• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media Massa dan Ruang Publik dalam Persp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Media Massa dan Ruang Publik dalam Persp"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIA MASSA DAN RUANG PUBLIK

DALAM PERSPEKTIF KEKUASAAN FOUCAULDIAN

Joesana Tjahjani – Program Studi Prancis FIB UI

Latar Belakang Akademis Michel Foucault

Foucault lahir pada tanggal 15 Juni 1926 di kota Poitiers, Prancis. Masa studinya dilalui dengan banyak tekanan psikologi. Meskipun demikian, sesungguhnya ia seorang siswa yang cemerlang. Karir akademiknya dimulai pada dasawarsa 1960, tatkala ia memegang posisi penting di beberapa universitas Prancis, khususnya pada saat terpilih mengampu mata kuliah Sejarah Sistem Pemikiran di Collège de France yang prestigius. Sejak tahun 1970an, Foucault sangat aktif dalam bidang politik. Ia mendirikan Groupe d'information sur les prisons (Kelompok penebar informasi tentang penjara), dan buah pikirannya sering sekali terkait dengan kaum yang terpinggirkan. Foucault juga sering menjadi pengajar tamu di universitas di luar Prancis, khususnya di Amerika Serikat dan di Universitas California di mana ia mengajar berkala setiap tahun. Filsuf besar ini meninggal pada bulan kelahirannya tahun 1984 karena AIDS.

Sesungguhnya tidak mudah membayangkan Foucault sekedar sebagai seorang filsuf. Selain di bidang filsafat, pendidikan akademis dan fokus pemikirannya lebih banyak tertuang pada bidang psikologi, sejarah, kedokteran, dan ilmu-ilmu sosial. Pada saat yang bersamaan, sastra dan politiklah yang menggugah hasratnya. Sementara itu, hampir seluruh karya Foucault dapat dibaca sebagai karya filsafat yang memiliki 2 (dua) sisi. Yang pertama mengusung kritik terhadap filsafat tradisional berdasarkan perilaku

(2)

Perspektif Baru tentang Kekuasaan dan Pengetahuan

Salah satu tesis Foucault yang menarik adalah mengenai hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasaan, yang didefinisikan dengan sudut pandang yang agak berbeda oleh Foucault, dimaknai tidak dalam istilah “kepemilikan” di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Konsep kekuasaan pada zaman feodal bersifat agraris yaitu berhubungan dengan kepemilikan dan penguasaan tanah sebagai sumber ekonomi, sedangkan pada abad XVI sampai abad XVIII, konsep kekuasaan

bersifat industrial dalam pabrik-pabrik. Hubungannya bersifat top-down atau atas-bawah, represif, dan menindas untuk kepentingan penguasaan, terutama kapitalisme. Sampai saat itu, kekuasaan dijalankan dalam rangka pengawasan. Pada masyarakat modern, kekuasaan diwujudkan dalam bentuk kedaulautan, hukum, dan undang-undang melalui penerapan disiplin demi membentuk stabilitas dan kohesi sosial. Dalam hal ini, kekuasaan tidak dimiliki, melainkan dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana terdapat sejumlah posisi yang secara strategis berkaitan satu dengan lainnya. Fokus perhatian Foucault bukan pada kekuasaan dalam konteks bernegara sebagai struktur masyarakat tertinggi, karena menurutnya, strategi kekuasaan bersifat menyebar dan merata dalam setiap relasi sosial. Di mana pun terdapat aturan, sistem regulasi, di mana pun manusia mempunyai hubungan dengan yang lainnya dan dengan dunia, di situlah kekuasaan bekerja.

Pemikiran Foucault tentang kekuasaan dengan perspektif baru ini kemudian dilanjutkannya dengan dialektika kekuasaan dan pengetahuan. Bagi Foucault, kekuasaan dan pengetahuan ibarat dua sisi dari satu mata uang. Di satu pihak, kekuasaan terartikulasi melalui pengetahuan ; di lain pihak, pengetahuan selalu mempunyai efek kekuasaan. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa; pengetahuan itu sendiri inklusif di dalam jejaring relasi kuasa. Untuk memahami

