• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kohesi dan Koherensi Pada Upacara Marunjuk Masyarakat Batak Toba: Kajian Wacana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kohesi dan Koherensi Pada Upacara Marunjuk Masyarakat Batak Toba: Kajian Wacana"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kepustakaan Yang Relevan

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan. Hal ini

dikarenakan hasil dari suatu karya ilmiah harus dapat dipertanggungjawabkan dan

harus disertai dengan data-data yang akurat dan kuat serta ada hubungannya

dengan yang akan diteliti. Adapun hasil penelitian lain yang digunakan dalam

memahami dan mendukung penulisan skripsi ini adalah:

1. Skripsi yang ditulis oleh Dewi Hutasoit, (2012) dengan judul “Struktur

Wacana dalam Upacara Adat Kematian Saur Matua pada Masyarakat Batak

Toba”. Skripsi ini membahas tentang struktur wacana, unsur kohesi dan unsur

koherensi yang terdapat dalam wacana upacara adat Saur Matua masyarakat

Batak Toba dengan menggunakan teori analisis wacana menurut Robert

Sibarani dan Abdul Rani, dkk. Konstribusi skripsi ini terhadap penulisan

skripsi penulis adalah terdapat pada teknik pengumpulan data, metode analisis

data dan cara menganalisis unsur kohesi dan unsur koherensi dalam wacana

upacara adat Saur Matua masyarakat Batak Toba tersebut. Perbedaan skripsi

Dewi Hutasoit dengan penelitian yang akan dilakukan penulis ialah terletak

pada objek kajian yang akan diteliti.

2. Skripsi yang ditulis oleh Tardas Gurning, (2004) dengan judul “Sistem

Tatakrama Berbahasa Batak Toba pada Upacara Adat perkawinan”. Skripsi ini

membahas tentang sistem tatakrama berbahasa Batak Toba serta

(2)

terhadap penulisan skripsi penulis adalah terletak pada tahapan-tahapan

pelaksanaan “marunjuk” pada upacara perkawinan Batak Toba. Perbedaan

skripsi Tardas Gurning dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis

ialah terletak pada analisis wacana berupa unsur kohesi dan unsur koherensi

pada upacara perkawinan Batak Toba.

3. Skripsi yang ditulis oleh Dongan Manurung, (2003) dengan judul “Pembagian

dan Penyampaian Jambar Juhut Na Marmiak-miak dalam Pesta Adat

Perkawinan Batak Toba”. Skripsi ini membahas tentang pembagian dan

penyampaian jambar juhut na marmiak-miak dan juga bentuk upacara adat

perkawinan dalam masyarakat Batak Toba. Konstribusi skripsi ini terhadap

penulisan skripsi penulis adalah terletak pada pembagian dan penyampaian

jambar juhut na marmiak-miak dan bentuk upacara adat perkawinan dalam

masyarakat Batak Toba tersebut. Perbedaan skripsi Dongan Manurung dengan

penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ialah terletak pada analisis

wacana berupa unsur kohesi dan unsur koherensi pada upacara perkawinan

Batak Toba.

4. Skripsi yang ditulis oleh Aspiner Panjaitan, (2011) dengan judul “Fungsi dan

Makna Mangulosi pada Upacara Perkawinana Batak Toba: Kajian Pragmatik”.

Skripsi ini membahas tentang wacana “mangulosi” dan tahapan-tahapan

pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba. Konstribusi skripsi ini terhadap

penulisan skripsi penulis adalah dapat membantu penulis melihat wacana

mangulosi” dan tahapan-tahapan pelaksanaan upacara perkawinan Batak

Toba. Perbedaan skripsi Aspiner Panjaitan dengan penelitian yang akan

(3)

analisis wacana berupa unsur kohesi dan unsur koherensi pada upacara

perkawinan Batak Toba.

5. Sumarlam, dkk. (Buku, 2003) dengan judul “Teori dan Praktik Analisis

Wacana”. Konstribusi buku ini terhadap penulisan skripsi penulis ialah

mengarahkan dan membantu penulis untuk memahami bagaimana cara dalam

menganalisis sebuah wacana dengan menggunakan teori-teori para ahli seperti

Abdul Chaer, Eryanto, dan Fairclough.

