• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI LAYANAN RAKYAT UNTUK SERTIFIKASI

TANAH (LARASITA)

PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA BINJAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara

Oleh:

NIM. 100903099

IRA RIA PURBA

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan

kepadaku (Filipi 4 : 13).” Segala Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan

Yesus Kristus, untuk kasih karunia-Nya, penyertaan tangan-Nya yang

memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna

memperoleh gelar sarjana sosial departemen Ilmu Administrasi Negara pada

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua

orang tua penulis, Ayahanda Sham Efendi Purba dan Ibunda Nurhaida Saragihyang menjadi motivator penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk doa, kasih sayang, nasehat, kerja keras yang kalian berikan untuk

membesarkan dan mendidik penulis.

Penulis juga banyak memperoleh masukan, bimbingan, nasehat, motivasi

dan doa dari berbagai pihak selama perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan FISIP USU

2. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si selaku Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara.

3. Ibu Dra. Elita Dewi, MSP selaku dosen pembimbing akademik penulis.

4. Ibu Arlina, S.H, M.Hum selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan pemikiran, masukan dan meluangkan waktu untuk

(4)

5. Ibu Khoirun Nisak, SH, M.H selaku koordinator tim LARASITA yang

banyak memberikan masukan, sumbangan pemikiran dan membantu

peneliti selama proses penelitian berlangsung.

6. Kepala kantor, Tim LARASITA dan pegawai Kantor Pertanahan yang

memberikan izin dan membantu peneliti.

7. Terima kasih kepada Sham Hendra Purba, Leonardo Purba, Ira Wicaca E

D Purba, S.E, Raja Ramos Purba untuk dukungan doa, semangat yang

diberikan dan keponakan kecil Gabriel Purba yang selalu membuat

penulis rindu serta seluruh keluarga besar Purba dan Saragih.

8. Zudika Manullang, Ade Auristha Manurung, yang selalu menyemangati

penulis, memperhatikan perjalanan penelitian ini dan tempat berbagi setiap

kesedihan dan sucakita yang dialami oleh peneliti serta Josua Hutabarat

yang selalu mendukung dan membantu peneliti ketika turun lapangan.

Semangat untuk menyelesaikan tugas akhir.

9. Rekan seperjuangan “Batokers”, Christine Batubara, Mariance Hasibuan,

Maulana All Rafi, Susanti Lona, Bobby Gea, David Saputra, Petra

Telaumbanua, Elvina Gulo telah menorehkan warna-warni persahabatan

dan kehangatan keluarga yang terkadang membuat diriku merindukan

saat-saat kebersamaan dengan kalian.

10.KTB Gita Lee-el dan Kelompok Kecil penulis Fidela Adriel Ilmu

Komunikasi 2012, Christa Panggabean, Theresia Purba, Noverini Purba,

(5)

mendukung didalam doa dan mengajarkan penulis bagaimana cara

memahami pribadi orang lain.

11.Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS), Lasron, Qibing, Reina,

Bintang, Visi, Vero, Parjo, Rivai, Andri, Johenro, Siska yang membangun

penulis dari segi wawasan dan menjadikan subjek sadar. Teruslah berjaya.

12.Kak Dian yang membantu proses pengurusan surat

13.Seluruh mahasiswa/i stambuk 2010 yang saling menyemangati dan

mendukung selama proses perkuliahan

14.UKM KMK UP PEMA FISIP yang menjadi wadah bagi penulis untuk

bertumbuh didalam Dia dan memenangkan jiwa bagi Dia. Tetap setia

dalam mengerjakan pelayanan ini.

Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga kasih karunia yang dari pada

Allah melimpah dalam hidup mereka dan membalas setiap kebaikan mereka.

Medan, 14 Juni 2014

Penulis

(6)

ABSTRAK

Implementasi Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA)

Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai

Nama : Ira Ria Purba

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dosen Pembimbing : Arlina, S. H, M.Hum

Sebagai salah satu instansi pemerintahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Untuk mewujudkan hal tersebut, BPN mengeluarkan suatu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 18 Tahun 2009 Tentang LARASITA sebagai salah satu program inovasi untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Program Larasita ini merupakan layanan kantor pertanahan bergerak yang menjemput langsung berkas dari masyarakat yang berdomisili jauh dari Kantor Pertanahan. Dengan tujuan untuk mempermudah masyarakat dalam hal mengurus berkas permohonan pertanahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan program Larasita dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya pada Kantor Pertanahan Kota Binjai dengan variabel komunikasi, sumber daya, disposisi implementor, struktur birokrasi. Teknik penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan wawancara dan observasi. Teknik pengambilan informan penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling. Dimana informan penelitian diperoleh sebanyak 6 orang yang terdiri dari Tim Pelaksana Program Larasita dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Binjai.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Kantor Pertanahan Kota Binjai berupaya menjalankan program larasita dengan baik. Hal ini terlihat dari kinerja tim pelaksana yang menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan mengoptimalkan jumlah staf yang terlibat.

(7)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………1

I.1 Latar Belakang………1

I.2 Fokus Penelitian…...………..6

I.3 Perumusan Masalah………....6

I.4 Tujuan Penelitian………....7

I.5 Manfaat Penelitian………...7

I.6 Kerangka Teori….………...8

I.6.1 Kebijakan Publik……..………...8

I.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik……….8

I.6.1.2.Tahap-tahap kebijakan ………….……..…………..12

I.6.2 Implementasi Kebijakan Publik…...………14

I.6.2.1 Pengertian Implementasi kebijakan ….…………14

I.6.2.2 Aktor-aktor implementasi.……… ………...18

I.6.2.3 Teknik Implementasi Kebijakan………...…………..20

I.6.2.4 Model-Model Implementasi………….……..………22

I.6.2.4.1Model Van Meter dan Van Horn………...23

I.6.2.4.2.Model Implementasi Kebijakan George Edward III………..………...27

I.6.2.4.3Model Merilee S. Grindle (1980)………31

I.6.3 Hak Atas Tanah……….33

I.6.3.1 Defenisi Hak Atas Tanah ………..33

(8)

I.6.3.3. Tujuan Pendaftaran Tanah………...36

I.6.3.4. Asas Pendaftaran Tanah………38

I.6.4 Sertifikat Hak Atas Tanah……….39

I.7 Defenisi Konsep………...40

I.8 Sistematika Penulisan………...42

BAB II METODE PENELITIAN……….…………...………..44

II.1 Bentuk Penelitian….……….44

II.2 Lokasi Penelitian…….………..44

II.3 Informan Penelitan………....45

II.4 Teknik Pengumpulan Data………....46

II.5 Teknik Analisis Data………...47

II.6 Pengujian Keabsahan Data………....49

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN…………..……….50

III.1 Gambaran Umum Pemerintah Kota Binjai…….………..50

III.1.1 Profile Kota Binjai…….…….………...50

III.1.2 Kondisi Umum Kota Binjai…….………..51

III.1.3 Visi dan Misi Kota Binjai……….……….53

III.2 Gambaran Umum Kantor Pertanahan Kota Binjai……….………..54

III.2.1 Sejarah Singkat Kantor Pertanahan Kota Binjai………...54

(9)