(3)

berpretensi menghasilkan dan memproduksi kebenaran yang disebarkan melalui wacana yang dibentuk oleh kekuasaan. Perlu dipahami bahwa Foucault tidak bermaksud mengatakan bahwa kekuasaan bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Publik tidak dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana. Dalam hal ini, kekuasaan disalurkan melalui hubungan sosial, yang kemudian memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku (baik-buruk) sebagai bentuk pengendalian perilaku. Pada kategori perilaku yang buruk, pelaksanaan hukuman terhadap pelanggaran diarahkan pada kesadaran, hasrat, dan kehendak individu. Dalam

strategi baru ini, kekuasaan tidak lagi menyentuh tubuh fisik, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran, dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat. Dalam masyarakat modern kapitalis, pada dasarnya kehidupan tidak diatur dan dikontrol melalui sebuah kekuasaan yang bersifat tunggal dan represif, tetapi melalui sebuah mekanisme, aturan, dan serangkaian tata cara.

Mekanisme kontrol dan pembentukan individu yang patuh dan berdisiplin adalah wujud kekuasaan yang ada di mana-mana (omniprésent). Kekuasaan beroperasi melalui konstruksi berbagai pengetahuan dalam wacana tertentu. Foucault berpendapat bahwa hubungan antara signifiant (penanda) dan signifié (petanda) tidak hanya bersifat referensial, melainkan juga kreatif dan produktif. Wacana yang dihasilkan oleh hubungan perlambangan ini tercipta melalui bahasa, moralitas, hukum, dan lain sebagainya, yang tidak hanya merujuk pada sesuatu, tetapi menghasilkan perilaku, nilai, dan ideologi. Foucault menyumbangkan satu perspektif yang sangat orisinal dalam membaca dan memahami kekuasaan. Baginya, kekuasaan sesungguhnya tidak sesederhana seperti apa yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial selama ini. Dalam pandangan Marx, kekuasaan bersifat represif tatkala terwujud menjadi ideologi kelas, sedangkan Gramsci mengembangkan kekuasaan dalam konsep “hegemoni” di mana dominasi berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan dari pihak

yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif, melainkan alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi.

(4)

membaca realitas pada ukuran mikro. Pasien, orang gila, pelaku tindak kriminal,dan komunitas mikro lainnya adalah « tokoh-tokoh » yang dipilih Foucault dengan sepenuh kesadaran untuk merepresentasikan pemikirannya, termasuk latar rumah sakit, penjara, barak tentara, dan pabrik-pabrik. Pandangan dialektik Foucault tentang kekuasaan dan pengetahuan membawa pemahaman pada pembongkaran kolaborasi antara kedua hal tersebut. Dalam konteks aktual masyarakat Indonesia, pemikiran Foucault dapat dimanfaatkan untuk membaca ruang publik kita saat ini.

Ruang Publik: Dialektika Kekuasaan dan Pengetahuan

Jürgen Habermas, dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1989), menyebutkan bahwa sejarah berdirinya ruang publik tak lepas dari peran dan inisiatif kelompok borjuis sebagai kaum pemilik modal. Dalam hal ini, ruang publik menjadi ajang dan wahana intersubjektif yang membentuk opini publik. Selanjutnya, opini publik ini berperan dalam pengambilan keputusan pada tingkat struktural tertinggi atau negara. Namun, ruang publik telah mengalami perubahan struktur seiring bangkitnya kapitalisme. Peran penguasa ekonomi dalam dinamika ruang publik semakin kuat. Media massa, khususnya televisi, sebagai ruang publik, telah berubah menjadi institusi bisnis besar-besaran. Kebutuhan akan biaya produksi yang sangat besar telah mengubah televisi menjadi ruang konsumsi massa yang dikendalikan oleh para pemilik modal.

Pertanyaan yang dapat dilontarkan adalah apa yang tersuguh di televisi kita? Dan seberapa jauh tayangan di televisi-televisi kita menciptakan wacana kebenaran (menurut istilah Foucault) untuk selanjutnya membentuk kearifan publik? Mudah untuk menjawab pertanyaan pertama, tidak demikian halnya untuk pertanyaan kedua. Stasiun televisi-stasiun televisi kita seakan-akan berlomba memperlihatkan siapa yang terdepan, tidak

dengan menyajikan tayangan bermutu yang mencerdaskan dan mencerahkan wawasan pemirsanya, namun dengan membalikkan fungsi ruang publik dengan hanya membicarakan urusan pribadi orang-orang terkenal.

