• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam Menjaga Kualitas Udara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dalam Menjaga Kualitas Udara"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

Penerbitan dan Pencetakan dibiayai oleh:

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL,

EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM

dalam Menjaga

Kualitas Udara

di Perkotaan

I Wayan Susidharmawan

POHON

P e r a n

Ismayadi Samsoedin

Pratiwi

Djoko Wahyono

(2)
(3)

Ismayadi Samsoedin

I Wayan Susidharmawan

Pratiwi

Djoko Wahyono

POHON

P e ra n

di Perkotaan

Penerbit

FORDA PRESS

Desember 2015

dalam Menjaga

Kualitas Udara

(4)

Ismayadi Samsoedin I Wayan Susidharmawan Pratiwi

Djoko Wahyono

Editor:

Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin Dr. Hendra Gunawan Dr. Maman Turjaman

© 2015

Hak Cipta: Penyusun

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau nonkomersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya.

Penerbitan dan Pencetakan dibiayai oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Penerbit:

FORDA PRESS (Anggota IKAPI) Cetakan Pertama, Desember 2015

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan xii + 106, 176 x 250 mm

(5)

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan dan rahmatNya

sehingga buku Peran Pohon dalam Menjaga

Kualitas Udara di Perkotaan dapat

tersusun. Buku ini ditulis atas dasar data ilmiah yang diperoleh dari hasil penelitian Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang merupakan kegiatan penelitian terapan untuk memperoleh jenis-jenis pohon potensial yang berfungsi sebagai penyerap dan penjerap timbal (Pb) dan debu. Lokasi uji petik penelitian dilaksanakan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Semarang dan Surabaya. Lokasi penelitian ditetapkan dengan melihat tingkat pencemaran polutan yang tinggi telah terjadi di kota-kota tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan, jenis-jenis pohon yang berpotensi menyerap dan menjerap timbal (Pb) dan debu adalah asam kranji, ki hujan, flamboyan, johar, pinus, tevetia, cemara balon, petai cina, sengon, kopi, hujan emas, belimbing, ketapang, rambutan, kepel, podokarpus, mahoni Uganda, kemuning, lamtoro, beringin, bintaro, asam jawa, sikat

botol, cemara laut, kayu putih, jakaranda, mimba, kiara, gandaria, dan glodogan tiang.

Hasil penelitian diharapkan dapat membantu para pihak yang bergerak dan mengembangkan kawasan perkotaan yang sehat, terutama pemerintah daerah dalam penataan ruang terbuka hijau dan kawasan-kawasan industri yang ada.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium SEAMEO Biotrop Bogor yang telah melakukan analisis kandungan timbal (Pb) dan debu pada sampel daun yang dikumpulkan dari lokasi penelitian.

Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2015 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,

(6)
(7)

Kata Pengantar ...iii

Daftar Isi ...v

Daftar Tabel ...vii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Lampiran ... xi

Bab 1 Pendahuluan... 1

Bab 2 Dampak Aktivitas Kendaraan terhadap Lingkungan ...3

2.1 Udara Ambien ...3

2.2 Polusi Udara ...4

2.3 Atmosfir sebagai Penampung Logam yang Berasosiasi dengan Udara ...5

2.4 Emisi Karbon ...5

2.5 Penyebaran Logam Timbal (Pb) di Alam ...7

2.6 Dampak Logam Timbal terhadap Kesehatan ...8

2.7 Mengurangi Pencemaran Logam Timbal (Pb) ...8

Bab 3 Peran Pohon dalam Mengurangi Dampak Polusi Logam Timbal (Pb) ...11

3.1 Pepohonan di Sekitar Kita ...11

3.2 Peran Pohon sebagai Biomonitoring ...11

3.3 Pengertian dan Fungsi Hutan Kota (Urban Forest) ...12

Bab 4 Beberapa Kasus Polusi di Jawa ...15

4.1 Kota Jakarta ...15 4.2 Kota Bogor ...19 4.3 Kota Depok ...24 4.4 Kota Tangerang ...28 4.5 Kota Bekasi ...32 4.6 Kota Semarang ...35 4.7 Kota Surabaya ...39 Bab 5 Penutup ...45 Daftar Pustaka...47 Glossary ...51 Lampiran ... 57

(8)
(9)

1. Baku mutu kualitas udara ambien

Indonesia ...3 2. Komposisi aerosol di atmosfir bumi ...4 3. Rangking jenis pohon dari lokasi

Jakarta yang paling banyak menjerap debu ...18 4. Rangking jenis pohon dari lokasi

Jakarta yang banyak menjerap logam Pb ...18 5. Rangking jenis pohon dari lokasi

Jakarta yang menyerap logam Pb ...19 6. Rangking jenis pohon di lokasi Bogor

yang paling banyak menjerap debu ...22 7. Rangking jenis pohon di lokasi Bogor

yang banyak menjerap logam Pb ...23 8. Rangking jenis pohon di lokasi Bogor

yang menyerap logam Pb ...23 9. Rangking jenis pohon di lokasi Depok

paling banyak menjerap debu. ...27 10. Rangking jenis pohon di lokasi Depok

yang banyak menjerap logam Pb ...27 11. Rangking jenis pohon di lokasi Depok

yang menyerap logam Pb ...28 12. Rangking jenis pohon di lokasi

Tangerang paling banyak menjerap debu dan Pb ...31

13. Rangking jenis pohon di lokasi Tangerang yang banyak menjerap logam Pb ...31 14. Rangking jenis pohon di lokasi

Tangerang yang menyerap logam Pb ...32 15. Rangking jenis pohon di lokasi Bekasi

paling banyak menjerap debu. ...34 16. Rangking jenis pohon di lokasi Bekasi

yang banyak menjerap logam Pb ...35 17. Rangking jenis pohon di lokasi Bekasi

yang menyerap logam Pb ...35 18. Rangking jenis pohon di lokasi

Semarang paling banyak menjerap debu. ...38 19. Rangking jenis pohon di lokasi

Semarang yang banyak menjerap

logam Pb ...38 20. Rangking jenis pohon di lokasi

Semarang yang menyerap logam Pb ....38 21. Rangking jenis pohon di lokasi

Surabaya paling banyak menjerap debu. ...42 22. Rangking jenis pohon di lokasi

Surabaya yang banyak menjerap

logam Pb ...42 23. Rangking jenis pohon di lokasi

(10)
(11)

1. Asap dari cerobong industri sebagai salah satu sumber polusi udara ...4 2. Contoh partikulat di udara di atas Kota

Mexico, setelah dianalisa mengandung logam mangan (Mn), besi (Fe), seng (Zn), timah, timbal (Pb), dan merkuri (Hg) ...6 3. Pohon rindang dapat berfungsi

sebagai penyerap polusi udara ...12 4. Pepohonan di RTH berfungsi sebagai

paru-paru kota yang menyerap polusi udara ...12 5. Kemacetan terutama pada jam sibuk

sebagai salah satu penyebab utama polusi udara di kota Jakarta. ...15 6. Salah Satu RTH di Kawasan Dukuh

Atas Jakarta ...16 7. Jalan Raya Pajajaran salah satu jalan

yang paling banyak dilewati oleh

kendaraan ...19 8. Jumlah angkot yang tidak terkontrol,

sebagai salah satu penyebab meningkatnya polusi udara di kota Bogor...20

9. Keberadaan Kebun Raya Bogor

sebagai paru-paru kota Bogor ...20 10. Kampus Universitas Indonesia yang

ditunjang dengan fasilitas dan RTH ...24 11. Salah satu mall di kota Depok

mengurangi jatah RTH ...24 12. Meningkatnya pengguna kendaraan

roda dua meningkatkan kemacetan pada jam sibuk ...25 13. Bertani di antara pabrik di daerah

Tangerang ...28 14. Bekasi Square (4 ha) di Jalan A Yani,

kota Bekasi, dekat pintu tol Bekasi ...32 15. Kemacetan di jalan Jatingeleh kota

Semarang ...35 16. Taman Diponegoro, sebagai salah

satu RTH di tengah kota Semarang ...36 17. Pemerintah kota Surabaya masih

mencari solusi mengatasi kemacetan yang kerap terjadi di Surabaya ...39

(12)
(13)

1. Data jenis pohon di lokasi Jakarta ...59

2. Data jenis pohon di lokasi Bogor ...64

3. Data jenis pohon di Depok ...72

4. Data jenis pohon di Tangerang ...77

5. Data jenis pohon di Bekasi ...82

6. Data jenis pohon lokasi Semarang ...89

7. Data jenis pohon lokasi Surabaya...92

8. Data jenis pohon dari lokasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Semarang, dan Surabaya ...95

(14)
(15)

Pendahuluan

Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan

akan menyebabkan kualitas lingkungan menurun karena tingginya aktivitas manusia. Perkembangan kota seringkali diikuti oleh perkembangan teknologi, industri, peningkatan jumlah penduduk serta bertambahnya sarana transportasi. Kondisi demikian jelas akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan terutama pencemaran udara. Udara yang bersih sering dikotori oleh gas-gas pencemar baik yang dihasilkan oleh proses alam maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Pohon dan vegetasi akan menyerap dan menjerap polutan yang dikeluarkan kendaraan bermotor melalui

daun. Menurut Bennet dan Hill (1975), dalam

Umasda (1989) vegetasi berperan efektif dalam

menyerap (absorp) polutan udara dan mampu

membersihkan polutan tersebut dari udara. Permasalahan lingkungan yang kerap mengancam kota-kota besar di Indonesia saat ini adalah pencemaran udara terutama yang bersumber dari kendaraan bermotor. Hal ini dibuktikan oleh beberapa hasil kajian

seperti The Study on the Integrated Air Quality

Management for Jakarta Area (JICA, 1997), Urban Air Quality Management Strategy in Asia : Jakarta report (Word Bank, 1997) dan The Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta (Syahril et al., 2002) bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10 untuk tahun 1995 (JICA, 1997). Sementara itu laporan kajian lain menyebutkan 73% dari total NOx dan 15% dari total PM10 (Worldbank, 1997) dan studi terakhir pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa 76% dari

total NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari total PM10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Damantoro, 2005).

