PEMBUATAN TOOL ANALISIS SPASIAL BAHAYA
KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN
MODELBUILDER (STUDI KASUS PROVINSI ACEH)
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Komputer
Oleh:
RAHMA SORAYA 1308107010019
JURUSAN INFORMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH JANUARI, 2018
iii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul Pembuatan Tool Analisis Spasial Bahaya Kebakaran Hutan
Menggunakan ModelBuilder (Studi Kasus Provinsi Aceh). Shalawat serta salam
penulis sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Proposal ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi di jurusan Informatika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala. Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang Tua dan Keluarga yang selalu memberikan dukungan, doa dan semangat kepada penulis.
2. Bapak Dr. Muhammad Subianto, M.Si, (Ketua Jurusan Informatika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala).
3. Bapak Dr. Nizamuddin, M.Info.,Sc., selaku Pembimbing I dan Bapak Ardiansyah, BSEE, M.Sc, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
4. Kak Fitria Rambe, SE dan Kak Liya Novita, S. Kom selaku staf bagian administrasi Jurusan Informatika Unsyiah yang telah membantu proses administrasi penulis.
5. Teman-teman mahasiswa/mahasiswi angkatan 2013 Jurusan Informatika Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan semangat dan motivasi selama proses penyelesaian Tugas Akhir ini.
iv
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak akan sangat membantu. Dengan segala kerendahan hati, harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Banda Aceh, Januari 2018
v
ABSTRAK
Kebakaran hutan di Indonesia saat ini, telah menjadi perhatian internasional yang tiap tahun menimbulkan dampak kerugian terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi. Menurut Global Forest Watch, di wilayah Aceh pada tahun 2001-2014 tercatat sekitar 464.698 Ha luas hutan yang telah terbakar. Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan maka salah satu tindakan yang dilakukan adalah dengan membuat peta bahaya kebakaran hutan. Untuk membuat peta bahaya biasanya diperlukan berbagai tahapan analisis sehingga memakan waktu dan tenaga. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah tool agar analisis bahaya kebakaran hutan dapat dilakukan secara praktis dan cepat. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sebuah
tool yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menghasilkan peta bahaya
kebakaran hutan di Provinsi Aceh dengan memanfaatkan ModelBuilder. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah skoring, pembobotan dan overlay. Setelah tool selesai dibangun dan dijalankan, hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa tingkat bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh terbagi atas lima kelas yaitu sangat rendah dengan luas 3.341,58 Ha (0,1%), rendah 2.000.383,14 Ha (38,7%), sedang 1.485.653,35 Ha (28,7%), tinggi 1.251.483,98 Ha (24,2%) dan sangat tinggi 430.298,80 Ha (8,3%). Selanjutnya dilakukan evaluasi hasil dari tool dengan menggunakan data titik panas. Hasil yang diperoleh adalah sebanyak 326 titik panas yang terdeteksi di wilayah dengan tingkat kebakaran hutan yang tinggi. Sedangkan untuk pengujian kelayakan sistem digunakan metode SUS (System
Usability Scale) yang dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada 30
responden dengan jumlah 10 pertanyaan. Hasil yang diperoleh dalam pengujian kelayakan sistem adalah 77,2 yang berarti tool Forest Fire termasuk ke dalam grade C (Good).
Kata kunci: Kebakaran Hutan, ModelBuilder, Titik Panas, SUS (System Usability
vi
ABSTRACT
Forest fires in Indonesia have become an international concern which have negative environmental, social and economical impacts every year. According to Global Forest Watch, in Aceh region in 2001-2014 it was recorded about 464,698 Ha of forest area that has been burned. In order to prevent the occurrence of forest fires, one of the actions taken is to make a map of forest fire hazard. Making a map usually require various stages of analysis so that it takes time and energy. Therefore, a tool is needed so that forest fires hazard analysis can be done practically and quickly. The objectives of this study were to identify and to generate a forest fire hazard map of Aceh province area using ModelBuilder. The method used in this study were scoring, weighting and overlay. After the tool was completed and operated, the result showed that the forest fire hazard level of Aceh Province was divided into five classes, namely very low 3.341,58 Ha (0,1%), low 2.000.383,14 Ha (38,7%), average 1.485.653,35 Ha (28,7%), high 1.251.483,98 Ha (24,2%) and very high 430.298,80 Ha (8,3%). Then the results of the tool were evaluated by using hotspot data. The results obtained were 326 hotspots detected in areas as high forest fire level. The feasibility system was analyzed by using SUS (System Usability Scale) method which was carried out by distributing questionnaire consisting of 10 questions which had been validated to 30 respondents. The results obtained from those questionnaires were calculated using SUS method to yield a system feasibility score of 77,2. The value means the Forest Fire tool is categorized to grade C or good.
vii
DAFTAR ISI
Halaman Tugas Akhir………...i Pengesahan ………...Error! Bookmark not defined. Kata Pengantar ………iiiAbstrak ……….v
Abstract ………...vi
Daftar Isi ………vii
Daftar Tabel ……...………..x
Daftar Gambar……….xi
Daftar Lampiran ..……….xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 3
1.3.Tujuan Penelitian ... 3
1.4.Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1.Gambaran Umum Provinsi Aceh ... 4
2.2.Hutan ... 6
2.3.Kebakaran Hutan ... 6
2.3.1. Pengertian Kebakaran Hutan ... 6
2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan ... 7
2.3.3. Teknik Pencegahan Kebakaran Hutan ... 7
2.4.Peta Bahaya Kebakaran Hutan ... 8
2.5. Hotspot (Titik Panas) ... 8
2.6. Metode Skoring dan Pembobotan ... 9
2.6.1. Parameter-Parameter Bahaya Kebakaran Hutan ... 9
2.6.1.1. Penutupan Lahan ... 9
2.6.1.2. Jenis Lahan (gambut dan non-gambut) ... 10
2.6.1.3. Kelerengan ... 11
2.6.1.4. Ketinggian ... 12
2.6.1.5. Jarak dari Permukiman (Desa)... 12
2.6.1.6. Jarak dari Sungai... 13
2.6.1.7. Jarak dari Jalan ... 14
2.6.2. Pembobotan ... 14
2.7. Analisis Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan ... 15
2.8. Weighted Sum ... 16
2.9. Euclidean Distance ... 17
2.10. ModelBuilder ... 18
2.11. Metode SUS (System Usability Scale) ... 20
viii
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.Tempat dan Waktu Penelitian ... 27
3.2.Alat dan Bahan ... 27
3.2.1. Alat ... 27
3.2.2. Bahan ... 27
3.3.Prosedur Penelitian ... 29
3.3.1. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 30
3.3.2. Studi Literatur ... 30
3.3.3. Pengumpulan Data ... 30
3.3.4. Perancangan Tool ... 31
3.3.5. Pembuatan Tool ... 31
3.3.6. Tahap Evaluasi Tool ... 32
3.3.7. Peta Bahaya Kebakaran Hutan Provinsi Aceh... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perancangan Tool ... 34
4.1.1. Perancangan Peta Penggunaan Lahan ... 34
4.1.2. Perancangan Peta Lahan Gambut ... 34
4.1.3. Perancangan Peta Ketinggian dan Kelerengan Lahan ... 35
4.1.4. Perancangan Peta Jarak dari Permukiman, Sungai dan Jalan ... 36
4.1.5. Pembobotan menggunakan Weighted Sum dan Reklasifikasi Peta Bahaya Kebakaran Hutan ... 37
4.2.Pembuatan Tool ... 40
4.2.1. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan ... 41
4.2.2. Pembuatan Peta Lahan Gambut dan Non Gambut ... 43
4.2.3. Pembuatan Peta Kelerengan Lahan ... 44
4.2.4. Pembuatan Peta Ketinggian Lahan ... 46
4.2.5. Pembuatan Peta Jarak dari Desa ... 47
4.2.6. Pembuatan Peta Jarak dari Sungai ... 48
4.2.7. Pembuatan Peta Jarak dari Jalan ... 50
4.2.8. Pemberian Nilai Bobot pada Setiap Parameter ... 52
4.2.9. Pengecekan Nilai Bobot ... 53
4.2.10. Overlay Parameter Bahaya Kebakaran Hutan... 54
