Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
PENERBITAN ONLINE AWAL
Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada
Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan
program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah
diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan
penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi
Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat
diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin
dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon
diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan
kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan
versi publikasi akhir.
1
PENGGUNAAN DATA ANGIN HASIL PREDIKSI MODEL WEATHER
RESEARCH AND FORECASTING (WRF) UNTUK PREDIKSI
GELOMBANG LAUT MENGGUNAKAN MODEL WAVEWATCH III
(WW3)
RONNY
Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara maritim. Oleh karena itu hampir seluruh aktivitas kehidupan yang ada di wilayah Indonesia, memiliki hubungan yang erat dengan laut. Gelombang merupakan salah satu komponen laut yang dapat dibangkitkan oleh angin dan memberikan pengaruh besar terhadap aktivitas kehidupan di laut seperti pencarian sumber pangan dan transportasi. Prediksi tinggi gelombang perlu dilakukan agar aktivitas kehidupan yang berada di wilayah lautan dapat dipersiapkan dengan lebih baik. Model Wavewatch III (WW3) merupakan model gelombang yang dikembangkan oleh NOAA. Model WW3 ditujukan untuk memperkirakan tinggi gelombang yang dibangkitkan oleh angin, oleh karena itu model WW3 merupakan model yang sensitif terhadap input data medan angin. Penggunaan model WW3 untuk memperkirakan tinggi gelombang pada wilayah perairan Indonesia yaitu Selat Sunda, telah dilakukan oleh Isniarny (2012). Isniarny menggunakan data medan angin dari GFS beresolusi yang cukup rendah (0.5ox0.5o ) sebagai input pada model WW3. Hasil prediksi tinggi gelombang pada wilayah Selat Sunda yang telah dilakukan oleh Isniarny, memiliki nilai error sistematis yang cukup besar yaitu 1,2m ketika diverifikasi menggunakan data satelit altimeter multimisi. Prediksi cuaca skala Indonesia bersifat eksperimental dengan resolusi yang cukup tinggi, saat ini telah dilakukan oleh Laboratorium Analisis Meteorologi ITB dengan menggunakan model Weather Research Forecasting (WRF) untuk menghasilkan prediksi cuaca selama 2 hari kedepan yang disebut WCPL Experiment. Penelitian tugas akhir ini dimaksudkan untuk melihat apakah penggunaan data medan angin resolusi tinggi hasil prediksi WCPL Experiment dapat meningkatkan performa model WW3 untuk prediksi gelombang laut di wilayah Indonesia. penggunaan data medan angin resolusi tinggi hasil model WRF (WCPL Experiment), terbukti dapat meningkatkan performa model WW3 untuk prediksi gelombang pada wilayah perairan Indonesia dengan menghasilkan prediksi gelombang yang valid untuk dua hari kedepan dan memiliki korelasi data 0,84 dan nilai error sistematis yang relatif rendah sebesar 0,5m pada saat diverifikasi dengan menggunakan data satelit altimeter multimisi.
Kata kunci : Data medan angin WRF, Resolusi tinggi, Wavewatch III, Prediksi gelombang laut.
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang 2/3 atau hampir lebih dari 70% wilayahnya merupakan lautan sehingga negara ini mendapat julukan sebagai “Negara Maritim”. Dengan keadaan geografis seperti ini, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan yang berada di sekitar wilayah negara Indonesia ini sangat erat hubungannya dengan laut. Gelombang laut merupakan salah satu komponen laut yang mempunyai pengaruh besar pada aktivitas kehidupan yang berada di lautan. Kebutuhan untuk memperkirakan gelombang laut sendiri mulai dirasa menjadi salah satu kebutuhan yang cukup penting, dengan mengetahui ketinggian gelombang laut di hari yang akan datang maka segala aktivitas kehidupan yang terpengaruh dengan gelombang laut seperti pencarian sumber pangan hingga transportasi laut dapat dipersiapkan dengan lebih baik.
“Udara yang bergerak yaitu angin, ketika melewati permukaan yang halus akan mengganggu permukaan dan menjadikan permukaan tersebut bergelombang. Jika angin bertiup terus,
maka terbentuklah elemen gelombang” (Franklin dalam Supangat dan Susanna, 2003). Hubungan antara angin dan gelombang laut telah diteliti dan dipelajari oleh berbagai ilmuwan yang tersebar hampir di seluruh dunia. National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA), mengembangkan model
gelombang laut yang dibangkitkan oleh angin yang bernama Model Wavewatch III (WW3). Model WW3 melakukan prediksi gelombang laut dengan
menggunakan input atau data masukan berupa arah dan kecepatan angin hasil prediksi model cuaca (Tolman dkk., 2002).