Mengingat perkembangan kota telah sampai pada kondisi yang mengkhawatirkan akibat menurunnya kualitas lingkungan, maka keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sangat diharapkan. Keberadaan (RTH) diharapkan mampu meminimalisasi permasalahan lingkungan terutama pencemaran udara dan mutu lingkungan yang lebih baik. Menurut Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang terbuka, adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/ jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka terdiri atas ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau. RTH adalah salah satu komponen pembentuk ruang atau wilayah perkotaan yang memiliki peranan penting dalam menyangga (biofiltering), mengendalikan (biocontroling),

dan memperbaiki (bioengineering) kualitas

lingkungan kehidupan suatu wilayah perkotaan. Karena itu, RTH juga dinyatakan sebagai bagian dari ruang fungsional suatu wilayah perkotaan yang dapat meningkatkan kualitas fisik, non fisik, dan estetika alami suatu kota (Dinas Pertamanan, 2007).

Menurut Samsoedin (1997), sampai saat ini jenis tanaman yang digunakan dalam RTH masih tergantung pada beberapa jenis

saja seperti angsana (Pterocarpus indicus).

Ketergantungan seperti ini amat riskan, karena apabila terjadi serangan hama atau penyakit seperti telah terjadi di beberapa tempat di Kuala Lumpur akan memakan waktu untuk mencari penggantinya. Oleh

(16)

karena itu kombinasi dengan jenis lain amat diperlukan dan ditanam di tempat yang sesuai peruntukkannya. Sebagai contoh pohon-pohon yang ditanam di kota Bogor, banyak jenis-jenis yang tidak layak ditanam di dekat jalan (trotoar) tapi kenyataannya ditanam di sana. Padahal akar dari beberapa jenis pohon memiliki sifat merusak struktural karena sifat tumbuh akarnya yang lateral. Lebih lanjut Samsoedin (1997) menggambarkan adanya kecenderungan dari masyarakat kota yang merasa bangga dan senang bila memiliki pohon-pohon estetika yang harganya amat mahal, seperti palem import yang memang berpenampilan indah, yang walaupun tidak menyalahi aturan, sebenarnya tidak menyumbangkan banyak dalam upaya pengendalian lingkungan.

Buku ini ditulis atas dasar data ilmiah yang diperoleh dari hasil penelitian para peneliti di Badan Litbang dan Inovasi KLHK dan merupakan kegiatan penelitian terapan untuk memperoleh jenis-jenis pohon potensial yang berfungsi sebagai penyerap dan penjerap timbal (Pb). Aspek-aspek peranan pepohonan dalam menyerap dan menjerap Pb serta dikaitkan dengan sifat/karakteristik estetika tanaman untuk pembangunan hutan kota dan jalur hijau belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, di dalam buku ini juga dibeberkan hasil

penelitian untuk mengisi gap tersebut sehingga

akan diperoleh data-data yang lebih lengkap tentang jenis-jenis pohon potensial sebagai penyerap dan penjerap Pb. Peningkatan jumlah

penduduk, mengakibatkan meningkatnya aktivitas sosial ekonomi, yang meliputi pemukiman, industri dan transportasi. Akibatnya pencemaran udara dari kegiatan tersebut juga meningkat. Pencemaran udara ini mengakibatkan konsentrasi zat-zat polutan seperti: Pb, CO2, SO,HC , Pb, Nox, CO, debu dan sebagainya meningkat di udara. Akibatnya kualitas udara menurun, udara menjadi panas dan pada akhirnya akan menyebabkan pemanasan global.

Pencemaran udara banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya karena aktivitas sosial ekonomi yang relatif tinggi dibandingkan dengan kota-kota kecil dan daerah-daerah pedesaan. Umumnya di kota kecil dan pedesaan, selain aktivitas sosial ekonomi yang rendah, keberadaan pohon-pohon di daerah tersebut masih memungkinkan menyerap dan menjerap polutan yang mungkin timbul dari aktivitas tersebut. Kota-kota di BODETABEK, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebagai daerah penyangga kota Jakarta, sangat berperan dalam mengurangi pencemaran udara, melalui fungsi pohon yang ada di daerah tersebut.

Informasi yang dituangkan dalam buku ini diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya mengurangi polusi udara melalui penanaman pepohonan khususnya sebagai penjerap dan penyerap polutan timbal terutama di kota-kota dengan tingkat polusi yang tinggi akibat dari peningkatan jumlah kendaraan dan industri.

(17)

Wilayah perkotaan dengan tingkat mobilitas penduduknya yang tinggi dan sektor transportasi sebagai peranan utamanya telah membuat kualitas udara ambien benar-benar tercemar. Menurut laporan KLH (2001), kualitas udara di Jakarta sudah dalam kategori bahaya dalam waktu-waktu tertentu dan akan semakin buruk jika mengacu pada proyeksi peningkatan jumlah kendaraan hingga tahun 2015.

Pencemaran udara banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya karena aktivitas sosial ekonomi yang relatif tinggi dibandingkan dengan kota-kota kecil dan daerah-daerah pedesaan. Umumnya di kota kecil dan pedesaan, selain aktivitas sosial ekonomi yang rendah, keberadaan pohon-pohon di daerah tersebut masih memungkinkan menyerap dan menjerap polutan yang mungkin timbul dari aktivitas tersebut. Kota-kota di BODETABEK, seperti Bogor, Depok, dan Bekasi sebagai daerah penyangga kota Jakarta, sangat berperan dalam mengurangi pencemaran udara, melalui fungsi pohon yang ada di daerah tersebut.

2.1 Udara Ambien

Udara ambien adalah udara sekitar kita di lapisan troposfer dalam keadaan apa adanya yang sehari-hari kita hirup. Udara biasanya tidak memiliki warna, bau, maupun rasa. Dalam keadaan normal, udara ambien terdiri atas campuran gas, terutama nitrogen sekitar 78 %, dan oksigen sekitar 21 %, dengan sisanya 1 % terdiri dari karbondioksida, metan, hidrogen, argon, dan helium (Wallace dan Hobbs, 1977). Aktivitas manusia, seperti industri dan pembakaran bahan bakar dari bumi, melalui kendaraan bermotor, mesin industri

dan lain-lain, menyebabkan perubahan dalam komposisi kimia udara ambien melalui pelepasan bahan kimia dan polutan industri ke atmosfer (Hill, 1971, NEERI, 1976).

Baku Mutu Kualitas Udara Ambien Indonesia yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 41 Tahun 1999, disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Baku mutu kualitas udara ambien Indonesia

Parameter PengukuranWaktu Baku Mutu

SO2 1 Jam 900 ug/Nm3

(Sulfur Dioksida) 24 Jam 365 ug/Nm3

1 Thn 60 ug/Nm3 CO 1 Jam 30.000 ug/Nm3 (Karbon Monoksida) 24 Jam 10.000 ug/Nm3 1 Thn -NO2 1 Jam 400 ug/Nm3 (Nitrogen Dioksida) 24 Jam 150 ug/Nm3 1 Thn 100 ug/Nm3 O3 1 Jam 235 ug/Nm3 (Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm3 HC (Hidro Karbon) 3 Jam 160 ug/Nm3 PM10 24 Jam 150 ug/Nm3 (Partikel < 10 um ) PM2,5 (*) 24 Jam 65 ug/Nm3

Dampak Aktivitas Kendaraan

terhadap Lingkungan

(18)

Parameter PengukuranWaktu Baku Mutu (Partikel < 2,5 um ) 1 Thn 15 ug/Nm3 TSP 24 Jam 230 ug/Nm3 (Debu) 1 Thn 90 ug/Nm3 Pb 24 Jam 2 ug/Nm3

(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm3

Dustfall 30 hari 10 Ton/

km2/Bulan (Pemukiman) 20 Ton/km2/ Bulan (Industri) (Debu Jatuh ) Total Fluorides (as F) 24 Jam 3 ug/Nm3 90 hari 0,5 ug/Nm3

Fluor Indeks 30 hari 40 u g/100

cm2 dari kertas limed filter

Khlorine 24 Jam 150 ug/Nm3

Sulphat Indeks 30 hari 1 mg SO3/100

cm3

Dari Lead Peroksida Sumber : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 41 Tahun 1999

2.2 Polusi Udara

Polusi udara dikenal sebagai zat di udara yang mempunyai pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Polusi udara terjadi akibat penambahan gas-gas lain kepada udara ambien yang umumnya terdiri dari gas-gas innert. Polutan udara tersebut bisa dalam bentuk gas dan aerosol, yang terdiri dari partikel debu, abu, garam, dan asap. Polutan di udara umumnya dapat disebabkan karena timbul secara alami, dan karena hasil aktivitas manusia. Salah satu contoh sumber polusi udara disajikan pada Gambar 2.

Gambar 1. Asap dari cerobong industri sebagai salah satu sumber polusi udara

Polutan udara atau aerosol dapat diklasifikasikan ke dalam aerosol primer dan aerosol sekunder. Biasanya, aerosol primer adalah aerosol yang langsung dikeluarkan oleh sumbernya. Contohnya seperti abu yang dikeluarkan akibat dari erupsi gunung berapi, polusi asap kendaraan yang mengandung diantaranya karbon monooksida dan partikel logam Pb, dan polusi asap dari cerobong pabrik yang mengandung sulfur dioksida. Komposisi aerosol di atmosfir bumi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi aerosol di atmosfir bumi

Jenis Aerosol (%) Debu 20 Abu 10 Garam 40 Asap 5 Spora,virus dll. 25 Total 100

Sumber: Rogers dalam Harmantyo, 1989

Sedangkan aerosol sekunder adalah aerosol yang tidak dipancarkan secara langsung dari sumbernya. Aerosol atau polutan yang terbentuk di udara merupakan reaksi antara aerosol primer dengan gas lain. Contoh penting dari aerosol sekunder adalah ozon,

(19)

yaitu aerosol sekunder yang membentuk kabut asap fotokimia. Beberapa aerosol mungkin baik primer dan sekunder: mereka keduanya dipancarkan secara langsung dan terbentuk dari bahan pencemar primer lainnya.

