• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi deskriptif problem-problem yang dihadapi para tuna wisma di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) dalam proses resosialisasi - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Studi deskriptif problem-problem yang dihadapi para tuna wisma di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) dalam proses resosialisasi - USD Repository"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DESKRIPTIF PROBLEM-PROBLEM YANG DIHADAPI PARA TUNA WISMA DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT

YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) DALAM PROSES RESOSIALISASI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Emilius Kristiadi Cahyana NIM : 019114025

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN MOTTO

biasanya harus bersusah payah melaluinya, dengan tubuh yang penuh luka goresan duri semak belukar

(Kamijyo akimine)

walaupun begitu

akan kucintai dan kuhadapi apa yang sudah kupilih

karena semua itu

Ad Maiorem Dei Gloriam

(Demi kemulian Allah yang lebih besar)

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi dengan Judul

STUDI DESKRIPTIF PROBLEM-PROBLEM YANG DIHADAPI PARA TUNA WISMA DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT

YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) DALAM PROSES RESOSIALISASI

Saya persembahkan kepada

:

 

 

YESUS

 

KRISTUS

 

DAN

 

BUNDAKU

 

MARIA

 

BAPAK

 

V.

 

WARTADI

 

IBU

 

MG.

 

SITI

 

SUWARINI

 

ADIKKU

 

PAULA

 

KRISTIANI

 

RAHAYU

 

dan

 

CLARA

 

KRISTINA

 

WARTADI

 

 

 

Serta

 

semua

 

TEMAN

 

dan

 

SAHABAT

 

yang

 

terlibat

 

di

 

Perkampungan

 

Sosial

 

Pingit

 

Yayasan

 

Sosial

 

Soegiyapranata

 

(6)
(7)

ABSTRAK

Emilius Kristiadi Cahyana (2009), STUDY DESKRIPTIF PROBLEM-PROBLEM YANG DIHADAPI PARA TUNA WISMA YANG TINGGAL DI PERKAMPUNGAN SOCIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) DALAM PROSES RESOSIALISASI. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitain kualitatif ini bertujuan mengetahui konflik warga tuna wisma di PSP YSS yang merupakan problem di dalam menjalani proses resosialisasi. Penelitian ini juga akan memuat sikap-sikap keluarga jalanan dalam menghadapi problem terberatnya. Latar belakang permasalahan yang terjadi adalah banyaknya warga Pingit yang keluar dari PSP YSS dengan tidak menyelesaikan proses resosialisasi dengan baik.

Responden penelitian ini adalah warga PSP YSS yang sedang menjalani proses resosialisasi. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah tiga keluarga yang merupakan pasangan suami-istri. Metode yang digunakan adalah mengunakan study deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumen hasil evaluasi para relawan PSP YSS divisi orang tua.

Hasil penelitan memperlihatkan bahwa problem-problem yang dialami keluarga tuna wisma cukup beragam. Problem yang mereka alami mencakup konflik interpersonal, konflik intrapersonal dan konflik organisasi. Problem terberat yang dialami keluarga tunawisma di PSP YSS memiliki 2 ciri, yaitu keluarga-keluarga tuna wima memiliki kecenderungan munculnya konflik lanjutan dari konflik utama dan cenderung berlangsung lama atau tidak sebentar. Sikap keluarga-keluarga tuna wisma dalam menghadapi problem mengalami perubahan dari sikap negatif menuju sikap positif yang merupakan hasil dari proses belajar.

Kata kunci : tuna wisma, resosialisasi, problem, konflik,

(8)

viii ABSTRACT

Emilius Kristiadi Cahyana (2009), A DESCRIPTION STUDY: PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) HOMELESS COMMUNITY’S PROBLEMS IN THEIR PROCESS OF RESOCIALITATION. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

This qualitative research is aimed to know the conflict life of homeless people as the member of PSP Pingit community in their process of resocialization seen from the way they resolve their daily problems.This research also describes homeless people attitude when facing their difficult problem. The background of the problem is the increasing number of Pingit’s homeless community who are moving out from the community because they are not able to finish their process of resocialization.

The respondent of the research is the member of Pingit’s community who still involves in the process of resocialization. The writer uses three couples in the community as the respondent. The method that is used in the research is the descriptive study. The writer takes interview as the technique of this research added by the data from the volunteer’s evaluation from adult division in the community.

The result of this research shows that many problems are faced by the homeless family in PSP Pingit. The problems are interpersonal conflict, intrapersonal conflict, and organizational conflict. There are two characteristics that can be found in the most complicated organizational conflict. The conflict that arise from the main conflict and the conflict is happened in a sequenced of time, not in a short time.

The homeless family has the change in their behavior towards the problems that they had, from being negative to be positive behavior due to the result from their learning process.

(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Yang Baik dan Bunda Suci Maria karena berkat kasih-Nya yang begitu besar, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tanpa bimbingan-Nya, tentulah skripsi ini tidak akan tersusun dengan baik.

Skripsi ini disusun selama lebih dari tiga setengah tahun. Sebuah proses yang panjang untuk sebuah penulisan skripsi. Selama itu pula penulis mengalami berbagai dinamika yang tentunya sangat berharga. Dinamika untuk mengalahkan diri sendiri, melatih fokus terhadap sebuah tujuan dan menghargai pentingnya arti sebuah kesetian akan pilihan. Semua tantangan dan hambatan itu sudah dilalui dan kini tiba saatnya bagi peneliti untuk mempertanggungjawabkannya. Meskipun demikian, peneliti menyadari berbagai kekurangan yang masih ada dalam skripsi ini, oleh karenanya berbagai masukan sangat diharapkan untuk menjadikannya semakin baik dan sempurna.

Atas semuanya itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan waktu, informasi, dan dukungan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, secara khusus kepada:

(11)

2. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku pembimbing skripsi, yang dengan teliti memeriksa dan senantiasa memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si dan Ibu Titik Kristiyani, M.Psi selaku dosen penguji. Terimakasih atas masukannya

4. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing akademik 5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi USD Yogyakarta; Ibu MB.

Rohaniwati, Mas Gandung Widiyantoro, Mas P. Mujiono, Mas Doni, dan Bpk Giyono yang dengan setia senantiasa melayani kami para mahasiswa. 6. Fr. Vincent SJ sebagai koordinator PSP YSS yang selalu memberikan

masukan dan menyediakan waktunya untuk kita berdiskusi sehingga tersusunlah skripsinya. Trimakasih atas sumbang sarannya dan kritiknya. 7. Keluarga-keluarga di Pingit yang telah bersedia menjadi responden dalam

penelitian ini. Terimakasih, saya banyak belajar tentang hidup dari mereka semua. Mereka merupakan sahabat yang tak terlupakan bagi saya.

8. Teman-teman frater Jesuit yang berada di Kolese Santo Ignatius di Kotabaru, terimakasih atas kesempatan bersama yang dapat kita jalani di kemping bersama dan obrolan-obrolan yang terjadi di refter. Ternyata itu semua berguna untuk meningkatkan asa saya lho.

9. Buat teman-teman Volunteer PSP YSS: Gembong, Leo, Bu Sum, Lisa, Dina, Eko Sulistyo, Riri, Kreteng, Eko kodok dan teman-teman dari PBM USD yang datang silih berganti, kalian telah memberikan warna dan kehidupan yang lain di Pingit dengan kehadiran dan gerak kalian

(12)

10.Buat keluarga V. Wartadi yang setia selalu memberikan dukungan melalui senyuman dan sapaan-sapaan yang hangat dan mententramkan hati.

11.Buat teman-teman yang ada di sering main ke rumahku: Eko, Baba, Kreteng, Oho, Leo, Gembong, Devi, Seno terimakasih atas kehadirannya datang di rumahku yang tidak hanya sekedar bermain tetapi juga mengerjakan tugas. Itu semua membantu mengingatkan bahwa masih ada tanggungjawab yang belum ku selesaikan.

12.Theresia Dwi Susanti terimkasih atas cinta, dukungan, kesetiaan dan kesabarannya yang kamu limpahkan pada saya. Kamu salah satu motivatorku bahwa ini harus terselesaikan.

13.Buat Silvanus Sri Bahagya, terimaksih atas waktunya yang telah kita lalui. Segala pengalaman bersama yang pernah kita lalui ternyata menyenangkan. Semoga persahabatan kita tetap terjalin.

14.Buat Benedikta Dina Fibirani, terimakasih waktu dan ceritanya dan pengalaman memasak yang kamu ajarkan kepadaku. Itu sangat berguna. Terimaksih juga buat kedekatan sebagai sahabat yang pernah kita lalui bersama.

