• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Petani Lahan Pantai Kulon Progo, Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Petani Lahan Pantai Kulon Progo, Yogyakarta"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

STRATEGI PERLAWANAN PETANI LAHAN PANTAI

KULON PROGO, YOGYAKARTA

SITI CHAAKIMAH

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Petani Lahan Pantai Kulon Progo, Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

SITI CHAAKIMAH. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Petani Lahan Pantai Kulon Progo, Yogyakarta. Dibimbing oleh MELANI ABDULKADIR-SUNITO

Masalah agraria yang berlarut akan memicu perlawanan petani. Bentuk strategi perlawanan dipengaruhi dan berubah akibat beragam faktor. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi masalah agraria yang menyebabkan petani lahan pantai Kulon Progo melakukan perlawanan; (2) mengidentifikasi bentuk dan perubahanstrategi perlawanan; dan (3) menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi strategi perlawanan. Hasil penelitian menunjukan bahwa masalah agraria pemicu perlawanan adalah ancaman kehilangan akses atas- dan pendapatan dari lahan pantai. Dari bentuk strategi perlawanan terbuka dan tertutup yang dipilih petani, strategi perlawanan terbuka berbeda antar periode (....) sedangkan strategi perlawanan tertutup selalu ada sepanjang periode. Setiap periode pada strategi perlawanan terbuka dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pada periode pertama adalah kesadaran kolektif dan keterlibatan pihak luar; periode kedua, kesadaran kolektif II dan keterlibatan pihak luar II; periode ketiga, keterlibatan pihak luar II dan kesempatan politik

Kata kunci : masalah agraria, strategi perlawanan petani, faktor yang mempengaruhi strategi

ABSTRACT

SITI CHAAKIMAH. Factors affecting strategy of resistance among sand-dune farmers in Kulon Progo, Yogyakarta. Supervised by MELANI ABDULKADIR-SUNITO

Peasant resistance emerges as agrarian problems escalates. Its strategies are influenced by, and change due to a variety of factor. The objectives of this study are (1) to identify agrarian problems that cause coastal farmers of Kulon Progo to take up resistance; (2) to identify strategies employed by the farmers; and (3) to analyse factors that influence resistance strategy. This study shows that the threat of conversion that would result in loosing access to land and high income, is the agrarian problem that cause farmers land to take up resistance. From the form of opened and closed strategies, open strategies differ between periods (....) while the closed strategy has always existed throughout the period covered. Each period in open resistance strategy is influenced by several factors. Factors in the first period is a collective consciousness and external involvement; second period, the collective consciousness II and external involvement II; the third period, the second external involvement and political opportunity.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRATEGI

PERLAWANAN PETANI LAHAN PANTAI

KULON PROGO, YOGYAKARTA

SITI CHAAKIMAH

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Petani Lahan Pantai Kulon Progo, Yogyakarta

Nama : Siti Chaakimah NIM : I34100043

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

(9)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, karena dengan ridho-Nya lah, skripsi yang berjudul ’Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Petani Lahan Pantai Kulon Progo, Yogyakarta’ dapat diselesaikan. Skripsi ini ditujukan sebagai syarat untuk lulus dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Allah SWT karena telah mengizinkan penulis menyelesaikan skripsi ini melalui segala sentilan, semangat, dan berbagai nasehat yang diberikan oleh teman, kerabat, keluarga, dan saudara-saudara. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Melani Abdulkadir-Sunito atas bimbingannya yang luar biasa, yang selalu memberikan pencerahan disetiap diskusi yang singkat-singkat tapi melekat. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayah Dudi Sabarudin dan Ibu Nia Nurhayati tercinta dan juga adik-adik tersayang Ima, Al, Fawzan, Adnan atas doa dan semangat-semangatnya yang selalu terulur dan terasa di dalam dada. Terima kasih juga untuk teman-teman KPM 47; teman sebimbingan, Dinasti, teman seperjuangan, Fika dan Idah, teman cerita - cerita MbaCit, dan semua teman KPM 47 lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Tidak lupa, penulis berterima kasih kepada kakak angkatan di manajemen hutan atas penularan semangatnya melalui diskusi-diskusi dan sentilan-sentilan yang menyengat. Terima kasih juga untuk Chandra Irawan Alfianto yang mengingatkan penulis untuk tidak berleha-leha dengan memberikan semangat melalui alasan khas ‟legalitas‟ nya. Juga kepada Ahmad Taqiyuddin Ibnu Syihab yang gerak-geriknya menjadi inspirasi penulis dalam menyusun skripsi. Serta yang tak kalah pentingnya, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Mas Wid, Mas Badut, Mas Ojud, Mas Feri, Mas Jana, dan segenap anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo karena melalui mereka lah, pandangan penulis menjadi terbuka, melalui mereka lah pemikiran penulis menjadi terbolak-balik menganga, melalui mereka lah penulis memahami bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja. Last but not least, saya sampaikan terima kasih juga kepada Mas Eko, karena mungkin tanpa saran darinya, saya tidak akan pernah sampai di dunia Kulon Progo yang luar biasa ini.

Terakhir, semoga apa yang penulis susun dalam skripsi ini tidak hanya berguna sebagai syarat kelulusan saja, tetapi juga dapat berguna bagi masyarakat luas, menjadi pelajaran dan pengetahuan bagi semua orang, juga dapat berguna sebagai perpanjangan nafas perjuangan Petani Lahan Pantai Kulon Progo.

Amin.

Bogor, Agustus 2014

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PRAKATA v

DAFTAR ISI i

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 2

Tujuan Penelitian 2

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Masalah dan Gerakan Agraria di Indonesia 5

Strategi Perlawanan Petani 8

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan 10

Kerangka Pemikiran 12

13

Hipotesis Pengarah 13

Definisi Operasional 13

Pendekatan Lapangan 16

Kondisi Geografis 21

Kondisi Sosial Ekonomi 22

Karakteristik Responden 24

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERLAWANAN PETANI LAHAN

PANTAI KULON PROGO 29

Kehidupan Pesisir Hingga Tahun 2000 29

Kehidupan Pesisir Setelah Tahun 2000 30

Analisis Penyebab Petani Melakukan Perlawanan 40

STRATEGI PERLAWANAN PETANI LAHAN PANTAI KULON PROGO 43

Strategi Perlawanan Terbuka 43

(12)

Analisis Perbandingan Strategi Perlawanan Petani Lahan Pantai Kulon Progo 46

Ikhtisar 48

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRATEGI PERLAWANAN PETANI

LAHAN PANTAI KULON PROGO 49

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Periode I 49 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Periode II 50 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Periode III 51 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Tertutup Petani Lahan Pantai

Kulon Progo 51

Analisis Perbandingan Strategi dan Faktor pada Ketiga Periode 52

Ikhtisar 53

SIMPULAN DAN SARAN 55

Simpulan 55

Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 60

(13)

DAFTAR TABEL

1 Jadwal kegiatan pelaksanaan penelitian tahun 2014 17 2 Kebutuhan data dan metode pengumpulan data dalam penelitian 18 3 Presentase responden menurut kelompok umur 24 4 Presentase responden menurut tingkat pendidikan 25 5 Jumlah responden menurut tingkat pendidikan dan kelompok

umur 25

6 Presentase kepemilikan lahan responden di wilayah pesisir Kulon

Progo tahun 2014 25

7 Presentase penguasaan lahan menurut responden di wilayah

pesisir Kulon Progo tahun 2014 26

8 Presentase penggunaan lahan responden di wilayah pesisir Kulon

Progo tahun 2014 27

9 Presentase pengetahuan responden terhadap aksi dalam strategi perlawanan tertutup sepanjang tahun 2006 – 2014 45 10 Perbandingan aksi perlawanan dan faktor pada ketiga periode 52

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian mengenai faktor yang

mempengaruhi strategi perlawanan petani 13

2 Kebun cabai di Bugel (kiri), Pleret (tengah), dan Garongan

(kanan) 22

3 Grafik perbandingan jumlah penduduk di Garongan, Pleret, dan

Bugel Tahun 2010 23

4 Timeline aksi perlawanan PPLP periode I 43

5 Timeline aksi perlawanan PPLP periode II 44

6 Timeline aksi perlawanan PPLP periode III 45

7 Grafik frekuensi kegiatan bersama PPLP berdasarkan tahun. 46

8 Timeline strategi perlawanan 2006 - 2007 49

9 Timeline strategi perlawanan 2007 - 2008 49

10 Timeline strategi perlawanan 2008 - 2011 50

11 Timeline strategi perlawanan 2012 - 2014 51

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 60

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konflik agraria merupakan suatu situasi proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan objek yang sama (dalam hal ini tanah, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah1) demi kepentingan masing-masing (Wiradi 2009a). Konflik agraria terjadi karena adanya pertentangan klaim yang berkepanjangan atas akses mengenai satu bidang tanah, wilayah, dan sumber daya alam antara rakyat pedesaan, dengan pemegang konsesi agraria yang bergerak dalam bidang usaha produksi, ekstraksi, dan konservasi, dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut bertindak secara langsung maupun tidak, berusaha menghilangkan klaim pihak lain.