Model WW3 merupakan model gelombang
laut yang sensitif terhadap input data medan
2
angin (Tolman dkk., 2002; Zhao dkk., 2003).
Zhao
dkk.
(2003)
melakukan
penelitian
sensitivitas model
WW3 pada data medan angin dengan mensimulasikan model WW3 dengan input data medan angin yang memiliki resolusi spasial yang berbeda. Hasil penelitian Zhao dkk. (2003) menunjukkan bahwa data medan angin dengan resolusi yang lebih tinggi dapat menghasilkan prediksi gelombang laut signifikan pada model WW3 dengan lebih baik.Penelitian untuk mengetahui performa model WW3 di wilayah perairan Indonesia yaitu wilayah Selat Sunda dengan menggunakan input data medan angin hasil prediksi model cuaca skala global Global
Forecast System (GFS) dengan resolusi yang relatif
rendah (0,5º x 0,5º) telah dilakukan oleh Isniarny (2012). Penelitian Isniarny menghasilkan prediksi gelombang laut signifikan (Hs) yang memiliki kesesuaian pola dengan data observasi satelit altimeter multimisi yang cukup baik, namun masih memiliki
error sistematis yang cukup besar (±1,2 meter).
Prediksi cuaca skala Indonesia dengan resolusi yang cukup tinggi (27km x 27km) yang bersifat eksperimental, saat ini telah dilakukan oleh Laboratorium Analisis Meteorologi ITB dengan menggunakan model Weather Research Forecasting (WRF) untuk menghasilkan prediksi cuaca selama 2 hari kedepan yang disebut WCPL Experiment. Penelitian tugas akhir ini dimaksudkan untuk melihat apakah penggunaan data medan angin resolusi tinggi hasil prediksi WCPL Experiment dapat meningkatkan performa model WW3 untuk prediksi gelombang laut signifikan di wilayah Indonesia.
2. Data dan Metode
Metode penelitian ini dibagi menjadi 4 langkah utama yaitu running model WRF, pengolahan data hasil prediksi model WRF, running model WW3, dan verifikasi hasil model. Data yang digunakan dijelaskan dalam poin-poin metode.
2.1. Running model WRF
WRF (Weather Research and Forecasting model) merupakan model cuaca skala meso yang memiliki dua fungsi utama, yaitu prediksi dan penelitian (Skamarock, 2008). WRF terbentuk dari hasil kerjasama lembaga national atmosfer dan kelautan Amerika serikat yaitu NOAA dan NCAR
(National Center for Atmospheric Research) serta
lebih dari 150 organisasi dan universitas yang berada di seluruh dunia.
Model WRF merupakan model cuaca skala meso yang sampai saat ini digunakan oleh Laboratorium Analisis Meteorologi ITB untuk melakukan prediksi cuaca skala Indonesia dengan resolusi yang cukup tinggi (27km×27km untuk wilayah seluruh Indonesia, dan 9km×9km untuk wilayah pulau Jawa) untuk dua hari kedepan yang bersifat eksperimental (WCPL
Experiment).
Pada tahap running model WRF data angin yang digunakan sebagai input atau data masukan di dalam model adalah data angin GFS bulan Oktober tahun 2012 beresolusi spasial 0.5°x0.5°, yang dapat didapatkan secara gratis pada website NOMADS (National Operational Model Archive And Distribution System). Model WRF menggunakan data input model cuaca global resolusi rendah GFS sebagai kondisi awal dan syarat batas untuk menghasilkan hasil model cuaca skala meso dengan resolusi yang lebih tinggi dengan melakukan proses downscaling.
Adapun konfigurasi model WRF yang dilakukan pada penelitian ini adalah konfigurasi WRF domain 1 pada WCPL Experiment yang dapat dilihat pada
website resmi Laboratorium Analisis Meteorologi ITB
yaitu weather.meteo.itb.ac.id. Pada penelitian tugas akhir ini data angin hasil prediksi model WRF pada WCPL Experiment akan dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan penggunaannya sebagai input model WW3 yaitu data angin prediksi model WRF hari I , hari II dan rata – rata hari 1 dan hari II yang nantinya akan disebut sebagai hari R didalam penelitian ini (Gambar 2.1).
a. b.
