IMPLEMENTASI LAYANAN RAKYAT UNTUK SERTIFIKASI
TANAH (LARASITA)
PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA BINJAI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara
Oleh:
NIM. 100903099
IRA RIA PURBA
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
KATA PENGANTAR
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan
kepadaku (Filipi 4 : 13).” Segala Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan
Yesus Kristus, untuk kasih karunia-Nya, penyertaan tangan-Nya yang
memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna
memperoleh gelar sarjana sosial departemen Ilmu Administrasi Negara pada
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua penulis, Ayahanda Sham Efendi Purba dan Ibunda Nurhaida Saragihyang menjadi motivator penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk doa, kasih sayang, nasehat, kerja keras yang kalian berikan untuk
membesarkan dan mendidik penulis.
Penulis juga banyak memperoleh masukan, bimbingan, nasehat, motivasi
dan doa dari berbagai pihak selama perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan FISIP USU
2. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si selaku Ketua Departemen
Ilmu Administrasi Negara.
3. Ibu Dra. Elita Dewi, MSP selaku dosen pembimbing akademik penulis.
4. Ibu Arlina, S.H, M.Hum selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan pemikiran, masukan dan meluangkan waktu untuk
5. Ibu Khoirun Nisak, SH, M.H selaku koordinator tim LARASITA yang
banyak memberikan masukan, sumbangan pemikiran dan membantu
peneliti selama proses penelitian berlangsung.
6. Kepala kantor, Tim LARASITA dan pegawai Kantor Pertanahan yang
memberikan izin dan membantu peneliti.
7. Terima kasih kepada Sham Hendra Purba, Leonardo Purba, Ira Wicaca E
D Purba, S.E, Raja Ramos Purba untuk dukungan doa, semangat yang
diberikan dan keponakan kecil Gabriel Purba yang selalu membuat
penulis rindu serta seluruh keluarga besar Purba dan Saragih.
8. Zudika Manullang, Ade Auristha Manurung, yang selalu menyemangati
penulis, memperhatikan perjalanan penelitian ini dan tempat berbagi setiap
kesedihan dan sucakita yang dialami oleh peneliti serta Josua Hutabarat
yang selalu mendukung dan membantu peneliti ketika turun lapangan.
Semangat untuk menyelesaikan tugas akhir.
9. Rekan seperjuangan “Batokers”, Christine Batubara, Mariance Hasibuan,
Maulana All Rafi, Susanti Lona, Bobby Gea, David Saputra, Petra
Telaumbanua, Elvina Gulo telah menorehkan warna-warni persahabatan
dan kehangatan keluarga yang terkadang membuat diriku merindukan
saat-saat kebersamaan dengan kalian.
10.KTB Gita Lee-el dan Kelompok Kecil penulis Fidela Adriel Ilmu
Komunikasi 2012, Christa Panggabean, Theresia Purba, Noverini Purba,
mendukung didalam doa dan mengajarkan penulis bagaimana cara
memahami pribadi orang lain.
11.Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS), Lasron, Qibing, Reina,
Bintang, Visi, Vero, Parjo, Rivai, Andri, Johenro, Siska yang membangun
penulis dari segi wawasan dan menjadikan subjek sadar. Teruslah berjaya.
12.Kak Dian yang membantu proses pengurusan surat
13.Seluruh mahasiswa/i stambuk 2010 yang saling menyemangati dan
mendukung selama proses perkuliahan
14.UKM KMK UP PEMA FISIP yang menjadi wadah bagi penulis untuk
bertumbuh didalam Dia dan memenangkan jiwa bagi Dia. Tetap setia
dalam mengerjakan pelayanan ini.
Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga kasih karunia yang dari pada
Allah melimpah dalam hidup mereka dan membalas setiap kebaikan mereka.
Medan, 14 Juni 2014
Penulis
ABSTRAK
Implementasi Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA)
Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai
Nama : Ira Ria Purba
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Dosen Pembimbing : Arlina, S. H, M.Hum
Sebagai salah satu instansi pemerintahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Untuk mewujudkan hal tersebut, BPN mengeluarkan suatu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 18 Tahun 2009 Tentang LARASITA sebagai salah satu program inovasi untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Program Larasita ini merupakan layanan kantor pertanahan bergerak yang menjemput langsung berkas dari masyarakat yang berdomisili jauh dari Kantor Pertanahan. Dengan tujuan untuk mempermudah masyarakat dalam hal mengurus berkas permohonan pertanahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan program Larasita dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya pada Kantor Pertanahan Kota Binjai dengan variabel komunikasi, sumber daya, disposisi implementor, struktur birokrasi. Teknik penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan wawancara dan observasi. Teknik pengambilan informan penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Dimana informan penelitian diperoleh sebanyak 6 orang yang terdiri dari Tim Pelaksana Program Larasita dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Binjai.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Kantor Pertanahan Kota Binjai berupaya menjalankan program larasita dengan baik. Hal ini terlihat dari kinerja tim pelaksana yang menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan mengoptimalkan jumlah staf yang terlibat.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………1
I.1 Latar Belakang………1
I.2 Fokus Penelitian…...………..6
I.3 Perumusan Masalah………....6
I.4 Tujuan Penelitian………....7
I.5 Manfaat Penelitian………...7
I.6 Kerangka Teori….………...8
I.6.1 Kebijakan Publik……..………...8
I.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik……….8
I.6.1.2.Tahap-tahap kebijakan ………….……..…………..12
I.6.2 Implementasi Kebijakan Publik…...………14
I.6.2.1 Pengertian Implementasi kebijakan ….…………14
I.6.2.2 Aktor-aktor implementasi.……… ………...18
I.6.2.3 Teknik Implementasi Kebijakan………...…………..20
I.6.2.4 Model-Model Implementasi………….……..………22
I.6.2.4.1Model Van Meter dan Van Horn………...23
I.6.2.4.2.Model Implementasi Kebijakan George Edward III………..………...27
I.6.2.4.3Model Merilee S. Grindle (1980)………31
I.6.3 Hak Atas Tanah……….33
I.6.3.1 Defenisi Hak Atas Tanah ………..33
I.6.3.3. Tujuan Pendaftaran Tanah………...36
I.6.3.4. Asas Pendaftaran Tanah………38
I.6.4 Sertifikat Hak Atas Tanah……….39
I.7 Defenisi Konsep………...40
I.8 Sistematika Penulisan………...42
BAB II METODE PENELITIAN……….…………...………..44
II.1 Bentuk Penelitian….……….44
II.2 Lokasi Penelitian…….………..44
II.3 Informan Penelitan………....45
II.4 Teknik Pengumpulan Data………....46
II.5 Teknik Analisis Data………...47
II.6 Pengujian Keabsahan Data………....49
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN…………..……….50