(5)

pertama Roy Marten, sampai sang kakek yang harus berada di balik jeruji besi karena keterlibatannya dengan narkoba, hubungan jarak jauh Aca dan Irwansyah yang terancam putus, proses gugat cerai Maia terhadap Ahmad Dhani, sang suami yang mengatasnamakan agama untuk mengepalai rumah tangganya, kisah rujuk penyanyi dangdut Kristina, serta liputan spesial menyusul berita wafatnya komedian Taufik Savalas dan Basuki. Sebaliknya, berita duka yang mengabarkan kepergian salah seorang tokoh demokrat besar di negeri ini, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Fuad Hassan, hanya mendapat porsi kecil dalam pemberitaan di televisi. Tokoh-tokoh

politik atau yang dekat dengan kehidupan politik yang ditampilkan tidak lepas dari ruang lingkup infotainment, misalnya skandal seks seorang anggota DPR dengan penyanyi dangdut Maria Eva, atau kelahiran anak Mayangsari dari hasil hubungannya dengan anak mantan Presiden Soeharto. Mungkin benar apa yang pernah dikemukakan oleh Veven SP Wardhana dalam Kompas, infotainment di Indonesia lebih dimaknai sebagai informasi tentang dunia hiburan daripada informasi yang dikemas dalam format hiburan. Pembahasan tentang urusan pribadi para selebriti dalam televisi yang merupakan ruang publik telah menjadi suatu habitus baru, karena masyarakat dibiasakan menerima informasi yang sesungguhnya tidak menyentuh kehidupan pribadi mereka sendiri.

Selain tayangan kehidupan pribadi para artis, porsi besar lainnya dalam program di stasiun televisi kita adalah sinetron yang ditujukan bagi pemirsa muda usia. Pada umumnya, tema sentral sinetron-sinetron, yang ada di sebagian besar stasiun televisi, adalah kisah percintaan kaum remaja atau perjuangan kaum tertindas dalam menghadapi kesewenangan kalangan berpunya. Ironisnya, tokoh-tokoh yang dipilih untuk memerankan kaum tertindas biasanya adalah para bintang muda yang sesungguhnya mewakili dunia gemerlap. Dapat dibayangkan intensitas dan efektivitas empati yang tumbuh dalam diri pemirsa muda belia tersebut.

Program televisi seharusnya menjadi ajang komunikasi antara produsen teks

(6)

terkait erat. Apabila Foucault berpendapat bahwa hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak hanya bersifat referensial, melainkan juga kreatif dan produktif, dan bahwa wacana yang dihasilkan oleh hubungan perlambangan ini tidak hanya merujuk pada sesuatu, tetapi menghasilkan perilaku, nilai, dan ideologi, pertanyaannya adalah perilaku, nilai, dan ideologi seperti apa yang dapat dihasilkan dari struktur dominan kaum pemilik modal yang berada di balik simbol-simbol budaya pertelevisian kita. Kalangan intelektual bisa saja mengeritik keras program-program di televisi seraya mengecam ketidakpedulian kaum pemilik modal untuk berpartisipasi aktif mencerdaskan kehidupan

bangsa, namun para konglomerat ini berkilah bahwa program-program di televisi dipilih menurut selera pasar. Siapa mendominasi siapa? Mungkin inilah realitas postmodern yang dimaksud oleh Baudrillard tempat kebudayaan uang memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan postmodern, menurut filsuf Prancis itu, lebih mengutamakan medium dari pada pesan, fiksi dari pada fakta, serta estetika dari pada etika. Dan sebagai konsekuensi logisnya, citra dan fakta terbangun dalam sifat hiperrealitas sehingga realitas semu mengalahkan realitas yang sesungguhnya.

Pada titik inilah, semestinya para intelektual Cultural Studies berperan melakukan evaluasi moral atas masyarakat modern di negara kita, khususnya refleksi kritis terhadap tayangan-tayangan di televisi. Sebagai media massa (atau ruang publik) yang masuk secara intim ke ruang pribadi pemirsa, dapat dibayangkan kekuasaan televisi dalam membentuk tatanan nilai dan ideologi pada diri masyarakat luas. Jika yang tersaji terus-menerus adalah realitas semu, dengan dunia gemerlap kaum selebriti, bagaimana kearifan publik dapat ditumbuhkan dalam memandang dan menyikapi realitas hidup yang sesungguhnya. Jumlah jari tangan kita masih lebih banyak dari keseluruhan jumlah tayangan di televisi Indonesia yang berkualitas, atau yang mengajarkan atau menumbuhkan sikap kritis pada diri pemirsanya.