15.Buat teman-teman SWB: Tomce, Firlan, Jempol, Acoy, Muber, Hosea, Ito, Lisong, Retta, Male, Wacu, Eko homo, dan semuanya, saya mengucapkan terimakasih atas dukungan dan semangatnya walaupun kita berjauhan satu sama lain tetapi kedekatan tetap terjalin. Memang pengalaman muda hidup bersama selama 4 tahun tidaklah sia-sia.

(13)

xiv

16.Terimakasih buat Adi Gendut dan Pati Bangsat yang selalu setia dengan SMS dan pesan-pesannya via Facebooknya yang intinya memberikan semangat dan celaan. Ha..ha..ha saya perlu itu juga.

17.Buat teman-teman klub bakmi godog dan kopi tubruk, yang selalu menjadi teman dikala malam minggu. Terimakasih atas traktirannya yang membuatku tetap kenyang.

18.Tidak terlupakan juga kepada semua dosen, karyawan, teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi USD dan juga teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang senantiasa selalu menyemangati saya dengan cara mereka masing-masing yang unik.

Akhirnya, saya sampaikan salam bangga kepada semua yang pernah memperkaya hidup saya. Karena merekalah, saya dapat menjadi pribadi yang semakin bertumbuh dari hari ke hari. Tuhan, mohon berkat bagi mereka semua.

Yogyakarta, 15 Mei 2009

Hormat saya,

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...…...……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... ii

MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN DATA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... xii

DAFTAR ISI... xv

DAFTAR TABEL... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian...8

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II LANDASAN TEORI... 10

A. Proses Resosialisasi... 10

1. Sikap... 11

(15)

2. Nilai...12

3. Kebiasaan... 13

B. Problem... 13.

1. Konflik... 14

2. Komponen-komponen konflik... 15

3. Jenis-jenis Konflik... 18

C. Keluarga Jalanan... 21

1. Keluarga... 21

2. Keluarga Jalanan... 21

D. Keluarga-keluarga Jalanan di PSP YSS... 24

E. Resosialisasi Keluarga Jalanan... 26

F. Problem-Problem Proses Resosialisasi Keluarga Jalanan di PSP YSS 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis Penelitian... 35

B. Fokus Penelitian... 36

C. Lokasi dan Subyek Penelitian... 38

1. Lokasi Penelitian... 38

2. Subyek Penelitian...40

D. Teknik Pengumpulan Data... 41

1. Wawancara... 41

2. Dokumen... 42

E. Pemeriksaan Keabsahan Data... 43

F. Analisis Data... 44

(16)

1. Organisasi data... 45

2. Pemilihan Teori... 46

3. Koding dan Kategorisasi... 46

4. Interpretasi... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 51

A. Identitas dan Deskripsi Informan... 51

1. Identitas Informan... 51

2. Deskripsi Informan... 52

B. Tahap Pengumpulan Data... 61

C. Deskripsi Hasil Penelitian dan Pembahasan... 63

1. Keluarga pertama... 63

2. Keluarga kedua... 68

3. Keluarga ketiga... 74

D. Pembahasan...82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

A. Kesimpulan... 100

B. Saran... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104

LAMPIRAN ... 107

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identitas informan ... 47 Tabel 2. Tahap pengumpulan data... 62 Tabel 3. Konflik-konflik keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi... 82 Tabel 4. Sikap-sikap keluarga jalanan dalam menghadapi konflik... 92

(18)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Ringkasan Verbatim Subyek………. 107

Evaluasi Divisi Orang Tua Perkampungan Sosial Pingit………. 144

Denah Perkampungan Sosial Pingit………. 147

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan orang jalanan dalam satu sisi terdapat kebebasan. Bersamamaan

dengan itu juga terdapat suatu ketidakamanan. Kehidupan tanpa tuntutan dan tanpa

batasan norma masyarakat yang mengatur merupakan salah satu kebebasan yang

diterima dalam kehidupan jalanan. Kehidupan tanpa naungan atap, garukan dari

pemerintah kota, keadaan tanpa identitas diri, kekerasan dan kejahatan hidup di

jalanan merupakan sebagaian dari ancaman dari kehidupan di jalanan.

Kehidupan jalanan tidak memberikan rasa nyaman kepada orang yang tinggal

di dalamnya. Mereka yang tinggal di jalan tidak memiliki alamat yang jelas, tidak

memiliki KTP. Ini membuat mereka tidak dapat mengakses berbagai fasilitas sosial.

Sebuah peristiwa gelandangan sakit di Jakarta Timur, Jatinegara memberikan

gambaran bagaimana tidak nyamannya kehidupan jalanan. Saat itu ada seorang

tunawisma yg sedang sakit/sekarat terkapar di trotoar dekat rel tembok rel kereta.

Dari kondisi memang mengenaskan, dikerubuti lalat karena BAB/BAK di celananya.

diduga korban sudah tewas. Keadaannya memang sudah parah. Orang tersebut. tidak

bisa makan lagi. Tak jauh ada seorang polantas yang sedang sibuk bekerja. Ada

seseorang berinisiatif melaporkan kepada polantas dan minta pertolongan agar bisa

dibawa ke panti jompo. Ternyata, sampai dengan keesokan harinya tunawisma

(20)

tsersebut masih teronggok di tempat semula. Belum tampak dilakukan evakuasi

terhadap korban (http://www.jakarta.go.id/forum/display_topic_threads). Peristiwa

yang terjadi di atas menggambarkan betapa tidak ramahnya kehidupan jalanan,

terlebih bagi mereka yang terpinggirkan dan hidup di jalan. Tidak ramahnya

kehidupan jalanan menunjukkan bahwa tidak adanya perlakuan yang manusiawi

terhadap korban. Peristiwa diatas menggambarkan segelintir dari pahitnya kehidupan

jalanan. Kisah diatas dapat menggambarkan bahwa orang-orang yang menjalani

kehidupan jalanan adalah orang yang tersingkir dari sesamanya. Orang-orang yang

hidup menjalani kehidupan jalanan bukan merupakan bagian dari suatu masyarakat.

Realitas diatas tampak jelas terdapat diskriminasi dalam kehidupan sesama manusia

antara mereka yang hidup di masyarakat dan di luar masyarakat.

Setiap orang berhak untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Untuk

mencapai suatu kehidupan yang lebih baik orang perlu diakui sebagai bagian dari

masyarakat. Oleh sebab itu kehidupan jalanan perlu diubah keadalam kehidupan yang

merupakan bagian dari suatu masyarakat. Hidup di dalam suatu bagian masyarakat

memberikan rasa aman karena dilindungi oleh masyarakat tersebut. Masyarakat

tersebut mau melindungi karena diakui sebagai bagian dari masyarakat tersebut.

Kehidupan jalanan tidak dapat memberikan jaminan orang dapat hidup secara

manusiawi bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Salah satu cara hidup yang

manusiawi bisa didapat dengan adanya rasa aman dan diakui dalam bagian suatu

(21)

jalanan bergabung kembali di dalam masyarakat agar mendapatkan rasa aman dan

rasa diakui. Resosialisasi adalah salah satu cara untuk membuat bagaimana

orang-orang yang hidup di jalanan dapat kembali ke masyarakat.

Proses resosialisasi adalah proses yang memberikan suatu pemahaman baru.

Resosialisasi adalah pembelajaran tentang sikap, nilai, dan kebiasaan yang baru

yang berbeda dari pengalaman dan latar belakang seseorang (Abarca, 2005;

Lonsdale, 2005; Schaefer, 2001). Proses ini membutuhkan pengalaman langsung

yang perlu dijalani oleh mereka yang menjalani proses resosialisasi untuk merasakan

manfaatnya. Oleh sebab itu proses ini bukanlah proses yang mudah dan cepat, karena

proses ini lebih menekankan bagaimana mengubah kebiasaan lama.

Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Sogiyapranata (PSP YSS)

Yogyakarta adalah suatu gerakan sosial yang membantu kehidupan keluarga jalanan.

YSS berdiri pada tahun 1967, yang didirikan oleh seorang frater Jesuit, sekarang ini

telah menjadi Romo. PSP YSS adalah suatu lembaga di bawah SPM (Seksi

Pengabdian Masyarakat) Realino. YSS memiliki lahan sebagai tempat relokasi para

keluarga jalanan, yaitu PSP YSS di bantaran Kali Winongo, Kampung Pingit,

Yogyakarta. Proses resosialisasi adalah salah satu cara yang digunakan PSP YSS

untuk memperbaiki kehidupan keluarga-keluarga yang hidup di jalanan.

