BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).
Salah satu metode penilaian status gizi dengan pengukuran IMT. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan pengukuran lemak tubuh secara tidak langsung yang berhubungan dengan penimbunan lemak pada masa dewasa dan peningkatan terhadap resiko kesehatan.
Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT/U
Kelebihan IMT/U sebagai skrinning gizi lebih khususnya obesitas pada anak antara lain :
1. Hasil pengukuran IMT/U konsisten dengan indeks IMT pada dewasa sehingga IMT/U dapat digunakan mulai dari 2 tahun hingga dewasa (19 tahun)
2. IMT/U pada anak-anak dapat digunakan untuk memprediksi IMT pada masa dewasa. Mereka yang mempunyai IMT/U tinggi berpotensi untuk mempunyai IMT tinggi pada masa dewasa.
3. IMT/U berkorelasi dengan resiko kesehatan seperti penyakit kardiovaskular yang meliputi dislipidemia, peningkatan insulin dan tekanan darah (Freedman et al, 1999 dalam CDC, 2000)
4. Penggunaan IMT/U sebagai skrinning untuk obesitas sebanding dengan penggunaan BB/TB dalam batas umur 3 sampai 5 tahun. Namun untuk usia 6 sampai batas 19 tahun, IMT/U mempunyai ketepatan yang lebih bila dibandingkan dengan BB/TB (Mei et al dalam CDC,2000)
2.2. Obesitas
Obesitas merupakan suatu penyakit yang merupakan kompleks kombinasi antara genetik dan faktor yang didapat seperti lingkungan, psikososial, biologis, dan faktor sosial ekonomis. Obesitas biasanya disebabkan oleh kelebihan masukan makanan yang nantinya akan disimpan menjadi simpanan lemak tubuh ketika masukan energi melebihi pengeluaran, dan keadaan ini biasanya terjadi bila ada keseimbangan energi positif dalam waktu yang lama (Dehghan et al, 2005).
Kegemukan (obesitas) adalah refleksi ketidakseimbangan konsumsi dan pengeluaran energi. Penyebabnya ada yang bersifat eksogenous dan endogenous. Penyebab eksogenous misalnya kegemaran makan secara berlebihan terutama makanan tinggi kalori tanpa diimbangi oleh aktivitas fisik yang cukup sehingga surplus energinya kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Penyebab endogenous adalah gangguan metabolik dalam tubuh, misalnya kejadian tumor pada hipotalamus dapat menyebabkan hipergia atau nafsu makan berlebihan (Khomsan, 2003).
Pengertian obesitas dan overweight tidak sama, sementara orang sering sekali menganggap obesitas dan overweight tersebut sama. Menurut Soegih & Kunkun (2009) kegemukan (obesitas) adalah peningkatan lemak tubuh yang berlebihan daripada yang diperlukan fungsi tubuh dan overweight (gizi lebih) adalah peningkatan berat badan yang melebihi berat badan rata-rata.
pernah terjadi pada anak anak. Sekitar 40% anak yang obesitas dan sekitar 80% remaja yang obesitas akan menjadi obesitas pada usia dewasa. Penambahan berat badan biasanya dimulai pada usia 5-7 tahun, selama pubertas atau saat usia remaja awal.
Di Indonesia, masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas (Almatsier, 2004). Pada tahun 2007 diperkirakan, sekitar 22 juta anak di dunia yang berusia kurang dari 5 tahun mengalami kegemukan dan obesitas. Lebih dari 75 % anak yang mengalami kegemukan dan obesitas itu tinggal di Negara yang pendapatannya menegah ke bawah (WHO, 2009).
Obesitas berhubungan dengan pola makan, terutama bila makan makanan yang mengandung tinggi kalori, tinggi garam dan rendah serat. Selain itu terdapat faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor demografi, faktor sosiokultur, faktor biologi dan faktor perilaku (Suastika, 2002).
2.2.1. Faktor Penyebab Obesitas
menyatakan kurangnya aktivitas sebagai pemicunya. Hubungan antara faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Herediter atau Keturunan
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Menurut Sjarif (2003), kalau salah satu diantara orangtuanya yang obesitas, maka anaknya mempunyai resiko 40% menjadi obesitas, sedangkan bila kedua orangtuanya obesitas risikonya menjadi 80%.
