3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Belitung yang meliputi wilayah laut dan pesisir. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sijuk, Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Badau, dan Kecamatan Membalong. seperti tampak pada Gambar 2.
Gambar 2 Lokasi penelitian
Penelitian lapangan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2009, dan tahap kedua dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2010.
Keterangan: 1. Kec. Sijuk
2. Kec. Tanjung Pandan 3. Kec. Badau
4. Kec. Membalong
48
3.2 Tahap Penelitian Lapangan
Penelitian awal dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2009, dan mendapatkan informasi awal tentang keragaan perikanan yang difokuskan pada pengumpulan data jenis alat tangkap, armada, skala usaha, pemasaran, evaluasi fungsionalitas, dan aksesibilitas dari pelabuhan perikanan di Kabupaten Belitung. Penelitian tahap kedua dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2010, untuk melengkapi data sebagai input analisis micro-macro link (MML) dan kelembagaan yang penelitiannya lebih difokuskan pada persepsi stakeholders terkait di Kabupaten Belitung melalui wawancara yang difokuskan pada masalah perumusan kebijakan pengembangan perikanan di Kabupaten Belitung.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara, pengamatan langsung, dan survei ke instansi/lembaga terkait dan lokasi penelitian. Pengamatan langsung yang dilakukan meliputi kondisi fisik lokasi penelitian (meliputi lokasi dan fisik PP/PPI, fasilitas pokok, fasilitas fungsional, fasilitas penunjang, aksesibilitas menuju PP/PPI, jaringan telekomunikasi, air bersih dan listrik), pengamatan aktivitas kegiatan perikanan (meliputi kegiatan bongkar dan penanganan ikan hasil tangkapan nelayan, proses pelelangan, distribusi dan pemasaran, kegiatan kapal dan nelayan selama di PP/PPI, serta ketersediaan bahan bakar dan perbekalan lainnya selama pelayaran), serta pengamatan terhadap keberadaan dan aktivitas lembaga-lembaga perikanan di Kabupaten Belitung (meliputi keberadaan dan peran lembaga-lembaga perikanan di lokasi penelitian dan efektivitas lembaga tersebut dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah serta penegakan hukumnya).
Wawancara dilakukan kepada perwakilan stakeholders terkait yang meliputi nelayan, pedagang/eksportir, konsumen, pengusaha industri pengolahan ikan, dinas perikanan, BAPPEDA, Pemda, Pengelola KUD, Tokoh Masyarakat dan LSM. Sedangkan wawancara pada sumber lain meliputi wawancara pada kelompok-kelompok tertentu untuk menghasilkan rumusan kebijakan pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung yang tepat untuk
49 direkomendasikan. Jumlah responden dari setiap kelompok stakeholders tersebut ditetapkan 5 – 10 % dari populasinya.
Tabel 2 Mapping Research
No Jenis Data Analisis Informasi
1 Data seri produksi ikan tangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung
Analisis sumberdaya ikan
Potensi dan stok sumberdaya ikan
2 Data seri produksi ikan tangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung
Analisis Kelayakan Usaha (NPV, B/C ratio, IRR, ROI, dan
PP)
Jenis usaha perikanan tangkap yang layak dan dapat dijadikan
unggulan 3 Data potensi wilayah
(ketenagakerjaan) Analisis Kewilayahan (LQ, K, dan Delta N) Mengetahui wilayah basis pengembangan usaha perikanan unggulan 4 Kebijakan mikro dan
makro perikanan tangkap tingkat nasional, Provinsi Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung
Micro Macro Link Approach
Mengetahui korelasi dan sinergi antara kebijakan perikanan tangkap di tingkat nasional dan daerah.
Data sekunder yang berupa data-data statistik urut waktu (time series) atas landing (produksi), harga per unit output (harga ikan per Kg per tahun), indeks harga konsumen, PDRB Kabupaten Belitung dan data penunjang lainnya.