III.1 Gambaran Umum Pemerintah Kota Binjai…….………..50
III.1.1 Profile Kota Binjai…….…….………...50
III.1.2 Kondisi Umum Kota Binjai…….………..51
III.1.3 Visi dan Misi Kota Binjai……….……….53
III.2 Gambaran Umum Kantor Pertanahan Kota Binjai……….………..54
III.2.1 Sejarah Singkat Kantor Pertanahan Kota Binjai………...54
III.2.3 Makna Dan Arti Logo Badan Pertanahan Nasional……….57
III.2.4 Struktur Organisasi………...58
III.2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional………….60
III.2.6 Tugas-Tugas Kantor Pertanahan Kota Binjai………...66
III.2.7 Produk-Produk yang dihasilkan Kantor Pertanahan Kota Binjai..67
III.3 Layanan Rakyat Untuk Sertipikasi Tanah (LARASITA)………...68
III.3.1 Pengertian LARASITA………...68
III.3.2 Dasar Hukum LARASITA………..68
III.3.3 Tujuan LARASITA……….69
III.3.4 Mekanisme Pelayanan LARASITA………69
BAB IV PENYAJIAN DATA……….……..………...72
IV.1 Pelaksanaan Wawancara……….72
IV.2 Karakteristik Informan………...73
IV.2.1 Klasifikasi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin……...73
IV.2.2 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Pendidikan………....74
IV.2.3 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Jabatan……...75
IV.3 Deskripsi Hasil Wawancara tentang Implementasi Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA) Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai………..……….76
IV.3.1 Komunikas……….……….76
IV.3.3 Disposisi Implementor……….…85
IV.3.4 Struktur Birokrasi………...87
IV.4 Kendala dalam Implementasi Program Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) oleh Kantor Pertanahan Kota Binjai………....88
IV.5 Data Sekunder………90
BAB V ANALISIS DATA………...……….92
V.1 Implementasi Program Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai……….…..………….92
V.1.1 Komunikasi……….……….………..93
V.1.2 Sumber Daya……….………96
V.1.3 Disposisi……….………..102
V.1.4 Struktur Birokrasi….………103
V.2 Analisis Hubungan Semua Variabel dalam Implementasi Program Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) Oleh Kantor Pertanahan Kota Binjai……….107
BAB VI PENUTUP………...112
VI.1 Kesimpulan………..………...……….112
VI.2 Saran..………..116
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kota Binjai Tahun 2009 ………52
Tabel 3.2 Jumlah Pegawai Kantor Pertanahan Kota Binjai……...…………60
Tabel 4.1 Pengklasifikasian infroman berdasarkan jenis kelamin ....……....74
Tabel 4.2 Pengklasifikasian Informan Berdasarkan Pendidikan…………...75
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Dimensi Waktu Output dan Outcomes Kebijakan……….17
Gambar 1.2 Model Implementasi Van Meter dan Horn………...26
Gambar 1.3 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edward III……….31
Gambar 1.4 Model Implementasi Grindle ……….…...32
Gambar 2.1 Lokasi Penelitian Kantor Pertanahan Kota Binjai ………44
Gambar 3.1 Logo Badan Pertanahan Nasional………..57
Gambar 3.2 LARASITA………..70
ABSTRAK
Implementasi Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA)
Pada Kantor Pertanahan Kota Binjai
Nama : Ira Ria Purba
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Dosen Pembimbing : Arlina, S. H, M.Hum
Sebagai salah satu instansi pemerintahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Untuk mewujudkan hal tersebut, BPN mengeluarkan suatu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 18 Tahun 2009 Tentang LARASITA sebagai salah satu program inovasi untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Program Larasita ini merupakan layanan kantor pertanahan bergerak yang menjemput langsung berkas dari masyarakat yang berdomisili jauh dari Kantor Pertanahan. Dengan tujuan untuk mempermudah masyarakat dalam hal mengurus berkas permohonan pertanahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan program Larasita dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya pada Kantor Pertanahan Kota Binjai dengan variabel komunikasi, sumber daya, disposisi implementor, struktur birokrasi. Teknik penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan wawancara dan observasi. Teknik pengambilan informan penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Dimana informan penelitian diperoleh sebanyak 6 orang yang terdiri dari Tim Pelaksana Program Larasita dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Binjai.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Kantor Pertanahan Kota Binjai berupaya menjalankan program larasita dengan baik. Hal ini terlihat dari kinerja tim pelaksana yang menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan mengoptimalkan jumlah staf yang terlibat.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kepemilikan hak atas tanah merupakan hal yang penting bagi seseorang
yang memiliki tanah. Kepemilikan hak atas tanah tersebut ditunjukkan lewat
sertifikat tanah yang diurus di kantor Pertanahan. Sertifikat tanah yang dimaksud
merupakan bukti fisik yang wajib dimiliki oleh pemilik tanah, dan didalam
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 19 ayat 1 dinyatakan bahwa untuk
menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
peraturan pemerintah. Oleh karena itu setiap warga negara yang memiliki tanah
diwajibkan untuk mendaftarkan tanah yang ia miliki untuk memperoleh sertifikat
tanah.
Sertifikat berasal dari bahasa Inggris (certificate) yang berarti ijazah atau surat keterangan yang dibuat oleh pejabat tertentu. Dengan adanya pemberian
sertifikat dari pejabat tersebut maka status akan kepemilikan akan sah. Menurut
Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Jo Pasal 1 Angka 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 secara eksplisit menyatakan bahwa sertifikat
tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah. Bukti ini digunakan untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti tindakan penyalahgunaan hak
atas tanah oranglain, konflik tanah, status kepemilikan hak atas tanah yang
Ada beberapa jenis sertifikat tanah yang dapat dimohon di kantor
Pertanahan yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
Hak milik merupakan surat tanda bukti atas kepemilikan tanah oleh seseorang.
Hak milik juga merupakan hak yang paling kuat atas yang memberikan
kewenangan kepada pemiliknya untuk menguasai tanah yang ia miliki. Hak milik
ini dapat diperoleh dengan mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku sesuai
dengan Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 21. Jika kita lihat dari pernyataan
diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa hak milik merupakan bukti kuat
yang dimiliki oleh pemilik tanah untuk memanfaatkan atau mengelola tanah yang
ia miliki dan suatu pernyataan pemenuhan hak atas tanah secara sah kepada
seseorang.