III.2.3 Makna Dan Arti Logo Badan Pertanahan Nasional……….57

III.2.4 Struktur Organisasi………...58

III.2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional………….60

III.2.6 Tugas-Tugas Kantor Pertanahan Kota Binjai………...66

III.2.7 Produk-Produk yang dihasilkan Kantor Pertanahan Kota Binjai..67

III.3 Layanan Rakyat Untuk Sertipikasi Tanah (LARASITA)………...68

III.3.1 Pengertian LARASITA………...68

III.3.2 Dasar Hukum LARASITA………..68

III.3.3 Tujuan LARASITA……….69

III.3.4 Mekanisme Pelayanan LARASITA………69

BAB IV PENYAJIAN DATA……….……..………...72

IV.1 Pelaksanaan Wawancara……….72

IV.2 Karakteristik Informan………...73

IV.2.1 Klasifikasi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin……...73

IV.2.2 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Pendidikan………....74

IV.2.3 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Jabatan……...75

IV.3 Deskripsi Hasil Wawancara tentang Implementasi Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA) Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai………..……….76

IV.3.1 Komunikas……….……….76

(10)

IV.3.3 Disposisi Implementor……….…85

IV.3.4 Struktur Birokrasi………...87

IV.4 Kendala dalam Implementasi Program Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) oleh Kantor Pertanahan Kota Binjai………....88

IV.5 Data Sekunder………90

BAB V ANALISIS DATA………...……….92

V.1 Implementasi Program Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai……….…..………….92

V.1.1 Komunikasi……….……….………..93

V.1.2 Sumber Daya……….………96

V.1.3 Disposisi……….………..102

V.1.4 Struktur Birokrasi….………103

V.2 Analisis Hubungan Semua Variabel dalam Implementasi Program Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) Oleh Kantor Pertanahan Kota Binjai……….107

BAB VI PENUTUP………...112

VI.1 Kesimpulan………..………...……….112

VI.2 Saran..………..116

DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kota Binjai Tahun 2009 ………52

Tabel 3.2 Jumlah Pegawai Kantor Pertanahan Kota Binjai……...…………60

Tabel 4.1 Pengklasifikasian infroman berdasarkan jenis kelamin ....……....74

Tabel 4.2 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Pendidikan…………...75

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Dimensi Waktu Output dan Outcomes Kebijakan……….17

Gambar 1.2 Model Implementasi Van Meter dan Horn………...26

Gambar 1.3 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edward III……….31

Gambar 1.4 Model Implementasi Grindle ……….…...32

Gambar 2.1 Lokasi Penelitian Kantor Pertanahan Kota Binjai ………44

Gambar 3.1 Logo Badan Pertanahan Nasional………..57

Gambar 3.2 LARASITA………..70

(13)

ABSTRAK

Implementasi Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA)

Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai

Nama : Ira Ria Purba

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dosen Pembimbing : Arlina, S. H, M.Hum

Sebagai salah satu instansi pemerintahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Untuk mewujudkan hal tersebut, BPN mengeluarkan suatu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 18 Tahun 2009 Tentang LARASITA sebagai salah satu program inovasi untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Program Larasita ini merupakan layanan kantor pertanahan bergerak yang menjemput langsung berkas dari masyarakat yang berdomisili jauh dari Kantor Pertanahan. Dengan tujuan untuk mempermudah masyarakat dalam hal mengurus berkas permohonan pertanahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan program Larasita dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya pada Kantor Pertanahan Kota Binjai dengan variabel komunikasi, sumber daya, disposisi implementor, struktur birokrasi. Teknik penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan wawancara dan observasi. Teknik pengambilan informan penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling. Dimana informan penelitian diperoleh sebanyak 6 orang yang terdiri dari Tim Pelaksana Program Larasita dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Binjai.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Kantor Pertanahan Kota Binjai berupaya menjalankan program larasita dengan baik. Hal ini terlihat dari kinerja tim pelaksana yang menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan mengoptimalkan jumlah staf yang terlibat.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kepemilikan hak atas tanah merupakan hal yang penting bagi seseorang

yang memiliki tanah. Kepemilikan hak atas tanah tersebut ditunjukkan lewat

sertifikat tanah yang diurus di kantor Pertanahan. Sertifikat tanah yang dimaksud

merupakan bukti fisik yang wajib dimiliki oleh pemilik tanah, dan didalam

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 19 ayat 1 dinyatakan bahwa untuk

menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh

wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan

peraturan pemerintah. Oleh karena itu setiap warga negara yang memiliki tanah

diwajibkan untuk mendaftarkan tanah yang ia miliki untuk memperoleh sertifikat

tanah.

Sertifikat berasal dari bahasa Inggris (certificate) yang berarti ijazah atau surat keterangan yang dibuat oleh pejabat tertentu. Dengan adanya pemberian

sertifikat dari pejabat tersebut maka status akan kepemilikan akan sah. Menurut

Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Jo Pasal 1 Angka 20 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 secara eksplisit menyatakan bahwa sertifikat

tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah. Bukti ini digunakan untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti tindakan penyalahgunaan hak

atas tanah oranglain, konflik tanah, status kepemilikan hak atas tanah yang

(15)

Ada beberapa jenis sertifikat tanah yang dapat dimohon di kantor

Pertanahan yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

Hak milik merupakan surat tanda bukti atas kepemilikan tanah oleh seseorang.

Hak milik juga merupakan hak yang paling kuat atas yang memberikan

kewenangan kepada pemiliknya untuk menguasai tanah yang ia miliki. Hak milik

ini dapat diperoleh dengan mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku sesuai

dengan Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 21. Jika kita lihat dari pernyataan

diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa hak milik merupakan bukti kuat

yang dimiliki oleh pemilik tanah untuk memanfaatkan atau mengelola tanah yang

ia miliki dan suatu pernyataan pemenuhan hak atas tanah secara sah kepada

seseorang.