Keluarga-keluarga yang hidup dijalan tinggal di PSP YSS selama kurang

lebih 2 tahun. Mereka akan mengalami proses resosialisasi sebagai salah satu

(22)

dan hanya tinggal di emperan toko dan selalu berpindah tempat. Selama program

proses resosialisasi mereka akan mengalami proses bersama dengan masyarakat

sekitar atau beradaptasi dengan masyarakat sekitar dalam kegiatan bersama

masyarakat seperti kliwonan, kerja bakti. Selain itu terdapat proses resosialisasi yang

sifatnya lebih di dalam keluarga yang bertujuan menciptakan suatu kebiasaan dan

pemahaman bahwa mereka yang berproses dalam program resosialisasi adalah bagian

dari masyarakat. Proses yang sifatnya lebih di dalam keluarga diterapkan dalam

bentuk bagaimana menciptakan kebiasaan hidup sehat, kebiasaan menabung dan

memberikan pemahaman pentingnya tabungan, pentingnya pendidikan anak, dan

pemahaman perlunya sebuah piranti identitas yang legal seperti Kartu Tanda

Penduduk, Surat Nikah, Kartu Kelahiran, Akte Kelahiran Anak. Tujuan program

proses resosialisasi yang dibuat PSP YSS agar para keluarga-keluarga jalanan dapat

mengalami kehidupan yang lebih baik, aman, dan merasa sebagai bagian dari anggota

masyarakat. Adanya pencapaian ini semua keluarga-keluarga jalanan nantinya akan

dapat menggunakan fasilitas sosial yang ada di masyarakat.

Keluarga yang dimaksud adalah pasangan yang memiliki sejarah anak secara

biologis atau dua generasi yang memiliki garis keturunan secara langsung (Earl W.

Morris Winker 1978:46). Keluarga-keluarga yang tinggal di PSP YSS merupakan

pasangan sudah menikah ataupun pasangan hanya hidup bersama dan memiliki anak

dari hubungan mereka. . Keluarga jalanan yang tinggal di PSP YSS terdiri dari ayah,

(23)

karena mereka merupakan pasangan yang tidak memiliki tempat tinggal. Mereka

tidur di jalanan dan selalu berpindah-pindah tempat agar mendapatkan penghasilan.

Di PSP YSS saat ini terdapat 6 keluarga yang sedang menjalani program

proses resosialisasi. Kehidupan 6 keluarga jalanan sebelum mengalami proses

resosialisasi adalah kehidupan yang jauh dari kehidupan masyarakat dan kehidupan

yang sangat minim dalam pemenuhan kebutuhan sandang, papan, dan pangan.

Tuntutan untuk belajar kembali dalam proses resosialisasi keluarga jalanan tidaklah

sedikit. Realitas-realitas keluarga jalanan di dalam program resosialisasi tidak sedikit.

Banyaknya realitas yang harus mereka jalani dalam program resosialisasi berarti

besar tantangan yang harus mereka hadapi. Realitas-realitas ini adalah interaksi

keluarga jalanan dengan dunia yang baru di PSP YSS. Interaksi dengan lingkungan

terjadi antara keluarga jalanan dengan sesama keluarga jalanan yang juga menjalani

proses resosialisasi, penduduk sekitar PSP YSS, pihak administratif pemerintahan

paling terkecil (RT/RW), otoritas PSP YSS. Interaksi juga dapat terjadi di dalam

keluarga jalanan sendiri. Interaksi keluarga jalanan dengan lingkungan baru di dalam

proses resosialisasi memunculkan problem-problem. Problem-problem dan

hambatan-hambatan harus dihadapi oleh para keluarga jalanan selama di dalam

proses resosialisasi.

Problem adalah segala sesuatu permasalahan yang membutuhkan suatu

jawaban dan keputusan (Neumeyer 1953:20). Dalam konteks PSP YSS,

(24)

bentuk konflik-konflik, yang dihadapi oleh keluarga jalanan dalam menjalani proses

resosialisasi. Konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (Pruitt

1986:21). Konflik-konflik yang dihadapi dan diselesaikan para keluarga jalanan yang

menjalani proses resosialisasi di PSP YSS merupakan bagian dari proses belajar

untuk merubah dari kehidupan kehidupan jalanan menjadi bermasyarakat.

Dalam tulisannya Sowondo dalam Studi Kancah YSS dan Gelandangan:

Sebuah kerja Pemanusian (Widiastyo 1985:71) mengatakan bahwa keluarga jalanan

setelah dimukimkan, diharapkan mereka dapat membantu kampungnya yang baru dan

belajar bersama masyarakat dan menjadi bagian masyarakat. Selain itu juga Suwondo

mengatakan lagi bahwa satu tahun seseorang menjadi keluarga jalanan, mungkin 10

tahun baru bisa diharapkan perubahan yang nyata kalau pendekatan dan penyuluhan

dilakukan secara terus-menerus. Merubah kehidupan keluarga jalanan yang bebas

tanpa harus bepikir pajak, bisa tidur di mana saja, kerja mencari uang hanya pada saat

lapar tidaklah mudah. Problem-problem muncul pada saat keluarga jalanan memulai

belajar kembali kehidupan yang baru di masyarakat. Problem ini muncul akibat

interaksi para keluarga jalanan dengan lingkungan sekitarnya di dalam proses

resosialisasi. Problem selama proses program resosialisasi dapat saja terjadi di dalam

keluarga sampai, problem yang berbenturan dengan kehidupan bertetangga, problem

yang terjadi dengan antara pihak PSP YSS ataupun pihak administratif suatu wilayah

ataupun dengan lingkungan di luar PSP YSS ataupun pihak administratif suatu

(25)

Keluarga-keluarga jalanan yang pernah menjalani proses resosialisasi di PSP

YSS tidaklah semuanya akan menjadi keluarga yang berhasil. Berhasil yang

dimaksud di sini adalah dapat meninggalkan kehidupan jalanan dan kembali hidup

bermasyarakat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses mereka

dalam proses resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS.Pada saat keluarga-keluarga

jalanan dalam proses belajarnya menciptakan keberhasilan kembali kepada kehidupan

yang merupakan bagian dari masyarakat, maka seiring dengan itu berbagai problem

muncul. Problem-problem muncul dapat terjadi dalam bentuk konflik. Hasil

penelitian A. Eko Widyantyo (2007:67)menyatakan bahwa mampu mengatasi tiap

konflik dalam proses resosialisasi merupakan salah satu faktor dalam keberhasilan

proses resosialisasi di PSP YSS. Keberhasilan menyelesaikan konflik merupakan

salah satu tahapan yang harus dipenuhi untuk berhasil dalam proses resosialisasi PSP

YSS. Dalam penelitian Eko Widyantyo tidak menjelaskan secara detil konflik apa

sajakah yang dialami keluarga jalanan dalam proses resosialisasi. Salah satu dari hasil

penelitiannya lebih menceritakan bagaimana keluarga jalanan bersikap dalam

menghadapi konflik sebagai suatu akibat dalam membaur dengan masyarakat dan

persinggungan budaya yang berbeda. Oleh sebab itu penelitian ini berusaha

mendeskripsikan problem di dalam proses resosialisasi yang belum terungkap dalam

penelitian Eko Widyantyo. Problem dalam proses resosialisasi yang dimaksud adalah

konflik apa sajakah yang dialami keluarga jalanan, konflik yang manakah yang

(26)

keluarga jalanan dalam menghadapi problem terberat di dalam proses resosialisasi di

PSP YSS.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat rumusan

masalahnya sebagai berikut :

1. Problem-problem apa sajakah yang dialami keluarga-keluarga jalanan yang

mengalami proses resosialisasi PSP YSS?

2. Konflik-konflik apa yang menjadi problem terberat yang dialami

keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi di PSP YSS?

3. Bagaimana para keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi

menyikapi problem-problem terberat yang mereka alami dalam proses

resosialisasi di PSP YSS?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang problem-problem

dalam bentuk konflik-konflik yang terjadi pada keluarga jalanan di dalam proses

resosialisasi di PSP YSS dan dinamika sikap-sikap dalam menghadapi konflik

terberatnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sumbangan manfaat dalam dua bentuk manfaat.

Manfaat-manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

(27)

Penelitian ini memberikan sumbangan kepada perkembangan Psikologi

Sosial, lebih spesifik lagi mengenai problem-problem yang terjadi di keluarga

jalanan.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan langsung kepada YSS

mengenai problem-problem keluarga jalanan yang terjadi, sehingga

dapat menganalisa kebutuhan-kebutuhan pendampingan

keluarga-keluarga jalanan dalam proses resosialisasi..

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi kepada para

relawan YSS, agar dapat menentukan langkah-langkah pendampingan

kepada keluarga-keluarga jalanan yang disesuaikan dengan latar

belakang dan problem-problem yang dihadapi dari tiap keluarga

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Resosialisasi

Sosialisasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1991) adalah proses belajar

seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan

masyarakat lingkungannya. Resosialisaasi merupakan salah satu bentuk dari

sosialisasi sekunder. Sosialisasi sekunder merupakan proses berikutnya yang

memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan ke dalam sektor baru dari

dunia obyektif masyarakat (Berger dan Luckman, 1967:130).

