• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perangkap Kemiskinan Pengrajin Batu Bata di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perangkap Kemiskinan Pengrajin Batu Bata di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia telah bayak melaksanakan berbagai program sebagai upaya untuk mengurangi jumlah penduduk misksin, sementara itu data BPS menyatakan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2009 tercatat sebesar 31,53 juta jiwa atau sekitar 14,15%. Jumlah ini turun 2,43 juta jiwa dibandingkan Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau sekitar 15,42%. (PEPORA : 2010 Rakyat Miskin Bertambah [LIPI]. 2009. Jakarta. (online) lipi).Akan tetapi kenyataannya pada saat ini Indonesia adalah negara yang masih menghadapi problema kemiskinan. Belum lama ini media Indonesia menyajikan hasil survei terhadap 480 reponden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telepon enam kota besar di Indonesia ( Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar) (Hilida, 2008 pada Edi Suharto 2009: 19), dan hasilnya 73% responden merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari – hari semakin sulit.

(2)

keterbatasan keterampilan, keterbatasan lapangan pekerjaan, keterbatasan tingkat pendidikan serata tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah.

Fenomena kemiskinan dapat dijumpai di desa maupun di kota. Berdasarkan studi SMERU, Suharto ( 2006:132 Edi Suharto 2009:16 ), faktor penyebabnya kemiskinan yaitu:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan)

2. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik dan mental.

3. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban KDRT, janda miskin, kelompok marjinal, dan terpencil).

4. Rendahnya kualitas SDM ( buta huruf, redahnya pendidikan dan keterampilan) dan keterbatasan SDA (tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan, listrik, air).

5. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual ( rendahnya pendapatan dan aset), maupun massal (rendahnya modal sosial, ketiadaan fasilitas umum).

6. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesinambungan.

7. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup lainnya ( kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

8. Ketiadaan jaminan masa depan, karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan sosial dari negara dan masyarakat. 9. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

(3)

untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kalori yang dibutuhkan orang perhari dan kebutuhan nonmakanan yang terdiri dari rumah/tempat tinggal, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi serta beraneka barang dan jasa lainnya.

Fenomena kemiskinan juga terlihat di Desa Teluk Lapian ini pada 55 kepala keluarga yang menggantungkan mata pencahariannya menjadi pengrajin batu bata. Hal ini terasa sangat ironis ketika kita melihat hasil kerja mereka berupa batu bata sebenarnya sangat dibutuhkan oleh konsumen terutama pada mereka yang ingin mendirikan rumah- rumah atau gedung- gedung di perkotaan yang salah satu komponen bahan bakunya terbuat dari batu bata. Sebenarnya dalam hal ini para pengrajin batu bata itu mempunyai prospek pemasaran yang luas, dikarenakan banyak masyarakat yang membutuhkannya, sedangkan pengrajin batu bata semakin langkah atau terbatas dikarenakan komposisi tanah yang digunakan untuk membuat batu bata semakin sulit tetapi kebutuhan konsumen akan batu bata ini sangatlah tinggi untuk membuat rumah atau gedung- gedung. Hal ini dikarenakan lahan atau sebidang tanah yang mereka gunakan untuk pembuatan batu bata secara terus menerus dieksploitasi yang mengakibatkan mereka tidak memiliki lahan garapan untuk pertanian atau perkebunan lagi, inilah yang membuat mereka akan semakin miskin. Sedangkan pendapatan pengrajin batu bata tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan bulanan mereka terutama bagi orang tua yang masih menyekolahkan anaknya. Untuk menutupi kekurangan tersebut mereka meminjam uang kepada tetangganya.

Dalam penelitian ini, terdapat penggolongan pekerjaan pengrajin batu bata yang meliputi:

1. Pengusaha batu bata, merupakan pemilik modal. Jika dihitung pendapatan bersih mereka mencapai Rp.3.200.000 dalam setiap penjualan batu.

(4)

tidak menentu bisa bekerja 6 jam/hari atau bekerja sampai 8 jam/hari dan waktunya tidak ditentukan pada pagi, siang atau sore hari. Jadi jika dihitung rata-rata penghasilannya perbulan mereka mendapatkan upah sebesar Rp. 180.000 – Rp.210.000/bulan.

3. Meluluh tanah atau Penggiling tanah. untuk 10.000 batu dengan upah sebesar Rp.200.000. Jam kerja bisa dilakukan pada sore hari, jam kerjanya bisa 2 sampai 3 jam/hari, dimulai pada pukul 15.00 Wib – 18.00 Wib.