Konflik agraria ini merupakan isu yang berlanjut di Indonesia. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat dari 2004 hingga 2012 terjadi 618 konflik dan dari tahun ke tahun jumlah ini cenderung meningkat (Berdikari 2012).

Mengacu pada data HuMa (2012) antara 2006-2012, konflik tersebar di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi di Indonesia (Saturi 2013). Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau setara dengan separuh Sumatera Barat. Konflik terbesar terjadi di perkebunan (119 kasus) dan kehutanan (72 kasus). Dalam catatan KPA tahun 2011 korban konflik agraria melibatkan 69.975 keluarga, sedang tahun 2012 mencapai 141.915 keluarga. Pada tahun 2013 konflik agraria meningkat sebanyak 171 kasus Bila dirata-ratakan konflik agraria terjadi setiap hari disepanjang tahun 2013 (KPA 2014).

Pada masa Orde Baru, konflik ini mengakibatkan masyarakat petani berhadapan dengan kekuatan pemilik modal, birokrat, dan kroni-kroni kekuasaan yang saling berkolaborasi (Sujiwo 2010). Kondisi ini memicu aksi protes masyarakat. Aksi-aksi protes masyarakat merupakan akibat dari: (1) pengambilan tanah untuk pembangunan; (2) pengambilan lahan oleh perusahaan dan perkebunan besar; (3) pengambilan lahan untuk eksploitasi hutan; (4) konflik tanah antara pemukim dan penggarap dengan kebijakan wilayah konservasi; (5) perebutan antara penggarap dengan proyek-proyek rekreasi dan wisata (Fauzi, 1995). Salah satu konflik yang memicu aksi protes masyarakat adalah konflik yang terjadi antara petani lahan pantai Kulon Progo dengan perusahaan tambang pasir besi yang telah berlangsung sejak tahun 2006.

Sejak tahun 1980, pesisir pantai Kabupaten Kulon Progo merupakan lahan pertanian bagi petani lahan pantai. Pada tahun 2006 beredar kabar bahwa di lahan petani tersebut akan dijadikan tambang pasir besi oleh PT. JMI yang didukung penuh oleh pemerintah setempat. Konflik tidak bisa dielakkan. Para petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) melakukan berbagai perlawanan. Mulai dari turun ke jalan, sampai ke jalur hukum. Mereka berjuang sendiri, mengorganisasikan diri, mempertahankan lahan yang selama ini memberikan kehidupan bagi mereka.

1

(16)

2

Masalah Penelitian

Aksi-aksi protes yang dilakukan masyarakat dalam menanggapi konflik agraria ini merupakan wujud dari perlawanan masyarakat terhadap masalah agraria yang mengganggu hajat hidup mereka. Namun ternyata terdapat perbedaan strategi perlawanan yang dilakukan oleh petani pada masa Orde Baru dan masa Reformasi (pasca Orde Baru) (Sujiwo 2010). Selama masa Orde Baru perlawanan petani mengalami pasang surut semangat perlawanan. Pada masa Orde Baru gerakan dan pengorganisasian tani di Indonesia selalu mengambil jarak dengan kekuasaan, bahkan memposisikan rezim dan aparatusnya sebagai musuh yang harus dilawan bersama. Kontrol rezim menganggap setiap bentuk pengorganisasian di akar rumput sebagai sesuatu yang terlarang Ketika Orde Baru jatuh, aksi-aksi petani menjadi masif. Fenomena yang sangat menonjol adalah reklaiming petani terhadap tanah yang dikuasai oleh swasta baik untuk kegiatan perkebunan, pertambangan, dan lainnya. Pada masa Reformasi, ada perbedaan strategi perlawanan petani. Di Pati perlawanan bersifat konfrontasi dan kedua belah pihak sulit bernegosiasi. Di Ujungkulon terjadi kolaborasi dimana kedua belah pihak mau duduk bersama untuk bernegosiasi. Di Kulon Progo – Jogjakarta, perlawanan petani lahan pantai yang menentang penambangan pasir besi juga khas Strategi yang dipilih mengalami perubahan seiring dengan perkembangan konflik agraria yang terjadi. Adanya perubahan strategi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat beragam faktor yang mempengaruhi. Untuk menjelaskan apa saja faktor yang memicu atau mempengaruhi perubahan strategi perlawanan petani, pertama-tama perlu penjelasan mengenai latar belakang masalah agraria di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pertanyaan pertama dari penelitian ini adalah: apa masalah agraria di wilayah petani lahan pantai Kulon Progo sehingga terjadi perlawanan?

Dari uraian jawaban pertanyaan di atas akan terlihat bagaimana aksi-reaksi yang dilakukan oleh petani dalam menanggapi permasalahan agraria yang ada. Hal ini dirincikan melalui pertanyaan: apa saja bentuk dan konteks strategi perlawanan yang dilakukan oleh petani lahan pantai Kulon Progo?

Strategi perlawanan petani diduga beragam bentuk dan berubah karena masalah agraria dan perlawanan petani lahan pantai Kulon Progo sudah berjalan delapan tahun. Perkembangan masalah agraria mempengaruhi, dan merubah strategi petani dalam melawan. Perubahan strategi perlawanan disebabkan perubahan situasi atau faktor-faktor yang mendasari kemunculan dari suatu strategi . Oleh karena itu pertanyaan selanjutnya adalah: Apa sajakah faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi strategi perlawanan petani lahan pantai Kulon Progo?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulisan proposal penelitian ini bertujuan untuk :

(17)

3 2. Mengidentifikasi strategi perlawanan petani lahan pantai Kulon Progo. 3. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi strategi perlawanan yang

dilakukan oleh petani lahan pantai Kulon Progo.

Kegunaan Penelitian

(18)
(19)

5

PENDEKATAN TEORITIS

TINJAUAN PUSTAKA

Masalah dan Gerakan Agraria di Indonesia

Masalah agraria merupakan masalah penting di Indonesia. Di satu sisi, aset nasional tanah dan petani menentukan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Di sisi lain masalah agrarian dapat menjadi penyebab terjadinya perlawanan petani. Agraria menurut Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 diartikan sebagai kekayaan nasional yang terdapat di seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam undang-undang ini juga diatur bagaimana hubungan manusia dengan agraria, seperti hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak memungut hasil hutan, ketentuan peralihan, serta sanksi-sanksi terhadap pelanggaran aturan hubungan tersebut.

Wiradi (2009a) menjelaskan, hubungan agraris secara garis besar mencakup berbagai jenis hubungan sebagai berikut: (1) hubungan antara tanah dengan lingkungan; (2) hubungan antara manusia dengan tanah; (3) hubungan antara manusia dengan tanaman; (4) hubungan antara manusia dengan hewan; dan (5) hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam studi agraria, hubungan yang disebut terakhir inilah yang dianggap paling penting karena menyangkut hubungan sosial secara keseluruhan. Hubungan manusia dengan yang lain (tanah, tanaman, hewan) hanya akan mempunyai makna sepanjang hubungan itu berupa hubungan aktivitas, karena melalui hubungan aktivitas inilah timbul implikasi terhadap hubungan dengan manusia lain. Berkaitan dengan hubungan antar manusia, salah satu ciri pokok masyarakat agraris adalah adanya hubungan antara mereka yang mencurahkan tenaga kerjanya secara langsung dalam berproduksi (petani pemilik, petani penyakap, buruh tani) dengan mereka yang tidak berproduksi langsung, akan tetapi memiliki kekuasaan untuk mengklaim sebagian dari hasil produksi tersebut, secara langsung maupun tidak langsung (Tjondronegoro 2007). Klaim itu didasarkan atas penguasaan mereka atas berbagai jenis sarana produksi, terutama tanah.

Secara garis besar agraria merujuk pada beragam hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria (tanah, air) serta hubungan antar manusia di dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Hubungan ini terjadi antara subjek agraria dan objek agraria. Hubungan antara objek dan subjek tersebut kemudian mewujud sebagai struktur agraria, yaitu tata hubungan yang terjadi antar objek dan subjek agraria. Hakikat struktur agraria adalah menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran, atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Dalam struktur inilah masalah agraria didefinisikan.

