• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERLAWANAN PETANI LAHAN PANTAI KULON PROGO

Pada bagian ini akan dibahas situasi dan kondisi yang melatarbelakangi perlawanan petani lahan pantai Kulon Progo dan perkembangan perlawanan sampai pada pertengahan 2014.

Perlawanan petani lahan pantai terhadap rencana proyek pertambangan besi dimulai ketika isu-isu mengenai proyek tersebut muncul. Isu-isu yang mencuat dikalangan mereka dan berbagai aktivitas yang dilakukan pihak luar di wilayah pesisir, meresahkan mereka. Isu-isu ini sering diobrolkan di kelompok- kelompok tani di desa pesisir. Mereka khawatir jika wilayah mereka dijadikan wilayah pertambangan, kehidupan pertanian yang juga berarti kehidupan mereka, akan hilang.

Perlawanan yang dilakukan petani terhadap proyek pertambangan pasir besi dilakukan dalam rangka mempertahankan tanah yang menjadi sumber kehidupan mereka. Arti bagaimana tanah (atau dalam hal ini lahan pasir) begitu penting bagi mereka, akan dijelaskan melalui penjelasan berikut ini.

Kehidupan Pesisir Hingga Tahun 2000 Kehidupan Pesisir Sebelum Tahun 1980

Wilayah pesisir Kulon Progo sebelum tahun 1980-an merupakan lahan yang tandus. Warga yang tinggal di wilayah pesisir, hidup dari memanen kelapa, membuat kerajinan dari anyaman daun pandan, dan penambangan garam dari air laut. Hasil dari kegiatan tersebut masih jauh untuk memenuhi kebutuhan standar. Untuk mengkonsumsi nasi mereka membutuhkan waktu kerja selama satu minggu. Kemiskinan selalu melekat sebagai identitas masyarakat pesisir. Mereka yang hidup di kawasan ini disebut Cubung oleh orang luar, sebuah istilah yang bermakna keterbelakangan, golongan rendah, dan berpenyakitan.

Pemanfaatan lahan pasir hanya bisa dilakukan di musim kemarau dengan beberapa tanaman saja seperti ketela (ubi jalar) dan kentang kecil. Ketika musim kemarau datang angin laut yang keras mengarah ke desa membawa debu dan pasir yang menyebabkan warga mengalami penyakit kulit dan pernafasan, perut dan mata. Banyak warga yang merantau keluar desa untuk memperbaiki taraf hidupnya, beberapa merantau menjadi TKI ke luar negeri.

Rata-rata warga pesisir tidak mengecap pendidikan, jika pun ada hanya sampai sekolah dasar dan sebagian besar tidak lulus. Kondisi lingkungan masyarakat desa pesisir tergolong sangat tertinggal dan miskin dibanding desa- desa lain di kecamatan Panjatan. Dari segi fisik, tempat tinggal mereka masih berdinding anyaman bambu dan beratap daun kelapa. Setiap kali ada angin atau hujan besar, bangunan tersebut bergetar, orang-orang yang tinggal di bangunan tersebut sibuk memegangi atap agar tidak terbang terbawa angin.

Kehidupan Pesisir 1980 – 2000

Pada tahun 1982, salah seorang penduduk terinspirasi untuk memulai bercocok tanam di lahan pasir ketika ia mendapati sebatang tanaman cabai liar yang mampu tumbuh di lahan tandus. Bersama beberapa warga lainnya, ia

30

memanfaatkan sumberdaya air tawar yang tersimpan di kedalaman tiga sampai enam meter di bawah permukaan pasir untuk menyuplai kebutuhan air bagi tanaman. Air tawar ini memberikan jenis pekerjaan baru bagi warga pesisir, yaitu petani hortikultura, terutama cabai dan semangka (Antoro 2010).