Sebagai Negara hukum, Indonesia sangat menjunjung tinggi yang
namanya keadilan dan perlindungan yang sama terhadap hukum kepada semua
orang. Sama hal nya dengan hukum yang mengatur akan tanah. Setiap tindakan
penyelewengan, konflik atau sengketa tanah akan diproses secara hukum oleh
pihak yang berkewenangan. Seperti yang terjadi dari dulu sampai sekarang ini
begitu banyak kasus sengketa tanah yang melanda Indonesia. Salah satu
contohnya yaitu konflik tanah yang terjadi di Sumatera Utara. Harian Sumut Pos
mencatat bahwa ada sebanyak 2345 kasus sengketa tanah yang belum
terselesaikan dengan beragam seluk beluk permasalahan yang terjadi dan ada
sebanyak 488 kasus yang telah terselesai yang berkaitan dengan penyerobotan dan
Jikalau diperhatian dari beragam permasalahan tanah yang terjadi,
sertifikat tanah merupakan salah satu faktor yang tidak dapat ditunjukkan. Padahal
sertifikat tanah merupakan hal yang sangat penting yang dapat menghindari
terjadinya sengketa atau konflik tanah. Salah satu penyebab sebahagian
masyarakat tidak memiliki sertifikat tanah yaitu mahalnya biaya pengurusan
sertifikat tanah dan sulitnya menghadapi birokrasi. Birokrasi yang dianggap ribet,
berbelit-belit dan lama yang membuat masyarakat enggan untuk berhadapan
dengan para birokrat.
Selain penyebab yang telah diuraikan tersebut, adanya calo yang tidak
bertanggung jawab dalam pembuatan sertifikat tanah mengakibatkan adanya bukti
fisik berupa sertifikat yang sama yang dimiliki oleh dua orang. Sebagai
dampaknya, jika terjadi kasus sengketa tanah maka sulit untuk diproses. Mafia
tanah yang semakin merajalela juga merupakan penyebab dari terjadinya konflik
tanah selama ini. Dimana mafia tanah dengan sesuka hati melakukan
penyeborotan tanah atas milik oranglain dan menjualnya.
Melihat kondisi yang seperti itu kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)
sebenarnya telah mengeluarkan suatu Peraturan Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Layanan Rakyat Sertifikat Tanah (LARASITA). Dimana LARASITA ini
diterapkan di seluruh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). LARASITA
proses serta memudahkan masyarakat yang hendak melakukan sertifikasi tanah,
sekaligus mempersingkat pengurusan sertifikat tanah dan memperkecil biaya
pengurusan. LARASITA merupakan program yang pro terhadap masyarakat dan
program yang aktif. Dimana masyarakat tidak diharuskan datang ke kantor untuk
mengurus sertifikat melainkan petugas yang akan menjumpai dan menuntaskan
masalah yang ada. LARASITA juga merupakan salah satu program yang
memanfaatkan teknologi informasi di dalam pelayanan yang diberikan. Dengan
harapan dapat meningkatkan kualitas pelayanan.
Khusus provinsi Sumatera bagian Utara, program ini pertama sekali
dilaksanakan di kota Medan, Pematangsiantar dan kabupaten Deli Serdang. Untuk
Kantor Pertanahan kota Medan sendiri telah melaksanakan program LARASITA
ini sejak tahun 2009. Adapun masalah pertanahan pada saat itu adalah sengketa
dan konflik sebanyak 154 kasus, selesai 36 kasus, perkara 543 kasus dalam proses
lembaga peradilan. Kemudian tuntas sengketa 54 kasus, selesai 40 kasus, sidik
sengketa 8 kasus, proses 6 kasus, sisanya 2 kasus tidak memenuhi unsur.
Pembatalan 6 kasus dalam proses
(http://diskominfo.sumutprov.go.id/berita_isi.php?kodenya=76 diakses pada 20
September 2013, Pukul 16.00 wib). Program LARASITA ini dilaksanakan di
kecamatan Medan Tembung, Medan Perjuangan, Medan Helvetia, Medan
Marelan, Medan Tuntungan, Medan Selayang, Medan Labuhan, Medan Johor,
Medan Denai dan Medan Area.
Seiring berjalannya waktu, program LARASITA tidak hanya berjalan di
Binjai misalnya, program ini telah dijalankan sejak tahun 2011. Dimana saat itu
kota Binjai yang memiliki luas wilayah sebesar 9.000,026 Ha baru memiliki
sekitar 32% tanah yang bersertifikat. Rendahnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya sertifikat tanah merupakan penyebab dari kondisi ini.
(http://medanbisnisdaily.com/news/arsip/read/2011/01/06/13856/bpn_binjai_targe
tkan_800_persil_prona/ diakses pada 2 Februari 2014, Pukul 20.00wib). Lewat
LARASITA ini diharapkan status kepemilikan hak atas tanah masyarakat akan
ditingkatkan dan diperkuat secara hukum.
Sejak diluncurkan program LARASITA ini, Kantor Pertanahan Kota
Binjai sendiri berdasarkan data tahun 2013 yang dilihat dari data Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Sumut telah merealisasikan program LARASITA
sebanyak 138 dengan beragam pengurusan. Adapun pengurusan tersebut berupa
balik nama, roya, penggabungan sertifikat, permohonan, pembaruan hak, dan
pencatatan hak tanggungan. Sekalipun terealisasi, dalam pelaksanaannya program
ini menghadapi beberapa kendala seperti infrastruktur dan teknologi yang
menunjang kepada kinerja program ini
(http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/03/11/83890/program_larasita_kera
p_terkendala_infrastruktur_dan_teknologi/ diakses pada 4 April 2014, Pukul
17.45 wib).
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti Implementasi
Program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA)PadaKantor
I.2. Fokus Masalah
Dalam penelitian kualitatif, batasan masalah penelitian disebut fokus
masalah. Fokus masalah ditentukan agar ada batasan yang jelas didalam
melaksanakan penelitian. Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian
ini adalah untuk melihat pelaksanaan program LARASITA oleh Kantor
Pertanahan kota Binjai yang merupakan salah satu dari kantor Pertanahan
Nasional yang berada di Sumut yang merealisasikan program LARASITA tanpa
mengikutsertakan masyarakat sebagai informan di dalam penelitian ini. Alasan
peneliti tidak menjadikan masyarakat sebagai informan dalam penelitian ini
karena program yang diteliti mencakup seluruh masyarakat kota Binjai yang
berdomisili jauh dari Kantor Pertanahan yang sulit untuk dijangkau, keterbatasan
dari peneliti untuk mengetahui dan memahami betul daerah kota Binjai dan
keterbatasan dari segi waktu dan jarak tempuh menuju kota Binjai.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan fokus masalah tersebut, maka yang
I.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui implementasi program Layanan Rakyat Untuk
Sertifikasi Tanah (LARASITA) oleh Kantor Pertanahan Kota Binjai.