4.2.11. Reklasifikasi Hasil Berdasarkan Kelas Bahaya Kebakaran Hutan 56 4.2.12. Menghitung Luas Area Berdasarkan Kelas Bahaya Kebakaran Hutan ... 57
4.3.Tampilan Antarmuka Tool Forest Fire ... 58
4.4.Evaluasi Sistem ... 62
4.4.1. Pengujian Validitas Hasil Tool Menggunakan Titik Panas (Hotspot) ... 62
4.4.2. Pengujian Validitas Tool Forest Fire Menggunakan Metode SUS (System Usability Scale) ... 65
4.4.3. Evaluasi Hasil dengan Peta Eksisting ... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.Kesimpulan ... 69
ix
DAFTAR KEPUSTAKAAN ………...………70 LAMPIRAN ………..74
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Skor kelas penutupan lahan... 10
Tabel 2.2. Skor jenis lahan (gambut dan non gambut) ... 11
Tabel 2.3. Skor kelas kelerengan ... 12
Tabel 2.4. Skor kelas ketinggian ... 12
Tabel 2.5. Skor jarak dari permukiman ... 13
Tabel 2.6. Skor jarak dari sungai ... 14
Tabel 2.7. Skor jarak dari jalan ... 14
Tabel 2.8. Pembobotan parameter risiko kebakaran hutan pada penelitian Widodo ... 15
Tabel 2.9. Daftar pertanyaan kuesioner SUS ... 22
Tabel 4.1. Pembobotan parameter kebakaran hutan ... 38
Tabel 4.2. Nilai klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan ... 40
Tabel 4.3. Nilai klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan ... 57
Tabel 4.4. Luas daerah bahaya kebakaran hutan berdasarkan tingkat bahaya kebakaran ... 61
Tabel 4.5. Jumlah hotspot pada wilayah tingkat bahaya kebakaran hutan ... 62
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Peta batas administrasi Provinsi Aceh ... 5
Gambar 2.2. Ilustrasi cara kerja Weighted Sum ... 17
Gambar 2.3. Ilustrasi cara kerja Euclidean Distance ... 18
Gambar 2.4. Ilustrasi model sederhana pada ModelBuilder ... 18
Gambar 2.5. Elemen pada ModelBuilder ... 19
Gambar 2.6. Skala nilai skor SUS ... 21
Gambar 2.7. Pemanfaatan ModelBuilder pada pemetaan rawan kebakaran ... 24
Gambar 2.8. Pemanfaatan ModelBuilder pada analisa kesesuaian lahan permukiman di Kota Makassar ... 25
Gambar 3.1. Skema kerja pembuatan tool analisis tingkat bahaya kebakaran hutan ... 29
Gambar 4.1. Skema perancangan peta penggunaan lahan ... 34
Gambar 4.2. Skema perancangan peta lahan gambut ... 35
Gambar 4.3. Skema perancangan peta ketinggian dan kelerengan lahan ... 36
Gambar 4.4. Skema perancangan peta jarak dari permukiman, sungai dan jalan . 37 Gambar 4.5. Skema overlay Weighted Sum dan reklasifikasi ... 39
Gambar 4.6. Tool Feature to Raster pada peta penggunaan lahan ... 42
Gambar 4.7. Reclassify penggunaan lahan ... 42
Gambar 4.8. Proses pembuatan peta penggunaan lahan pada ModelBuilder ... 43
Gambar 4.9. Tool Feature to Raster pada peta lahan gambut ... 43
Gambar 4.10. Reclassify jenis lahan gambut dan non gambut ... 44
Gambar 4.11. Proses pembuatan peta penggunaan lahan pada ModelBuilder ... 44
Gambar 4.12. Tool Slope pada kelerengan lahan ... 45
Gambar 4.13. Reclassify kelerengan lahan ... 45
Gambar 4.14. Proses pembuatan peta kelerengan lahan pada ModelBuilder ... 46
Gambar 4.15. Reclassify ketinggian lahan ... 46
Gambar 4.16. Proses pembuatan peta ketinggian lahan pada ModelBuilder ... 46
Gambar 4.17. Tool Euclidean Distance pada peta desa ... 47
Gambar 4.18. Reclassify jarak dari permukiman (desa) ... 48
Gambar 4.19. Proses pembuatan peta jarak dari desa pada ModelBuilder ... 48
Gambar 4.20. Tool Euclidean Distance pada peta desa ... 49
Gambar 4.21. Reclassify jarak dari sungai ... 49
Gambar 4.22. Proses pembuatan peta jarak dari sungai pada ModelBuilder ... 50
Gambar 4.23. Tool Euclidean Distance pada peta jaringan jalan ... 50
Gambar 4.24. Reclassify jarak dari jalan ... 51
Gambar 4.25. Proses pembuatan peta jarak dari jalan pada ModelBuilder ... 51
Gambar 4.26. Pemberian Model Parameter pada variabel ... 52
Gambar 4.27. Penggunaan Calculate Value untuk pengecekan pembobotan ... 53
Gambar 4.28. Tool Calculate Value dan Iteration Stop pada ModelBuilder ... 54
Gambar 4.29. Tool Weighted Sum untuk analisis parameter bahaya kebakaran hutan ... 54
xii
Gambar 4.30. Overlay menggunakan Weighted Sum... 55 Gambar 4.31. Data raster bahaya kebakaran hutan sebelum di Reclassify ... 56 Gambar 4.32. Reclassify untuk peta bahaya kebakaran hutan ... 57 Gambar 4.33. Proses mencari nilai luas daerah kebakaran menggunakan Tabulate
Area pada ModelBuilder ... 58
Gambar 4.34. Tampilan antarmuka tool Forest Fire ... 59 Gambar 4.35. Output hasil run tool Forest Fire ... 60 Gambar 4.36. Output tabel luas daerah bahaya kebakaran hutan hasil run tool
Forest Fire ... 61
Gambar 4.37. Peta bahaya kebakaran hutan dengan sebaran hotspot 2016 di Provinsi Aceh ... 64 Gambar 4.38. Peta bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh hasil dari tool Forest
Fire ... 67
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Analisis bahaya kebakaran hutan pada ModelBuilder ... 74
Lampiran 2. Keterangan dari tampilan antarmuka tool Forest Fire ... 75
Lampiran 3. Peta bahaya kebakaran hutan hasil run tool Forest Fire ... 78
Lampiran 4. Pertanyaan kuesioner ... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi perhatian dunia internasional khususnya sejak kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 80-an (Adiningsih et al, 2005). Kebakaran hutan adalah penyebab utama kerusakan hutan yang paling besar dan bersifat sangat merugikan. Kebakaran hutan sering terjadi jika musim kemarau berkepanjangan pada suatu daerah tersebut. Kebakaran hutan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alam (biofisik) dan perilaku manusia. Faktor alam yang mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan adalah bahan bakar, iklim dan topografi. Sedangkan faktor perilaku manusia disebabkan oleh tindakan kesengajaan maupun kelalaian yang menyebabkan terjadinya kebakaran seperti penyiapan lahan dengan tebas bakar serta kelalaian mematikan api. Dalam perkembangannya, faktor perilaku manusia menjadi penyebab utama kejadian kebakaran hutan di Indonesia dan sangat kecil terjadinya akibat faktor alam seperti gesekan kayu, fenomena alam
El Nino maupun petir (Widodo, 2014).
Menurut data BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), beberapa daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan yaitu Jawa, Sumatera Selatan, Aceh, Bali, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara, dan Kalimantan Barat. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan akan memperketat pengawasan di wilayah Aceh dan Kalimantan Selatan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah tersebut (Wahyuni, 2015). Wilayah Aceh pada tahun 2001-2014 tercatat sekitar 464.698 Ha hutan yang telah terbakar. Tahun 2009 adalah wilayah dengan kebakaran hutan terluas yaitu 69.153 Ha (globalforestwatch.org, 2013). Berdasarkan data LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), pada tahun 2014 di Provinsi Aceh terdeteksi titik panas (hotspot) sebanyak 527 titik (tingkat kepercayaan ≥ 50%) dengan luas kawasan hutan yang terbakar seluas 46.908 Ha (lapan.go.id, 2016).
2 Pencegahan kebakaran hutan merupakan suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam pencegahan kebakaran hutan yaitu pembuatan peta bahaya kebakaran hutan. Informasi mengenai daerah bahaya kebakaran hutan merupakan informasi yang sangat penting dan diperlukan oleh petugas pemadam kebakaran hutan dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Purbowaseso, 2004).
Peta bahaya kebakaran dibuat berdasarkan analisis spasial sebaran bahaya kebakaran. Suatu analisis spasial mencakup tumpang susun (overlay) beberapa data spasial dengan menggunakan metode tertentu. Proses analisis spasial tersebut dapat dipermudah dengan membangun suatu model. Model adalah alur kerja yang berisi
input, tool geoprocessing, dan output. Sebuah output dari suatu tool dapat menjadi input bagi tool lainnya sehingga membentuk suatu rangkaian. Model sangat
berguna untuk melakukan analisis yang cukup kompleks. Sebuah fitur pada ArcGIS yang dapat digunakan untuk membuat, mengedit dan mengelola model tersebut adalah ModelBuilder (Raharjo dan Ikhsan, 2015).