(20)

6

hukum sebagai kebijakan yang meliputi kenyataan agraris yang ada, baik di masa lalu, masa kini, dan dampaknya bagi masa depan. Pada tataran ini masalah agraria adalah produk dari relasi dan interelasi antara masyarakat, negara, dan lingkungan dengan menempatkan tanah sebagai inti persoalan. Masalah agraria tidak hanya sekedar masalah pertanian, petani, desa, atau kebijakan pemerintah, melainkan totalitas dari manifestasi kekuasaan atas sarana kehidupan yang melekat pada sistem dan struktur agraria dan relasi-relasinya yang melibatkan secara langsung elemen-elemen kemanusiaan di dalamnya (Purwanto dalam Wiradi 2009b).

Manakala permasalahan merugikan salah satu pihak dalam struktur hubungan agraria, ia dapat menimbulkan konflik. Ada lima bentuk. Pertama, pengklaiman lahan warga oleh perusahaan perkebunan atau pemerintah (Fauzi 2008), seperti kasus di Garut (Jawa Barat) dan Jawa Tengah. Berdasarkan sejarah, kawasan dimana warga berbudidaya saat ini, dulunya merupakan kawasan hutan (Herawaty 2013). Kemudian warga membuka hutan tersebut untuk dijadikan ladang. Ketika perusahaan perkebunan Belanda masuk, lahan warga diambil secara paksa dan warga menjadi buruh di tanahnya sendiri. Ketika zaman kolonial berakhir, perkebunan menjadi terlantar dan warga kembali menanam. Namun kemudian, pihak perkebunan dan perhutani mengklaim lahan menjadi miliknya.Kedua, penyerobotan lahan masyarakat adat. Ada tiga kasus yang berbeda, yaitu penyerobotan lahan untuk dijadikan perkebunan (Pandiangan 2006), penyerobotan lahan untuk dijadikan taman nasional (Cahyono 2012), dan penyerobotan lahan untuk dijadikan kawasan industri semen (Aprianto 2013). Penyerobotan lahan adat untuk dijadikan perkebunan ditemukan di Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada Petani Sugapa. Petani Sugapa ini telah turun temurun berbudidaya di lahan tersebut, bahkan terdapat aturan adat yang mengatur lahan diantara mereka. Sebagian lahan secara terselubung diperjual-belikan oleh aparat desa ke perusahaan perkebunan, hal mana memicu berbagai upaya Petani Sugapa untuk mendapatkan lahan mereka kembali. Penyerobotan lahan untuk dijadikan taman nasional terjadi di Kulawi, Sulawesi Tengah. Masyarakat adat sudah turun-temurun mendiami wilayah tersebut. Seperti kebanyakan adat lainnya, mereka pun mempunyai aturan mengenai hak-hak pengaturan lahan diantara mereka. Sejak munculnya Taman Nasional Lore Lindu, kehidupan mereka menjadi terganggu, Atas nama peraturan adat yang berlaku masyarakat adat Kulawi melakukan perlawanan. Penyerobotan lahan untuk dijadikan kawasan industri semen terjadi di Pati, Jawa Tengah. Berbeda dengan kasus lainnya, perjuangan yang dilakukan masyarakat Sedulur Sikep bukan didasarkan pada lahan Sedulur Sikep yang diambil, tetapi karena Sedulur Sikep menganggap bahwa jika lahan yang terdapat di Pegunungan Kendeng dikonversi menjadi kawasan industri, maka kerusakan ekologis akan terjadi. Sedulur Sikep melakukan perlawanan karena menganggap apa yang dilakukan oleh perusahaan semen akan mengakibatkan kerugian kepada alam.

(21)

7 pemilik PT. Tratak turun tangan untuk menyelesaikan persoalan dengan mencoba meyakinkan pemerintah dengan berbagai cara bahwa PT. Tratak akan beroperasi kembali.

Keempat adalah adanya perbedaan akses dan kesempatan pada penyewaan lahan perkebunan tidak produktif (Efendi dan Kinseng 2011). Kasus ini terjadi di Cisarua (Sukabumi, Jawa Barat). Perkebunan teh yang telah mengalami kerugian menyewakan lahannya kepada para petani agar lahan yang ada tidak menjadi terlantar. Namun tidak semua petani dapat menyewa di lahan tersebut. Hanya petani yang mempunyai kedekatan dengan perusahaan serta memiliki modal lebih yang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan izin sewa lahan dari perkebunan tersebut. Hal ini menimbulkan rasa iri dan tidak adil dalam diri petani yang tidak mempunyai modal lebih serta kedekatan dengan perkebunan. Akibatnya mereka pun melakukan perlawanan secara sembunyi-sembunyi dengan menggarap lahan tanpa izin.

Kelima adalah adanya penggusuran lahan warga oleh negara/pemerintah (Hartoyo 2010) atas alasan pembangunan. Permasalahan ini ditemukan pada dua kasus, yaitu kasus dimana dinamika gerakan petani dibahas secara umum dan luas (tidak spesifik per kasus). Seperti yang ditemukan pada penelitian dinamika gerakan Petani Lampung dan dinamika gerakan petani pasca Orde Baru.

Permasalahan berkembang menjadi konflik karena munculnya perlawanan yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik agraria sangat beragam. Masing-masing dari pihak yang berkonflik secara langsung, petani dan perusahaan/ pemerintah, didukung dari berbagai kalangan (Sujiwo 2010). Dari sepuluh kasus hasil analisa-sintesa penulis2 dukungan pada petani yang menjadi korban ketidakadilan beragam. Pada tujuh dari sepuluh kasus petani didukung mahasiswa yang menjadi aktivis melakukan pendampingan penyadaran kritis, memfasilitasi pembentukan organisasi tani, ataupun yang berperan sebagai akademisi dan menjadikan petani tersebut sebagai bahan kajian gerakan petani. Pada lima dari sepuluh kasus, petani didukung LSM. Sebagaimana mahasiswa aktivis, mereka melakukan pendampingan petani, memfasilitasi pembentukan organisasi, pendidikan penyadaran kritis dan kegiatan lainnya yang bertujuan menguatkan posisi dan membangkitkan kesadaran petani. Di kasus lain, perjuangan petani juga didukung oleh LBH, pengacara, serikat atau organisasi lain, masyarakat yang senasib meskipun diluar komunitas (ini terjadi pada kasus Sedulur Sikep dan salah satu perkebunan di Jawa Tengah). Baik LSM, LBH, pengacara, maupun serikat atau organisasi lain membantu masyarakat karena jejaring luas yang dimilikinya. Misalnya perjuangan petani di Batang, tidak saja hanya melawan PT. Tratak, mereka juga bekerja sama dengan forum korban kekerasan untuk menambah dukungan mereka dalam melawan PT. Selain itu, akibat dukungan dari berbagai pihak terutama mereka yang berkecimpung di dunia hukum, membantu petani dalam mengadvokasikan masalah ke pemerintah. Delapan dari sepuluh kasus, advokasi terlaksana karena adanya pendampingan. Dua kasus lain, yaitu kasus yang melibatkan masyarakat adat tanpa dilakukannya pendampingan, mereka telah melakukan advokasi dengan caranya sendiri. Meski pada akhirnya proses advokasi baru berhasil ketika mereka didampingi oleh pihak yang lebih mengerti.

2

(22)

8

Dalam memperjuangkan hak atas tanah, hanya ditemukan dua kasus dari sepuluh kasus yang mendapat dukungan pemerintah. Yaitu melalui dikabulkannya permohonan petani atas lahannya yang diberikan oleh Mahkamah Agung dan BPN. Dalam satu kasus lain, ditemukan bantuan dari Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan mendukung perjuangan petani dengan cara melakukan kerjasama dengan mereka dalam mengusahakan konservasi di tanah perkebunan terlantar.

Pihak yang menjadi lawan sembilan dari sepuluh kasus didukung oleh pemerintah. Baik itu gubernur, kementrian, bupati, perangkat kecamatan, sampai perangkat desa. Bentuk dukungan kebanyakan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung lebih membela perusahaan dibanding masyarakat. Dalam kasus Taman Nasional Ujung Kulon disebutkan bahwa pemerintah lebih memilih investasi demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi dibanding memikirkan kesejahteraan masyarakat yang tergusur akibat adanya Taman Nasional Ujung Kulon. Berbagai perangkat keamanan, seperti kepolisian, pam swakarsa, polisi hutan, militer, lebih berpihak pada mereka yang bermodal lebih, entah itu pemerintah, maupun perusahaan. Pihak keamanan ini bertanggungjawab atas berbagai kekerasan yang terjadi pada petani. Selain itu, ditemukan juga satu kasus perusahaan menyewa organisasi anarkis untuk melakukan penindasan pada petani. Dukungan lain diberikan oleh pihak pengadilan (tinggi maupun negeri) dan juga BPN. Seringkali putusan yang diputuskan BPN dan pengadilan tidak masuk akal3. Ketidakmasukakalan ini disadari oleh petani, namun ketika petani melakukan protes, petani justru diberikan hukuman. Dalam beberapa kasus, warga yang paling dekat dengan petani yang melakukan perlawanan justru berdiri dibelakang perusahaan. Mereka mendukung perusahaan karena mereka merasa dirugikan dengan adanya perlawanan, seperti pamor mereka menjadi turun, tidak lagi didengar sebagai tokoh masyarakat. Atau dalam kasus Cisarua, warga memiliki kedekatan yang lebih dengan pihak perkebunan, akibatnya mereka lebih mendukung perkebunan dibanding petani lainnya.