2.3 Atmosfir sebagai Penampung

Logam yang Berasosiasi

dengan Udara

Aerosol di udara yang terkontaminasi dengan logam tertentu dapat terbentuk di udara sebagai hasil dari proses alami dan proses antropogenik. Salah satu contoh dari aerosol udara yang terjadi secara alami terjadi di laut. Aerosol udara di lautan yang mengandung partikel garam dari laut yang ditiupkan oleh angin yang berasal dari daratan. Aktifitas manusia menghasilkan aerosol di udara sebagai akibat dari kegiatan industri, emisi dari aktifitas lalu lintas dan dari proses pembakaran kendaraan. Proses peleburan pada kegiatan pertambangan merupakan sumber utama dari keberadaan aerosol yang mengandung partikel logam berat di lingkungan atau di udara. Sebagai contoh, peleburan timah merupakan salah satu sumber yang paling utama dari pencemaran logam Pb di lingkungan. Sumber lain pencemaran logam Pb, yang masih terjadi di beberapa negara, termasuk di Indonesia, adalah dari proses pembakaran bensin bertimbal pada kebanyakan kendaraan.

Logam timbal adalah unsur beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia bahkan pada tingkat yang relatif rendah pun. Pengetahuan tentang konsentrasi maksimum dari kontaminasi logam merupakan hal yang sangat penting untuk mengukur risiko kontaminasi logam berat terhadap ekosistem. Kontaminasi logam timbal di sekitar pabrik pengolahan logam yang mengandung unsur Pb, terhadap terutama udara dan merupakan polusi yang berdampak jangka panjang pada lingkungan. Pengukuran dampak lingkungan terhadap akibat kontaminasi logam dengan yang biasanya didasarkan pada pengukuran total konsentrasi logam pada partikulat udara.

Hal ini dapat memberikan informasi tentang tingkat pencemaran udara. Akan tetapi, bagaimanapun, mobilitas partikel-partikel logam di lingkungan tidak hanya tergantung kepada total kandungan partikel logamnya, tetapi juga kepada padatan yang terikat kepada polutan lainnya. Bentuk-bentuk partikel padatan tersebut dapat bermacam-macam, termasuk polutan dalam bentuk larutan, partikel yang logamnya dapat berganti dengan logam lain, partikel yang terikat dengan unsur karbonat atau yang terikat dengan logam Fe dan Mn-oksida atau yang terikat dengan senyawa organik yang terikat pada residual polutan lain. Memahami proses terikatnya partikel logam pada partikulat udara adalah hal yang sangat penting untuk mengukur tingkat pencemaran lingkungan oleh partikel logam berat. Contoh partikulat di udara disajikan dalam Gambar 2.

2.4 Emisi Karbon

Emisi yang berasal dari knalpot kendaraan di seluruh dunia, merupakan salah satu hasil kegiatan manusia sebagai sumbangan terbesar terhadap jumlah polutan yang ada di atmosfir. Mobil penumpang misalnya, diketahui sebagai penyumbang sekitar 60 % emisi karbonmonoksida dan 60 % emisi hidrokarbon ke udara. Oleh karena itu, polusi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor jelas berperan dalam pencemaran udara dan sekaligus merupakan masalah global yang serius.

Pengurangan polusi udara dalam skala global memerlukan inisiatif kebijakan nasional dan kerjasama internasional. Polusi udara yang timbul akibat aktifitas lalu lintas jalan mungkin harus dipertimbangkan untuk pembentukan jalan yang baru, atau adanya perubahan kapasitas jalan, seperti pelebaran jalan dan lain-lain. Standar penilaian terhadap pencemaran udara, terutama yang sumber utamanya berasal dari aktifitas kendaraan di jalan raya, banyak tergantung kepada kondisi dari keadaan lokal yang ada. Hal ini disebabkan karena kendaraan bermotor

(20)

mungkin bukan sumber utama pencemaran udara. Akan tetapi, sumber pencemaran juga berasal antara lain dari industri, pembangkit listrik dan sebagainya. Dengan demikian pada penilaian kualitas udara jalan raya sangat penting menyertakan juga sumber emisi yang lain selain dari asap yang dikeluarkan dari pembakaran dari kendaraan bermotor saja.

Polutan udara yang terdiri dari inti karbon atom dari hidrokarbon di udara, dapat menyerap partikel polutan udara yang tersuspensi yang berasal dari asap yang keluar dari pembakaran mesin diesel, partikel yang berasal dari rem kendaraan dan debu jalan yang mengelupas dan debu lain yang melayang di udara.

Logam timbal (Pb) ditambahkan ke dalam bahan bakar kendaraan atau bensin untuk menaikkan tingkat oktan dan membantu melicinkan komponen mesin. Timbal memasuki atmosfer sebagai debu halus yang mudah tersebar dan jatuh pada setiap permukaan yang tersedia, seperti daun dan

lain-lain. Sedangkan aldehid, termasuk

formaldehyde, adalah kelompok polutan utama sebagai hasil pembakaran mesin, terutama mesin pembakaran berbahan bakar alkohol. Mereka juga diproduksi oleh mesin diesel dan pada tingkat yang lebih rendah, dari pembakaran mesin berbahan bakar bensin. Banyak polutan primer di udara yang berubah menjadi polutan sekunder, dan bahkan polutan tersier melalui berbagai reaksi kimia yang terkait dengan faktor meteorologi, seperti suhu udara, kelembaban, dan topografi daratan. Salah satu contoh dari hal ini adalah reaksi NOx dan HC dengan adanya sinar matahari,

menghasilkan ozon (03) yang, walaupun

menguntungkan pada lapisan stratosfer, tetapi mengganggu pada lapisan yang dekat dengan permukaan tanah. Selain emisi dari knalpot kendaraan, debu juga dapat memiliki dampak besar terhadap pencemaran udara dari aktifitas di jalan raya.

Gambar 2. Contoh partikulat di udara di atas Kota Mexico, setelah dianalisa mengandung logam mangan (Mn), besi (Fe), seng (Zn), timah, timbal (Pb), dan merkuri (Hg)

(21)

2.5 Penyebaran Logam Timbal

(Pb) di Alam

Timbal (Pb) adalah jenis logam terberat di antara jenis logam non-radioaktif, yang secara alamiah terjadi dalam jumlah besar di permukaan bumi. Logam timbal diketahui ada di dalam semua keadaan di alam, di dalam tanah, sungai, danau dan di laut. Meskipun logam timbal adalah logam yang cukup berat, logam timbal juga ditemukan di udara, sebagai komponen pada debu dan uap air laut yang berhembus. Pada batuan beku, kandungan timbal biasanya sekitar 16 ppm, sedangkan pada sebagian tanah yang jauh dari sumber polutan timbal rata-rata kandungan timbalnya umumnya dibawah 50 ppm. Pada umumnya hampir tidak ada tanah yang bebas dari kandungan logam timbal.

Kandungan logam timbal dalam air minum, di Amerika misalnya, tingkat yang dapat ditoleransi berkisar sekitar 0,015 ppm (0,01 di California), yang masih sedikit di atas tingkat secara alami, yaitu masih ada sedikit kontaminasi dari aktivitas manusia. Tubuh manusia dewasa mengandung timbal setara dengan 2 ppm (dengan kisaran: 1,4-5,7 ppm) dari berat seluruh tubuh, dengan sekitar 90% dari itu terkonsentrasi di bagian tubuh yang mengandung mineral, seperti tulang biasanya mengandung 20-40 ppm Pb. Timbal umumnya masuk ke dalam tubuh dari udara saat bernafas, tetapi sebagian besar melalui mulut (oral), yang merupakan komponen dari makanan, minuman, obat-obatan, suplemen, dan bahan lain yang tertelan. Jumlah asupan timbal yang dapat ditoleransi per hari (dihirup dan dikonsumsi) adalah sebesar 0,5 mg per hari, hal tersebut adalah normal di lingkungan yang relatif bersih.

Meskipun manusia telah menambang dan bekerja dengan timbal untuk lebih dari 2.500 tahun, kegiatan ini menjadi semakin aktif pada abad ke-20. Hal ini lebih disebabkan kepada pemanfaatan logam Pb yang bervariasi di dalam dekade terakhir, sehingga dapat dikatakan bumi ini dilapisi oleh lapisan halus

logam timbal. Lebih dari 300 juta ton timbal yang ditambang dan ditarik keluar dari tahun 1920-2000, yang terdistribusi ke udara melalui aktifitas pembakaran mesin atau digunakan sebagai lapisan tebal pada permukaan cat bertimbal. Timbal ditambahkan langsung ke pasokan air melalui lapisan timbal dalam pipa air dan melalui makanan dengan melalui makanan kaleng (disebut “kaleng” tetapi terbuat dari baja disolder pada jahitan dengan senyawa timbal), gerabah, dan barang pecah belah.