6. Mulyana. (Buku, 2005) dengan judul “Kajian Wacana: Teori, Metode, dan

Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana”. Konstribusi buku ini terhadap

penulisan skripsi penulis ialah mengarahkan dan membantu penulis untuk

memahami bagaimana cara dalam menganalisis keutuhan dan kepaduan

sebuah wacana berupa unsur kohesi dan unsur koherensi dengan

menggunakan teori-teori para ahli seperti Anton M. Moeliono, Henry Guntur

Tarigan, Halliday dan Hasan, Gorys Keraf, HS Wahjudi, Brown dan Yule, dan

Harimurti Kridalaksana.

2.1.1 Pengertian Wacana

Tarigan (Sumarlam, 2003:7) mengatakan “Wacana adalah satuan bahasa

yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan

koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, mempunyai awal dan akhir

yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis”.

“Wacana ialah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan

seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog atau secara tertulis seperti cerpen,

(4)

kohesif saling terkait dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren

terpadu” (Sumarlam, 2004:40).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sumarlam, 2003:9) “Wacana merupakan kelas kata benda (nomina) yang mempunyai arti sebagai: (1) ucapan, perkataan, tuturan; (2) keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan; (3) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya”.

Menurut Fairclough (Sumarlam, 2003:12) di dalam karyanya yang berjudul “Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, berpendapat bahwa “discourse is use of language seen as form of social practice, and discourse analysis is analysis of how texts work within social cultural practice. Such analysis requires attention to textual form, structure and organization at all levels; phonological, grammatical; lexical (vocabulary) and higher levels of textual organization in term of exchange systems(the distribution of speaking turns), structures of

argumentation, and generic (activity type) structures”. Dari definisi

tersebut dapat kita ketahui bahwa wacana adalah pemakaian bahasa tampak sebagai sebuah praktik sosial, dan analisis wacana adalah analisis mengenai bagaimana teks bekerja/berfungsi dalam praktik sosial budaya. Analisis seperti itu mengutamakan perhatian pada bentuk, struktur, dan organisasi tekstual pada semua tataran: fonologis, gramatikal, leksikal (kosakata) dan tataran-tataran yang lebih tinggi dari organisasi tekstual yang berkenaan dengan sistem perubahan (pembagian giliran percakapan), struktur argumentasi, dan struktur umum (tipe aktivitas)”.

Suatu wacana dituntut memiliki keutuhan wacana. Keutuhan itu sendiri

dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi

kewacanaan yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah organisasi,

struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya.

Sibarani (Hutasoit, 2012:7) mengatakan “Struktur wacana merupakan

suatu kesatuan, saling berhubungan dan saling mendukung”. Suatu rangkaian

kalimat dikatakan menjadi struktur wacana bila di dalamnya terdapat hubungan

emosional (maknawi) antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Sebaliknya,

(5)

kalimat dalam rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan

secara semantis.

Menurut Eryanto (Sumarlam, 2004:4) “Memberikan dua batasan wacana, yaitu (1) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. (2) wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis”.

Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu mengandung

aspek-aspek yang terpadu dan menyatu. Aspek-aspek-aspek keutuhan wacana antara lain

kohesi, koherensi, topik wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek

fonologis, dan aspek semantis. Keutuhan wacana didukung oleh setting atau

konteks terjadinya wacana tersebut (rumusan Dell Hymes dengan akronim

Speaking). Secara komprehensif dapat dikatakan bahwa keutuhan wacana dapat

terjadi dari adanya saling keterkaitan antar dua aspek utama wacana, yaitu teks

dan konteks.