Selain kedua pihak di atas yang mendukung proses perlawanan, terdapat pihak lain yang keberadaannya tidak memihak pihak satu maupun pihak dua. Mereka melakukan diplomasi bolak-balik, baik itu pada petani maupun perusahaan/ pemerintah yang sedang bersengketa. Mereka diwakili oleh pansus penyelesaian sengketan tanah, lembaga riset, aktivis lingkungan, serta aktivis hukum. Mereka berperan untuk memfasilitasi agar perlawanan dapat diredakan menjadi bentuk kolaborasi, yaitu kerjasama menguntungkan diantara pihak bersengketa. Lembaga riset bertugas untuk meneliti apa-apa saja yang mungkin bisa dijadikan bahan untuk berkolaborasi. Lembaga lainnya seperti aktivis lingkungan dan hukum berperan sebagai pemberian pendidikan mengenai pentingnya negosiasi, pelatihan negosiasi serta pelatihan pemetaan partisipatif.

Strategi Perlawanan Petani

Tidak setiap permasalahan agraria yang dihadapi oleh petani memunculkan perlawanan. Wolf (1969) mengatakan bahwa petani pada dasarnya

3

(23)

9 tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perlawanan kecuali ada krisis yang sangat menekan dan ada pihak luar yang mendorong. Krisis yang menekan, semisal, dideskripsikan oleh Scott (1981) berupa depresi tahun 1930-an ketika produksi beras per kepala merosot terus sejak beberapa lama, syarat-syarat sewa tanah semakin berat, beban hutang petani-pemilik kecil dan petani-penyewa semakin bertambah, serta pajak-pajak dirasakan sangat berat oleh kaum tani dalam tahun-tahun yang buruk.

Perlawanan tersebut pada dasarnya dilakukan untuk mengembalikan tatanan agraria kembali seperti semula. Scott (1981) mengatakan bahwa pemberontakan petani adalah respon untuk mengembalikan tatanan moral yang diporak-porandakan oleh penetrasi kapitalisme. Kaum tani berusaha memulihkan atau merombak dunia mereka dengan kekerasan. Scott (1981) melihat petani sebagai masyarakat tradisional yang memiliki perilaku ekonomis khas yaitu berorientasi subsistensi. Manakala tingkat subsistensi petani terganggu, petani akan melakukan usaha-usaha agar kondisi subsistensi kembali seperti semula.. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melihat keberhasilan dan kegagalan gerakan perlawanan petani adalah kondisi-kondisi yang mendorong timbulnya pergerakan, faktor kepemimpinan, dan strategi yang digunakan.

Strategi perlawanan petani merupakan aksi yang dipilih petani agar tatanan agraria kembali seperti semula. Cahyono (2012) mengatakan strategi perlawanan petani di kawasan hutan konservasi terbagi atas tiga, yaitu: strategi perlawanan tertutup/diam-diam, strategi perlawanan terbuka/ konfrontatif, dan strategi perlawanan kolaboratif/negosiatif.

Strategi perlawanan tertutup adalah aksi perlawanan yang dilakukan perorangan, atau jika secara berkelompok hanya bersifat sementara. Strategi perlawanan tertutup ini seperti apa yang dikatakan Scott (1981); perlawanan 'Gaya Asia' adalah perlawanan sehari-hari yang dilakukan oleh petani miskin yang lemah organisasi, bersifat nonformal melalui kordinasi asal sama tahu saja, dengan bentuk perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, mencuri, memperlambat kerja, berpura-pura sakit, bodoh, mengumpat, dan sejenisnya. Aksi tertutup lainnya seperti mengabaikan peraturan yang ada, melakukan gosip miring atau memberi julukan pada pihak lawan, mematikan atau mencabut tanaman perkebunan, mencabut tapal batas, berbohong, serta menanam tanaman secara diam-diam di kawasan perkebunan terlantar. Scott dalam Santoso (2004) mengatakan bahwa perlawanan dengan strategi tersebut merupakan senjatanya orang-orang kalah, atau bisa dikatakan sebagai aksi-aksi orisinal yang menjadi milik orang-orang terpinggirkan, mereka-mereka yang tidak pernah bisa menikmati kemewahan ruang publik, akibat proses dominasi yang sedemikian kuat oleh kalangan suprastruktur.

(24)

10

pengaduan kepada pihak terkait, melakukan okupasi atau reklaiming lahan, penghadangan dalam pengukuran lahan, hingga pembakaran. Perlawanan juga

ditempuh dengan strategi yang lebih ‟halus‟, seperti melakukan advokasi, baik

berupa lobi, negosiasi, maupun audiensi dengan pihak terkait. Dalam beberapa kasus strategi perlawanan bersifat persuasif, yaitu mencoba mengajak pihak lain, terutama masyarakat luas, dengan melakukan kerjasama dan kampanye ke LSM dan akademisi, juga melakukan pawai lingkungan hidup. Bentuk persuasif ini bermaksud untuk mempengaruhi opini masyarakat agar mendukung perjuangan mereka.

Strategi perlawanan kolaboratif merupakan aksi perlawanan yang dilakukan dengan cara bekerjasama dengan pihak lawan. Perlawanan kolaboratif ini mirip dengan gerakan konsensus yang dikatakan oleh Hartoyo (2010). Dalam gerakan konsensus, para petani secara kolektif berupaya menyelesaikan persoalan pertanahan sesuai prosedur yang berlaku (institutional consensus) dan berhubungan dengan para pemegang otoritas setempat (pendekatan kepada institusi pemerintah). Dalam perlawanan ini kepercayaan petani terhadap penguasaan tanah tidak bersifat magis, tetapi lebih didasarkan pada bukti-bukti tertentu (fisik dan non fisik). Strategi perlawanan kolaborasi diwujudkan dengan melakukan mengajukan penyusunan konsep zonasi, melakukan pelatihan pemetaan partisipatif, pembentukan tim negosiator, serta memperluas dukungan dari multi pihak (Cahyono 2012). Strategi negosiasi dalam bentuk kolaborasi berbeda dengan negosiasi dalam bentuk terbuka. Dalam bentuk kolaborasi negosiasi dilakukan untuk mencapai win-win solution. Untuk mewujudkan hal ini tak jarang mereka pun ikut andil dalam ranah politik formal (Sujiwo 2010).

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan

Strategi perlawanan yang dilakukan dapat berubah sejalan dengan waktu. Hal ini tergantung pada perkembangan masalah agraria yang dihadapi oleh petani . . Sujiwo (2010) menyebut, sejumlah faktor memberi sumbangan terhadap terjadinya perubahan strategi dan dinamika gerakan petani pada masa Orde Baru. Menurut Hartoyo (2010) perkembangan gerakan petani dapat ditelusuri dengan cara memperhatikan faktor internal dan eksternal dari gerakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari strategi perlawanan tersebut diantaranya:

Faktor Internal

1. Munculnya kesadaran kolektif; dapat diartikan sebagai adanya organisasi yang mewadahi, adanya penderitaan yang berlarut-larut, serta desakan ekonomi yang dirasakan bersama (Amin 2010, Cahyono 2012, Fauzi 2008, Dahniar 2005)

2. Adanya ideologi yang dimiliki masyarakat ; dapat diartikan sebagai nilai-nilai khas yang dimiliki masyarakat (Dahniar 2005, Aprianto 2013)

3. Adanya rasa takut terhadap militer (Cahyono 2012)

(25)

11 Faktor Eksternal

5. Adanya keterlibatan pihak luar; seperti pendampingan LSM atau akademisi dan lainnya, serta adanya dukungan elit pemerintahan (Cahyono 2012, Hartoyo 2010, Setiawan 2012, Sujiwo 2010)

6. Adanya kesempatan politik; dapat diwujudkan dengan melemahnya peran negara, perubahan formasi politik, terbukanya ruang politik, serta tersedianya informasi kebijakan (Amin 2010, Fauzi 2008, Setiawan 2012, Sujiwo 2010)

7. Adanya tindakan represif dari lawan (Amin 2010, Cahyono 2012)

Kesadaran kolektif menjadi awal bagaimana perlawanan dapat muncul. Hal ini disebabkan desakan ekonomi dan penderitaan berlarut yang dirasakan bersama. Kesadaran kolektif dapat memicu dibentuknya organisasi sebagai wadah perlawanan. Dengan perjalanan waktu, kesadaran kolektif dapat dibangun ulang ketika petani mengevaluasi dan merubah strategi perlawanan. Hal ini terjadi di Taman Nasional Ujung Kulon (Cahyono 2012). Kesadaran kolektif pertama muncul ketika warga sadar perlunya melakukan perlawanan terbuka secara konfrontatif. Namun kemudian, warga mengevaluasi bahwa perlawanan menggunakan kekerasan tidak berhasil dan secara bersama memutuskan untuk merubah strategi perlawanan menjadi lebih kooperatif dengan pihak Taman Nasional Ujung Kulon.