Kontaminasi logam timbal yang paling serius di seluruh dunia karena penambahan timbal (dalam bentuk tetraetil dan timbal-tetrametil) pada bahan bakar atau bensin, yang dimulai pada tahun 1923. Dengan demikian, miliaran ton timbal dilepaskan ke atmosfir melalui knalpot kendaraan. Sebagian besar polutan yang mengandung timbal tersebut, selanjutnya mencemari tanah, air, dan pada organisme hidup, khususnya tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan raya. Walaupun timbal sudah dilarang ditambahkan ke dalam bahan bakar atau bensin atau secara bertahap dilarang di beberapa negara, mulai tahun 1971, bensin bertimbal masih tetap digunakan di banyak negara, di Indonesia dan beberapa negara di Afrika. Di Eropa, kandungan timbal bensin telah secara bertahap dikurangi, tapi tidak dihilangkan. bensin timbal telah dihapus di Austria, Denmark, Finlandia, Swedia dan Swiss, dan terbatas pada maksimum 0,15 gram/liter (sekitar 150 ppm) di sebagian besar negara, dibandingkan dengan tingkat sebelumnya yang sampai lima kali jumlah tersebut (750 ppm , dengan pengurangan sampai 320 ppm pada pertengahan 1990-an). Cina mengumumkan niatnya untuk menghilangkan timbal dari bensin pada akhir tahun 1999, membatasi kandungan timbal rata-rata bensin 0,005 gram / liter (5 ppm, mirip dengan isi bensin tanpa timbal). Standar 5 ppm baru-baru ini telah diadopsi oleh beberapa negara lain juga. Bahkan ketika aditif timbal akan dihapus dari bensin, jumlah yang lebih kecil dari timah terus dipancarkan dari mobil,

(22)

truk, dan kendaraan lainnya. Selain sebagian membawa alam di bensin, hilangnya bertahap partikel halus dari logam, karet, dan komponen lainnya yang mengandung timah memberikan kontribusi untuk polusi, khususnya di daerah perkotaan dengan kepadatan lalu lintas tinggi. Selain itu, timbal diperkenalkan ke dalam biosfer melalui pembakaran batubara dan melalui produksi industri produk logam (seperti baja dan kuningan serta baterai), dan melalui penambahan untuk cat (sebelum tahun 1950 di AS), solder (sekarang dibatasi dalam jumlah timah), dan produk lainnya.

2.6 Dampak Logam Timbal

terhadap Kesehatan

Anak-anak pada usia di bawah 5 tahun sangat mudah terkontaminasi logam timbal karena biasa memasukan benda ke dalam mulutnya, termasuk tanah dan barang yang ada di lantai yang mengandung debu dan kotoran. Biasanya hal ini tidak akan menjadi masalah, tetapi dengan adanya kontaminasi logam Pb di lingkungan, terutama dari cat rumah yang lama, dapat menjadi komponen kuat kontaminasi pada anak-anak. Pada tanah dan debu yang mengandung Pb 10 sampai 100 kali, lebih tinggi dari konsentrasi timbal pada makanan, cat, debu di sekitar rumah merupakan sumber utama kontaminasi logam Pb. Pada tahun 1970, lebih dari 2.000 anak di kota New York diduga tercemari logam Pb, yang berasal dari cat yang mengandung logam Pb. Oleh karena itu perlu adanya kegiatan untuk mengurangi pencemaran logam Pb dengan mengurangi pemakaian bahan yang mengandung logam Pb, seperti bahan bakar bertimbal. Di Jerman, salah satu alasan utama untuk mengontrol emisi bahan yang mengandung logam Pb melalui pembentukan lembaga yang akan mengontrol l emisi timbal dari bahan bakar, adalah adanya indikasi rusaknya hutan di sepanjang jalan raya sebagai akibat kontaminasi dengan logam Pb yang berasal dari asap kendaraan bermotor.

Dampak yang jelas sebagai akibat dari keracunan logam Pb adalah kerusakan neurologis pada anak-anak (termasuk kerusakan permanen yang mungkin terjadi akibat tingkat kontaminasi yang tinggi pada usia dini) dan hipertensi pada orang dewasa. Pada anak-anak kandungan Pb seharusnya tidak lebih tinggi dari 6 mg/dl untuk menghindari gejala-gejala neurologis (kandungan Pb di atas 6 mg/dl gejala-gejala keracunan dapat terlihat jelas) dan tingkat dewasa seharusnya tidak lebih tinggi dari 25 mg/dl untuk menghindari gejala hipertensi (di atas 30 mg/dl efek hipertensi ringan telah dicatat pada laki-laki). Ibu hamil harus secara khusus berhati-hati terhadap kontaminasi logam Pb, baik karena peningkatan risiko abortus spontan dan potensi kerusakan pada janin, yang dapat terjadi dengan kadar timbal darah ibu lebih dari 10 mg/dl atau lebih

(Anderson et al., 1996; Sram et al., 1996).

2.7 Mengurangi Pencemaran

Logam Timbal (Pb)

Dengan pemahaman terhadap peningkatan potensi kontaminasi logam Pb, kebanyakan negara-negara lain perlahan-lahan sedang mengurangi kontaminasi logam Pb. Tingkat berbahaya kontaminasi logam Pb, sebagian besar terbatas hanya pada daerah sekitar tambang, fasilitas manufaktur yang masih berhubungan dengan timbal (seperti timah yang digunakan untuk baterai dan amunisi, dan tanaman logam daur ulang), tanah kota tua, landfill dan fasilitas dan kota-kota di negara-negara berkembang yang masih menggunakan bensin bertimbal.

Di Amerika Serikat (AS), emisi polutan Pb ke udara menurun dari 221.000 ton pada tahun 1970 (setelah yang semua mobil baru harus menggunakan bensin tanpa timbal), menjadi 160.000 ton pada tahun 1975 atau dari emisi polutan Pb dari 74.000 ton pada tahun 1980 dan turun ke 4.000-5.000 ton per tahun selama 1990-an. Pada tahun 1998, tahun terakhir dengan data yang diterbitkan (Statistik

(23)

Abstracts dari AS) emisi logam Pb di AS hanya di bawah 4.000 ton. Penurunan dramatis ini menunjukkan betapa besarnya dampak bahan bakar bertimbal terhadap pencemaran udara oleh logam Pb. Emisi polutan Pb yang masih ada saat in di AS sebagian besar disebabkan oleh pembuangan industri timbal dan dari sejumlah kecil dari pembakaran bahan bakar non-otomotif. Penurunan jumlah timbal pada bahan bakar berhasil menurunkan tingkat kandungan timbal secara signifikan dalam darah.

Di Jerman, beberapa studi telah dilakukan untuk memantau tingkat kontaminasi logam Pb di dalam darah dari masa ke masa. Selama masa pertengahan tahun 1970-an tingkat darah rata sekitar 12-13 mg/dl, yang biasanya pada saat sekarang dianggap sebagai tingkat beracun untuk anak-anak (untuk orang dewasa, timbal darah telah dianggap normal pada penduduk kota saat di bawah 25 mg/ dl). Pada pertengahan 1980-an, kandungan timbal darah di Jerman telah turun menjadi

6-8 mg/dl, yang sekarang dianggap sebagai tingkat non-beracun umum. Pada pertengahan tahun 1990-an tingkat kandungan logam Pb pada darah di Jerman telah turun menjadi 4-5 mg/dl. Kandungan logam Pb pada darah di AS telah menurun menjadi kisaran 2-4 mg/ dl. Berdasarkan hasil penelitian tulang pada jaman pra-Columbus, telah diperkirakan bahwa kadar timbal di dalam darah pada kebanyakan orang di Amerika pernah kurang dari 1/ 10 lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kandungan logam Pb pada darah orang Amerika pada saat ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa akibat yang ditimbulkan oleh adanya polusi oleh kendaraan bermotor sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan upaya dalam mengurangi dampak tersebut. Salah satu upayanya adalah dengan mencari informasi mengenai jenis-jenis pohon yang dapat menyerap dan menjerap polutan, khususnya logam Pb.

(24)
(25)

Peran Pohon dalam Mengurangi

Dampak Polusi Logam Timbal (Pb)

3.1 Pepohonan di Sekitar Kita

Tanaman atau pohon yang tumbuh di lingkungan yang berdebu umumnya menunjukkan terganggunya pertumbuhan pohon tersebut secara nyata. Gangguan tersebut umumnya terlihat pada permukaan daun yang menampung banyak partikulat polutan dari udara, yang beban partikelnya lebih berat. Polutan yang masuk secara alami ke atmosfer bersumber dari proses industri, aktivitas lalu lintas jalan, letusan vulkanik, tiupan badai debu dll. Penggunaan vegetasi dalam menyaring debu, jelaga dan partikulat dari atmosfer telah lama diketahui dan dipraktekan secara umum di banyak negara (Lin, 1976, Sharmar dan Roy, 1997, Brack, 2002). Jumlah debu yang mengendap dan terperangkap pada permukaan daun banyak tergantung kepada bentuk morfologi daun dan jumlah partikulat debu di udara. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh

Yunus et al. (1985) yang mengukur jumlah

debu pada daun pada daerah terbuka dan pada daerah yang banyak ditutupi oleh kanopi pohon.

Peran pepohonan khususnya bagian daun yang sangat efisien dalam menjerap partikel debu di udara, oleh karena itu, daun telah digunakan sebagai pemantau atau untuk memonitor tingkat polusi akibat dari partikel padat polusi udara (Nriague, 1989,

Freer-Smith et al, 1997). Pengendapan debu pada

permukaan daun banyak tergantung pada karakteristik fisik partikel debu, seperti, ukuran, bentuk dan juga spesies tanaman (Harrison dan Yin, 2000). Gangguan pada pertumbuhan tanaman biasanya diakibatkan oleh berkurangnya jumlah biomasa tanaman karena perubahan negatif di permukaan

daunnya sehingga, menghambat pertumbuhan tanaman, mengurangi area daun dan banyak tergantung pada beban debu, lamanya debu terjerap pada permukaan daun dan toleransi

tanaman (Shukla et al, 1990.).