4. Pencetak batu bata. Perhari mereka bekerja dari pukul 08.00 Wib - 11.00 Wib siang dan paling lama bekerja sampai pukul 12.00 siang. Jadi jam kerja mereka 3 sampai 4 jam/hari. Untuk pekerja wanita mereka mendapat upah sebesar Rp.20.000- Rp.25.000, sedangkan untuk pekerja laki-laki dalam 1 hari mereka mendapat upah Rp.35.000/hari. Dalam 1 hari itu mereka bisa mencetak 1000 – 1200 batu bata. Jika dihitung rata-rata penghasilan perbulannya maka dalam 1 bulan mereka hanya bekerja 16- 20 hari sudah selesai jika tidak terjadi musim hujan, dan mendapat upah sebesar Rp.400.000 –Rp.560.000/bulan.

(5)

6. Pekerja pelangsir batu bata, merupakan orang yang memindahkan batu bata ke

tempat pembakaran. Pekerjaan ini juga biasa dikerjakan pada sore hari yakni pada pukul 15.00 Wib sampai jam 17.00 Wib. Jadi mereka bekerja 3 jam/hari. Dalam satu hari mereka mendapat upah sebesar Rp.75.000/orang. Dalam 1 bulan mereka hanya bekerja selama 3 hari sudah selesai, jadi per orang pendapatan mereka Rp.225.000/bulan.

7. Pekerja yang membakar batu bata mendapat upah sebesar Rp.400.000 untuk 2 orang pekerja dalam 1 hari 1 malam.Waktu pembakaran batu ini bisa mencapai 2 hari 3 malam secara terus menerus selama 24 jam dan biasanya mereka menginap diluar rumah dekat dengan pembakaran batu bata, hal ini disebabkan dalam pembakaran batu ini tempratur api harus selalu diawasi agar api dalam pembakaran tidak mati. Ini semua dapat berdamapak pada kualitas batu tersebut. Dalam 1 bulan mereka hanya bekerja selama 3 hari, jadi dalam 1 bulan mereka mendapat upah sebesar Rp.600.000/perorang untuk pekerjaan membakar batu saja.

Dari klasifikasi pembagian kerja di atas terdapat mobilitas sosial secara horizontal, dimana adanya perpindahan atau pergeseran pekerjaan dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang lain. Seperti pencetak batu bata yang dapat berpindah menjadi penyiger, dimana pekerjaan yang dilakukan dalam waktu yang berbeda. Jadi dalam satu bulan mereka mendapatkan upah sebesar Rp.600.000 – Rp.700.000/bulan dengan jam kerja 6 sampai 7 jam/hari, dalam kurun waktu 16 sampai 20 hari. Demikian juga dengan pekerja yang membakar batu bata juga dapat berpindah menjadi yang meluluh tanah. Jadi seseorang yang bekerja sebagai pembakar batu bata dan meluluh batu,maka pendapatan mereka sebesar Rp. 800.000/bulan.

(6)

anyaman bambu. Walaupun penghasilan pengusaha batu bata terlihat besar yaitu Rp.6.000.000, namun ia harus menyisihkan uang sebesar Rp.2.800.000 – Rp.3.000.000 untuk biaya produksi. Jadi fenomena kemiskinan itu hanya terjadi pada tenaga kerja pengrajin batu bata bukan pengusaha batu bata. Diantara mereka rata-rata sudah berkeluarga dan menanggung keluarganya. Apabila dibandingkan mereka bekerja merantau ke Medan atau di Pekan Baru atau di luar kota lainnya, bahwa menjadi pengusaha lebih menguntungkan. Namun demikian, penghasilan itu juga tidak menetap karena sangat bergantung pada musim hujan yang menghambat proses pencetakan dan pengeringan batu hingga 2 bulan. Dalam hal ini, walaupun penghasilan mereka kecil, mereka mendapatkan upah secara kontan dan bahkan pekerjaan tersebut sudah menjadi keterampilan turun- temurun.

