• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Terumbu Karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Terumbu Karang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Terumbu Karang

Terdapat tiga jenis tipe struktur terumbu karang di Indonesia, yaitu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll). Terumbu karang khususnya terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dan kedalaman tidak lebih 40 m sehingga berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) serta tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang (Bengen, 2001).

Proses fotosintesis bagi zooxanthellae tergantung dari penetrasi radiasi matahari yang masuk ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni karang. Radiasi matahari yang cukup untuk mendukung proses fotosintesis zooxanthellae terumbu karang yang terjadi pada kedalaman tersebut dan kejernihan air terkait dengan kandungan sedimen alam perairan. Di satu sisi kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat penetrasi radiasi matahari sehingga mengurangi jumlah radiasi yang diperlukan untuk proses fotosintesis, di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesa untuk menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang menyebabkan karang terhambat pertumbuhannya (Nybakken, 1992).

Menurut Supriharyono (2007), mengingat binatang karang (hermatypic atau reef-building corals) hidupnya bersimbiose dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesa, maka pengaruh cahaya (illumination) adalah penting sekali. Terkait dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Menurut Kinsman (1964), secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m. Akan tetapi menurut Supriharyono (2007), tidak sedikit spesies karang yang tidak mampu

(2)

bertahan pada kedalaman hanya satu meter, disebabkan oleh karena kekeruhan air dan tingkat sedimentasi yang tinggi.

Suhu perairan juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan karang. Hal ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan biota karang (polip karang dan zooxanthellae). Biota karang masih mentoleransi suhu tahunan maksimum sampai kira-kira 360C-400Cdan suhu minimun sebesar 180C (Nybakken, 1992). Menurut Supriharyono (2000), bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang sekitar antara 250C-290C.

Tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dengan adanya kecenderungan semakin besar tekanan hydrodinamis, maka bentuk pertumbuhan karang lebih ke arah bentuk pertumbuhan mengerak (encrusting) (Supriharyono, 2000). Selain itu arus dibutuhkan untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Menurut Nybakken (1992), pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan tenang.

Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 350/00, dan binatang

karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 0/00 (Kinsman, 1964). Akan

tetapi pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau juga adanya pengaruh dari alam seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17.5-52.50/00

(Vaughan, 1919; Wells, 1932 dalam Supriharyono, 2007). Bahkan juga seringkali terjadi salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara, Jawa Tengah salinitas mencapai nol permil (00/00) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima

limpahan air tawar sungai (Supriharyono, 1986).

Menurut TERANGI (2005), ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan di laut, diantaranya :

1. Sebagai pelindung pantai ; terumbu karang yang tumbuh di daerah pasang surut sangat berperan dalam mengurangi energi arus atau ombak yang datang ke pantai sehingga mencegah terjadinya erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, tempat asuhan dan berkembang biak bagi ikan.

(3)

2. Menyediakan makanan, tempat tinggal untuk berkembang biak, tempat asuhan dan perlindungan bagi makhluk laut.

Manfaat terumbu karang bagi masyarakat adalah :

1. Sebagai sumberdaya untuk kepentingan masyarakat yaitu terumbu karang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kapur, bahan konstruksi bangunan, sebagai sumber makanan, sebagai penambatan jangkar perahu, sebagai hiasan, sebagai habitasi makan laut, sebagai pembersih alat dapur, sebagai bahan dempul, sebagai bahan obat-obatan (antibiotik, anti kanker, anti bakteri), dan secara tidak langsung menyumbangkan peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya.

2. Menyediakan lapangan kerja melalui perikanan dan pariwisata. Sumberdaya terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan melalui kegiatan pariwisata seperti snorkling, diving (menyelam) serta kegiatan fotografi bawah air atau pengumpulan kerang-kerangan untuk cinderamata. Menurut Yulianda (2003), pada dasarnya akar permasalahan kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh manusia yaitu : (1) inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang diambil, (2) metode pengelolaan yang kurang memadai, (3) instrumen hukum dan penegakan peraturan perundangan yang belum memadai, (4) kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang arti penting dan nilai strategi terumbu karang dari berbagai kalangan (elit politik, pengusaha, dan publik), (5) kemiskinan, (6) keserakahan, (7) kapasitas dan kapabilitas pengelola yang kurang memadai, (8) permintaan pasar atau tingkah laku konsumen, (9) faktor budaya dan adat istiadat atau kebiasaan, dan (10) status terumbu karang yang terbuka untuk umum.