Pengembangan teknologi dan informasi yang berasal dari masyarakat sendiri kemudian membuat pertanian lahan pasir terus berkembang. Pada tahun 1985-1988 budidaya di lahan pasir tersebut meluas di empat kecamatan di kawasan pesisir. Pada mulanya mereka hanya membangun sumur timba yang sangat sederhana pada galian pasir. Kemudian sumur timba tersebut berkembang menjadi sumur berantai yang mampu menghemat waktu dan tenaga. Beberapa rumah tangga petani yang secara ekonomi lebih mapan mencukupi kebutuhan pengairan dengan menggunakan mesin.

Komunikasi tradisional8 menurut salah seorang warga, mempunyai peranan penting dalam penyebaran gagasan dan teknologi bertani di lahan pasir. Ia mengakui bahwa dalam kegiatan endong-endongan, ia bersama warga yang lain membicarakan bagaimana meningkatkan hasil. Hasil panen meningkat seiring perkembangan pengetahuan masyarakat dan teknologi yang diterapkan semakin canggih seiring pertambahan nilai jual.

Dari kegiatan budidaya lahan pasir, kebutuhan dasar warga terpenuhi lebih dari cukup. Beberapa warga berhasil menyekolahkan putra-putri mereka hingga perguruan tinggi. Bangunan tempat tinggal pun sudah terbuat dari tembok yang kokoh. Warga juga tidak perlu khawatir lagi mengenai penyakit yang selalu menjadi langganan setiap tahunnya.

Perubahan pendapatan yang drastis (meskipun memerlukan waktu yang tidak sebentar) menjadikan petani betah dalam menjalani kesehariannya sebagai petani. Mereka bangga menjadi petani. Budidaya di lahan pasir telah mengubah kehidupan mereka dari orang Cubung menjadi orang Sugih (Hestu et al 2010). Warga tidak lagi tertarik untuk bekerja sebagai karyawan atau buruh pabrik. Seperti yang dikatakan oleh salah satu warga pesisir:

"Dulu males jadi anak petani, mending ke luar Jakarta atau Bandung, sempet di Astra, tapi ya ternyata sama aja jadi buruh, pulang balik lagi jadi tani… Merantau tuh ga bawa apa-apa semuanya balik lagi ke tani. Enaknya jadi petani mau makan apa-apa gampang" (Pak Dk, 35 tahun, Pleret, Anggota PPLP)

Kehidupan Pesisir Setelah Tahun 2000 Periode 2006 - 2008

Periode ini merupakan periode dimana kegiatan bercocok tanam di wilayah pesisir Kulon Progo mulai terganggu. Isu proyek pertambangan pasir besi mulai muncul dikalangan warga pesisir Kulon Progo. Informasi potensi pasir besi di wilayah pesisir Kulon Progo sebelumnya telah diketahui sejak tahun 1970 dan awal 1980. Hal ini sesuai dengan kesaksian salah satu sesepuh warga desa pesisir:

8

Komunikasi tradisional ini disebut endong-endongan, yaitu kebiasaan bertukar informasi, seperti mengobrolkan masalah hidup sehari-hari

31 "Sekitar tahun 1969, 1970, dan 1971 pernah ada penambangan pasir, tapi banyak ruginya, dulu tidak ada yang menolak, diperkirakan ga ada untung ..." (Pak Ud, 70 tahun, Bugel, Penasihat PPLP)

Baru pada tahun 2005, terjalin kerja sama antara perusahaan nasional (PT. JMI, sebelumnya bernama PT. JMM) dengan perusahaan internasional (AK Ltd, yang berubah nama menjadi IM Ltd) untuk melakukan pertambangan pasir besi di Kulon Progo (Antoro 2010). Kerja sama ini terjalin sebelum mendapatkan perizinan dari kabupaten untuk melakukan penambangan. Pada Oktober 2005, PT. JMI mengajukan surat permohonan kuasa pertambangan eksplorasi pasir besi dan mineral pengikutnya kepada pemda Kabupaten Kulon Progo. Tidak lama setelah itu, pemda kabupaten memberikan izin tersebut pada PT. JMI. Dimulailah kembali penelitian di wilayah pesisir Kulon Progo.