2. Jenis Kelamin
Obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama pada masa remaja, hal ini disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal. Perempuan sedikit lebih gemuk dan pada laki-laki pada saat kelahiran sampai anak-anak. Komposisi tubuh berbeda nyata antara laki-laki dan perempuan selama remaja.
3. Faktor Psikologis
Apa yang didalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Beberapa anak makan berlebihan untuk melupakan masalah, melawan kebosanan, atau meredam emosi, seperti stress. Masalah-masalah inilah yang menyebabkan terjadinya obesitas pada anak (Nirwana,2012).
4. Suku / Bangsa
5. Pandangan masyarakat yang salah tentang anak yang gemuk.
Banyak Ibu yang yakin bahwa bayi yang sehat adalah bayi yang gemuk. Padahal bayi gemuk memiliki kecenderungan gemuk di masa dewasa.
6. Aktivitas Fisik
Semakin banyak aktivitas maka semakin banyak kalori yang dibutuhkan sehingga meningkatkan pembakaran energi. Namun bila aktivitas fisik sedikit, kalori yang dibakar juga sedikit. Hal itu akan beresiko menyebakan kegemukan pada anak-anak. Penelitian Paramitha (2013) menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas dengan kejadian obesitas pada anak.
7. Sosial Ekonomi Orangtua
2.2.2. Prevalensi Obesitas pada Anak
Akhir-akhir ini obsitas pada anak-anak menjadi perhatian global karena menunjukkan kecenderungan untuk terus meningkat prevalensinya. Saat ini, obesitas tidak lagi menjadi masalah di Negara maju, tetapi juga di Negara berkembang. Masalah ini secara global terus menerus mempengaruhi banyak negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah, terutama pada daerah perkotaan (WHO, 2009).
Menurut Australian Health and Fitness Survey yang bekerja sama dengan Australian Council for Health, Physical Education and Recreation (1985) dalam Ariani (2007) melaporkan adanya peningkatan overweight dan obesitas dari 11,8% pada anak laki-laki dan 10,7% pada anak perempuan menjadi lebih besar 19% pada anak laki-laki dan 21% pada anak perempuan dalam 3 tahun. Prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir ini meningkat dari 7,6-10,8% menjadi 13-14%. Prevalensi overweight dan obesitas pada anak usia 6-18 tahun di Rusia adalah 6% dan 10%, di Cina adalah 3,6% dan 3,4% dan di Inggris adalah 22-31% dan 10-17%, bergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi obesitas pada anak-anak sekolah di Singapura meningkat dari 9% menjadi 19% (Sjarif,2005).
Penelitian di Medan pada tahun 1995 yang dilakukan oleh Kamelia mendapatkan kejadian obesitas sebesar 20% pada SD swasta dan 9% pada SD negeri di kota Medan. Sedangkan dari hasil penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Ariani dan Sembiring didapati kejadian obesitas pada anak SD di kota Medan adalah 17,75% dimana 60,5% terjadi pada anak laki-laki dan 39,5% terjadi pada anak perempuan. 2.2.3. Dampak Obesitas pada Anak Usia Sekolah
Obesitas pada anak-anak akan berdampak pada kesehatan ketika dewasa. Obesitas pada anak merupakan risiko untuk berbagai penyakit kronik di masa dewasa. Terdapat konsekuensi jangka panjang yang berhubungan dengan obesitas pada anak dan remaja. Pada penelitian prospektif selama 32 tahun yang dilakukan pada remaja Belanda, adanya peningkatan siginifikan penyebab mortalitas yang terlihat pada kasus obesitas (Hoffmans et al, 1988).
Ada beberapa penyakit yang dapat ditimbulkan pada masa dewasa akibat obesitas pada masa anak-anak dalam faktor kardiovaskular, sleep apneu, masalah ortopedik yang berkaitan dengan obesitas, kelainan kulit serta gangguan psikiatrik, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler
b. Diabetes Melitus Tipe-2
Hampir semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe-2 mempunyai IMT>
c. Obstructive sleep apnea
3SD atau > persentil ke 99 (Bluher S, 2004).