3.4 Analisis Deskriptif
Analisis ini digunakan untuk mengkaji potensi dan memberikan gambaran mengenai kondisi perikanan berdasarkan keragaman data yang tersedia di Kabupaten Belitung. Pendekatan ini tidak dirancang untuk memprediksi dan mencari solusi optimal mengenai pengelolaan perikanan sebagaimana dapat dilakukan pada model bioekonomi, karena sifatnya yang statik dan cenderung bersifat agregat, pendekatan ini harus digunakan secara hati-hati karena secara implisit mengasumsikan beberapa penyederhanaan seperti kompleksitas interaksi antar komponen dalam perikanan serta asumsi mengenai penyederhanaan variasi di antara berbagai komponen yang dianalisis seperti variasi lokasi.(Fauzi, 2010) Selain itu analisis deskriptif juga digunakan untuk mempelajari program serta
50
karakteristik dan keragaman kelembagaan yang ada pada nelayan. Berdasarkan hasil pengumpulan tersebut, dilakukan interpretasi dan generalisasi keadaan masyarakat nelayan di Kabupaten Belitung secara sosial, ekonomi dan lingkungan.
Analisis ini juga difokuskan pada beberapa aspek (Sevilla, et al, 1993), yaitu kelembagaan, modal, pasar, lingkungan serta kondisi sosial masyarakat yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Belitung. Aspek modal merupakan aspek yang memiliki peranan sangat penting bagi nelayan dalam melakukan aktivitas usaha di kawasan pesisir, terutama bidang kelautan dan perikanan. Peranan aspek pasar berpengaruh untuk menjual hasil penangkapan dan usaha perikanan lainnya. Kajian aspek lingkungan bertujuan untuk mengkaji seberapa besar potensi sumberdaya dan lingkungan yang dimiliki Kabupaten Belitung, sehingga nantinya didapatkan kondisi potensi Kabupaten Belitung.
3.5 Analisis Sumber Daya Ikan
Analisis sumberdaya ikan ini digunakan untuk mengetahui kapasitas sumberdaya ikan (stock) yang ada di Kabupaten Belitung. Terlebih dahulu harus ditentukan nilai produksi maksimal lestari (Maximum Sustainable Yield=MSY) dengan menggunakan model Schaefer (Pauly, 1983), yaitu dengan memplotkan hasil tangkapan persatuan upaya yang telah distandarisasi (elf) dalam satuan kg/trip; dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi (f) dalam satuan trip, kemudian dihitung dengan model regresi linier, sehingga diperoleh nilai konstanta regresi (b) dan intercept (a). nilai konstanta regresi dan intercept ini akan digunakan dalam menentukan beberapa persamaan, yaitu:
1) Hubungan antara HTSU (Hasil Tangkapan Setiap Unit) dengan upaya penangkapan standar (l): HTSU = a – bf atau HTSU = c/f. 2) Hubungan antara hasil tangkapan (c) dan upaya penangkapan: c =
af – bf
3) Upaya penangkapan optimum (fopt) diperoleh dengan cara menyatakan turunan pertama hasil tangkapan dari upaya penangkapan sama dengan nol; c = af – bf, c’ = a – 2bf = 0 fopt =
51 4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubstitusi nilai upaya penangkapan optimum ke dalam persamaan (2) di atas : cmax = a(a/2b) – b(a2/4b2)
Dengan demikian, maka tingkat pemanfaatan dapat dirumuskan:
Ci
Tingkat pemanfaatan = x 100% MSY
Analisis Bioekonomi digunakan untuk mengetahui hubungan antara Biologi ikan dengan Ekonomi ikan. Berdasarkan pada Prinsip Ekonomi bahwa penangkapan ikan dilakukan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mengingat sumber daya ikan di laut itu terbatas (walaupun secara pengertian perikanan itu adalah sumber daya yang dapat diperbaharui), namun perlu diingat bahwa dalam teori MSY (Maximum Sustainable Yield) ikan yang dapat ditangkap adalah 80%. Sisanya yang 20% untuk keberlanjutan dari perikanan itu sendiri. Oleh karenanya perlu suatu analisis pemanfaatan ekonomi ikan yang tidak mengganggu keseimbangan ekologi dan sumberdaya ikan itu untuk masa yang akan datang.