2. Untuk mengetahui keberhasilan dan kendala-kendala yang dihadapi dalam
mengimplementasi program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah
(LARASITA) oleh Kantor Pertanahan Kota Binjai.
I.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah :
1. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam
melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya ilmiah.
2. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmiah,
referensi bacaan dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai
program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA).
3. Manfaat Praktis
Dengan dilakukannya penilitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai
masukan bagi pemerintah dalam rangka meningkatkan keberhasilan
pengimplementasian program Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah
I.6. Kerangka Teori
Untuk memudahkan peneliti dalam rangka menyusun penelitian ini, maka
perlu menyusun suatu kerangka teori yang dijadikan sebagai pedoman dalam
menjelaskan masalah yang sedang diteliti. Teori adalah serangkaian asumsi,
konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena
sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Adapun
yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini adalah :
I.6.1. Kebijakan Publik
I.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. Sebagai suatu konsep, kebijakan memiliki makna yang luas dan
multi interpretasi. Sebagai contoh, James Anderson dalam (Kusumanegara, 2010
:1) memberi makna kebijakan sebagai perilaku aktor dalam bidang kegiatan
tertentu. Pengertian di atas sangat luas dan bisa diartikan bermacam-macam,
misal, sang “aktor” dapat berupa individu atau organisasi; dapat pemerintah
maupun non pemerintah. Demikian pula istilah “kegiatan tertentu” bisa diartikan
kegiatan administratif, politis, ekonomis, dan lain-lain. Di samping itu, bentuk
kegiatannya pun luas dan multi interpretasi misalnya dapat berupa pencapaian
tujuan, perencanaan, program, dan sebagainya. Dengan demikian studi kebijakan
mempunyai relevansi dengan sang aktor. Menurut kamus Inggris-Indonesia, kata
“public” berarti (1) masyarakat uum, rakyat umum, orang banyak; (2) rakyat (Echlos & Shaldy 1987). Defenisi di atas menggambarkan bahwa kata publik
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh beberapa kalangan secara berbeda
sesuai dengan keperluan atau kepentingan. Jadi, kebijakan publik merupakan
kebijakan yang dibuat oleh institusi otoritatif yang ditujukan dan berdampak
kepada publik serta ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan publik (Lester
dan Stewart, 2000).
Thomas R. Dye (1981) dalam (Tangkilisan, 2003 : 1) memberikan
pengertian dasar mengenai kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan
maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan Anderson dalam
(Tangkilisan, 2003 : 2) memberikan defenisi kebijakan publik sebagai
kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah,
dimana implikasi dari kebijakan itu adalah:
1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;
2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;
3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk
dilakukan;
4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu;
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan
pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Jones (1977) dalam (Tangkilisan, 2003 : 3) menekankan studi kebijakan
publik ini pada 2 (dua) proses, yaitu :
a) Proses-proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu
sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefenisikan masalah
itu, dan bagaimana tindakan pemerintah.
b) Refleksi tentang bagaimana seseorang bereaksi terhadap masalah-masalah,
terhadap kebijakan Negara, dan memecahkannya.
Menurut Charles O. Jones (1997) dalam (Tangkilisan, 2003 : 3) kebijakan terdiri
dari komponen-komponen :
1. Goal atau tujuan yang diinginkan
2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan, 3. Program,yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,
4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program,
5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer
atau sekunder).
Harrold laswell dan Abraham Kaplan dalam Subarsono berpendapat
sosial yang ada dalam masyarakat. Ini berarti kebijakan publik tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai dan pratik-pratik social yang ada dalam
masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilia-nilai yang bertentangan dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat maka kebijka publik tersebut akan
mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik
harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan pratika-pratika yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Kerangka kerja kebijakan publik akan ditentukan oleh beberapa variabel
sebagai berikut :
1. Tujuan yang akan dicapai. Ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan
dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit
mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya apabila tujua kebijakan semakin
sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya.
2. Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan
kebijakan. Suatu kebijakan yag mengandung berbagai variasi nilai akan
jauh lebih sulit untuk dicapai dibanding dengan suatu kebijakan yang
hanya mengejar suatu nilai,
3. Sumberdaya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan
ditentukan oleh sumberdaya financial, materi, dan infrastruktur lainnya.
4. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas dari
tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan
intergritas moralnya.
5. Lingkungan yang mencakup lingkungan social, ekonomi,politil, dan
sebagainya. Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks
sosia, ekonomi, politik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.
6. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi yang digunakan
untuk mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi kenerja
suatu kebijakan. Strategi yang digunakan dapat bersifat top down approach
atau buttom up approach, otoriter atau demokratis.
I.6.1.2 Tahap-tahap kebijakan
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Adapun tahap-tahap
kebijakan publik (Winarno, 2002 : 29) :
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
1. Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelum masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk
dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah
mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa lain pembahasan untuk
masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama.
2. Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudia dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefenisikan untuk kemudian
dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal
dari berbagai alternatif yang ada.
3. Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan
tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, consensus
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
4. Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika
program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program
kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
5. Tahap penilaian kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah dibuat telah mampu
memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk
meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah
yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran
atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan
publik telah meraih dampak yang diinginkan.
I.6.2 Implementasi Kebijakan
I.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Setelah proses legilasi kebijakan selesai, maka kebijakan publik
diimplementasikan. Dalam tahap implementasi, isi kebijakan dan akibat-akibatnya
mungkin akan mengalami modifikasi dan elaborasi bahkan mungkin akan
dinegasikan. Lester dan Stewart (2000) dalam (Kusumanegara , 2010 : 97),
implementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum
ditetapkan melalui proses politik. James Anderson (1979) dalam (Kusumanegara ,
2010 : 97) menyatakan bahwa implementasi kebijakan/program merupakan
bagian dari administrative process (proses administrasi). Proses administrasi sebagaimana diistilahkan oleh Anderson, digunakan untuk menunjukkan desain
atau pelaksanaan sistem administrasi yang terjadi setiap saat. Proses administrasi
Secara lebih luas, implementasi dapat didefenisikan sebagai proses
administrasi dari hukum (statua) yang didalamnya, tercakup keterlibatan berbagai
macam aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang dilakukan agar kebijakan
yang telah ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya tujuan kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan.
Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan
sia-sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan mempunyai kedudukan
yang penting di dalam kebijakan publik.
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980) dalam
(Tangkilisan, 2003 : 17), hal-hal yang berhubungan dengan implementasi
kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudia
menerjemahkan ke dalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan
menurut Pressman dan Wildavsky (1984) dalam (Tangkilisan, 2003 : 17),
implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan
sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk
menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara
untuk mencapainya.
Jones (1977) dalam (Tangkilisan, 2003 : 17) menganalisis masalah
pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan
fungsional. Jones (1977) mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi
pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian
implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus
menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan
demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada
penempatan suatu progam ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.
Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan
adalah :
1. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan
3. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.
Implementasi kebijakan menunjuk aktivitas menjalankan kebijakan dalam
ranah senyatanya, baik yang dilakukan oleh organ pemerintah maupun para pihak
yang telah ditentukan dalam kebijakan. Implementasi kebijakan sendiri biasanya
ada yang disebut sebagai pihak implementor, dan kelompok sasaran. Implementor
kebijakan adalah mereka yang secara resmi diakui sebagai individu/lembaga yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan program di lapangan. Kelompok sasaran
adalah menunjuk para pihak yang dijadikan sebagai objek kebijakan.
Implementasi kebijakan adalah tahap yang penting dalam kebijakan.
Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemenrintah
seperti yang telah direncanakan. Output adalah keluaran kebijakan yang
diharapkan dapat muncul sebagai keluaran langsung kebijakan. Output biasanya
dapat dilihat dalam waktu yang singkar pasca implementasi kebijakan. Outcomes
adalah dampak dari kebijakan, yang diharapkan dapat timbul setelah keluarnya
ouptu kebijakan. Outcomes biasanya diukur setelah keluarnya ouput atau dalam
waktu yang lama pasca implementasi kebijakan.
Gambar 1.1 Dimensi Waktu Output dan Outcomes Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Jangka Pendek
Output Kebijakan
Jangka Panjang
I.6.2.2 Aktor-Aktor Implementasi
Dalam tahapan implementasi terdapat berbagai aktor yang terlibat. Mereka
bisa berasal dari kalangan pemerintah maupun masyarakat, dan didentifikasikan
berasal dari kalangan birokrasi, legislatif, lembaga peradilan, kelompok-kelompok
penekan, dan organisasi-organisasi komunitas (Anderson, 1979; Lester dan
Stewart, 2000).
• Birokrasi
Pada umumnya birokrasi dipandang sebagai agen administrasi
yang paling bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan. Pandangan
ini berlaku untuk implementasi kebijakan negara maju dan negara yang
sedang berkembang (NSB). Birokrasi mempunyai wewenang yang besar
untuk sepenuhnya menguasai “area” implementasi kebijakan dalam
wilayah operasinya karena mereka mendapat mandat dari lembaga
legislatif.
Peran birokrasi yang dominan dalam “area” implementasi cukup
menjadikannya sebagai aktor yang powerfull. Karena kekuatan birokrasi atas diskresi kebijakan tanpa disertai dengan kontrol eksternal yang
memadai menyebabkan birokrasi kuat pula secara politik.
• Badan Legislatif
Walaupun birokrasi merupakan aktor utama dalam implementasi
kebijakan publik, sejumlah aktor lain dan lembaga juga terlibat di dalam prosesnya. Aktor selain birokrasi adalah legislatif maupun lainnya
(Kusumanegara, 2003 : 103) bahwa para legislator mempengaruhi
administrasi dalam berbagai cara. Semakin mendetail legilasi yang dibuat,
akan semakin terbatas ruang gerak yang dimiliki agen-agen administrasi.
• Lembaga Peradilan
Di samping legislatif, lembaga peradilan juga merupakan aktor
dalam implementasi kebijakan. Lembaga peradilan merupakan cabang
yudisial yang menangani hukum publik. Namun lembaga peradilan dapat
terlibatt dalam implementasi kebijakan ketika muncul tuntutan masyarakat
atas kebijakan tertentu yang implementasinya dianggap merugikan
masyarakat sehingga menjadi perkara hukum. Menanggapi tuntutan
tersebut,lembaga peradilan dapat merevisi ketentuan-ketentuan
implementasi agar tidak merugikan masyarakat. Yang terpenting dari
peranan lembaga ini adalah pengaruhnya dalam menginterpretasikan UU,
peraturan-peraturan dan cara pengaturan administrasi yang telah atau
sedang dilaksanakan.
• Kelompok Kepentingan / Penekan
Aktor lainnya yang berperan dalam implementasi adalah
kelompok-kelompok penekan (pressure groups). Karena dalam implementasi berbagai diskresi banyak dilakukan oleh birokrasi, maka
banyak kelompok-kelompok kepentingan yang ada di masyarakat
berusaha mempengaruhi berbagai peraturan implementasi seperti pedoman
dimaksudkan agar mereka memperoleh keuntungan dengan adanya
implementasi program tertentu.
• Organisasi Komunitas
Lembaga lain yang sering terlibat dalam implementasi kebijakan
adalah organisasi-organisasi komunitas. Banyak program-program yang
dirancang untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan politik yang berlabel
pro pembangunan masyarakat (community development). Dengan sendirinya masyarakat baik secara individual maupun kelompok terlibat
dalam implementasi program itu baik sebagai obyek dan atau seubyek
program.
I.6.2.3 Teknik Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan memerlukan perangkat yang digunakan untuk
mengetahui kesesuaian pelaksanaan suatu program dengan kebijakan publik yang
menjadi acuannya. Lester dan Stewart (2000) dalam (Kusumanegara, 2003 : 108)
menyatakan bahwa perdebatan yang muncul tentang persoalan implementasi
kebijakan publik mengarah pada dua pendekatan, yaitu pendekatan command and control dan pendekatan economic incentive (market). Pendekatan command and control menyertakan mekanisme yang Nampak koersif untuk menyelaraskan pelaksanaan dengan kebijakan acuan. Mekanisme tersebut misalnya rancangan
baku, inspeksi, dan pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran. Sedangkan
Pendekatan command and control dianggap para penentangnya terlalu kaku, mengabaikan inisiatif dan inovasi dalam pencapaian tujuan kebijakan, dan
menyia-nyiakan sumberdaya masyarakat. Para penganut pendekatan economic incentive berpandangan bahwa sebaiknya par individu diberikan ruang yang cukup untuk membuat keputusan sendiri, mempunyai kebebasan dan kerelaan
bertindak untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan biaya sosial serendah
mungkin.