3.2 Peran Pohon sebagai

Biomonitoring

Biomonitoring adalah penggunaan respon tanaman atau bagian tanaman beberapa tingkat biologis tanaman untuk mendeteksi atau memprediksi perubahan lingkungan dan dan perubahan yang terjadi akibat lamanya kontaminasi. Beberapa spesies tanaman sensitif terhadap satu jenis polutan dan beberapa jenis tanaman sensitif terhadap campuran polutan. Oleh karena itu tanaman spesies atau kultivar tertentu cenderung dapat digunakan untuk memonitor efek dari polusi udara sebagai tanaman bioindikator. Penggunaan spesies tanaman memiliki keuntungan besar karena dapat menunjukkan dengan jelas dampak dari senyawa phytotoxic yang ada pada udara ambien. Dengan demikian, tanaman dapat difungsikan untuk tujuan pengawasan tingkat polusi. Namun, juga dapat digunakan untuk memantau distribusi temporal dan spasial dampak polusi. Oleh karena itu standarisasi metoda sangat penting dalam rangka mengembangkan standar kualitas udara berdasarkan pemantauan efek monitoring

lainnya (Wedding et al, 1975; Bache, et al.,

(26)

Sumber foto : Ismayadi Samsoedin, 2008

Gambar 3. Pohon rindang dapat berfungsi sebagai penyerap polusi udara

Banyak tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman yang dapat menyerap polutan atau sebagai bioakumulator. Pemilihan jenis pohon tergantung pada tujuan biomonitoring. Lumut atau lichen diketahui mampu mengakumulasi logam berat dan senyawa lain dari udara yang sangat efisien karena permukaannya yang besar dan spesifik, serta pertumbuhannya yang lambat. Dengan demikian, tumbuhan tersebut berfungsi sebagian besar sebagai biomonitor pasif yang dapat memberikan indikasi dampak polutan pada tingkat ekosistem. Di sisi lain, tanaman sayuran dapat juga berfungsi untuk mendeteksi efek pencemaran polutan pada kualitas makanan dan pakan ternak.

Bioakumulator tidak hanya digunakan untuk mengukur endapan logam berat tetapi juga radio nuklida, hidrokarbon aromatik polisiklik, dioxin dan semua jenis butiran polutan di udara yang dapat diakumulasikan secara efisien. Sejauh kontaminan tanaman pangan dan pakan ternak yang bersangkutan, mereka adalah langkah penting untuk mengevaluasi dan mengawasi dikonsumsinya

polutan oleh konsumen (Fang et al.,2005).

Sumber foto : Ismayadi Samsoedin, 2008

Gambar 4. Pepohonan di RTH berfungsi sebagai paru-paru kota yang menyerap polusi udara

P e n g g u n a a n t u m b u h a n s e b a g a i biomonitors memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan pengukuran langsung. Salah satu keunggulannya adalah kemudahan melakukan sampling dan melakukan perkiraan elemen apa yang akan diukur. Keunggulan lainnya adalah, biomonitor dapat mengukur tingkat kontaminasi yang berintegrasi dengan waktu, bahkan untuk di daerah terpencil tanpa peralatan mahal. Dengan cara ini, tingkat pencemaran karena kontaminasi dapat dikumpulkan dari waktu ke waktu sehingga tingkat akumulasi dapat di analisis. Pemetaan secara biologi pada skala besar dengan perhitungan statistik yang sesuai dapat dilakukan, sehingga informasi jenis sumber polusi dan model penyebaran polusi tersebut dapat diukur (Franke dan Studinger, 1997; Farmer, 1993; Freitas, 1995).

3.3 Pengertian dan Fungsi Hutan

Kota (Urban Forest)

Menurut PP No. 63 tahun 2002 hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan

(27)

ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Fungsi hutan kota adalah memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

Agar pembangunan hutan kota yang dirancang sesuai dengan kaidah dan rambu seperti tersirat dalam Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, untuk itu jenis-jenis pohon yang akan dikembangkan harus dipilih, diseleksi, dan ditetapkan sebagai jenis potensial hutan kota pada suatu kawasan tertentu.

Manfaat yang diharapkan :

1. Sebagai acuan dasar pemahaman pentingnya pembangunan hutan kota dan peranan fungsi jasa pembangunan dan pengembangan hutan kota bagi para pihak

pemangku berkepentingan (stakeholder).

2. Sebagai acuan dasar pemilihan jenis-jenis pohon hutan kota yang akan dikembangkan, atas dasar tujuan misional kawasannya.

3. Pemahaman makna pentingnya pembangunan hutan kota seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002.

(28)
(29)

Beberapa Kasus Polusi di Jawa

Tingkat pencemaran polutan yang tinggi

selalu terjadi di kota-kota besar, tidak luput juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Semarang, dan Surabaya. Peranan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi sangat penting dalam meminimalisasi pencemaran polutan tersebut. Kandungan polutan di udara, terdiri dari, antara lain, senyawa organik seperti bahan organik yang mudah menguap dan senyawa lainnya yang terikat dengan partikel debu (Rodriguez 1982; Garcia dan Millán, 1998).

Berikut ini disampaikan kondisi pencemaran polutan dan peranan vegetasi dalam ruang terbuka hijau di kota-kota Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Semarang, dan Surabaya untuk mengurangi konsentrasi pencemaran polutan:

4.1 Kota Jakarta

4.1.1 Fakta vegetasi menurunkan

pencemaran polutan

Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta pada tahun 2000 kurang lebih tiga juta. Sedangkan jumlah industri besar berkisar 2.000. Jumlah tersebut meningkat terus, karena pada bulan Juni 2009, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di DKI Jakarta (tidak termasuk kendaraan milik TNI dan Polri) adalah 9.993.867 kendaraan, sedangkan jumlah penduduk DKI Jakarta pada bulan Maret 2009 adalah 8.513.385 jiwa. Dengan luas Jakarta 661,52 km2, jumlah sumber polusi akibat pembakaran bahan bakar tersebut merupakan potensi terjadinya pencemaran udara (BPS DKI Jakarta, 2000). Pada tahun 2002 tercatat beban pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta untuk cemaran debu sebesar 15.977,3 ton/tahun, kontribusi terbesar berasal

dari sepeda motor yang diikuti oleh mobil penumpang, dan terdapat kecenderungan yang terus meningkat sejak tahun tahun 2000.(BPS, 2003). Berdasarkan data Asian Development Bank (1997), Jakarta termasuk salah satu kota di Asia dengan cemaran Suspended Particulate Matter (SPM) yang serius (melebihi 100 % dari standar WHO) oleh karena itu polusi udara di Jakarta adalah yang terparah di seluruh Indonesia, sehingga sebagian warga Jakarta memberikan julukan ”kota polusi” kepadanya. Munculnya julukan tersebut tentu bukan tanpa alasan sama sekali (Jusuf Anwar, 2001).

Hasil monitoring kualitas udara Jakarta menunjukkan bahwa selama setahun hanya terhitung 22 hari udara Jakarta berkualitas baik, 95 hari dinyatakan tidak sehat, dan selebihnya (223 hari) berkualitas sedang (Shanty MF Syahril, 2003). Oleh karena itu, pada 2011 Pemprov DKI berencana menambah ruang terbuka hijau sebanyak 25 hektar, maka realisasi RTH bisa mencapai 9,84 persen dari luas ibu kota (http://www.antara.com).

Sumber foto : http://www.mercusian.com/kemacetan-jakarta-part-1

Gambar 5. Kemacetan terutama pada jam sibuk sebagai salah satu penyebab utama polusi udara di kota Jakarta.

(30)

Sumber foto: http://www.antarafoto.com/bisnis/v1295342420/ruang-terbuka-hijau

Gambar 6. Salah Satu RTH di Kawasan Dukuh Atas Jakarta

Sedangkan menurut WHO, setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200 ribu kematian

akibat outdoor pollution yang menimpa daerah

perkotaan, di mana sekitar 93% kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 1991). Ukuran partikel debu yang membahayakan bagi kesehatan ialah 0,I - 10 mikron. Beberapa senyawa kimia berbahaya (misalnya Pb dan

S02) dapat melekat bergabung atau bereaksi

dengan partikel debu, dan manusia terpajan melalui inhalasi. Di samping itu partikel debu juga dapat menyebabkan gangguan jarak pandang (Departemen Kesehatan, 2001).

Menghadirkan pepohonan di tepi jalan di kawasan perkotaan termasuk di Jakarta merupakan salah satu pilihan untuk meredakan polusi udara. Dari sebanyak 80 jenis pohon di sepanjang jalan di sekitar kawasan Monas menunjukkan bahwa tingkat penjerapan debu berkorelasi sedikit positif dengan luas penampang daunnya. Ini berarti semakin luas penampang daun akan sedikit mempengaruhi peningkatan jumlah debu yang terjerap pada daun. Dengan demikian partikulat Pb yang melayang layang di udara akan terikat oleh debu dan akan mengendap dipermukaan daun dan banyak atau sedikitnya debu yang mengendap sedikit tergantung kepada luas permukaan daun.

Parameter berat daun berkorelasi sedikit positif dengan berat debu yang terjerap.

Dengan demikian, dengan bertambahnya sedikit berat daun akan memengaruhi peningkatan berat debu yang terjerap. Hal ini mungkin terjadi karena daun yang berat akan membuat posisi daun miring kebawah dan hal tersebut akan memudahkan daun dalam menangkap debu yang melayang di udara dengan menahan tiupan angin yang mengandung debu, terutama apabila polutan debu tersebut cukup banyak di udara.

Luas penampang daun dan kandungan logam Pb pada debu yang terjerap pada daun berkorelasi negatif. Hal ini bertolak belakang dengan fakta sebelumnya yang menunjukan bahwa semakin luas penampang daun, menyebabkan semakin banyak pula debu yang terjerap. Hal tersebut tersebut juga menunjukan bahwa tidak semua debu yang terjerap pada dedaunan pepohonan di wilayah Jakarta mengandung logam Pb. Atau dapat dikatakan bahwa debu yang melayang di udara Jakarta tidak semua mempunyai ikatan dengan logam Pb. Sumber cemaran yang mengandung Pb berasal dari bahan bakar kendaraan sebagai sumber cemaran.