Gambar 2.1 a.) skema waktu hasil prediksi model atmosfer WRF hari I dan hari II, b.) skema waktu hasil prediksi model atmosfer WRF hari R.
2.2. Pengolahan data angin hasil prediksi model WRF
Data prediksi hasil model WRF yang akan digunakan didalam penelitian ini hanyalah data angin zonal (angin u) dan angin meridional (angin v) di ketinggian 10m, agar data prediksi hasil model WRF dapat digunakan sebagai input data model WW3 maka data hasil prediksi model WRF harus di interpolasi kedalam jumlah grid yang sesuai dengan model WW3. Setelah data hasil prediksi model telah diinterpolasi data hasil model akan ditulis kembali di dalam file.txt dengan format seperti Gambar 2.2.
3
2.3. Running model WW3
Model WW3 merupakan model gelombang 2D generasi ketiga yang dikembangkan oleh NOAA dan ditujukan untuk melakukan prediksi tinggi gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Data medan angin merupakan hal yang sangat penting untuk prediksi gelombang laut didalam model WW3 karena tanpa data medan angin yang baik, model gelombang terbaik pun tidak akan mampu memperkirakan gelombang laut dengan baik (Tolman dkk., 2002).
Data input medan angin yang digunakan untuk running model WW3 adalah data medan angin hasil prediksi model WRF dan data medan angin GFS yang telah di interpolasi dan ditulis ulang kembali dalam
file.txt dengan format yang disesuaikan. Untuk running model WW3 agar mendapatkan hasil prediksi
gelombang laut signifikan yang stabil maka akan dilakukan proses spin up terlebih dahulu, proses spin
up dilakukan dengan melakukan hindcast model
dengan data GFS yang telah disesuaikan selama 3 hari dengan interval 3 jam.
Running model WW3 pada penelitian ini
akan dilakukan dalam 4 kasus yang berbeda, hal
ini dilakukan agar dapat diketahui apakah tipe
input yang berbeda -beda dapat mempengaruhi
performa model WW3 untuk menghasilkan
prediksi gelombang signifikan (Hs).
Kasus I yaiturunning model prediksi gelombang laut WW3
menggunakan hasil model WRF setiap harinya dalam bulan Oktober tahun 2012 untuk menghasilkan prediksi gelombang laut 2 hari kedepan dengan interval 3 jam sebanyak 31 kali (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Skema Running model WW3 dengan Kasus 1.
Kasus II yaitu running model WW3 dengan menggunakan input data hasil penggabungan 10 hari hasil model WRF hari I dari hasil running model WRF selama dua hari kedepan yang telah dilakukan, untuk uji coba prediksi gelombang laut selama 10 hari dengan interval 3 jam (Gambar 2.4).
Gambar 2.4 Skema Running model WW3 dengan Kasus II.
Untuk Kasus III dan Kasus IV memiliki input yang menyerupai Kasus II. Namun untuk Kasus III data hasil model WRF yang akan digabungkan selama 10 hari untuk uji coba prediksi model WW3 selama 10 hari adalah data WRF hari 2, sedangkan untuk Kasus IV adalah data hari R (Gambar 2.5).
a.
b.
Gambar 2.5 Skema Running model WW3, a.) Kasus III, dan b.) Kasus IV.
Selain menggunakan data input medan angin, model WW3 juga menggunakan data input kedalaman laut (batimetri). Data batimetri yang digunakan pada saat running model WW3 didalam penelitian ini adalah data batimetri yang didapat dari NOAA yang memiliki data acuan etopo. Data etopo yang dijadikan acuan pada data batimetri oleh yang dimiliki oleh NOAA mempunyai dua tipe yang memiliki perbedaan pada resolusi spasialnya yaitu etopo1 (±1,8km), dan etopo2 (±4km).
Agar dapat digunakan sebagai input pada model WW3, data etopo diolah dengan software Automated
Grid Generation (Gridgen) yang bisa didapatkan
secara gratis bersamaan dengan software model WW3 v3.14 dari FTP (File Transfer Protocol) milik NOAA. Data batimetri yang akan digunakan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Data batimetri wilayah kajian hasil pengolahan data etopo1 dengan menggunakan software gridgen.
4
2.4. Verifikasi
Pada penelitian ini setelah hasil prediksi gelombang laut model WW3 didapatkan akan dilakukan verifikasi. Sebelum verifikasi hasil prediksi gelombang laut akan dilakukan verifikasi terhadap data medan angin hasil prediksi model cuaca skala meso WRF terlebih dahulu. Keakuratan hasil prediksi gelombang laut model WW3 sangat dipengaruhi oleh keakuratan medan angin pada wilayah kajian.