Pekerja pengrajin batu bata merupakan pekerja yang mandiri yang berarti mereka bekerja sendiri- sendiri sesuai dengan pembagian kerja mereka masing – masing, dilihat waktu mereka bekerja juga sangat variatif, ada yang bekerja dari pagi sampai siang hari dan ada yang bekerja dari sore hingga hampir petang. Pekerja pengrajin batu bata ini juga tidak terdapat jenjang karir karena seseorang yang bekerja tidak dapat naik golongan kerja, sebab yang dibutuhkan dalam pekerjaan ini bukanlah masa kerja yang ditentukan agar seseorang dapat naik golongan kerja, tetapi yang dibutuhkan adalah keahlian, tenaga dan berapa banyak ia dapat mencetak batu dalam satu hari. Apabila sakit mereka tidak mendapatkan uang karena mereka tidak bekerja. Maka dari itu, penghasilan mereka dibayar sesuai dengan hasil mereka bekerja dalam satu hari. Apabila terjadi kerusakan batu sebelum penghitungan maka batu yang rusak tidak dapat dihitung dan harus dicetak kembali.

(7)

untuk mencari pekerjaan lain, sehingga hanya membuat batu saja yang dapat mereka lakukan, karena sudah lama budaya sebagai pengrajin batu ini ditanamkan oleh keluarga mereka. Menurut Pak Lambang,” pengrajin batu ini ada yang dikerjakan secara turun temurun, namun ada juga orang yang membuat batu untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan lain, artinya ada orang yang membuat batu hanya untuk kepentingan membuat rumahnya sendiri”. Terjadinya kesulitan ekonomi ini diperparah dengan adanya agen yang berperan dalam menentukan harga pasaran dalam ditribusi penjualan karena agen akan mengambil keuntungan kembali dalam penjualan batu bata tersebut karena agen sebagai penadah yang datang langsung ke pengrajin batu bata dan akan dijual kembali di luar daerah seperti di Dearah Aek Kenopan. Pengrajin menjual batu bata kepada agen Rp.300/biji dan agen akan menjualnya kembali ke pembeli dengan harga Rp.330 tetapi ada juga orang atau masyarakat yang datang langsung untuk memesan batu bata ke pengrajin.

(8)

alat – alat atau mesin yang dapat mempermudah kegiatan produksi batu bata guna meningkatkan kesejahteraan pengrajin batu bata, sehingga ini menyebabkan mereka semakin sulit. (Wartapedia. 2011. Pancaroba: Pengrajin Batu Bata Kesulitan Bahan Baku. Madiun. (online)(http://wartapedia.com/bisnis/ukm/2719-pancaroba-pengrajin-batu-bata-kesulitan-bahan-baku.html).Diakses pada tanggal 30 Maret 2012 pada pukul 11.40 Wib).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang diteliti adalah:

1. Faktor – faktor apakah yang menyebabkan kemiskinan pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun?

2. Bagaimana strategi adaptasi pengrajin batu bata bertahan dengan situasi kemiskinan tersebut?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan pada para pekerja pengrajin batu bata di Nagori Teluk Lapian, Kecamatan Ujung Padang, Kabupaten Simalungun.

(9)

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan sumbangan kepada peneliti lain sebagai bahan perbandingan referensi dalam meneliti masalah yang mirip dengan penelitian ini dalam bidang ilmu sosiologi tertentu terutama bidang sosiologi lingkungan dan sosiologi ekonomi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan yang dapat diambil adalah penggunaan tepung buah jambu biji merah dalam ransum dengan level 250 ppm mampu meningkatkan pertumbuhan lingkar tulang tibia

Penelitian untuk mengetahui pengaruh terapi bermain terapi bermain super bubbles terhadap kecemasan akibat hospitalisasi pada anak prasekolah di RSUD Surakarta, dapat diambil

(2) Pada tahap Measure, produk buku memiliki kapabilitas sigma sebesar 2,50 dengan DPMO 12.359 yang artinya masih dalam kategori buruk dan perlu untuk ditingkatkan, dan terdapat 5

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengutus anggota Forum Anak Horas Tap.Teng ke Surabaya dalam rangka memeriahkannya dengan tema Gesit

Goal komitmen adalah mendorong atau menentukan suatu tujuan yang hendak harus lebih dicapai dalam organisasi baik dalam menetukan anggaran atau keberhasilan suatu

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manajerial seperti partisipasi anggaran, komitmen organisasi, dan job relevant information telah dilakukan

GLJXQDNDQ XQWXN PHPYDOLGDVL KDVLO WHUVHEXW +DVLO SHQHOLWLDQ PHQXQMXNNDQ EDKZD VHODPD SHQ\LPSDQDQ GLQJLQ VSHNWUD UHÀHNWDQ PDQJJD PHQJDODPL SHQXUXQDQ PHQJLQGLNDVLNDQ DGDQ\D

Sedangkan metode berfikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode berfikir secara deduktif, yakni cara berfikir dan pernyataan yang bersifat umum untuk ditarik