1
Laporan Penelitian
Beban Konsumsi Rokok,
Kebijakan Cukai dan
Pengentasan Kemiskinan
Oleh
Abdillah Ahsan SE.MSE.
Nur Hadi Wiyono Ir. MSi.
Flora Aninditya SE. MSE.
Untuk
Komisi Nasional Perlindungan Tembakau
Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
2012
2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... vi BAB 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 4 1.3 Metode Penelitian ... 4 1.5 Alur Pikir ... 5
BAB 2. BEBAN KONSUMSI ROKOK DI INDONESIA ... 6
2.1 Prevalensi Merokok ... 6
2.2 Jumlah Perokok... 7
2.3 Prevalensi Perokok Remaja (15-19 Tahun)...7
2.4 Prevalensi Merokok Menurut Kelompok Pendapatan ... 8
2.5 Umur Mulai Merokok………... 9
2.6 Perokok Pasif………..………... 10
2.7 Prevalensi Konsumsi Produk Tembakau (Rokok dan Kunyah) Beberapa Negara... 12
2.8 Prevalensi Merokok Menurut Jenis Kelamin………... 13
2.9 Prevalensi Perokok di Beberapa Negara (GATS)……... 15
2.10 Persentase Perokok Pasif di Beberapa Negara (GATS)…... 16
2.10 Persentase Perokok Pasif di Beberapa Negara (GATS)…... 16
2.11 Keinginan untuk Berhenti Merokok di Beberapa Negara (GATS)... 16
3
2.13 Kesempatan yang Hilang Akibat Konsumsi Rokok di Rumah Tangga Termiskin
...19
2.14 Beban Penyakit Terkait Konsumsi Rokok ...20
2.15 Beban Makroekonomi Terkait Konsumsi Rokok…...20
BAB 3. FAKTA KONDISI INDUSTRI ROKOK DI INDONESIA...21
3.1 Produksi ... 21
3.2 Unit Analisis ... 16
3.3 Perdagangan (Ekspor-Impor) ... 26
BAB 4. FAKTA PERTANIAN TEMBAKAU DI INDONESIA ... 28
4.1 Produksi ... 28
4.2 Petani Tembakau ... 31
4.3 PerdaganganTembakau ... 32
BAB 5. FAKTA DAN KEBIJAKAN CUKAI ROKOK ... 35
5.1 Dampak Peningkatan Rokok ... 35
5.1.1 Dampak Peningkatan Rokok terhadap Konsumsi Rokok dan Penerimaan Negara 35 5.1.2 Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap Jumlah Perokok, Kematian yang Terkait dengan Konsumsi Rokok dan Penerimaan Cukai Tembakau ... 36
5.1.3 Dampak Peningkatan Harga Rokok pada Kelompok Termiskin ... 38
5.2 Kebijakan Cukai Rokok di Indonesia ... 39
5.2.1 Filosofi UU No. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai... 39
5.2.2 Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap Jumlah Perokok, Kematian yang Terkait dengan Konsumsi Rokok dan Penerimaan Cukai Tembakau ... 36
4
5.2.3 Perubahan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau ... 40
5.2.4 Peran DPR dalam Peningkatan Tarif Cukai Hasil Tembakau (HT) ... 41
5.2.5 Peningkatan Tarif Cukai Hasil Tembakau 2011-2012…………43
5.2.6 Implikasi dari Sistem Cukai Hasil Tembakau……….…………45
5.3 Perbandingan Tingkat Cukai dan Harga Rokok di ASEAN ... 45
5.3.1 Perbandingan Tingkat Cukai Rokok di ASEAN ... 45
5.3.2 Perbandingan Harga Rokok di ASEAN ... 47
5.4 Perbandingan Tingkat Cukai dan Harga Rokok di ASEAN ... 47
5.4.1 Perbandingan Tingkat Cukai Rokok di ASEAN ... 47
5.4.2 Perbandingan Penerimaan Pemerintah dari Cukai HTdan Penerimaan Lainnya 48 5.5 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Tembakau ... 51
5.5.1 Pengeluaran Rumah Tangga untuk Rokok ... 51
5.5.2 Trend Pengeluaran Rumah Tangga Termiskin untuk Rokok ... 51
5.5.3 Perbandingan Pengeluaran Rumah Tangga untuk Rokok antara yang Termiskin dan Terkaya ... 52
5.5.4 Kesempatan yang Hilang Akibat Kebiasaan Merokok RT Termiskin………..58
5.2.5 Peningkatan Tarif Cukai Hasil Tembakau 2011-2012…………43
5.6 Isu-isu yang Terkait dengan Cukai Tembakau ... 60
5.6.1 Usaha Kecil dan Menengah Rokok ... 60
5.6.2 Pajak Pertambahan Nilai ... 60
5.6.3 Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau ... 60
5.6.4 Pajak Rokok Daerah ………..63
5.2.5 Peningkatan Tarif Cukai Hasil Tembakau 2011-2012…………43
BAB 6. ANALISIS DAMPAK PENINGKATAN CUKAI ROKOK PADA KONSUMSI, PENERIMAAN NEGARA, KESEHATAN, DAN INDUSTRI KECIL ROKOK ... 64
5
6.1 Dampak pada Konsumsi, Penerimaan Negara dan Kesehatan ... 64
6.2 Dampak pada Keterjangkauan Harga Rokok (Affordability) ... 66
6.3 Dampak pada Industri Rokok Kecil ... 69
BAB 7. KENAIKAN CUKAI UNTUK PENGENTASAN KEMISKINAN AKIBAT PENGURANGAN SUBSIDI BBM ... 72
7.1 Sejarah dan Filosofi Subsidi BBM ... 72
7.2 Profil Industri Perminyakan ... 74
7.3Peningkatan Cukai Rokok sebagai Pembiayaan Pengentasan Kemiskinan ... 80
BAB 8. KESIMPULAN ... 83
6
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Perokok Aktif Penduduk Usia > 15 Tahun, Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur………..… 7
Tabel 2 Persentase Perokok Umur > 15 tahun Berdasarkan Kelompok Pendapatan Indonesia, Tahun 1995, 2001, 2004, 2007 dan 2010… 9
Tabel 3 Persentase Perokok Umur > 15 Tahun Berdasarkan Umur Mulai Merokok di Indonesia Tahun 1995, 2001, 2004, 2007 dan 2010 …. 10
Tabel 4 Prevalensi (%) Populasi yang Terkena Asap Rokok Orang Lain (Perokok Pasif) di Dalam Rumah Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Indonesia tahun 2001, 2004, 2007 dan 2010...….. 11
Tabel 5 Jumlah Populasi yang Terkena Asap Rokok Orang Lain (Perokok Pasif) di Dalam Rumah Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Indonesia Tahun 2007 dan 2010 ……….. 11
Tabel 6 Kesempatan yang Hilang Akibat Konsumsi Rokok di Rumah Tangga Termiskin……….……… 19
Tabel 7 Produksi Rokok Berdasarkan Jenis Rokoknya, 2005-2010 (Miliar Batang / Tahun)……….. 21
Tabel 8 Dampak Peningkatan 10% Cukai Tembakau Terhadap Konsumsi Rokok Dan Penerimaan Negara dari Cukai Tembakau……….35
Tabel 9 Dampak Kenaikan Tarif Cukai Tembakau terhadap Kematian Akibat Rokok dan Penerimaan Negara………37
Tabel 10 Dampak Peningkatan Harga Rokok terhadap Konsumsi Rokok menurut Kelompok Pendapatan ………..………. 38
Tabel 11 Perubahan Sistem Cukai Hasil Tembakau 2005-2012……….. 40 Tabel 12 Perubahan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2007-2012………… 41
Tabel 13 Persentase Peningkatan Tarif dan Target Penerimaan Cukai Hasil Tembakau, 2012……….. 43
Tabel 14 Sistem dan Tingkat Cukai Industri Hasil Tembakau, 2011-2012…..44 Tabel 15 Pangsa Pasar IHT menurut Jenis dan Golongan Produksi……….. 45 Tabel 16 Beban Tarif Cukai Rokok di Negara ASEAN, 2012……….. 46
Tabel 17 Perbandingan Penerimaan Pemerintah dari Cukai Tembakau dan Penerimaan Lainnya ……….. 49
7
Tabel 18 Distribusi Persentase Rumah Tangga (RT) Perokok dan Non-Perokok, Indonesia, 2003-2010……….. 51
Tabel 19 Pengeluaran Rumah Tangga Perokok Termiskin (q1), Indonesia, 2003-2010………..….. 53
Tabel 20 Pengeluaran Rumah Tangga Perokok Menurut Kuantil, Indonesia, 2010……….. 55
Tabel 21 Perbandingan Pengeluaran Bulanan Rumah Tangga Perokok Termiskin, 2010……….. 58
Tabel 22 Perbandingan Pengeluaran Bulanan Rumah Tangga Perokok Termiskin, 2010……….. 59
Tabel 23 Simulai Dampak Kenaikan 10% Cukai Tembakau pada Konsumsi dan Penerimaan Negara dari Cukai Tembakau……….. 65
Tabel 24 Hasil Simulasi Dampak Kenaikan Cukai……….. 68 Tabel 25 Daftar Harga BBM (Rp) Bersubsidi Berbagai Tahun ………….. 74
Tabel 26 Simulasi Dampak Pemotongan Subsidi BBM Terhadap Kemiskinan di Indonesia ………..…….. 81
8
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kecenderungan Prevalensi Merokok Laki-laki dan Perempuan 1995-2011,Indonesia... 6
Gambar 2 Kecenderungan Prevalensi Merokok Laki-laki dan Perempuan Usia (15-19 Tahun) 1995-2011, Indonesia ...… 8
Gambar 3 Prevalensi Konsumsi Produk Tembakau (Rokok dan Kunyah) Beberapa Negara……….. 12
Gambar 4 Prevalensi Merokok Laki-laki di Berbagai Negara……….. 13 Gambar 5 Prevalensi Merokok Perempuan di Berbagai Negara……..….. 14 Gambar 6 Prevalensi Merokok di Berbagai Negara……….. 15 Gambar 7 Presentase Perokok Pasif di Berbagai Negara…….………….. 16
Gambar 8 Persentase Perokok yang Ingin Berhenti Merokok di Berbagai Negara……….... 17
Gambar 9 Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Termiskin untuk Rokok dan Pengeluaran Lainnya, 2003-2010………18
Gambar 10 Kecenderungan Produksi Rokok Indonesia (miliar batang)…..22 Gambar 11 Kecenderungan Produksi Rokok, 1985-2010, Indonesia…….. 22 Gambar 12 Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan GDP, 1985-2010, Indonesia..23 Gambar 13 Pangsa Pasar Menurut Industri Rokok, 2008 dan 2009……... 24
