yang
berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam
keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky
(1984:21), implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan
dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan
untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan
cara untuk mencapainya. Dan menurut Patton dan Sawicki (1986:25) bahwa
implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk
merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk
mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah
diseleksi. Jadi tahap implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan
dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan
memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas
dan dapat diukur.
Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk memengaruhi apa yang
oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau
mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang
sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai
implementor. Dan untuk kebijakan makro usaha-usaha implementasi akan
melibatkan berbagai institusi (Tangkilisan, 2003:18)
Berbagai studi kasus berfokus pada satu kebijakan atau satu aspek sebuah
kebijakan. Mereka memberikan yang kaya akan nuansa yang berakitan dengan
pembuatan kebijakan dan menguji ke dalam nuansa yang mungkin hilang dalam
memfokuskan secara sempit dalam satu isu, sebuah studi kasus tidak bisa
berfungsi sebagai basis untuk generalisasi sederetan luas kebijakan. Studi kasus
implementasi belum secara sistematis mengidentifikasikan atau menganalisis
berbagai faktor yang kritis dalam implementasi kebijakan publik .
Dalam sebuah studi yang berkualitas, Eugene Bardach telah memakai metafora
induk “permainan” untuk mengkaji implementasi. Bardach (Edward III, 1980:1)
memperdebatkan bahwa kerangka kerja permainan yang ia telah kembangkan
menerangi pembuatan keputusan dengan mengarahkan perhatian pada para
pemain (mereka yang terlibat dalam impelementasi), taruhan, strategi dan taktik,
sumberdaya, aturan main dan komunikasinya, serat tingkat ketidakpastian seputar
hasil.
Proses implementasi kebijakan hendaknya melalui alur seperti yang dikemukakan
oleh Dye (1981:70) sebagai berikut :
Bagan 2.2 Kerangka Analisis Kebijakan Publik Public Policy
Public Environment
Sumber : Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, 3 th ed. (Englewood Cliffs, NJ; Pretice Hall, 1981)
Berdasarkan gambar/bagan pemikiran dihubungkan dengan permasalahan yang
diteliti sebagai berikut :
1. Public Policy, merupakan rangkaian pilihan yang harus lebih saling
berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang
dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, diformulasikan di dalam
bidang-bidang isu sejak pertahanan, energi, dan kesehatan sampai
pendidikan, kesejahteraan, dan kejahatan. Pada salah satu bidang isu
tersebut terdapat banyak isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan
pemerintah yang aktual ataupun yang potensial yang mengandung konflik
diantara segmen-segmen yang ada dalam masyarakat.
2. Policy Stakeholder, yaitu para individu dan atau kelompok individu yang
mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh keputusan pemerintah.
3. Policy Environment, yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di
sekeliling isu kebijakan terjadi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
pembuat kebijakan dan kebijakan publik, oleh karena itu sistem kebijakan
berisi proses yang bersifat dialektis, yang berarti bahwa dimensi obyektif
dan subyektif dari pembuatan kebijakan tidak terpisahkan di dalam
prakteknya. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subyektif yang
diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan;
sistem kebijakan adalah realitas objektif yang dimanifestasikan dalam
tindakan-tindakan yang teramati berikut konsekuensinya; para pelaku
kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan.
Input Proses Output Outcomes
1. Input, sumberdaya-sumberdaya yang digunakan sebagai ujung tombak
dalam proses administrasi maupun organisasi pelaksana.
2. Proses, adalah proses interaksi antara aktor yakni antara instansi teknis
sebagai pelaksana dengan pengusaha dan masyarakat.
3. Output, yaitu keluaran yang dihasilkan langsung dari proses kebijakan
tersebut.
4. Outcomes, yaitu hasil yang diharapkan dimana akan memberikan tujuan
kebijakan yang positif kepada pemerintah dan masyarakat sebagai
penerima manfaat.
Pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi kebijakan dimulai dari
sebuah intisari dan menanyakan : Apakah prakondisi untuk implementasi
kebijakan yang sukses? Ada empat faktor atau variabel kritis dalam
mengimplementasikan kebijakan publik menurut George C. Edwards III (1980:
9-12) :
1) Komunikasi
Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya
adalah untuk mengimplementasikan sebuah keputusan harus tahu apa yang
mereka kerjakan. Komando untuk mengimplementasikan kebijakan mesti
ditransmisikan kepada personalia yang tepat, dan kebijakan ini mesti jelas,
2) Sumberdaya
Sumberdaya yang penting meliputi staf ukuran yang tepat dengan keahlian
yang diperlukan; informasi yang relevan dan cukup tentang cara
mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang
terlibat didalam implementasi; kewenangan untuk meyakinkan bahwa
kebijakan ini dilakukan semuanya sebagaimana dimaksudkan; dan
berbagai fasilitas (termasuk bangunan, peralatan, tanah dan persediaan) di
dalamnya atau dengannya harus memberikan pelayanan.
3) Disposisi
Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga di dalam
pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publk. Jika
implementasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti
para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas
untuk melakukan hal ini, melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk
melakukan suatu kebijakan.
