• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketertiban dan kenyamanan kota (tidiness and convenience) merupakan fungsi turunan terpenting dari penataan ruang kota. Tujuan utama penataan ruang kota adalah terciptanya keserasian antar fungsi kegiatan di dalam ruang kota. Penataan ruang kota ini mutlak diperlukan karena dinamika ruang kota cenderung bergerak ke arah terjadinya kompetisi ruang yang sangat potensial bagi timbulnya konflik ruang. Potensi konflik ini sudah barang tentu harus diantisipasi melalui penataan ruang yang baik.

Fenomena pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) telah menjadi isu internasional karena menimbulkan potensi konflik ruang yang akan berdampak negatif bagi ketertiban dan kenyamanan kota. Konflik ruang yang ditimbulkan oleh PKL biasanya terjadi ketika PKL sudah menempati ruang publik kota pada tingkatan tertentu sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi ruang publik tersebut. Contoh yang umum terjadi adalah terganggunya fungsi trotoar sebagai tempat pejalan kaki dan fungsi jalan sebagai tempat penglaju kendaraan bermotor. Dalam kaitan inilah maka upaya penataan PKL menjadi sangat penting dilakukan sebagai bagian dari penataan ruang kota untuk menjamin terwujudnya ketertiban dan kenyamanan kota. Kini hal itu tertuang dalam Undang-undang penataan ruang yang baru yaitu UU No.26/2007. Salah satu pasal dari UU tersebut yaitu pasal 28c menyebutkan bahwa dalam rencana tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana untuk kegiatan sektor informal. Secara tersirat dari pasal tersebut diamanatkan bagi pemerintah kota untuk menyediakan ruang bagi kegiatan sektor informal, diantaranya PKL.

Ditinjau dari aspek historisnya, penataan PKL di negara-negara maju, yang kemudian diikuti oleh negara-negara berkembang, telah mengalami dinamika seiring dengan pergeseran paradigma yang mendasari proses perumusan kebijakannya (Cross, 1998:33 dalam Bapeda, 2008).

(2)

Dunia ”modern”, dicirikan oleh sentralisasi ekonomi dan peraturan yang dilatarbelakangi oleh suatu pemikiran untuk menciptakan individu-individu yang semakin efisien dan produktif (economic centered development). Kondisi ini bukan hanya memerlukan perubahan besar dalam struktur dan peranan pemerintah, organisasi bisnis, struktur industri dan sistem pasar, tapi juga dalam budaya dan kehidupan sosial setiap individu, keluarga dan masyarakat. Secara umum, seluruh aspek kehidupan harus dibentuk agar sesuai dengan syarat-syarat ini. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa PKL hampir tidak memiliki tempat di dalam dunia ”modern”. Dalam idealisme dunia modern, segala sesuatunya serba teratur, efisien dan terstruktur (Cross, 1998:33 dalam Bapeda, 2008).

Sebagai konsekuensi logis dalam tatanan dunia modern di atas, kegiatan PKL mengalami tekanan yang luar biasa di hampir seluruh kota-kota dunia. Terlepas dari kritikan bahwa kegiatan PKL tidak efisien, masalah yang sesungguhnya adalah PKL merupakan pesaing utama bagi pedagang pengecer yang masuk kriteria sektor formal. Toko-toko pengecer di sektor formal yang merasa lebih berhak melakukan kegiatan usaha karena telah memenuhi syarat-syarat legal formal, terutama yang berlokasi di tempat yang kurang strategis, memandang PKL sebagai suatu ancaman serius. Oleh karena itu solusi yang dipandang tepat dalam paradigma modern ini adalah melarang, atau menerapkan

over-regulation terhadap kegiatan PKL sambil pada saat yang sama mendesain

ulang ruang kota sehingga benar-benar tidak ada ruang lagi bagi kegiatan PKL. Proyek-proyek Sub-urban, Subdivision, Urban Decay dan Urban Renewal merupakan contoh-contoh yang telah terjadi di negara-negara maju. Di beberapa negara berkembang juga telah terjadi proses yang sama, namun dengan tingkat keberhasilan yang berbeda sehubungan dengan kurangnya penetrasi kaum modernis dalam masyarakat dan semakin menguatnya ekonomi informal untuk berkembang dan bertahan terhadap tekanan kaum modernis tersebut.