Gambar 14 Kecenderungan Jumlah Pekerja di Industri Pengolahan Tembakau, 1985-2009………... 24
Gambar 15 Tren Pekerja Perusahaan Produk Tembakau Menurut Jenis Kelamin, 1993 - 2009……….... 25
Gambar 16 Tren Rata-Rata Upah Nominal Buruh Di Bawah Mandor Pada Industri Tembakau/Rokok, Industri Makanan dan Seluruh Industri Menurut Kuartal, 2000-2011 (dalam Ribuan)………... 26
9
Gambar 18 Kecenderungan Produksi Tembakau Indonesia (dalam ton), 1990-2012……….……... 29
Gambar 19 Persentase Produksi Tembakau menurut Provinsi, 2010……...30
Gambar 20 Kecenderungan Luas Lahan Tembakau Indonesia (dalam hektar), 1990-2009………... 31
Gambar 21 Kecenderungan Jumlah Petani Tembakau Indonesia, 1996-2011.32
Gambar 22 Nilai Ekspor, Impor dan Net Ekspor Daun Tembakau Indonesia (dalam US$ 000), 1990-2010……….……33
Gambar 23 Persentase Nilai Impor Tembakau Virginia menurut Negara Asal, 2010………...34
Gambar 24 Produksi dan Penerimaan Cukai Hasil Tembakau, Indonesia 2006-2012………..48
Gambar 25 Alokasi DBH-CHT di Empat Provinsi, 2008-2010 (dlm milyar rupiah)………...61
Gambar 26 Kecenderungan Relative Income Price, 2000-2010………...67 Gambar 27 Aliran Material Minyak Mentah dan BBM di Indonesia……...75 Gambar 28 Cadangan Minyak Bumi Indonesia 2004-2011 (milyar barel)…..76
Gambar 29 Trend Profil Perminyakan Indonesia 2000-2010 (ribu barel per hari) ……….77
Gambar 30 Harga Rata-Rata Minyak Bumi Indonesia 2004-2011 (US$/barel) ………..78
Gambar 31 Harga Rata-rata Minyak Bumi Indonesia 1980-2012 (US$/barel)...78
Gambar 32 Trend Penerimaan minyak/gas dalam APBN dan subsidi BBM (triliun rupiah)………....………...79
Gambar 33 Trend Penerimaan Minyak/Gas dalam APBN dan Subsidi BBM (Triliun Rupiah) dan
Persentase Subsidi terhadap Penerimaan Minyak/Gas……….………...80
10
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsumsi rokok di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Penyebabnya adalah kebijakan pemerintah dalam mengendalikan rokok belum maksimal. Lobi industri rokok dan tekanan petani tembakau membuat kebijakan pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok seolah-olah berjalan di tempat. Beberapa kebijakan seperti peringatan kesehatan bergambar, larangan iklan di media masa, penerapan kawasan tanpa rokok dan kenaikan cukai mendapat tantangan keras dari berbagai pihak. Padahal tanpa kebijakan yang serius konsumsi rokok akan terus meningkat yang pada gilirannya akan membebani masyarakat dan negara karena penyakit yang diakibatkan oleh rokok.
Maka tidak heran jika prevalensi merokok penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas terus meningkat dari 27% tahun 1995 menjadi 36% tahun 2011. Jumlah perokok tahun 2012 diperkirakan terdapat 60,2 juta orang di Indonesia. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah perokok terbanyak setelah Cina dan India. Sementara, perokok remaja berusia 15-19 tahun diperkirakan berjumlah 3,8 juta orang di tahun 2010.
Untuk menekan konsumsi, pemerintah mengenakan cukai atas produk tembakau yang diharapkan dengan adanya cukai harga rokok naik, sehingga perokok dapat mengurangi konsumsinya atau berhenti merokok. Cukai merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang dipungut dari produk tembakau. Penerimaan negara dari cukai cenderung naik dari tahun. Namun, kenaikan cukai tidak cukup tinggi sehingga tidak berdampak besar pada harga rokok. Padahal, jika rokok dikenai cukai yang tinggi, maka ada dua keuntungan yang bisa diraih yaitu: konsumsi rokok akan berkurang dan penerimaan pemerintah dari cukai akan meningkat. Penerimaan cukai rokok ini dapat dipakai, salah satunya, untuk mengurangi beban subsidi akibat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat.
Beban subsidi BBM sangat membebani anggaran pemerintah karena subsidi BBM memakan seperlima anggaran pemerintah yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur atau pengentasan kemiskinan. Karena itu muncul wacana untuk mengurangi subsidi yang berakibat pada meningkatnya harga BBM. Wacana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan harga BBM atau mengurangi subsidi BBM juga didukung oleh beberapa kondisi internal dalam negeri. Dari segi availabilitas, cadangan minyak
11
Indonesia semakin menipis. Sementara itu seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat, meningkat pula konsumsi minyak dalam negeri -khususnya BBM. Konsumsi harian BBM tercatat mencapai 1,5 juta barel per hari, sementara kapasitas teknologi dan produksi yang ada saat ini hanya mampu menyedot minyak tidak sampai 1 juta barel per hari. Karena itu pemerintah meresponi kelangkaan cadangan minyak nasional dan peningkatan harga minyak dunia dengan cara mengendalikan konsumsi BBM dan mengusahakan pengalihan konsumsi BBM ke konsumsi energi alternatif.
Adapun pengendalian konsumsi BBM dilakukan dengan cara mengurangi subsidi BBM, yang berimplikasi pada peningkatan harga BBM. Jika pemerintah tetap mempertahankan harga BBM pada level yang sama seperti sebelumnya, maka anggaran negara harus menanggung beban yang berat karena semakin besar subsidi yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan level harga BBM. Ditambah lagi, selama ini, pengeluaran aktual untuk subsidi cenderung melebihi jumlah yang dianggarkan setiap tahunnya.1 Permasalahan berkaitan dengan anggaran negara tidak hanya sampai sebatas beban subsidi yang harus dibiayai namun juga meliputi beberapa aspek lain. Patunru2 mencatat setidaknya terdapat tiga masalah berkaitan dengan anggaran, yaitu misallocation,
mistargetting, dan misincentive. Anggaran kita mengalami masalah misallocation karena
sejumlah uang yang dikeluarkan untuk subsidi BBM sebenarnya dapat dialihkan untuk pembiayaan infrastruktur yang lebih baik dan pos pembiayaan lain yang bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kebijakan subsidi BBM juga mengandung permasalahan mistargetting karena sebagian besar subsidi justru dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi. Ketiga, sistem subsidi yang berlaku saat ini justru mengurangi insentif bagi pengembangan sumber daya yang dapat diperbarui karena produk alternatif tersebut tidak akan dapat melawan harga BBM yang disubsidi. Karena itu, kebijakan pengurangan subsidi merupakan kebijakan yang tepat karena dapat mengurangi beban anggaran negara. Selain itu, dengan mengurangi subsidi BBM, masyarakat akan memperoleh manfaat melalui pengalihan subsidi BBM. Subsidi BBM yang pada mulanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi, dapat diberikan pada kelompok masyarakat miskin yang lebih berhak menerima bantuan subsidi.
Sebagai kelompok masyarakat rentan, masyarakat yang tergolong kelompok miskin merupakan kelompok masyarakat yang paling pertama mengalami dampak langsung
1 World Bank
2http://diskusiekonomi.blogspot.com/2012/03/pidato-di-mimpi-saya-aap.html, diakses pada 29 April 2012 pukul 22:58.
12
kebijakan ini. Pada tahun 2011 tercatat sebesar 12% rumah tangga berada di bawah garis kemiskinan dan sebesar 40% rumah tangga berada di 1,5 kali garis kemiskinan. Sementara itu, sebanyak 55% rumah tangga miskin pada tahun 2010 tercatat sebagai rumah tangga yang tidak miskin di tahun 2009. Artinya, rumah tangga di Indonesia rentan untuk masuk dan keluar dari kategori kelompok miskin.3 Karena itu, kenaikan harga BBM yang diikuti oleh penurunan daya beli masyarakat miskin berpotensi menimbulkan semakin banyak masyarakat yang masuk dalam kategori miskin.
Untuk mengantisipasi dan mendukung pengentasan kemiskinan ini sendiri, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan. Berbagai bentuk jaminan sosial diberlakukan. Baik dukungan temporer melalui cash transfer maupun non-cash transfer. Program jaminan sosial yang berlaku di antaranya Raskin, Jamkesmas, PKH, BSM, dan BLT. Namun sayangnya, pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan program jaminan sosial ini masih rendah dan jauh di bawah standar regional4.