4) Struktur Birokrasi
Bahkan jika sumberdaya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah
kebijakan ini ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin
menegerjakannya, impelentasi mungkin masih dicegah karena kekurangan dalam
strukltur birokrasi. Fragmentasi organisasional mungkin merintangi koordinasi
yang perlu untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan
kompleks yang mensyaratkan kerjasama banyak orang, dan mungkin juga
kekacauan, mengarah kepada kebijakan bekerja dalam lintas-tujuan, dan
menghasilkan fungsi-fungsi penting yang terabaikan.
Bagan 2.4 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edward III Komunikasi
Sumber Daya
Implementasi Disposisi
Struktur birokrasi
Dan menurut Merilee S. Grindle (1980:9), keberhasilan implementasi dipengaruhi
oleh dua variabel yaitu :
1. Isi Kebijakan (content of policy)
Variabel isi kebijakan ini mencakup :
a) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi
kebijakan;
b) Jenis manfaat yang diterima oleh target group ;
d) Apakah letak sebuah program sudah tepat;
e) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan
rinci; dan
f) Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
2. Lingkungan Implementasi (context of implementation)
Variabel kebijakan ini mencakup :
a) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh
para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;
b) Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa;
c) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Menurut Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (Subarsono, 2005:99) , ada
enam variabel yang memengaruhi kinerja implementasi, yakni :
1. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.
Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi
dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.
2. Sumberdaya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia
maupun sumberdaya non-manusia.
Dalam banyak program implementasi sebuah program perlu dukungan dan
koordinasi dari instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar
instansi bagi keberhasilan suatu program.
4. Karakteristik Agen Pelaksana
Yang dimaksud dengan karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur
birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi,
yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi itu.
5. Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok
kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik
para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik
yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi
kebijakan.
6. Disposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal penting, yakni : (a) respon
implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk
melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan;
dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni prefensi nilai yang dimiliki oleh
para implementor.
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah
tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan tanah.
Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah
berwenang untuk menggunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi
hak-haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud adalah ditentukan dalam pasal 16
jo pasal 53 UUPA :
1) Hak milik
2) Hak guna usaha
3) Hak guna bangunan
4) Hak pakai
5) Hak sewa
6) Hak membuka tanah
7) Hak memunguti hasil hutan
8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
telah ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hak atas tanah adalah hak yang dimiliki oleh
seseorang untuk memanfaatkan dan mengelola tanah yang dimilikinya atau hak
menguasai.
Pendaftaran tanah merupakan rangkain kegiatan yang terdiri atas (Tehupeiory,
2012 :6-7) :
1) Pengumpulan, pengolahan-penyimpanan, dan penyajian data fisik
bidang-bidang tanah tertentu;
2) Pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data yuridis
tertentu;
3) Penerbitan surat tanda bukti haknya; dan
4) Pencatatan perubahan-perubahan pada data fisik dan data yuridis yang
terjadi kemudian.
Kegiatan pendaftaran tanah yang akan menghasilkan tanda bukti hak atas tanah
yang disebut dengan sertifikat, merupakan realisasi salah satu tujuan UUPA.
Kewajiban untuk melakukan pendaftaran itu, pada prinsipnya dibebankan kepada
pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, daerah demi daerah
berdasarkan pertimbangan ketersediaan peta dasar pendaftaraan
II.5.1 Tujuan Pendaftaran Tanah
Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia dibebankan kepada
pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal yaitu
untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat rechscadaster. Rechascadaster
artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan
haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti
perpajakan. Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi si pemilik, juga
berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya,
Tujuan pendaftaran yang semula menurut Pasal 9 ayat (1) UUPA hanya bertujuan
tunggal semata-mata untuk menjamin kepastian hukum, maka berdasarkan Pasal 3
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dikembangkan tujuan pendaftaran
tanah juga meliputi :
a) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan
mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan;
b) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah yang sudah terdaftar;
c) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dimana setiap
bidang tanah termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas
tanah wajib daftar.
II.6 Sertifikat Hak Atas Tanah
Secara etimologi sertifikat berasal dari bahasa Belanda “certificat” yang artinya
surat bukti atau surat keterangan yang membuktikan tentang sesuatu. Jadi kalau
dikatakan sertifikat tanah adalah surat keterangan yang membuktikan hak
menyatakan bahwa ada seseorang yang memiliki bidang-bidang tanah tertentu dan
pemilikan itu mempunyai bukti yang kuat.
Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah, berisi data
fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan
atau bangunan yang ada diatasnya bila dianggap perlu) dan data yuridis
(keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas
tanah, dan hak-hak pihak lain yang diberada diatasnya).
Sertifikat memberikan berbagai manfaat, misalnya dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya sengketa dengan pihak lain, memperkuat posisi
tawar-menawar apabila hak atas tanah diperlukan hak lain untuk kegiatan pembangunan,
serta mempersingkat proses peralihan serta pembebanan hak atas tanah.
