• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN RESPONDEN

Kulon Progo merupakan kabupaten yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luas daerah 586,28 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Bantul Provinsi Yogyakarta di sebelah timur, Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara, dan dengan Samudera Hindia di sebelah selatan.

Kabupaten Kulon Progo terdiri dari 12 kecamatan, 88 desa, dan 930 pedukuhan. Keduabelas kecamatan ini dibedakan atas topografinya yaitu; (1) di bagian Utara merupakan wilayah dataran tinggi/ perbukitan dengan ketinggian antara 500-1000 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamatan: Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap; (2) di bagian tengah merupakan wilayah punggung perbukitan dengan ketinggian antara 100-500 meter dari permukaan air laut, meliputi kecamatan: Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah; dan (3) di bagian Selatan merupakan wilayah dataran rendah dengan ketinggian sampai dengan 100 meter dari permukaan air laut meliputi kecamatan: Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan sebagian Lendah. Di Kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur, sebagaian dataran rendah tersebut merupakan kawasan pesisir karena daerah tersebut berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Desa Garongan, Pleret, dan Bugel yang menjadi fokus penelitian ini merupakan bagian dari Kecamatan Panjatan. Ketiga desa ini merupakan bagian dari wilayah konsesi proyek pertambangan pasir besi. Wilayah konsesi ini meliputi area seluas 2900 hektar yang membentang sepanjang 22 kilometer dari Sungai Bogowonto hingga Sungai Progo dan masuk ke arah daerah pemukiman sejauh 1,8 kilometer dari garis pantai (Petani.. 2008). Dengan luasan sepanjang itu, wilayah konsesi pertambangan tidak hanya menggusur wilayah pertanian tetapi juga pemukiman warga.

Kondisi Geografis

Desa Garongan, Pleret, dan Bugel terletak sejajar berderetan di bagian paling Selatan Kabupaten Kulon Progo. Kondisi geografis di ketiga desa ini terbagi menjadi dua, yaitu (1) perkampungan di tepi pantai dimana tanah perumahan warga berada di atas pasir, panjang lokasi perkampungan pantai ini sekitar 2-3 kilometer dari bibir pantai, (2) perkampungan yang di dataran menengah sehingga tanahnya bukan lagi pasir. Kondisi geografis yang berbeda tersebut dipisahkan oleh Jalan Daendels yang membentang disepanjang jalur selatan Pulau Jawa. Kondisi ini begitu terlihat jelas, jika kita mengawali perjalanan dari utara (wilayah Kecamatan Wates) akan terlihat perubahan pemandangan, dari sawah-sawah yang luas membentang menjadi kawasan yang tertutup oleh pepohonan kelapa. Perbedaan kondisi ini pula berpengaruh pada bagaimana lahan digunakan.

Wilayah Selatan, yang lebih dekat ke pantai (pesisir) merupakan wilayah pertanian hortikultura yang sudah dikembangkan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kondisi wilayah ini sangat subur. Tumbuhan berdaun hijau tersebar dimana-

22

dimana. Mata pun terasa sejuk meski matahari panas terik. Wilayah Utara, yang lebih dekat ke dataran tinggi merupakan wilayah pertanian pangan, seperti padi dan jagung. Kondisi wilayah ini sama seperti kebanyakan wilayah pertanian padi di desa-desa Jawa lainnya.

Tanaman hortikultura yang dikembangkan di wilayah pesisir ini berupa sayur-sayuran dan beberapa buah-buahan. Namun yang menjadi primadona dari tanaman yang dibudidayakan adalah cabai. Cabai merupakan tanaman hortikultura utama yang dikembangkan oleh petani lahan Pantai Kulon Progo. Tanaman hortikultura lain, seperti oyong, sawi, kangkung, terong, pare, melon, dan semangka, biasanya ditanam secara tumpang sari diantara tanaman cabai. Tanaman cabai menjadi primadona karena tanaman ini merupakan sumber penghasilan utama petani. Tanaman lain yang ditanam sebagai tumpang sari biasanya dikonsumsi sendiri, tidak untuk dijual.

Meski hampir seluruh wilayah pesisir ditanami oleh tanaman-tanaman yang sama, namun ternyata kenampakan atau kondisi pertanian di Garongan, Pleret, dan Bugel berbeda-beda, seperti yang ditunjukan oleh gambar 1, 2, dan 3 di bawah ini.