Karena itu,dua opsi berikut dapat dilakukan dalam rangka mengantisipasi peningkatan kemiskinan. Opsi pertama, yaitu melakukan redirecting spending. Artinya, uang yang sebelumnya digunakan untuk membiayai subdisi BBM dialihkan untuk pembiayaan perbaikan infrastruktur dan program-program peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Sementara opsi kedua, meningkatkan pos pemasukan negara untuk meningkatkan sumber pembiayaan program pengentasan kemiskinan. Peningkatan pos pemasukan negara pada umumnya berfokus pada berbagai usaha peningkatan penerimaan pajak. Berbagai kebijakan insentif pajak dilakukan untuk mendukung peningkatan pemasukan negara. Padahal terdapat alternatif lain yang bisa dilakukan yaitu melalui peningkatan cukai hasil tembakau (rokok).
Sebagaimana disebutkan di atas, cukai rokok merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang cukup signifikan. Pada tahun 2011 penerimaan negara melalui cukai mencapai nilai Rp 73 triliun . Meskipun jumlah tersebut merupakan jumlah yang cukup besar, cukai rokok masih berpotensi untuk ditingkatkan dan menghasilkan penerimaan negara yang lebih besar lagi. Di satu sisi, sesuai sifatnya, cukai merupakan instrument ekonomi yang digunakan untuk mengendalikan konsumsi rokok. Pengenaan cukai rokok dimaksudkan agar keterjangkauan harga rokok berkurang sehingga pembatasan konsumsi rokok dapat diusahakan. Di sisi lain, pengenaan tariff cukai yang tinggi mendatangkan manfaat bagi penerimaan negara. Lebih dari sekadar manfaat peningkatan penerimaan negara, tambahan
3 World Bank
13
penerimaan negara dari cukai dapat juga dimaksimalkan untuk pembiayaan program-program yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat, termasuk pembiayaan berbagai program jaminan sosial.
Karena itu, berdasarkan potensi pemanfaatan peningkatan cukai rokok yang terpapar di atas, maka perlu dilakukan kajian mendalam mengenai peningkatan cukai hasil tembakau untuk pembiayaan program-program pengentasan kemiskinan.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari studi ini adalah:
• Mengetahui beban rokok rumah tangga akibat konsumsi rokok/tembakau
• Mengetahui fakta sebenarnya industri rokok dan pertanian tembakau di Indonesia • Menganalisis kebijakan cukai dan harga rokok di Indonesia
• Menganalisis dampak kenaikan cukai pada konsumsi rokok, pendapatan negara dan kondisi industri kecil rokok.
• Menganalisis dampak peningkatan harga BBM subsidi terhadap peningkatan kemiskinan
• Menganalisis potensi pemanfaatan cukai rokok sebagai alternatif pembiayaan program pengentasan kemiskinan
1.3 Metode Penelitian
Untuk studi ini digunakan pendekatan studi literatur dan data sekunder
• Studi literature/desk review: hasil-hasil kajian atau penelitian mengenai dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan, dampak kenaikan cukai rokok pada penduduk miskin, konsumsi rokok dan kemiskinan baik di Indonesia ataupun di negara lain.
• Pengumpulan data sekunder: data BPS (Susenas), TNP2K (kemiskinan), World Bank, Bea Cukai, data Input Output tentang BBM dan rokok
14
1.5 Alur Pikir (Framework Thinking)
Jadwal Studi
Harga BBM
Subsidi naik Harga-harga naik Daya beli turun Kesejahteraan turun (kemiskinan Meningkat) Cukai rokok naik Pendapatan pemerintah naik Kompensasi Pengentasan Kemiskinan Kontribusi BLSM Konsumsi rokok turun Kesehatan Masyarakat Meningkat
15
BAB 2
BEBAN KONSUMSI ROKOK DI INDONESIA
2.1. Prevalensi Merokok
Besarnya prevalensi merokok di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu. Jika pada tahun 1995 hanya 27% penduduk dewasa berusia 15 tahun ke atas yang merokok, maka pada tahun 2011 meningkat menjadi 36%. Untuk laki-laki, pada tahun 1995, 53% laki-laki dewasa merokok, sedangkan pada tahun 2011 meningkat menjadi 67% (2 dari 3 laki-laki dewasa merokok). Sementara untuk perempuan, pada tahun 1995 hanya 1,7% yang merokok dan meningkat menjadi 4,5% pada 2011. Prevalensi merokok perempuan meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 16 tahun terakhir.
Gambar 1.
Kecenderungan Prevalensi Merokok Laki-laki dan Perempuan 1995-2011, Indonesia
Sumber :
• Susenas 1995, 2001, dan 2004
• Riskesdas 2007 dan 2010
16
2.2. Jumlah Perokok
Diperkirakan pada tahun 2010 terdapat 58,6 juta perokok di Indonesia yang terdiri dari 55 juta perokok laki-laki dan 3,5 juta perokok perempuan. Dengan asumsi pertumbuhan sama dengan pertumbuhan penduduk yang 1,4% maka di tahun 2012 diperkirakan terdapat 60,2 juta perokok di Indonesia. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah perokok terbanyak setelah Cina dan India. Sementara menurut kelompok umur, perokok remaja berusia 15-19 tahun diperkirakan berjumlah 3,8 juta orang di tahun 2010. Hal ini sangat memprihatinkan karena ada jutaan generasi muda yang terperangkap dalam adiksi rokok.
Tabel 1
Jumlah Perokok Aktif Penduduk Usia ≥ 15 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, 2010
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Total
15-19 3.792.060 83.536 3.875.597 20-24 5.634.209 138.15 5.772.359 25-29 7.104.718 228.429 7.333.147 30-34 7.055.252 222.254 7.277.505 35-39 6.611.448 283.564 6.895.011 40-44 6.118.899 362.849 6.481.748 45-49 5.371.330 365.944 5.737.273 50-54 4.409.544 358.549 4.768.093 55-59 3.303.287 260.988 3.564.275 60-64 2.182.721 353.196 2.535.917 65-69 1.531.863 298.69 1.830.553 70-74 964.836 245.429 1.210.265 75+ 974.387 332.476 1.306.864 Total 55.054.554 3.534.054 58.588.607 Sumber: Riskesdas 2010
2.3. Prevalensi Merokok Remaja (15-19 tahun)
Persentase remaja usia 15-19 tahun yang merokok semakin tinggi dari waktu ke waktu. Pada tahun 1995 hanya ada 7% remaja yang merokok, sementara di tahun 2010
17
meningkat menjadi 20% (1 dari 5 remaja merokok). Prevalensi merokok remaja ini meningkat hampir tiga kali lipat dalam 15 tahun terakhir. Untuk remaja laki-laki, pada tahun 1995 prevalensi merokoknya sebanyak 14% dan meningkat menjadi 38% di tahun 2010 atau meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir. Sedangkan untuk remaja perempuan, pada tahun 1995 prevalensi merokok adalah sebesar 0,3% dan meningkat menjadi 0,9% di tahun 2010, atau meningkat tiga kali lipat dalam 15 tahun terakhir. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bagaimana remaja Indonesia semakin terpapar dengan kebiasaan merokok.
Gambar 2
Kecenderungan Prevalensi Merokok Laki-laki dan Perempuan Usia (15-19 tahun) 1995-2011, Indonesia
Sumber :
• Susenas 1995, 2001, dan 2004
• Riskesdas 2007 dan 2010
2.4. Prevalensi Merokok menurut Kelompok Pendapatan
Berdasarkan kelompok pendapatan, persentase perokok umur 15 tahun ke atas meningkat di setiap kelompok pendapatan dalam kurun waktu tahun 1995-2010. Peningkatan prevalensi perokok di setiap kelompok dan tingkat pendapatan sekaligus mengkonfirmasi bahwa semakin banyak perokok di Indonesia. Rokok tidak hanya semakin terjangkau untuk dibeli oleh perokok dari kelompok berpendapatan tinggi, namun juga oleh perokok dari kelompok-kelompok pendapatan lainnya. Bagi perokok yang berpendapatan tinggi, beban kesehatan mungkin tidak menjadi beban ekonomi yang signifikan. Namun berbeda halnya
18
bagi perokok berpendapatan rendah. Beban kesehatan yang ditanggung sebagai akibat dari kebiasaan merokok menjadi beban ekonomi tambahan bagi mereka.
Tabel 2
Persentase Perokok Umur > 15 tahun Berdasarkan Kelompok Pendapatan Indonesia, Tahun 1995, 2001, 2004, 2007 dan 2010
Status Ekonomi
1995 2001 2004 2007 2010
L P Total L P Total L P Total L P Total L P Total
Kuintil 1 57,8 2,2 27,5 62,9 1,7 30,0 63,0 4,4 33,9 68,4 5,8 35,8 66,9 4,5 35,0 Kuintil 2 56,5 1,8 28,7 65,4 1,2 33,0 64,8 4,0 35,5 67,2 5,2 35,0 68,2 4,2 36,0 Kuintil 3 55,0 1,7 28,3 64,0 1,3 32,9 64,4 4,5 35,2 66,0 5,4 34,4 68,7 3,8 36,0 Kuintil 4 51,6 1,4 26,5 61,2 1,3 31,8 63,4 4,8 34,5 64,5 5,0 33,4 65,1 3,9 34,4 Kuintil 5 46,2 1,4 23,7 57,4 1,1 29,6 60,1 4,5 32,8 60,9 4,5 31,5 59,6 4,4 32,0 Total 53,4 1,7 26,9 62,2 1,3 31,5 63,1 4,5 34,4 65,6 5,2 34,2 65,9 4,2 34,7
Sumber: Susenas 1995, SKRT 2001, Susenas 2004, Riskesdas 2007* dan 2010*
Catatan: termasuk merokok tiap hari dan kadang-kadang; *) tembakau hisap dan kunyah
2.5. Umur Mulai Merokok
Kecenderungan perokok mulai merokok menunjukkan perubahan dalam kurun waktu 1995-2010. Berdasarkan kelompok umur, secara rata-rata, terdapat penurunan persentase jumlah perokok yang mulai merokok pada usia 15-19 tahun, 20-24 tahun, dan 25-29 tahun.