Keberadaan sertifikat tanah diaktifkan dalam kegiatan ekonomi masyarakat,
sehingga bagi yang menggunakannya telah membantu untuk meningkatkan usaha
dalam meningkatkan pendapatan si pemilik tanah sekaligus dapat meningkatkan
tingkat perekonomian secara makro, sebab dia telah mengaktifkan modal yang
diberikan oleh bank. Dengan demikian surat tanda bukti hak atau sertifikat tanah
itu dapat berfungsi menciptakan tertib hukum pertanahan serta mengaktifkan
kegiatan perekonomian rakyat. Sebab yang namanya sertifikat hak adalah tanda
bukti atas tanah yang telah terdaftar dan didaftar oleh badan resmi yang sah
dilakukan oleh Negara atas dasar undang-undang.
Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang LARASITA
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dalam pasal 1 dikatakan bahwa
dalam rangka mendekatkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada masyarakat dikembangkan pola
pengelolaan pertanahan yang disebut dengan LARASITA.
LARASITA merupakan Layanan Rakyat Sertifikasi Atas Tanah. LARASITA
adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang
diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat. Program ini memadukan
teknologi informasi dengan pelayanan petugas BPN dalam bentuk pelayanan
bergerak. Tujuannya adalah untuk menembus daerah-dearah yang sulit dijangkau,
sehingga masyarakat mudah mendapatkan layanan pertanahan tanpa harus
menempuh jarak yang jauh dan biaya yang mahal.
LARASITA merupakan tugas pokok dan fungsi yang ada pada Kantor
Pertanahan. Namun sesuai dengan sifatnya yang bergerak, pelaksanaan tugas
pokok dan fungsi tersebut diperlukan pemberian atau pendelegasian kewenangan
yang diperlukan guna kelancaran pelaksanaan di lapangan. Dengan demikian
LARASITA menjadi mekanisme untuk :
1) Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaruan agraria nasional;
2) Melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang
pertanahan;
4) Melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah yang diindikasi
bermasalah;
5) Memfasilitasi penyelesaian tanah yang bermasalah yang mungkin
diselesaikan dilapangan;
6) Menyambungkan program BPN RI dengan aspirasi yang berkembang
dimasyarakat;
7) Meningkatkan dan mempercepat legalisasi atas tanah
Manfaat program LARASITA adalah :
1. Pelayanan kepada masyarakat lebih dekat
2. Beban biaya masyarakat menjadi lebih ringan
3. Masyarakat langsung dilayani petugas BPN
4. Kepastian pelayanan yang bertanggung jawab
5. Proses lebih cepat
Jenis pelayanan yang dilakukan program LARASITA ini sama saja dengan semua
pelayanan yang BPN lakukan yaitu :
1. Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali
2. Pengakuan dan Penegasan Hak Sporadik
3. Pemecahan Sertipikat
4. Pemisahan Sertipikat
5. Penggabungan Sertipikat
7. Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah
8. Pengukuran Ulang dan Pemetaan Bidang Tanah
9. Peralihan Hak – Hibah
10. Peralihan Hak – Jual Beli
11. Peralihan Hak – Pembagian Hak Bersama
12. Peralihan Hak – Pewarisan
13. Peralihan Hak – Tukar Menukar
14. Peralihan Hak Dari Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik
15. Salinah Warkah / Peta / Surat Ukur
16. Sertipikat Wakaf Untuk Tanah Terdaftar
II.8 Definisi Konsep
Definisi konsep memberi batasan terhadap bahasan dari permasalahan yang
ditentukan oleh peneliti. Adapun definisi konsep dari penelitian ini adalah :
1) Implementasi Kebijakan adalah merupakan rangkaian kegiatan setelah
suatu kebijakan dirumuskan. Adapun model implementasi yang dipakai
pada penelitian ini adalah model implementasi Van Meter dan E. Van
Horn, dimana ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja
hubungan antar organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial,
politik, dan ekonomi dan disposisi implementor.
2) LARASITA (Layanan Rakyat Sertifikasi Atas Tanah) LARASITA adalah
kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang
diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat. Program ini
memadukan teknologi informasi dengan pelayanan petugas BPN dalam
bentuk pelayanan bergerak.
3) Implementasi Program LARASITA (Layanan Rakyat Sertifikasi Atas
Tanah) adalah rangkaian kegiatan kebijakan yang diimplementasikan
untuk
melihat apakah program ini berjalan dengan baik atau tidak.
II.9 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan ini ditulis dalam enam bab, yang terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian.
Bab ini terdiri dari kerangka teori, definisi konsep, dan sistematika
penulisan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini terdiri dari bentuk penulisan, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data dan pengujian keabsahan data.
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan gambaran umum mengenai daerah penelitian yang meliputi
keadaan geografis, kependudukan, sosial, ekonomi dan pemerinmtahan serta
gambaran umum mengenai program.
BAB V PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA
Bab ini membahas tentang hasil data-data yang diperoleh dilapangan dan
merupakan tempat melakukan analisa data yang diperoleh saat penelitian dan
memberikan interpretasi atas permasalahan yang diajukan.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan dan