Supriharyono (2000), menyebutkan bahwa akar permasalahan tersebut akan mengancam ekosistem terumbu karang pada berbagai bentuk pemanfaatan terhadap ekosistem terumbu karang baik pemanfaatan untuk wisata maupun pemanfaatan untuk perikanan tangkap. Segala bentuk pemanfaatan, salah satunya pemanfaatan wisata mutlak harus diarahkan pada wisata yang memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang.

(4)

2.2. Kerusakan Terumbu Karang

Pada umumnya dampak kegiatan manusia yang berakibat terhadap kerusakan terumbu karang tidak hanya terjadi di laut, namun dapat diakibatkan oleh kegiatan di darat. Dutton et al. (2001), mengikhtisarkan dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang sebagai berikut :

1. Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak : kegiatan ini akan berdampak pada perusakan habitat dan kematian massal hewan terumbu. 2. Pembuangan limbah panas : berdampak meningkatnya suhu air 5-10 0C di

atas suhu ambien, dapat mematikan karang dan biota lainnya.

3. Pengundulan hutan di lahan atas : sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip karang.

4. Pengerukan di sekitar terumbu karang : akan meningkatkan kekeruhan yang menghambat pertumbuhan karang.

5. Kepariwisataan : berdampak terjadinya peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dari pembangkit listrik perhotelan, pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi, rusaknya karang oleh kegiatan penyelaman, koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun.

6. Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya kalium sianida) : mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan biota avertebrata.

7. Penangkapan ikan dengan bahan peledak (bom dan dinamait) : berdampak mematikan ikan tanpa diskriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang ( anemon).

Terumbu karang telah dimanfaatkan oleh masyarakat melalui berbagai cara. Akhir-akhir ini penangkapan biota dengan cara merusak kelestarian sumber daya, seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia beracun (potassium sianida) telah terjadi di seluruh perairan Indonesia. Masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling berkepentingan dalam pemanfaatannya, sebaliknya, kalangan ini pula yang akan menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun buruknya ekosistem ini. Oleh karena itu pengendalian kerusakan terumbu karang sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem yang sangat berguna

(5)

bagi masyarakat pesisir. Berdasarakan Menlh (2001), adapun penyebab kerusakan terumbu karang antara lain :

1. Sedimentasi

Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau pertanian di daerah aliran sungai ataupun penebangan hutan tropis menyebabkan tanah mengalami erosi dan terbawa melalui aliran sungai ke laut dan terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur ataupun pasir-pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak jernih lagi sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena kurangnya cahaya. Hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai penyaring juga menjadi rusak dan menyebabkan sedimen dapat mencapai terumbu karang. Penebangan hutan mangrove untuk keperluan kayu bakar dapat merubah area hutan mangrove tesebut menjadi pantai terbuka. Dengan membuka tambak-tambak udang dapat merusak tempat penyediaan udang alami.

2. Penangkapan dengan bahan peledak

Penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan oleh nelayan akan mengakibatkan penangkapan ikan secara berlebihan, sehingga menyebabkan tangkapan ikan akan berkurang dimasa berikutnya. Penggunaan Kalium Nitrat (sejenis pupuk) sebagai bahan peledak akan mengakibatkan ledakan yang besar, sehingga membunuh ikan dan merusak karang di sekitarnya. 3. Aliran drainase

Aliran drainase yang mengandung pupuk dan kotoran yang terbuang ke perairan pantai yang mendorong pertumbuhanalgae yang akan menghambat pertumbuhan polip karang, mengurangi asupan cahaya dan oksigen. Penangkapan secara berlebihan membuat masalah ini bertambah buruk karena ikan-ikan yang biasanya makanalgaejuga ikut tertangkap.