Verifikasi medan angin akan dilakukan secara spasial dengan menggunakan data observasi Blended
seawinds. Data blended seawinds merupakan data
observasi angin permukaan laut resolusi tinggi (0,25×0,25) hasil penggabungan pengamatan dari enam buah satelit milik NOAA (F10, F11, F13, TMI, QSCAT, dan AMSR – E
) oleh Zhang dk
k. (2006). Data blended seawinds dapat didapatkan secara gratis pada website National Climatic Data Center (NCDC) milik NOAA.Tujuan verifikasi angin adalah untuk melihat apakah medan angin yang diprediksi oleh model cuaca skala meso WRF sudah baik dan layak untuk digunakan sebagai input model WW3. Data angin hasil model WRF dan data angin observasi Blended
seawinds akan di rata – ratakan selama satu bulan
(Oktober 2012) untuk menghasilkan data medan angin komposit bulanan. Untuk melihat kelayakan dari medan angin hasil model WRF sebagai input model WW3, akan dihitung koefisien korelasi (r) dan Root
Mean Square Vector Error (RMSVE) antara hasil
model WRF dengan data observasi Blended seawinds. Verifikasi gelombang laut signifikan (Hs) pada model WW3 akan dilakukan menggunakan metode korelasi titik dan Root Mean Square Error dengan data observasi Hs satelit altimeter multimisi (Jason-2 dan Envisat).
Data Hs satelit altimeter multimisi
memiliki resolusi spasial 1º×1º
dan dapat didapatkan secara gratis pada website AVISO(Archiving, Validation and Interpretation of Satelite Oceanographic) yang dimiliki oleh badan antariksa
Prancis (CNES) dan badan antariksa Amerika (NASA).
Untuk melihat keakuratan prediksi Hs model WW3 di wilayah Indonesia, metode korelasi titik akan diterapkan pada dua wilayah verifikasi yaitu wilayah perairan Indonesia secara umum sebanyak 10 titik dan wilayah Selat Sunda sebanyak 9 titik verifikasi. Pemilihan titik verifikasi pada wilayah perairan Indonesia secara umum diletakan pada wilayah perairan yang berada di wilayah Indonesia yaitu wilayah Samudra Hindia, Laut Jawa, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Arafura, wilayah Bali Selatan, Laut Timor, wilayah Samudra Pasifik sedangkan pemilihan titik verifikasi pada wilayah perairan Selat Sunda ditentukan sesuai dengan pemilihan titik verifikasi oleh penelitian Isniarny (2012). Titik verifikasi untuk wilayah perairan Indonesia dan wilayah perairan Selat Sunda dapat dilihat pada Gambar 2.7.
a.
b.
Gambar 2.7 Titik verifikasi model WW3 dengan menggunakan data satelit altimeter multimisi (JASON-2 dan Envisat, a.) Wilayah perairan Indonesia, dan b.) Wilayah Selat Sunda.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Hasil prediksi medan angin model WRF
Setelah dilakukan verifikasi pada medan angin hasil model WRF dengan menggunakan data blended
seawinds, komposit medan angin pada permukaan laut
di wilayah Indonesia selama satu bulan pada bulan Oktober tahun 2012 hasil model WRF secara kualitatif memiliki pola kecepatan dan arah yang serupa dengan data angin blended seawinds. Hal ini menunjukan bahwa model WRF dengan konfigurasi WCPL
Experiment berhasil menciptakan medan angin pada
permukaan laut di wilayah Indonesia yang representatif dan layak saat digunakan sebagai input pada model WW3 (Gambar 3.1 dan 3.2).
Walaupun model WRF dapat dikatakan representatif, namun ketidakpastian model cuaca pada model WRF masih dapat terlihat. Hasil model WRF hari I secara kualitatif menghasilkan data komposit
5
medan angin bulanan yang lebih memiliki kecocokan dengan data blended seawinds jika dibandingkan dengan hasil model WRF hari II. Ketidakpastian model cuaca pada hasil model WRF dapat terjadi mungkin karena disebabkan oleh adanya perbedaan
Lead Time. Lead Time adalah beda waktu hasil
prediksi dengan waktu Inisialnya, keakuratan hasil prediksi akan berkurang seiring bertambahnya lead
time. Tetapi meskipun terlihat terdapat ketidakpastian
model cuaca pada hasil medan angin model WRF, secara keseluruhan pola medan angin pada permukaan laut di wilayah Indonesia hasil model WRF hari I dan hari II, tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan data blended seawinds.