Proses overlay dengan menggunakan ModelBuilder akan lebih efisien dan efektif serta mudah untuk dipahami. Hal tersebut karena pada ModelBuilder analisis yang dikerjakan dapat direpresentasikan menggunakan konsep flow chart atau diagram alir sehingga dapat memudahkan pengguna dalam memahami proses dari sebuah model (Buchori dan Susilo, 2012). Oleh karena di Provinsi Aceh mulai sering terjadinya kebakaran hutan, maka diperlukan sebuah tool untuk menganalisis bahaya kebakaran hutan agar analisis dapat dijalankan secara praktis. Berdasarkan pemaparan permasalahan tersebut, maka Tugas Akhir ini mengambil judul
Pembuatan Tool Analisis Spasial Bahaya Kebakaran Hutan Menggunakan
3
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan sebelumnya, pembuatan peta bahaya kebakaran hutan adalah salah satu tindakan awal dalam pencegahan kebakaran hutan. Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi bahaya kebakaran hutan. Sementara itu belum tersedia tool yang dapat mempermudah analisis dan pembuatan peta bahaya kebakaran hutan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah tool untuk pemetaan wilayah bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Merancang dan membuat sebuah tool dengan menggunakan ModelBuilder yang digunakan untuk analisis spasial bahaya kebakaran hutan.
2. Membuat peta bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh dengan menggunakan tool yang telah dibuat.
3. Mengevaluasi kegunaan dari tool pemetaan bahaya kebakaran hutan yang telah dibuat dengan menggunakan metode SUS.
4. Mengevaluasi hasil tool dengan data titik panas (hotspot).
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari penelitian ini antara lain:
1. Membuat peta menjadi lebih mudah dengan menggunakan tool yang sudah dibuat.
2. Adanya peta bahaya kebakaran hutan sebagai dasar referensi tindakan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan.
4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Gambaran Umum Provinsi Aceh
Provinsi Aceh terletak antara 01⁰ 58’ 37,2” – 06⁰ 04’ 33,6” Lintang Utara dan 94⁰ 57’ 57,6” – 98⁰ 17’ 13,2” Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2013 Provinsi Aceh terdiri atas 18 Kabupaten dan 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6.474 gampong atau desa. Adapun kabupaten/kota di Provinsi Aceh adalah Simeulue, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Nagan Raya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie Jaya, Banda Aceh, Sabang, Langsa, Lhokseumawe, Subulussalam (BPS, 2015).
Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah dengan Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan Provinsi Sumatera Utara. Luas Provinsi Aceh 5.667.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.270.080 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 700.350 ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 2.096 ha (BPS, 2015). Wilayah Provinsi Aceh dapat kita lihat pada Gambar 2.1. berikut.
5 Gambar 2.1. Peta batas administrasi Provinsi Aceh
6
2.2. Hutan
Menurut Arief (1994), hutan adalah suatu kawasan yang terdapat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup di permukaan dan di dalam lapisan tanah, serta membentuk suatu ekosistem yang berada dalam sebuah keseimbangan. Hutan adalah kawasan tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dari keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Secara sederhana, hutan diartikan sebagai suatu komunitas biologi yang didominasi oleh pohon-pohonan tanaman keras. Sedangkan menurut UU No. 5 tahun 1967, hutan diartikan sebagai lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya (Subagyo, 1992). Hutan memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan. Keberadaan dan kelangsungan hutan perlu dijaga oleh masyarakat. Atas dasar itu, perlu pengaturan yang baik dalam memanfaatkan dan mengelolanya.
2.3. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan, termasuk Provinsi Aceh. Mengingat pentingnya akan sumber daya hutan dalam penambahan devisa negara, agar tidak terjadi penurunan maka upaya perlindungan hutan dari gangguan luar terutama dari kebakaran hutan, perlu diusahakan semaksimal mungkin.
2.3.1. Pengertian Kebakaran Hutan
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan (2009) Kebakaran Hutan adalah suatu kawasan hutan yang dilanda api sehingga menyebabkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian baik kerugian ekonomis maupun lingkungan.
Menurut pakar kehutanan, Prof. Bambang Hero Saharjo (2003) Kebakaran Hutan adalah pembakaran yang penjalaran apinya luas dan cepat serta membakar bahan bakar alam di hutan seperti rumput, semak belukar, dedaunan, serasah dan pohon-pohon. Syaufina (2008) mendefinisikan Kebakaran Hutan sebagai
7 kebakaran yang melahap bahan bakar alam tumbuhan yang terjadi secara bebas sehingga meluas dan tidak terkendali di dalam kawasan hutan.
Menurut Brown dan Davis (1973) Kebakaran Hutan merupakan proses reaksi oksigen dengan unsur-unsur pendukung lainnya seperti panas, cahaya, serta api dengan penyebaran yang luas dan membakar bahan bakar tumbuh-tumbuhan baik yang masih hidup maupun yang sudah mati seperti semak belukar, humus, gulma dan serasah. Kebakaran Hutan juga didefinisikan sebagai kebakaran hutan yang terjadi secara keseluruhan maupun sebagian atau juga tumbuh-tumbuhan yang mudah terbakar lainnya (Hussin, 2008).
2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alam (biofisik) dan faktor perilaku manusia. Faktor biofisik yang mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan antara lain adalah bahan bakar, cuaca, waktu dan topografi. Adapun faktor perilaku manusia lebih disebabkan oleh tindakan kesengajaan dan kelalaian yang menyebabkan terjadinya kebakaran (Purbowaseso, 2004).
Faktor – faktor tindakan kesengajaan penyebab kebakaran hutan misalnya pembakaran yang dilakukan untuk membuka lahan, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Hutan Tanaman Industri (HTI), transmigrasi, penyiapan lahan untuk ternak sapi. Sementara itu, faktor karena kelalaian manusia atau tidak disengaja seperti api dari bekas puntung rokok yang dibuang, api dari bekas perapian para wisatawan atau pengunjung yang berekreasi dengan melakukan perkemahan, dan api dari bekas pekerja yang melakukan survei di hutan.
2.3.3. Teknik Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan merupakan upaya yang dilakukan pada fase sebelum kejadian berlangsung. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pencegahan kebakaran hutan meliputi (Purbowaseso, 2004):
1. Membuat peta kerawanan kebakaran hutan
2. Memantau cuaca, akumulasi bahan bakar dan gejala rawan kebakaran 3. Penyiapan regu pemadam kebakaran
8 5. Penyiapan peralatan pemadam
6. Penyuluhan
2.4. Peta Bahaya Kebakaran Hutan
Bahaya merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian maupun tidak menimbulkan kerugian. Ketika suatu bahaya menimbulkan kerugian maka bahaya tersebut dinamakan sebagai suatu bencana. Ancaman sering juga disebut bahaya adalah lapis data (layer) menggambarkan tingkat dan atau magnitude kejadian alam yang berpotensi menjadi penyebab peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia (amazonaws.com, 2013). Pemetaan bahaya bencana dapat diterapkan ke dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) dan kemudian ditampilkan secara spasial.
Peta bahaya adalah representasi atau gambaran suatu wilayah yang menyatakan suatu bahaya tertentu pada wilayah tersebut (BNPB, 2012). Menurut Setyawan (2013), peta bahaya kebakaran hutan merupakan peta yang menunjukkan wilayah dari kawasan hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran. Dalam pemilihan parameter penyusun peta tersebut haruslah disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Dalam penelitian ini data dan parameter penyusun peta bahaya kebakaran hutan meliputi: penutupan lahan, jenis lahan (gambut dan non gambut), ketinggian, kelerengan, jarak dari desa, jarak dari sungai dan jarak dari jalan terhadap kawasan hutan.
2.5. Hotspot (Titik Panas)
Hotspot (titik panas) secara definisi dapat diartikan sebagai daerah yang
memiliki suhu permukaan relatif lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya berdasarkan ambang batas suhu tertentu yang terpantau oleh satelit pengindraan jauh. Tipologi nya adalah titik dihitung sebagai jumlah bukan suatu luasan. Hotspot adalah hasil deteksi kebakaran hutan/lahan pada ukuran piksel tertentu (misal 1 km x 1 km) yang kemungkinan terbakar pada saat satelit melintas pada kondisi relatif bebas awan dengan menggunakan algoritme tertentu (Giglio L. et al. 2003). Sedangkan menurut Purbowaseso (2004) titik panas (hotspot) merupakan daerah
9 dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi dan menyebabkan bahan bakar cepat mengering, sehingga memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu yang tinggi akan mengindikasikan bahwa daerah tersebut cuacanya kering, sehingga rawan terhadap kebakaran.