4. Penangkapan ikan dengan sianida

Kapal-kapal penangkap ikan seringkali menggunakan Sianida dan racun-racun lain untuk menangkap ikan-ikan karang yang berharga. Metode ini acap digunakan untuk menangkap ikan-ikan tropis untuk akuarium dan sekarang digunakan untuk menangkap ikan-ikan sebagai konsumsi restoran-restoran yang memakai ikan hidup.

(6)

5. Pengumpulan dan pengerukan

Pengambilan karang untuk digunakan sebagai bahan baku konstruksi atau dijual untuk cinderamata juga merusak terumbu karang. Demikian pula pengerukan dan pengeboman karang untuk konstruksi di daerah terumbu karang.

6. Pencemaran air

Produk-produk minyak bumi dan kimia lain yang dibuang di dekat perairan pantai, pada akhirnya akan mencapai terumbu karang. Bahan-bahan pencemar ini akan meracuni polip karang dan biota laut lainnya.

7. Pengelolaan tempat rekreasi

Pengelolaan tempat rekreasi di wilayah pesisir yang tidak memperhatikan lingkungan, seperti penyewaan kapal, peralatan pemancingan dan penyelaman seringkali menyebabkan rusaknya terumbu karang. Pelemparan jangkar ke karang dapat menghancurkan dan mematahkan terumbu karang. Para wisatawan yang mengambil, mengumpulkan, menendang, dan berjalan di karang ikut menyumbang terjadinya kerusakan terumbu karang.

8. Pemanasan global

Terumbu karang juga terancam oleh pemanasan global. Pemutihan terumbu karang meningkat selama dua dekade terakhir, masa dimana bumi mengalami beberapa kali suhu tepanas dalam sejarah. Ketika suhu laut meningkat sangat tinggi, polip karang kehilangan algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah warna mereka menjadi putih dan akhirnya mati. Pemanasan global juga mengakibat cuaca ekstrim sukar diperkirakan, seperti badai tropis yang dapat mengakibatkan kerusakan fisik ekosistem terumbu karang yang sangat besar. Meningkatnya permukaan laut juga menjadi ancaman serius bagi terumbu karang dan pulau-pulau kecil maupun atol.

Dirjen KP3K (2007), mengemukakan bahwa degradasi terumbu karang merupakan sebuah masalah multi-aspek yang mempunyai dimensi sosial-ekonomi, teknologi dan institusi. Tantangannya adalah mendefinisikan elemen-elemen ini untuk mengenali bagaimana elemen tersebut berkontribusi terhadap masalah, dan secara kolektif merencanakan pemecahan dimana masyarakat bersedia dan mau melakukannya. Perusakan terumbu karang dan ekosistemnya memiliki pengaruh

(7)

antar regional demikian pula pengaruh lintas perbatasan antar-negara. Akibatnya pengaturan kegiatan-kegiatan perusakan melalui penegakan hukum dan pematuhan terhadap standar-standar lingkungan merupakan suatu legitimasi kepedulian tidak hanya pemerintah daerah tetapi kebijakan nasional dan kesepakatan-kesepakatan internasional.

2.3. Ekowisata

Masyarakat Ekoturisme Internasional (IES) memberikan defenisi ekowisata (ecotourism) adalah suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang lingkungannya dilindungi dan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal (Sunaryo, 2001). Sedangkan Buckley (1994), menyatakan ada empat gambaran perjalanan yang umumnya berlabelkan ekowisata yaitu (a) wisata berbasis alamiah (nature-based tourism), (b) kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata (consevation supporting tourism), (c) wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism), (d) wisata yang berkelanjutan (sustainallyrum tourism).

Ekowisata dalam teori dan prakteknya tumbuh dari kritik terhadap pariwisata massal, yang dipandang merusak terhadap landasan sumberdayanya yaitu lingkungan dan kebudayaan. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru antara lain adalah pariwisata alternatif, pariwisata yang bertangung jawab, pariwisata berbasis komunitas, dan eko-wisata (Aoyama, 2000). Alasan umum penggunaan konsep ini adalah karena dapat menggambarkan pariwisata yang termasuk : bukan pariwisata berskala besar atau massal, mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan dan mempererat hubungan antar bangsa.