Sebagai Negara hukum, Indonesia sangat menjunjung tinggi yang

namanya keadilan dan perlindungan yang sama terhadap hukum kepada semua

orang. Sama hal nya dengan hukum yang mengatur akan tanah. Setiap tindakan

penyelewengan, konflik atau sengketa tanah akan diproses secara hukum oleh

pihak yang berkewenangan. Seperti yang terjadi dari dulu sampai sekarang ini

begitu banyak kasus sengketa tanah yang melanda Indonesia. Salah satu

contohnya yaitu konflik tanah yang terjadi di Sumatera Utara. Harian Sumut Pos

mencatat bahwa ada sebanyak 2345 kasus sengketa tanah yang belum

terselesaikan dengan beragam seluk beluk permasalahan yang terjadi dan ada

sebanyak 488 kasus yang telah terselesai yang berkaitan dengan penyerobotan dan

(16)

Jikalau diperhatian dari beragam permasalahan tanah yang terjadi,

sertifikat tanah merupakan salah satu faktor yang tidak dapat ditunjukkan. Padahal

sertifikat tanah merupakan hal yang sangat penting yang dapat menghindari

terjadinya sengketa atau konflik tanah. Salah satu penyebab sebahagian

masyarakat tidak memiliki sertifikat tanah yaitu mahalnya biaya pengurusan

sertifikat tanah dan sulitnya menghadapi birokrasi. Birokrasi yang dianggap ribet,

berbelit-belit dan lama yang membuat masyarakat enggan untuk berhadapan

dengan para birokrat.

Selain penyebab yang telah diuraikan tersebut, adanya calo yang tidak

bertanggung jawab dalam pembuatan sertifikat tanah mengakibatkan adanya bukti

fisik berupa sertifikat yang sama yang dimiliki oleh dua orang. Sebagai

dampaknya, jika terjadi kasus sengketa tanah maka sulit untuk diproses. Mafia

tanah yang semakin merajalela juga merupakan penyebab dari terjadinya konflik

tanah selama ini. Dimana mafia tanah dengan sesuka hati melakukan

penyeborotan tanah atas milik oranglain dan menjualnya.

Melihat kondisi yang seperti itu kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)

sebenarnya telah mengeluarkan suatu Peraturan Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Layanan Rakyat Sertifikat Tanah (LARASITA). Dimana LARASITA ini

diterapkan di seluruh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). LARASITA

(17)

proses serta memudahkan masyarakat yang hendak melakukan sertifikasi tanah,

sekaligus mempersingkat pengurusan sertifikat tanah dan memperkecil biaya

pengurusan. LARASITA merupakan program yang pro terhadap masyarakat dan

program yang aktif. Dimana masyarakat tidak diharuskan datang ke kantor untuk

mengurus sertifikat melainkan petugas yang akan menjumpai dan menuntaskan

masalah yang ada. LARASITA juga merupakan salah satu program yang

memanfaatkan teknologi informasi di dalam pelayanan yang diberikan. Dengan

harapan dapat meningkatkan kualitas pelayanan.

Khusus provinsi Sumatera bagian Utara, program ini pertama sekali

dilaksanakan di kota Medan, Pematangsiantar dan kabupaten Deli Serdang. Untuk

Kantor Pertanahan kota Medan sendiri telah melaksanakan program LARASITA

ini sejak tahun 2009. Adapun masalah pertanahan pada saat itu adalah sengketa

dan konflik sebanyak 154 kasus, selesai 36 kasus, perkara 543 kasus dalam proses

lembaga peradilan. Kemudian tuntas sengketa 54 kasus, selesai 40 kasus, sidik

sengketa 8 kasus, proses 6 kasus, sisanya 2 kasus tidak memenuhi unsur.

Pembatalan 6 kasus dalam proses

(http://diskominfo.sumutprov.go.id/berita_isi.php?kodenya=76 diakses pada 20

September 2013, Pukul 16.00 wib). Program LARASITA ini dilaksanakan di

kecamatan Medan Tembung, Medan Perjuangan, Medan Helvetia, Medan

Marelan, Medan Tuntungan, Medan Selayang, Medan Labuhan, Medan Johor,

Medan Denai dan Medan Area.

Seiring berjalannya waktu, program LARASITA tidak hanya berjalan di

(18)

Binjai misalnya, program ini telah dijalankan sejak tahun 2011. Dimana saat itu

kota Binjai yang memiliki luas wilayah sebesar 9.000,026 Ha baru memiliki

sekitar 32% tanah yang bersertifikat. Rendahnya kesadaran masyarakat akan

pentingnya sertifikat tanah merupakan penyebab dari kondisi ini.

(http://medanbisnisdaily.com/news/arsip/read/2011/01/06/13856/bpn_binjai_targe

tkan_800_persil_prona/ diakses pada 2 Februari 2014, Pukul 20.00wib). Lewat

LARASITA ini diharapkan status kepemilikan hak atas tanah masyarakat akan

ditingkatkan dan diperkuat secara hukum.

Sejak diluncurkan program LARASITA ini, Kantor Pertanahan Kota

Binjai sendiri berdasarkan data tahun 2013 yang dilihat dari data Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Nasional Sumut telah merealisasikan program LARASITA

sebanyak 138 dengan beragam pengurusan. Adapun pengurusan tersebut berupa

balik nama, roya, penggabungan sertifikat, permohonan, pembaruan hak, dan

pencatatan hak tanggungan. Sekalipun terealisasi, dalam pelaksanaannya program

ini menghadapi beberapa kendala seperti infrastruktur dan teknologi yang

menunjang kepada kinerja program ini

(http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/03/11/83890/program_larasita_kera

p_terkendala_infrastruktur_dan_teknologi/ diakses pada 4 April 2014, Pukul

17.45 wib).

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti Implementasi

Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA)PadaKantor

(19)

I.2. Fokus Masalah

Dalam penelitian kualitatif, batasan masalah penelitian disebut fokus

masalah. Fokus masalah ditentukan agar ada batasan yang jelas didalam

melaksanakan penelitian. Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian

ini adalah untuk melihat pelaksanaan program LARASITA oleh Kantor

Pertanahan kota Binjai yang merupakan salah satu dari kantor Pertanahan

Nasional yang berada di Sumut yang merealisasikan program LARASITA tanpa

mengikutsertakan masyarakat sebagai informan di dalam penelitian ini. Alasan

peneliti tidak menjadikan masyarakat sebagai informan dalam penelitian ini

karena program yang diteliti mencakup seluruh masyarakat kota Binjai yang

berdomisili jauh dari Kantor Pertanahan yang sulit untuk dijangkau, keterbatasan

dari peneliti untuk mengetahui dan memahami betul daerah kota Binjai dan

keterbatasan dari segi waktu dan jarak tempuh menuju kota Binjai.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan fokus masalah tersebut, maka yang

(20)

I.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui implementasi program Layanan Rakyat Untuk

Sertifikasi Tanah (LARASITA) oleh Kantor Pertanahan Kota Binjai.

2. Untuk mengetahui keberhasilan dan kendala-kendala yang dihadapi dalam

mengimplementasi program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah

(LARASITA) oleh Kantor Pertanahan Kota Binjai.