3.6 Analisis Kesesuaian Usaha Perikanan Tangkap
Analisis kesesuaian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis usaha perikanan tangkap yang sesuai dan dapat dijadikan unggulan dalam pembangunan perikanan di Kabupaten Belitung. Analisis kesesuaian ini akan menentukan usaha perikanan tangkap mana saja yang digunakan selama ini oleh nelayan di Kabupaten Belitung yang dapat memberikan keuntungan layak secara finansial dan mana saja yang tidak. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan semua penerimaan dari kegiatan investasi tersebut dengan semua pengeluaran yang harus dikeluarkan selama proses investasi. Untuk dapat diperbandingkan satu sama lain, maka penerimaan dan pengeluaran tersebut dinyatakan dalam bentuk uang dan harus dihitung selama periode operasi yang sama (Garrod dan Willis, 1999).
Dimana:
Ci = Jumlah hasil tangkapan
52
Parameter yang digunakan dalam analisis kesesuaian usaha ini didasarkan pada analisis pendapatan (benefit) dan pembiayaan (cost) yang dialami usaha perikanan tangkap selama tahun operasi di perairan Kabupaten Belitung. Adapun parameter tersebut adalah Net Present Value (NPV), Net Benefit – Cost Ratio (B/C ratio), Internal Rate of Return (IRR), Return of Investment (ROI) dan Payback Period (PP) (Hanley dan Spash, 1993).
1) Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) digunakan untuk menilai manfaat investasi usaha perikanan tangkap yang merupakan jumlah nilai kini dari pendapatan bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Bila NPV > 0 berarti investasi menguntungkan atau usaha perikanan tangkap tersebut layak, sehingga menjadi pertimbangan positif untuk pengembangannya. Apabila NPV < 0 berarti investasi tidak menguntungkan atau usaha perikanan tangkap tersebut tidak layak dikembangkan lebih lanjut. Pada keadaan nilai NPV = 0 maka berarti investasi usaha perikanan tangkap tersebut hanya mengembalikan manfaat yang persis sama dengan tingkat pembiayaan yang dikeluarkan. Net Present Value (NPV) dinyatakan dengan rumus : NPV =
∑
= + n 1 t t i) (1 Ct) -(Bt Dimana : B = pendapatan (benefit) C = pembiayaan (cost) i = discount rate t = tahun operasi2) Benefit-Cost Ratio (B/C ratio)
Benefit-Cost Ratio (B/C ratio) merupakan perbandingan dimana present value sebagai pembilang terdiri atas total dari pendapatan bersih investasi usaha perikanan tangkap yang bersifat positif, sedangkan sebagai penyebut terdiri atas present value total yang bernilai negatif atau pada keadaan pembiayaan kotor lebih besar daripada pendapatan kotor investasi usaha perikanan tangkap. Nilai B/C ratio akan terhitung bila terdapat paling sedikit satu nilai Bt – Ct yang bernilai positif. Bila B/C ratio > 1, maka kondisi ini menunjukkan investasi usaha
53 perikanan tangkap menguntungkan (NPV > 0). Terkait dengan ini, maka bila B/C ratio > 1 berarti investasi usaha perikanan tangkap layak sehingga menjadi pertimbangan positif untuk pengembangannya. Sedangkan bila B/C ratio < 1 berarti investasi usaha perikanan tangkap tersebut tidak layak dikembangkan lanjut. Benefit-Cost Ratio (B/C ratio) dinyatakan dengan rumus :
B/C ratio =
∑
∑
= = < + > = n 1 t t n 0 t t 0 Ct) -(Bt i) (1 Bt) -(Ct 0 Ct) -(Bt i) (1 Ct) -(Bt Dimana : B = pendapatan (benefit) C = pembiayaan (cost) i = discount rate t = tahun operasiBt = pendapatan (benefit) pada tahun operasi tertentu Ct = pembiayaan (cost) pada tahun operasi tertentu
3) Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) merupakan nilai suku bunga maksimal yang menyebabkan NPV = 0. Oleh karena itu IRR menjadi batas untung rugi dan juga dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih usaha perikanan tangkap. Usaha perikanan tangkap dinyatakan “layak” bila IRR > dari interest rate (suku bunga) yang berlaku. Bila IRR sama dengan interest rate yang berlaku maka NPV usaha perikanan tangkap tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari interest rate yang berlaku maka nilai NPV lebih kecil dari 0, berarti usaha perikanan tangkap tersebut tidak layak dikembangkan lebih lanjut. Internal Rate of Return (IRR) dinyatakan dengan rumus :
IRR = i1 (i -i ) NPV -NPV NPV 1 2 2 1 1 + Dimana : i1 i