Resosialisasi adalah pembelajaran tentang sikap, nilai, dan kebiasaan

yang baru yang berbeda dari pengalaman dan latar belakang seseorang (Abarca,

2005; Lonsdale, 2005; Schaefer, 2001). Lonsdale (2005) mengkategorisasikan

resosialisasi menjadi dua: (1) resosialisasi sukarela yang terjadi dimana seorang

individu dengan sukarela memilih untuk mengubah sikap dan kebiasaannya, (2)

resosialisasi paksaan yaitu resosialisasi yang terjadi melawan sikap bebas

seseorang dan pada umumnya berlangsung pada suatu institusi. Berdasarkan

definisi di atas, resosialisasi sukarela lebih didasarkan kepada pilihan dan

kesadaran dari individu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Resosialisasi

paksaan lebih didasarkan pada pemaksaan terhadap individu. Resosialisasi ini

lebih dikenal di dalam kalangan ilmuwan sosial sebagai praktek cuci otak

(brainwashing).

(29)

Proses belajar adalah proses perubahan yang relatif permanen dalam

tingkah laku, sebagai hasil dari praktek atau hasil pengalaman (Chaplin

1981:272). Tidak jauh berbeda dengan Winkel (1987: 59) yang merumuskan

bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam

interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam

pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap. Perubahan dalam belajar

yang dirumuskan oleh Winkel bersifat relatif konstan dan berbekas. Resosialisasi

menuntut adanya suatu proses belajar dalam belajar bermasyarakat. Belajar

bermasyarakat adalah bentuk belajar yang bertujuan mengekang dorongan

spontan, demi kehidupan bersama dan memberikan kelonggaran kepada orang

lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini mencakup cara-cara kehidupan

bersama untuk saling menjaga sopan-santun, penghargaan dan kerukunan

terhadap yang lain. Jadi problem proses belajar dapat diartikan sebagai suatu

masalah-masalah yang menghambat dalam proses perubahan yang relatif

permanen dalam tingkah laku, pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan

nilai-sikap di dalam interaksi dengan lingkungan atau pengalaman dengan lingkungan.

Jadi proses resosialisasi adalah proses-proses belajar untuk menanamkan

sikap, nilai, dan kebiasaan baru yang digunakan untuk menginterpretasikan dan

menghadapi dunia di sekeliling mereka yang baru.

1. Sikap

Menurut J.P Chaplin definisi sikap, adalah satu predisposisi atau

(30)

bertingkah-laku atau untuk mereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap pribadi

lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu (J.P Chaplin, 2002:43). Sumber dari

sikap tersebut bersifat kultural, familial, dan personal. Yaitu, cenderung

beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam kebudayaan selaku tempat

kita dibesarkan akan tetapi beberapa dari tingkah laku juga dikembangkan selaku

orang dewasa, berdasarkan pengalaman kita sendiri. Sumber-sumber penting dari

sikap-sikap orang dewasa adalah propaganda dan sugesti dari penguasa, kaum

usahawan, lembaga pendidikan dan agensi lainnya, yang berusaha mempengaruhi

tingkah laku orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap adalah

kecenderungan bertindak berkenaan dengan objek tertentu. Sikap bukanlah

tindakan nyata (overt) melainkan masih bersifat tertutup (covert behavior). Sikap

dapat dikatakan sebagai arah tindakan seseorang yang berkenaan dengan suatu

objek. Arah tersebut dapat mendekati atau menjauhi. Tindakan mendekati atau

menjauhi suatu objek (orang, benda, ide, lingkungan, dan lain-lain), dilandasi oleh

rasa penilaian individu yang bersangkutan terhadap objek tersebut (Djaali

2007:115).

2. Nilai

Nilai adalah suatu sasaran sosial atau tujuan sosial atau insentif sosial yang

dianggap pantas dan berharga untuk dicapai (J.P Chaplin, 2002:527). Klinger

(1977) mengatakan bahwa insentif adalah objek atau kejadian yang memiliki nilai

dalam individu. Sedangkan tujuan adalah objek, kejadian atau pengalaman yang

(31)

organisme yang hidup dan terpisah dari tujuan-tujuannya, sebab dalam kehidupan

organisme, tujuan-tujaun itu memiliki nilai (Koeswara 1989:97).

3. Kebiasaan

Menurut J.P Chaplin (1981:219) kebiasaan adalah suatu kegiatan atau

prilaku yang relatif otomatis setelah melewati praktek yang panjang (J.P Chaplin,

1981:219). Andi Mappiare (1983:34) mengartikan tidak jauh berbeda dengan

Chaplin, yaitu sebagai cara bertindak yang diperoleh melalui belajar

berulang-ulang, yang akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis. Kebiasaan sebagai

perilaku yang relatif otomatis akibat proses belajar berulang-ulang dapat berjalan

terus tanpa konsentrasi perhatian dan pikiran yang intensif dalam melakukannya.

Kebiasaan dapat berjalan terus sementara individu memikirkan atau

memperhatikan hal-hal lain

B. Problem

Problem-problem dalam proses resosialisasi menuntut adanya proses

pembelajaran dari nilai, kebiasaan, dan sikap yang lama menjadi yang baru.

Menurut J.P. Chaplin (2002: 387) dalam Kamus lengkap Psikologi, problem

didefinisikan sebagai sebarang situasi yang mengandung sifat khusus yang tidak

diketahui atau yang baru untuk diketahui secara pasti. Sifat khusus yang tidak

diketahui dapat dikatakan sebagai suatu permasalahan. Ini semua terlihat dalam

definisi bahwa problem adalah segala sesuatu permasalahan yang membutuhkan

(32)

Konflik melibatkan adanya tindakan atau cara tertentu untuk mengatasinya

(Pruitt dan Rubin 1986:4). Konflik dan problem memiliki sifat yang sama yaitu

membutuhkan adanya suatu penyelesaian. Jadi dapat dikatakan bahwa konflik

merupakan bagian dari problem.

1. Konflik

Pruitt dan Rubin (1986:28-39) menjelaskan konflik sebagai perbedaan

persepsi kepentingan. Pruit dan Rubin menambahkan pula bahwa kepentingan

dapat diartikan sebagai nilai-nilai atau kebutuhan-kebutuhan.

Pruitt dan Rubin (1984:148) menambahkan bahwa konflik merupakan

suatu yang bersifat abnormal karena yang normal berupa keselarasan. Konflik

dianggap sebagai gangguan akan kestabilitasan sehingga perlu dilakukan

penanganan sesegera mungkin apapun penyebabnya.

Budiharjo (1992:65) mengemukakan pendapat bahwa konflik merupakan

keadaan yang terjadi karena dua bentuk keinginan atau lebih secara acak memiliki

kekuatan yang sama dan saling berlawanan. Konflik yang terjadi dapat bersumber

dari tuntutan yang terjadi dalam diri sendiri dan juga berasal dari norma-norma

yang terjadi di masyarakat. Kedua hal ini dapat muncul bersamaan. Hal ini

membuat seseorang di dalam konflik harus memilih salah satu dari yang muncul

bersamaan.

Pruitt dan Rubin (1986:28-39) mendefinisikan konflik dalam dua hal.

Kedua hal itu adalah:

a. Konflik merupakan suatu yang bersifat abnormal karena yang

(33)

akan kestabilitasan sehingga perlu dilakukan penanganan sesegera

mungkin apapun penyebabnya.

b. Konflik sebagai suatu perbedaan atau kesalahpahaman. Terjadinya

sebuah konflik dikarenakan kegagalan dalam berkomunikasi.

Adanya konflik hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh orang

yang bersangkutan. Konflik dalam artian ini tidak dapat dipahami

maksud dan keinginan dari orang yang mengajak berkomunikasi

(orang yang mengalami konflik).

Pada dasarnya konflik terjadi karena perbedaan pandangan terhadap suatu

hal mengenai suatu kepentingan, kebutuhan dan tuntutan, saat masing-masing

tuntutan memiliki kekuatan yang sama untuk mencapai sebuah pemenuhan dari

tuntutan-tuntutan yang berbeda tersebut.

2. Komponen-Komponen Konflik

Reaksi dalam menanggapi konflik memunculkan berbagai bentuk respon.

Bentuk-bentuk respon dapat berbentuk emosi-emosi yang tinggi yang dapat

menimbulkan perilaku tidak beralasan dan terkadang pemikiran-pemikiran yang

tidak logis. Ungkapan perasaan pun muncul sebagai sentimen-sentimen terhadap

lawan konfliknya (Winardi 1994:25). Inilah yang dimaksud sebagai

komponen-komponen konflik. Komponen-komponen-komponen yang dimaksud dapat dikategorikan

menjadi 3, yaitu: komponen kognitif, komponen emosional, komponen perilaku.