Satelit pengindraan jauh yang digunakan untuk deteksi hotspot oleh LAPAN (2016) adalah Terra/Aqua-MODIS dan Suomi NPP-VIIRS. Penggunaan
Hotspot sangat direkomendasikan untuk kegiatan deteksi dini adanya kebakaran
hutan dan lahan karena merupakan indikator adanya kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Saat ini, satu-satunya alat yang paling efektif dalam mendeteksi kebakaran hutan dalam wilayah luas adalah menggunakan satelit pengindraan jauh. Banyaknya titik panas pada suatu wilayah menandakan bahwa daerah tersebut bahaya terhadap kebakaran hutan. Dalam hal ini terdapat korelasi antara jumlah titik panas dengan tingkat bahaya kebakaran. Semakin banyak jumlah titik panas, maka akan semakin tinggi tingkat bahaya terjadinya kebakaran hutan. Data hotspot ini akan digunakan sebagai pengujian akurasi hasil peta terhadap analisis bahaya kebakaran hutan.
2.6. Metode Skoring dan Pembobotan
Metode skoring adalah suatu metode pemberian skor atau nilai terhadap masing-masing parameter untuk menentukan tingkat kemampuannya. Penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Sedangkan metode pembobotan atau disebut juga weighting adalah suatu metode yang digunakan apabila setiap karakter memiliki peranan berbeda atau jika memiliki beberapa parameter untuk menentukan kemampuan lahan atau sejenisnya (Sholahuddin, 2015).
2.6.1. Parameter-Parameter Bahaya Kebakaran Hutan 2.6.1.1. Penutupan Lahan
Komponen utama dari bahaya kebakaran hutan adalah penutupan lahan. Hal ini dikarenakan pada penutupan lahan tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar seperti pohon-pohon yang daunnya berguguran karena pengaruh suhu dan cuaca yang panas, daun tersebut akan mengering dan menjadi bahan bakar yang mudah terbakar bila tersulut api. Sedangkan penutupan lahan yang hanya sebatas
10 tanah terbuka yang tidak menghasilkan bahan bakar maka sangat rendah akan potensi bahaya kebakaran. Oleh sebab itu, pada setiap penutupan lahan diberikan nilai atau skor sesuai dengan bahayanya terhadap kebakaran hutan (Setyawan, 2013).
Untuk penutupan lahan pemberian nilai atau skor dilakukan berdasarkan kepada kepekaan jenis penutupan lahan yang bersangkutan terhadap terjadinya kebakaran. Nilai skor 7 diberikan kepada jenis penutupan lahan yang sangat peka yaitu sangat mudah terbakar, sampai nilai 1 untuk sulit terbakar. Tabel 2.1. adalah pemberian skor yang mengacu pada klasifikasi yang dilakukan oleh Sabaraji (2005).
Tabel 2.1. Skor kelas penutupan lahan
Jenis Penutupan Lahan Skor
Semak Belukar, Pertanian Lahan Kering Primer 7 Belukar Rawa, Hutan Lahan Kering Sekunder, Hutan Tanaman
Industri, Pertanian Lahan Kering + Semak 6
Hutan Rawa Sekunder, Perkebunan 5
Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Rawa Primer 4
Hutan Mangrove Sekunder 3
Hutan Mangrove Primer 2
Tambak, Tanah Terbuka, Bandara, Pelabuhan, Rawa, Tubuh Air, Permukiman/ Transmigrasi, Sawah, Pertambangan 1
Sumber: Sabaraji (2005)
2.6.1.2. Jenis Lahan (gambut dan non-gambut)
Gambut merupakan hasil pelapukan tumbuhan dalam jangka waktu yang lama. Pada saat aerob, gambut akan melepas CO2 dan CH4, tetapi pada suasana
anaerobgambut akan menimbun CO2 dan CH4. Lahan gambut adalah lahan organik
yang dapat menyerap air paling tidak 10 kali bobotnya, apabila air di dalam lahan gambut di drainase secara berlebihan, maka mengakibatkan lahan menjadi kering (Bintoro et al, 2010). Lahan gambut yang mengering akan mengurangi kemampuan daya mengikat air secara drastis dan pada saat musim kemarau panjang, gambut
11 akan lebih cepat mengering dan mudah terbakar. Saluran drainase dapat menyebabkan menurunnya ketebalan gambut secara permanen.
Lahan gambut merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap potensi dan dampak kebakaran yang terjadi. Kebakaran lahan gambut sangat sulit dipadamkan dan proses penyebarannya cepat meluas sehingga menyebabkan polusi kabut asap Solichin et al (2007). Dalam pemberian skor untuk jenis lahan gambut diberikan nilai skor 5 dan skor untuk jenis lahan non gambut adalah 1. Tabel 2.2. adalah pemberian nilai skor untuk kelas jenis lahan (gambut dan non gambut).
Tabel 2.2. Skor jenis lahan (gambut dan non gambut)
Jenis Lahan Kelas Kerawanan Skor
Gambut Tinggi 5
Non Gambut Rendah 1
Sumber: Solichin et al. (2007)
2.6.1.3. Kelerengan
Pada suatu kawasan hutan pengaruh angin sangat berbahaya pada kebakaran hutan yaitu angin dapat memperluas area kebakaran hutan. Dimana cepat lambatnya penyebaran api tergantung dari kecepatan angin tersebut. Selain itu, angin juga dapat membesarkan titik api sehingga dapat meluas secara cepat untuk membakar bahan bakar. Dalam penelitian ini besarnya kecepatan angin ditentukan juga dari kemiringan lereng. Hal ini dikarenakan semakin curam/terjal suatu tempat, semakin rendah pula angin yang bertiup hal ini disebabkan oleh pengaruh gaya gesekan yang menghambat laju udara (Setyawan, 2013).
Adanya gunung, pohon dan permukaan yang tidak rata memberikan gaya gesekan yang besar pada pergerakan angin. Gaya gesekan tersebutlah yang menyebabkan angin mengalami penurunan kecepatan atau melambat. Untuk dataran dengan kelerengan rendah maka sangat berpotensi tinggi terjadinya kebakaran, diberi nilai skor 5. Begitu juga seterusnya untuk dataran dengan kelerengan tinggi maka sangat rendah berpotensi terjadinya kebakaran dan diberi skor 1. Tabel 2.3. adalah penentuan skor kelas kelerengan lahan.