= interest rate yang menghasilkan NPV positif
2
NPV
= interest rate yang menghasilkan NPV negatif
54
NPV2 = NPV pada discount rate i2
4) Return of Investment (ROI)
Return of Investment (ROI) digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian investasi dari pendapatan yang diterima pemilik. Oleh karena itu, ROI merupakan parameter finansial yang paling dalam menyeleksi tingkat pengembalian investasi dari suatu usaha perikanan tangkap. Usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung dapat dikatakan layak dikembangkan bila mempunyai NPV > 0, B/C ratio > 1, IRR lebih besar dari interest rate (suku bunga) yang berlaku, dan ROI > 1. Interest rate (i) bank yang digunakan dalam analisis ini mengacu kepada Bank Indonesia (2009) yaitu 6.25 %. Return of Investment (ROI) dinyatakan dengan rumus :
I B ROI = Dimana :
B = pendapatan (benefit)
I = investasi usaha perikanan tangkap
5) Payback Period (PP)
Payback Period (PP) digunakan untuk mengukur lamanya pengembalian investasi dari pendapatan yang diterima pemilik. Bila nilai Payback Period (PP) semakin kecil, berarti pengembalian investasi semakin cepat. Sedangkan bila nilai Payback Period (PP) semakin besar, berarti pengembalian investasi semakin lama. Payback Period (PP) dinyatakan dengan rumus :
Benefit Investasi PP=
Keterangan :
B = pendapatan (benefit)
55 3.7 Analisis Location Quotient (LQ)
Location Quotient merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktivitas total terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Location Quotient (LQ) dinyatakan dengan rumus :
∑
∑
= i i ij ij ir E E e e LQ dimana : ije = output (tenaga kerja) sektor i (perikanan) di daerah (kecamatan) j
∑
e = total output (tenaga kerja) sektor perikanan di daerah ij(kecamatan) j
i
E = output (tenaga kerja) sektor i (perikanan) di Kabupaten/Kota
∑
Ei = total output (tenaga kerja) sektor perikanan di Kabupaten/KotaUntuk dapat menginterpretasikan hasil analisis LQ, terdapat suatu kesepakatan sebagai berikut :
Jika nilai LQi
Jika nilai LQ
> 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktivitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktivitas di sub wilayah ke-i.
i
Jika nilai LQ
= 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara dengan pangsa total.
i
Pada analisis ekonomi basis, sering dijumpai permasalahan time lag yang tidak berlangsung secara tepat, karena perbedaan respon dari sektor basis terhadap < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.
56
permintaan luar wilayah dan respon dari sektor non basis terhadap perubahan sektor basis. Untuk mengatasi hal ini, maka dilakukan analisis pengganda basis (K). Perhitungan nilai pengganda basis (sering juga disebut pengganda tenaga kerja) dinyatakan dengan rumus :
K =
dimana :
K = pengganda basis (pengganda tenaga kerja) N = total tenaga kerja
NB = tenaga kerja sektor basis
Untuk mengontrol nilai pengganda basis (pengganda tenaga kerja) tersebut, maka perlu dilakukan analisis pertumbuhan tenaga kerja di dalam wilayah. Analisis pertumbuhan tenaga kerja ini dinyatakan dengan rumus :
∆N = ∆NB x K Dimana :
∆N = pertumbuhan tenaga kerja di dalam wilayah ∆NB = pertumbuhan tenaga kerja di sektor basis K = pengganda basis (pengganda tenaga kerja)
3.8 Analisis Micro-Macro Link (MML)
Menurut Fauzi (2006), Analisis Micro-Macro Link ini digunakan untuk memudahkan penyusunan konsep kebijakan strategis untuk trade-off ekonomi pembangunan perikanan tangkap terpadu di Kabupaten Belitung dan mengetahui sinergi/korelasinya dengan arah pengembangan ekonomi kawasan dan kebijakan pembangunan nasional. Salah satu kendala yang dihadapi dalam sektor perikanan adalah belum tersedianya informasi yang tepat dan akurat mengenai keterkaitan antara mikro dan makro sektor ini dalam perekonomian lokal, regional maupun nasional. Keterkaitan mikro makro ini sangat penting dalam perencanaan pembangunan perikanan ke depan karena dengan diketahuinya keterkaitan
N NB
57 makro tersebut, perencanaan ke depan akan lebih terarah dan tepat mengenai sasaran serta tersedianya informasi yang tepat dan relevan menyangkut kinerja sektor perikanan dan kelautan.