Saat itu penelitian dilakukan di setiap desa yang ada di pesisir. Sampel pasir diambil di tujuh titik di setiap desa. Warga yang lahannya terkena proyek pengambilan sampel ini diberi ganti rugi. Pada awalnya warga tidak tahu tujuan dari pengambilan pasir tersebut, sehingga kegiatan tersebut dibiarkan saja oleh warga. Seperti pernyataan yang disampaikan oleh dua warga berikut ini.

"Penyelidikan di bor (ngambil sampel) dibayar yang pasirnya dibawa, ga banyak orang yang tau, ga bilang-bilang (belum tau kalo dampaknya negatif), yang disuruh tanda tangan kakek-kakek…" (Bu Id, 49 tahun, Bugel, Anggota PPLP)

" ...dibor-bor di berbagai wilayah diblencat-blencat, dulunya ga tau (itu apa) jadi dibiarin aja… " (Pak Sd, 32 tahun, Garongan, Anggota PPLP)

Tahun 2006, warga mendengar isu mengenai proyek penambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulon Progo. Isu ini kemudian menjadi semakin kuat, ketika sekelompok peneliti yang berasal dari salah satu universitas di Yogyakarta melakukan penelitian di Desa Garongan tanpa izin terlebih dahulu pada perangkat desa setempat. Para peneliti tersebut kemudian diusir dari wilayah Garongan. Keresahan warga semakin memuncak ketika mereka mengetahui bahwa wilayah yang menjadi konsesi pertambangan adalah sepanjang 22 km yang terbentang sepanjang Sungai Bogowonto sampai Sungai Progo (yang berarti mengambil lahan dari sepuluh desa di empat kecamatan) dan selebar 1,8 km dari bibir pantai. Luasan ini mengartikan bahwa yang tergusur bukan hanya wilayah pertanian warga, tetapi juga pemukiman seluruh warga pesisir. Belasan ribu KK petani terancam tergusur dari lahan pertanian dan rumahnya.

Keresahan ini awalnya dirasakan oleh masing-masing individu petani. Mereka bercerita sebatas di kelompok-kelompok tani lokal. Sampai akhirnya seorang tokoh di Desa Bugel yang juga merupakan ketua dari Gapoktan berinisiatif untuk mengumpulkan seluruh warga petani lahan pesisir untuk menentukan sikap mereka atas isu yang sedang menyebar. Pertemuan tersebut menghasilkan sikap bahwa petani menolak harga mati rencana pertambangan pasir besi. Pada pertemuan ini juga, petani membentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai - Kulon Progo (PPLP - KP) sebagai wadah mereka dalam melakukan

32

perjuangan. Dengan dibentuknya PPLP - KP, perlawanan petani terhadap mereka yang mendukung rencana proyek pertambangan pasir besi pun dimulai.

Sejak dibentuknya Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP – KP), warga pesisir Kulon Progo mulai melawan secara kolektif. Pada tanggal 26 Mei 2007 mereka melakukan aksi protes di depan balai desa. Ketika itu pemerintah bersama pihak pertambangan mengadakan sosialisasi terkait rencana pertambangan di Balai Desa Garongan. Kegiatan sosialisasi ini kemudian dibubarkan oleh aksi massa tersebut. Warga menuntut kejelasan sikap Lurah Garongan agar mendukung kegiatan warga untuk menolak pertambangan. Aksi pembubaran sosialisasi ini menjadikan kegiatan-kegiatan sosialisasi di desa-desa pesisir lainnya gagal dilaksanakan.