12 Tabel 2.3. Skor kelas kelerengan
Kemiringan Lereng (%) Kelas Kerawanan Skor
< 8 Sangat Tinggi 5
8 – 15 Tinggi 4
16 – 25 Sedang 3
26 – 40 Rendah 2
>40 Sangat Rendah 1
Sumber: SK Dirjen RRL No: 041/Kpts/V/1998 Tentang Kriteria Lahan Menggunakan Aspek Spasial
2.6.1.4. Ketinggian
Daerah yang memiliki dataran yang tinggi maka memiliki gaya gesekan yang tinggi apabila dibandingkan dengan daerah yang memiliki dataran rendah. Sehingga sulit terjadinya kebakaran. Dan juga daerah tersebut jauh dari permukaan laut dan tidak banyaknya akses masyarakat ke daerah tersebut. Pada tempat-tempat yang rendah dikatakan bahwa memiliki potensi yang tinggi untuk terbakar dan diberi nilai skor 5 dan seterusnya pada tempat yang tinggi maka memiliki potensi yang sangat rendah/sulit terbakar diberi nilai skor 1 Solichin et al. (2007). Penentuan skor kelas ketinggian lahan ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Skor kelas ketinggian
Ketinggian (m) Skor < 50 6 50 – 100 5 100 – 200 4 200 – 500 3 500 – 1.000 2 > 1.000 1 Sumber: Sabaraji (2005)
2.6.1.5. Jarak dari Permukiman (Desa)
Jarak dari permukiman penduduk pada dasarnya digunakan untuk menentukan pengaruh aktivitas manusia terhadap kebakaran hutan oleh sebab itu permukiman penduduk memiliki peranan sangat penting yaitu semakin jauh lokasi
13 hutan terhadap permukiman penduduk dan jalan maka kemungkinan hutan untuk terbakar semakin kecil (Arianti, 2006). Pada musim kemarau aktivitas masyarakat sekitar hutan untuk memperoleh penghidupan dari hutan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan lahan untuk bercocok tanam masyarakat menjadi tidak produktif lagi karena kekeringan. Pembuatan arang kayu dari pohon di hutan dapat menyebabkan bahaya kebakaran hutan (Qodariah dan Wijanarko, 2008). Berdasarkan pembagian kelas jarak dari permukiman diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Suparni (2014). Dasar untuk membagi kelas jarak dari permukiman tertera pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Skor jarak dari permukiman
Jarak dari Permukiman (m) Kelas Kerawanan Skor
< 1000 Sangat Tinggi 5 > 1000 – 2000 Tinggi 4 > 2000 – 3000 Sedang 3 > 3000 – 4000 Rendah 2 > 4000 Sangat Rendah 1 Sumber: Suparni (2014)
2.6.1.6. Jarak dari Sungai
Fungsi sungai dalam kebakaran hutan berkaitan dengan ketersediaan air untuk pemadaman kebakaran hutan. Dimana semakin jauh jarak hutan dengan sungai maka semakin rawan terjadi kebakaran hutan begitu juga sebaliknya. Sehingga walaupun hutan termasuk dalam wilayah bahaya kebakaran tinggi dengan jarak hutan dengan sungai dekat maka akan mempermudah dalam pemadaman kebakaran hutan sebelum api menyebar lebih luas. Serta dengan adanya sungai maka dapat digunakan sebagai langkah pertama dalam memadamkan api sebelum mobil pemadam kebakaran sampai di lokasi kebakaran (Setyawan, 2013). Dalam pemberian nilai atau skor, skor terendah untuk jarak dari sungai yang dekat dengan hutan begitupun sebaliknya. Tabel 2.6. adalah skor jarak dari sungai oleh Jaiswal et
14 Tabel 2.6. Skor jarak dari sungai
Jarak dari Sungai (m) Kelas Kerawanan Skor
0 – 100 Sangat Rendah 1
100 – 200 Rendah 2
200 – 300 Sedang 3
300 – 400 Tinggi 4
> 400 Sangat Tinggi 5
Sumber : Jaiswal et al. (2002)
2.6.1.7. Jarak dari Jalan
Jarak jalan terhadap hutan dalam pengaruhnya terhadap kebakaran hutan hampir sama dengan jarak desa terhadap hutan. Hal ini dikarenakan dengan dekatnya jarak jalan terhadap hutan maka akses menuju hutan di sekitar jalan pun juga akan sering terjadi. Sehingga tindakan ceroboh ketika sedang berkendara seperti membuang puntung rokok diluar area jalan akan memicu timbulnya api yang berakhir dengan kebakaran hutan. Selain itu, dengan adanya akses jalan tersebut dapat mempermudah masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan hutan. Interaksi tersebut dapat berdampak buruk akibat dari kelalaian masyarakat yang menyebabkan timbulnya api sebagai pemicu kebakaran hutan (Setyawan, 2013). Selanjutnya pemberian nilai atau skor sesuai dengan jauh dekatnya jarak jalan terhadap hutan. Dimana skor terendah untuk jarak jalan yang jauh dari hutan dan sebaliknya. Tabel 2.7. adalah pemberian nilai skor untuk kelas jarak dari jalan.
Tabel 2.7. Skor jarak dari jalan
Jarak dari Jalan (m) Kelas Kerawanan Skor
0 – 500 Tinggi 3
500 – 1000 Sedang 2
> 1000 Rendah 1
Sumber: Arianti (2006)
2.6.2. Pembobotan
Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta tematik masing-masing parameter yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dengan didasarkan atas
15 pertimbangan seberapa besar pengaruh masing-masing parameter penentu tersebut terhadap tingkat bahaya kebakaran hutan. Parameter yang memiliki pengaruh yang sangat besar sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan, maka parameter tersebut diberi bobot paling tinggi, begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini bobot terbesar diberikan untuk parameter penutupan lahan karena penutupan lahan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Widodo, terdapat 8 parameter risiko kebakaran hutan yang digunakan yaitu Penutupan Lahan, Jenis Tanah (gambut dan non-gambut), Ketinggian, Kelerengan, Jarak dari Desa, Jarak dari Sungai, Jarak dari Jalan dan Jarak dari Daops Manggala Agni. Adapun nilai bobot pada parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.8. berikut.
Tabel 2.8. Pembobotan parameter risiko kebakaran hutan pada penelitian Widodo
No. Parameter Bobot (%)
1 Penutupan Lahan 15
2 Jenis Lahan (gambut dan non gambut) 4
3 Ketinggian 13
4 Kelerengan 14
5 Jarak dari Permukiman (desa) 14
6 Jarak dari Sungai 13
7 Jarak dari Jalan 12
8 Jarak dari Daops Manggala Agni 15
Total 100
Sumber: Widodo (2014)
2.7. Analisis Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan
Tingkat bahaya suatu daerah/wilayah ditentukan dari nilai kombinasi berbagai parameter bahaya kebakaran hutan. Tingkat bahaya berdasarkan hasil kombinasi berbagai faktor tersebut disajikan dalam 5 kelas yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Kelas bahaya kebakaran hutan ditentukan oleh penjumlahan dari semua nilai/bobot parameter penyusunannya. Menurut
16 Suhadirman (2012), nilai bahaya ditentukan dengan menggunakan Persamaan 2.1 sebagai berikut:
𝐾 = ∑𝒏 (𝑾𝒊 𝐱 𝑿𝒊)
𝒊=𝟏 …... (2.1)
Keterangan:
K = Nilai Kerawanan
Wi = Bobot untuk parameter ke-i
Xi = Skor kelas untuk parameter ke-i
Daerah dengan tingkat bahaya yang tinggi terhadap kebakaran hutan akan menghasilkan nilai kerawanan yang tinggi dan sebaliknya, daerah yang tidak bahaya terhadap kebakaran hutan akan menghasilkan nilai kerawanan yang rendah. Untuk mengetahui interval nilai kelas kerawanannya digunakan Persamaan 2.2 sebagai berikut.
KI = 𝐊𝐦𝐚𝐱−𝐊𝐦𝐢𝐧
𝐧 ... (2.2)
Keterangan:
KI = Kelas Interval
Kmax = Nilai Kerawanan Terbesar Kmin = Nilai Kerawanan Terkecil n = Jumlah Kelas
(Sumber: Heryani et al, 2014)
2.8. Weighted Sum
Weighted sum merupakan analisis spasial dengan menggunakan teknik overlay beberapa peta yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap suatu penilaian. Analisis ini biasanya dilakukan untuk menganalisis suatu wilayah dalam suatu kawasan dan mengklasifikasikannya ke dalam zona yang memiliki tingkatan (Rachmat, 2014). Sedangkan menurut Fristyananda dan Idajati (2017) weighted sum adalah teknik analisis spasial dengan melakukan tumpang tindih pada peta untuk menghasilkan suatu peta baru dengan menggunakan
17 pembobotan pada tiap input peta. Dengan kata lain, tool weighted sum adalah sebuah tool yang dapat melakukan overlay beberapa data raster dengan mengalikan masing-masing skor dengan bobot yang telah diberikan dan menjumlahkan keduanya (ESRI, 2017).
Gambar 2.2. Ilustrasi cara kerja Weighted Sum
Sumber: ESRI (2017)
Berdasarkan ilustrasi Gambar 2.2. di atas, cara kerja weighted sum adalah nilai (skor) yang terdapat di dalam sel dikalikan dengan bobot dari masing-masing parameter kemudian hasilnya dijumlahkan. Seperti contoh ilustrasi di atas, nilai masing-masing dari sel kiri bawah ialah Input Raster 1: 1.1 * 0.75 (bobot) = 0.8 dan Input Raster 2: 2 * 0.25 = 0.5. Hasil penjumlahannya adalah 0.8 + 0.5 = 1.3.
2.9. Euclidean Distance
Euclidean Distance adalah perhitungan jarak dari titik pusat ke titik di
sekitarnya dengan mencari jarak terdekat dari titik pusat tersebut. Euclidean
Distance dapat ditemukan pada ArcToolbox → Spatial Analyst Tools → Distance →
Euclidean Distance. Secara konsep, algoritma Euclidean Distance bekerja sebagai
berikut : jarak pada masing-masing sel dilakukan perhitungan dengan menghitung sisi miring pada x_max dan y_max sebagai dua sisi lainnya pada kaki segitiga. Perhitungan ini menghasilkan jarak pada diantara 2 titik bukan jarak diantara sel. Setelah jarak terpendek telah diketahui dan jika jaraknya kurang dari jarak maksimum yang telah ditentukan maka nilainya diberikan ke lokasi sel pada raster output. Berikut Gambar 2.3. adalah ilustrasi cara kerja Euclidean Distance (ESRI, 2016).