I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah :

1. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam

melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya ilmiah.

2. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmiah,

referensi bacaan dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai

program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA).

3. Manfaat Praktis

Dengan dilakukannya penilitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai

masukan bagi pemerintah dalam rangka meningkatkan keberhasilan

pengimplementasian program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah

(21)

I.6. Kerangka Teori

Untuk memudahkan peneliti dalam rangka menyusun penelitian ini, maka

perlu menyusun suatu kerangka teori yang dijadikan sebagai pedoman dalam

menjelaskan masalah yang sedang diteliti. Teori adalah serangkaian asumsi,

konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena

sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Adapun

yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini adalah :

I.6.1. Kebijakan Publik

I.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,

maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang

kegiatan tertentu. Sebagai suatu konsep, kebijakan memiliki makna yang luas dan

multi interpretasi. Sebagai contoh, James Anderson dalam (Kusumanegara, 2010

:1) memberi makna kebijakan sebagai perilaku aktor dalam bidang kegiatan

tertentu. Pengertian di atas sangat luas dan bisa diartikan bermacam-macam,

misal, sang “aktor” dapat berupa individu atau organisasi; dapat pemerintah

maupun non pemerintah. Demikian pula istilah “kegiatan tertentu” bisa diartikan

kegiatan administratif, politis, ekonomis, dan lain-lain. Di samping itu, bentuk

kegiatannya pun luas dan multi interpretasi misalnya dapat berupa pencapaian

tujuan, perencanaan, program, dan sebagainya. Dengan demikian studi kebijakan

(22)

mempunyai relevansi dengan sang aktor. Menurut kamus Inggris-Indonesia, kata

public” berarti (1) masyarakat uum, rakyat umum, orang banyak; (2) rakyat (Echlos & Shaldy 1987). Defenisi di atas menggambarkan bahwa kata publik

dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh beberapa kalangan secara berbeda

sesuai dengan keperluan atau kepentingan. Jadi, kebijakan publik merupakan

kebijakan yang dibuat oleh institusi otoritatif yang ditujukan dan berdampak

kepada publik serta ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan publik (Lester

dan Stewart, 2000).

Thomas R. Dye (1981) dalam (Tangkilisan, 2003 : 1) memberikan

pengertian dasar mengenai kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan

maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan Anderson dalam

(Tangkilisan, 2003 : 2) memberikan defenisi kebijakan publik sebagai

kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah,

dimana implikasi dari kebijakan itu adalah:

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai

tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk

dilakukan;

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan

(23)

dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan

sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan

pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Jones (1977) dalam (Tangkilisan, 2003 : 3) menekankan studi kebijakan

publik ini pada 2 (dua) proses, yaitu :

a) Proses-proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu

sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefenisikan masalah

itu, dan bagaimana tindakan pemerintah.

b) Refleksi tentang bagaimana seseorang bereaksi terhadap masalah-masalah,

terhadap kebijakan Negara, dan memecahkannya.

Menurut Charles O. Jones (1997) dalam (Tangkilisan, 2003 : 3) kebijakan terdiri

dari komponen-komponen :

1. Goal atau tujuan yang diinginkan

2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan, 3. Program,yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,

4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program,

5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer

atau sekunder).

Harrold laswell dan Abraham Kaplan dalam Subarsono berpendapat

(24)

sosial yang ada dalam masyarakat. Ini berarti kebijakan publik tidak boleh

bertentangan dengan nilai-nilai dan pratik-pratik social yang ada dalam

masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilia-nilai yang bertentangan dengan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat maka kebijka publik tersebut akan

mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik

harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan pratika-pratika yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat.

Kerangka kerja kebijakan publik akan ditentukan oleh beberapa variabel

sebagai berikut :

1. Tujuan yang akan dicapai. Ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan

dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit

mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya apabila tujua kebijakan semakin

sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya.

2. Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan

kebijakan. Suatu kebijakan yag mengandung berbagai variasi nilai akan

jauh lebih sulit untuk dicapai dibanding dengan suatu kebijakan yang

hanya mengejar suatu nilai,

3. Sumberdaya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan

ditentukan oleh sumberdaya financial, materi, dan infrastruktur lainnya.

4. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas dari

(25)

tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan

intergritas moralnya.

5. Lingkungan yang mencakup lingkungan social, ekonomi,politil, dan

sebagainya. Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks

sosia, ekonomi, politik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.

6. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi yang digunakan

untuk mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi kenerja

suatu kebijakan. Strategi yang digunakan dapat bersifat top down approach

atau buttom up approach, otoriter atau demokratis.

I.6.1.2 Tahap-tahap kebijakan

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena

melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Adapun tahap-tahap

kebijakan publik (Winarno, 2002 : 29) :

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

(26)

1. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda

publik. Sebelum masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk

dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah

mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa lain pembahasan untuk

masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.

2. Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudia dibahas oleh para

pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefenisikan untuk kemudian

dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal

dari berbagai alternatif yang ada.

3. Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para

perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan

tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, consensus

antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4. Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika

program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program

kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus

diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi

(27)

5. Tahap penilaian kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi

untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah dibuat telah mampu

memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk

meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah

yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran

atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan

publik telah meraih dampak yang diinginkan.

I.6.2 Implementasi Kebijakan

I.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Setelah proses legilasi kebijakan selesai, maka kebijakan publik

diimplementasikan. Dalam tahap implementasi, isi kebijakan dan akibat-akibatnya

mungkin akan mengalami modifikasi dan elaborasi bahkan mungkin akan

dinegasikan. Lester dan Stewart (2000) dalam (Kusumanegara , 2010 : 97),

implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum

ditetapkan melalui proses politik. James Anderson (1979) dalam (Kusumanegara ,

2010 : 97) menyatakan bahwa implementasi kebijakan/program merupakan

bagian dari administrative process (proses administrasi). Proses administrasi sebagaimana diistilahkan oleh Anderson, digunakan untuk menunjukkan desain

atau pelaksanaan sistem administrasi yang terjadi setiap saat. Proses administrasi

(28)

Secara lebih luas, implementasi dapat didefenisikan sebagai proses

administrasi dari hukum (statua) yang didalamnya, tercakup keterlibatan berbagai

macam aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang dilakukan agar kebijakan

yang telah ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya tujuan kebijakan.

Implementasi kebijakan merupakan kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan.

Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan

sia-sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan mempunyai kedudukan

yang penting di dalam kebijakan publik.

Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980) dalam

(Tangkilisan, 2003 : 17), hal-hal yang berhubungan dengan implementasi

kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudia

menerjemahkan ke dalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan

menurut Pressman dan Wildavsky (1984) dalam (Tangkilisan, 2003 : 17),

implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan

sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk

menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara

untuk mencapainya.