Aspek pengutuhan wacana tersebut dikelompokkan ke dalam dua unsur,

yaitu unsur kohesi dan unsur koherensi. Unsur kohesi dan koherensi merupakan

unsur yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dua istilah ini

merupakan satu kesatuan yang selalu melekat. Unsur kohesi meliputi aspek-aspek

leksikal, gramatikal, fonologis, sedangkan unsur koherensi mencakup aspek

(6)

2.1.2 Pengertian Kohesi dan Koherensi 2.1.2.1Kohesi

Konsep kohesi pada dasarnya mengacu pada hubungan bentuk, yaitu

unsur-unsur wacana (kata dan kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu

wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Kohesi termasuk dalam aspek

internal struktur wacana. Sehubungan dengan hal tersebut, Tarigan (Mulyana,

2005:26) mengatakan “Penelitian terhadap unsur kohesi menjadi bagian dari

kajian aspek formal bahasa”. Oleh karenanya, organisasi dan struktur

kewacanaannya juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik dan gramatikal.

Moelino, dkk (Mulyana, 2005:26) mengatakan “Untuk memperoleh

wacana yang baik dan utuh, maka kalimat-kalimatnya harus kohesif”. Hanya

dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam wacana dapat

diinterpretasikan sesuai dengan ketergantungannya dengan unsur-unsur lainnya.

Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai oleh kehadiran pemarkah

(penanda) khusus yang bersifat lingual-formal.

Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Ini berarti bahwa

kohesi adalah organisasi sintaktik. Organisasi sintaktik ini merupakan wadah

kalimat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian

organisasi tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Gutwinsky (Tarigan,

1987:96) mengatakan “Kohesi adalah hubungan di antara kalimat di dalam

sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal maupun dari segi tingkat

leksikal tertentu”. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan kohesi yang baik,

(7)

Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara

struktural membentuk ikatan sintaktikal. Kohesi wacana terbagi ke dalam dua

aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain

adalah referensi, subsitusi, elipsis, dan konjungsi. Sedangkan yang termasuk

kohesi leksikal adalah repetisi, kolokasi, sinonimi, antonimi, dan hiponimi. Kedua

jenis kohesi ini terdapat dalam suatu kesatuan teks. Kohesi ini juga

memperlihatkan jalinan ujaran dalam bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks

atau konteks dengan cara menghubungkan makna yang terkandung di dalam

unsur.

2.1.2.2Koherensi

Tarigan (Mulyana, 2005:30) mengatakan “Istilah koherensi mengandung

makna pertalian, dalam konsep kewacanaan berarti pertalian atau isi kalimat”.

Keraf (Mulyana, 2005:30) juga mengatakan “Koherensi berarti hubungan timbal

balik yang serasi antarunsur dalam kalimat”. Sejalan dengan pendapat tersebut,

Wahjudi (Mulyana, 2005:30) mengatakan “Hubungan koherensi ialah keterkaitan

antara bagian yang satu dengan bagian lainnya, sehingga kalimat memiliki

kesatuan makna yang utuh”. Wacana yang koheren memiliki ciri-ciri yaitu

susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi, sehingga mudah diinterpretasikan.

Pendapat-pendapat tersebut diperkuat oleh Brown dan Yule (Mulyana,

2005:30) mengatakan “Koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan

dalam suatu teks atau tuturan”. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat

diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi yang satu

(8)

tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi

antarunsur (bagian) secara semantis. Hubungan tersebut kadang terjadi melalui

alat bantu, namun kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan unsur kohesi.

Suatu wacana bersifat koheren, bukan hanya karena hubungan

antarbagian, melainkan juga karena adanya reaksi tindak ujar yang signifikan dari

pembaca atau pendengar. Jadi, koherensi pada dasarnya memberi ukuran seberapa

jauh kebermaknaan suatu teks.

2.2Teori Yang Digunakan

Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat

menjadi penuntun bagi kerja penulis dalam memecahkan masalah yang dibahas.

Menurut Atmadilaga (Gurning, 2004:9) “Teori merupakan landasan fundamental

ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberikan jawaban

rasional terhadap masalah yang digarap”.

Penulis menggunakan dua teori dalam menganalisis kohesi dan koherensi

pada upacara marunjuk masyarakat Batak Toba yaitu teori yang dikemukakan

oleh Sumarlam dan Kridalaksana.