Gambar 2 Kebun cabai di Bugel (kiri), Pleret (tengah), dan Garongan (kanan) Dilihat dari Gambar 2, tanaman cabai yang ditanam di Bugel dan di Garongan sama lebatnya, berbeda dengan di Pleret, kerapatan dan tumbuhan cabainya lebih sedikit dan lebih rendah dibanding dua desa lainnya. Berdasarkan pengamatan langsung, ketiga desa memiliki teknologi masing-masing dalam menyiram tanaman. Desa Pleret dan Garongan menggunakan selang air yang bersumber dari sumur.. Untuk mengairi tanamannya, petani berjalan perlahan mengairi satu persatu tanamannya, dari ujung kiri sampai ujung kanan, dari depan sampai ke belakang. Berbeda dengan teknologi yang dipakai di Bugel. Di Desa Bugel, pengairan tanaman dilakukan secara mekanis. Di setiap pinggir bedengan cabai tertanam selang kecil yang berlubang. Satu selang mempunyai banyak lubang tergantung banyaknya tanaman cabai yang ada dalam satu bedengan tersebut. Untuk menyiram, petani hanya menyalakan air, dan air pun menyiram sendiri langsung ke tanaman cabainya.

Kondisi Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk yang menempati Desa Garongan, Pleret, dan Bugel mengambil porsi 34% dari seluruh penduduk yang berada di Kecamatan Panjatan, dengan penduduk terbanyak berada di Desa Pleret, yaitu sebanyak 5208 orang. Dengan perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan seperti yang ditunjukan oleh gambar 3 di bawah ini.

23

Terlihat dalam grafik, jumlah penduduk perempuan lebih dominan dibanding penduduk laki-laki. Di Garongan penduduk perempuan merupakan 50,5% dari total 3814 jiwa.,. Di Pleret perbandingan perempuan dan laki-laki sama. Di Bugel, perempuan merupakan 52.2% dari total 4691 jiwa penduduk.

Jika dilihat secara langsung, penduduk di wilayah pesisir Desa Pleret jauh lebih sepi dibanding dua desa lainnya. Sepi disini dilihat dari keramaian orang berkumpul di depan rumah pada saat siang hari. Di dua desa lainnya, seperti di Garongan dan Bugel, pada saat siang hari, banyak orang yang berlalu lalang atau sekedar nongkrong di warung. Anak-anak kecil pun lebih banyak ditemukan bermain di kedua desa ini. Di Pleret justru ramai pada saat malam hari. Meski tidak seramai Bugel dan Garongan pada saat siang hari. Terlihat pemuda dan bapak-bapak mengobrol bersama sambil merokok di warung yang ada di desa tersebut.

Mata pencaharian di ketiga desa ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya wilayah pesisir, hampir semua petani menanam cabai sebagai sumber nafkah utamanya. Namun terdapat juga beberapa petani yang selain menanam cabai juga menanam tanaman lain, seperti semangka, melon, terong, sawi, oyong, pare, dan kangkung. Di Pleret, ditemukan petani yang juga menanam padi di wilayah utara. Namun, beras yang dihasilkan bukan untuk dijual, melainkan untuk dikonsumsi sendiri. Mata pencaharian di Bugel, lebih beragam diantara dua desa lainnya. Selain petani, beberapa warga bekerja sebagai guru, nelayan, serta penjahit. Namun, tetap penduduk Bugel mengaku bahwa pekerjaan utama mereka adalah petani. Pekerjaan lainnya hanya sampingan. Di Garongan, penduduknya banyak yang membuka warung, karena letak pemukiman yang dekat sekali dengan jalan utama.

Kondisi perekonomian di wilayah pesisir di ketiga desa ini dapat dikatakan sejahtera. Meski tidak dapat dilihat secara fisik, rata-rata pendapatan mereka dalam sekali musim panen cabai mencapai paling sedikit sekitar empat puluh juta rupiah. Jika dihitung rata-ratanya, dua sampai tiga hari sekali saat musim panen, petani bisa mendapatkan uang mencapai lima juta rupiah. Banyak petani cabai mengaku bahwa hasil dari pertanian lebih dari apa yang mereka butuhkan. Di daerah Bugel ada suatu lelucon tentang hasil pertanian mereka. Ketika petani membeli motor baru, petani tersebut berkata bahwa motor tersebut mempunyai

0 1000 2000 3000

Garongan Pleret Bugel

Grafik Perbandingan Jumlah Penduduk di Garongan, Pleret, dan Bugel Tahun 2010

Laki-laki Perempuan

Gambar 3 Grafik perbandingan jumlah penduduk di Garongan, Pleret, dan Bugel Tahun 2010

24

„rasa pedas manis‟. Sebutan tersebut untuk menunjukan bahwa uang untuk membeli motor berasal dari hasil panen cabai (pedas) dan semangka (manis). Bahkan di Garongan, setiap sedang panen raya, dealer motor berkeliling di ladang untuk berjualan motor. Di Pleret, petani tidak lagi hanya memegang cangkul, mereka sudah memegang tab atau alat komunikasi canggih semacamnya.