Dimilikinya ideologi atau nilai-nilai khas oleh masyarakat tertentu berpengaruh pada pemilihan strategi perlawanan yang dilakukan oleh petani. Perubahan ini disesuaikan dengan kondisi dan dengan ajaran yang mereka punya. Seperti yang terjadi pada kasus Sedulur Sikep (Aprianto 2013), mereka melawan perusahaan semen karena kehadirannya dianggap mengganggu keseimbangan alam. Jika dalam kasus perlawanan lain masyarakat membentuk serikat/ organisasi karena difasilitasi LSM, sedulur sikep justru mengundang LSM untuk melakukan kampanye bersama. Selain itu, mereka pun membuat serikat sendiri, tidak hanya internal masyarakat adat, tetapi juga masyarakat di luar adat yang memiliki kesamaan visi dan penderitaan akibat kehadiran pabrik semen.

Adanya rasa takut menghadapi militer dapat menjadi penahan dilakukannya perlawanan (Cahyono 2012). Dengan kondisi tersebut strategi perlawanan yang dipilih masyarakat lebih bersifat tertutup (sembunyi-sembunyi), tidak frontal. Adanya kepercayaan pada pembuat kebijakan merupakan situasi dimana petani mulai mau menyelesaikan konflik dengan jalan damai. Petani mulai percaya bahwa permasalah dapat diselesaikan secara adil.

(26)

12

Adanya kesempatan politik menjadi faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan strategi perlawanan petani. Melemahnya peran negara sesudah kejatuhan rejim Orde Baru menandakan terbukanya ruang politik menjadi faktor utama petani melakukan perlawanan secara frontal seperti aksi-aksi reklaiming. Perubahan formasi politik yang terjadi menjadikan banyak dari gerakan mulai memperhatikan strategi yang lebih halus dengan memasuki dunia politik formal. Mereka bukan saja berusaha untuk mempengaruhi pembuat kebijakan tetapi juga mencoba memasukkan konsep alternatif mengenai politik dan kebijakan agraria. Adanya informasi kebijakan yang terjadi pada kasus Serikat Petani Pasundan (Setiawan 2012) merubah strategi perlawanan konfrontasi menjadi kolaborasi

Adanya tindakan represif dari lawan merupakan faktor yang merubah strategi perlawanan yang pada awalnya sembunyi-sembunyi menjadi frontal.

Kerangka Pemikiran

Perlawanan yang dilakukan petani lahan Pantai Kulon Progo yang dilakukan sejak delapan tahun yang lalu, merupakan wujud mereka dalam mempertahankan lahan pertaniannya. Mereka melawan perusahaan pertambangan pasir besi yang bermaksud mengkonversi lahan pertanian mereka menjadi lahan tambang.Masalah tersebut bersifat dinamis mengikuti perkembangan konflik di lapangan. Bagaimana kemudian pihak-pihak pro pertambangan bertindak, serta bagaimana pihak-pihak kontra pertambangan bereaksi terhadap apa yang dilakukan oleh pihak pro, menentukan kondisi situasi masalah agraria yang dihadapi oleh petani lahan pantai Kulon Progo.

Dalam setiap permasalahan atau peristiwa yang terjadi, pada suatu titik akan menjadi pemicu bagi pemilihan strategi petani dalam melawan. Peristiwa ini kemudian berperan sebagai faktor yang mendorong petani memilih melakukan perlawanan dalam bentuk/ strategi tertutup dan/atau terbuka4.

Beragam perisitiwa yang menandai perubahan strategi, baik yang berasal dari dalam (internal) masyarakat petani lahan pantai maupun dari luar (eksternal) masyarakat, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi. Dalam hal ini faktor internal dibedakan atas munculnya kesadaran kolektif, adanya nilai-nilai khas (ideologi lokal), rasa takut, serta adanya kepercayaan pada pembuat kebijakan (negara dan aparatnya); sedangkan faktor eksternal dibedakan atas adanya keterlibatan pihak luar, terbukanya kesempatan politik, serta adanya tindakan represif dari pihak lawan.

Faktor internal dan eksternal di atas, secara sendiri ataupun bersama dapat mempengaruhi, ataupun merubah pilihan atas suatu strategi perlawanan. Maksudnya adalah, pada satu kejadian, faktor yang berasal dari dua asal yang berbeda (internal – eksternal) dapat menjadi penyebab kemunculan dari satu strategi perlawanan. Ini mengartikan bahwa faktor yang dikelompokan menurut asal faktor tersebut bukan merupakan suatu kesatuan yang utuh, karena masing-masing dari faktor tersebut dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada kemunculan dari suatu strategi perlawanan. Secara sederhana, bagaimana sebuah

4

(27)

13 faktor mempengaruhi strategi perlawanan dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.

Hipotesis Pengarah

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis pengarah yang

muncul adalah, “Pilihan suatutrategi perlawanan oleh petani lahan pantai dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal”.

Definisi Operasional

1. Strategi Perlawanan Petani

Strategi perlawanan petani adalah pilihan-pilihan aksi yang dilakukan oleh petani dalam rangka mempertahankan lahannya. Aksi-aksi diukur dengan melihat pengetahuan responden petani mengenai (pernah) terjadi atau tidak terjadinya suatu aksi. Aksi-aksi yang dimaksud adalah:

1.1Strategi Perlawanan Tertutup

Aksi perlawanan yang dilakukan secara individual. Perlawanan dilakukan tanpa diorganisir (lemah organisasi), bersifat non formal melalui kordinasi asal sama tahu saja dengan bentuk perlawanan kecil-kecil dan sembunyi-sembunyi. Pengukuran dilakukan atas pengetahuan responden atas terjadi atau tidaknya aksi-aksi di bawah ini:

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi strategi perlawanan petani.

(28)

14

1.1.1 Mengabaikan peraturan pihak lawan, yaitu kondisi dimana petani tidak mematuhi atau bersikap tidak peduli atas peraturan yang berasal dari perusahaan atau pemerintah. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.1.2 Mencabut tapal batas wilayah konsesi, yaitu kondisi dimana petani menghilangkan tanda wilayah dari lokasi pertambangan. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.1.3 Merusak benda pihak lawan, yaitu kegiatan yang dimaksudkan untuk menghilangkan fungsi dari suatu benda yang dimiliki oleh perusahaan tambang atau pemerintah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.1.4 Mengambil benda milik pihak lawan, yaitu kegiatan menguasai benda milik perusahaan atau pemerintah menjadi milik petani, semisal mengambil pipa milik perusahaan. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.1.5 Mengambilalih kendali peralatan pihak lawan,yaitu kegiatan mengoperasikan peralatan yang biasanya dioperasikan oleh pihak perusahaan tanpa seijin perusahaan. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.1.6 Berpura-pura, yaitu perilaku petani yang berlaku bodoh, mengatakan sesuatu yang tidak benar (berbohong), melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan, hal mana bertujuan untuk mengelabui pihak lawan. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.1.7 Menanam tanaman tanpa diketahui pihak lawan, yaitu kegiatan petani bertanam secara sembunyi-sembunyi dan tanpa diketahui pihak perusahaan tambang atau pemerintah. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.1.8 Bergosip tentang pihak lawan, yaitu perilaku petani yang membicarakan hal-hal yang negatif tentang perusahaan tambang atau pemerintah. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.1.9 Memberi julukan kepada pihak lawan, yaitu perilaku dimana petani memberikan predikat negatif kepada perusahaan tambang atau pemerintah. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.2 Strategi Perlawanan Terbuka

Aksi perlawanan yang dilakukan oleh petani yang terorganisir, kolektif, dengan konfrontasi-konfrontasi langsung. Pengukuran dilakukan pada apakah responden mengetahuiterjadi atau tidaknya aksi-aksi di bawah ini seperti :

1.2.1 Aksi demonstrasi adalah aksi protes yang dilakukan secara berkumpul beramai-ramai atau berarak-arak dihadapan umum untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

(29)