Meski kegiatan sosialisasi di Garongan digagalkan, rencana proyek pertambangan pasir besi tetap berjalan. Pertemuan antara pemerintah dengan perusahaan dilakukan sepanjang tahun 2007. Begitu juga PPLP. Meski mereka tidak mengetahui apa-apa saja yang sedang dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan, mereka tetap siaga. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan mereka kepada salah satu kerabat keraton yang faham mengenai masalah pertanahan. Bung Adjikusumo atau yang lebih akrab disapa Bung Aka mengaku bahwa ia didatangi oleh PPLP untuk dimintai bantuan mengenai masalah pertanahan. Ia mengatakan, karena PPLP datang kepadanya, maka ia pun fokus untuk membantu perjuangannya. Salah satu responden mengatakan bahwa Bung Aka merupakan warga keraton yang mendukung, ia mendampingi PPLP. Ia semacam telik sandi (intel) mengenai informasi-informasi yang ada di keraton9. Menurut salah satu pengakuan warga PPLP, Bung Aka merupakan sosok keluarga Keraton Yogyakarta yang masih mau berpikir dan menyuarakan kebenaran, serta membela hak-hak rakyat kecil.

Keberadaan Bung Aka membantu menguatkan perjuangan PPLP. Ia membantu menumbuhkan kesadaran hak-hak rakyat atas tanah (Rostamin 2013). Bung Aka juga yang menyambungkan PPLP dengan LBH (lembaga bantuan hukum). Seperti yang dikatakan oleh warga.

" LBH Paralegal, Bung Aka yang masukin, sejak awal berkeluh kesah kesana… " (Bu Is, 42 tahun, Bugel, Kordinator Lapangan PPLP)

Bung Aka menyarankan kepada PPLP agar mempunyai pendamping hukum. Salah seorang warga PPLP juga menyatakan bahwa untuk melawan penindasan dan mempertahankan hak selalu bersinggungan dengan hukum formal. Advokat (pendamping hukum) itu penting, ketika PPLP terjerat dalam sebuah kasus. Warga PPLP lain juga menyatakan hal yang sama, seperti yang ditunjukan di bawah ini.

"PPLP sengaja dateng ke LBH konsultasi, diskusi panjang, meminta LBH untuk menjadi kuasa PPLP, setelah PPLP berdiri, LBH diposisikan sebagai kuasa hukum, permasalahan hukum aja, ga sampai (internal) organisasi dan sebagainya, … khawatir munculnya kriminalisasi makanya kita butuh seseorang atau lembaga yang bisa menjadi pelindung hukum, … untuk

9

Keraton, dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta, diduga ikut andil dalam melancarkan usaha proyek rencana penambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulon Progo.

33 campaign perjuangan juga karena LBH banyak sekali jaringannya" (Pak Mt, 48 tahun, Bugel, Kordinator Lapangan PPLP)

Sejak bergabungnya Bung Aka dan bekerja samanya PPLP dengan LBH, perjungan PPLP lebih terorganisir, rapi, dan terencana. Perjuangan PPLP mengandalkan jalur-jalur legal formal. Hal ini terlihat bahwa pada tanggal 27 Juni 2007, PPLP bersama LBH mengajukan pengaduan ke Komnas HAM. LBH meneliti indikasi pelanggaran-pelanggaran HAM yang akan terjadi jika rencana penambangan pasir besi tetap dilakukan. Indikasi pelanggaran tersebut kemudian dilaporkan kepada Komnas HAM untuk diselidiki lebih lanjut. Sementara itu, pada tanggal yang sama, departemen dan intansi terkait di pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten merundingkan aplikasi kontrak karya pertambangan di Hotel BK Jakarta.