18 Gambar 2.3. Ilustrasi cara kerja Euclidean Distance
Nilai output raster untuk Euclidean Distance adalah nilai float. Jika sel berada pada jarak yang sama dengan dua sumber atau lebih, sel tersebut diberikan ke sumber yang pertama kali ditemukan dalam proses pemindaian. Proses pemindaian ini tidak dapat dikontrol.
2.10. ModelBuilder
ModelBuilder adalah sebuah fitur pada ArcGIS yang digunakan untuk
mengedit, membuat dan mengelola sebuah model. Sedangkan model adalah sebuah alur kerja yang menggabungkan tool geoprocessing dan mengumpan output dari suatu tool menjadi input untuk tool lainnya sehingga membentuk sebuah rangkaian (ESRI, 2014). Prinsip dasar dalam mempelajari ModelBuilder adalah memahami struktur paling sederhana dari model yaitu input-proses-output. Berikut Gambar 2.4. adalah model sederhana sebagai suatu proses input-geoprocessing-output.
Input Geoprocessing Output
Gambar 2.4. Ilustrasi model sederhana pada ModelBuilder
19 ModelBuilder terdiri atas tiga komponen dasar yaitu variabel, tool dan konektor. Ketiga komponen tersebut tersusun satu sama lain sehingga membentuk serangkaian input-proses-output yang utuh. Model yang sederhana maupun yang sangat kompleks selalu terdiri dari ketiga elemen tersebut (Raharjo dan Ikhsan, 2015).
1.) Variabel
Variabel dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu data dan nilai (value). Misalnya data vektor, data raster ataupun nilai tertentu yang di-input oleh pengguna.
2.) Tool
Pada model terdapat tool ataupun model itu sendiri. Pengguna dapat menggunakan tool yang tersedia dalam bawaan instalasi ArcGIS Desktop (built-in).
3.) Konektor
Konektor yaitu penghubung antara variabel dengan tool. Tipe konektor dapat berupa konektor data, environment, prakondisi maupun feedback. Berikut elemen-elemen pada ModelBuilder dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Elemen pada ModelBuilder
20 Menurut Raharjo dan Ikhsan (2015), model sangat berguna untuk melakukan analisis yang cukup kompleks. Untuk melakukan analisis yang kompleks, pengguna dapat membuat sebuah framework atau diagram alir yang menggambarkan bagaimana analisis yang akan dilakukan. Diagram alir tersebut biasa dibuat menggunakan Ms. Word atau digambar dengan tangan pada sebuah kertas. ModelBuilder tidak saja dapat digunakan untuk melakukan analisis tetapi juga untuk menggambarkan suatu diagram analisis. Dengan ModelBuilder, pengguna akan sangat mudah melakukan pengecekan apakah analisis sudah sesuai dengan diagram alir atau tidak.
2.11. Metode SUS (System Usability Scale)
Evaluasi dari berbagai macam layanan dan produk termasuk perangkat keras dan perangkat lunak yang diukur nilai kegunaannya tidak dapat hanya dirasakan oleh pengguna saja, namun terdapat sebuah metode untuk mengukur nilai
usability (kegunaan) tersebut (HR, 2016). Usability adalah analisis kualitatif untuk
menentukan seberapa mudah pengguna menggunakan antarmuka pada suatu sistem/aplikasi (Nurhadryani et al, 2013). Menurut Dumas dan Redish (1999)
Usability mengacu kepada bagaimana pengguna bisa mempelajari dan
menggunakan sistem untuk memperoleh tujuannya dan untuk melihat seberapa puaskah penggunaan sistem tersebut terhadap penggunanya.
Ada beberapa teknik pengujian usability, salah satunya adalah dengan menggunakan metode SUS (System Usability Scale). Untuk menguji usability sistem dari penelitian ini digunakan metode SUS untuk melihat apakah sistem sudah terintegrasi dengan baik atau tidak. SUS merupakan salah satu metode yang terpercaya untuk mengukur usability, SUS terdiri dari pemberian kuesioner kepada pengguna dengan jumlah 10 pertanyaan dan terdapat 5 pilihan jawaban pada masing-masing pertanyaan yang telah disediakan, dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Metode dan kuesioner ini awalnya dibuat oleh John Brooke pada tahun 1986. SUS telah menjadi standar industri dalam mengukur tingkat usability dengan referensi lebih dari 1000 artikel dan publikasi. SUS juga merupakan kuesioner yang paling umum digunakan untuk menilai usability (Lewis, 2006).
21 Hal yang dilakukan dalam menghitung nilai skor dari SUS adalah dengan menjumlahkan skor pada masing-masing pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki skala nilai dari 0 hingga 4. Untuk pertanyaan positif pada soal nomor 1, 3, 5, 7 dan 9 perhitungan skor dilakukan dengan cara mengurangi nilai poin skala dengan nilai 1. Sedangkan untuk pertanyaan negatif pada soal nomor 2, 4, 6, 8, 10 perhitungan skor dilakukan dengan cara mengurangi nilai 5 dengan nilai skor. Nilai akhir pada SUS adalah rata-rata dari total keseluruhan nilai pada setiap pertanyaan dan nilai hasilnya dikalikan dengan 2.5 (Brooke, 1986). Rumus yang digunakan untuk menghitung skor SUS dapat dilihat pada Persamaan 2.3. berikut.
Skor SUS = Rata-Rata Skor * 2.5... (2.3)
Skor SUS dapat menunjukkan penerimaan penggunaan sebuah sistem berdasarkan tingkat usability. Skor yang diperoleh dari perhitungan SUS berada rentang nilai dari 0 sampai 100. Sebuah sistem termasuk pada kategori “Not
Acceptable” bila skor SUS berada pada range 0-50 yang artinya sistem tersebut
tidak layak digunakan karena tingkat penggunaan sistem yang tidak memuaskan. Skor SUS pada range 51-70 termasuk kategori “Marginal”. Sedangkan suatu sistem berada pada kategori “Acceptable” jika skor SUS berada pada rentang nilai 71-100 yang artinya sistem tersebut terintegrasi dengan baik dan layak digunakan (Bangor
et al, 2009). Berikut skala nilai skor SUS dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Skala nilai skor SUS
Penelitian ini menggunakan kuesioner SUS versi Indonesia yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh Mariani et al (2017) dengan beberapa modifikasi penulis. Berikut Tabel 2.9. adalah daftar pertanyaan dari kuesioner SUS.
22 Tabel 2.9. Daftar pertanyaan kuesioner SUS
No. Pertanyaan
1. Saya berpikir bahwa saya ingin sering menggunakan sistem ini.
2. Saya merasa sistem tidak perlu terlalu kompleks/rumit.
3. Saya merasa sistem mudah untuk digunakan.
4. Saya rasa saya membutuhkan bantuan dari orang teknis untuk dapat menggunakan sistem ini.
5. Saya menemukan berbagai fungsi dalam sistem ini yang terintegrasi dengan baik.
6. Saya rasa banyak hal yang tidak konsisten terdapat pada sistem.
7. Saya rasa mayoritas pengguna akan belajar menggunakan sistem ini secara cepat.
8. Saya menemukan bahwa sistem sangat tidak praktis.
9. Saya sangat percaya diri dalam menggunakan sistem ini.
10. Saya harus belajar banyak hal terlebih dahulu sebelum saya dapat
menggunakan sistem ini.
Sumber: Mariani et al (2014) berdasarkan modifikasi dan penyesuaian penulis
2.12. Penelitian Terkait
Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pemetaan rawan kebakaran hutan dan ModelBuilder adalah sebagai berikut:
1) Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2014) yang berjudul ‘Pemodelan Spasial Risiko Kebakaran Hutan (Studi Kasus Provinsi Jambi, Sumatera)’. Penelitian ini menerapkan 3 tahap analisis yaitu: analisis tabulasi silang (cross-tabulation), analisis regresi linear dan analisis spasial integrasi antara Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Terdapat 9 variabel-variabel prediktor penyebab kebakaran hutan yang terbagi menjadi variabel-variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat adalah jumlah titik panas (hotspot) sedangkan variabel bebas adalah penutupan lahan, jenis tanah (gambut dan non-gambut), ketinggian (m), kelerengan (%), jarak dari desa (km), jarak dari sungai (km), jarak dari jalan (km), jarak dari Daops Manggala Agni (km). Pengembangan model spasial risiko kebakaran hutan di Jambi dibuat dengan
23 mengacu pada hasil analisis regresi dan analisis tabulasi silang. Kedua analisis tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai bobot yang mempengaruhi masing-masing variabel dan skor masing-masing kelas dalam setiap variabel terhadap risiko terjadinya kebakaran hutan. Bobot pengaruh variabel prediktor terhadap kebakaran hutan di Provinsi Jambi adalah penutupan lahan (15%), jenis tanah (4%), ketinggian (13%), kelerengan (14%), jarak dari desa (14%), jarak dari sungai (13%), jarak dari jalan (12%) dan jarak dari Daops MA (15%) dengan nilai total seluruh variabel prediktor adalah 100%. Setelah nilai skor dan bobot diperoleh maka proses analisis ModelBuilder dapat dilakukan. Analisis ModelBuilder berjalan dalam skema analisis raster sehingga seluruh data spasial yang berformat vektor harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam format raster agar bisa dianalisis. Tingkat risiko kebakaran hutan dibagi menjadi 5 kelas yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah.