Kembali timbulnya kegiatan PKL dalam kekuatan yang lebih besar menandai runtuhnya impian kaum modernis. Kaum modernis tidak bisa mengelak dari kenyataan post-modern yang tengah berlangsung. Post-modernisme sebagai suatu gerakan, jika kita menganggapnya seperti itu, pada hakikatnya merupakan upaya masing-masing individu untuk mengembalikan hak kontrol atas dirinya

(3)

sendiri – suatu hak yang nyaris hilang dalam tatanan masyarakat industri akhir-akhir ini. Hal ini tercermin dalam kemunculan kembali usaha-usaha kecil sejak 1980-an, seiring dengan kebangkitan kelompok menengah dalam menentang upah buruh yang rendah (Cross, 1998:33 dalam Bapeda, 2008).

Post-modernisme dicirikan dengan karakteristik adanya pengakuan dan penghargaan atas hak setiap individu dalam mengontrol dirinya sendiri. Karakteristik tersebut pada hakikatnya merupakan esensi dari proses pembangunan yang bertumpu pada komunitas (community-based development) yang secara umum kemudian lebih dikenal sebagai pembangunan partisipatif

(participatory development) yang mengubah paradigma pembangunan dari economic centered development menjadi people centered development.

Kondisi PKL di Kota Tasikmalaya saat ini, belum sepadat kota-kota besar di Indonesia. Namun, kecenderungan jumlah PKL setiap tahunnya selalu meningkat. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkurangnya fungsi trotoar jalan bagi pedestrian akibat ruang ini digunakan oleh PKL untuk melakukan kegiatannya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1

Kondisi PKL di Kota Tasikmalaya

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan PKL di Kota Tasikmalaya berakibat mengganggu kenyamanan pejalan kaki karena ruang geraknya digunakan oleh PKL dan kemacetan yang diakibatkan ruang pinggir jalan digunakan untuk menyimpan gerobak/tempat dagangan para PKL sehingga lebar jalan bagi kendaraan bermotor semakin sempit. Akibat lain dari kegiatan PKL ialah menimbulkan kenampakan fisik kota yang buruk.

(4)

Namun demikian, kondisi PKL di Kota Tasikmalaya belum seruwet yang terjadi di kota besar seperti Kota Bandung. Walaupun demikian, penataan PKL harus segera dilakukan karena ada kecenderungan seperti di Jalan KH. Zaenal Mustofa akan dibangun lagi sebuah mall maka diperkirakan penyebaran PKL sepanjang jalan akan semakin melebar. Hal ini harus segera diantisipasi jangan sampai menunggu sampai kegiatan itu menjadi makin liar.

Kota Tasikmalaya adalah kota pusat pertumbuhan di kawasan priangan timur, kondisi ini akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan kota yang lebih cepat di bandingkan dengan kota – kota disekitarnya. Selain itu dengan ”visi” Kota Tasikmalaya yang ingin mewujudkan ”Kota Tasikmalaya sebagai

pusat bisnis di Priangan Timur pada tahun 2012 dan di Jawa Barat pada Tahun 2025”, akan menyebabkan semakin banyaknya peluang bisnis yang dapat

memacu peningkatan pertumbuhan jumlah Pedagang Kaki Lima. Oleh karena itu sangat dibutuhkan suatu kegiatan penelitian tentang solusi yang tepat untuk menata keberadaan pedagang kaki lima tersebut agar selaras dengan perkembangan penataan kota.

Pada saat ini, bukan tidak ada upaya atau tindakan – tindakan untuk menekan pertumbuhan pedagang kaki lima, tetapi upaya/tindakan tersebut lebih kedalam penertiban bukan dalam proses penataan, sehingga dampak yang dihasilkan adalah dampak sesaat. Namun demikian, proses penataan pun tidak akan berhasil bila dilakukan secara top down atau pun bottom up. Oleh karena itu kajian mengenai penataan PKL di Kota Tasikmalaya ini tidak hanya akan dilakukan dengan metode pendekatan yang bersifat top down ataupun buttom-up, tapi juga harus dilakukan dengan metode pendekatan partisipatif yang memadukan pendekatan emic dan pendekatan etik.

Dengan demikian, perlu dilakukan kajian penataan PKL di Kota Tasikmalaya dalam menciptakan tata ruang yang memiliki keserasian, kenyamanan dan ketertiban baik bagi pedagang kaki lima pada khususnya maupun masyarakat kota pada umumnya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan Undang – Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kegiatan – kegiatan yang termasuk kedalam sektor informal juga harus ditata

(5)

sedemikian rupa sehingga keberadaanya tidak mengganggu komposisi penataan ruang. Sebelum lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, sektor informal selalu tidak termasuk kedalam kegiatan yang dikembangkan sehingga keberadaannya selalu menimbulkan permasalahan. Pedagang kaki lima merupakan salah satu kegiatan sektor informal yang tidak diakomodir dalam dokumen – dokumen penataan ruang di Kota Tasikmalaya, khususnya dokumen perencanaan tata ruang sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2007.