Anak yang obesitas sering dijumpai mengalami gangguan tidur mengorok. Penyebabnya adalah penimbunan jaringan lemak di daerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan volume dan pola ventilasi paru-paru sehingga meningkatkan beban kerja pernafasan. Menurut Kopelman (2000) pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah jatuh ke arah dinding belakang faring sehingga mengakibatkan obstruksi saluran pernafasan intermiten. Hal ini mengakibatkan tidur yang gelisah sehingga keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Gejala ini akan berkurang seiring dengan penurunan berat badan.
d. Gangguan Ortopedik
2.3. Pola Makan
Menurut Supariasa (2005) pola makan itu merupakan kebiasaan makan yang meliputi jumlah, frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola makan harus memperhatikan nilai gizi makanan dan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hal tersebut dapat ditempuh dengan penyajian hidangan yang bervariasi dan dikombinasi, ketersediaan pangan, macam serta jenis bahan makanan mutlak diperlukan. Disamping itu jumlah bahan makanan yang dikonsumsi juga menjamin tercukupinya kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh .
Almatsier (2004) menyatakan bahwa keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya, terjadi berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan dalam hal jenis karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang gerak.
penderita obesitas terjadi resistensi leptin sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Harrison, 2003).
Penelitian Croezen (2007) menunjukan pola makan yang tidak teratur seperti tidak sarapan pagi, asupan alkohol, dan rendahnya aktivitas fisik menyebabkan obesitas (Indeks Massa Tubuh/IMT meningkat). Keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh sehingga berat badan meningkat. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan dalam porsi besar, seperti jenis makanan karbohidrat, lemak maupun protein, dan kurangnya aktivitas. Perubahan budaya makan ternyata dapat menyokong kecenderungan terjadinya kegemukan khususnya di negara maju dan pada sebagian masyarakat perkotaan. Kebiasaan makan keluarga suka ditiru oleh anak anak, misalnya makan berlebihan, frekuensi makan sering, makan snack yang berlebihan dan makan di luar waktu makan.
2.3.1. Karakteristik Anak Sekolah
perkembangan, pola aktivitas, kebutuhan zat gizi, perkembangan kepribadian, serta asupan makanan.
2.3.2. Pola Makan Usia Anak Sekolah
Anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) mempunyai karakteristik banyak melakukan aktivitas jasmani. Pada usia ini, anak membutuhkan energi tinggi untuk menunjang aktivitasnya. Pola makan yang sehat namun cukup menghasilkan energi sangat diperlukan untuk mendukung aktivitasnya. Energi dalam tubuh dapat timbul karena adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak, karena itu agar energi tercukupi perlu pemasukan makanan yang memiliki nilai gizi yang tinggi.
Pola makan yang sehat dibutuhkan anak-anak untuk mendapatkan gizi yang seimbang. Pola makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu, seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Keseimbangan gizi yang didapat melalui pola makan yang sehat akan berpengaruh positif terhadap kesehatan serta tumbuh kembang anak. Makanan yang mengandung gizi yang seimbang adalah makanan yang mengandung prinsip empat sehat dan lima sempurna, makanan yang mengandung karbohidrat dan lemak sebagai zat tenaga, protein sebagai zat pembangunan, vitamin dan mineral (Anggaraini, 2003).
Anak yang tidak sarapan pagi akan mencari snack. Snack atau kudapan cenderung memiliki komposisi makanan tinggi kalori. Oleh karena itu sebaiknya anak harus dibiasakan untuk membawa bekal dari rumah. Hal ini berguna agar anak tidak membeli makanan yang kemungkinan tidak higienis. Makanan yang dibawa anak dari rumah juga harus mempunyai nilai gizi yang seimbang agar kebutuhan gizi anak dapat terpenuhi.
Pola makan erat kaitannya dengan kejadian obesitas pada anak usia sekolah. Penelitian Kartika (2010) yang bertujuan untuk melihat perbedaan pola makan pada anak remaja yang obesitas dengan yang non obesitas telah membuktikan bahwa anak yang obesitas cenderung memiliki pola makan yang tinggi kalori dari pada yang non obesitas. Tentunya pola yang sama dapat ditemukan pada anak SD yang obesitas.
Pola makan yang tidak baik terlihat dari kebiasaan makan anak yang tidak baik seperti :
1. Kebiasaan anak yang suka jajan di sekolah dibandingkan makan di rumah. Kebiasaan banyak jajan merupakan kebiasaan yang tidak baik karena selalu diragukan kebersihannya dan belum tentu makanan yang dibeli tersebut bergizi baik. Selain itu, makanan tersebut dapat menyebabkan badan anak tidak sehat karena mungkin saja makanan tersebut mengandung kuman penyakit.