Jones (1977) dalam (Tangkilisan, 2003 : 17) menganalisis masalah

pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan

fungsional. Jones (1977) mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi

pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian

(29)

implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus

menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan

demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada

penempatan suatu progam ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan

adalah :

1. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

2. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan

3. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.

Implementasi kebijakan menunjuk aktivitas menjalankan kebijakan dalam

ranah senyatanya, baik yang dilakukan oleh organ pemerintah maupun para pihak

yang telah ditentukan dalam kebijakan. Implementasi kebijakan sendiri biasanya

ada yang disebut sebagai pihak implementor, dan kelompok sasaran. Implementor

kebijakan adalah mereka yang secara resmi diakui sebagai individu/lembaga yang

bertanggung jawab atas pelaksanaan program di lapangan. Kelompok sasaran

adalah menunjuk para pihak yang dijadikan sebagai objek kebijakan.

Implementasi kebijakan adalah tahap yang penting dalam kebijakan.

Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemenrintah

(30)

seperti yang telah direncanakan. Output adalah keluaran kebijakan yang

diharapkan dapat muncul sebagai keluaran langsung kebijakan. Output biasanya

dapat dilihat dalam waktu yang singkar pasca implementasi kebijakan. Outcomes

adalah dampak dari kebijakan, yang diharapkan dapat timbul setelah keluarnya

ouptu kebijakan. Outcomes biasanya diukur setelah keluarnya ouput atau dalam

waktu yang lama pasca implementasi kebijakan.

Gambar 1.1 Dimensi Waktu Output dan Outcomes Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Jangka Pendek

Output Kebijakan

Jangka Panjang

(31)

I.6.2.2 Aktor-Aktor Implementasi

Dalam tahapan implementasi terdapat berbagai aktor yang terlibat. Mereka

bisa berasal dari kalangan pemerintah maupun masyarakat, dan didentifikasikan

berasal dari kalangan birokrasi, legislatif, lembaga peradilan, kelompok-kelompok

penekan, dan organisasi-organisasi komunitas (Anderson, 1979; Lester dan

Stewart, 2000).

Birokrasi

Pada umumnya birokrasi dipandang sebagai agen administrasi

yang paling bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan. Pandangan

ini berlaku untuk implementasi kebijakan negara maju dan negara yang

sedang berkembang (NSB). Birokrasi mempunyai wewenang yang besar

untuk sepenuhnya menguasai “area” implementasi kebijakan dalam

wilayah operasinya karena mereka mendapat mandat dari lembaga

legislatif.

Peran birokrasi yang dominan dalam “area” implementasi cukup

menjadikannya sebagai aktor yang powerfull. Karena kekuatan birokrasi atas diskresi kebijakan tanpa disertai dengan kontrol eksternal yang

memadai menyebabkan birokrasi kuat pula secara politik.

Badan Legislatif

Walaupun birokrasi merupakan aktor utama dalam implementasi

kebijakan publik, sejumlah aktor lain dan lembaga juga terlibat di dalam prosesnya. Aktor selain birokrasi adalah legislatif maupun lainnya

(32)

(Kusumanegara, 2003 : 103) bahwa para legislator mempengaruhi

administrasi dalam berbagai cara. Semakin mendetail legilasi yang dibuat,

akan semakin terbatas ruang gerak yang dimiliki agen-agen administrasi.

Lembaga Peradilan

Di samping legislatif, lembaga peradilan juga merupakan aktor

dalam implementasi kebijakan. Lembaga peradilan merupakan cabang

yudisial yang menangani hukum publik. Namun lembaga peradilan dapat

terlibatt dalam implementasi kebijakan ketika muncul tuntutan masyarakat

atas kebijakan tertentu yang implementasinya dianggap merugikan

masyarakat sehingga menjadi perkara hukum. Menanggapi tuntutan

tersebut,lembaga peradilan dapat merevisi ketentuan-ketentuan

implementasi agar tidak merugikan masyarakat. Yang terpenting dari

peranan lembaga ini adalah pengaruhnya dalam menginterpretasikan UU,

peraturan-peraturan dan cara pengaturan administrasi yang telah atau

sedang dilaksanakan.

Kelompok Kepentingan / Penekan

Aktor lainnya yang berperan dalam implementasi adalah

kelompok-kelompok penekan (pressure groups). Karena dalam implementasi berbagai diskresi banyak dilakukan oleh birokrasi, maka

banyak kelompok-kelompok kepentingan yang ada di masyarakat

berusaha mempengaruhi berbagai peraturan implementasi seperti pedoman

(33)

dimaksudkan agar mereka memperoleh keuntungan dengan adanya

implementasi program tertentu.

Organisasi Komunitas

Lembaga lain yang sering terlibat dalam implementasi kebijakan

adalah organisasi-organisasi komunitas. Banyak program-program yang

dirancang untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan politik yang berlabel

pro pembangunan masyarakat (community development). Dengan sendirinya masyarakat baik secara individual maupun kelompok terlibat

dalam implementasi program itu baik sebagai obyek dan atau seubyek

program.

I.6.2.3 Teknik Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan memerlukan perangkat yang digunakan untuk

mengetahui kesesuaian pelaksanaan suatu program dengan kebijakan publik yang

menjadi acuannya. Lester dan Stewart (2000) dalam (Kusumanegara, 2003 : 108)

menyatakan bahwa perdebatan yang muncul tentang persoalan implementasi

kebijakan publik mengarah pada dua pendekatan, yaitu pendekatan command and control dan pendekatan economic incentive (market). Pendekatan command and control menyertakan mekanisme yang Nampak koersif untuk menyelaraskan pelaksanaan dengan kebijakan acuan. Mekanisme tersebut misalnya rancangan

baku, inspeksi, dan pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran. Sedangkan

(34)

Pendekatan command and control dianggap para penentangnya terlalu kaku, mengabaikan inisiatif dan inovasi dalam pencapaian tujuan kebijakan, dan

menyia-nyiakan sumberdaya masyarakat. Para penganut pendekatan economic incentive berpandangan bahwa sebaiknya par individu diberikan ruang yang cukup untuk membuat keputusan sendiri, mempunyai kebebasan dan kerelaan

bertindak untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan biaya sosial serendah

mungkin.

Selain pendekatan yang disebutkan diatas ada juga pendekatan compliance

dan what happen. Pendekatan compliance (kepatuhan) adalah mengkaji implementasi kebijakan dalam ranah kepatuhan para aktor implementasi

kebijakan terhadap hal-hal yang telah ditetapkan dalam guidelines kebijakan.