Ekowisata harus mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal yang secara umum memiliki posisi tawar yang relatif lebih rendah. Aoyama (2000), menyatakan beberapa kriteria standar tentang bagaimana seharusnya eko-tourisme yang telah diterima secara umum yaitu :

- Melestarikan lingkungan. Jika ekowisata bukan merupakan suatu instrumen konservasi maka akan mendegradasi sumberdaya.

- Secara ekonomis menguntungkan. Jika tidak menguntungkan, maka tidak akan ada modal yang akan kembali untuk konservasi, dan tidak akan ada insentif bagi pemanfaatan sumberdaya alternatif.

(8)

- Memberi manfaat bagi masyarakat.

Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan bagi wisata pesisir didasarkan pada beberapa unsur utama, yaitu (1) ekowisata sangat bergantung pada kualitas sumberdaya alam, peninggalan sejarah dan budaya, (2) melibatkan masyarakat, (3) ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya, (4) tumbuhnya pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional, (5) ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Dengan kata lain bahwa ekowisata (bahari) menawarkan konsep low invest-high value bagi sumberdaya dan lingkungan kelautan sekaligus menjadikannya sarana cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat karena seluruh aset produksi menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal (Dirawan, 2003).

Menurut Yulianda (2007), ekowisata adalah pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam secara belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan yang dapat ditemukan disana. Suatu konsep pengembangan ekowisata yang meliputi :

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan : mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan : retribusi atau pajak konservasi dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan : merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.

5. Penghasilan bagi masyarakat : masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam : kegiatan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan : daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

(9)

2.4. Sifat Pengunjung Wisata

Pada umumnya tujuan utama wisatawan untuk berwisata adalah mendapat kesenangan. Pada hakekatnya aspek motivasi adalah aspek yang terdapat pada diri wisatawan. Untuk meninbulkan motivasi sangat tergantung pada diri pribadi wisatawan yang berkaitan dengan umum, pengalaman, pendidikan, emosi, kondisi fisik dan psikis (Fandeli, 2001)

Menurut gerakan, seorang Eco-tourist bersedia untuk tidak mengikuti konsumerisme, yang merupakan salah satu masalah pokok dari pariwisata massal. Bagi mereka, tinggal di rumah penduduk, mencicipi makanan setempat, berjalan-jalan menelusuri berjalan-jalan setapak, menghadapi sendiri resiko merupakan perberjalan-jalanan pertualangan (adventure) sesungguhnya (Aoyama, 2000).

Yulianda (2003), menyatakan munculnya minat wisatawan mengunjungi Pulau-Pulau resort tersebut disebabkan tersedianya potensi obyek daya tarik wisata berupa ekosistem terumbu karang, beragam jenis biota laut, dan fenomena alam bawah laut lainnya.

2.5. Perencanaan Pengembangan Ekowisata

Kegiatan wisata alam dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan sekitarnya, baik terhadap lingkungan obyek wisata alam itu sendiri maupun terhadap lingkungan sosial budaya setempat. Dampak negatif terhadap alam umumnya terjadi sebagai akibat dari perencanaan dan pengelolaan yang kurang baik, misalnya perencanaan pengembangan kegiatan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kurangnya kesadaran serta pengetahuan masyarakat dan wisatawan terhadap kelestarian lingkungan (Dahuri, 1993).