3. Makan tidak teratur, misalnya karena asyik atau sibuk bermain sehingga waktu makan dilewatkan begitu saja. Hal ini dapat menyebabkan penyakit pada organ pencernaan terutama lambung.
4. Makan yang berlebihan. Kebiasaan ini menyebabkan badan menjadi gemuk dan bila terlalu gemuk, kesehatan pun akan terganggu. Konsumsi makanan yang berlebihan terutama yang mengandung karbohidrat dan lemak akan menyebabkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang dengan kebutuhan energi. Kelebihan energi ini di dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk jaringan lemak yang lama-kelamaan akan mengakibatkan obesitas. Selain itu, kebiasaan yang tidak benar memacu seseorang untuk menjadi gemuk. Kebiasaan sering mengkonsumsi makanan kecil yang penuh kalori atau sering diberi istilah ‘ngemil’ dapat meningkatkan kejadian obesitas.
2.3.3. Kebutuhan Gizi pada Anak Sekolah
Anak usia 7-12 tahun masuk dalam kategori praremaja. Pada periode ini pertumbuhan berjalan terus walaupun tidak secepat saat bayi. Pada umumnya kelompok usia ini memiliki kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan kesehatan anak balita, namun nafsu makan mereka cenderung menurun sehingga konsumsi makanan tidak seimbang dengan kalori yang dibutuhkan.
Anak yang tergolong dalam usia sekolah memerlukan makanan yang hampir sama dengan yang dianjurkan untuk anak prasekolah. Namun, karena pertambahan berat badan dan banyaknya aktivitas yang mereka lakukan maka dibutuhkan porsi yang lebih besar (Pudjiadi, 1997). Golongan usia 10-12 tahun kebutuhan energinya relatif lebih besar bila dibandingkan dengan golongan usia 7-9 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia 10-12 tahun mereka mengalami pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan.
Tabel 2.2. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan untuk
Jumlah energi dan protein yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 2004 bagi anak umur 7-12 tahun tertera pada tabel di bawah ini
Tabel 2.3. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari) Anak Umur 7 –12 Tahun
Golongan Umur Berat Tinggi Energi Protein
2.3.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Makan
Pola makan seseorang pada dasarnya tidak dapat dibentuk dengan sendirinya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pola makan seseorang adalah sebagai berikut: 1. Budaya
Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian pula letak geografis mempengaruhi makanan yang diinginkannya. Sebagai contoh, nasi untuk orang-orang Asia dan Orientalis, pasta untuk orang-orang Italia, curry (kari) untuk orang-orang India merupakan makanan pokok, selain makanan-makanan lain yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai oleh masyarakat sepanjang pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika bagian Selatan lebih menyukai makanan goreng-gorengan.
2. Agama/Kepercayaan
Agama/kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi. Sebagai contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodoks mengharamkan daging babi. Agama Roma Katolik melarang makan daging setiap hari, dan beberapa aliran agama (Protestan) melarang pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi atau alkohol. 3. Status Sosial Ekonomi
kebiasaan makan, misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa kelompok masyarakat, sedangkan kelompok masyarakat yang lain lebih menyukai hamburger dan pizza.
4. Personal Preference
Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan makannya sejak dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Misalnya, ibu tidak suka makanan kerang, begitu pula anak perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan tergantung asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak-anak yang suka mengunjungi kakek dan neneknya akan ikut menyukai acar karena mereka sering dihidangkan acar. Lain lagi dengan anak yang suka dimarahi bibinya, akan tumbuh perasaan tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya
5. Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang
6. Kesehatan
Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan atau gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih makanan yang lembut. Tidak jarang orang yang kesulitan menelan, memilih menahan lapar dari pada makan.
2.3.5. Pola Makan Menurut Budaya
Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan norma budaya bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik (Sediaoetama, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian Zhihong Wang MS dalam jurnal penelitian “
Dynamic shifts in Chinese eating behaviors”, bahwa etnis Cina memiliki kebiasaan
ngemil dan berlebihan mengkonsumsi makanan yang digoreng. Kebiasaan ngemil dan mengkonsumsi makanan yang digoreng dapat meningkatkan jumlah kalori dan lemak yang berlebihan di dalam tubuh yang dapat mengakibatkan terjadinya obesitas.