Kajian ini mendapatkan kritik karena terlalu menyederhanakan masalah. Masalah

kebijakan dilihat sangat hitam putihdan positivistik. Jika ada kriteria yang

tercantum dalam guideline kebijakan tidak dilakukan maka dengan mudah

implementasi kebijakan telah gagal secara proses. Temuan-temuan yang berharga

dalam kajian implementasi kebijakan kemudian teramar sulit ditemukan, karena

dari awal sudah membatasi diri pada kajian kepatuhan guideline kebijakan dengan

yang terjadi di ranah nyata. Meskipun demikian pendekatan kepatuhan yang

sering disebut juga pendekatan top down ini memberi pesan pentingnya kepatuhan

implementor terhadap sektor administrasi kebijakan. Logika sederhananya adalah

bagaimana mungkin sebuah kebijakan akan berjalan dengan baik jika

(35)

Pendekatan kedua adalah pendekatan what happen atau sering disebut juga

pendekatan bottom up. Pendekatan ini menginginkan adanya pengungkapan

kejadian-kejadian dalam ranah implementasi kebijakan yang terjadi di lapangan

secara jujur dan terbuka.

I.6.2.4 Model-Model Implementasi

Pada prinsipnya terdapat dua pemilahan jenis teknik atau model

implementasi kebijakan. Pemilahan pertama adalah implementasi kebijakan yang

berpola “dari atas ke bawah” (top-bottomer) versus kebijakan yag berpola “bawah ke atas” (bottom-topper), dan pemilahan implementasi yang berpola paksa (command-and-control) dan mekanisme pasar (economic incentive). Model-model implementasi kebijakan dapat dipetakan sebagai berikut :

Model mekanisme paksa adalah model yang mengedepankan arti penting

lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli di atas

mekanisme paksa di dalam Negara dimana tidak ada mekanisme insentif bagi

yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau

melanggarnya. Secara sistematis model ini dapat disebut sebagai “Zero-Minus

model”, dimana yang ada hanya nilai “nol” dan “minus” saja. Model “top-down”

mudahnya berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana

partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya “bottom-up” bermakna meski

kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Berikut

(36)

1. Model Van Meter dan Van Horn

Van Meter dan Van Horn dalam (Winarno, 2002 :109-118) menawarkan

suatu model yang mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan

(lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Model ini tidak hanya menentukan kepentingan-kepentingan , tetapi juga

menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas.

Variabel-variabel tersebut adalah :

a) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap

faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Menurut Van

Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian

merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi

kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah

direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna

didalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara

menyeluruh.

b) Sumber-sumber kebijakan

Disamping ukuran-ukuran dasar dan sasaran-sasaran kebijakan,

yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi

kebijakan adalah sumber-sumber yang tersedia. Sumber-sumber

layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan

(37)

mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan

tujuan-tujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab

dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian, sangat penting

untuk member perhatian yang besar kepada kejelasan

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan implementasi, ketepatan

komunikasinya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau

keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang

dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi.

d) Karakteristik badan-badan pelaksana

Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik,

norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang

dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik

potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan

menjalankan kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengetengahkan

beberapa unsure yang mungkin berpengaruh terhadap suatu

organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan :

1) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

2) Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap

keputusan-keputusan subunit dan proses-proses dalam badan-badan

(38)

3) Sumber-suber politik suatu organisasi (misalnya dukungan

di antara anggota legislatif dan eksekutif);

4) Vitalisasi suatu organisasi;

5) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang

didefenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontal

dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang

secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan

individu-individu di luar organisasi;

6) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan

“pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”.

e) Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik

Berikut mengenai lingkungan ekonomi, sosial dan politik yang

mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu

dilaksanakan :

1) Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau

organisasi pelaksana cukup mendukung implementasi yang

berhasil?

2) Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan

sosial yang berlaku akan dipengaruhi oleh implementasi

kebijakan yang bersangkutan?

3) Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu

(39)

4) Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi

kebijakan?

5) Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi

pelaksana; apakah ada oposisi atau dukungan pengikut bagi

kebijakan?

6) Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta

dimobilisasi untuk mendukung atau menentang kebijakan.

f) Kecenderungan pelaksana (implementors)

Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan satu hal yang

penting. Implementasi kebijakan berhasil harus diikuti oleh

kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh.

(40)

2. Model Implementasi Kebijakan George Edward III

Menurut Edward dalam (Winarno, 2002 : 125), studi implementasi

kebijakan adalah krusial bagi public administrasion dan public policy.

Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan dan

konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya.

Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang

merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin

mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan

sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga

akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang

diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan

mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : Prakondisi-prakondisi apa yang

diperlukan sehingga suatu implementasi berhasil? Dan

hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal?

Edwards berusaha menjawab dua buah pertanyaan penting ini dengan

membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi

kebijakan publik. Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut adalah

komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah

laku-tingkah laku dan struktur birokrasi.

Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh

terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi

(41)

maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan

kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut sekaligus. Ada

empat variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik yaitu :

1) Komunikasi

Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses

komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsisitensi dan kejelasan

(clarity). Menurut Edwards, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang

melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan , keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah

harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum

keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Jika

kebijakan-kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya, maka

petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus dipahami,

melainkan juga petunjuk-petunjuk itu harus jelas. Jika petunjuk–

petunjuk pelaksanaan itu tidak jelas, maka para pelaksana

(implementers) akan mengalami kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan. Aspek lain dari komunikasi menyangkut

petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi.

Selain itu, faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi

kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat

mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa

(42)

pelaksanaanya telah dikeluarkan dan faktor terakhir adalah

kejelasan.

2) Sumber-sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat,

jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan

sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan,

maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif.

Sumber-sumber yang penting meliputi : staf yang memadai serta

keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,

wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk

menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan

pelayanan-pelayanan publik. Barangkali sumber yang paling

penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Ada satu hal

yang harus diingat bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek

positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah

staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi

yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang

dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf, namun disisi

yang lain kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan yang

pelik menyangkut implementasi kebijakan yang efektif.

3) Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor

(43)

implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap

baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya

dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan

sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.

4) Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan

secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Menurut

Edwards ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakn

prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai

Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu

yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan

tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang

kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat

menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang yang dipindahkan

dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan

(44)

Gambar 1.3 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edward III

Sumberdaya

implementasi

3. Model Merilee S. Grindle (1980)

Model Grindle dalam (Nugroho, 2008 : 174) ditentukan oleh isi kebijakan

dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah

kebijakan ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan.

Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup :

1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan,

2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan,

3) Derajat perubahan yang diinginkan,

4) Kedudukan pembuat kebijakan,

Komunikasi

Disposisi

(45)

6) Sumber daya yang dikerahkan.

Sementara itu konteks implementasinya adalah :

1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2) Karakteristik lembaga dan penguasa

3) Kepatuhan dan daya tanggap.