Sementara, secara rata-rata terdapat peningkatan persentase jumlah perokok yang mulai merokok pada usia 5-9 tahun (dari 0,6% pada tahun 1995 menjadi 1,7 pada tahun 2012), 10-14 tahun (dari 9% pada tahun 1995 menjadi 17,5% pada tahun 2010), dan 30 tahun ke atas (dari 3,8% pada tahun 1995 menjadi 18,6% pada tahun 200). Artinya, dalam kurun waktu tahun 1995-2010, terdapat peningkatan jumlah perokok yang memulai kebiasaan merokok pada usia anak dan remaja, yaitu 5-14 tahun. Hal ini juga menjadi indikasi bahwa penduduk pada usia muda semakin terpapar dengan kebiasaan merokok yang merusak kesehatannya sejak dini.
19
Tabel 3
Persentase Perokok Umur > 15 Tahun Berdasarkan Umur Mulai Merokok di Indonesia Tahun 1995, 2001, 2004, 2007 dan 2010 Umur mulai merokok Tahun 1995 2001 2004 2007 2010 5-9 0,6 0,4 1,7 1,9 1,7 10-14 9,0 9,5 12,6 16,0 17,5 15-19 54,6 58,9 63,7 50,7 43,3 20-24 25,8 23,9 17,2 19,0 14,6 25-29 6,3 4,8 3,1 5,5 4,3 30+ 3,8 2,6 1,82 6,9 18,6
Sumber: Susenas 1995, SKRT 2001, Susenas 2004, Riskesdas 2007* dan 2010*
Catatan: termasuk merokok tiap hari dan kadang-kadang; *) tembakau hisap dan kunyah
2.6. Perokok Pasif
Selain membahayakan kesehatan diri sendiri, kebiasaan merokok juga merugikan para perokok pasif, yaitu mereka yang tidak merokok namun terpapar oleh asap rokok. Data menunjukkan bahwa prevalensi terbesar dari populasi yang terkena asap rokok orang lain di dalam rumah adalah mereka yang termasuk dalam kelompok umur anak-anak dan remaja. Data tahun 2001, 2004, 2007, dan 2010 mencatat bahwa persentase perokok pasif pada kelompok umur 0-4, 5-9, 10-14, dan 15-19 tahun lebih besar dari pada perokok pasif pada kelompok umur lainnya. Sekitar 44 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan perokok pasif utama dan mendapat tingkat keterpaparan asap rokok yang tinggi di dalam rumah.
20
Tabel 4
Prevalensi (%) Populasi yang Terkena Asap Rokok Orang Lain (Perokok Pasif) di Dalam Rumah Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Indonesia
Tahun 2001, 2004, 2007 dan 2010
Kel. Umur
Persentase perokok Pasif
2001 2004 2007 2010
L P Total L P Total L P Total L P Total
0-4 69,5 69,6 69,5 NA NA NA 59,2 59,0 59,1 56,7 56,9 56,8 5-9 70,6 70,6 70,6 NA NA NA 59,3 58,8 59,0 57,7 57,1 57,4 10-14 70,7 70,4 70,6 NA NA NA 57,8 59,1 58,4 58,1 56,8 57,5 15-19 51,1 67,6 59 36,1 55,2 45,7 35,1 57,8 46,2 34,5 55,4 44,7 20-24 23,4 65,6 45,6 16,5 52,0 36,1 15,1 56,6 37,2 19,5 56,7 38,1 25-29 9,6 65,5 38,8 8,1 53,9 32,7 8,1 55,8 33,9 11,5 54,2 33,2 30-34 4,3 64,8 35 5,7 53,7 29,0 4,4 53,1 30,4 5,8 51,4 28,7 35-39 2,1 67,4 35,4 7,1 54,6 28,3 3,0 54,0 29,9 3,9 50,7 27,4 40-44 2,5 68,8 34,3 8,6 53,4 28,0 3,1 54,7 30,1 3,9 52,4 28,1 45-49 3,5 67,5 32,9 8,3 54,0 28,1 4,6 55,8 31,0 5,3 53,7 29,3 50+ 5,3 56,3 31,9 11,7 38,3 25,0 8,8 44,4 27,1 8,6 44,8 26,9 Total 31,8 66 48,9 11,8 50,0 30,5 26,0 54,5 40,5 24,9 52,9 38,8 Sumber: SKRT 2001, Susenas 2004, Riskesdas 2007 dan 2010
Tabel 5
Jumlah Populasi yang Terkena Asap Rokok Orang Lain (Perokok Pasif) di Dalam Rumah Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Indonesia
Tahun 2007 dan 2010
Kel. Umur
Jumlah Perokok Pasif (orang)
2007 2010
Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
0-4 6.371.809 6.014.790 12.386.600 5.819.353 5.600.299 11.419.652 5-9 7.307.709 6.936.435 14.244.144 7.070.878 6.738.536 13.809.414 10-14 6.925.952 6.777.618 13.703.569 6.865.455 6.218.069 13.083.524 15-19 3.344.070 5.247.592 8.591.661 3.558.940 5.422.462 8.981.402
21 20-24 1.137.282 4.858.956 5.996.238 1.780.970 5.195.264 6.976.234 25-29 658.103 5.288.081 5.946.184 1.164.135 5.674.372 6.838.507 30-34 351.293 4.888.260 5.239.553 561.096 5.056.105 5.617.201 35-39 252.310 5.011.481 5.263.791 360.602 4.761.234 5.121.836 40-44 228.468 4.480.063 4.708.531 336.286 4.505.715 4.842.001 45-49 312.423 4.029.228 4.341.651 396.109 3.969.997 4.366.106 50+ 1.710.277 9.107.741 10.818.017 1.733.996 9.278.484 11.012.480 Total 28.599.696 62.640.245 91.239.939 29.647.820 62.420.537 92.068.357 Sumber: Riskesdas 2007 dan 2010
2.7. Prevalensi Konsumsi Produk Tembakau (Rokok dan Kunyah) Beberapa Negara
Dalam gambar 3 berikut ini, disajikan perbandingan prevalensi konsumsi produk tembakau secara global dari beberapa negara. Indonesia tercatat sebagai negara dengan konsumsi produk tembakau yang tinggi, yaitu sebesar 36,1 %, hampir menyamai Bangladesh dan Rusia, dengan prevalensi masing-masing sebesar 43,3% dan 39,4%. Persentase ini terbilang tinggi jika dibandingkan dengan India dan China yang memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia, namun justru memiliki prevalensi yang lebih rendah dibanding dengan Indonesia. Dalam konteks regional ASEAN pun, prevalensi konsumsi produk tembakau di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara ASEAN lainnya seperti Filipina, Thailand, dan Malaysia.
Gambar 3
Prevalensi Konsumsi Produk Tembakau (Rokok dan Kunyah) Beberapa Negara
43,3 39,4 36,1 34,6 31,2 30,5 29,5 28,9 28,1 27,2 26,7 25,0 25,0 24,0 19,7 17,5 16,0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Pe rc en ta ge ( % )
22
2.8. Prevalensi Merokok Menurut Jenis Kelamin
Perbandingan prevalensi di tingkat global menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase laki-laki perokok di Indonesia adalah yang tertinggi dibanding dengan prevalensi laki-laki perokok di negara-negara lainnya. Prevalensi laki-laki perokok mencapai 67,4%, lebih tinggi dari Rusia dan Bangladesh yang sebesar 60,6% dan 58%. Sementara itu, prevalensi perempuan perokok di Indonesia saat ini mencapai 4,5%.
Gambar 4
Prevalensi Merokok Laki-laki di Berbagai Negara
67,4 60,6 58,0 52,9 50,2 49,2 47,9 47,9 47,6 46,4 44,9 38,1 37,4 37,3 30,7 25,0 22,0 0 10 20 30 40 50 60 70 Indonesia Russian Federation Bangladesh China Ukraine Philippines India Turkey Viet Nam Thailand Malaysia Egypt Romania Poland Uruguay Mexico Brazil
23
Gambar 5
Prevalensi Merokok Perempuan di Berbagai Negara 28,7 24,4 21,7 20,3 19,8 16,7 15,2 13,3 11,3 10 9,1 7,9 4,5 3,6 2,4 1,7 0,6 0 10 20 30 40 50 60 70 Bangladesh Poland Russian… India Uruguay Romania Turkey Brazil Ukraine Philippines Thailand Mexico Indonesia Viet Nam China Malaysia Egypt
24
2.9. Prevalensi Perokok di Beberapa Negara (GATS)
Dalam hasil GATS, tercatat prevalensi perokok di beberapa negara, termasuk Indonesia. Secara keseluruhan, prevalensi perokok di Indonesia mencapai 34,4%, lebih tinggi dibanding dengan negara-negara di Eropa dan Asia lainnya. Angka ini juga relatif tinggi, dan mendekati prevalensi negara Rusia yang mencapai 39,1%.