Pada parameter lainnya, luas penampang dedaunan pada wilayah sampling Jakarta dan kandungan Pb terserap pada daun memiliki korelasi negatif. Artinya semakin luas penampang daun tidak selalu diikuti dengan bertambahnya penyerapan logam Pb oleh daun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa partikulat Pb yang berikatan dengan polutan debu di wilayah sampling Jakarta berukuran besar sehingga tidak dapat diserap oleh permukaan daun melalui stomata daun. Beberapa penelitian menunjukan bahwa logam Pb dapat terserap oleh permukaan daun, karena beberapa penelitian melaporkan bahwa panjang stomata daun adalah 10 um dan lebarnya 27 um. Sedangkan ukuran timbal adalah 2 um, sehingga penyerapan partikulat Pb melalui daun dari udara terjadi karena pengendapan pada permukaan dan diserap

melalui stomata (Tewari, 1994; Rawat, et.al.,

1996). Selain itu, logam berat tersebut juga dapat terlarut di permukaan daun sehingga

(31)

dapat diserap oleh permukaan daun (Carlson, et al, 1976).

Korelasi berat setiap daun dari lokasi Jakarta dengan kandungan Pb dari debu yang terjerap berkorelasi negatif. Artinya, semakin berat daun tidak berarti jumlah kandungan Pb di dalam debu yang terjerap semakin banyak. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak semua debu yang terjerap oleh daun adalah terdiri semuanya dari partikulat logam Pb atau dapat diterangkan bahwa debu yang melayang sebagai polutan di udara lokasi sampling di Jakarta, tidak semuanya berikatan dengan partikulat Pb. Ditambah pula, pengendapan atau penjerapan debu oleh daun juga banyak tergantung kepada karakteristik permukaan daun. Permukaan daun yang lebih kasar, berbulu dan lebar akan lebih mudah menjerap partikulat debu dari udara, disamping oleh faktor lingkungan lain seperti kecepatan

angin, orientasi daun (Harrison, et al., 1981;

Gray, et al., 2003; Fang, at el., 2005).

Korelasi berat setiap daun dari wilayah Jakarta dengan kandungan Pb yang terserap oleh daun adalah negatif. Artinya bertambahnya berat daun tidak menyebabkan kandungan logam Pb yang terserap pada daun meningkat. Hal tersebut bertolak belakang dengan korelasi sebelumnya untuk wilayah Jakarta, yang menunjukan peningkatan berat daun menyebabkan meningkat pula jumlah debu yang terjerap (korelasi positif), Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa polutan debu yang terjerap yang berikatan dengan partikulat Pb berukuran besar sehingga tidak terserap permukaan daun.

Pada wilayah Jakarta, jumlah debu yang terjerap pada daun, berkorelasi sangat positif dengan kandungan logam Pb yang terserap oleh daun. Artinya semakin bertambahnya debu yang terjerap pada maka kandungan logam Pb yang ada pada daun tersebut semakin tinggi. Dengan demikian, polutan debu yang terjerap di wilayah Jakarta banyak juga yang mengandung partikel debu yang berukuran kecil, terutama yang berikatan dengan partikel Pb, sehingga dapat diserap oleh daun. Hal ini

dapat terjadi karena pada korelasi sebelumnya menunjukan bahwa ukuran polutan debu yang terjerap dan berikatan dengan partikulat Pb di wilayah Jakarta banyak yang berukuran besar. Beberapa penelitian menunjukan bahwa logam Pb dapat terserap oleh permukaan daun, karena beberapa penelitian melaporkan bahwa panjang stomata daun adalah 10 um dan lebarnya 27 um sedangkan ukuran timbal adalah 2 um, sehingga penyerapan partikulat Pb melalui daun dari udara terjadi karena pengendapan pada permukaan dan diserap

melalui stomata (Tewari, 1994; Rawat, et.al.,

1996).

Fakta lainnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah debu yang terjerap oleh daun dengan jumlah kandungan logam Pb dari debu yeng terjerap. Hal ini menunjukan bahwa dengan bertambahnya debu yang terjerap, jumlah kandungan logam Pb nya juga meningkat. Kondisi tersebut memungkinkan debu yang merupakan polutan di wilayah Jakarta banyak mengandung logam Pb. Hal tersebut sesuai dengan korelasi sebelumnya yang menunjukan polutan debu di wilayah sampling Jakarta banyak berikatan dengan partikel logam Pb, dengan variasi ukuran partikel yang besar yang tidak dapat diserap permukaan daun dan polutan debu berukuran kecil yang diserap permukaan daun melalui stomata daun.

4.1.2 Respon pohon di wilayah

Jakarta terhadap polutan Timal

(Pb)

Tidak disangsikan lagi kehadiran berbagai jenis pohon di tepi ruas jalur jalan, pedestrian dan di taman kota menciptakan kenyamanan dan jasa lingkungan. Secara fisik, kehadirannya berperan sebagai penyejuk udara, penyerap polusi udara, penjerap debu, serta penyaji nuansa estetika melalui warna, bentuk, aroma dari tajuk, batang, daun, bunga dan buah. Bahkan secara massal dapat berfungsi mengendalikan aliran udara dengan mereduksi kecepatan angin, “menyaring”

(32)

dan mengarahkan alirannya. Disamping itu beberapa jenis berkemampuan menguapkan air dari dalam tanah. Melalui mekanisme penguapan air lewat daun dan bagian tanaman, pohon dapat berperan “memompa” air pada daerah yang basah.

Tanaman yang terus-menerus terkena polutan dari udara, mengakumulasi dan mengintegrasikan polutan tersebut ke dalam sistem mereka dan tergantung pada tingkat sensitivitas tanaman. Perubahan yang terlihat mencakup perubahan dalam proses biokimia atau akumulasi metabolit tertentu (Agbaire dan Esiefarienrhe, 2009). Sulfur oksida nitrogen dioksida (SO2 °), (NOx) dan CO2 serta suspended partikulat. Polutan ini ketika diserap oleh daun dapat menyebabkan penurunan konsentrasi yaitu pigmen fotosintesis, klorofil dan karotenoid, yang secara langsung berpengaruh terhadap produktivitas tanaman (Joshi dan Swami, 2009).

Untuk mengetahui kemampuan masing-masing jenis pohon dalam menjerap debu sekaligus menangkap polutan Pb, serta menyerap logam Pb maka dibuat rangking dari urutan 1, yaitu yang tertinggi, sampai dengan urutan 10 yang terendah. Kemampuan di dalam menjerap dan menyerap polutan diukur per cm2 dari luas penampang daun. Rangking tersebut dilakukan dari setiap lokasi dan diuraikan pada tabel-tabel berikut.

Tabel 3. Rangking jenis pohon dari lokasi Jakarta yang paling banyak menjerap debu

No Nama Lokal Nama Latin Berat debu (g/cm2)

1 Asam kranji Pithecelobium dulce Benth.

0.0653 2 Jenis baru 0.0351 3 Ki hujan Samanea saman

Merr. 0.0225 4 Lamtoro Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit, 0.0224

No Nama Lokal Nama Latin Berat debu (g/cm2)

5 Kayu putih Melaleuca leucadendra

(L.) L.

0.0216

6 Flamboyan Delonix regia Rafin. 0.0214 7 Mimba Azadirachta indica

A. Juss. (Blume) Miq.

0.0205

8 Johar Caessia siamea

Lamk.

0.0178 9 Tusam/Pinus Pinus merkusii

Jungh. & de Vriese

0.0159 10 Tevetia/Ginje Thevetia neriifolia

Juss.

0.0159

Tabel 4. Rangking jenis pohon dari lokasi Jakarta yang banyak menjerap logam Pb

No Nama Lokal Nama Latin Pb Terjerap (ppm/cm2)

1 Albisia Albizia chinensis

(Osbeck) Merr.

91.1192 2 Johar Caessia siamea

Lamk.

83.3923 3 Kayu manis Cinnamomum

burmannii

79.4302 4 Tusam/Pinus Pinus merkusii

Jungh. et deVries

64.2205 5 Jenis baru 63.9012 6 Flamboyan Delonix regia Rafin. 48.0345 7 Asam kranji Pithecelobium dulce

Benth.

47.8107 8 Angsana Pterocarpus indicus

Willd

41.7932 9 Kayu putih Melaleuca

leucadendra

(L.) L.

36.8153

10 Krei Payung Filicium decipiens

(Wight & Arn.) Thwaites

(33)

Tabel 5. Rangking jenis pohon dari lokasi Jakarta yang menyerap logam Pb

No Nama

Lokal Nama Latin

Pb Terserap (g/cm2) 1 Cemara natal Araucaria heteropylla (Salisb.) Franco. 63.5431 2 Tusam/ Pinus Pinus merkusii Jungh. et deVries 58.7886 3 Asam kranji Pithecelobium dulce

Benth.

33.4179 4 Krei Payung Filicium decipiens

(Wight & Arn.) Thwaites.

31.4879

5 Johar Caessia siamea

Lamk. 23.5981 6 Jenis baru 20.7745 7 Tevetia/ Ginje Thevetia neriifolia Juss. 19.6625 8 Ki hujan Samanea saman

Merr.

16.9125 9 Albisia Albizia chinensis

(Osbeck) Merr.

15.3587 10 Flamboyan Delonix regia Rafin. 14.3121

Pohon-pohon yang banyak menjerap debu, dari lokasi sampling Jakarta, di dalam rangking 1-10, adalah pohon lamtoro, kayu putih, dan mimba. Sedangkan pohon-pohon yang daunnya disamping mempunyai kemampuan menjerap debu, tetapi juga menyerap logam Pb, yang masuk di dalam rangking1-10, adalah jenis pohon asam kranji, ki hujan, flamboyan, johar, pinus, dan tevetia.