Gambar 3.1 Komposit bulanan kecepatan angin bulan Oktober 2012 a.) Hasil model WRF hari I, b.) Hasil model WRF hari II, dan c.) Blended seawinds.
Gambar 3.2 Komposit bulanan vektor angin bulan Oktober 2012 a.) Hasil model WRF hari I (warna hitam) – Blended
seawinds (warna merah), b.) Hasil model WRF hari II
(warna hitam) – Blended seawinds (warna merah),
Untuk mendukung hasil verifikasi kualitatif dengan lebih baik dan didapatkan besar error secara eksak antara hasil model WRF dengan data Blended
seawinds maka dilakukan verifikasi kuantitatif. Hasil
verifikasi medan angin pada wilayah perairan Indonesia hasil model WRF secara kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 3.3
.
Gambar 3.3 Verifikasi kuantitatif medan angin hasil model WRF dengan data Blended seawinds di wilayah perairan Indonesia, a.) Koefisien korelasi, dan b.) Nilai RMSVE(m/s).
Berdasarkan hasil verifikasi secara kuantitatif medan angin di wilayah perairan Indonesia yang telah dilakukan, model WRF pada WCPL Experiment secara umum pada bulan Oktober 2012 menghasilkan data medan angin yang sangat baik untuk wilayah perairan Indonesia. Hasil model WRF memiliki kesesuaian medan angin dengan data Blended
seawinds (koefisien korelasi ± 0,97) dan RMSVE
yang relatif kecil (< 1m/s). Pada hasil verifikasi kuantitatif terlihat pengaruh ketidakpastian model cuaca pada hasil model WRF tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada hasil model WRF hari I dan hari II. Karena perbedaan pada hasil model WRF hari I dan hari II tidak terlalu signifikan maka hasil model WRF dapat dianggap valid untuk 2 hari kedepan.
3.2. Hasil prediksi gelombang laut signifikan (Hs) model WW3
Agar pengaruh penggunaan data medan angin resolusi tinggi hasil model WRF dalam peningkatan performa model WW3 untuk melakukan prediksi gelombang laut signifikan (Hs) untuk wilayah perairan Indonesia dapat diketahui, dilakukan verifikasi hasil model di wilayah Selat Sunda dengan menggunakan data observasi satelit altimeter multimisi dan titik verifikasi yang sesuai dengan penelitian performa model WW3 dengan menggunakan data medan angin GFS oleh Isniarny (2012) terlebih dahulu.Selanjutnya untuk melihat performa model WW3 pada wilayah perairan Indonesia secara umum akan dilakukan verifikasi pada 10 wilayah perairan yang berada pada wilayah perairan Indonesia secara umum.
a. Hasil Hs model WW3 KasusI
Pada running model WW3 – Kasus I, model WW3 akan dioperasikan untuk menghasilkan prediksi Hs untuk dua hari kedepan selama bulan Oktober
6
2012. Hasil prediksi Hs model WW3 – Kasus I akan dikelompokkan sesuai dengan lead time pada model WW3 yaitu WW3 – Kasus IA untuk hasil model WW3 – Kasus I hari I, dan WW3 – Kasus IB untuk hasil model WW3 – Kasus I hari II.
i. Hasil model WW3 Kasus I pada wilayah Selat Sunda.
Secara umum hasil Hs model WW3 – Kasus I pada wilayah Selat Sunda secara kualitatif menghasilkan prediksi yang memiliki kesesuaian pola dengan data satelit altimeter multimisi. Hasil prediksi Hs model WW3 memiliki akurasi yang baik untuk di wilayah perairan dalam dan terbuka seperti Samudera Hindia, namun cenderung underestimate pada wilayah perairan dangkal dan tertutup seperti Laut Jawa. (Gambar 3.4).
Pada Gambar 3.4, terlihat pada hasil verifikasi secara kualitatif, terdapat perbedaan pada hasil Hs model WW3 - Kasus IA dan model WW3 - Kasus IB. Hal ini sesuai dengan perkataan Tolman (2002) dan penelitian Zhao dkk. (2003) yang menunjukkan bahwa model WW3 merupakan model gelombang laut yang sensitif terhadap input data medan angin. Sehingga ketidakpastian model cuaca yang terdapat pada model WRF memberikan pengaruh pada hasil prediksi Hs model WW3 walaupun tidak memberikan perbedaan yang signifikan.