Bulan Agustus 2007, PPLP melakukan aksi demonstrasi di pemda kabupaten untuk memprotes rencana pertambangan pasir besi. PPLP mempercayai bahwa pemerintah dapat diandalkan dalam menggagalkan proyek rencana pertambangan besi tersebut. Beberapa hari berikutnya PPLP melakukan aksi di depan Gedung DPRD Kulon Progo dengan menyuarakan hal yang sama. Kali ini, Bupati Kulon Progo menanggapi mereka. Bupati menyanggupi tuntutan PPLP agar pemerintah menolak pertambangan dengan menandatangani surat pernyataan. Setelah tuntutan tersebut disanggupi oleh Bupati Kulon Progo, aksi- aksi menyuarakan pendapat dimuka umum seperti demonstrasi tadi, terhenti.

Namun ternyata, kegiatan-kegiatan lainnya yang bertujuan untuk kelancaran proyek pertambangan pasir besi tetap berlanjut. Pada akhir tahun 2007, PT. JMI bersama lembaga swapraja (keraton), melakukan sosialisasi ke berbagai tempat, ke berbagai pihak. Sosialisasi juga disampaikan oleh pemda kepada perangkat desa se-kawasan pantai selatan di tempat yang sama pada bulan Desember 2007.

Pertemuan-pertemuan tertutup antara pemerintah dan perusahaan pun terus berlanjut. Sampai akhirnya, pada Januari 2008, pemda Kabupaten Kulon Progo menerbitkan surat izin lokasi untuk PT. JMI mengenai pembangunan proyek percontohan dan pusat studi tenaga kerja pertambangan (Pilot Project) di Desa Banaran Kecamatan Galur.

Kagiatan-kegiatan yang diuraikan sebelumnya, seperti sosialisasi- sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan juga penerbitan surat izin lokasi Pilot Project bersifat tertutup. PPLP tidak mengetahui hal ini. Informasi-informasi mengenai proyek pertambangan pasir besi sama sekali tidak mereka ketahui. Mereka pun belum merasa aman dengan perjanjian bupati pada bulan Agustus yang lalu. Oleh karena itu, untuk mencari kejelasan, PPLP mencoba mendatangi Komisi VII DPR-RI di Jakarta pada tanggal 4 Februari 2008. Tidak semua warga PPLP hadir disini. Mereka yang berdiskusi dengan anggota DPR hanya pengurus PPLP saja. DPR-RI menjanjikan akan dibentuk pansus untuk menangani kasus ini. Lobi dan negosiasi ini juga kemudian diteruskan ke Kedubes Australia masih pada hari yang sama. Kunjungan PPLP ke Kedubes Australia adalah untuk menanyakan keberadaan perusahaan IM Ltd.

Pembangunan Pilot Project dimulai pada tanggal 1 Maret 2008. Saat warga melihat kendaraan-kendaraan pembawa material bahan bangunan melintas di wilayah mereka, mereka melakukan pemblokiran jalan agar kendaraan

34

pengangkut tersebut tidak dapat mencapai lokasi. Pemblokiran ini dilakukan selama lima hari. Pada 4 Maret 2008, sebagian anggota PPLP melakukan konferensi pers di kantor LBH Yogyakarta, yang menegaskan bahwa pelaksanaan uji coba Pilot Project penambangan pasir besi pada dasarnya melanggar prosedur. Anggota PPLP memegang masukan dari Komisi VII DPR-RI bahwa Pilot Project tidak boleh dilakukan sebelum AMDAL terbit.

Pada tanggal 21 Juli 2008, PPLP melakukan aksi demonstrasi di UGM menuntut pembatalan kerja sama UGM dengan PT. JMI dalam reklamasi lahan. Aksi demonstrasi ini mereka lakukan setelah PPLP mengirim surat sebanyak tiga kali untuk menanyakan keberpihakan UGM atas proyek pertambangan pasir besi. Karena surat tersebut tidak juga ditanggapi, PPLP memutuskan untuk mendatangi UGM secara langsung. Pada saat itu juga, UGM yang diwakili rektor dan dekan fakultas kehutanan, membatalkan kerja sama mereka dengan PT. JMI dihadapan seluruh warga PPLP.