Berdasarkan alasan di atas, adalah sangat penting untuk melakukan assessment menyangkut keterkaitan micro-macro link yang berisi informasi mengenai pola interaksi komponen ekonomi kegiatan yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan di Kabupaten Belitung pada khususnya.
Micro Macro Link (MML) perikanan dan kelautan merupakan assessment yang secara umum menyediakan informasi mengenai pola interaksi dan saling membutuhkan komponen ekonomi kegiatan yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan di Kabupaten Belitung pada khususnya. Secara khusus informasi ini menyangkut keterkaitan antara kegiatan makro pembangunan dan mikro pembangunan lokal sektor perikanan Kabupaten Belitung.
Gambar 3 Latar belakang studi Micro-Macro Link
Untuk merujuk keterkaitan micro-macro link dengan pembangunan sektor perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, perlu juga dilihat dari sudut teori
Sektor Perikanan
Kontributor Pembangunan Ekonomi skala
lokal/reg/nas
Sumber penyerap surplus Tenaga kerja skala
Lokal/reg/nas
Sumber penerimaan Negara dan pendapatan
skala lokal/reg/nas
Sumber penyedia pangan Bagi penduduk wilayah
pesisir
Informasi keterkaitan mikro makro sektor Skala lokal/reg/nas
Infromasi yang tepat dan relevan kinerja sector perikanan dan kelautan
Skala lokal/reg/nas
Perencanaan ke depan yang lebih terarah dan tepat mengenai sasaran
58
perubahan struktural. Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata, namun lebih dari itu, memiliki perspektif yang luas, termasuk dimensi sosial dalam proses pembangunan dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan dengan mengubah struktur perekonomian kearah yang lebih baik (Kuncoro, 1997). Dalam Teori Perubahan Struktural, pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang seperti Indonesia, semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian kemudian berubah menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1991). Pada pembahasan teori perubahan struktural ini, akan disinggung secara garisbesar teori pembangunan yang dikemukakan oleh Arthur Lewis dengan konsep teori migrasi.
Mengawali teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya akan terbagi menjadi dua yaitu: 1) Perekonomian Tradisional dan 2) Perekonomian Industri.
Dalam perekonomian tradisional, bahwa di daerah perdesaan, dengan kondisi yang tradisonal, ketersediaan tenaga kerja boleh dikatakan melimpah karena erat kaitannya dengan basis utama perekonomian yang berada di perdesaan dengan tingkat hidup masyarakat yang berada dalam lingkungan marginal, sehingga keberadaan tenaga kerja tidaklah berpengaruh terhadap hasil pertanian yang didapatkan. Dengan demikian, nilai upah riil ditentukan oleh nilai rata-rata produk marginal, dan bukan oleh produk marginal dari tenaga kerja itu sendiri. Sedangkan dalam perekonomian industri, yang rata-rata terletak di perkotaan, dimana sektor yang berpengaruh adalah sektor industri. Ciri dari perekonomian ini ditandai dengan tingkat produktivitas yang tinggi dari input yang digunakan, dalam hal ini termasuk tenaga kerja. Hal ini menyiratkan bahwa nilai produk marginal terutama tenaga kerja, bernilai positif. Dengan demikian, perekonomian perkotaan akan merupakan daerah tujuan bagi para pekerja yang berasal dari perdesaan, karena nilai nilai produk marginal dari tenaga kerja yang positif menunjukkan bahwa fungsi produksi belum berada pada tingkat optimal yang dapat dicapai.