Gambar 3.4 Nilai Hs wilayah perairan Selat Sunda pukul 00:00:00 UTC tanggal 28 Oktober 2012, a.) Satelit altimeter multimisi, b.) Model WW3 - Kasus I, dan c.) model WW3 – Kasus II
Untuk memperkuat hasil analisis secara kualitatif, analisis secara kuantitatif dilakukan pada 9 titik verifikasi yang sesuai pada penelitian Isniarny (2012) dengan melihat nilai koefisien korelasi, error sistematis (RMSE) dan persebaran data hasil model WW3 dengan data observasi satelit altimeter multimisi pada wilayah perairan Selat Sunda. pada saat melihat persebaran data dengan menggunakan scatterplot, untuk melihat perbedaan performa model WW3 di wilayah perairan dalam dan terbuka dengan wilayah perairan dangkal dan tertutup pada wilayah Selat Sunda maka 9 titik verifikasi yang telah
ditentukan oleh Isniarny (2012) akan dijabarkan menjadi 3 titik verifikasi pada wilayah Laut jawa dan 6 titik verifikasi pada wilayah Samudra Hindia.
Pada Gambar 3.5 dan 3.6, dapat terlihat bahwa persebaran nilai Hs pada pukul 00:00:00 UTC selama bulan Oktober 2012 memperkuat hasil analisis secara kualitatif. Persebaran nilai Hs model WW3 dengan data satelit altimeter multimisi pada wilayah perairan dalam dan terbuka seperti Samudra Hindia, menunjukkan bahwa model WW3 sudah dapat menghasilkan prediksi Hs yang memiliki kesesuaian pola dengan data Hs observasi satelit altimeter multimisi. Namun untuk wilayah perairan dangkal dan tertutup seperti Laut Jawa, model WW3 cenderung
underestimate dan tidak memiliki kesesuaian pola
dengan data observasi satelit altimeter multimisi.
Gambar 3.5 Scatterplot hasil model WW3 dengan data satelit altimeter multimisi pada wilayah perairan Selat Sunda, pukul 00:00:00 UTC selama bulan Oktober 2012 pada 3 titik verifikasi di wilayah Laut Jawa, a.) Kasus IA, b.) Kasus IB, dan pada 6 titik verifikasi di wilayah Samudra Hindia, c.) Kasus IA, d.) Kasus IB.
Gambar 3.6 Verifikasi kuantitatif model WW3 dengan data satelit altimeter multimisi pada wilayah perairan Selat Sunda, pukul 00:00:00 UTC selama bulan Oktober 2012, a.) Koefisien korelasi dan b.) nilai RMSE (m/s).
7
Secara keseluruhan hasil prediksi Hs model WW3 pada wilayah Selat Sunda dengan menggunakan input hasil prediksi medan angin resolusi tinggi model WRF pada 9 titik verifikasi yang ditentukan oleh Isniarny (2012), menghasilkan prediksi yang memiliki kesesuaian pola yang cukup baik (±0,84) dan nilai error sistematis yang relatif rendah (±0,5) jika dibandingkan dengan data observasi satelit altimeter multimisi.
Berdasarkan hasil analisis secara kualitatif dan kuantitatif, penggunaan data medan angin resolusi tinggi hasil model WRF dianggap dapat meningkatkan performa model WW3 dalam memperkirakan Hs pada wilayah Indonesia. Untuk memperkuat pernyataan peningkatan performa model WW3 dengan penggunaan data medan angin resolusi tinggi hasil model WRF maka akan dilakukan perbandingan dengan hasil penelitian performa model WW3 oleh Isniarny (2012) untuk wilayah Selat Sunda pada domain 2 (Wilayah Indonesia) yang menggunakan data medan angin beresolusi yang relatif lebih rendah hasil model cuaca skala global GFS. Hasil penelitian Isniarny (2012) dapat dilihat pada Gambar 3.7.
.
Gambar 3.7 Scatterplot hasil model WW3 - GFS (Isniarny, 2012) dengan data satelit altimeter multimisi.