Gambar 6
Prevalensi Merokok di Berbagai Negara
39,1 34,8 31,2 30,3 28,9 28,2 28,1 26,7 25,0 23,8 23,7 23,1 23,0 19,4 17,2 15,9 14,0 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0 Pe rc en ta ge (% )
25
2.10. Persentase Perokok Pasif di Beberapa Negara (GATS)
Sementara berdasarkan persentase perokok pasif, GATS mencatat Indonesia sebagai negara dengan persentase perokok pasif tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya, yaitu sebesar 78,4%.
Gambar 7
Presentase Perokok Pasif di Berbagai Negara
2.11. Keinginan untuk Berhenti Merokok di Beberapa Negara (GATS)
Dalam perbandingannya dengan negara-negara lain, Indonesia menempati urutan terendah dalam hal persentase perokok yang ingin berhenti merokok sebesar 10,5%. Hal ini kontras dengan negara Bangladesh yang memiliki prevalensi merokok yang jauh lebih tinggi untuk laki-laki dan perempuan, namun juga tercatat memiliki persentase tertinggi dalam hal perokok yang ingin berhenti merokok, yaitu 39,1%. Rendahnya persentase tersebut mengindikasikan masih rendahnya kesadaran untuk memiliki pola hidup sehat di kalangan masyarakat Indonesia. 78,4 73,1 67,3 62,5 56,3 54,9 54,4 44,2 40 38,4 35,4 34,7 34 33,2 27,9 23,5 17,3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Pe rc en tage (% )
26
Gambar 8
Persentase Perokok yang Ingin Berhenti Merokok di Berbagai Negara, Tahun…..
39,1 35,1 33,5 31,6 29,3 27,8 27,1 25,9 25,6 23,9 23,5 20,5 18,6 16,1 14,4 14,3 10,5 0 10 20 30 40 50 Pe rc en tage (% )
27
2.12. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Termiskin untuk Rokok
Dalam kurun waktu tahun 2003-2010, persentase pengeluaran rumah tangga yang termasuk dalam kelompok pendapatan termiskin untuk rokok tetap menempati urutan kedua, setelah pengeluaran untuk padi-padian. Pada tahun 2003, pengeluaran rumah tangga termiskin untuk rokok sebesar 12,5%. Sementara pada tahun 2010, pengeluaran rumah tangga termiskin untuk rokok adalah sebesar 11,91%. Hal ini memprihatinkan karena persentase pengeluaran rumah tangga termiskin untuk rokok mengalahkan persentase pengeluaran untuk kebutuhan dasar utama, yaitu makanan bergizi, kesehatan, dan pendidikan. Hal ini sekaligus menjadi indikasi bahwa harga rokok yang berlaku saat ini demikian terjangkau oleh rumah tangga termiskin.
Gambar 9
Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Termiskin untuk Rokok dan Pengeluaran Lainnya, 2003-2010 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 12,58 11,62 12,56 11,22 11,51 9,47 11,82 11,91 19,36 18,58 19,08 20,34 20,45 16,10 18,02 18,03 Padi-padian Tembakau Sewa dan kontrak Ikan
Listrik, telepon, dan gas Sayur-sayuran
Aneka minuman Barang dan jasa Minyak dan lemak
Makanan dan minuman jadi Kacang-kacangan
Telur dan susu Bumbu-bumbuan Pakaian dan alas kaki Biaya kesehatan Aneka makanan Umbi-umbian Buah-buahan Biaya pendidikan Pesta dan upacara Barang tahan lama Daging
Perawatan rumah Pajak dan asuransi Minuman beralkohol
28
2.13. Kesempatan yang Hilang Akibat Konsumsi Rokok di Rumah Tangga Termiskin
Konsumsi rokok oleh rumah tangga yang masuk dalam kelompok pendapatan termiskin, selain berakibat buruk bagi kesehatan, juga berdampak buruk bagi pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Pengeluaran yang seharusnya dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dasar lain malah digunakan untuk membeli rokok. Padahal dengan jumlah pengeluaran yang sama, rumah tangga bisa membeli kebutuhan lain yang lebih bermanfaat bagi kesehatan. Sebagai akibatnya, terdapat ‘kesempatan yang hilang’ akibat konsumsi rokok di rumah tangga termiskin ini.
Jika dilakukan simulasi penghitungan, pengeluaran per bulan untuk rokok pada rumah tangga termiskin dalam satu bulan, sama dengan 13 kali pengeluaran untuk daging yang hanya 0,9% dari total pengeluaran; 5 kali pengeluaran untuk susu dan telur yang hanya 2,25% dari total pengeluaran; 2 kali pengeluaran untuk ikan yang han 6,06% dari total pengeluaran, 6 kali pengeluaran untuk pendidikan yang sebesar 1,88%, dan 6 kali lebih besar dari pengeluaran untuk kesehatan yang sebesar 2,02% dari total pengeluaran per bulannya. Konsumsi rokok menyebabkan rumah tangga kehilangan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar lain yang lebih penting.
Tabel 6
Kesempatan yang Hilang Akibat Konsumsi Rokok di Rumah Tangga Termiskin
Rokok dan Sirih =
13 x Daging 0,90%
5 x Susu & Telur 2,25%
2 x Ikan 6,06%
2 x Sayur-sayuran 5,68%
6 x Pendidikan 1,88%
6 x Kesehatan 2,02%
29
2.14. Beban Penyakit Terkait Konsumsi Rokok
Pada tahun 2010 tercatat terdapat 12,7% kematian yang disebabkan oleh penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok. Dari total 190,260 jiwa yang meninggal karena penyakit terkait kebiasaan merokok, sejumlah 100,680 di antaranya adalah laki-laki dan 89,580 di antaranya adalah perempuan.
2.15 Beban Makroekonomi Terkait Konsumsi Rokok
Data tahun 2010 menginformasikan adanya kerugian ekonomi sebagai akibat dari hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan, dan disabilitas sebagai akibat dari kebiasaan merokok. Kerugian tersebut tercatat senilai Rp.105,3 Triliun.
Sementara itu, biaya rawat inap akibat penyakit terkait merokok terhitung sebesar Rp. 1,85 Triliun dan biaya rawat jalan terkait merokok adalah sebesar Rp.0,26 Triliun. (Kosen,2012). Secara makroekonomi, diperkirakan total kerugian terkait konsumsi rokok adalah sebesar Rp. 245,4 Triliun. Di sisi lain, penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2012 adalah sebesar Rp. 56 Trilliun. Artinya, kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok 4 kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau (Kosen, 2012).
Penghitungan beban makroenomi terkait konsumsi rokok mempertegas kerugian yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok.
30
BAB 3
FAKTA KONDISI INDUSTRI ROKOK DI INDONESIA
Indonesia merupakan surga industri rokok karena tiadanya regulasi yang ketat sehingga produksi industri rokok terus meningkat dari tahun ke tahun. Dilihat dari jumlahnya memang ada penurun industri dari 1.555 pabrik tahun 2009 menjadi 1.132 pabrik tahun 2011, namun dilihat dari produksi jumlahnya terus meningkat dari 220 milyar batang tahun 2005 menjadi 248 milyar batang tahun 2010.
3.1 Produksi
Rokok di Indonesia pada umumnya dibagi menjadi 3 yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Dari ketiga jenis rokok itu, selama 2005-2010 rata-rata produksi rokok SKM mencapai 58% dari total produksi rokok nasional disusul SKT (Sigaret Kretek Tangan) sekitar 35% dan SPM (Sigaret Putih Mesin) sekitar 7% tiap tahunnya (lihat Tabel 7).
Tabel 7
Produksi Rokok Berdasarkan Jenis Rokoknya, 2005-2010 (Miliar Batang / Tahun)
2005 % 2006 % 2007 % 2008 % 2009 % 2010 % a. SKM 126, 6 57,5 125, 3 57,8 131, 7 56,8 144, 5 57,9 141, 2 58,3 144, 2 58,1 b. SKT 78,2 35,5 77,9 35,9 84,3 36,3 88,2 35,3 84,7 34,9 87,2 35,1 c. SPM 15,3 7,0 13,5 6,2 16,0 6,9 17,0 6,8 16,5 6,8 17,0 6,8 220, 1 100, 0 216, 7 100, 0 232, 0 100, 0 249, 7 100, 0 242, 4 100, 0 248, 4 100, 0
Sumber: Kementerian Keuangan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Menurut data Kementerian Perindustrian produksi rokok Indonesia meningkat terus dari 220 milyar batang tahun 2006 menjadi 300 milyar batang tahun 2011. Perubahan sistem cukai dari tarif gabungan ad valorem dan spesifik menjadi spesifik tahun 2008 tidak mengubah kecenderungan kenaikan produksi. Menurut Road Map industri hasil tembakau, batas maksimal produksi rokok adalah 260 milyar batang, sehingga dengan produksi di atas 260
31
milyar batang, cukai tembakau seharusnya ditingkatkan hingga tarif maksimal yaitu 57% sesuai dengan UU Cukai No. 39/2007 (Gambar 10).
Gambar 10
Kecenderungan Produksi Rokok Indonesia (miliar batang)
Rokok adalah produk adiktif sehingga sangat sulit untuk berhenti merokok. Akibatnya produksi rokok cenderung meningkat dari 1985 hingga tahun 2010. Bahkan ketika krisis ekonomi tahun 1998 dimana inflasi mencapai 75% dan pertumbuhan ekonomi (Gross Domestic Product)mencapai 13%, produksi rokok justru paling tinggi selama periode 1985-2010 yaitu 269 milyar batang (Gambar 11).