Gambar 1.4 Model Implementasi Grindle

Tujuan kebijakan

1. Kepentingan yang dipengaruhi

2. Tipe manfaat

3. Derajat perubahan yang diharapkan

4. Letak pengambilan keputusan

Hasil kebijakan a. Dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok

(46)

1.6.3 Hak Atas Tanah

1.6.3.1 Defenisi Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang

haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang

dihakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas

tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan (non-pertanian), sedangkan

perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu

digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk

kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Hak atas tanah

bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah dapat diberikan kepada

perseorangan baik warga Negara Indonesia maupun warga Negara asing,

sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum

privat maupun badan hukum publik (Santoso, 2005 : 82-83).

Menurut Soedikno Mertokusumo dalam (Santoso,2005 : 87-89),

wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi

menjadi yaitu :

1. Wewenang umum

Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai

wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air

dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang

(47)

menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4

ayat (2) UUPA).

2. Wewenang khusus

Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai

wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas

tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk

kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah

Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan

mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada

tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan

perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.

Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi

wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya. Hak atas

tanah terdiri dari (Tehupeiory, 2012 : 21) :

1. Hak atas tanah orisinil atau primer

Adalah hak atas tanah yang bersumber pada hak bangsa Indonesia dan yang

diberikan oleh negra dengan cara memperolehnya melalui permohonan hak.

Hak atas tanah yang termasuk hak primer adalah :

a) Hak Milik

b) Hak Guna Bangunan

(48)

d) Hak Pakai

2. Hak atas tanah derivatif atau sekunder

Adalah hak atas tanah yang tidak langsung bersumber kepada hak bangsa

Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara memperolehnya melalui

perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dan calo pemegang hak yang

bersangkutan. Hak atas tanah yang termasuk dalam hal ini, yaitu :

a) Hak Guna Bangunan

b) Hak Pakai

c) Hak Sewa

d) Hak Usaha Bagi Hasil

e) Hak Gadai

f) Hak Menumpang

Jadi, dapat disimpulkan bahwa hak atas tanah adalah hak yang dimiliki oleh

seseorang untuk memanfaatkan dan mengelola tanah yang dimilikinya atau hak

menguasai.

1.6.3.2. Pendaftaran Tanah

Pendaftaran berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda kadaster) suatu

istilah teknis untuk suatu record (rekaman) menunjuk kepada luas, nilai dan

kemilikan misalnya atas sebidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin

(49)

Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri atas

(Tehupeiory, 2012 : 6-7) :

1. Pengumpulan, pengolahan,penyimpanan, dan penyajian data fisik

bidang-bidang tanah tertentu;

2. Pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data yuridis tertentu;

3. Penerbitan surat tanda bukti haknya; dan

4. Pencatatan perubahan-perubahan pada data fisik dan data yuridis yang terjadi

kemudian.

Pendaftaran tanah dikatakan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan

secara terus-menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan-keterangan

tertentu mengenai tanah-tanah tertentu, yang ada di wilayah-wilayah tertentu

dengan tujuan tertentu untuk kemudian diproses/diolah, disimpan, dan disajikan

dalam rangka memenuhi tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah tersebut.

1.6.3.3. Tujuan Pendaftaran Tanah

Kegiatan pendaftaran tanah mempunyai tujuan, yaitu untuk menjamin

kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Hal ini dilakukan bagi kepentingan

pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan bahwa dialah

yang berhak atas suatu bidang tanah tertentu, melalui pemberian Sertifikat Hak

(50)

Selanjutnya, bagi pihak-pihak yang berkepentingan (calon pembeli/calon

kreditur) agar mereka dengan mudah memperoleh keterangan yang diperlukan.

Dengan dinyatakan data fisik dan data yuridis yang disajikan di Kantor

Pertanahan yang berlaku terbuka bagi umum dimana keterangan diberikan dalam

bentuk Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT).

Kepastian hukum yang dimaksud dalam kegiatan pendaftaran tanah di atas

antara lain :

1. Kepastian hukum mengenai orang atau badan yang menjadi pemegang hak

(Subjek hak) ;

2. Kepastian hukum mengenai lokasi, batas, serta luas suatu bidang tanah hak

(Subjek Hak) ; dan

3. Kepastian hukum mengenai haknya.

Melihat pendaftaran tanah ditinjau dari tujuannya dapat dikatakan sebagai

berikut :

1. Fiscal cadastre, yaitu pendaftaran tanah dalam rangka pemungutan pajak tanah

Contoh : Pajak Bumi atau Landrente, Verponding Indonesia, Verponding

Eropa, IPEDA, PBB.

2. Legal cadastre atau rechts kadaster, yaitu pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah.

(51)

a. Letak, batas, dan luas tanah;

b. Status tanah dan orang yang berhak atas tanah; dan

c. Pemberian surat berupa sertifikat.

I.6.3.4. Asas Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan (Tehupeiory, 2012 : 9-11):

1. Asas sederhana

Untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan dengan

teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian

hukum sesuai dengan tujuannya.

2. Asas terjangkau

Agar pihak-pihak yang memerlukan, terutama golongan ekonomi lemah dapat

terjangkau pemberian pelayanan pendaftaran tanah.

3. Asas mutakhir

Kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaan dan berkesinambungan

pemeliharaan data pendaftaran tanah. Data yang tersedia harus menunjukkan

keadaan mutakhir, sehingga perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan

perubahan-perubahan yang terjadi. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data

pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga data

(52)

4. Asas keterbukaan

Agar masyarakat dapat memperoleh keterangan dalam hal penyelenggaraan

pendaftaran tanah mengenai data yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan.

Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, maka kepada

pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.

Sementara itu, untuk melaksanakan fungsi informasi data yang berkaitan dengan

aspek fisik dan yuridis dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, terbuka

untuk umum.

1.6.4 Sertifikat Hak Atas Tanah

Secara umum sertifikat hak atas tanah merupakan bukti hak atas tanah.

Sertifikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas

bidang tanah tertentu. Untuk membuktikan tersebut dibutuhkan data fisik dan

data yuridis yang termuat dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan

dalam perspektif konseptual. Data fisik yang dimaksud mencakup keterangan

mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan

mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta

beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan data yuridis dalam buku

tanah ukur disajikan dalam peta dan uraian. Dalam surat ukur dicantukan keadaan,

letak, luas, dan batas tanah yang bersangkutan.

Jikalau dilihat dari perspektif hukum tata usaha Negara, sertifikat hak atas

(53)

1. Keputusan Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara

2. Maksud isi tukisan sertifikat intinya berisi jenis hak (misal hak milik atau hak

guna bangunan), lokasi/alamat tanah, luas tanah, batas tanah, nomor sertifikat,

surat ukut,, dan nomor surat dan sebagainya.