Nilai Hs model WW3 hasil penelitian Isniarny (2012) cenderung memiliki error sistematis yang cukup besar nilai Hs estimasi dapat mencapai tinggi ±5m, sedangkan nilai Hs data satelit altimeter hanya mencapai tinggi ±3m. Jika dibandingkan dengan hasil model WW3 yang menggunakan input medan angin hasil model WRF dengan resolusi tinggi, hasil prediksi Hs yang dihasilkan oleh model WW3 memiliki nilai absolut yang lebih realistis dan error sistematis yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan penelitian Zhao dkk. (2003) yang menunjukkan bahwa penggunaan data medan angin resolusi tinggi hasil model WRF dapat meningkatkan performa model WW3.
ii. Hasil model WW3 Kasus I pada wilayah perairan Indonesia.
Hs hasil model WW3 cenderung underestimate pada wilayah perairan dangkal dan tertutup di wilayah
Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh konfigurasi standar operasional NOAA pada model WW3 belum sesuai untuk diterapkan pada wilayah perairan dangkal dan tertutup di wilayah perairan Indonesia seperti wilayah Laut Jawa, Laut Arafura, Laut Sulawesi dan Laut Banda. Hasil perbandingan Hs model WW3 dengan data satelit altimeter multimisi dapat dilihat pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8 Nilai Hs wilayah perairan Indonesia pukul 00:00:00 UTC tanggal 28 Oktober 2012, a.) Satelit altimeter multimisi, b.) Model WW3 - Kasus IA, dan c.) Model WW3 – Kasus IB.
Verifikasi hasil Hs model WW3 secara kuantitatif pada Gambar 4.9 menunjukkan bahwa model WW3 sudah dapat menghasilkan prediksi Hs yang cukup baik untuk wilayah perairan Indonesia secara umum, namun dikarenakan adanya nilai
underestimate pada wilayah perairan dangkal dan
tertutup maka hasil Hs model WW3 memiliki kesesuaian pola yang kurang baik jika dibandingkan dengan data satelit altimeter multimisi.
Gambar 3.9 Verifikasi kuantitatif model WW3 dengan data satelit altimeter multimisi pada wilayah perairan Indonesia, pukul 00:00:00 UTC selama bulan Oktober 2012, a.) scatterplot model WW3 – Kasus IA, b.) scatterplot model WW3 –Kasus IB, c.) Koefisien korelasi dan d.) nilai RMSE.
8
Pada wilayah perairan dalam dan terbuka seperti wilayah Samudera Hindia pengaruh medan angin lebih luas dan dapat dikatakan sebagai faktor utama pada pembangkitan gelombang laut, sehingga penggunaan medan angin beresolusi tinggi pada model WW3 menghasilkan prediksi nilai Hs yang baik dan realistis. Sedangkan pada wilayah perairan dangkal dan tertutup seperti Laut Jawa, Laut Arafura, Laut Sulawesi, dan Laut Banda, pengaruh medan angin pada pembangkitan gelombang tidak terlalu luas sehingga tidak dapat dikatakan sebagai faktor utama pembangkitan gelombang laut, oleh karena itu konfigurasi standar model WW3 pada prediksi Hs operasional NOAA yang ditujukan untuk prediksi Hs skala global dirasa kurang sesuai untuk digunakan pada wilayah perairan dangkal dan tertutup di wilayah perairan Indonesia dan menghasilkan prediksi Hs yang cenderung underestimate.
b. Hasil model WW3 Kasus II, III, dan IV
Pada hasil verifikasi secara kualitatif pada wilayah perairan Indonesia (Gambar 3.10) dapat terlihat bahwa hasil model WW3 – Kasus IV memberikan hasil prediksi Hs yang lebih baik jika dibandingkan dengan model WW3 – Kasus II dan dan Kasus III.
Gambar 3.10 Nilai Hs wilayah perairan Indonesia pukul 00:00:00 UTC tanggal 5 Oktober 2012, a.) model WW3 – Kasus II, b.) satelit altimeter multimisi, c.) model WW3 – Kasus III dan d.) model WW3 – Kasus IV.
Verifikasi hasil prediksi Hs model WW3 – Kasus II, III dan IV secara kuantitatif (Gambar 3.11) dengan data satelit altimeter multimisi, menunjukkan bahwa perata – rataan data medan angin beresolusi tinggi hasil model WRF terlihat dapat meningkatkan performa model WW3 dan dapat mereduksi pengaruh ketidakpastian model cuaca pada hasil prediksi Hs model WW3.