Gambar 11
Kecenderungan Produksi Rokok, 1985-2010, Indonesia
0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Produksi Rokok (Miliar Batang)
32
Gambar 12
Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan GDP, 1985-2010, Indonesia
Sumber:
- Kementerian Keuangan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
- Kementerian Keuangan. Kajian Ekonomi dan Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Vol.7 No. 2, Juni 2003
- USDA. Global Agriculture Information Network Report, Indonesia Tobacco and Products Annual 2002-2004
- BPS. Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Indonesia, 1985-2010 - Bank Dunia. Tigkat Pertumbuhan PDB Indonesia 1985-2010
Meskipun ada ribuan industri rokok di Indonesia, hanya ada tiga perusahaan rokok besar yang menguasai pangsa pasar Indonesia yaitu Philip Morris International (PMI) - HM Sampoerna Tbk (29%), Gudang Garam (21%) dan Djarum (19%). Secara keseluruhan ketiga perusahaan ini mencakup sekitar 69 persen pangsa pasar. Sedangkan BAT - Bentoel menguasai 8%. Karena PMI dan BAT perusahaan asing, maka jika dibuat pengelompokkan perusahaan asing dan domestik, maka pangsa pasar perusahaan asing menguasai 37% pangsa rokok di Indonesia. -15,00 0,00 15,00 30,00 45,00 60,00 75,00 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tingkat Inflasi (%) Pertumbuhan GDP (%)
33
Gambar 13
Pangsa Pasar Menurut Industri Rokok, 2008 dan 2009
Sumber: Koran Neraca, 29 Juni 2009
3.2 Pekerja
Jumlah pekerja yang bekerja di industri pengolahan tembakau cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun jumlahnya tidak melebihi 350 ribu. Tahun 1985 jumlah pekerja mencapai 194.650 orang naik 70% menjadi 331.590 orang tahun 2009. Dibandingkan dengan seluruh tenaga kerja di sektor industri yang pada tahun 2009 mencapai 24,5 juta maka persentase tenaga kerja di industri pengolahan tembakau hanya 1,35%.
Gambar 14
Kecenderungan Jumlah Pekerja di Industri Pengolahan Tembakau, 1985-2009 HMSP/PMI, 29.5% Gudang Garam, 22.5% Djarum, 19.4% Nojorono, 6.4% Bentoel, 5.7% BAT Indonesia, 2.5% Lainnya, 15.6% 2008, triwulan 1 HMSP/PMI, 29.0% Gudang Garam, 21.1% Djarum, 19.4% Nojorono, 6.7% Bentoel, 6.0% BAT Indonesia, 2.0% Lainnya, 15.8% 2009, triwulan 1 194.650 182.817 225.640 258.747 331.590 0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09
34
Industri pengolahan tembakau lebih banyak menyerap tenaga kerja perempuan dibandingkan tenaga kerja laki-laki. Pekerja perempuan biasanya menangani pekerjaan yang memerlukan ketelatenan seperti melinting dan memotong rokok, sedangkan pekerjaan pekerja laki-laki umumnya pengemasan dan pergudangan. Data menunjukkan selama periode 1993-2009, sekitar 80% tenaga kerja di industri rokok adalah perempuan, bahkan tahun 2008 hampir 90% tenaga kerja adalah perempuan (Gambar 15).
Gambar 15
Tren Pekerja Perusahaan Produk Tembakau Menurut Jenis Kelamin, 1993 - 2009
Sumber: BPS. Statistik Industri Sedang dan Besar 1993-2009 (diolah)
Meskipun isu tenaga kerja selalu diusung oleh industri setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan cukai, tapi dilihat dari tingkat upah yang diterima lebih rendah dari sektor industri makanan dan seluruh sektor industri. Data BPS menunjukkan secara konsisten dari 2000-2011 rata-rata upah nominal buruh lebih rendah dibandingkan upah buruh makanan dan upah buruh seluruh industri. Tahun 2011 ketika rata-rata upah buruh makanan mencapai Rp 1,2 juta, upah buruh industri tembakau hanya Rp 1 juta (Gambar 16).
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Laki-Laki Perempuan
35
Gambar 16
Tren Rata-Rata Upah Nominal Buruh Di Bawah Mandor Pada Industri Tembakau/Rokok, Industri Makanan dan Seluruh Industri Menurut Kuartal,
2000-2011 (dalam Ribuan)
Sumber: BPS. Statistik Upah 2000-2011
3.3 Perdagangan (Ekspor-Impor)
Ekspor dan impor rokok Indonesia didominasi oleh sigaret mengandung tembakau (rokok putih) dan sigaret kretek jenis tembakau lain. Tahun 2011 ekspor rokok putih (sigaret mengangudng tembakau) mencapai US$ 418 juta atau 48,7 juta kg dan rokok kretek mencapai US$ 89 juta atau 6,8 juta kg. Pada tahun yang sama Indonesia juga mengimpor rokok putih sebesar US$ 4,6 juta atau 235 ribu kg dan impor rokok kretek sebesar US$ 89 ribu atau 13 ribu kg. Jika dihitung net ekspor yaitu ekspor dikurangi impor, maka terlihat bahwa perdagangan rokok putih dan rokok kretek mengalami surplus sebesar US$ 413,9 juta dan US 88,9 juta (Gambar 17).
Negara tujuan utama ekspor kretek Indonesia adalah Singapura dan Malaysia dimana banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sana tetap mengonsumsi kretek. Nilai ekspor kretek ke Singapura tahun 2010 mencapai US$ 52 juta dan ke Malaysia mencapai US$ 19,3 juta. Dengan kata lain sebanyak 76% ekspor kretek Indonesia masuk ke dua negara ini. Sedangkan untuk rokok selain kretek (rokok putih), negara tujuan ekspor rokok pada tahun 2010 didominasi oleh Kambodia dan Malaysia yaitu masing-masing 51% dan 29%.
Nilai ekspor rokok putih ke Kambodia tahun 2010 mencapai US$ 171 juta dan ke Malaysia mencapai US$ 99 juta. Ekspor rokok putih ke Kambodia dan Malaysia mencapai 80%.
36
Gambar 17
Ekspor dan Impor Rokok Indonesia, Januari-Desember 2011
Sumber: BPS. Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor & Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor 2011
Catatan: HS: Homoginized System; sistem pengkodean yang digunakan dalam statistik ekspor dan impor. Antara tahun 2004 sampai dengan 2007 terjadi 2 kali perbedaan kode. Statistik tahun 2004 masih menggunakan kode HS 1996 dengan 9 digit, tahun 2005 dan 2006 menggunakan kode HS 2004 dengan 10 digit dan sejak 2007 dilakukan revisi HS2004 dengan digunakan kode HS 2007 yang juga 10 digit.
Berat Bersih Nilai Berat Bersih Nilai Berat Bersih Nilai (KG) (US $) (KG) (US $) (KG) (US $)
2402100000 Cerutu, cheroots dan cerutu kecil mengandung tembakau 2.351.190 $ 36.355.704 101.414 $ 1.343.301 2.249.776 $ 35.012.403
2402201000 Beedies 523.018 $ 5.313.401 4.987 $ 157.634 518.031 $ 5.155.767
2402209010 Sigaret Kretek 6.882.321 $ 89.062.834 13.469 $ 89.764 6.868.852 $ 88.973.070
2402209090 Sigaret mengandung tembakau 48.797.041 $ 418.538.365 235.708 $ 4.633.393 48.561.333 $ 413.904.972
2402901000 Cerutu, cheroots dan cerutu kecil dari pengganti tembakau 10.525 $ 107.872 - $ - 10.525 $ 107.872
2402902000 Sigaret dari pengganti tembakau 481.693 $ 387.488 2.430 $ 26.552 479.263 $ 360.936
TOTAL 59.045.788 $ 549.765.664 358.008 $ 6.250.644 58.687.780 $ 543.515.020
Total Produk Tembakau 98.487.740 700.747.346 116.601.076 587.783.896 (18.113.336) 112.963.450
% Rokok terhadap Total Produk
Tembakau 60,0% 78,5% 0,3% 1,1%
Ekspor Impor Neto = Ekspor-Impor Deskripsi Komoditas
37
BAB 4
FAKTA PERTANIAN TEMBAKAU DI INDONESIA
Tanaman tembakau adalah tanaman yang kontroversial. Bagi penggiat kesehatan tembakau merupakan salah satu produk yang mengandung nikotin yang jika dibakar dan dihisap dapat menimbulkan kecanduan bagi penggunanya. Namun, bagi petani dan pengusaha rokok tembakau merupakan salah satu tanaman yang bernilai ekonomi tinggi karena harganya relatif mahal.
Di masyarakat ada persepsi bahwa tanaman tembakau membawa berkah bagi petani karena harga daun tembakau dihargai mahal oleh pabrik rokok. Tanaman tembakau sering disebut sebagai sebagai “emas hijau” yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Keengganan pemerintah untuk meratifikasi FCTC5 diduga karena faktor bisnis tembakau yang menggiurkan tersebut padahal pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam pembuatan draft FCTC. Alasan utama pemerintah tidak meratifikasi adalah kekhawatiran pada dampak negatifnya terhadap tenaga kerja di industri dan pertanian tembakau.
Karena itu upaya untuk mengendalikan konsumsi tembakau akan terbentur pada kepentingan melindungi petani tembakau dan tenaga kerja industri rokok. Bagaimana fakta sebenarnya mengenai pertanian tembakau?