Karakteristik Responden

Dari keseluruhan responden yang merupakan pengurus hanya 10% atau tiga orang. Responden yang non pengurus berjumlah 27 orang. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, bahwa pengurus Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) hanya berjumlahkan sekitar 10-15 orang, sedangkan anggota PPLP mencapai ribuan orang.

Anggota PPLP yang menjadi responden mayoritas berjenis kelamin perempuan, yaitu 57% (17 orang), laki-laki 43% (13 orang). Hal ini sejajar dengan perbandingan jumlah penduduk di ketiga desa yang lebih banyak berjenis kelamin perempuan Hampir seluruh responden yang diwawancara, terutama yang berjenis kelamin perempuan, pernah terlibat secara langsung dalam sebuah aksi, seperti aksi-aksi demonstrasi atau aksi okupasi lahan. Selain itu, mereka juga terlibat secara tidak langsung, seperti menyiapkan logistik maupun konsumsi utuk keperluan aksi. Dalam masyarakat tersebar istilah bahwa „perjuangan perlawanan bukan titipan, perlawanan dilakukan oleh masing-masing orang‟. Istilah ini membuat anggota PPLP melawan dengan caranya masing-masing, menurut kemampuan diri tiap-tiap orang.

Kelompok Umur dan Tingkat Pendidikan Responden

Respoden yang diwawancarai berada pada empat kelompok umur, seperti yang diperlihatkan oleh tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Presentase responden menurut kelompok umur Kelompok

umur

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % 20-29 1 7.7 5 29.4 6 20.0 30-39 6 46.2 5 29.4 11 36.7 40-49 5 38.5 7 41.2 12 40.0 50-59 1 7.7 0 0 1 3.3 Total 13 100.0 17 100.0 30 100

Responden pada kelompok umur 40-49 tahun hampir sebanding dengan kelompok umur 39. Responden laki-laki dan perempuan berusia dibawah 40 tahun sedikit lebih banyak (57%) dibanding responden usia diatas 40 tahun.

25 Tabel 4 Presentase responden menurut tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan

Laki-Laki Perempuan Total

n % n % n %

TS-SD 1 7.7 2 11.8 3 10.0

SMP 5 38.5 7 41.2 12 40.0

SMA&PT 7 53.8 8 47.1 15 40.0

Total 13 100.0 17 100.0 30 100.0

Keterangan: TS: Tidak sekolah; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; SMA: Sekolah Menengah Pertama; PT: Perguruan Tinggi

Lebih sedikit perempuan dibanding laki-laki berpendidikan setingkat SMA/ PT, namun sebaliknya pada tingkat SMP dan SD. Secara keseluruhan, pendidikan responden cukup tinggi, sekitar 50% berpendidikan SMA dan lebih tinggi.

Jika antara tingkat pendidikan dan umur responden dibandingkan, maka karakteristik responden yang akan terlihat adalah seperti tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Jumlah responden menurut tingkat pendidikan dan kelompok umur

Umur Tingkat Pendidikan (%)

TS-SD SMP SMA-PT

20-39 L 0 23 30.7

P 5.8 29.4 23.5

40-59 L 7.6 15.3 23

P 5.8 11.7 23.5

Dalam tabel terlihat bahwa mayoritas responden perempuan (29,4%) berada di kelompok umur 20-39 tahun dan memiliki tingkat pendidikan mencapai SMP. Seperti halnya responden laki-laki, mayoritas berada pada kelompok umur 20-39 (30,7%) namun dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMA sampai Perguruan Tinggi.

Kepemilikan dan Penguasaan Lahan

Kepemilikan dan penguasaan mengenai lahan di wilayah pesisir Kulon Progo, akan dijelaskan melalui tabel 6 dan 7 di bawah ini.