3. Tulisan itu ditujukan kepada orang, sekumpulan orang atau badan hukum

sebagai pemegang hak atas tanah.

Sertifikat hak atas tanah merupakan keputusan Tata Usaha Negara yang

bersifat konstiutif, yang merupakan alat bukti mutlak lahirnya hubungan hukum.

Oleh karena itu, dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konstiutif ini

akan menciptakan hubungan hukum. Dalam kaitannya dengan hal ini, sertifikat

hak atas tanah memberikan hubungan hukum untuk menggunakan dan

memanfaatkan tanah untuk berbagai kepentingan termasuk kepentingan dengan

pihak lain.

I.7. Definisi Konsep

Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas

dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau

individu tertentu. Peranan konsep dalam penelitian sangat besar karena

menghubungkan dunia teori dan dunia observasi, antara abstraksi dan realitas.

Dengan adanya konsep akan memberikan batasan terhadap pembahasan dari

permasalahan yang ditentukan oleh peneliti. Adapun defenisi konsep dari

(54)

1. Kebijakan publik adalah proses untuk merumuskan suatu permasalah

sosial yang dianggap mendapat perhatian besar untuk diambil suatu

tindakan dalam mengatasinya.

2. Implementasi kebijakan adalah proses atau suatu tindakan untuk melihat

atau menilai suatu kebijakan atau program apakah berjalan sesuai dengan

sasaran yang telah ditentukan atau tidak. Teori implementasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah model teori implementasi George

Edward III, dengan empat faktor yang mempengaruhi implementasi yaitu :

a. Komunikasi yaitu penyampaian tentang kebijakan yang dibuat kepada

implementor agar kebijakan yang dibuat benar-benar dipahami.

b. Sumber daya yaitu faktor penunjang keberhasilan dari terlaksananya

suatu kebijakan / program. Sumber daya yang dimaksud terdiri dari

sumber daya manusia dan sumber daya finansial.

c. Kecenderungan-kecenderungan atau disposisi yaitu kharakteristik atau

sikap yang dimiliki oleh implementor terhadap kebijakan yang diambil

atau diputuskan.

d. Struktur Birokrasi yaitu susunan atau aturan yang ada terkait birokrasi

atau badan pelaksana dari suatu kebijakan / program untuk mengetahui

(55)

I.8. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan ini ditulis dalam enam bab, yang

terdiri dari:

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang, fokus masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,

defenisi konsep, dan sistematika penulisan

BAB 2 METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini terdiri dari bentuk penulisan, lokasi penelitian, informan

penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan

pengujian keabsahan data.

BAB 3 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum mengenai daerah penelitian yang

meliputi keadaan geografis, kependudukan, sosial, ekonomi dan

pemerintahan serta gambaran umum mengenai program.

BAB 4 PENYAJIAN DATA

Bab ini membahas tentang hasil data-data yang diperoleh di

(56)

BAB 5 ANALISIS DATA

Bab ini merupakan tempat melakukan analisa data yang diperoleh

saat penelitian dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang

diajukan

BAB 6 PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang

dilakukan dan saran-saran yang dianggap perlu sebagai rekomendasi

(57)

BAB II

METODE PENELITIAN

II.1. Bentuk Penelitian

Bentuk yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang

mengemukakan gejala/keadaan/peristiwa/masalah sebagaimana adanya secara

lengkap dan diikuti dengan pemberian analisa dan interpretasi.

II.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pertanahan Kota Binjai yang terletak

di Jl. Samanhudi No.14 Kota Binjai.

(58)

II.3. Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari

hasil penelitiannya. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal

adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus

penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang

akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.

Informan dalam penelitian meliputi beberapa macam, seperti : informan kunci

(Key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian dan informan utama, yaitu mereka yang

terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menentukan informan dengan

menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan informan secara sengaja dan informan yang digunakan adalah mereka yang benar-benar paham

mengenai permasalah yang akan diteliti. Adapun informan dalam penelitian

adalah :

1. Informan kunci yang berjumlah satu orang yaitu penanggung jawab

pelaksanaan program larasita yaitu Khoirun Nisak, SH, MH (Kasi

Pengendalian dan Pemberdayaan).

2. Informan utama adalah pegawai kantor pertanahan yang mengetahui

program larasita yaitu :

a. Drs. Rasmon Sinamo ; Kepala Kantor Pertanahan Kota Binjai

b. Mufrida Lubis ; Kasubsi Pemberdayaan Masyarakat

(59)

d. Elfazahra Suardi ; Staf Pengukuran

e. Tomy Surya Pradita ; Tenaga honorer yang terlibat dalam program

LARASITA

II.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini diperlukan data atau keterangan dan informasi. Untuk

itu peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai

berikut :

1. Teknik pengumpulan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung ke

lokasi penelitian untuk mencari data yang lengkap dan berkaitan dengan

masalah yang diteliti. Pengumpulan data primer dilakukan melalui :

a. Wawancara secara mendalam (In-depth Interview), yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara

langsung dan mendalam untuk memperoleh data yang lengkap dan

mendalam kepada pihak-pihak yang terkait sehingga memperoleh

informasi yang terinci. Dalam melakukan wawancara ini, peneliti

menggunakan :

1. Buku catatan yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang

dianggap penting dalam percakapan yang berlangsung.

2. Alat perekam yang digunakan untuk merekam semua isi

percakapan yang berisikan informasi terkait masalah penelitian.

b. Observasi yaitu pengumpulan data dengan kegiatan pengamatan

Gambar

Gambar 1.1 Dimensi Waktu Output dan Outcomes Kebijakan
Gambar 1.2 Model Implementasi Van Meter dan Van Horn
Gambar 1.3 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edward III
Gambar 1.4 Model Implementasi Grindle
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Padangsidimpuan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana peranan Kantor Pertanahan Kota Padangsidimpuan dalam

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa implementasi LARASITA di Kota Yogyakarta sudah berjalan dengan baik dilihat dari standard an

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan sertifikat tanah hak milik dalam program layanan rakyat untuk sertifikat tanah (LARASITA) Kantor Pertanahan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam melaksanakan program Larasita di Kabupaten Karanganyar, untuk

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa implementasi LARASITA di Kota Yogyakarta sudah berjalan dengan baik dilihat dari standard an

Dimensi ketiga yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Badan Pertanahan Nasional Nomor: 18 Tahun 2009 Tentang Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah (Larasita) Pada

Dimensi ketiga yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Badan Pertanahan Nasional Nomor: 18 Tahun 2009 Tentang Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah (Larasita) Pada

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa implementasi LARASITA di Kota Yogyakarta sudah berjalan dengan baik dilihat dari standard an