Selain pendekatan yang disebutkan diatas ada juga pendekatan compliance
dan what happen. Pendekatan compliance (kepatuhan) adalah mengkaji implementasi kebijakan dalam ranah kepatuhan para aktor implementasi
kebijakan terhadap hal-hal yang telah ditetapkan dalam guidelines kebijakan.
Kajian ini mendapatkan kritik karena terlalu menyederhanakan masalah. Masalah
kebijakan dilihat sangat hitam putihdan positivistik. Jika ada kriteria yang
tercantum dalam guideline kebijakan tidak dilakukan maka dengan mudah
implementasi kebijakan telah gagal secara proses. Temuan-temuan yang berharga
dalam kajian implementasi kebijakan kemudian teramar sulit ditemukan, karena
dari awal sudah membatasi diri pada kajian kepatuhan guideline kebijakan dengan
yang terjadi di ranah nyata. Meskipun demikian pendekatan kepatuhan yang
sering disebut juga pendekatan top down ini memberi pesan pentingnya kepatuhan
implementor terhadap sektor administrasi kebijakan. Logika sederhananya adalah
bagaimana mungkin sebuah kebijakan akan berjalan dengan baik jika
Pendekatan kedua adalah pendekatan what happen atau sering disebut juga
pendekatan bottom up. Pendekatan ini menginginkan adanya pengungkapan
kejadian-kejadian dalam ranah implementasi kebijakan yang terjadi di lapangan
secara jujur dan terbuka.
I.6.2.4 Model-Model Implementasi
Pada prinsipnya terdapat dua pemilahan jenis teknik atau model
implementasi kebijakan. Pemilahan pertama adalah implementasi kebijakan yang
berpola “dari atas ke bawah” (top-bottomer) versus kebijakan yag berpola “bawah ke atas” (bottom-topper), dan pemilahan implementasi yang berpola paksa (command-and-control) dan mekanisme pasar (economic incentive). Model-model implementasi kebijakan dapat dipetakan sebagai berikut :
Model mekanisme paksa adalah model yang mengedepankan arti penting
lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli di atas
mekanisme paksa di dalam Negara dimana tidak ada mekanisme insentif bagi
yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau
melanggarnya. Secara sistematis model ini dapat disebut sebagai “Zero-Minus
model”, dimana yang ada hanya nilai “nol” dan “minus” saja. Model “top-down”
mudahnya berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana
partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya “bottom-up” bermakna meski
kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Berikut
1. Model Van Meter dan Van Horn
Van Meter dan Van Horn dalam (Winarno, 2002 :109-118) menawarkan
suatu model yang mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan
(lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Model ini tidak hanya menentukan kepentingan-kepentingan , tetapi juga
menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas.
Variabel-variabel tersebut adalah :
a) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan
Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap
faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Menurut Van
Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian
merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi
kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana
ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah
direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna
didalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara
menyeluruh.
b) Sumber-sumber kebijakan
Disamping ukuran-ukuran dasar dan sasaran-sasaran kebijakan,
yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi
kebijakan adalah sumber-sumber yang tersedia. Sumber-sumber
layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan
mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.
c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan
tujuan-tujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab
dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian, sangat penting
untuk member perhatian yang besar kepada kejelasan
ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan implementasi, ketepatan
komunikasinya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau
keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang
dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi.
d) Karakteristik badan-badan pelaksana
Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik,
norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang
dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik
potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan
menjalankan kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengetengahkan
beberapa unsure yang mungkin berpengaruh terhadap suatu
organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan :
1) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
2) Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap
keputusan-keputusan subunit dan proses-proses dalam badan-badan
3) Sumber-suber politik suatu organisasi (misalnya dukungan
di antara anggota legislatif dan eksekutif);
4) Vitalisasi suatu organisasi;
5) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang
didefenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontal
dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang
secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan
individu-individu di luar organisasi;
6) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan
“pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”.
e) Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik
Berikut mengenai lingkungan ekonomi, sosial dan politik yang
mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu
dilaksanakan :
1) Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau
organisasi pelaksana cukup mendukung implementasi yang
berhasil?
2) Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan
sosial yang berlaku akan dipengaruhi oleh implementasi
kebijakan yang bersangkutan?
3) Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu
4) Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi
kebijakan?
5) Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi
pelaksana; apakah ada oposisi atau dukungan pengikut bagi
kebijakan?
6) Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta
dimobilisasi untuk mendukung atau menentang kebijakan.
f) Kecenderungan pelaksana (implementors)
Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun
ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan satu hal yang
penting. Implementasi kebijakan berhasil harus diikuti oleh
kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh.
2. Model Implementasi Kebijakan George Edward III
Menurut Edward dalam (Winarno, 2002 : 125), studi implementasi
kebijakan adalah krusial bagi public administrasion dan public policy.
Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya.
Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang
merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin
mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan
sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga
akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang
diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan
mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : Prakondisi-prakondisi apa yang
diperlukan sehingga suatu implementasi berhasil? Dan
hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal?
Edwards berusaha menjawab dua buah pertanyaan penting ini dengan
membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi
kebijakan publik. Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut adalah
komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah
laku-tingkah laku dan struktur birokrasi.
Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh
terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi
maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan
kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut sekaligus. Ada
empat variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik yaitu :
1) Komunikasi
Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses
komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsisitensi dan kejelasan
(clarity). Menurut Edwards, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang
melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan , keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah
harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum
keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Jika
kebijakan-kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya, maka
petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus dipahami,
melainkan juga petunjuk-petunjuk itu harus jelas. Jika petunjuk–
petunjuk pelaksanaan itu tidak jelas, maka para pelaksana
(implementers) akan mengalami kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan. Aspek lain dari komunikasi menyangkut
petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi.
Selain itu, faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi
kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat
mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa
pelaksanaanya telah dikeluarkan dan faktor terakhir adalah
kejelasan.
2) Sumber-sumber
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat,
jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan
sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan,
maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif.