Definisi dari setiap komponen yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(34)

Komponen kognitif berupa pemikiran-pemikiran bersifat positif maupun

negatif, keyakinan, harapan-harapan yang bisa merubah. (Huffman

1997:386), persepsi-persepsi, nilai-nilai. Ada yang secara lebih matang

mengolah konflik dengan pemikiran-pemikiran jernih. Orang yang

mengolah dengan pemikiran jernih berusaha menempatkan diri ke dalam

perspektif yang tepat dengan masalahnya (Winardi 1994:26). Sebagian

orang lainnya yang tidak mampu mengolahnya secara baik menjadikan

frustrasi dan strees

b. Komponen emosional

Komponen emosional yang dimaksud adalah berbagai perasaan-perasaan

yang muncul dalam menghadapi konflik. Perasaan tersebut dapat

berbentuk ungkapan kemarahan, ketakutan, sedang merasa cemas,

kebingungan, bimbang atau bahkan menjadi sangat gembira (Winardi

1994:25). Keadaan emosional dapat terlihat melalui ungkapan yang

muncul secara verbal maupun non verbal. Ungkapan verbal adalah

keadaan perasaan tidak ditutupi dan disampaikan secara secara spontan.

Keadaan emosi yang terungkap melalui perubahan fisik (fisiologis) adalah

ungkapan emosi yang disampaikan secara non verbal. Misalnya

kemarahan akan memunculkan perubahan fisik seperti warna mata

menjadi merah serta keruh, wajah menjadi dingin, detak jatung meningkat,

(35)

c. Komponen prilaku

Bila seseorang mengalami konflik maka akan langsung terlihat dalam

sikap dan perilakunya. Seseorang akan menjadi agresif atau cenderung

berdiam diri. Reaksinya sikap bermusuhan, agresi dan penyerangan secara

verbal atau fisikal; ataupun reaksinya beralih yang lain yang menarik diri,

bungkam seribu bahasa. Reaksi-reaksi perilaku yang muncul dan timbul

dalam menghadapi konflik dapat dipengaruhi perasaan saat berkonflik

(Winardi 1994:25). Misalnya, orang yang cenderung berperilaku menarik

diri dan bungkam atau cenderung pasif menghadapi konflik bisa saja

perilaku tersebut karena dipengaruhi perasaan takut atau cemas. Semakin

kompleks konfliknya, maka kecenderungan perilaku seseorang semakin

dipengaruhi emosi semakin tampak dalam setiap tindakannya (Winardi

1994:24-25).

Hardjana (1994:62) mengemukakan bahwa perlu adanya sikap-sikap yang positif

dalam mengolah konflik. Sikap-sikap positif tersebut, seperti: pandangan yang

sehat, perasaan positif, itikad yang baik untuk menyelesaikan konflik dan prilaku

yang konstruktif.

a. Pandangan yang sehat

Dalam mengolah konflik orang atau pihak yang terlibat di dalam

konflik harus memandang bahwa konflik yang terjadi bukan

merupakan suatu malapetaka melainkan sebagai suatu tantangan.

(36)

Konflik yang terjadi bukan sebagai suatu yang jahat dan merugikan

tetapi memandang bahwa konflik sebagai sebuah pengalaman yang

positif sehingga tidak takut untuk menghadapi konflik.

c. Itikad yang baik

Sikap yang cenderung tidak memiliki itikad baik dan berencana buruk

seperti merusak, menghancurkan, menyingkirkan, memusnahkan dapat

berubah menjadi kecenderungan yang positif dengan memiliki niat

untuk meperbaiki dan menjaga kebaikan, tidak terprovokass, dan

berencana menciptakan kebahagian dan kemajuan bersama.

d. Perilaku konstruktif

Orang yang terlibat konflik cenderung berusaha membangun,

membentuk dan memelihara hubungan baik. Orang yang terlibat

konflik cenderung tidak mengambil tindakan yang semakin merusak

kepentingan dan mempertahankan hubungan baik yang telah terjalin.

3. Jenis-Jenis Konflik

Winardi (1994) mengungkapkan bahwa jenis konflik dapat dibedakan

menjadi tiga bagian, yaitu konflik peran, konflik organisasi, dan konflik antar

pribadi. Jenis-jenis konflik adalah sebagai berikut:

a. Konflik Intrapersonal

Konflik yang terjadi karena ketidakkonsistenan seseorang. Menurut

Winardi (1994) bahwa keyakinan yang selalu berubah-ubah akan membuat

resah individu itu sendiri. Hal tersebut membuat konflik timbul karena

(37)

mengambil peran tersebut akibat terlalu banyaknya tanggung jawab.

Resksohardiprojo (2001:228-229) juga menyatakan konflik peran

(personal konflik) terjadi karena diri seseorang tidak dapat memenuhi

tuntutan dirinya berkaitan status sosial. Konflik intrapersonal juga terjadi

karena adanya konflik nilai (Hardjana, 1994:36), dimana seseorang

memandang suatu nilai tertentu memiliki kapasitas yang tinggi dan di sisi

lain pada saat yang bersamaan harus menangani sesuatu yang juga

memiliki nilai tinggi juga. Hal ini menimbulkan bentrokan dua nilai yang

tinggi dari bidang tertentu. Konflik peran dapat disimpulkan konflik peran,

dimana terdapat ketidak konsistenan elemen-elemen kognitif, bentrokkan

dua nilai yang memerlukan sebuah keputusan yang cepat dan tepat, dan

juga konflik bagaimana dapat memenuhi peran dirinya di lingkungan

sosial.

b. Konflik Organisasi

Konflik prilaku antar kelompok-kelompok dalam organisasi. Kelompok

yang satu menunjukkan ‘keakuan kelompok’ dan membandingkan

kelompok lain yang dianggap sebagai pengganggu. Winardi (1994:4)

mengungkapkan idenya bahwa konflik yang terjadi dalam organisasi

terdiri dari dua hal, yaitu:

1. Konflik Substantif. Konflik ini meliputi ketidaksesuaian atau

kesalahpahaman tentang hal-hal yang terkait dengan kegiatan

(38)

seperti pengalokasian sumber daya, distribusi imbalan,

kebijaksanaan serta prosedur.

2. Konflik emosional. Konflik ini timbul karena adanya perasaan

marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut, sikap

menentang.

c. Konflik Antar Pribadi (Interpersonal).

Konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan yang lain. Konflik

ini terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki kepentingan sama

tetapi memiliki cara pandang yang berbeda untuk memenuhi keperntingan

tersebut. Konflik ini dapat juga berarti terjadi karena kesalahpahaman

antar individu dalam menanggapi sesuatu. Konflik yang terjadi antara

individu yang satu dengan yang lain. Konflik antar pribadi dapat terjadi

antara individu dengan rekan-rekan bermain, bekerja atau seprofesi,

bahkan anggota keluarga. (Reksohadiprojo, 2001:237).

Konflik pribadi, konflik organisasi dan konflik antar pribadi merupakan

jenis-jenis konflik yang dapat terjadi. Konflik pribadi merupakan konflik yang

terjadi karena adanya dua atau tiga bahkan lebih keinginan yang muncul secara

bersamaan dan harus menentukan dan memutuskan salah satu di antaranya.

Konflik organisasi timbul karena adanya pertentangan yang melibatkan suatu

pihak dengan kelompok lain, yang mengakibatkan ketidakcocokkan pada kedua

kelompok tersebut. Konflik antara pribadi terjadi antara dua orang atau lebih yang

sama-sama memiliki kepentingan, yang dapat memberikan akibat atau dampak

(39)

C. Keluarga Jalanan

1. Keluarga

Keluarga adalah pasangan yang memiliki sejarah untuk menghasilkan

anak atau dua generasi yang memiliki garis keturunan secara langsung baik secara

nyata maupun legal (Earl W Morris 1978:20). Keluarga dapat terdiri dari

pasangan yang menikah, pasangan yang hidup bersama, keluarga dapat juga

terdiri dari ibu dan anak, ayah dan anak, nenek dan cucu atau kakek dan cucunya.

Keluarga didefinisikan sebagai institusi paling mendasar dalam semua kelompok

masyarakat (Rodney Stark, 1988). Jadi dari definisi di atas keluarga dapat

disimpulkan, terdiri dari pasangan pria (ayah) dan wanita (ibu) dan anak-anaknya.

Menurut H. Heumeyer (1953:184) terdapat enam fungsi keluarga, yaitu:

a. Fungsi biologis dari reproduksi dan memiliki anak.

b. Fungsi pendidikan informal dan melatih anak-anak, termasuk transfer

kebudayaan.

c. Fungsi sosial kontrol dan perlindungan.

d. Fungsi ekonomi di dalam keluarga.

e. Fungsi Faktor psikologi sosial yang memberi peranan dalam

mengembangkan pribadi yang bersosialisasi, seperti persahabatan,

pertemanan, aktivitas rekreasi, dan beragam faktor sosial psikologis

lainnya.

f. Fungsi kepastian status dan pemberian status.