15 pengrusakan pada lahan tersebut atau hal lainnya yang bermaksud untuk mencegah pihak lawan menggunakan lahan tersebut. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.2.3 Pembakaran adalah kegiatan merusak benda milik pihak lawan dengan cara menyalakan api pada benda tersebut. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.2.4 Pengaduan adalah permintaan oleh pihak yang berkepentingan (masyarakat petani) kepada pejabat berwenang untuk menindak seseorang atau kelompok menurut hukum dan perundang-undangan yang dianggap telah melakukan tindakan yang merugikannya. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.2.5 Kampanye adalah suatu upaya terorganisir yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan khalayak luas atau mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan. Kampanye ini ditujukan baik untuk masyarakat umum maupun pemerintah. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.2.6 Kerjasama adalah praktik seseorang atau kelompok yang saling berbeda bekerja dengan metode dan tujuan yang sama. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.2.7 Lobi dan Negosiasi yaitu adanyainteraksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan berbeda dan bertentangan melalui diskusi formal (negosiasi) atau informal (lobi). Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

1.2.8 Pembentukan serikat adalah kegiatan membentuk suatu organisasi karena adanya suatu tujuan yang ingin dicapai secara bersama-sama oleh sekelompok masyarakat. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0) 1.2.9 Terlibat dalam politik formal adalah suatu kondisi dimana seseorang atau

kelompok menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan di lembaga pemerintahan. Bila terjadi (Ya=1), bila tidak terjadi (Tidak=0)

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Perlawanan Petani

Faktor-faktor yang diuji dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu (1) faktor yang berasal dari dalam masyarakat, yang disebut faktor internal; dan (2) faktor yang berasal dari luar masyarakat, yang disebut faktor eksternal. Faktor ini diukur dari kemunculan (ada-tidaknya) peristiwa pada suatu aksi perlawanan yang dilakukan oleh petani.

2.1 Faktor internal yang dimaksud pada penelitian ini adalah :

2.1.1 Kesadaran kolektif adalah kondisi dimana sekelompok warga menyadari kesamaan situasi yang dihadapi, dan mendorong mereka kepada keputusan untuk melakukan sesuatu, antara lain membentuk serikat atau organisasi sebagai wadah dilakukannya perlawanan, atau meninjau ulang strategi (cara-cara dilakukannya) perlawanan. Bila ada (Ya=1), bila tidak ada (Tidak=0)

(30)

16

menanam dilakukan oleh suatu komunitas karena kegiatan tersebut merupakan adat mereka. Jika tidak dilakukan maka mereka akan merasa berdosa. Bila ada (Ya=1), bila tidak ada (Tidak=0)

2.1.3 Rasa takut terhadap pihak lawan adalah kondisi dimana seseorang merasa khawatir akan ancaman yang terjadi pada dirinya jika ia melakukan sesuatu. Bila ada (Ya=1), bila tidak ada (Tidak=0)

2.1.4 Kepercayaan kepada pembuat kebijakan adalah kondisi dimana seseorang atau kelompok menaruh keyakinan yang baik pada pihak yang membuat peraturan. Bila ada (Ya=1), bila tidak ada (Tidak=0)

2.2Faktor eksternal yang dimaksud pada penelitian ini adalah :

2.2.1 Keterlibatan pihak luar adalah kondisi dimana pihak di luar masyarakat, baik itu LSM, pemerintah, seniman, budayawan, aparat pemerintah atau lainnya, ikut berperan dalam perkembangan (berperan membantu penyelesaian) permasalahan agraria yang dialami oleh petani. Bila ada (Ya=1), bila tidak ada (Tidak=0)

2.2.2 Kesempatan politik adalah kondisi dimana terjadi perubahan situasi politik (misalnya perangkat pemerintahan dan kebijakan politik baru) memungkinkan atau menidakmungkinkan (memberi kesempatan atau menghalangi kesempatan) seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan sesuatu. Bila ada (Ya=1), bila tidak ada (Tidak=0)

2.2.3 Tindakan represif adalah kegiatan tindak kekerasan baik berupa fisik maupun psikis yang dilakukan oleh pihak perusahaan atau pihak yang mendukung rencana pertambangan kepada pihak petani. Bila muncul Bila ada (Ya=1), bila tidak ada (Tidak=0)

Pendekatan Lapangan

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif berupa penelitian eksplanatori, yaitu penelitian yang menyoroti hubungan antar variabel, menguji hipotesa, serta menguraikan hasil temuan secara deskriptif tetapi tetap fokus pada penjelasan hubungan antar variabel (Adiwibowo 2012). Hubungan antar variabel yang menjadi fokus penelitian ini adalah hubungan antara strategi perlawanan dengan faktor-faktor yang merubah (mempengaruhi) strategi perlawanan tersebut. Penjelasan bagaimana faktor tersebut berperan dalam merubah aksi perlawanan dilakukan dengan mendeskripsikan temuan di lapangan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

(31)

17 Tabel 1 Jadwal kegiatan pelaksanaan penelitian tahun 2014

Kegiatan Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Penyusunan

proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal penelitian Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draf skripsi Uji petik Sidang skripsi Perbaikan laporan skripsi

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif yang bersumber dari data primer dan data sekunder. Data kuantitatif yang merupakan data primer dikumpulkan dengan cara survey melalui kuesioner. Data kualitatif yang bersumber dari data primer didapatkan melalui pengamatan langsung dan wawancara mendalam pada: (1) individu dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun sebelumnya; dan (2) kelompok, melalui focus group discussion (FGD). Data sekunder untuk data kuantitatif dan kualitatif diperoleh dengan studi literatur maupun studi dokumen yang berkaitan dengan kasus permasalahan agraria lahan pantai Kulon Progo khususnya tentang perlawanan petani di lahan pantai Kulon Progo. Data sekunder ini berupa jurnal, laporan akademik, catatan, foto, artikel, baik yang dimiliki oleh PPLP-KP, pemerintah desa, lembaga pendidikan, maupun masyarakat luas. Secara rinci, data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel dua di bawah ini.

(32)

18

Tabel 2 Kebutuhan data dan metode pengumpulan data dalam penelitian

Kebutuhan Data Sumber Data Metode

Pengumpulan Data

Sumber data primer penelitian adalah seluruh petani lahan Pantai Kulon Progo yang lahannya termasuk pada wilayah konsesi pertambangan pasir besi. Khususnya yang bertempat di Desa Garongan, Bugel, dan Pleret di Kecamatan Panjatan. Subjek penelitian dibagi menjadi dua, yaitu subjek sebagai responden untuk pemenuhan data kuantitatif, dan subjek sebagai informan untuk pemenuhan data kualitatif.

Responden adalah mereka yang memberikan data melalui pengisian kuesioner yang telah dibuat sebelumnya. Pemilihan responden dilakukan dengan mempertimbangkan (1) status kepengurusan dalam PPLP-KP, (2) jenis kelamin, dan (3) keterlibatan (langsung, tidak langsung) dalam aksi perlawanan5. Dalam penentuan responden ini juga dibatasi dengan ketokohannya dalam pergerakan maupun desa, serta umur dari tokoh tersebut, yaitu tokoh tua (tokoh yang lebih

5

(33)

19 banyak didengar oleh orang-orang tua) dan tokoh pemuda (tokoh yang lebih banyak didengar/ menjadi panutan pemuda dalam bertindak).

Informan adalah mereka yang memberikan data melalui wawancara mendalam, baik wawancara individu dengan menggunakan panduan pertanyaan mengenai aksi-aksi serta kronologis konflik, maupun wawancara kelompok dalam bentuk diskusi kelompok terarah (focus group discussion) untuk melengkapi kronologis konflik. Informan terdiri dari (1) tokoh awal demo/ perlawanan; (2) petani tua; (3) petani muda; (4) petani laki-laki; (5) petani perempuan (istri dari petani laki-laki). Setiap kelompok diskusi terdiri dari 3 hingga 5 orang.

Dengan demikian pemilihan informan dilakukan secara purposive dengan jumlah 30 orang. Hal ini karena pertimbangan kejenuhan data dan informasi yang didapatkan dengan mengombinasikan hasil temuan dari tiga desa.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul berupa data kuantitatif dan data kualitatif akan diolah dan dianalisis untuk melihat kebenarannya. Data kuantitatif didapatkan dari hasil kuisioner diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Kuisioner yang digunakan adalah kuisioner dengan pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pada bagian pertanyaan terbuka, jawaban-jawaban yang diberikan responden dikelompokkan terlebih dahulu. Pengelompokkan ini bermaksud untuk memudahkan dalam menganalisis dan menjelaskan data. Data yang didapat kemudian disajikan dan dianalisis melalui grafik, tabel frekuensi, dan tabulasi silang.

(34)
(35)

21

GAMBARAN UMUM

LOKASI PENELITIAN DAN RESPONDEN

Kulon Progo merupakan kabupaten yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luas daerah 586,28 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Bantul Provinsi Yogyakarta di sebelah timur, Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara, dan dengan Samudera Hindia di sebelah selatan.