59 Dalam Performance ekonomi perikanan dan kelautan secara konvensional, yang kalau dikaitkan dengan teori perubahan struktural terlihat bahwa persoalan tenaga kerja yang bergerak di bidang perikanan tangkap mempunyai beberapa fariabel yang biasanya akan tercermin dari beberapa data dasar yang umum diketahui. Performance tersebut, yang seringkali menjadi bahan pertanyaan umum untuk merencanakan kembali berbagai kebijakan dalam siklus evaluasi kebijakan adalah menyangkut berbagai hal dalam sektor tersebut seperti Product Domestic Regional Bruto (PDRB), produksi Rumah Tangga Perikanan (RTP), armada perikanan, nilai produksi, pendapatan nelayan, konsumsi, perdagangan (trade), maupun potensi yang ada.
Dari data-data menyangkut potensi tersebut yang biasanya ditampilkan dalam bentuk tabel data statistik dalam angka pada buku saku atau lainnya. Seringkali angka-angka tersebut tidak dapat berbicara apa-apa jika kita ingin merunut permasalahan yang berkaitan dengan rendahnya kinerja perikanan dan kelautan karena data tersebut tidak menggambarkan keterkaitan antar satu komponen dengan lainnya, artinya setiap data berdiri sendiri. Ada beberapa data kinerja yang hilang pada konvensional tersebut menyangkut hal-hal seperti:
- Bagaimana performance usaha perikanan menyangkut faktor produksi, profit, productivity, pengembangan wilayah basis, dan lainnya?
- Bagaimana usaha perikanan tangkap mempengaruhi atau dipengaruhi baik secara mikro maupun makro dalam link pembangunan perikanan terpadu? - Bagaimana pengaruh/dampak dan signifikasi pengaruh trade
(perdagangan) terhadap komponen lainnya dalam pembangunan perikanan tangkap?
- Bagaimana pengaruh/dampak dan signifikasi pengaruh kondisi moneter dan fiskal dan kebijakan nasional terkait sektor perikanan terhadap komponen lainnya dalam pembangunan perikanan tangkap?
- Bagaimana pengaruh/dampak dan signifikasi pengaruh kondisi ekonomi regional Bangka Belitung terhadap komponen lainnya dalam pembangunan perikanan tangkap?
Hal-hal seperti inilah yang kelak akan terjawab dengan menggunakan analisis Micro Macro Link (MML), yang sebenarnya juga diperoleh dari data
60
dasar konvensional yang ada, beserta kondisi realistik di lapangan. MML merupakan data performance endogenous yang diperoleh dari analisis performance konvensional plus data lainnya yang terkait termasuk data primer yang diperoleh dari pengamatan di lapangan.
Seperti tampak pada Gambar 4, Analisis mikro-makro link merupakan studi yang menggabungkan berbagai data dan kebijakan yang menyangkut faktor pembangunan mikro dan makro dari sektor perikanan. Faktor mikro akan menyangkut market output yang akan memberikan nilai profit dan productivity dari sektor usaha perikanan. Usaha perikanan juga merupakan performance yang dihasilkan dari market input yang terdiri dari faktor produksi dan faktor tenaga kerja.
Di sisi lain pada variabel makro, yang terdiri dari kebijakan nasional, ekonomi regional dan juga trade (perdagangan) yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu dengan lainnya. National macro policy yang terdiri dari kebijakan fiskal dan moneter akan memberikan pengaruhnya masing-masing, dimana kebijakan fiskal akan berdampak terhadap market output, market input pada skala mikro, yang akhirnya akan mempengaruhi usaha perikanan itu sendiri. Kebijakan fiskal juga akan mempengaruhi trade pada skala makro. Sementara itu kebijakan moneter secara tidak langsung akan mempengaruhi usaha perikanan melalui dampak terhadap ekonomi regional dan kondisi stok. Hal ini secara teori dapat dijelaskan, salah satu contohnya adalah hubungan antara suku bunga dan kondisi stok sumber daya misalnya.