2. Keluarga Jalanan

(40)

sama-sama tidak memiliki alamat yang jelas, tidak memiliki KTP, sehingga tidak

dapat mengakses berbagai fasilitas sosial (Suara Merdeka, Indonesia Belum

Punya Peraturan Ketunawismaan: Rabu, 26 Januari 2005) para tunawisma selalu

tidak diakui sebagai warga sebuah kota karena tidak memiliki kartu tanda

penduduk (KTP). Padahal, untuk mengurus KTP, seseorang harus memiliki

alamat yang jelas. Tunawisma dapat diartikan sebagai gelandangan, pengemis,

pemulung. Tunawisma tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Tunawisma pun

ada yang berbentuk pasangan (pria-wanita) bahkan ada yang berbentuk keluarga

(bapak- ibu dan anak). Tunawisma yang berbentuk keluarga sering dikatakan

sebagai keluarga jalanan.

Keluarga jalanan sendiri terdiri dari ayah, ibu dan anak, saat kehidupan

mereka berlangsung di jalanan. Keluarga jalanan juga dapat dikategorikan sebagai

keluarga tuna wisma. Tuna wisma merupakan orang-orang yang tidak memiliki

tempat tinggal oleh karena itu mereka selalu berpindah-pindah tempat, saat

mereka mencari tempat yang dapat memberikan pekerjaan yang halal (Emil Salim

Lembaga Studi Pembangunan, 1985:11). Keluarga jalanan dapat disimpulkan

merupakan keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal dan selalu

berpindah-pindah tempat agar mendapatkan penghasilan yang dapat mencukupi buat hidup.

Menurut Patrick Guiness (Nasib Gelandangan Bertahan Seadanya,

1985:16-17), keluarga jalanan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Keluarga jalanan merupakan penduduk kota yang paling miskin. Ini yang

(41)

Biasanya mereka tidur di emperan toko, pasar, di bawah jembatan,

gerbong kereta api.

b. Keluarga jalanan bermukim di luar batas pembagian kekuasaan

administratif (RT/RW). Bermukim di luar batas kekuasaan batasan

administratif menyebabkan mereka dianggap liar, merusak pemandangan.

Ini yang menyebabkan kehidupan mereka yang tidak aman akan ancaman

penggusuran, pemindahan, garukkan oleh penguasa kota.

c. Sterotipe negatif diberikan kepada keluarga jalanan dari masyarakat.

Sterotipe negatif itu adalah licik, tidak dapat dipercaya, mengganggu

ketertiban, sampah masyarakat, tidak memiliki cita rasa susila. Cap-cap ini

menyebabkan mereka cenderung memiliki pribadi defensif terhadap orang

di luar mereka yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi.

Soewondo (1985:69) mengemukakan ciri-ciri keluarga jalan. Ciri-ciri keluarga

jalanan tersebut sebagai berikut:

a. Keluarga jalanan tidak memiliki identitas diri yang jelas atau KTP (Kartu

Tanda Penduduk) yang jelas. Ini dikarenakan mereka tidak terdaftar dan

terlibat dalam kekuasaan administratif.

b. Pekerjaan dari sektor informal merupakan lapangan pekerjaan yang biasa

dilakukan oleh keluarga jalanan. Keluarga jalanan biasanya bekerja

(42)

D. Keluarga-keluarga Jalanan di PSP YSS

Yayasan Sosial Sogiyapranata (YSS) Yogyakarta adalah suatu gerakan

sosial yang membantu kehidupan keluarga jalanan. YSS berdiri pada tahun 1967,

yang didirikan oleh seorang frater Jesuit. Frater Jesuit yang mendirikan PSP YSS

sekarang sudah menjadi Romo, yaitu Benhard Kieser, SJ. YSS memiliki lahan

sebagai tempat relokasi para keluarga jalanan, yaitu PSP YSS (Penampungan

Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyopranoto) di bantaran Kali Winongo,

Kampung Pingit Yogyakarta.

Adapun visi PSP YSS adalah menjadi sahabat bagi keluarga-keluarga

jalanan yang terpinggirkan dari masyarakat. Misi PSP YSS adalah mendampingi

keluarga keluarga jalanan sehingga mereka dapat menata hidup sebagai keluarga

dan mandiri secara ekonomi dan kembali menjadi bagian masyarakat (A.

Dewanto, 2001: 2-3). PSP YSS menekankan pendampingan proses resosialisasi

keluarga-keluarga jalanan melalui dua hal, yaitu:

a. Pendampingan interpersonal, pendampingan ini menekankan pada

peningkatan kualitas di dalam keluarga seperti pendidikan anak-anak,

kesehatan keluarga, dan juga, pekerjaan yang menetap, serta kebiasaan

menabung. Pendampingan ini lebih menekankan cara membuat

perencanaan dan menjalankan perencanaan di dalam keluarga yang

nantinya dapat mengakomodasi kebutuhan di dalam keluarga.

b. Pendampingan bermasyarakat, lebih menekankan keterlibatan di dalam

masyarakat sekitar dan beradaptasi dengan masyarakat. Pendampingan ini

(43)

mereka memiliki peran di masyarakat. Pendampingan ini seperti

sarasehan bersama warga PSP YSS sebagai bentuk masyarakat kecil

untuk melatih kebersamaan mereka, dan mereka dilibatkan juga di dalam

masyarakat yang lebih besar seperti masyarakat RT. Keterlibatan di RT

dibutuhkan agar mereka mengerti pentingnya piranti legal dan mengerti

proses untuk mendapatkan seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah,

Kartu Keluarga, Akte kelahiran,

Di dalam PSP YSS Yogyakarta, keluarga jalanan diberikan rumah yang

dioperasionalkan sebagai rumah mereka sementara selama dua tahun. Mereka

diminta mengatur kehidupan rumah tangga mereka, seperti penataan rumah,

pembagian kerja di dalam keluarga. Selain itu juga disadarkan memiliki tetangga,

saat mereka perlu terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. PSP YSS sendiri

membantu keluarga jalanan untuk kembali bermasyarakat, dan melihat sisi positif

dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut hasil wawancara pribadi dengan koordinator PSP YSS

mengatakan bahwa yang pertama, keluarga-keluarga jalanan yang ada di PSP

YSS adalah keluarga yang pergi dari tempat tinggalnya untuk hidup dan tidur di

jalanan. Keluarga-keluarga ini pergi dari tempat tinggalnya karena mengalami

problem seperti konflik keluarga, konflik dengan masyarakat, dan problem

ekonomi. Kedua, keluarga jalanan dapat terbentuk dari dua orang jalanan yang

saling bertemu, saling berbagi sebagai pasangan, dan berorientasi membentuk

(44)

Keluarga jalanan PSP YSS adalah keluarga jalanan yang berada di PSP

YSS. Keluarga jalanan PSP YSS ini terlibat penuh dalam segala kegiatan yang

diadakan oleh PSP YSS. Keluarga jalanan yang berada di PSP YSS tidak lagi

bertempat tinggal di jalan, melainkan mereka mendiami rumah yang telah

disediakan YSS. Keluarga yang berada di PSP YSS adalah keluarga yang sedang

menjalani proses resosialisasi, dimana proses ini membantu mereka untuk kembali

bermasyarakat.

E. Resosialisasi Keluarga Jalanan

Keluarga-keluarga jalanan yang tinggal di YSS adalah mereka yang

menjalani proses resosialisasi secara sukarela. Hal ini ditunjukkan dengan cara

keluarga-keluarga jalanan datang kepada pengurus YSS, terlibat dan berproses

bersama. Resosialisasi sukarela yang terjadi di YSS didasarkan pada kesadaran

keluarga-keluarga jalanan melihat pentingnya hidup di dalam masyarakat.

Bagi kehidupan keluarga jalanan proses resosialisasi adalah proses

memasyarakatkan kembali mereka kedalam kehidupan yang memberikan rasa

aman. Hal ini menunjukkan cara keluarga jalanan dengan kebiasaan kehidupan di

jalan berusaha masuk dan berproses dalam kebiasaan masyarakat pada umumnya.