Teori yang digunakan dalam menganalisis kohesi pada wacana marunjuk

masyarakat Batak Toba mengacu pada teori Sumarlam.

Sumarlam (2003:23) “Kohesi dalam wacana adalah kepaduan dari segi

hubungan bentuk atau struktur lahir yang bersifat kohesif”. Unsur kohesi wacana

(9)

a. Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal adalah hubungan antarunsur dalam wacana dari

segi bentuk atau struktur lahir wacana. Aspek gramatikal wacana meliputi:

pengacuan (reference), penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan

perangkaian (conjunction), (Sumarlam, 2003:23).

1. Pengacuan (Referensi)

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (suatu

acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan tempatnya, apakah

acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan dibedakan

menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang

diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, dan (2) pengacuan eksofora

apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana.

Pengacuan endofora berdasarkan arah pengacuannya dibedakan menjadi

dua jenis lagi, yaitu pengacuan anaforis (anaphoric reference) dan pengacuan

kataforis (cataphoric reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi

yang berupa satuan lingual tertentu mengacu pada satuan lingual lain yang

mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur

yang telah disebut terdahulu. Sementara itu, pengacuan kataforis merupakan salah

satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada

satuan lingual yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau

mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian (Sumarlam, 2003:23-24).

Kohesi gramatikal pengacuan diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu

(10)

a) Pengacuan persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronominal persona (kata ganti

orang) yang meliputi persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, baik

tunggal maupun jamak.

Klasifikasi pengacuan Pronomina persona sebagai berikut:

1) Persona I

Persona I Tunggal: aku, saya, hamba, gua/gue, ana/ane

Terikat lekat kiri:

ku-Terikat lekat kanan: -ku

Persona I Jamak: kami, kami semua, kita

2) Persona II

Persona II Tunggal: kamu, anda, anta/ente

Terikat lekat kiri:

kau-Terikat lekat kanan: -mu

Persona II Jamak: kamu semua, kalian, kalian semua

3) Persona III

Persona III Tunggal: ia, dia, beliau

Terikat lekat kiri:

di-Terikat lekat kanan: -nya

(11)

b) Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif

tempat (lokasional).

Klasifikasi pengacuan pronominal demonstratif sebagai berikut:

1) Demonstratif waktu

Kini: kini, sekarang, saat ini

Lampau: kemarin, dulu, yang lalu

y.a.d.: besok, depan, yang akan datang

Netral: pagi, siang, sore

2) Demonstratif tempat

Dekat dengan penutur: sini, ini

Agak dekat dengan penutur: situ, itu

Jauh dengan penutur: sana

Menunjuk secara eksplisit: Medan

c) Pengacuan Komparatif

Pengacuan komparatif (perbandingan) adalah salah satu jenis kohesi

gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai

kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak,

(12)

2. Penyulihan (Subsitusi)

Penyulihan atau subsitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan

lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi

satuan lingualnya, subsitusi dapat dibedakan menjadi subsitusi nominal, verbal,

frasal, dan klausal (Sumarlam, 2003:28).

a. Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori

nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori

nomina.

b. Subsitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba

(kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba.

c. Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata

atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa.

d. Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa

klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau

frasa.

3. Pelesapan (Elipsis)

Pelesapan (elipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa

penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan

sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata,

frasa, klausa, atau kalimat. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain

alah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat), (2)

(13)

mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca atau pendengar berfungsi

untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam

satuan bahasa, dan (5) untuk kepratisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi

secara lisan (Sumarlam, 2003:30).

4. Perangkaian (Konjungsi)

Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan

dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam

wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa klausa,

kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya

alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah

alih topik atau pemarkah disjungtif (Sumarlam, 2003:32).