4.1 Produksi
Di dunia pertembakauan Indonesia bukan merupakan produsen tembakau yang terbesar. Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2010 menunjukkan China, Brazil, India, dan Amerika Serikat merupakan negara produsen daun tembakau terbesar di dunia dengan total produksi 4,5 ton atau 64% dari total produksi dunia. Sementara itu, Indonesia memproduksi tembakau sebesar 135 ribu ton, atau sekitar 1,9% dari total produksi tembakau dunia. Fakta yang menarik meskipun ketiga negara itu produsen tembakau terbesar tapi mereka meratifikasi FCTC kecuali Amerika baru menandatangani.
Selama kurun waktu 1990-2012, jumlah produksi daun tembakau Indonesia berfluktuasi. Puncak produksi tembakau tertinggi terjadi pada tahun 1997-2003 yang
5 Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan suatu konvensi atau perjanjian mengenai
pengendalian tembakau yang merupakan instrumen legal yang secara internasional bersifat mengikat
negara-negara yang meratifikasinya. FCTC diadopsi oleh negara-negara yang ikut dalam the 56th World
Health Assembly, yang merupakan lembaga pengambilan keputusan tertinggi WHO pada tanggal 21 Mei 2003.
38
mencapai sekitar 200 ribu ton kecuali tahun 1988 dan 1999 yang produksinya anjok ke di bawah 150 ribu ton. Setelah tahun 2004 produksi masih berfluktuasi tapi cenderung turun hingga mencapai 135 ribu ton tahun 2010. Jika diperhatikan kurun waktu 10 tahun terakhir (2000 – 2010) terjadi penurunan produksi daun tembakau sebesar 33% dari 204.329 ton menjadi 135.678 ton (Gambar18).
Gambar 18
Kecenderungan Produksi Tembakau Indonesia (dalam ton), 1990-2012
Catatan: *angka sementara **estimasi
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian, 2011.
Jika dilihat produksi tembakau, ada tiga provinsi yang menjadi produsen tembakau terbesar yaitu Jawa Timur (53 ribu ton atau 39% dari total lahan tembakau), NTB (39 ribu ton atau 29%), dan Jawa Tengah (26 ribu ton atau 20%). Dengan kata lain, 88% produksi tembakau berasal dari tiga provinsi ini (Gambar 19). Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah juga merupakan lokasi terbanyak industri rokok di Indonesia. Namun, di provinsi tersebut, tidak semua kabupaten menanam tembakau.
0 50000 100000 150000 200000 250000 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11* 20 12* *
39
Gambar 19
Persentase Produksi Tembakau menurut Provinsi, 2010
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian, 2011.
Jika dilihat kecenderungan luas lahan tembakau, dari tahun 1990 hingga 2009 luasnya juga berfluktuasi. Fluktuasi luas lahan ini terjadi karena lahan untuk menanam tembakau juga dipakai petani untuk menanam tanaman lain. Misalnya jika musim kemarau petani berpikir harga tembakau tidak menarik mereka akan menanam tanaman lain seperti jagung, kedelai, kacang tanah, melon, dan lainnya. Luas lahan terluas terjadi pada tahun 2001 hingga tahun 2003 yang mencapai sekitar 250 ribu hektar. Tahun 2004 hingga tahun 2009 luasnya cenderung turun hingga mencapai 200 ribu hektar tahun 2009. Secara umum dari tahun 1990 hingga 2009 terjadi penurunan luas lahan dari 234 ribu hektar menjadi 204 ribu hektar atau turun 13% selama 19 tahun (Gambar 20).
40
Gambar 20
Kecenderungan Luas Lahan Tembakau Indonesia (dalam hektar), 1990-2009
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011: Tembakau, Kementerian Pertanian, Direktorat
Jenderal Perkebunan.
Kondisi yang sama dengan produksi daun tembakau, luas lahan tembakau juga terkonsentrasi di tiga provinsi yaitu Jawa Timur (109 ribu hektar atau 50,6%), Jawa Tengah (49 ribu hektar atau 22,8%) dan NTB (35 ribu hektar atau 16%). Pada tahun 2010, ketiga provinsi tersebut masih mendominasi luas lahan tembakau terbesar di Indonesia, yaitu 193 ribu hektar atau 89% dari total luas lahan tembakau di Indonesia.
4.2 Petani Tembakau
Menurut data Kementerian Pertanian jumlah petani tembakau di Indonesia tidak sampai satu juta orang. Jumlah petani tertinggi terjadi pada tahun 2001 yaitu sekitar 900 ribu petani, tapi setelah itu cenderung turun menjadi 689 ribu orang tahun 2010 (Gambar 21). Berfluktusinya jumlah petani tembakau ini karena sebenarnya petani tembakau juga mengusahakan tanaman lain selain tembakau. Hal ini karena tanaman tembakau bisa ditanam pada musim kemarau, sehingga di musim hujan petani menanam tanaman yang lain.
0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09
41
Gambar 21
Kecenderungan Jumlah Petani Tembakau Indonesia, 1996-2010
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian, 2011
4.3 Perdagangan Tembakau
Indonesia selain mengekspor tembakau juga mengimpor tembakau untuk keperluan industri rokok dalam negeri terutama untuk rokok putih. Nilai perdagangan (ekspor-impor) dapat dilihat menurut nilai (dalam US$) atau menurut volume (ton). Jika dilihat dari nilai perdagangan, selama periode 1990-2010 Indonesia hanya mengalami surplus perdagangan pada tahun 1990, 1991, 1992 dan 1998. Pada tahun-tahun lainnya Indonesia mengalami defisit perdagangan artinya Indonesia lebih banyak mengimpor tembakau dari luar negeri. Defisit tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai US$ 197 juta dan deficit terendah terjadi tahun 1991 sebesar US$ 568 ribu. Sejak tahun 2005 ada kecenderungan deficit perdagangan tembakau meningkat hingga tahun 2010 (Gambar 22). Jika trend ini terus berlangsung maka yang menjadi korban tentunya adalah petani tembakau dalam negeri, selain berkurangnya devisi negara untuk membiayai ekspor.
0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 900000 1000000
42
Gambar 22
Nilai Ekspor, Impor dan Net Ekspor Daun Tembakau Indonesia (dalam US$ 000), 1990-2010
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian, 2011
Tembakau yang diimpor untuk keperluan industri dalam negeri adalah jenis tembakau Virginia. Secara keseluruhan nilai impor tembakau Virginia tahun 2010 mencapai US$ 202 juta. Separoh impor berasal dari China (US$ 102 juta atau 50,9%) disusul Brazil (US$ 30,1 juta atau 14,9%), Amerika Serikat (US$ 24,5 juta atau 12,1%) dan India (US$ 11,5 juta 5,7%) (Gambar 23). -300000 -200000 -100000 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10
43
Gambar 23
Persentase Nilai Impor Tembakau Virginia menurut Negara Asal, 2010
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012: Tembakau, Kementerian Pertanian, 2011 50,9 14,9 12,1 5,7 2,1 2,6 11,6 China Brazil Amerika Serikat India Filipina Afrika Selatan Lainnya
44
BAB 5
FAKTA DAN KEBIJAKAN CUKAI ROKOK
5.1. Dampak Peningkatan Rokok
5.1.1. Dampak Peningkatan Rokok terhadap Konsumsi Rokok dan Penerimaan Negara
Peningkatan 10 persen cukai rokok akan menurunkan konsumsinya sebesar 1 sampai 3 persen dan meningkatkan penerimaan negara dari cukai rokok sebesar 7 sampai 9 persen. Permintaan akan rokok bersifat inelastis, dimana besarnya penurunan konsumsi rokok lebih kecil daripada peningkatan harganya. Sehingga penurunan konsumsi rokok akibat peningkatan cukai akan meningkatkan penerimaan negara. Hal ini juga memperlihatkan bahwa rokok adalah barang yang menimbulkan kecanduan bagi pemakainya. Peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai adalah win win solution karena akan menurunkan konsumsi rokok, walau bersifat inelastis, dan pada saat yang sama akan berpotensi meningkatkan penerimaan negara dari cukai rokok.
Tabel 8
Dampak Peningkatan 10% Cukai Tembakau Terhadap Konsumsi Rokok Dan Penerimaan Negara dari Cukai Tembakau
Studi % penurunan
konsumsi
% kenaikan penerimaan
De Beyer and Yurekli, 2000i 2,0 8,0
Djutaharta et al, 2005ii 0,9 9,0
Adioetomo et al, 2005iii 3,0 6,7
Sunley, Yurekli, Chaloupka,
45
5.1.2. Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap Jumlah Perokok, Kematian yang Terkait dengan Konsumsi Rokok dan Penerimaan Cukai Tembakau
Barber et al 2008v, melakukan penghitungan mengenai dampak peningkatan cukai rokok menjadi 57% (tingkat maksimal yang diperbolehkan Undang-Undang No. 39 tahun 2007). Jika tingkat cukai rokok ditingkatkan menjadi 57% dari harga jual eceran maka diperkirakan jumlah perokok akan berkurang sebanyak 6.9 juta orang, jumlah kematian yang berkaitan dengan konsumsi rokok akan berkurang sebanyak 2.4 juta kematian, dan penerimaan negara dari cukai tembakau akan bertambah sebanyak Rp. 50.1 Trilliun (penghitungan ini didasarkan pada asumsi elastisitas harga terhadap permintaan rokok sebesar -0.4).
Peningkatan cukai tembakau memiliki peran yang signifikan dalam peningkatan kesehatan masyarakat dan peningkatan penerimaan negara. Oleh karena itu, peningkatan cukai tembakau adalah win-win solution.
46
Tabel 9
Dampak Kenaikan Tarif Cukai Tembakau terhadap Kematian Akibat Rokok dan Penerimaan Negara
No.