Suatu wilayah bila akan dikembangkan menjadi suatu kawasan pariwisata membutuhkan perencanaan yang baik, komprehensif dan terintegrasi sehingga dapat mencapai sasaran (objektivitas) sebagaimana yang dikehendaki dan dapat meminimalkan munculnya dampak-dampak yang negatif, baik dari sudut pandang ekologis, ekonomis maaupun sosial budaya dan hukum (Wiharyanto, 2007). Menurut Gunn (1994) dalam Yahya (1999), perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan dalam keseimbangan potensi sumberdaya dan jasa yang dimiliki dan permintaan atau minat pengunjung wisata. Komponen penawaran terdiri dari : atraksi (potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk aktivitas wisata), transportasi

(10)

(aksessibilitas), pelayanan informasi dan akomodasi dan sebagainya. Sedangkan komponen permintaan terdiri dari pasar wisata dan motivasi pengunjung.

Pada dasarnya unsur-unsur lingkungan hidup dapat dikembangkan sebagai objek wisata, bila unsur-unsur lingkungan hidup tersebut dapat dipersiapkan secara baik melalui kemampuan manusia dengan sentuhan teknologinya, serta dapat memenuhi kebutuhan wisatawan (Wiharyanto, 2007). Pembangunan kepariwisataan, memerlukan keterpaduan dan kecermatan studi maupun perencanaan agar tidak terjerumus dalam pembangunan prasarana dan wisata dengan mengorbankan obyek atau sumberdaya wisatanya sendiri. Pembangunan kepariwisataan perlu memperhatikan tuntutan kebutuhan (demand) wisatawan, tetapi tidak perlu berorientasi pasar semata. Pembangunan kepariwisataan perlu keterpaduan dalam perencanaan maupun memformulasikan tujuan (Joyosuharto, 2001).

Proses perencanaan pembangunan pariwisata menurut Yoety (1997), dapat dilakukan dalam lima tahap :

1. Melakukan inventarisasi mengenai semua fasilitas yang tersedia dan potensi yang dimiliki.

2. Melakukan penaksiran (assesment) terhadap pasar pariwisata internasional dan nasional, dan memproyeksikan aliran/lalu lintas wisatawan.

3. Memperhatikan analisis berdasarkan keunggulan daerah (region) secara komparatif, sehingga dapat diketahui daerah yang permintaannya lebih besar daripada persediaannya.

4. Melakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki.

5. Melakukan penelitian kemungkinan perlunya penanaman modal.

Tantangan dalam pengembangan wisata bahari adalah memanfaatkan terumbu karang yang ada secara berkelanjutan tanpa menimbulkan dampak-dampak yang merugikan. Hal ini penting karena kegiatan wisata bahari pada hakekatnya memadukan dua sistem, yaitu : kegiatan manusia dan ekosistem laut dari terumbu karang. Adanya kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada sumberdaya alam, diantaranya terumbu karang dan apabila terjadi kerusakan akan menurunkan mutu daya tarik pariwisata di Indonesia (Yulianda, 2003).

(11)

Sejalan dengan itu maka ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk keberlanjutan pariwisata: (1) wisatawan mempunyai untuk mengkonsumsi produk dan jasa wisata secara selektif dalam arti bahwa produk tersebut tidak diperoleh dengan mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan, (2) produk wisata didorong ke produk berbasis lingkungan dan peka terhadap budaya lokal, (3) masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi dan monitoring pengembangan wisata, (4) masyarakat harus juga memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan wisata, (5) posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pariwisata semakin meningkat (Damanik, 2006).

2.6. Partisipasi Masyarakat Lokal

Pengelolaan suatu kawasan konservasi yang sekarang dilakukan oleh pemerintah begitu marak-maraknya, walaupun berhasil melestarikan keanekaraman hayati, namun masih menghadapi permasalahan dari masyarakat yang merasa tidak mendapatkan manfaat secara langsung dari kawasan tersebut. Bahkan ada kecenderungan masyarakat merasa bahwa penetapan suatu kawasan merupakan larangan untuk memanfaatkan kawasan tersebut (Wiharyanto, 2007). Salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang akhir-akhir ini banyak dilakukan yaitu pengelolaan sumberdaya alam melibatkan partisipasi masyarakat lokal yang dikenal dengan istilah pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Menurut Tahir dan Baharudin (2002), dalam pengelolaan ini melibatkan masyarakat setempat mulai dari tahap perencanaan sampai tahap pengawasan.

Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, maka dapat berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pemerintah dan apabila setiap masyarakat menjalankannya secara objektif dan tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompok saja, maka kerugian yang akan ditimbulkan tidak akan berarti dibandingkan dengan manfaatnya (Wihayanto, 2007). Menurut Suratmo (1990), manfaat dari partisipasi masyarakat dalam sebuah rencana pembangunan adalah sebagai berikut :

- Masyarakat mendapat informasi mengenai rencana pembangunan di daerahnya.

- Masyarakat akan ditingkatkan pengetahuannya mengenai masalah lingkungan, pembangunan dan hubungannya.

(12)

- Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapat atau persepsinya kepada pemerintah terutama masyarakat di tempat pembangunan yang terkena dampak langsung.

- Dapat menghindari konflik diantara pihak-pihak yang terkait.

- Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat yang akan dapat dinikmati dan menghindari dampak negatifnya.

- Akan meningkatkan perhatian dari instansi pemerintah yang terkait pada masyarakat setempat.

2.7. Nilai Ekonomi Terumbu Karang

Barton (1994), menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation/TEV).

Barton (1994), membagi konsepuse valuekedalam nilai langsung (direct use value) dan nilai tidak langsung(indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option value). Sementara nilai non use value meliputi nilai keberadaan existence values dan nilai warisan (bequest values) jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values).

Nilai guna langsung meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh mekanisme pasar. nilai guna ini dibayar oleh orang secara langsung mengunakan sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya.

Nilai guna tidak langsung terdiri dari manfaat - manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi kepada masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh terumbu karang terus menerus memberikan perlindungan kepada pantai, serta peranannya dalam mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan terkait dengan fungsinya sebagai tempat memijah (spawning ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground).

(13)

Nilai pilihan (Option value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam yang disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi kepentingan yang akan datang. Contohnya spesies, habitat dan keanekragaman hayati (biodiversity).

Nilai Keberadaan (existance values) adalah nilai yang diberikan masyarakat kepada sumberdaya tertentu atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Nilai guna ini tidak berkaitan dengan penggunaan oleh manusia baik untuk sekarang maupun masa datang, semata-mata sebagai bentuk kepedulian atas keberadaan sumberdaya sebagai obyek. Contohnya nilai yang diberikan atas keberadaan karang penghalang di Taman Nasional Laut Takabonerate. Orang umumnya tidak akan memberikan nilai terhadap karang penghalang ini untuk melihatnya, meskipun mengetahui keberadaannya melalui TV, Koran atau Foto.

Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi selanjutnya.Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang, atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.

Gambar 2 dibawah ini memperlihatkan tipologi Total Economic Value (TEV), (Barton, 1994).

Gambar 2 Tipologi Total Nilai Ekonomi (TEV). Total Nilai Ekonomi

Nilai Pemanfaatan Bukan Nilai Pemanfatan

Nilai Langsung Nilai Tidak Langsung Nilai Pilihan Nilai Keberadaan Nilai Warisan

(14)

Tabel 1 Definisi dan contoh komposisi Total Economic Value (TEV)

No Jenis Nilai Definisi Contoh

1 Direct Value Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan langsung dari sebuah sumberdaya / ekosistem

Manfaat perikanan, kayu mangrove, genetic materila, dll

2 Indirect Value Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung dari sebuah sumberdaya / ekosistem

Fungsi ekosistem mangrove sebagai natural breakwaters, fungsi terumbu karang sebagai spawning bagi jenis ikan karang, dll

3 Option Value Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya / ekosistem di masa datang

Manfaat keanekaragam hayati, spesies baru,

4 BequestValue Nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat pelestarian sumberdaya / ekosistem untuk kepentingan generasi masa depan

Nilai sebuah sistem tradisional masyarakat yang terkait dengan ekosistem/sumberdaya ; habitat, keankeragaman hayati

5 Existence Value Nilai ekonomi yang diperoleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaan (exestence) dari sebuah sumberdaya/ ekosistem itu ada, terlepas dari apakah sumberdaya/ekosistem itu dimanfaatkan atau tidak