Kabupaten Kulon Progo terdiri dari 12 kecamatan, 88 desa, dan 930 pedukuhan. Keduabelas kecamatan ini dibedakan atas topografinya yaitu; (1) di bagian Utara merupakan wilayah dataran tinggi/ perbukitan dengan ketinggian antara 500-1000 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamatan: Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap; (2) di bagian tengah merupakan wilayah punggung perbukitan dengan ketinggian antara 100-500 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamatan: Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah; dan (3) di bagian Selatan merupakan wilayah dataran rendah dengan ketinggian sampai dengan 100 meter dari permukaan air laut meliputi kecamatan: Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan sebagian Lendah. Di Kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur, sebagaian dataran rendah tersebut merupakan kawasan pesisir karena daerah tersebut berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Desa Garongan, Pleret, dan Bugel yang menjadi fokus penelitian ini merupakan bagian dari Kecamatan Panjatan. Ketiga desa ini merupakan bagian dari wilayah konsesi proyek pertambangan pasir besi. Wilayah konsesi ini meliputi area seluas 2900 hektar yang membentang sepanjang 22 kilometer dari Sungai Bogowonto hingga Sungai Progo dan masuk ke arah daerah pemukiman sejauh 1,8 kilometer dari garis pantai (Petani.. 2008). Dengan luasan sepanjang itu, wilayah konsesi pertambangan tidak hanya menggusur wilayah pertanian tetapi juga pemukiman warga.

Kondisi Geografis

Desa Garongan, Pleret, dan Bugel terletak sejajar berderetan di bagian paling Selatan Kabupaten Kulon Progo. Kondisi geografis di ketiga desa ini terbagi menjadi dua, yaitu (1) perkampungan di tepi pantai dimana tanah perumahan warga berada di atas pasir, panjang lokasi perkampungan pantai ini sekitar 2-3 kilometer dari bibir pantai, (2) perkampungan yang di dataran menengah sehingga tanahnya bukan lagi pasir. Kondisi geografis yang berbeda tersebut dipisahkan oleh Jalan Daendels yang membentang disepanjang jalur selatan Pulau Jawa. Kondisi ini begitu terlihat jelas, jika kita mengawali perjalanan dari utara (wilayah Kecamatan Wates) akan terlihat perubahan pemandangan, dari sawah-sawah yang luas membentang menjadi kawasan yang tertutup oleh pepohonan kelapa. Perbedaan kondisi ini pula berpengaruh pada bagaimana lahan digunakan.

(36)

dimana-22

dimana. Mata pun terasa sejuk meski matahari panas terik. Wilayah Utara, yang lebih dekat ke dataran tinggi merupakan wilayah pertanian pangan, seperti padi dan jagung. Kondisi wilayah ini sama seperti kebanyakan wilayah pertanian padi di desa-desa Jawa lainnya.

Tanaman hortikultura yang dikembangkan di wilayah pesisir ini berupa sayur-sayuran dan beberapa buah-buahan. Namun yang menjadi primadona dari tanaman yang dibudidayakan adalah cabai. Cabai merupakan tanaman hortikultura utama yang dikembangkan oleh petani lahan Pantai Kulon Progo. Tanaman hortikultura lain, seperti oyong, sawi, kangkung, terong, pare, melon, dan semangka, biasanya ditanam secara tumpang sari diantara tanaman cabai. Tanaman cabai menjadi primadona karena tanaman ini merupakan sumber penghasilan utama petani. Tanaman lain yang ditanam sebagai tumpang sari biasanya dikonsumsi sendiri, tidak untuk dijual.

Meski hampir seluruh wilayah pesisir ditanami oleh tanaman-tanaman yang sama, namun ternyata kenampakan atau kondisi pertanian di Garongan, Pleret, dan Bugel berbeda-beda, seperti yang ditunjukan oleh gambar 1, 2, dan 3 di bawah ini.

Gambar 2 Kebun cabai di Bugel (kiri), Pleret (tengah), dan Garongan (kanan) Dilihat dari Gambar 2, tanaman cabai yang ditanam di Bugel dan di Garongan sama lebatnya, berbeda dengan di Pleret, kerapatan dan tumbuhan cabainya lebih sedikit dan lebih rendah dibanding dua desa lainnya. Berdasarkan pengamatan langsung, ketiga desa memiliki teknologi masing-masing dalam menyiram tanaman. Desa Pleret dan Garongan menggunakan selang air yang bersumber dari sumur.. Untuk mengairi tanamannya, petani berjalan perlahan mengairi satu persatu tanamannya, dari ujung kiri sampai ujung kanan, dari depan sampai ke belakang. Berbeda dengan teknologi yang dipakai di Bugel. Di Desa Bugel, pengairan tanaman dilakukan secara mekanis. Di setiap pinggir bedengan cabai tertanam selang kecil yang berlubang. Satu selang mempunyai banyak lubang tergantung banyaknya tanaman cabai yang ada dalam satu bedengan tersebut. Untuk menyiram, petani hanya menyalakan air, dan air pun menyiram sendiri langsung ke tanaman cabainya.

Kondisi Sosial Ekonomi

(37)

23

Terlihat dalam grafik, jumlah penduduk perempuan lebih dominan dibanding penduduk laki-laki. Di Garongan penduduk perempuan merupakan 50,5% dari total 3814 jiwa.,. Di Pleret perbandingan perempuan dan laki-laki sama. Di Bugel, perempuan merupakan 52.2% dari total 4691 jiwa penduduk.

Jika dilihat secara langsung, penduduk di wilayah pesisir Desa Pleret jauh lebih sepi dibanding dua desa lainnya. Sepi disini dilihat dari keramaian orang berkumpul di depan rumah pada saat siang hari. Di dua desa lainnya, seperti di Garongan dan Bugel, pada saat siang hari, banyak orang yang berlalu lalang atau sekedar nongkrong di warung. Anak-anak kecil pun lebih banyak ditemukan bermain di kedua desa ini. Di Pleret justru ramai pada saat malam hari. Meski tidak seramai Bugel dan Garongan pada saat siang hari. Terlihat pemuda dan bapak-bapak mengobrol bersama sambil merokok di warung yang ada di desa tersebut.

Mata pencaharian di ketiga desa ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya wilayah pesisir, hampir semua petani menanam cabai sebagai sumber nafkah utamanya. Namun terdapat juga beberapa petani yang selain menanam cabai juga menanam tanaman lain, seperti semangka, melon, terong, sawi, oyong, pare, dan kangkung. Di Pleret, ditemukan petani yang juga menanam padi di wilayah utara. Namun, beras yang dihasilkan bukan untuk dijual, melainkan untuk dikonsumsi sendiri. Mata pencaharian di Bugel, lebih beragam diantara dua desa lainnya. Selain petani, beberapa warga bekerja sebagai guru, nelayan, serta penjahit. Namun, tetap penduduk Bugel mengaku bahwa pekerjaan utama mereka adalah petani. Pekerjaan lainnya hanya sampingan. Di Garongan, penduduknya banyak yang membuka warung, karena letak pemukiman yang dekat sekali dengan jalan utama.

Kondisi perekonomian di wilayah pesisir di ketiga desa ini dapat dikatakan sejahtera. Meski tidak dapat dilihat secara fisik, rata-rata pendapatan mereka dalam sekali musim panen cabai mencapai paling sedikit sekitar empat puluh juta rupiah. Jika dihitung rata-ratanya, dua sampai tiga hari sekali saat musim panen, petani bisa mendapatkan uang mencapai lima juta rupiah. Banyak petani cabai mengaku bahwa hasil dari pertanian lebih dari apa yang mereka butuhkan. Di daerah Bugel ada suatu lelucon tentang hasil pertanian mereka. Ketika petani membeli motor baru, petani tersebut berkata bahwa motor tersebut mempunyai

0 1000 2000 3000

Garongan Pleret Bugel

Grafik Perbandingan Jumlah Penduduk di Garongan, Pleret, dan Bugel Tahun 2010

Laki-laki Perempuan

(38)

24

„rasa pedas manis‟. Sebutan tersebut untuk menunjukan bahwa uang untuk membeli motor berasal dari hasil panen cabai (pedas) dan semangka (manis). Bahkan di Garongan, setiap sedang panen raya, dealer motor berkeliling di ladang untuk berjualan motor. Di Pleret, petani tidak lagi hanya memegang cangkul, mereka sudah memegang tab atau alat komunikasi canggih semacamnya.

Karakteristik Responden

Dari keseluruhan responden yang merupakan pengurus hanya 10% atau tiga orang. Responden yang non pengurus berjumlah 27 orang. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, bahwa pengurus Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) hanya berjumlahkan sekitar 10-15 orang, sedangkan anggota PPLP mencapai ribuan orang.