Tabel 6 Presentase kepemilikan lahan responden di wilayah pesisir Kulon Progo tahun 2014

Identifikasi Kepemilikan Lahan L P Total

n % n % n %

Waktu pertama kali

menggunakan lahan Sejak dulu 1 7.7 10 59 11 37

1930an 1 7.7 1 5.9 2 6.7

1980an 3 23 1 5.9 4 13

1990an 4 31 3 18 7 23

2000an 4 31 2 12 6 20

Pemilik lahan sebelumnya tidak ada pemiliknya 4 31 3 18 7 23 membuka lahan 5 38 8 47 13 43 milik orang tua 3 23 6 35 9 30

26

Mayoritas laki-laki (31%) pertama kali menggunakan lahan sejak tahun 1990-an dan 2000-an. Mayoritas perempuan (59%) menggunakan lahan sejak dulu. Sejak dulu disini maksudnya adalah penggunaan lahan di lahan yang mereka gunakan saat ini telah dimulai dari orang tua mereka. Laki-laki yang menggunakan lahan sejak tahun 90-an dan 2000-an rata-rata karena mereka sebelumnya merantau terlebih dahulu sebelum benar-benar bercocok tanam di wilayah pesisir.

Ketika pertama kali menggunakan lahan, 38% laki-laki mengatakan bahwa mereka membuka lahan tersebut sendiri. Beberapa (31%) mengatakan lahan yang digunakan sekarang tersebut tidak ada yang memiliki. Sedangkan 23% laki-laki mengaku bahwa lahannya tersebut dimiliki oleh orang tua. Sama halnya dengan laki-laki, mayoritas perempuan (47%) mengatakan bahwa lahan yang digunakan saat ini adalah dengan membuka lahan. Sebanyak 35% perempuan mengatakan bahwa lahan yang dipakai merupakan milik orang tua. Sisanya (18%) lahan yang digunakan sekarang merupakan lahan yang kosong, tidak ada yang memiliki.

Uraian tersebut menandakan bahwa sebelum mereka menggunakan lahan, tidak ada siapapun yang memiliki lahan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan jawaban mereka atas pertanyaan mengenai pemilik lahan sebelumnya. Mayoritas responden mengatakan bahwa ia membuka lahan tersebut. Salah seorang warga mengatakan bahwa tanah yang dipakainya sekarang merupakan tanah gontai, yaitu tanah yang tidak diusahakan pemiliknya.

Penguasaan lahan diartikan sebagai ada tidaknya pihak yang berkuasa atas lahan tersebut. Maksudnya, jika memang lahan tersebut ada yang menguasai, maka warga yang menggunakan lahan pasir seharusnya meminta izin terlebih dahulu sebelum menggunakan lahan tersebut.

Tabel 7 Presentase penguasaan lahan menurut responden di wilayah pesisir Kulon Progo tahun 2014

Identifikasi Kepemilikan/ Penguasaan Lahan L P Total

n % n % n %

tidak izin, langsung pakai, dikavling langsung 5 38 7 41 12 40

tanah masyarakat 4 31 2 12 6 20

warisan nenek moyang 4 31 8 47 12 40

Hasil menunjukan bahwa semua responden mendapatkan lahan tersebut tanpa izin, namun dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kategori pertama

adalah mereka yang mengatakan „tidak izin, langsung pakai, dikavling langsung‟.

Tiga puluh delapan persen laki-laki menyatakan pernyataan tersebut, dan merupakan pernyataan yang paling sering dinyatakan oleh laki-laki dari tiga pernyataan yang ada. Perempuan yang menyatakan pernyataan ini berjumlah 41%.

Kemudian, „tanah masyarakat‟6

menjadi jawaban berikutnya. Menurut mereka karena tanah yang ada di wilayah pesisir tersebut milik masyarakat, maka izin tidak diperlukan. Sebanyak 31% laki-laki menyatakan pernyataan ini, sedangkan

perempuan yang menyatakan ini berjumlah 12%. „Warisan nenek moyang‟

menjadi alasan lain izin tidak dilakukan oleh warga. Sebanyak 47% perempuan

6Istilah „tanah masyarakat‟ dibuat sendiri oleh warga pesisir

27 (dan merupakan yang terbanyak diantara dua pernyataan lainnya) menyatakan pernyataan ini, sedangkan laki-laki berjumlah 31 %.

Dengan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa menurut warga tidak ada pihak manapun yang menguasai lahan tersebut. Warga menggunakan tanah kosong dengan mengkavling sendiri dan langsung dipakai. Warga tidak memerlukan izin karena lahan tersebut adalah warisan. Beberapa warga mengatakan bahwa tanah tersebut milik masyarakat, sehingga siapapun bisa memakainya tanpa harus izin.

Pemanfaatan Lahan

Wilayah pesisir Kulon Progo dimanfaatkan warga pesisir untuk bercocok tanam. Berikut penjelasan mengenai bagaimana bercocok tanam tersebut dilakukan.