Gambar 3.11 Verifikasi kuantitatif model WW3 dengan data satelit altimeter multimisi pada wilayah perairan Indonesia, pukul 00:00:00 UTC tanggal 1 - 10 Oktober 2012, a.) Koefisien korelasi, dan b.) nilai RMSE
Berdasarkan analisis kualitatif dan kuantitatif hasil model WW3 – Kasus II, III dan IV dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan data input yang berbeda - beda dapat mempengaruhi performa model WW3. Dalam penelitian tugas akhir ini perata – rataan medan angin beresolusi tinggi hasil model WRF hari I dan hari II (WW3 –Kasus IV) sebelum digunakan sebagai input pada model WW3 terbukti dapat meningkatkan akurasi dan mereduksi pengaruh ketidakpastian model cuaca WRF terhadap hasil prediksi Hs model WW3.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis secara kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan pada hasil prediksi Hs model WW3 pada wilayah perairan Indonesia dalam penelitian tugas akhir ini, didapat kesimpulan akhir bahwa medan angin beresolusi tinggi hasil model cuaca WRF pada WCPL Experiment menghasilkan medan angin yang baik dan representatif untuk wilayah perairan Indonesia dan terbukti meningkatkan performa model WW3 pada saat digunakan sebagai input dengan menghasilkan prediksi Hs yang memiliki koefisien korelasi yang lebih tinggi dan error sistematis yang lebih rendah serta nilai absolut yang lebih mendekati nilai observasi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Isniarny (2012).
Performa model WW3 selama bulan Oktober 2012 pada wilayah Perairan Indonesia secara umum dengan menggunakan data medan angin bersolusi tinggi hasil model WRF menghasilkan prediksi Hs yang cukup baik jika dibandingkan dengan data satelit altimeter multimisi. (Koefisien korelasi ±0,84 dengan RMSE ±0,5 untuk wilayah Selat Sunda, dan koefisien korelasi ±0,54 dengan RMSE ± 0,7 untuk wilayah perairan Indonesia secara umum).
Penggunaan metode ensemble pada hasil medan angin dapat meningkatkan performa model WW3 dan mereduksi pengaruh ketidakpastian model cuaca terhadap hasil prediksi Hs model WW3 .
9
REFERENSI
Data Access Service : Aviso Retrieved March (2013), from
AVISO:
http://www.aviso.oceanobs.com/en/data/data-access-services.html.
Isniarny, N. (2012). Pemanfaatan Angin dari Model GFS
untuk Prediksi Tinggi Gelombang (Wind – Waves) Menggunakan Model WAVEWATCH-III (Studi Kasus di Selat Sunda). Tugas Akhir S1. Program
Studi Meteorologi.
Kalnay, E. (2003). Atmospheric Modeling, Data Assimilation and Predictability.Cambridge UK:
Cambridge University Press.
Miller, R. N., (2010). Uncertainty in Models of Oceans and
Atmosphere. College of Oceanic and Atmospheric
Science. Oregon State University.
Supangat, A. dan Susanna, N., (2003). Pengantar
Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan
Sumberdaya Non-Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 102 – 113.
Tolman, H. L., Balasubramaniyan, B., Burroughs, L. D., Chalikov, D. V., Chao, Y. Y., Chen, H. S., et al. (2002). Development and Implementation of
Wind-Generated Ocean Surface Wave Models at NCEP.
NCEP Notes, Journal of Atmospheric and Oceanic Technology, Vol. 17 , 311-333.
WAVEWATCH III. (2013). Retrieved April (2013), from
http://www.meted.ucar.edu/oceans/wavewatch3/nav menu.htm.
Yu, T. W., dan Gerald, V. M. (2003). Evaluation of
NCEP Operational Model Forecast of Surface Wind and Pressure Field over the Oceans.
Washington: NCEP.
Zhang, H.-M., R.W. Reynolds, and J.J. Bates, (2006). Blended and Gridded High Resolution
Global Sea Surface Wind Speed and Climatology from Multiple Satellites: 1987 - Present. American
Meteorological Society 2006 Annual Meeting, Paper #P2.23, Atlanta, GA, January 29 – February 2, 2006. Zhang, H.-M., J.J. Bates, and R.W. Reynolds, (2006). Assessment of composite global sampling:
Sea surface wind speed. Geophysical Research
Letters, VOL. 33, L17714, doi:10.1029/2006GL027086.
Zhao, W., Chen, S. S., Blain, C. A., Tian, J., et al. (2003).
Effects of Winds, Tides, and Storm Surges on Ocean Surface Waves in the Japan/East Sea. Miami :
Miami University Press.
WMO. (1998). Guide to Wave Analysis and Forecasting. WMO User's guide . Geneva, Switszerland.