Dilihat dari segi maknanya, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai

bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat

dikemukakan antara lain:

1. Sebab-akibat : sebab, karena, maka, makanya

2. Pertentangan : tetapi, namun

3. Kelebihan (eksesif) : malah

4. Perkecualian : kecuali

5. Konsesif : walaupun, meskipun

6. Tujuan : agar, supaya

7. Penambahan (aditif) : dan, juga, serta

8. Pilihan (alternatif) : atau, apa

(14)

10.Urutan (sekuensial) : lalu, terus, kemudian

11.Perlawanan : sebaliknya

12.Waktu : setelah, sesudah, usai, selesai

13.Syarat : apabila, jika (demikian)

14.Cara : dengan (cara) begitu

b. Kohesi Leksikal

Kohesi leksikal ialah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis

atau makna. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal dengan

pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara

satuan lingual yang satu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Kohesi leksikal

dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu repetisi

(pengulangan), sinonimi (padan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi

(hubungan atas-bawah), antonimi (lawan kata), dan ekuivalensi (kesepadanan),

(Sumarlam, 2003:35).

1. Repetisi (Pengulangan)

“Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau

bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah

konteks yang sesuai” (Sumarlam, 2003:35). Pengulangan yang dimaksud bukan

proses reduplikasi melainkan pengulangan sebagai penanda hubungan

antarkalimat dengan adanya unsur pengulangan yang mengulang unsur yang

(15)

2. Sinonimi (Padan Kata)

“Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara

satuan lingual dengan satuan lingual lain dalam wacana” (Sumarlam, 2003:39).

Pemakaian dua kata yang bersinonim dalam dua klausa membuat kedua klausa

bertaut.

3. Antonimi (Lawan Kata)

“Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang

lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan

lingual yang lain” (Sumarlam, 2003:40). Oleh karena itu antonimi disebut juga

oposisi makna, yang mencakup konsep yang benar-benar berlawanan sampai

kepada yang hanya kontras makna saja. Dua unsur leksikal dikatakan berlawanan

atau antonim jika makna pertentangan atau perlawanan di dalam kedua kata itu.

Dengan dua kata berlawanan dua klausa atau lebih dapat bertaut.

4. Kolokasi (Sanding Kata)

“Kolokasi adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang

cenderung digunakan secara berdampingan” (Sumarlam, 2003:44). Kata-kata

yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain

atau jaringan tertentu. Berbeda dengan hubungan arti dalam sinonim, antonim,

dan hiponim. Kolokasi menunjukkan kemungkinan pemunculan satu kata dengan

kata lain. Dengan defenisi ini, jika satu kata muncul dalam satu klausa, kata lain

sangat besar kemungkinannya untuk muncul di klausa kedua atau kluasa

(16)

dengan deras atau gerimis. Dalam pola hubungan yang sangat erat, satu kata

langsung berpadan dengan yang lain dengan membentuk satu kesatuan, seperti

hujan dan deras menjadi hujan deras.

5. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)

“Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat)

yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain”

(Sumarlam, 2003:45). Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur

atau satuan lingual yang berhiponim disebut hipernim atau superordinat. Dua kata

atau lebih merupakan hiponim jika satu kata merupakan anggota dari kata yang

menjadi kelompoknya. Dengan kata lain, hiponim merupakan rincian atau anggota

dari satu kelompok.

6. Ekuivalensi (Kesepadanan)

“Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu

dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma” (Sumarlam, 2003:46).

Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama

(17)

Sedangkan teori yang digunakan dalam menganalisis koherensi pada

wacana marunjuk masyarakat Batak Toba mengacu pada teori Kridalaksana.

Kridalaksana (Mulyana, 2005:32) mengatakan “Hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah ‘hubungan semantis’. Artinya hubungan itu terjadi antarproposisi. Secara struktural, hubungan ini direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi kadang-kadang ditandai oleh alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa penanda”. Hubungan semantis yang dimaksud antara lain adalah:

1. Hubungan sebab-akibat

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “mengapa sampai terjadi begini?” atau kalimat yang satu bermakna sebab dan kalimat lainnya menjadi akibat.

Contoh: Ia tidak mungkin mendapatkan beasiswa itu. Berkas-berkas pendaftaran yang sudah ditentukan tidak lengkap.

2. Hubungan sarana-hasil

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “mengapa hal itu dapat terjadi?” dan hasil itu sudah tercapai.