4.2 Kota Bogor

4.2.1 Fakta vegetasi menurunkan

pencemaran polutan

Jumlah penduduk Bogor berdasarkan data tahun 2006 mencapai 750.250 jiwa, dengan luas daerah kota 11.850 ha. Cuaca kota Bogor pada tahun 70-an masih sangat dingin dan

udaranya pun masih bersih dari polusi udara. Oleh karena itu, semenjak dahulu Bogor selalu menjadi daerah pelepas kepenatan bagi masyarakat dari berbagai daerah terutama penduduk ibu kota. Bogor bukan lagi kota yang sejuk dan asri. Cuaca panas di kota Bogor saat ini tak ada ubahnya dengan cuaca di ibu kota. Bahkan kemacetan yang terjadi di Bogor tak jauh berbeda dengan kemacetan yang terjadi di ibu kota. Bila kemacetan di ibu kota terjadi akibat jumlah kendaraan pribadi yang terlalu padat, di Bogor penyebab utama kemacetan adalah angkutan kota yang semakin tidak dapat dibatasi. Disamping itu, banyak pohon yang ditebang dan digantikan oleh bangunan-bangunan perkantoran, pusat perbelanjaan, serta bangunan-bangunan besar lainnya. Bemo berangsur-angsur hilang digantikan oleh angkutan kota.

Sumber foto : Nurpiansyah, 2016

Gambar 7. Jalan Raya Pajajaran salah satu jalan yang paling banyak dilewati oleh kendaraan

Jumlah kendaraan di kota Bogor terus meningkat setiap tahun. Berdasarkan data pengurusan kepemilikan kendaraan di Kantor Samsat kota Bogor, tercatat pada 2010 jumlah pengurusan kendaraan oleh masyarakat untuk kendaraan roda dua sebanyak 206.845 kendaraan, roda empat sebanyak 50.231 kendaraan. Jumlah ini meningkat dibanding 2009 dimana untuk roda dua tercatat sebanyak 173.724 kendaraan dan roda empat sebanyak 46.213 kendaraan. Kenaikan juga terjadi untuk kendaraan jenis angkutan barang dan bus, yakni pada 2010 tercatat sebanyak

(34)

12.209 kendaraan angkutan barang dan dan bus sebanyak 834 kendaraan. Sedangkan pada 2009 jumlah tersebut relatif kecil yakni sebanyak 11.807 kendaraan angkutan barang dan 821 bus.

Gambar 8. Jumlah angkot yang tidak terkontrol, sebagai salah satu penyebab meningkatnya polusi udara di kota Bogor

Bogor sejak masa Orde Baru diikutsertakan dalam perencanaan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi) sebagai kawasan metropolitan terpadu. Dalam perannya, Bogor diharapkan menjadi daerah pendukung ibu kota dalam hal permukiman penduduk dan sebagai daerah resapan dan cadangan air. Di satu sisi, kota Bogor menghadapi tantangan untuk dapat mempertahankan kualitas lingkungannya sedangkan di sisi lain kota Bogor juga terdesak oleh pertumbuhan kotanya sendiri dan juga perkembangan Jabotabek yang sangat pesat.

Gambar 9. Keberadaan Kebun Raya Bogor sebagai paru-paru kota Bogor

Pada wilayah kota Bogor, korelasi luas penampang daun dengan berat debu yang terjerap pada daun adalah sedikit negatif.

Artinya luas penampang daun tidak terlalu berpengaruh dalam hal menjerap debu yang melayang-layang di udara, ada kemungkinan bahwa udara di wilayah Bogor sudah sedemikian berdebu sehingga faktor luas tidak menjadi faktor penting dalam menjerap debu. Walaupun semua hal tersebut banyak tergantung kepada karakteristik daun.

Korelasi hubungan berat setiap daun dengan berat debu yang terjerap bersifat sedikit positif. Artinya meningkatnya berat setiap daun sedikit atau agak menyebabkan naiknya debu yang terjerap. Hal tersebut kemungkinan berhubungan dengan berat daun yang menyebabkan rotasi daun yang miring dan turbulensi udara yang menghasilkan banyaknya debu yang terjerap karena daun yang cukup tebal dan berat untuk menahan udara yang mengandung debu. Walaupun sifat daun seperti permukaan dan kasar dan berbulu juga sangat menentukan penjerap debu oleh

daun tersebut (Wells et.al., 1967).

Sama dengan di wilayah Jakarta, untuk wilayah Bogor, korelasi luas penampang daun dengan kandungan Pb dari debu yang terjerap pada daun berkorelasi negatif, walaupun korelasi tersebut tidak terlalu nyata. Artinya bertambahnya luas penampang daun tidak berpengaruh terhadap jumlah kandungan Pb pada debu yang terjerap. Dengan demikian, dengan bertambahnya luas penampang, jumlah debu yang terjerap akan bertambah pula, tetapi tidak semua debu berikatan dengan partikulat logam Pb. Karena partikel polutan di udara disamping mengandung logam Pb, juga banyak mengandung elemen lain baik yang primer maupun yang sekunder (Colbeck, 1995).

Apabila dibandingkan dengan korelasi parameter yang sama dengan lokasi kontrol, korelasi luas penampang daun dengan kandungan Pb dari debu yang terjerap, juga bersifat negatif dan korelasinya sama tidak nyata. Hal ini dapat di interpetasikan bahwa debu pada wilayah kontrol tidak banyak mengandung partikulat Pb. Element lain juga terdapat pada polutan debu. Partikel Pb

(35)

sebagai polutan dihasilkan dari kendaraan bermotor (55 %), sedangkan dari sumber penghasil cemaran lain seperti pembangkit listrik (22 %), dan sumber-sumber industri, komersial, pertanian, dan rumah penduduk yang membakar bahan bakar atau biomassa (22 %) (Colbeck, 1995).

Parameter luas penampang daun berkorelasi negatif dengan jumlah kandungan Pb yang terserap oleh daun, walaupun korelasinya tidak nyata. Pada korelasi sebelumnya pada wilayah Bogor, luas penampang daun dengan jumlah debu yang terjerap bersifat positif. Dengan demikian, jumlah debu yang terjerap pada permukaan daun tidak menyebabkan kandungan logam Pb yang terserap oleh daun menjadi meningkat. Artinya bertambahnya luas penampang daun tidak otomatis akan meningkatnya kandungan Pb yang terserap oleh daun. Atau dapat dikatakan bahwa kandungan logam Pb yang terserap di daun, tidak semua berasal dari logam Pb yang terjerap kemudian di serap oleh daun melalui stomata daun. Beberapa penelitian menunjukan bahwa logam Pb ada pada daun melalui sistem perakaran, atau melalui tanah yang terkontaminasi polutan Pb (Zimdahl dan Koeppe, 1997). Kemungkinan lain adalah ukuran polutan debu, terutama yang berikatan dengan Pb, terlalu besar sehingga tidak dapat diserap oleh daun.

Berbeda dengan korelasi sebelumnya, korelasi parameter luas penampang daun dengan Pb terserap yang terserap oleh daun berkorelasi sangat negatif. Artinya luas penampang daun, yang juga sekaligus meningkatkan jumlah debu yang terjerap seperti yang diperlihatkan pada korelasi sebelumnya, sangat tidak diikuti dengan bertambahnya jumlah Pb yang terserap. Kemungkinannya adalah polutan debu yang berikatan dengan Pb tidak banyak. Hal ini disebabkan karena wilayah kontrol relatif jauh dari jalan raya, atau di sisi jalan yang lalu lintas kendaraannya tidak terlalu sibuk, tetapi partikel Pb dari asap kendaraan dapat mencapai lokasi yang berjarak cukup jauh dari jalan raya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa akumulasi Pb yang berasal dari kendaraan di jalan raya terdapat pada tanah dengan kedalaman 0-5 meter yang berjarak jauh dari jalan raya, dan jumlahnya tergantung kepada kepadatan lalu lintas tersebut (Laggerwerf, 1980).

Pada wilayah Bogor, korelasi berat setiap daun dengan kandungan logam Pb dari debu yang terjerap berkorelasi sedikit negatif dengan kandungan Pb pada debu yang terjerap. Artinya meningkatnya berat daun tidak berpengaruh terhadap peningkatan kandungan Pb dari debu yang terjerap di daun. Apabila melihat pada korelasi berat daun dengan jumlah debu yang terjerap pada wilayah kontrol, korelasi tersebut sangat positif. Hal tersebut menunjukan bahwa berat daun akan menjerap lebih banyak debu, tetapi tidak semua debu tersebut mengandung logam Pb. Polutan debu di udara terdiri dari banyak element dan logam Pb termasuk bagian kecil element yang berikatan dengan partikel debu, dan besarnya banyak tergantung kepada bagaimana kepadatan lalulintas kendaraan, apabila wilayah tersebut dekat dengan jalan raya (Colbeck, 1995).

Korelasi berat daun dengan kandungan Pb yang terserap oleh daun pada wilayah Bogor berkorelasi sedikit negatif. Artinya bertambahnya berat daun tidak berpengaruh terhadap jumlah kandungan Pb yang terserap oleh daun. Pada korelasi sebelumnya pada wilayah Bogor, menunjukan bahwa semakin berat daun menyebabkan semakin besar pula jumlah debu yang terjerap. Dengan demikian, kandungan logam Pb yang terserap daun kebanyakan bukan berasal dari debu yang terjerap dan masuk ke dalam jaringan daun melalui stomata

Sama dengan korelasi diatas, korelasi berat daun dengan Pb terserap oleh daun berkorelasi negatif. Artinya semakin bertambah berat daun, tidak selalu diikuti dengan bertambahnya jumlah Pb yang terserap oleh daun. Pada korelasi sebelumnya menunjukan bahwa dengan bertambahnya berat daun, bertambah pula debu yang terjerap. Dengan demikian, berarti jumlah kandungan Pb yang

(36)

ada pada daun pada lokasi kontrol tidak berasal jumlah debu yang terjerap yang diserap oleh daun melalui stomata.

Korelasi jumlah kandungan Pb dari debu yang terjerap di daun berkorelasi negatif dengan kandungan Pb yang terserap oleh daun. Artinya, meningkatnya jumlah Pb dari debu yang terjerap tidak berpengaruh terhadap kandungan Pb yang terkandung oleh daun. Dengan demikian kandungan logam Pb yang terdapat pada daun tidak berasal dari jumlah kandungan logam Pb yang ada pada debu yang terjerap di permukaan daun. Beberapa penelitian menunjukan bahwa logam Pb ada pada daun melalui sistem perakaran atau melalui tanah yang terkontaminasi polutan Pb (Zimdahl dan Koeppe, 1997).