Bulan Oktober 2008, PPLP kembali melakukan aksi demonstrasi di DPRD kabupaten selama tiga hari berturut-turut. Aksi ini ditujukan untuk menagih janji Bupati Kulon Progo yang telah menyetujui penolakan proyek pertambangan besi yang ia nyatakan pada Agustus 2007. Selain tak satu pun anggota dewan masuk kantor, Ketua DPRD Kulon Progo sedang tidak ada di tempat. Sementara Bupati Kulon Progo, belum kembali dari tugas dinas di Jakarta. Warga PPLP pun kecewa. Kepercayaan mereka terhadap pemerintah meluntur.

Pada tanggal 27 Oktober 2008, tindakan represif dilakukan oleh pihak yang mendukung pertambangan terhadap warga PPLP. Ketika semua warga sedang bekerja di ladang, sejumlah orang yang diduga suruhan perusahaan membakar gardu-gardu jaga warga PPLP. Kejadian ini terekam oleh kamera. PPLP melaporkan kejadian ini kepada pihak yang berwajib.

Tanggal 4 November 2008, pemerintah RI melalui menteri ESDM melakukan kontrak karya dengan PT. JMI di Jakarta. Hal ini menunjukan bahwa PT. JMI telah diberikan izin secara resmi oleh negara untuk melakukan penambangan pasir besi di Kulon Progo. Berita ini muncul di media massa. Tidak ada tanggapan apapun dari warga PPLP. Mereka tidak bereaksi. Mereka seolah telah lelah jika harus merespon setiap langkah-langkah pemerintah maupun perusahaan. Rasa tidak percaya kepada pemerintah muncul. Hal ini juga diungkapkan oleh Antoro (2010) pada tesisnya. Ia mengatakan bahwa ketidakpercayaan masyarakat di lokasi penelitian terhadap pemerintah dan penyelenggara negara tumbuh sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah.

Periode 2009 - 2011

Sejak dikeluarkannya kontrak karya, konflik yang terjadi di warga PPLP semakin mengemuka. Kasus-kasus kriminalisasi selalu menjadi modus untuk menekan warga (Widyanta 2011). Aksi-aksi demonstrasi kini diwarnai bentrokan fisik antara PPLP dengan polisi. Meski begitu hal ini tidak mematahkan semangat PPLP untuk tetap mempertahankan tanah mereka. Pada akhir 2008, PPLP mencoba berjuang dengan cara lain. Mereka berfokus pada bagaimana mengabarkan bahwa di Kulon Progo sedang terjadi perjuangan melawan penindasan. PPLP meyakini bahwa semua orang harus mengetahui, dimana pun siapa pun bahwa di wilayahnya sedang terjadi perlawanan yang dilakukan oleh

35 petani kepada penguasanya (UC 2012). Mereka menyebutnya dengan istilah kampanye lebih lembut.

Di penghujung 2008, PPLP dikunjungi oleh sekelompok orang yang bergelut dibidang seni peran (Widodo 2013). Kedatangan mereka pada awalnya untuk bersilaturahmi. Sampai akhirnya muncul ide untuk membuat pagelaran teater10 tentang cerita perjuangan PPLP. Mereka membantu PPLP dalam membuat naskah, merekrut pemain dari warga PPLP dan melatih mereka untuk bermain dalam ceritanya sendiri. Pementasan pertama pun diselenggarakan pada 18 November 2008 di Institut Pertanian Bogor11. Sejak saat itu mereka sering diundang ke berbagai universitas, baik universitas di Jakarta (Atma Jaya) maupun di Yogya (UGM). Tahun 2012, PPLP berkesempatan untuk tampil di panggung internasional. Mereka tampil di Gedung Societit Militer, Yogyakarta. Tamu-tamu yang hadir pada saat itu adalah seniman-seniman yang berasal dari berbagai negara. Apa yang sedang mereka perjuangkan pun tersebar luas ke dunia luar.