Sumber-sumber yang penting meliputi : staf yang memadai serta
keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,
wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan
pelayanan-pelayanan publik. Barangkali sumber yang paling
penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Ada satu hal
yang harus diingat bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek
positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah
staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi
yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang
dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf, namun disisi
yang lain kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan yang
pelik menyangkut implementasi kebijakan yang efektif.
3) Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor
implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap
baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya
dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.
4) Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan
secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Menurut
Edwards ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakn
prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai
Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu
yang tersedia. Selain itu, SOP juga menyeragamkan
tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi yang
kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang yang dipindahkan
dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan
Gambar 1.3 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edward III
Sumberdaya
implementasi
3. Model Merilee S. Grindle (1980)
Model Grindle dalam (Nugroho, 2008 : 174) ditentukan oleh isi kebijakan
dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah
kebijakan ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan mencakup :
1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan,
2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan,
3) Derajat perubahan yang diinginkan,
4) Kedudukan pembuat kebijakan,
Komunikasi
Disposisi
6) Sumber daya yang dikerahkan.
Sementara itu konteks implementasinya adalah :
1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2) Karakteristik lembaga dan penguasa
3) Kepatuhan dan daya tanggap.
Gambar 1.4 Model Implementasi Grindle
Tujuan kebijakan
1. Kepentingan yang dipengaruhi
2. Tipe manfaat
3. Derajat perubahan yang diharapkan
4. Letak pengambilan keputusan
Hasil kebijakan a. Dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok
1.6.3 Hak Atas Tanah
1.6.3.1 Defenisi Hak Atas Tanah
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas
tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan (non-pertanian), sedangkan
perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu
digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk
kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan. Hak atas tanah
bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah dapat diberikan kepada
perseorangan baik warga Negara Indonesia maupun warga Negara asing,
sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum
privat maupun badan hukum publik (Santoso, 2005 : 82-83).
Menurut Soedikno Mertokusumo dalam (Santoso,2005 : 87-89),
wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi
menjadi yaitu :
1. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air
dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4
ayat (2) UUPA).
2. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk
kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah
Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada
tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan
perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.
Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi
wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya. Hak atas
tanah terdiri dari (Tehupeiory, 2012 : 21) :
1. Hak atas tanah orisinil atau primer
Adalah hak atas tanah yang bersumber pada hak bangsa Indonesia dan yang
diberikan oleh negra dengan cara memperolehnya melalui permohonan hak.
Hak atas tanah yang termasuk hak primer adalah :
a) Hak Milik
b) Hak Guna Bangunan
d) Hak Pakai
2. Hak atas tanah derivatif atau sekunder
Adalah hak atas tanah yang tidak langsung bersumber kepada hak bangsa
Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara memperolehnya melalui
perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dan calo pemegang hak yang
bersangkutan. Hak atas tanah yang termasuk dalam hal ini, yaitu :
a) Hak Guna Bangunan
b) Hak Pakai
c) Hak Sewa
d) Hak Usaha Bagi Hasil
e) Hak Gadai
f) Hak Menumpang
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hak atas tanah adalah hak yang dimiliki oleh
seseorang untuk memanfaatkan dan mengelola tanah yang dimilikinya atau hak
menguasai.
1.6.3.2. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda kadaster) suatu
istilah teknis untuk suatu record (rekaman) menunjuk kepada luas, nilai dan
kemilikan misalnya atas sebidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin
Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri atas
(Tehupeiory, 2012 : 6-7) :
1. Pengumpulan, pengolahan,penyimpanan, dan penyajian data fisik
bidang-bidang tanah tertentu;
2. Pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data yuridis tertentu;
3. Penerbitan surat tanda bukti haknya; dan
4. Pencatatan perubahan-perubahan pada data fisik dan data yuridis yang terjadi
kemudian.
Pendaftaran tanah dikatakan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terus-menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan-keterangan
tertentu mengenai tanah-tanah tertentu, yang ada di wilayah-wilayah tertentu
dengan tujuan tertentu untuk kemudian diproses/diolah, disimpan, dan disajikan
dalam rangka memenuhi tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah tersebut.
1.6.3.3. Tujuan Pendaftaran Tanah
Kegiatan pendaftaran tanah mempunyai tujuan, yaitu untuk menjamin
kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Hal ini dilakukan bagi kepentingan
pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan bahwa dialah
yang berhak atas suatu bidang tanah tertentu, melalui pemberian Sertifikat Hak
Selanjutnya, bagi pihak-pihak yang berkepentingan (calon pembeli/calon
kreditur) agar mereka dengan mudah memperoleh keterangan yang diperlukan.
Dengan dinyatakan data fisik dan data yuridis yang disajikan di Kantor
Pertanahan yang berlaku terbuka bagi umum dimana keterangan diberikan dalam
bentuk Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT).
Kepastian hukum yang dimaksud dalam kegiatan pendaftaran tanah di atas
antara lain :
1. Kepastian hukum mengenai orang atau badan yang menjadi pemegang hak
(Subjek hak) ;
2. Kepastian hukum mengenai lokasi, batas, serta luas suatu bidang tanah hak
(Subjek Hak) ; dan
3. Kepastian hukum mengenai haknya.
Melihat pendaftaran tanah ditinjau dari tujuannya dapat dikatakan sebagai
berikut :
1. Fiscal cadastre, yaitu pendaftaran tanah dalam rangka pemungutan pajak tanah
Contoh : Pajak Bumi atau Landrente, Verponding Indonesia, Verponding
Eropa, IPEDA, PBB.
2. Legal cadastre atau rechts kadaster, yaitu pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah.
a. Letak, batas, dan luas tanah;
b. Status tanah dan orang yang berhak atas tanah; dan
c. Pemberian surat berupa sertifikat.
I.6.3.4. Asas Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan (Tehupeiory, 2012 : 9-11):
1. Asas sederhana
Untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan dengan
teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian
hukum sesuai dengan tujuannya.
2. Asas terjangkau
Agar pihak-pihak yang memerlukan, terutama golongan ekonomi lemah dapat
terjangkau pemberian pelayanan pendaftaran tanah.
3. Asas mutakhir
Kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaan dan berkesinambungan
pemeliharaan data pendaftaran tanah. Data yang tersedia harus menunjukkan
keadaan mutakhir, sehingga perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan
perubahan-perubahan yang terjadi. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data
pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga data
4. Asas keterbukaan
Agar masyarakat dapat memperoleh keterangan dalam hal penyelenggaraan
pendaftaran tanah mengenai data yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan.
Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, maka kepada
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.