Permasalahan PKL di Kota Tasikmalaya, jika dirunut sebenarnya merupakan rantai sebab akibat dari permasalahan sosial ekonomi dan penataan ruang di Kota Tasikmalaya. Permasalahan sosial ekonomi tersebut diantaranya ialah masalah tingginya angka kelahiran penduduk, rendahnya pendapatan per kapita penduduk (tahun 2004 Rp. 555.750,00 perkapita/bulan), dan tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga berakibat pada nilai IPM yang masih rendah yaitu 69,07 pada tahun 2004. Dengan kondisi seperti itu, pemerintah Kota Tasikmalaya berusaha untuk meningkatkan nilai IPM melalui beberapa program yang dicanangkan (Proposal Evaluasi Diri Kota Tasikmalaya, 2007).

Rendahnya pendapatan per kapita penduduk berhubungan erat dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk Kota Tasikmalaya yang masih rendah dan terbatasnya lapangan kerja sehingga tidak sedikit yang bekerja di sektor informal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya ialah kegiatan berdagang di trotoar jalan yang tidak sesuai dengan pola pemanfaatan ruang yang seharusnya atau biasa disebut PKL.

PKL di Kota Tasikmalaya bertempat di pinggir jalan maupun trotoar dan tempat parkir kendaraan bemotor, sehingga berdampak pada terganggunya ruang pejalan kaki dan kemacetan akibat penggunaan jalan untuk kegiatan PKL. Hal ini timbul disebabkan ketidaktahuan PKL mengenai aturan mengenai penataan ruang kota yang tertuang dalam dokumen RTRW dan aturan mengenai penggunaan jalan raya dan tempat parkir.

Untuk mengatasi masalah PKL ini, pemerintah Kota Tasikmalaya dalam hal ini dilakukan oleh Polisi Pamong Praja melakukan penertiban terhadap PKL ini. Namun, hasilnya tindakan itu hanya bersifat sesaat dan tak lama kemudian PKL itu muncul lagi dan bahkan jumlahnya kian bertambah.

(6)

Namun demikian, keberadaan PKL ini di satu sisi merupakan sektor yang memberi kontribusi cukup besar terhadap perekonomian suatu kota, bahkan hal ini terbukti pada saat terjadi krisis ekonomi di negara kita pada tahun 1997 dimana sektor ini mampu bertahan. Namun di sisi lain, kegiatan PKL ini dianggap sebagai kegiatan yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan kota, bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai ”parasit kota”. Jumlah PKL ini semakin lama semakin banyak akibat banyaknya sarana perdagangan yang dibangun seperti mall, ruko, dan sebagainya yang bereksternalitas pada tumbuhnya kegiatan ini. Hal ini jika dibiarkan berlarut-larut maka akan menimbulkan dampak negatif terhadap penataan ruang Kota Tasikmalaya. Untuk itu perlu adanya penataan PKL sesuai amanat UU Penataan Ruang No. 26 tahun 2007.

Jumlah PKL di Kota Tasikmalaya berdasarkan hasil survey Dinas Industri dan Perdagangan Kota Tasikmalaya tahun 2006 mencapai 556 PKL yang didata dari 4 lokasi pasar (lihat Tabel 1). Jumlah ini belum ditambah PKL yang berada di sekitar trotoar Jalan KH. Zaenal Mustofa dan lokasi lain non pasar atau yang berada di depan toko atau pusat perbelanjaan yang ada di BWK (Bagian Wilayah Kota) I.

Tabel 1 Jumlah PKL di Kota Tasikmalaya Tahun 2006

No. Lokasi Pedagang Kaki Lima Jumlah (orang)

1. Pasar Kidul 200

2. Pasar Wetan 151

3. Pasar Baru 54

4. Pasar Rel 151

Total 556

Sumber : Dinas Industri & Perdagangan Kota Tasikmalaya, 2006

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa masalah PKL merupakan suatu lingkaran sebab akibat dari aspek sosial ekonomi yang saling terkait. Untuk itu, dalam mengkaji masalah PKL ini menurut Deguchi (2005) yang pertama kali perlu diketahui adalah krakteristik dari PKL yang diidentifikasi berdasarkan kondisi saat ini, perlengkapan dan perilaku berdagang berdasarkan aspek fisik dan sosial. Sehingga dalam studi ini perlu diidentifikasi jumlah PKL yang ada di Kota Tasikmalaya, jenis usaha/dagangannya, dan lokasi/sebarannya.