Jika merujuk pada konsep Foucault tentang dialektika kekuasaan dan

(7)

mencerdaskan masyarakat dan kehidupan berbangsa. Alih-alih menyuarakan permasalahan yang dialami kaum tertindas agar mendapat perhatian dan empati publik, para penguasa ekonomi di negara ini memperlihatkan kekuasaannya atas pilihan tayangan televisi justru dengan memanfaatkan pengetahuan bahwa mimpi dan realitas semu, di mana substansi dikalahkan oleh sensasi, adalah hiburan yang dianggap paling pantas diberikan.

Selain televisi yang dapat dijadikan salah satu contoh untuk membahas masalah ruang publik di tanah air, ruang publik lain yang dapat diulas berkaitan dengan masalah

agama. Di Indonesia, dengan Islam sebagai agama mayoritas, kehadiran agama di ruang publik dapat diartikulasikan sebagai kewajiban menegakkan hukum dan syariat Islam. Kebebasan ruang publik pasca Orde Baru dimanfaatkan terutama oleh kelompok-kelompok Islam garis keras untuk mendominasi ruang publik. Berbeda dari zaman Orde Baru tatkala kebebasan ruang publik sangat dibatasi oleh negara, termasuk kebebasan menyuarakan kepentingan agama mayoritas sekali pun sehingga yang terbentuk adalah wacana Islam Indonesia, pada era reformasi saat ini, wacana Islam sebagai ideologi alternatiflah yang mengemuka. Atas nama rambu-rambu SARA, pemerintah Orde Baru telah berhasil menghalangi penelusupan posisi dominan Islam di ruang publik kita. Sementara itu, saat ini, atas nama demokrasi, kelompok-kelompok Islam berhaluan garis keras memperlihatkan posisi dominan dalam penguasaan ruang publik, mulai dari media massa sampai pranata politik.

Sesuai dengan pandangan Foucault bahwa kekuasaan diwujudkan dalam bentuk kedaulautan, hukum, dan undang-undang melalui penerapan disiplin, RUU Antipornografi dan Antipornoaksi, misalnya, diajukan dalam rangka membentuk stabilitas dan kohesi sosial. Foucault juga mengatakan bahwa mekanisme kontrol dan pembentukan individu yang patuh dan berdisiplin adalah wujud kekuasaan yang ada di mana-mana (omniprésent). Hal itu dapat dilihat contohnya melalui peran siar agama yang

(8)

muslim maupun non-muslim) untuk bersantap sahur, tetapi juga untuk membuat pemilik warung membuka warungnya demi kepentingan umat.

Toleransi beragama di negeri ini dimaknai dengan fokus pada agama mayoritas. Pemeluk agama minoritas, bahkan pemeluk agama mayoritas yang tidak sepaham atau yang tidak menyetujui cara-cara penguasaan ruang publik yang dilakukan, harus menerima normalisasi dan regulasi yang ditentukan. Dalam hal ini, seperti kata Foucault, kekuasaan disalurkan melalui institusi keagamaan (mesjid) yang membentuk hubungan sosial, dan selanjutnya memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku. Masyarakat

digiring untuk menjalankan, tanpa protes, apa yang disiarkan oleh menara mesjid. Dan jika mereka tidak melakukannya, tekanan sosial akan bertindak sebagai pelaksana hukuman. Begitu pula dalam hal pelanggaran norma susila misalnya, hanya sedikit kasus yang menerapkan pelaksanaan hukuman fisik, sebagian besar diarahkan pada, sekali lagi, tekanan sosial untuk menyentuh kesadaran, hasrat, dan kehendak individu.

Seharusnya sebagaimana yang diidealkan sendiri oleh Jurgen Habermas, ruang publik yang berada di luar kontrol negara mampu memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi politik yang egaliter dan toleran. Dengan keterbukaan dan egalitarianisme ruang publik ini, masyarakat dapat berdiskusi dan berdebat mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Pada kenyataannya, seperti yang telah diuraikan, diskusi dan debat dilakukan tidak dalam suasana keterbukaan dan egalitarian. Ruang publik, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan beragama, menyiratkan pola hubungan sosial seperti yang termaktub dalam konsep dialektika kekuasaan Foucault. Jika terus-menerus diterapkan seperti ini, yang tersimpan dalam benak masyarakat adalah dikotomi baik-buruk, benar-salah, suci-sesat, yang pada gilirannya akan menumbuhkan sikap dan perilaku manichéen, yakni hanya melihat dari hitam-putih sesuatu saja. Pertanyaannya kemudian adalah apa relevansi dari interaksi ruang publik dan memori kolektif.