Ini menunjukkan adanya proses belajar. Proses belajar adalah proses yang

dilakukan seseorang dalam membentuk sebuah perilaku baru. Proses belajar

merupakan proses hasil interaksi resiprokal yang terus-menerus dari faktor

behavioral, kognitif dan lingkungan tempat dalam hasil akhir mereka dapat

(45)

Proses belajar dalam resosialisasi yang dialami keluarga jalanan memiliki

dinamika yang beragam. Muncul problem-problem di dalam proses resosialisasi

yang dihadapi keluarga jalanan. Ini terjadi karena persinggungan budaya yang

berbeda dan usaha penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Realitas prilaku

jalanan dan perilaku yang merupakan bagian dari masyarakat adalah bertolak

belakang. Oleh sebab itu perlu mengetahui bentuk karakteristik kebiasaan dalam

kehidupan di jalanan. Adapun perilaku hidup kehidupan keluarga jalanan yang

menonjol sebagai berikut:

a. Bebas tanpa peraturan dan norma (Kompas, 2002). Hal ini bisa berdampak

pada hubungan dengan norma sosial yang ada sangat longgar bahkan

cenderung tidak ada. Hal ini dikuatkan oleh Indrawati (2004) bahwa

kehidupan di jalanan merupakan kebudayaan non-normatif.

b. Jika mereka membentuk suatu keluarga, mereka cenderung mengganggap

biasa masalah berganti-ganti pasangan begitu pula perilaku seks bebas

(Indrawari, 2004).

c. Mereka cenderung berkerja sebagai pemulung, pengemis, pengamen, dan

tukang becak (Soewondo, 1985). Pekerjaan dalam sektor informal yang

biasa dilakukan dijalanan. Pekerjaan yang dilakukan sebenarnya pada

intinya bekerja apa saja agar dapat menyambung hidup sehari-hari

(Indarwati 2004). Pekerjaan sektor informal dijalanan tidak menghasilkan

penghasilan yang cukup maka dapat dikatakan bahwa mereka memiliki

(46)

d. Hukum rimba (Indrawati, 2004), pergaulam keluarga jalanan di jalanan

memiliki nuansa bahwa orang yang paling kuat maka dia yang memegang

‘kekuasaan’ dan orang yang lemah adalah objek. Ini terjadi karena

persaingan di antara mereka cukup ketat dan penuh potensi konflik.

e. Tidak adanya kepemilikan identitas yang jelas. Menurut Soewondo (1985)

bahwa posisi keluarga dinyatakan sebagai kehilangan kepercayaan di

masyarakat, karena tidak memiliki identitas yang jelas. Jika terdapat

program-program yang dicanangkan pemerintah kepada masyarakat, para

keluarga jalanan ini tidak akan terkena, baik secara fisik dan mental.

f. Hidup berpindah-pindah tempat. Para keluarga jalanan cenderung hidup

berpindah-pindah tempat tinggalnya. Mereka tinggal di emperan toko,

pasar-pasar, gerbong kereta yang tak terpakai, timbunan sampah, terminal,

stasiun, taman-taman kota (Soewondo, 1985 dan Indrawari, 2004). Hal

inilah yang menyebabkan bantuan dari pemerintah tidak pernah sampai ke

mereka.

g. Hidup jorok, mereka berpenampilan kumuh dan berbau yang terkadang

dianggap hanya merusak keindahan (Indrawati 2004). Penampilan kumuh

ini menunjukkan tingkat kebersihan diri yang rendah. Keadaan

penampilan kotor yang rentan terhadap kesehatan diri. Selain itu juga,

ditambah keadaan mereka yang tidak mudah mendapatkan akses

pelayanan kesehatan karena tidak memiliki identitas yang jelas dan tingkat

ekonomi yang rendah yang kurang memungkinkan untuk mendapatkan

(47)

F. Problem-Problem dalam Proses Resosialisasi Keluarga Jalanan

di PSP YSS

PSP YSS sebagai penyelenggara resosialisasi keluarga jalanan,

mendampingi keluarga-keluarga jalanan sehingga mereka dapat menata hidup

sebagai keluarga dan mandiri secara ekonomi dan kembali menjadi bagian

masyarakat.

Ada dua program pendampingan yang dimiliki PSP YSS bagi

keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi. Pertama, pendampingan

interpersonal menekankan pada peningkatan kualitas di dalam keluarga seperti

pendidikan anak-anak, kesehatan keluarga, dan juga, pekerjaan yang menetap,

kebiasaan menabung. Kedua, pendampingan bermasyarakat yang menekankan

pada keterlibatan di dalam masyarakat sekitar dan beradaptasi dengan masyarakat.

Pendampingan ini berfungsi untuk melatih keluarga-keluarga jalanan menyadari

bahwa mereka memiliki peran di masyarakat, kewajiban dan hak sebagai bagian

masyarakat.

Resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS sebagai suatu proses

pembelajaran kembali dari kehidupan jalanan menuju kehidupan bermasyarakat.

Realitas keberhasilan dalam resosialisasi PSP YSS bahwa 60,6%

keluarga-keluarga jalanan yang terlibat dari tahun 2000-2007 adalah kembali ke jalan. Hal

ini menunjukkan bahwa proses resosialisasi tidaklah suatu proses yang mudah.

(48)

resosialisasi. Problem-problem yang dialami keluarga jalanan bentuknya berupa

konflik-konflik yang dialami keluarga jalanan.

Proses pembelajaran ini menuntut adanya perubahan dalam aspek sikap,

nilai dan kebiasaan. Terjadi bentrokan dalam proses belajar keluarga-keluarga

jalanan dalam menjalani proses resosialisasi, antara nilai, sikap dan kebiasaan

yang telah di jalani di kehidupan jalanan dengan nilai, sikap dan kebiasaan yang

ada di masyarakat dan sedang dipelajari kembali. Ini akibat dari perbedaan sikap,

nilai dan kebiasaan antara kehidupan jalanan dengan kehidupan di masyarakat.

Perubahan yang mencakup aspek sikap, nilai dan kebiasaan yang saling berbeda

berdampak munculnya berbagai macam problem. Problem-problem yang dialami

keluarga jalanan dalam proses resosialisasi adalah usaha menanggapi proses

belajar mereka dalam mencapai sikap, nilai dan kebiasaan yang sesuai dengan

masyarakat pada umumnya.

Problem-problem keluarga jalanan terlihat melalui konflik-konflik yang

mereka hadapi selama proses resosialisasi di PSP YSS. Problem-problem para

keluarga jalanan di PSP YSS sebagai upaya perubahan sikap, kebiasaan dan nilai

dapat terlihat melalui dua program pendampingan yang dimiliki PSP YSS.

Program dalam peningkatan kualitas keluarga, dinamika para keluarga jalanan

selama hidup dijalan yang tanpa norma, berpindah-pindah tempat, hidup jorok,

dan hidup yang tak teratur dihadapkan pada bentuk baru. Bentuk baru dimana

mereka diharapkan untuk lebih menetap, mengatur kehidupan keluarganya dengan

hidup yang lebih bersih, menabung, dan memperhatikan pendidikan anak-anak

(49)

dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Problem dalam proses ini dapat terjadi di

dalam relasi keluarga. Problem ini merupakan konflik intrapersonal yang

berkaitan dengan peran dan fungsi sebagai bagian sebuah keluarga.

Di dalam kehidupan para keluarga jalanan di PSP YSS terkadang terjadi

benturan. Ini merupakan usaha penyesuaian diri dengan masyarakat sekitar.

Penyesuain diri ini mengalami benturan. Benturan ini bisa terjadi karena masalah

iri akan kelurga yang lain ataupun tidak adanya kesepahaman ide atau pendapat

dalam memajukan PSP YSS. Ketidaksepahaman antara keluarga jalanan biasa

terjadi dalam acara sarasehan bersama para warga PSP YSS. Keirian antar warga

PSP YSS muncul dari dinamika kehidupan bertetangga antara keluarga jalanan di

PSP YSS karena adanya rasa ingin memiliki atau rasa untuk mencapai seperti

yang tetangga keluarga jalanan raih. Konflik interpersonal muncul karena adanya

problem benturan antara warga PSP YSS sebagai usaha saling memahami dalam

kehidupan bertetangga. Walaupun demikian konflik konflik interpersonal tidak

hanya terjadi antara antar warga PSP YSS. Konflik interpersonal dapat juga

terjadi dengan warga sekitar, relawan PSP YSS ataupun dengan anggota keluarga

jalanan sendiri. Konflik ini pada intinya terjadi karena adanya ketidaksepahaman

dalam memandang sesuatu kepentingan. Kepentingan tersebut dianggap penting

dan perlu dipenuhi.

Pendampingan seperti sarasehan bersama warga PSP YSS sebagai bentuk

masyarakat kecil, dan dilibatkan juga di dalam masyarakat yang lebih besar

seperti masyarakat RT dalam acara arisan warga RT. Kehidupan jalanan yang

(50)

(berganti-ganti pasangan), merupakan kehidupan yang dianggap sampah oleh masyarakat

pada umumnya. Kehidupan jalanan adalah kehidupan yang jauh dari pengakuan

bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat. Kehidupan bersama

masyarakat, memiliki peran, kewajiban dan hak sebagai bagian dari masyarakat,

memiliki identitas diri merupakan hidup yang jauh dari kehidupan jalanan yang

dialami keluarga-keluarga jalanan. Kehidupan keluarga-keluarga jalanan yang

belajar menjadi bagian dari masyarakat mengalami problem-problem. Konflik

antar organisasi muncul sebagai bagian dari usaha menidentifikasikan diri mereka

yang merupakan bagian dari masyarakat. Keluarga sebagai salah satu bentuk

organisasi terkecil. Problem keluarga jalanan dengan pihak warga RT merupakan

bagian dari sebuah konflik organisasi yang terjadi. Konflik organisasi dapat saja

terjadi antara keluarga jalanan dengan pihak RT setempat, pengurus PSP YSS,

dan lingkungan masyarakat lebih luas dari RT maupun pengurus PSP YSS.