Menurut Fauzi (2010) dalam hal pengelolaan perikanan, terutama yang menyangkut dengan ekonomi perikanan, dibutuhkan regulasi kebijakan perikanan, sehingga dalam pemanfaatan sumber daya ikan tidak terjadi konflik dan dapat dimanfaatkan secara lebih adil. Dengan melihat hasil penelitian empiris tentang teori ekonomi perikanan yang dilakukan oleh Acheson (1975), Townsend (1985) Agnello dan Donneley (1975) menunjukkan bahwa pengaturan akses terhadap sumber daya akan terbukti menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih tinggi serta peningkatan produktivitas per tenaga kerja dan produktivitas per unit input.
National Macro Policy Ekonomi Regional Resource Base Service Base Trade Fiskal Moneter GDP Regional Market Output Profitability Faktor Produksi Productivity Market Input Faktor Tenaga Kerja Usaha Perikanan MAKRO MIKRO Policy Link
61 Keterangan: : Memiliki pengaruh secara langsung
: Memiliki pengaruh tidak langsung
Gambar 4 Logic framework Micro-Macro Link
Ekonomi regional merupakan kinerja dari resource based activity dan juga service based activity yang akan memberikan kontribusi terhadap nilai Gross Domestic Product (GDP) regional yang berawal dari kebijakan nasional. Secara makro, keterkaitan dengan Trade, Fiskal dan moneter dalam menentukan kebijakan akan berdampak secara lokal dalam kaitannya dengan garis kebijakan. Secara mikro, usaha perikanan erat sekali hubungannya dengan ketersediaan sumber bahan baku perikanan dan produk yang bisa dijual hasil dari penangkapan ikan. Saling pengaruh mempengaruhi atas ketersediaan tenaga kerja dan tingkat produktivitas untuk menghasilkan tangkapan, menjadikan masalah ini perlu dianalisis secara lebih terintegral dengan mempergunakan analisis MML sebagai bahan perencanaan untuk dapat menghasilkan bentuk policy link yang dapat dijadikan andalan untuk menjelaskan berbagai permasalahan yang ada dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Belitung.
62
Analisis MML ini dikembangkan dengan menggunakan metode LISREL (Linear Structural Relationship) yaitu salah satu software statistik yang digunakan untuk mengolah data dengan menggunakan structural equation modelling (SEM). Menurut Mueller (1996) dan Ghozali (2006), metode structural equation modelling (SEM) merupakan analisis multivariat yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis tingkat dan sifat pengaruh interaksi (link) antar komponen pada suatu sistem nyata dengan menggunakan data lapang yang bersifat multivariabel dan multihubungan. Untuk meningkatkan keakuratan hasil analisis, metode SEM juga mempunyai alat uji yang dikenal dengan kriteria goodness-of-fit yang dapat digunakan secara terintegrasi.
SEM dapat digunakan untuk menganalisis tingkat peran komponen yang berinteraksi dalam sistem, menetapkan komponen yang berpengaruh signifikan dan tidak signifikan, memberikan arahan pemilihan variabel yang menjadi perhatian dalam pengembangan operasi di suatu kawasan. Dalam penelitian ini, analisis SEM digunakan untuk menganalisis berbagai pengaruh dan sifat pengaruh dalam interaksi (link) antar komponen yang mendukung pembangunan perikanan tangkap terpadu seperti diilustrasikan oleh Fauzi (2006) dalam logic framework MML yang terdapat pada Gambar 4. Pada logic framework MML dapat dilihat hubungan antara kondisi mikro di tingkat local dan kondisi makro di tingkat regional yang saling mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama dalam hubungan dengan kebijakan nasional. Tingkat pengaruh tersebut ditunjukkan oleh koefisien pengaruh yang dihasilkan model dan dinyatakan fit (sesuai) menurut kriteria goodness-of-fit baik yang bersifat langsung (direct effect), tidak langsung (indirect effect), maupun yang merupakan pengaruh total (total effect). Sifat pengaruh dapat signifikan atau tidak signifikan ditunjukkan oleh nilai probabilitas (P) setiap pengaruh dalam interaksi antar komponen.
Mulai
Kajian Pustaka
63 Gambar 5 Diagram alir tahapan penelitian