Anggota PPLP yang menjadi responden mayoritas berjenis kelamin perempuan, yaitu 57% (17 orang), laki-laki 43% (13 orang). Hal ini sejajar dengan perbandingan jumlah penduduk di ketiga desa yang lebih banyak berjenis kelamin perempuan Hampir seluruh responden yang diwawancara, terutama yang berjenis kelamin perempuan, pernah terlibat secara langsung dalam sebuah aksi, seperti aksi-aksi demonstrasi atau aksi okupasi lahan. Selain itu, mereka juga terlibat secara tidak langsung, seperti menyiapkan logistik maupun konsumsi utuk keperluan aksi. Dalam masyarakat tersebar istilah bahwa „perjuangan perlawanan bukan titipan, perlawanan dilakukan oleh masing-masing orang‟. Istilah ini membuat anggota PPLP melawan dengan caranya masing-masing, menurut kemampuan diri tiap-tiap orang.

Kelompok Umur dan Tingkat Pendidikan Responden

Respoden yang diwawancarai berada pada empat kelompok umur, seperti yang diperlihatkan oleh tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Presentase responden menurut kelompok umur Kelompok

umur

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

20-29 1 7.7 5 29.4 6 20.0

30-39 6 46.2 5 29.4 11 36.7

40-49 5 38.5 7 41.2 12 40.0

50-59 1 7.7 0 0 1 3.3

Total 13 100.0 17 100.0 30 100

(39)

25 Tabel 4 Presentase responden menurut tingkat pendidikan

Tingkat Sekolah Menengah Pertama; PT: Perguruan Tinggi

Lebih sedikit perempuan dibanding laki-laki berpendidikan setingkat SMA/ PT, namun sebaliknya pada tingkat SMP dan SD. Secara keseluruhan, pendidikan responden cukup tinggi, sekitar 50% berpendidikan SMA dan lebih tinggi.

Jika antara tingkat pendidikan dan umur responden dibandingkan, maka karakteristik responden yang akan terlihat adalah seperti tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Jumlah responden menurut tingkat pendidikan dan kelompok umur

Umur Tingkat Pendidikan (%)

Dalam tabel terlihat bahwa mayoritas responden perempuan (29,4%) berada di kelompok umur 20-39 tahun dan memiliki tingkat pendidikan mencapai SMP. Seperti halnya responden laki-laki, mayoritas berada pada kelompok umur 20-39 (30,7%) namun dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMA sampai Perguruan Tinggi.

Kepemilikan dan Penguasaan Lahan

Kepemilikan dan penguasaan mengenai lahan di wilayah pesisir Kulon Progo, akan dijelaskan melalui tabel 6 dan 7 di bawah ini.

Tabel 6 Presentase kepemilikan lahan responden di wilayah pesisir Kulon Progo tahun 2014

Identifikasi Kepemilikan Lahan L P Total

(40)

26

Mayoritas laki-laki (31%) pertama kali menggunakan lahan sejak tahun 1990-an dan 2000-an. Mayoritas perempuan (59%) menggunakan lahan sejak dulu. Sejak dulu disini maksudnya adalah penggunaan lahan di lahan yang mereka gunakan saat ini telah dimulai dari orang tua mereka. Laki-laki yang menggunakan lahan sejak tahun 90-an dan 2000-an rata-rata karena mereka sebelumnya merantau terlebih dahulu sebelum benar-benar bercocok tanam di wilayah pesisir.

Ketika pertama kali menggunakan lahan, 38% laki-laki mengatakan bahwa mereka membuka lahan tersebut sendiri. Beberapa (31%) mengatakan lahan yang digunakan sekarang tersebut tidak ada yang memiliki. Sedangkan 23% laki-laki mengaku bahwa lahannya tersebut dimiliki oleh orang tua. Sama halnya dengan laki-laki, mayoritas perempuan (47%) mengatakan bahwa lahan yang digunakan saat ini adalah dengan membuka lahan. Sebanyak 35% perempuan mengatakan bahwa lahan yang dipakai merupakan milik orang tua. Sisanya (18%) lahan yang digunakan sekarang merupakan lahan yang kosong, tidak ada yang memiliki.

Uraian tersebut menandakan bahwa sebelum mereka menggunakan lahan, tidak ada siapapun yang memiliki lahan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan jawaban mereka atas pertanyaan mengenai pemilik lahan sebelumnya. Mayoritas responden mengatakan bahwa ia membuka lahan tersebut. Salah seorang warga mengatakan bahwa tanah yang dipakainya sekarang merupakan tanah gontai, yaitu tanah yang tidak diusahakan pemiliknya.

Penguasaan lahan diartikan sebagai ada tidaknya pihak yang berkuasa atas lahan tersebut. Maksudnya, jika memang lahan tersebut ada yang menguasai, maka warga yang menggunakan lahan pasir seharusnya meminta izin terlebih dahulu sebelum menggunakan lahan tersebut.

Tabel 7 Presentase penguasaan lahan menurut responden di wilayah pesisir Kulon Progo tahun 2014

Identifikasi Kepemilikan/ Penguasaan Lahan L P Total

n % n % n %

tidak izin, langsung pakai, dikavling langsung 5 38 7 41 12 40

tanah masyarakat 4 31 2 12 6 20

warisan nenek moyang 4 31 8 47 12 40

Hasil menunjukan bahwa semua responden mendapatkan lahan tersebut tanpa izin, namun dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kategori pertama

adalah mereka yang mengatakan „tidak izin, langsung pakai, dikavling langsung‟.

Tiga puluh delapan persen laki-laki menyatakan pernyataan tersebut, dan merupakan pernyataan yang paling sering dinyatakan oleh laki-laki dari tiga pernyataan yang ada. Perempuan yang menyatakan pernyataan ini berjumlah 41%.

Kemudian, „tanah masyarakat‟6

menjadi jawaban berikutnya. Menurut mereka karena tanah yang ada di wilayah pesisir tersebut milik masyarakat, maka izin tidak diperlukan. Sebanyak 31% laki-laki menyatakan pernyataan ini, sedangkan

perempuan yang menyatakan ini berjumlah 12%. „Warisan nenek moyang‟

menjadi alasan lain izin tidak dilakukan oleh warga. Sebanyak 47% perempuan

6Istilah „tanah masyarakat‟ dibuat sendiri oleh warga pesisir

(41)

27 (dan merupakan yang terbanyak diantara dua pernyataan lainnya) menyatakan pernyataan ini, sedangkan laki-laki berjumlah 31 %.

Dengan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa menurut warga tidak ada pihak manapun yang menguasai lahan tersebut. Warga menggunakan tanah kosong dengan mengkavling sendiri dan langsung dipakai. Warga tidak memerlukan izin karena lahan tersebut adalah warisan. Beberapa warga mengatakan bahwa tanah tersebut milik masyarakat, sehingga siapapun bisa memakainya tanpa harus izin.

Pemanfaatan Lahan

Wilayah pesisir Kulon Progo dimanfaatkan warga pesisir untuk bercocok tanam. Berikut penjelasan mengenai bagaimana bercocok tanam tersebut dilakukan.

Tabel 8 Presentase penggunaan lahan responden di wilayah pesisir Kulon Progo tahun 2014

Identifikasi Penggunaan Lahan L P Total

n % n % n % Garongan, Bugel, dan Pleret digunakan untuk bercocok tanam. Sebanyak enam puluh persen lebih, luas lahan yang digunakan untuk bercocok tanam baik oleh laki-laki maupun perempuan adalah lebih dari 2600 m. Hanya tiga puluh persen sisanya, baik laki-laki maupun perempuan, bercocok tanam di luasan tanah kurang dari 2500 m.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi strategi perlawanan petani
Tabel 1 Jadwal kegiatan pelaksanaan penelitian tahun 2014
Gambaran umum lokasi
Gambar 2 Kebun cabai di Bugel (kiri), Pleret (tengah), dan Garongan (kanan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

(6) Apabila pagu jalur Perpindahan Tugas Orang tua tidak memenuhi ketentuan, maka sisa pagu jalur Perpindahan Tugas Orang tua akan digunakan bagi anak Guru yang

Hasil penelitian inventarisasi jamur pada cangkang telur dan pasir sarang penyu lekang yang menetas dan gagal menetas di penangkaran, disajikan pada Tabel 1. Pada

Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur Negara, perlu dilakukan overhaul besar-besaran pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan sistem penggajian dan jaminan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness

Setelah pada proses desain dan perancangan sistem selesai dibuat, maka peneliti melakukan POC sebagai salah satu metode pembuktian, sebelum pada akhirnya sistem

Semangat untuk saling berbagi merupakan sebuah budaya yang harus ditumbuhkan oleh perpustakaan perguruan tinggi yang ingin menerapkan manajemen pengetahuan

Melalui penelitian ini akan dilakukan uji diagnostik untuk mengetahui sensitivitas, spesifi- sitas dan nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif serta akurasi