Contoh: Kecamatan Baktiraja menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Humbang Hasundutan. Kita tidak usah heran, masyarakat

Baktiraja selalu melestarikan dan peduli akan lingkungannya.

3. Hubungan alasan-sebab

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Apa alasannya”. Contoh: Dosen penguji Intan tidak hadir ketika ia mau ujian seminar proposal. Intan gagal ujian seminar proposal.

4. Hubungan sarana-tujuan

Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu?”. Berbeda dengan hubungan sarana-hasil dalam sarana-tujuan, belum tentu tujuan tersebut tercapai. Contoh: Kuasailah bahasa inggris. Jika anda ingin bersaing dalam Masyarakat Ekonomi Asean.

5. Hubungan latar-kesimpulan

Salah satu bagian kalimat yang menjawab pertanyaan, “bukti apa yang menjadi dasar kesimpulan itu?”.

Contoh: Kecamatan Baktiraja memiliki objek-objek wisata yang indah. Rupanya masyarakat Kecamatan Baktiraja selalu merawat dan menjaga objek-objek wisata tersebut dengan baik.

6. Hubungan kelonggaran-hasil

Salah satu bagian kalimat yang menyatakan kegagalan suatu usaha. Contoh: Sudah lama saya belajar berbahasa Inggris. Sampai sekarang ini saya belum bisa berbahasa inggris dengan baik.

7. Hubungan syarat-hasil

(18)

Contoh: Kuasailah bahasa Inggris dan komputer dengan baik. Anda akan diterima sebagai tenaga kerja di perusahaan itu.

8. Hubungan perbandingan

Salah satu bagian kalimat menyatakan perbandingan dengan bagian kalimat yang lain.

Contoh: Tahun ini kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia meningkat tajam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

9. Hubungan parafrastis

Salah satu bagian kalimat mengungkapkan isi dari bagian kalimat lain dengan cara lain.

Contoh: Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini, karena tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita menghemat uang rakyat.

10.Hubungan amplikatif

Salah satu bagian kalimat memperkuat atau memperjelas bagian kalimat lainnya.

Contoh: Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan dalam satu kandang saja.

11.Hubungan aditif waktu (Simultan dan Beruntun)

Contoh: Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini (simultan). Kita sudah sampai di Samosir. Langsung ke Hotspring saja. Habis itu kita mandi dan cari makan di Pangururan (beruntun). 12.Hubungan aditif non waktu

Contoh: Para petani itu malas? Atau kurang beruntung? 13.Hubungan identifikasi

Contoh: Tidak bisa masuk ke Universitas itu tidak berarti bodoh. Kamu tahu tidak, Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk ke Universitas.

14.Hubungan generik-spesifik

Contoh: Gadis itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya sangat menawan. Apalagi jalannya, luar biasa.

15.Hubungan ibarat

Salah satu bagian kalimat memberikan gambaran perumpamaan (ibarat).

Referensi

Dokumen terkait

Kesehatan” dalam majalah Paras , (3) Mendeskripsikan konteks wacana yang menyertai kohesi dan koherensi pada wacana “Paras Kesehatan” dalam

ANALISIS BENTUK KOHESI DAN KOHERENSI DALAM WACANA PADA BUKU TEKS JOKYUU DOKKAI I JPBJ UPI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk, artinya unsur- unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana

Sampel yang digunakan adalah sebagian kalimat yang mengandung unsur kohesi dan koherensi pada CMMT di profil Facebook dari Desember 2009 sampai Maret

2) kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan keherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu

Penggunaan kohesi dan koherensi dalam wacana surat kabar Jawa Pos rubrik Zetizen edisi November- Desember 2019 terdiri dari dua aspek, yaitu aspek gramatikal dan

Pada kondisi tertentu, unsur-unsur kohesi menjadi kontributor penting bagi terbentuknya wacana yang koheren, sedangkan pemakaian koherensi antara lain adalah bertujuan agar

Dengan demikian, hakikat wacana sesungguhnya adalah satuan bahasa yang terlengkap, terbesar, dan tertinggi di atas kalimat atau klausa yang tersusun rapi, teratur, saling