Kebiasaan makan etnis batak yaitu mengkonsumsi beras, daging ayam dan daging babi. Menurut jumlah makan, nasi yang dikonsumsi suku batak lebih banyak daripada konsumsi sayuran dan buah. “Mangan” atau makan dalam bahasa Toba adalah makan nasi dengan lauk pauknya pada waktu-waktu tertentu.(Syahrial,2003)
Obesitas pada etnis Batak biasanya disebabkan oleh porsi makanan yang tidak seimbang dan kurangnya serat. Sebagai contoh, dalam satu piring, nasi memiliki porsi lebih besar dari pada lauk dan sayur, bahkan dapat mengahabiskan 2 piring nasi dengan satu ikan tanpa ada sayur. Obesitas juga dapat dipicu oleh konsumsi daging yang cukup banyak karena etnis Batak menganggap daging sebagai makanan dengan nilai sosial yang tinggi.
2.3.6. Metode Penilaian Konsumsi Makanan Anak
Metode penilaian konsumsi makanan digunakan untuk melihat asupan makanan pada populasi dan individu. Menurut Gibson (2005) ada dua metode penilaian yaitu metode penilaian konsumsi makanan kuantitatif dan kualitatif. Metode penilaian makanan kuantitatif meliputi recall dan record, sedangkan metode kualitatif meliputi dietary history dan food frequency questionnaire (FFQ) .
2.3.6.1. Metode Food Recall 24 Jam
Food recall 24 jam digunakan untuk mengetahui rata-rata asupan pada populasi. Oleh karena itu responden harus benar-benar mewakili populasi yang diteliti dan diusahakan mewakili jumlah hari dalam seminggu. Metode ini mudah cepat digunakan.
Kendala yang sering dihadapi dalam penilaian konsumsi pangan dengan food recall 24 jam adalah the flat slope syndrome dimana subyek cenderung untuk melebihkan asupan yang kurang dan mengurangi asupan yang berlebihan serta kesulitan responden untuk mengingat apa yang dikonsumsi 24 jam yang lalu. Meskipun demikian, Food recall 24 jam sudah banyak digunakan untuk survey gizi nasional.
2.3.6.2. Metode Food Record
Pada metode ini, subyek diminta untuk menuliskan makanan yang dimakan dalam periode waktu tertentu. Porsi makanan dapat menggunakan ukuran rumah tangga seperti mangkok, sendok makan, butir, dll. Selain itu, ada pula metode food record dengan penimbangan makanan untuk mengetahui besar porsi yang sebenarnya. Kelemahan dari metode ini adalah membutuhkan motivasi yang tinggi dari subyek. Selain itu, dimungkinkan subyek akan mengubah kebiasaan pola makanan.
2.3.6.3. Metode Dietary History
makanan spesifik. Ketiga, record asupan makanan selama tiga hari di rumah oleh subyek (Gibson,2005).
2.3.6.4. Metode Food Frequency (FFQ)
FFQ ini bertujuan untuk mengukur frekuensi jenis makanan atau kelompok makanan tertentu. FFQ menggambarkan kebiasaan pola konsumsi makan secara kualitatif (Gibson,2005). FFQ diukur dengan menanyakan kepada subyek dengan wawancara dengan form checklist seberapa sering mengkonsumsi makanan tertentu. Biasanya makanan dikelompokkan menjadi beberapa kategori.
2.4. Kerangka Teori
Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian obesitas digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Mekanisme terjadinya Obesitas (Suhendro, 2003)
Dari gambar dapat diketahui bahwa genetika, jenis kelamin, umur, fisiologi, obesitas yang terjadi sebelumnya dan hormonal mempengaruhi secara langsung
kejadian obesitas. Sementara itu, faktor lingkungan, sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan kemajuan teknologi mempengaruhi pola makan, gaya hidup dan keputusan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Pola makan dan gaya hidup berperan terhadap kejadian obesitas. Komponen dari pola makan yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas dinilai dari frekuensi makan, jumlah zat gizi dan jenis makanan. Untuk komponen gaya hidup yang berperan adalah demografi dan epidemiologis.
2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori diatas, kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut :
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan :
Berdasarkan kerangka konsep di atas maka diperlukan penelitian kuantitatif untuk mengetahui perbandingan pola makan dan berat badan pada anak SD etnis Cina di Sutomo 2 dan etnis Batak Toba di SD Antonius. Dalam penelitian ini variabel yang