Sementara itu, untuk melaksanakan fungsi informasi data yang berkaitan dengan
aspek fisik dan yuridis dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, terbuka
untuk umum.
1.6.4 Sertifikat Hak Atas Tanah
Secara umum sertifikat hak atas tanah merupakan bukti hak atas tanah.
Sertifikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas
bidang tanah tertentu. Untuk membuktikan tersebut dibutuhkan data fisik dan
data yuridis yang termuat dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan
dalam perspektif konseptual. Data fisik yang dimaksud mencakup keterangan
mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan
mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta
beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan data yuridis dalam buku
tanah ukur disajikan dalam peta dan uraian. Dalam surat ukur dicantukan keadaan,
letak, luas, dan batas tanah yang bersangkutan.
Jikalau dilihat dari perspektif hukum tata usaha Negara, sertifikat hak atas
1. Keputusan Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara
2. Maksud isi tukisan sertifikat intinya berisi jenis hak (misal hak milik atau hak
guna bangunan), lokasi/alamat tanah, luas tanah, batas tanah, nomor sertifikat,
surat ukut,, dan nomor surat dan sebagainya.
3. Tulisan itu ditujukan kepada orang, sekumpulan orang atau badan hukum
sebagai pemegang hak atas tanah.
Sertifikat hak atas tanah merupakan keputusan Tata Usaha Negara yang
bersifat konstiutif, yang merupakan alat bukti mutlak lahirnya hubungan hukum.
Oleh karena itu, dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konstiutif ini
akan menciptakan hubungan hukum. Dalam kaitannya dengan hal ini, sertifikat
hak atas tanah memberikan hubungan hukum untuk menggunakan dan
memanfaatkan tanah untuk berbagai kepentingan termasuk kepentingan dengan
pihak lain.
I.7. Definisi Konsep
Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas
dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau
individu tertentu. Peranan konsep dalam penelitian sangat besar karena
menghubungkan dunia teori dan dunia observasi, antara abstraksi dan realitas.
Dengan adanya konsep akan memberikan batasan terhadap pembahasan dari
permasalahan yang ditentukan oleh peneliti. Adapun defenisi konsep dari
1. Kebijakan publik adalah proses untuk merumuskan suatu permasalah
sosial yang dianggap mendapat perhatian besar untuk diambil suatu
tindakan dalam mengatasinya.
2. Implementasi kebijakan adalah proses atau suatu tindakan untuk melihat
atau menilai suatu kebijakan atau program apakah berjalan sesuai dengan
sasaran yang telah ditentukan atau tidak. Teori implementasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model teori implementasi George
Edward III, dengan empat faktor yang mempengaruhi implementasi yaitu :
a. Komunikasi yaitu penyampaian tentang kebijakan yang dibuat kepada
implementor agar kebijakan yang dibuat benar-benar dipahami.
b. Sumber daya yaitu faktor penunjang keberhasilan dari terlaksananya
suatu kebijakan / program. Sumber daya yang dimaksud terdiri dari
sumber daya manusia dan sumber daya finansial.
c. Kecenderungan-kecenderungan atau disposisi yaitu kharakteristik atau
sikap yang dimiliki oleh implementor terhadap kebijakan yang diambil
atau diputuskan.
d. Struktur Birokrasi yaitu susunan atau aturan yang ada terkait birokrasi
atau badan pelaksana dari suatu kebijakan / program untuk mengetahui
I.8. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan ini ditulis dalam enam bab, yang
terdiri dari:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang, fokus masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,
defenisi konsep, dan sistematika penulisan
BAB 2 METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini terdiri dari bentuk penulisan, lokasi penelitian, informan
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan
pengujian keabsahan data.
BAB 3 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan gambaran umum mengenai daerah penelitian yang
meliputi keadaan geografis, kependudukan, sosial, ekonomi dan
pemerintahan serta gambaran umum mengenai program.
BAB 4 PENYAJIAN DATA
Bab ini membahas tentang hasil data-data yang diperoleh di
BAB 5 ANALISIS DATA
Bab ini merupakan tempat melakukan analisa data yang diperoleh
saat penelitian dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang
diajukan
BAB 6 PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang
dilakukan dan saran-saran yang dianggap perlu sebagai rekomendasi
BAB II
METODE PENELITIAN
II.1. Bentuk Penelitian
Bentuk yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang
mengemukakan gejala/keadaan/peristiwa/masalah sebagaimana adanya secara
lengkap dan diikuti dengan pemberian analisa dan interpretasi.
II.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pertanahan Kota Binjai yang terletak
di Jl. Samanhudi No.14 Kota Binjai.
II.3. Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari
hasil penelitiannya. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal
adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus
penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang
akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.
Informan dalam penelitian meliputi beberapa macam, seperti : informan kunci
(Key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian dan informan utama, yaitu mereka yang
terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menentukan informan dengan
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan informan secara sengaja dan informan yang digunakan adalah mereka yang benar-benar paham
mengenai permasalah yang akan diteliti. Adapun informan dalam penelitian
adalah :
1. Informan kunci yang berjumlah satu orang yaitu penanggung jawab
pelaksanaan program larasita yaitu Khoirun Nisak, SH, MH (Kasi
Pengendalian dan Pemberdayaan).
2. Informan utama adalah pegawai kantor pertanahan yang mengetahui
program larasita yaitu :
a. Drs. Rasmon Sinamo ; Kepala Kantor Pertanahan Kota Binjai
b. Mufrida Lubis ; Kasubsi Pemberdayaan Masyarakat
d. Elfazahra Suardi ; Staf Pengukuran
e. Tomy Surya Pradita ; Tenaga honorer yang terlibat dalam program
LARASITA
II.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini diperlukan data atau keterangan dan informasi. Untuk
itu peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai
berikut :
1. Teknik pengumpulan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung ke
lokasi penelitian untuk mencari data yang lengkap dan berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Pengumpulan data primer dilakukan melalui :
a. Wawancara secara mendalam (In-depth Interview), yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara
langsung dan mendalam untuk memperoleh data yang lengkap dan
mendalam kepada pihak-pihak yang terkait sehingga memperoleh
informasi yang terinci. Dalam melakukan wawancara ini, peneliti
menggunakan :
1. Buku catatan yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang
dianggap penting dalam percakapan yang berlangsung.
2. Alat perekam yang digunakan untuk merekam semua isi
percakapan yang berisikan informasi terkait masalah penelitian.
b. Observasi yaitu pengumpulan data dengan kegiatan pengamatan