Keterangan
Kondisi Sekarang
Skenario Kenaikan Tarif Cukai
(1) (2) (3)
1. % tarif cukai terhadap harga
jual actual 37% 50% 64% 70%
2. % tarif cukai terhadap HJE
yang ditetapkan pemerintah a 31% 43% 57% 64%
3.
Jumlah Perokok 56.9 juta orang
Jumlah Perokok yang Berkurang (juta)
Elastisitas
Harga b
-0.29 1.8 5 7.3
-0.4 2.5 6.9 10
-0.67 4.1 11.5 16.8
4. Perkiraan kematian akibat
merokok
28.45 juta orang
Kematian yang terhindarkan (juta)
Elastisitas Harga b -0.29 0.6 1.7 2.5 -0.4 0.9 2.4 3.5 -0.67 1.4 4 5.9 Kematian Terhindarkan (%) Elastisitas Harga b -0.29 2% 6% 9% -0.4 3% 8% 12% -0.67 5% 14% 21%
Jumlah Perokok yang Tersisa (juta)
Elastisitas
Harga b
-0.29 55.1 51.9 49.6
-0.4 54.4 50.0 46.9
-0.67 52.8 45.4 40.1
47
Tambahan Penerimaan Cukai (Rupiah Triliun) Elastisitas Harga b -0.29 25.1 59.3 75.8 -0.4 23 50.1 59.3 -0.67 18.1 29.1 23.8 Sumber : Barber et al 2008 Catatan : a
HJE diestimasi sebagai proporsi dari harga jual
b Elastisitas harga rendah, menengah, dan tinggi adalah -0,29, -0,4, dan -0,67 berdasarkan urutan
estimasi hasil studi yang terbaik: Lihat Guindon et al., Djutaharta et al., dan Adioetomo et al.
c Nilai penerimaan diestimasi menggunakan target penerimaan 2008, dengan asumsi bahwa 95 persen dari
penerimaan cukai berasal dari produk tembakau.
5.1.3. Dampak Peningkatan Harga Rokok pada Kelompok Termiskin
Ahsan dan Tobing 2008vi, dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 dengan menggunakan model two part menyimpulkan bahwa peningkatan 10% harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok perokok termiskin (kuintil 1) sebanyak 16%, sedangkan untuk perokok terkaya (kuintil 5) hanya akan turun 6%. Perokok termiskin lebih sensitif terhadap harga dibandingkan dengan perokok terkaya. Sehingga kebijakan peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai tembakau akan melindungi penduduk termiskin dari kecanduan dan perangkap akibat konsumsi rokok.
Tabel 10
Dampak Peningkatan Harga Rokok terhadap Konsumsi Rokok menurut Kelompok Pendapatan
Keterangan
Kelompok Pendapatan (Kuintil)
I II III IV V
Elastisitas Harga dari
Partisipasi Merokok -1,696* -1,069* -0,713* -0,384* -0,409* Elastisitas Harga terhadap Permintaan Rokok -0,304* -0,065*** 0,058 -0,411* -0,292* Prevalensi Perokok 0,237 0,294 0,287 0,297 0,251 Elastisitas Harga Total -1,598 -0,821 -0,451 -0,681 -0,598
Sumber : Ahsan dan Tobing 2008
48
5.2. Kebijakan Cukai Rokok di Indonesia
5.2.1. Filosofi UU No. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 39 tahun 2007 tentang cukai menyatakan bahwa cukai dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat:
1. Konsumsinya perlu dikendalikan 2. Peredarannya perlu diawasi
3. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup
4. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan Kebijakan cukai dibuat untuk mengendalikan konsumsi. Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan cukai rokok ditentukan oleh kemampuannya mengendalikan konsumsi rokok, bukan peningkatan penerimaan negara. Sistem dan tingkat cukai rokok yang berlaku haruslah mampu untuk mengendalikan konsumsi rokok.
5.2.2. Sistem Cukai Hasil Tembakau di Indonesia
Terdapat 2 sistem cukai hasil tembakau yaitu ad valorem dan spesifik. Sistem cukai ad valorem berupa persentase tertentu terhadap harga jual eceran (% dari HJE)sedangkan sistem cukai spesifik berupa sejumlah uang tertentu per satu batang rokok (Rp. / batang). Sebelum tahun 2005, Indonesia menggunakan sistem cukai advalorem berupa % tertentu terhadap HJE. Pada saat itu terdapat 10 layer HJE.
Pada periode 2006-2009, Indonesia menggunakan sistem cukai campuran dimana produk IHT terutama rokok dikenai 2 jenis cukai yaitu spesifik dan advalorem. Setelah tahun 2009, Indonesia menggunakan sistem cukai spesifik, dimana cukai ditetapkan per batang rokok. Namun masih tetap ada layer yang didasarkan pada HJE. Di tahun 2012 masih terdapat 15 layer HJE. Penggunaan sistem cukai spesifik di landasi pertimbangan kemudahan administrasi. Akan tetapi banyaknya layer HJE akan memperumit administrasi pemungutan cukai.
49
Tabel 11
Perubahan Sistem Cukai Hasil Tembakau 2005-2012 Periode Juli 2005 – Nov’ 2006 Des’2006– Okt’ 2007 Nov’ 2007– Nov’ 2009 Nov’ 2009 – Des’ 2011 Jan 2012 - Sistem Cukai Advalorem Mix Advalorem & Spesifik Mix Advalorem & Spesifik Spesifik Spesifik Layer HJE 10 10 9 19 15
Sumber : Kebijakan Cukai Hasil Tembakau, Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta 13 Maret 2012
5.2.3. Perubahan Kebijakan Cuka Hasil Tembakau
Kebijakan cukai hasil tembakau periode 2007-2012 mengalami sejumlah perubahan. Perubahan-perubahan ini diharapkan akan mampu mengendalikan konsumsi hasil tembakau (rokok) dan meningkatkan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau Beberapa prinsip dari perubahan kebijakan cukai hasil tembakau antara lain:
1) Kebijakan tarif cukai tetap menggunakan sistem spesifik; 2) Kenaikan tarif cukai secara moderat;
3) Penyederhanaan golongan dengan memperhatikan skala keekonomian usaha dan aspek fiskal yang lebih proporsional;
4) Eliminasi layer HJE secara bertahap;
5) Pembedaan besaran tarif cukai antara HT buatan mesin dengan buatan tangan; (Sumber : Kebijakan Cukai Hasil Tembakau, Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta 13 Maret 2012)
50
Tabel 12
Perubahan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2007-2012 Tahun Kebijakan Cukai IHT
2007 • Tarif gabungan advalorum dan spesifik mempertimbangkan jenis, golongan, dan HJE.
• HJE semua jenis HT naik sebesar 7% per batang • Kenaikan beban cukai rata-rata 7%
• Target batas produksi 231 Miliar btg per tahun
2008 • Penggabungan Gol IIIa dan IIIb untuk SKT • Penetapan tarif cukai SKTF sama dengan SKM
• Tarif gabungan advalorum dan meningkatkan tarif spesifik • Kenaikan beban cukai rata-rata 8%
• Target batas produksi 240 Miliar btg per tahun • Pemberlakuan DBH Cukai Hasil Tembakau 2%
2009 • Penghilangan golongan III pada SKM dan SPM serta SKT dalam 3 golongan
• Tarif cukai spesifik dengan mempertimbangkan jenis, golongan, dan batasan HJE
• HTP dapat lebih tinggi dari HJE 5%
• Pemerintah tidak menjadikan HJE sebagai instrumen pengendali harga
• Kenaikan beban cukai rata-rata 7%, SKT golongan III dinaikkan 33% • Target batas produksi 242,4 Miliar btg per tahun
• UU PDRD mengatur pajak rokok daerah pada tahun 2014, 10% dari cukai HT
• Insentif cukai HT untuk ekspor dihapus
51
2010 • Konversi SPM terhadap SKM didekatkan
• Gap tarif cukai spesifik antar strata HJE dan antar golongan diturunkan secara gradual
• Kenaikan beban cukai rata-rata 8,1%, Gol II SKM 5% - 15%, Gol II SPM 18% – 31%, Gol II SKT 17% - 20% dan Gol III SKT 63% • Target batas produksi 248,2 Miliar btg per tahun
2011 Tarif cukai SPM didekatkan dengan SKM Tarif cukai SKT didekatkan dengan SKM
Strata (batasan) HJE untuk penetapan tarif cukai tetap dalam 19 strata tarif
Sesuai arahan Menteri Keuangan, tarif cukai HT 2011 dinaikkan dengan kisaran 5%.
Untuk SKT golongan III masih dipertahankan tarifnya yaitu Rp 65 per batang
SKM golongan II layer 3, kenaikan tarifnya relatif lebih tinggi untuk mencegah tumbuhnya merk baru dari pabrikan kecil yang terafiliasi dari pabrikan besar
Target batasan produksi 258,6 miliar batang per tahun
2012 • Tarif cukai dinaikkan dengan kenaikan rata-rata 16,3%;
• Batasan jumlah produksiSKT gol. III diturunkan menjadi <300 juta batang per tahun;
• Mempertimbangkan roadmap kebijakan cukai HT yaitu: 1) Penyederhanaan struktur tarif menjadi 15 strata tarif, yaitu:
SKM golongan II layer 3 digabung/dinaikkan menjadi layer 2; SPM golongan I dari 3 layer digabung menjadi 1 layer pada layer 1; SKT golongan I layer 3 digabung/dinaikkan menjadi layer 2.
2) Jenis HT SKT golongan III masih dipertahankan seperti sebelumnya