Tabel 8 Presentase penggunaan lahan responden di wilayah pesisir Kulon Progo tahun 2014

Identifikasi Penggunaan Lahan L P Total

n % n % n %

Luas lahan yang digunakan ≤2500 m 4 31 6 35 10 33

≥2600 m 9 69 11 65 20 67

Tanaman yang dibudidayakan cabai, semangka 2 15 1 6 3 10 cabai, semangka, melon 3 23 2 12 5 17 cabai, semangka, sayuran 2 15 11 65 13 43 cabai, semangka, melon, sayuran 6 46 3 18 9 30 Keuntungan yang didapat per

satu kali musim panen (4-5 bulan)

± 40 juta 3 23 3 18 6 20

± 50 juta 2 15 3 18 5 17

± 100 juta 3 23 2 12 5 17

tergantung harga 3 23 1 6 4 13

tidak menentu, tapi

menguntungkan 2 15 8 47 10 33

Pemenuhan kebutuhan dasar

dari hasil bercocok tanam lebih dari cukup 10 77 14 82 24 80 terpenuhi sampai kuliah anak 2 15 1 6 3 10 mampunmemberi hutang ke yang

lain 1 7.7 2 12 3 10

Seluruh wilayah pesisir Kulon Progo, khususnya yang berada di Desa Garongan, Bugel, dan Pleret digunakan untuk bercocok tanam. Sebanyak enam puluh persen lebih, luas lahan yang digunakan untuk bercocok tanam baik oleh laki-laki maupun perempuan adalah lebih dari 2600 m. Hanya tiga puluh persen sisanya, baik laki-laki maupun perempuan, bercocok tanam di luasan tanah kurang dari 2500 m.

Tanaman yang dibudidayakan oleh semua responden adalah cabai dan semangka. Tanaman lainnya seperti melon dan sayuran tidak semua responden menanamnya. Responden laki-laki lebih banyak (46%) menanam cabai, semangka,

28

melon, dan sayuran di lahannya. Responden perempuan lebih banyak (64%) menanam cabai, semangka, dan sayuran di lahannya.

Keuntungan yang didapatkan per satu kali musim panen dapat mencapai hingga seratus juta rupiah. Keuntungan minimal yang didapat dari bercocok tanam juga masih dapat dikatakan besar, yaitu sekitar empat puluh juta rupiah. Namun beberapa responden (23,1% untuk laki-laki, dan 5,9% untuk perempuan) mengatakan bahwa keuntungan yang didapat tidak dapat diprediksi, tergantung harga cabai yang berlaku pada saat pemanenan. Beberapa responden juga mengatakan (15,4% untuk laki-laki, dan 47,1% untuk perempuan) bahwa keuntungan yang didapat tidak dapat ditentukan, tapi selalu menguntungkan.

Ketika ditanya mengenai pemenuhan kebutuhan dasar dari hasil bercocok tanam, baik laki-laki maupun perempuan menyatakan lebih dari cukup (76,9% untuk laki-laki, dan 82,4% untuk perempuan). Sisanya juga mengindikasikan hal yang sama, namun dengan penjelasan lebih rinci7. Sebanyak 15,4% laki-laki dan 5,9% perempuan menjawab bahwa dari hasil bercocok tanam mereka mampu membiayai kuliah anak. Tujuh koma tujuh persen laki-laki, dan 11,8% perempuan mengaku bahwa mereka dapat memberi hutang ke pihak lain.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa saat ini, wilayah pesisir Kulon Progo digunakan untuk bercocok tanam. Sebagian besar luas lahan yang digunakan untuk bercocok tanam lebih dari 2600 meter. Tanaman utama yang ditanam berupa cabai dan semangka. Tanaman yang lain seperti melon dan sayuran tidak semua warga menanamnya. Keuntungan dari bercocok tanam di lahan pasir dapat mencapai hingga seratus juta rupiah. Meski ada beberapa warga yang tidak mengatakan berapa keuntungannya, namun mereka mengakui bahwa mereka tetap mendapatkan untung. Ini terlihat pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Seluruh responden mengatakan bahwa kebutuhan dasar mereka telah terpenuhi. Bahkan ada beberapa warga yang mampu menyekolahkan anaknya, serta memberikan hutang kepada yang lain dari hasil bercocok tanam tersebut.

7

Beberapa responden menjelaskan istilah „lebih dari cukup‟ dengan mendefinisikan kegiatan maupun kebutuhan diluar kebutuhan dasar.

29

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERLAWANAN PETANI