2) Penelitian yang dilakukan oleh Solichin et al (2007) yang berjudul ‘Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran’. Peta rawan kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk merepresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan risiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Model ini dibuat menggunakan aplikasi SIG untuk memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Karenanya, memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang sangat utama di dalam melakukan pemodelan ini. Solichin menggunakan 3 parameter untuk pemetaan daerah rawan kebakaran antara lain penutupan lahan, penyebaran lahan gambut, dan ketinggian (elevasi). Skor untuk tiap parameter ialah menggunakan rentang nilai 1-5. Selain itu, bobot untuk tiap parameter yaitu penutupan lahan (40%), ketinggian (30%) dan lahan gambut (30%). Penelitian ini menggunakan ArcView GIS 3.2. untuk menjalankan ModelBuilder. Proses analisis yang dilakukan adalah dengan melakukan konversi data Vector to Grid untuk data penutupan lahan karena data yang didapat berupa shapefile kemudian proses klasifikasi kembali (Reclassify) untuk data ketinggian. Selanjutnya dilakukan proses pembobotan dan penilaian terhadap masing-masing parameternya. Hasil dari nilai tingkat kerawanan kebakaran hutan dikelompokkan menjadi 5 kelas
24 yaitu tidak rawan, rendah, sedang, tinggi, sangat rawan. Contoh pemanfaatan
ModelBuilder pada pemetaan rawan kebakaran yang dilakukan oleh Solichin
dkk dapat dilihat pada Gambar 2.7. sebagai berikut.
Gambar 2.7. Pemanfaatan ModelBuilder pada pemetaan rawan kebakaran
Sumber: Solichin et al (2007)
3) Penelitian yang dilakukan oleh Rachmat (2014) dengan judul ‘Analisa Kesesuaian Lahan Permukiman di Kota Makassar’. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Analisis kesesuaian lahan untuk permukiman bertujuan untuk mengetahui wilayah yang memiliki karakteristik fisik yang sesuai dengan pengembangan permukiman. Penelitian ini menggunakan parameter-parameter antara lain ketinggian lahan, kelerengan lahan, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan, dan kerawanan banjir. Pada tahapan pertama analisis kesesuaian lahan permukiman di Kota Makassar dengan menggunakan ModelBuilder adalah menyeragamkan bentukan data tiap kriteria yang digunakan. Untuk setiap kriteria dilakukan analisis konversi dengan tool Feature to Raster, untuk mengubah data vektor menjadi data raster. Setelah seluruh data dikonversi ke dalam bentuk raster kemudian dilakukan reklasifikasi (Reclassify). Skor untuk setiap parameter adalah menggunakan rentang nilai 1-3. Setelah dilakukan analisis Reclassify,
output masing-masing kriteria kemudian dianalisis lebih lanjut dengan
menggunakan analisis overlay. Analisis overlay yang digunakan adalah
Weighted Sum overlay. Setelah melalui analisis overlay, langkah terakhir yang
25 pada peta kesesuaian lahan yang didapatkan sebelumnya masih terdiri dalam banyak nilai. Dalam analisis Reclassify ini nilainya dibagi ke dalam tiga kelas yaitu tinggi, sedang, rendah. Berikut Gambar 2.8. adalah contoh pemanfaatan
ModelBuilder pada penelitian ini.
Gambar 2.8. Pemanfaatan ModelBuilder pada analisa kesesuaian lahan permukiman di Kota Makassar
Sumber: Rachmat (2014)
Dari ketiga penelitian tersebut, diketahui bahwa keduanya menggunakan nilai skor dan bobot yang berbeda. Meskipun berbeda, konsep yang digunakan adalah sama yaitu semakin tinggi tingkat pengaruh suatu kriteria terhadap bahaya kebakaran hutan, maka nilai skor yang diberikan juga semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Demikian juga dengan nilai bobot, semakin tinggi pengaruh suatu
26 parameter terhadap bahaya kebakaran hutan maka nilai bobot yang diberikan juga akan semakin tinggi, begitupun sebaliknya.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sistem Informasi Geografis (SIG), Jurusan Informatika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. Waktu yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah enam bulan terhitung dari bulan Agustus 2017 hingga Januari 2018.
3.2. Alat dan Bahan
Berikut adalah alat yang digunakan pada penelitian ini berupa perangkat lunak dan perangkat keras. Sedangkan bahan yang digunakan berupa data spasial dan data non spasial.
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini terdapat 2 jenis yaitu : a) Perangkat Lunak
ArcMap b) Perangkat Keras
Laptop 3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data-data yang digunakan untuk menganalisis tingkat bahaya kebakaran hutan. Data tersebut meliputi Data Spasial dan Data Spasial. Berikut Data Spasial dan Data non-Spasial yang termasuk pada parameter bahaya kebakaran hutan Provinsi Aceh.
28 a) Data Spasial
Peta Penggunaan Lahan Provinsi Aceh (Bappeda Aceh) Peta Lahan Gambut (Bappeda Aceh)
DEM (Digital Elevation Model) SRTM 30m (Lab. SIG Universitas Syiah Kuala)
Peta Pusat Desa Provinsi Aceh (Bappeda Aceh) Peta Jaringan Sungai Provinsi Aceh (Bappeda Aceh) Peta Jaringan Jalan Provinsi Aceh (Bappeda Aceh) Peta kawasan Hutan Provinsi Aceh (Bappeda Aceh) Peta Batas Administrasi Provinsi Aceh (Bappeda Aceh)
b) Data Non-Spasial
Data titik panas (hotspot) Provinsi Aceh. Data titik panas yang digunakan yaitu titik panas pada tahun 2016. Data titik panas di seluruh Indonesia dapat diunduh pada website http://Lapan.go.id/. Setelah diunduh data hotspot di Provinsi Aceh, data titik panas yang diperoleh adalah dalam bentuk file .xls (Ms. Excel) yang selanjutnya di konversikan menjadi shapefile.
29
3.3. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian ini digambarkan dalam skema kerja penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. sebagai berikut.
Gambar 3.1. Skema kerja pembuatan tool analisis tingkat bahaya kebakaran hutan
Mulai Identifikasi Masalah Studi Literatur Pengumpulan Data Perancangan Tool Pembuatan Tool Pengg unaan Lahan DEM SRTM 30m Lahan Gambut Pusat Desa Jaringan Sungai Jaringan Jalan Peta Penggu naan Lahan Peta Jarak dari Desa Peta Kemiri ngan Lereng Peta Keting gian Peta Jarak dari Jalan Peta Jarak dari Sungai Peta Lahan Gambut Hasil Peta Bahaya Kebakaran Hutan Data Hotspot Evaluasi Peta Bahaya Kebakaran Hutan di Provinsi Aceh Selesai
30 3.3.1. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Identifikasi dan perumusan masalah merupakan inti dari pemecahan dari suatu permasalahan yang akan dilakukan berdasarkan manfaat serta tujuannya. Identifikasi masalah dilakukan berdasarkan kejadian kebakaran hutan yang kerap terjadi di kawasan hutan Indonesia khususnya kawasan hutan Provinsi Aceh.
3.3.2. Studi Literatur
Pada tahap ini dilakukan pencarian beberapa buku maupun jurnal terkait sebagai referensi yang berkaitan dengan teori pembuatan tool analisis spasial bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh dengan menggunakan ModelBuilder. Teori tersebut berkenaan dengan topik yang akan dibahas dan dikerjakan. Cara pengolahan data menggunakan perangkat lunak seperti ArcGIS, serta kaitan dan integrasi berbagai perangkat lunak yang dapat mendukung pembuatan tool untuk analisis bahaya kebakaran hutan.
3.3.3. Pengumpulan Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data spasial dan data non spasial yang berkaitan dengan pembuatan tool spasial bahaya kebakaran hutan yang meliputi data titik panas (hotspot), peta penggunaan lahan, peta sebaran lahan gambut, DEM SRTM 30m, peta pusat desa, peta jaringan sungai, peta jaringan jalan, peta batas administrasi Provinsi Aceh serta data-data lain yang dianggap penting dan dapat mendukung dalam penelitian ini. Untuk shapefile hutan adalah didapatkan dari ekstraksi peta penggunaan lahan yang berupa wilayah hutan saja.