Hasil beberapa penelitian melaporkan bahwa partikel yang mengandung logam Pb dari polusi kendaraan mengendap pada tanah yang dekat jalan raya, yaitu kira-kira 90 % pada jarak 1,5 meter dari jalan raya dengan ukuran

partikel kurang lebih 5 um (Hamamci et al.,

1997). Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa permukaan tanah disepanjang jalan raya yang padat kendaraan banyak terkontaminasi cemaran logam Pb, dan jumlahnya bervariasi tergantung jarak tanah tersebut dengan jalan raya (Rodriguez 1982; Garcia dan Millán, 1998).

Korelasi parameter jumlah debu yang terjerap oleh daun dengan jumlah kandungan logam Pb dari debu yang terjerap tersebut positif. Hal ini menunjukan bahwa dengan bertambahnya debu yang terjerap, jumlah kandungan logam Pb nya juga meningkat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebanyakan element pada debu sebagai polutan udara di wilayah Bogor adalah logam Pb dan oleh karena industri timah tidak ada di wilayah perkotaan di Bogor, maka kontaminasi logam Pb tersebut di udara berasal dari asap kendaraan di jalan raya.

4.2.2 Respon pohon di wilayah Bogor

terhadap polutan Pb

Polutan debu yang melayang-layang di udara pada umumnya berdampak negatif terhadap tanaman yang tumbuh di lingkungannya. Partikel debu akan dijerap oleh dedaunan debu yang melayang di sekitarnya. Partikel debu yang mencemari lingkungan tersebut, berasal dari sumber antropogenik dan dari sumber yang timbul secara alami ke atmosfer sebagai akibat dari misalnya kegiatan industri, lalu lintas jalan, serta letusan gunung. Penggunaan tumbuhan di dalam menyaring debu, jelaga dan partikulat debu lainnya dari atmosfer telah lama dipraktekan oleh banyak

negara (Yunus, et al.,1985).

Untuk mengetahui kemampuan masing-masing jenis pohon dalam menjerap debu sekaligus menangkap polutan Pb, serta menyerap logam Pb maka dibuat rangking dari urutan 1, yaitu yang tertinggi, sampai dengan urutan 10 yang terendah. Kemampuan di dalam menjerap dan menyerap polutan diukur per cm2 dari luas penampang daun. Rangking tersebut dilakukan dari setiap lokasi sampling dan diuraikan pada tabel-tabel berikut.

Tabel 6. Rangking jenis pohon di lokasi Bogor yang paling banyak menjerap debu

No Nama Lokal Nama Latin Daun (g/Berat cm2)

1 Srikaya Annona squamosa L. 0.0155 2 Pinus Pinus merkusii

Jungh. et de Vries

0.0105 3 Kersen Muntingia calabura L. 0.0101 4 Asam kranji Pithecelobium dulce

Benth. 0.0099 5 Cemara balon Casuarina sumatrana 0.0098 6 Petai cina Leucaena

leucocephala

(Lamk.) de Wit,

(37)

No Nama Lokal Nama Latin Berat Daun (g/ cm2) 7 Ficus sp. Ficus sp. 0.0087 8 Acacia formis Acacia auriculiformis A.Cunn. ex Benth. 0.0078 9 Jeunjing Paraserianthes falcataria (L.) I.C. Nielsen 0.0063

10 Flamboyan Delonix regia Rafin. 0.0058

Tabel 7. Rangking jenis pohon di lokasi Bogor yang banyak menjerap logam Pb

No Nama Lokal Nama Latin

Pb Terjerap (ppm/ cm2) 1 Podokarpus Podocarpus neriifolius D.Don 71.9728

2 Kayu putih Melaleuca leucadendra (L.) L.

62.4645 3 Petai cina Leucaena

leucocephala

(Lamk.) de Wit.

60.9296

4 Sengon buto Enterolobium cyclocarpum (Jacq.)

Griseb.

36.7304

5 Ficus sp. Ficus sp. 30.9994 6 Beringin Ficus benjamina L. 30.5073 7 Kayu manis Cinnamomum

verum

J.Presl

27.8921

8 Sirsak Annona muricata L. 25.1308 9 Kamboja Plumeria rubra 20.1521 10 Flamboyan Delonix regia Rafin. 19.7008

Tabel 8. Rangking jenis pohon di lokasi Bogor yang menyerap logam Pb

No Nama Lokal Nama Latin

Pb Terserap (ppm/ cm2) 1 Araucaria Araucaria cunninghamii Sweet. 10.8011

2 Pinus Pinus merkusii

Jungh. et de Vries

7.1590 3 Sengon buto Enterolobium

cyclocarpum (Jacq.) Griseb. 6.6911 4 Cemara balon Casuarina sumatrana 6.3403 5 Lamtoro gung Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit. 4.9810

6 Petai cina Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit. 4.5740 7 Jeunjing Paraserianthes falcataria (L.) I.C. Nielsen 4.5278

8 Sikat botol Callistemon citrinus 4.2327 9 Cengkeh Syzygium

aromaticum (L.)

Merrill & Perry.

4.1158

10 Flamboyan Delonix regia Rafin. 3.8361 Pohon-pohon yang banyak menjerap debu di lokasi Bogor tersaji pada tabel di atas adalah jenis pohon srikaya, kersen, asam

kranji, Ficus sp., dan Acacia formis sedangkan

pohon-pohon yang daunnya disamping mempunyai kemampuan menjerap debu, tetapi juga menyerap logam Pb, yang masuk di dalam rangking 1-10, adalah jenis pohon pinus, cemara balon, petai cina, jeunjing, dan flamboyan.

(38)

4.3 Kota Depok

4.3.1 Fakta vegetasi menurunkan

pencemaran polutan

Jumlah penduduk kota Depok pada tahun 2005 mencapai 1.374.522 jiwa. Luas kota Depok yang berbatasan dengan DKI Jakarta, Bogor, kota Tangsel dan kota Bekasi

itu mencapai 200,29 km2. Dengan luas

wilayah sebesar 200,29 km2 maka kepadatan penduduk kota Depok adalah 6.863 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk ini sudah dapat digolongkan pada kategori padat, apalagi jika dikaitkan dengan penyebaran penduduk yang tidak merata.

Gambar 10. Kampus Universitas Indonesia yang ditunjang dengan fasilitas dan RTH

Pada tahun 1999 jumlah penduduk kota Depok masih dibawah 1 juta jiwa dan dalam kurun waktu 5 tahun (2000 – 2005) penduduk kota Depok sudah berjumlah 1.374.522 jiwa atau mengalami peningkatan sebesar 447.993 jiwa, atau rata-rata Sehingga peningkatan penduduk kota Depok adalah 4,23 % per tahun.

Gambar 11. Salah satu mall di kota Depok mengurangi jatah RTH

Saat ini jumlah penduduk kota Depok 1,6 juta. Kota Depok adalah kota yang paling sedikit memiliki taman kota. Ruang terbuka hijau di kota Depok hanya ada pada kawasan perumahan elite saja. Itu pun kadang bisa berubah fungsi menjadi area komersil (Indo Pos, 29 Januari 2011)

Kemacetan yang terjadi di kota Depok terjadi karena pertambahan penduduk ini tidak diimbangi dengan pengoptimalan prasarana (jalan) yang baik. Kemacetan yang sering terjadi adalah di jalan utama kota Depok, yaitu di jalan Margonda Raya.

Tingkat polusi udara di kota Depok makin tidak terbendung, karena penambahan jumlah kendaraan baru yang mencapai lebih dari 8.000 unit setiap bulan. Polusi udara di kota Depok umumnya berasal dari pertambahan jumlah kendaraan, baik yang dimiliki oleh penduduk kota Depok atau pun yang melintas di kota Depok. Jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki oleh penduduk kota Depok adalah sekitar 12.514 buah, yang didominasi oleh sepeda motor dengan jumlah 10.451 buah. Ini menunjukkan bahwa sudah banyak penduduk kota Depok yang lebih memilih menggunakan sepeda motor sebagai kendaraannya dalam mencapai lokasi yang diinginkan.

Gambar

Tabel 1.  Baku mutu kualitas udara ambien  Indonesia
Gambar 1.  Asap dari cerobong industri sebagai salah satu  sumber polusi udara
Gambar 2.  Contoh partikulat di udara di atas Kota Mexico, setelah dianalisa mengandung logam mangan (Mn), besi (Fe), seng  (Zn), timah, timbal (Pb), dan merkuri (Hg)
Gambar 4.  Pepohonan di RTH berfungsi sebagai paru-paru  kota yang menyerap polusi udara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap suatu negara yang akan atau telah menyempurnakan kodifikasi atau undang-undang hukum pidananya, tidak secara mutlak harus mencantumkan lagi hukum

Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya pengaruh pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi ini sangat kontraditif

 Motorik otonom dari sistem saraf pusat di daerah lumbar (bagian belakang tubuh yang paling sempit, daerah pinggang) dan thoracic di sumsum tulang belakang.  Contoh:

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah / Penulisan Hukum / Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

Selain itu, pengolahan umbi menyebabkan perubahan komposisi pati resisten akibat gelatinisasi dan retrogradasi pati (Gee et al, 2001) serta perubahan indeks glikemik (Marsono,

1) Pada paket pertama (Hakikat Suami/Hakikat Istri), pasangan suami-istri sudah diajak untuk mengenali pribadinya lebih dalam sehingga ia mengetahui siapa dirinya, apa

Ini menunjukkan bahwa komoditi yang merupakan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan pengelolaan air (penampungan, penjernihan, penyaluran, dan aktivitas

Aku kembali bersemangat untuk meraih semua cita-cita yang aku inginkan.. Namun, manusia hanya merencanakan dan Tuhanlah yang akan