(7)

Jumlah PKL ini menurut Deguchi (2005) kemudian bisa dikelompokkan berdasarkan tipologi kenampakkan sementara (temporary setting) berdasarkan 3 aspek yaitu: 1). human activity (kegiatannya); 2). spatial feature (kenampakan spasial); dan 3). functional cycle (lingkaran fungsi). Berdasarkan aspek human

activity, Deguchi membedakan PKL berdasarkan 5 kategori yaitu eating and drinking (penjual makanan/minuman di pinggir jalan), b) food sales (penjual

makanan), c) product sales (penjual produk), d) service sales (penjual jasa), e)

performances (dance and music) and amusement (pertunjukkan dan hiburan

seperti pengamen).

Yang kedua, hal yang melatarbelakangi munculnya PKL selain aspek sosial ekonomi ialah aspek kebijakan pemerintah yang salahsatunya dituangkan ke dalam RTRW Kota Tasikmalaya. Pentingnya tinjauan terhadap aspek kebijakan berupa RTRW Kota adalah untuk mengetahui sejauhmana PKL ini diperhatikan kepentingannya dalam rencana tata ruang, apakah sudah ada ruang untuk mereka atau tidak. Jika memang tidak, maka bisa dikatakan bahwa RTRW tersebut belum partisipatif karena belum memuat kebutuhan para PKL ini. Hal ini ditunjang dengan UU Penataan Ruang No. 26 tahun 2007 yang mengharuskan dalam RTRW Kota untuk menyediakan pengendalian dan pemanfaatan ruang untuk sektor informal, termasuk PKL. Hal ini juga dikemukakan oleh Deguchi (2005) dalam tulisannya bahwa dalam proses re-evaluasi PKL di kota-kota modern di Asia perlu meninjau sistem administrasi pemerintah dan implementasi-implementasinya yang mengatur penggunaan jalan raya dan tempat-tempat yang kondisinya penuh dengan kegiatan dari PKL sebagai sektor informal.

Jika kepentingan untuk PKL belum termuat dalam RTRW, maka perlu dibuat RTRW yang partisipatif yang salahsatunya memuat penataan untuk PKL yang merangkum kepentingan PKL, masyarakat, pemerintah maupun swasta. Maka dari itu, diperlukan suatu kajian penataan PKL yang partisipatif sebagai salah satu upaya menciptakan kenyamanan, keserasian dan ketertiban ruang kota.

Berdasarkan latarbelakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji diantaranya :

1. Bagaimana karakteristik PKL di Kota Tasikmalaya yang ditinjau dari aspek sosial-ekonomi?

(8)

2. Bagaimana karakteristik konsumennya ?

3. Bagaimana kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya terhadap penataan PKL terkait penataan ruangnya?

4. Bagaimana aspirasi masyarakat, pemerintah dan swasta dalam penataan PKL di Kota Tasikmalaya?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan utama dari penelitian ini ialah merumuskan alternatif model penataan PKL di Kota Tasikmalaya yang memiliki keserasian ruang kota serta memberikan kenyamanan dan ketertiban baik bagi pedagang kaki lima pada khususnya maupun masyarakat kota pada umumnya, sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini diantaranya:

1. Mengkaji aspek sosial ekonomi PKL. 2. Mengkaji karakteristik konsumen.

3. Mengkaji kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tasikmalaya terkait pengendalian dan pemanfaatan ruang untuk PKL.

4. Mengkaji aspirasi PKL, masyarakat, dan pemerintah sebagai masukan dalam penataan PKL.

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi bagi pemerintah daerah sekaligus sebagai bahan pertimbangan dalam proses penataan ruang Kota Tasikmalaya yang mengakomodir kepentingan berbagai

stakeholder, yaitu PKL, masyarakat umum, swasta maupun pemerintah Kota

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasannya mengenai pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap kinerja

Setelah melewati langkah langkah sebelumnya, yaitu pada proses visi serta proses pengembangan data data yang inti, maka bagian pertama yang dilakukan adalah membuat desain

Jika tidak semua tamu merokok maka lantai rumah tidak bersih D.. Jika lantai rumah bersih maka semua tamu tidak

Glokalisasi yang dilakukan JHF ini sesuai dengan pernyataan Thomas Friedman, bahwa budaya lokal mampu menyerap budaya global, untuk memperkaya merekas dan menolak

Penulisan ilmiah ini juga menjelaskan tentang rancangan pembuatan desain web dari pembuatan gambar sampai dengan mengubah gambar tersebut menjadi suatu halaman web. Dari

kelainan mental dalam arti lebih ( supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal ). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Kerja Sekolah Terhadap Kinerja Mengajar Guru SMPN di Kota Bandung .... KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada materi Persiapan Kemerdekaan Dan Perumusan Dasar Negara kelas V di MI Darul Ulum Rejosari terdiri dari dua