Ekosistem terumbu karang yang terancam punah ; endemic spesies; dll

Sumber : Adrianto (2005)

2.8. Kepemilikan Pulau

Menurut Situmorang (2008), tidak ada alasan pembenaran untuk melakukan pengalihan kepemilikan pulau kepada pihak lain. Sebab, persoalan teritorial itu berkaitan dengan negara, sehingga tidak boleh ada pengalihan kepemilikan. Dalam pasal 33 UUD 1945, sangat jelas, kalau bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. “Jadi, keliru kalau dilakukan pengalihan. Kalau kerja sama tentu boleh-boleh saja, sejauh tidak bertentangan dengan berbagai ketentuan yang ada”.

Harianto (2006), menegaskan, kabar adanya jual beli pulau di Karimunjawa sama sekali tidak benar. Sebab, dalam aturan sudah jelas, “jual beli pulau tidak diperbolehkan”. Kalau masalah hak guna usaha, mungkin mereka (orang asing) masih bisa. Kemudian menurut Santoso (2008), Tidak ada aturan yang memperbolehkan sebuah pulau dimiliki perorangan secara keseluruhan karena Indonesia negara kepulauan sehingga masyarakat dapat mengakses ke seluruh pulau

(15)

di negeri ini. Namun, untuk kepemilikan bidang tanah di pulau oleh masyarakat masih diperbolehkan. “Bisa saja pulau-pulau kecil dijadikan beberapa kaveling dengan kepemilikan masyarakat”. Bahkan, jika jumlah penduduk makin banyak dapat dibentuk struktur pemerintahan di pulau tersebut.

Leba mengatakan salah satu dasar hukum diizinkannya warga asing menguasai sebuah pulau adalah PP Nomor 41/1996 tentang “Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia”. Namun PP ini hanya mengizinkan warga asing memiliki rumah tempat tinggal atau hunian tidak lebih lama dari 25 tahun. Kalaulah diperpanjang, tidak lebih lama dari 20 tahun. Kemudian Retraubun (2007), menjelaskan bahwa Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terpencil, kepemilikan pulau di Indonesia harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP). Dengan terbitnya UU 27/2007, lanjutnya, prosedur penjualan pulau pun harus mengikuti aturan yang ada. Izin dari kepala daerah, baru merupakan prosedur awal.

Freddy (2007), mengatakan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dimanfaatkan semaksimal mungkin namun sesuai dengan peraturan dan peruntukannya. Pemanfaatan itu antara lain untuk usaha pariwisata dan industri perikanan yang tidak merusak lingkungan dan tidak merugikan masyarakat. Menurut dia, adanya usaha baru di kawasan pesisir maupun pulau-pulau menguntungkan masyarakat dan pemerintah daerah. Izin usahanya pun harus dipermudah agar investor tertarik. Namun, jika usaha itu melanggar peraturan dan merugikan masyarakat, harus diberi sanksi atau ditutup. “Pulau tidak boleh dijual, apalagi ke pihak asing. Pulau hanya bisa disewakan dan dalam jangka waktu tertentu”.

Gambar

Tabel 1 Definisi dan contoh komposisi Total Economic Value (TEV)

Referensi

Dokumen terkait

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Gender dan Kesehatan Lansia: gangguan kesehatan pada usia lanjut, situasi kesehatan lansia di Indonesia, peran gender dalam kesehatan lansia. Prinsip-prinsip pengembangan program

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Client Server merupakan model jaringan yang menggunakan satu atau beberapa komputer sebagai server yang memberikan resource-nya kepada komputer lain (client) dalam

Mandiri Sekuritas merupakan salah satu perusahaan BUMN yang bergerak dibidang itu,tapi disini kita tidak akan membahas mengenai produk apa saja yang disediakan oleh

Kinerja Algoritma C4.5 yang digunakan untuk meenyelesaian masalah yang dihadapi direktur utama dalam penentuan pegawai yang direkomendasikan untuk promosi

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Data hasil observasi dalam penelitian upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada materi jajargenjang dengan menggunakan metode penemuan terbimbing di kelas IV