(9)

di mana kita berada. Memori seseorang hanya akan menjadi bagian dari memori kolektif bila ia mampu membawa atau mentransformasi memori pribadi ke memori kolektif. Ruang publik berperan dalam merajut memori kolektif, meskipun ia juga sangat berperan dalam proses pelupaan (atau pengabaian) kolektif.

Dalam hal ini, kita perlu merujuk Maurice Halbwachs yang mengembangkan konsep memori kolektif. Filsuf dan sosiolog Prancis itu menekankan betapa kuatnya pengaruh memori kolektif pada pembentukan identitas individu dan komunitas mulai dari keluarga, penganut agama atau paham kepercayaan, dan kelas sosial. Memori ini tidak

tersimpan secara pasif dalam benak masyarakat, namun tumbuh secara dinamis melalui konteks keseharian, khsususnya melalui apa yang ada dalam ruang publik. Dengan mengingat bahwa ruang publik bisa dibaca sebagai teks yang berfungsi untuk mengkonstruksi makna dan nilai, penting kiranya untuk selalu bersikap kritis membaca ruang publik kita sendiri.

Penutup

Ruang publik dalam masyarakat Indonesia saat ini, melalui contoh kasus televisi dan opini kelompok agama mayoritas dalam tulisan ini, memperlihatkan fungsinya sebagai suatu medium melalui cara-cara kelompok dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki sehingga tampak seperti suatu wacana yang absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan, dalam hal ini konglomerat pertelevisian dan pemuka agama, akan efektif berdasarkan pada kenyataan bahwa anggota masyarakat menerima konsep, opini, dan pandangan kelompok dominan ini serta menerimanya sebagai kebenaran dan kewajaran, atau fenomena munculnya kesadaran palsu.

Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, ruang publik semestinya

(10)
(11)

RUJUKAN KEPUSTAKAAN

Geertz, Clifford. ”Blurred Genres: The Refiguration of Social Thought” dalam Critical Theories since 1945. The American Scholar, vol. 49 no. 2: 1980, hal. 165-179.

Foucault, Michèl. Histoire de la sexualité, Vol. 1: La volonté de savoir, Paris: Gallimard, 1976.

Hall, Stuart et al. 1996. Culture, Media, Language. London-New York: Routledge. Hobsbawm, Eric. ”Introduction: Inventing Tradition” dalam The Invention of Tradition,

2-14.

Referensi

Dokumen terkait

apakah metode ini dapat diterapkan untuk dapat mendeteksi golongan darah pada sampel darah atau tidak, untuk menjalankan metode ini gambar citra RGB atau gambar warna harus

Hasil uji statistik dengan Wilcoxon pada kelompok eksperimen didapatkan hasil nilai signifikan p=0,02 (p<0,05), maka terdapat perbedaan kemampuan bersosialisasi

Dari rangkaian proses pembelajaran yang dilakukan, maka tahap terakhir adalah evaluasi yang merupakan suatu cara mengukur kemampuan peserta didik setelah proses belajar

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa penggunaan jilboobs di MUAMALAH didorong dari berbagai segi antara lain : (1) Motivasi merupakan kekuatan yang

Orang tua harus mampu mengarahkan anaknya di jalan yang benar, sebagai umat Islam dengan mengarahkan sesuai tuntunan agama dan memberi teladan yang bisa menjadi contoh bagi

Dari persamaan tersebut diketahui pula bahwa terdapat pengaruh yang positif antar fungsi peer group terhadap pengambilan keputusan pembelian (pecarian informasi) produk kosmetik

Perusahaan dengan praktik tata kelola yang baik berada dalam posisi yang tidak terlalu memerlukan pendanaan eksternal dan karenanya hal tersebut dapat meningkatkan

Sentra bermain adalah zona atau arena bermain anak yang dilengkap dengan seperangkat alat bermain yang berfungsi sebagai pijakan lingkaran yang diperlukan untuk