Sepanjang tahun 2009 (bahkan juga sampai saat ini), PPLP sering diundang ke berbagai kampus untuk berdiskusi mengenai masalah yang mereka hadapi. Sampai suatu saat, ketika mereka berbicara di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, PPLP bertemu dengan aktivis yang sefaham dengan jalan perjuangan PPLP. Aktivis ini kemudian menjadi pengawal PPLP dalam berjejaring. Sejak saat itu PPLP berjejaring dengan pihak-pihak lainnya yang senasib. Seperti yang dikatakan oleh salah satu pengurus PPLP.

"… iya awalnya dari dia, baru kami bisa berjejaring dengan banyak orang, kayak sekarang ini." (Pak Bd, 29 tahun, Pleret, Humas PPLP)

Sumber: catatan harian

Strategi perjungan PPLP pun semakin beragam. Sejak PPLP berkomunikasi dengan aktivis ini, perjuangan tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Mereka mengampanyekan tentang apa yang terjadi di Kulon Progo melalui berbagai media sosial. Perjuangan yang dilakukan oleh PPLP tidak hanya diketahui oleh komunitas lokal , tetapi juga dunia. Melalui website petanimerdeka.tk, solidaritas hadir dari berbagai penjuru dunia.

10

Disebut oleh salah satu penggagas teater PPLP, kegiatan berteater ini merupakan alternatif kampanye, jalan untuk memperjuangkan perlawanan mereka. Karena penyelesaian melalui jalur politik, lawan PPLP terlalu kuat.

11

Pementasan pertama ini dapat terwujud di IPB karena salah satu dari sekian banyak peneliti tentang Kulon Progo merupakan civitas IPB. Peneliti ini kemudian mengundang PPLP untuk pentas di kegiatan ujian praktek pada mata kuliah di salah satu departemen di IPB.

Keterlibatan aktivis yang masuk sejak tahun 2009 ini benar-benar mengubah perjuangan PPLP menjadi semakin meluas. Aktivis yang tidak pernah mengafiliasikan dirinya dengan apapun ini mengaku bahwa yang ia lakukan bersama PPLP adalah keinginan dirinya sendiri. Ia membantu dengan cara apa yang ia bisa lakukan. Ia telah menganggap PPLP sebagai keluarganya. Hal ini terlihat ketika ia berkunjung ke salah seorang warga PPLP, warga tersebut berkomentar “Kamu kemana saja, berasa sepi ga ada kamu disini, Bapak selalu ketawa-tawa kalau ngobrol dengan kamu.”

36

Jaringan PPLP pun semakin berkembang. Pertengahan 2009, pengurus PPLP melakukan kunjungan ke Kebumen. Mereka bertemu dengan pengurus Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan. Pertemuan ini dimaksudkan untuk membuat suatu forum bagi petani ataupun komunitas yang bernasib sama (menjadi korban korporasi). Ide ini disambut baik oleh daerah-daerah lainnya. Mereka pun memutuskan untuk membentuk sebuah wadah untuk petani, wadah untuk berbagi dan bersilaturahmi. Atas dasar tersebut, setelah perjalanan yang cukup lama, Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) terbentuk pada tanggal 22 Desember 2011 (FKMA 2014).

Selain menyebarkan informasi di luar PPLP, mereka juga melakukan penguatan ke dalam. Yaitu dengan melakukan berbagai kegiatan bersama. Seperti melakukan acara tumpengan pada saat hari ulang tahun PPLP, syukuran pada saat panen raya, maupun pada saat kenduri, yaitu acara doa bersama sebelum mulai musim tanam (Petani.. 2014). Dalam acara ulang tahun PPLP yang diselenggarakan setiap tanggal 1 April, PPLP mengundang banyak pihak untuk menghadiri kegiatan ulang tahun ini. Perangkat pemerintah, akademisi, aktivis, sering diundang ke kegiatan ini untuk menunjukkan eksistensi PPLP dan