Data hotspot yang didapat dari website http://Lapan.go.id/ adalah dalam bentuk file .xls (Ms. Excel) yang kemudian di konversikan menjadi shapefile. Data DEM SRTM 30m didapatkan dari Lab. SIG Universitas Syiah Kuala. Sedangkan data lainnya berupa shapefile didapatkan dari divisi Unit Pelaksana Teknis Badan – Pusat Data Geospasial Aceh (UPTD-PDGA) BAPPEDA Provinsi Aceh. Parameter-parameter tersebut akan dilakukan pengolahan data menggunakan
31 aplikasi ArcMap. Khusus untuk parameter penutupan lahan menggunakan data penggunaan lahan karena data penutupan lahan yang tidak tersedia.
3.3.4. Perancangan Tool
Tahap perancangan tool adalah tahap yang dilakukan setelah semua data dari tiap parameter telah tersedia. Pada tahap ini dilakukan proses penentuan nilai skoring dan pembobotan sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dan juga menentukan input dan output tool yang akan dibuat. Nilai skoring yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 sampai dengan Tabel 2.7. Adapun untuk pembobotan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Untuk input tool, data yang digunakan adalah data penggunaan lahan, lahan gambut, DEM SRTM, desa, sungai dan jalan. Setelah itu output yang dihasilkan adalah peta raster dari setiap parameter yang selanjutnya dilakukan overlay dan reklasifikasi berdasarkan nilai klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan yang telah dilakukan perhitungan. Output akhir dari
tool ini adalah peta bahaya kebakaran hutan dengan tingkat kerawanan sangat
rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Proses perancangan di atas akan dilakukan di dalam ModelBuilder.
3.3.5. Pembuatan Tool
Setelah perancangan tool selesai dilakukan maka selanjutnya dilakukan tahap pembuatan tool. Pada tahap ini juga dilakukan proses skoring, pembobotan, reklasifikasi dsb. Seluruh proses ini dilakukan dalam ModelBuilder. Pada proses ini kita dapat membuat, mengedit dan mengelola model dengan membentuk serangkaian input-proses-output. Adapun output dari suatu proses dapat menjadi
input untuk proses selanjutnya. Model yang valid akan ditandai dengan semua
elemen berwarna; biru untuk variabel, orange untuk proses dan hijau untuk output. Jika model sudah valid, model dapat disimpan dan dijalankan. Secara otomatis model disimpan di dalam toolbox yang telah dibuat. Setelah pembuatan tool selesai, maka tool tersebut dapat dijadikan sebuah tool baru pada ArcToolbox yang dapat digunakan secara praktis oleh pengguna dan dapat digunakan seperti tool lainnya.
Tool yang digunakan untuk menganalisis dan membuat peta bahaya kebakaran
32
3.3.6. Tahap Evaluasi Tool
1.) Pengujian Peta Bahaya Kebakaran Menggunakan Sebaran Data Hotspot
Setelah hasil peta bahaya kebakaran hutan didapatkan, maka selanjutnya dilakukan evaluasi sebagai pengujian keakuratan data pada hasil dari tool yang sudah dikerjakan. Peta bahaya kebakaran hutan hasil dari tool tersebut dilakukan pengujian dengan menggunakan sebaran titik panas (hotspot) untuk melihat apakah peta yang dihasilkan sesuai dengan sebaran titik panas pada suatu daerah tertentu. Data sebaran titik panas adalah berbentuk point yang kemudian di tumpang tindih di atas hasil peta tersebut. Pengujian tersebut dilakukan jika pada daerah yang memiliki tingkat bahaya yang tinggi maka terdapat sebaran hotspot pada daerah tersebut, begitu pula sebaliknya. Jika hasil tumpang tindih sebaran titik panas sesuai dengan peta bahaya kebakaran hutan maka hasil peta tersebut benar dan tool tersebut layak digunakan.
2.) Pengujian Usability Tool Forest Fire Menggunakan Metode SUS (System
Usability Scale)
Tahap ini adalah tahap pengujian usability tool yang dilakukan setelah selesai dari tahap pembuatan tool. Pengujian sistem yang digunakan pada tool
Forest Fire adalah menggunakan metode SUS. Tahapan pengujian SUS ini terdiri
dari beberapa langkah yaitu penyusunan pertanyaan kuesioner, pembagian kuesioner kepada responden dan analisis data kuesioner. Kuesioner SUS terdiri dari 10 pertanyaan yang di ikuti dengan pilihan 5 jawaban pada masing-masing pertanyaannya, mulai dari sangat setuju hingga sangat tidak setuju.
3.3.7. Peta Bahaya Kebakaran Hutan Provinsi Aceh
Hasil akhir dari tool Forest Fire yang telah dibuat menggunakan
ModelBuilder adalah peta bahaya kebakaran. Peta bahaya kebakaran hutan
memberikan informasi mengenai daerah-daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran hutan berdasarkan analisis yang telah dilakukan. Tingkat bahaya kebakaran hutan dikelompokkan menjadi 5 kelas yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang,
33 rendah dan sangat rendah yang selanjutnya akan ditunjukkan dengan gradasi warna dari tiap kelas tersebut.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perancangan Tool
4.1.1. Perancangan Peta Penggunaan Lahan
Peta penggunaan lahan Provinsi Aceh yang diperoleh adalah berbentuk
shapefile, maka dari itu harus di konversikan terlebih dahulu ke dalam bentuk raster.
Kemudian setelah di konversikan, peta penggunaan lahan dilakukan reklasifikasi dan diberikan nilai skor sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. pada bab sebelumnya. Berikut Gambar 4.1. adalah skema kerja perancangan peta penggunaan lahan.
Gambar 4.1. Skema perancangan peta penggunaan lahan
4.1.2. Perancangan Peta Lahan Gambut
Peta lahan gambut Provinsi Aceh yang diperoleh adalah berbentuk
shapefile, maka dari itu harus di konversikan terlebih dahulu ke dalam bentuk raster.
Kemudian setelah di konversikan, peta lahan gambut dilakukan reklasifikasi dan diberikan nilai skor sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Dimana terdapat 2 kriteria yaitu lahan gambut dan lahan non gambut. Skema perancangan peta lahan gambut dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Shapefile Penggunaan Lahan Konversi vektor ke raster Reklasifikasi Peta raster Penggunaan Lahan
35 Gambar 4.2. Skema perancangan peta lahan gambut
4.1.3. Perancangan Peta Ketinggian dan Kelerengan Lahan
Data DEM SRTM 30m yang diperoleh adalah data raster sehingga tidak perlu dilakukan konversi. Untuk data DEM hanya dilakukan reklasifikasi hal ini dikarenakan DEM merupakan peta elevasi (ketinggian) permukaan bumi. Kemudian data elevasi diklasifikasi dan diberikan nilai skor. Namun untuk mendapatkan peta kelerengan, perlu dilakukan analisis Slope terhadap data DEM tersebut. Analisis Slope tersebut didapatkan dari ArcToolbox di Spatial Analyst →
Surface → Slope. Setelah itu dilakukan reklasifikasi dan diberikan nilai skor pada
masing-masing kriteria. Berikut Gambar 4.3. skema perancangan peta ketinggian dan kelerengan lahan.
Shapefile Lahan Gambut Konversi vektor ke raster Reklasifikasi Peta raster Lahan Gambut
36 Gambar 4.3. Skema perancangan peta ketinggian dan kelerengan lahan
4.1.4. Perancangan Peta Jarak dari Permukiman, Sungai dan Jalan
Untuk membuat peta jarak dari permukiman, sungai dan jalan digunakan data shapefile desa, sungai, dan jaringan jalan. Untuk menghitung jarak dari semua data tersebut dilakukan analisis jangkauan menggunakan tool Euclidean Distance. Hasil dari analisis tersebut berbentuk data raster sehingga tidak perlu dilakukan konversi dari data vektor ke raster. Tool Euclidean Distance bagian dari
ArcToolbox dapat dilihat pada Spatial Analyst Tools → Distance → Euclidean
Distance. Setelah dilakukan analisis Euclidean Distance, maka hasil analisis
tersebut dilakukan klasifikasi dan diberikan nilai skor sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan. Berikut skema perancangan peta jarak dari permukiman, sungai dan jalan dapat dilihat pada Gambar 4.4.
DEM SRTM 30m Pemotongan dengan Peta Batas Administrasi Aceh Analisis Slope Peta raster Ketinggian Lahan Peta raster Kelerengan Lahan Reklasifikasi Kelerengan Reklasifikasi Ketinggian