Problem-problem dalam proses resosialisasi terjadi karena proses

memahami akibat perbedaan pandangan terhadap suatu kepentingan antara

kehidupan jalanan dan hidup bermasyarakat. Kepentingan yang diharapkan dilihat

sebagai kebutuhan akan rasa aman, identitas, social approval, kebahagian,

kejelasan tentang dunianya, dan beberapa harkat kemanusian yang bersifat fisik

yang ada di masyarakat. Konflik terberat muncul dalam kaitannya keluarga

jalanan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan dan beradaptasi dalam proses

resosialisasi.

Suatu permasalahan tentunya akan ditanggapi atau direaksi oleh individu

(51)

proses resosialisasi akan direspon atau direaksi oleh keluarga-keluarga jalanan.

Sikap sebagai suatu kecenderungan dalam mananggapi atau mereaksi terhadap

objek, pribadi lain ataupun persoalan tertentu (J.P Chaplin, 2002:43).

Bermacam-macam sikap yang muncul dalam kaitannya menanggapi problem yang terjadi.

Sikap-sikap yang muncul dalam mereaksi probelm-problem yang dialami

keluarga-keluarga jalanan merupakan komponen-komponen konflik yang mereka

rasakan.

Reaksi muncul terhadap problem sebagai usaha menanggapi konflik yang

mereka alami. Reaksi dapat terjadi dalam segi kognitif, psikologis dan juga

perilaku. Reaksi kognitif, psikologis dan perilaku yang muncul dalam problem

merupakan komponen-komponen dalam konflik.

Dari sekian banyak problem yang dialami para keluarga jalanan terdapat

konflik yang dianggap terberat oleh keluarga jalanan. Konflik terberat adalah

problem yang dianggap oleh keluarga jalanan sebagai yang paling menyita

keadaan kognitif, emosional dan perilaku keluarga jalanan. Konflik terberat secara

komponen kognitif tidak akan menimbulkan pengolahan konflik secara lebih

matang dengan pemikiran-pemikiran yang jernih, sehingga tidak menjadikan

pengalaman yang menyenangkan dan hanya pengalaman yang menyita pikiran.

Konflik terberat secara komponen kognitif hanya dapat menimbulkan frustasi dan

stres. Konflik terberat secara komponen emosional akan selalu menimbulkan

perasaan yang berkaitan dengan reaksi emosi yang tertekan, seperti rasa marah,

rasa cemas, rasa bingung dan rasa bimbang. Konflik terberat secara komponen

(52)

memperkeruh keadaan konflik yang terjadi ataupun tindakan yang tidak

menciptakan penyelesaian suatu problem. Konflik terberat secara komponen

perilaku dapat terlihat melalui perilaku agresif dan perilaku dekstruktif

Pengalaman-pengalaman yang dialami keluarga-keluarga jalanan selama

mengalami proses resosialisasi, dapat memberikan gambaran-gambaran problem

dalam bentuk konflik yang dialami selama proses resosialisasi. Problem-problem

yang terberat yang dialami dapat menjelaskan cara mereka bersikap terhadap

konflik dengan lebih jelas, baik sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap-sikap

yang muncul dalam menanggapi konflik merupakan sikap keluarga jalanan yang

digunakan dalam menanggapi problem-problem keluarga-keluarga jalanan dalam

(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Menurut Cresswell (1998)

penelitian kualitatif digunakan untuk melihat suatu fenomena dalam konteks alamiah

dan berusaha menggambarkan suatu fenomena atau peristiwa yang terjadi terjadi

sekarang ini. Prosedur penelitian ini menghasilkan data deskripsi yang dihasilkan dari

ucapan, tulisan atau perilaku yang dapat diamati dari subjek itu sendiri (Bogdan dan

Taylor 1975 dalam Moleong, 2000:3). Jenis data yang dapat dikumpulkan

mempunyai sifat deskriptif seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar,

rekaman (Poerwandari, 1998:29). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

atau menggambarkan tentang berbagai jenis problem yang dialami dan keluarga

jalanan di dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Sebagaimana dijelaskan

Suryabrata (2002), penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat pencandraan secara

sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah

tertentu.

Data-data deskriptif bertujuan menggambarkan sifat atau keadaan subjek

penelitian pada saat penelitian sedang berlangsung. Data-data deskriptif yang ada

dapat menggambarkan macam-macam konflik yang dialami subjek dalam proses

resosialisasi di PSP YSS.

(54)

B. Fokus Penelitian

1. Problem-problem apa sajakah yang dialami keluarga-keluarga jalanan dalam

proses resosialisasi PSP YSS. Problem-problem tersebut meliputi:

a. Konflik intrapersonal :

Ini lebih dikenal sebagai konfllik peran. Konflik yang berkaitan dengan

tanggungjawab anggota keluarga di dalam keluarga. Konflik ini terjadi di

internal keluarga jalanan. Konflik timbul karena ketidakmampuan tiap

anggota keluarga jalanan dalam menjalani peran di keluarga.

b. Konflik interpersonal :

Konflik ini terjadi antara individu yang satu dengan yang lain. Konflik ini

disebabkan kesalahpahaman dalam menanggapi sesuatu. Konflik ini bisa

terjadi antara anggota keluarga jalanan dengan anggota keluarga jalanan yang

lain yang tidak sekeluarga, anggota keluarga jalanan dengan anggota

masyarakat sekitar, anggota keluarga jalanan dengan relawan PSP YSS,

anggota keluarga jalanan dengan anggota keluarga jalanan yang sekeluarga.

c. Konflik organisasi :

Konflik yang terjadi dengan keluarga jalanan dengan kelompok lain. Konflik

ini terjadi karena adanya kesalahpahaman, sikap menentang, ketidakpercayan,

(55)

dimaksud adalah pihak pengurus PSP YSS, pihak RT sekitar PSP YSS

sebagai otoristas administratif setempat, dan masyarakat umum.

2. Konflik-konflik yang menjadi problem terberat yang dialami

keluarga-keluarga jalanan dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Problem terberat

adalah konflik yang dianggap oleh keluarga jalanan sebagai yang paling

menyita keadaan kognitif, emosional dan perilaku keluarga jalanan.

a. Komponen kognitif :

pengolahan konflik secara lebih matang dengan pemikiran-pemikiran yang

jernih, sehingga tidak menjadikan pengalaman yang menyenangkan dan

hanya pengalaman yang menyita pikiran.

b. Komponen emosional :

reaksi emosi yang muncul dalam menghadapi konflik. Reaksi emosi tertekan

dapat berbentuk: kemarahan, rasa cemas, kebingungan dan rasa bimbang atau

bahkan menjadi sangat gembira.

c. Komponen perilaku :

Reaksi yang perilaku dan sikap yang muncul dalam menghadapi konflik.

Reaksinya dapat berbentuk sikap bermusuhan, agresi dan penyerangan secara

verbal atau fisikal; ataupun reaksinya beralih yang lain yang menarik diri,

bungkam seribu bahasa. Reaksi-reaksi perilaku dan sikap yang muncul dan

(56)

3. Bagaimana para keluarga-keluarga jalanan menyikapi problem-problem

terberat yang mereka alami dalam proses resosialisasi di PSP YSS? Sikap

positif maupun sikap negatif yang dimunculkan keluarga jalanan dalam

menghadapi konflik. Sikap positif adalah sikap seperti, pandangan yang sehat,

perasaan yang positif, itikad yang baik, perilaku konstruktif. Sikap negatif

adalah seperti, memandang konflik sebagai hambatan, perasaan bahwa konflik

merugikan, sikap cenderung desktruktif, sikap yang cenderung merusak

kepentingan berasama dan hubungan yang terjalin.

C. Lokasi dan Subyek Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Subjek penelitian berada di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial

Soegiyapranata (PSP YSS). PSP YSS secara geografis terletak di bantaran Kali

Winongo. PSP YSS secara administratif termasuk dalam wilayah RT 1 RW 1,

Kampung Pingit, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, Jogyakarta. PSP YSS secara

geografis berbatasan dengan RT 3 di sebelah utara, RT 2 dan RT 1 di sebelah timur,

RT 1 di sebelah selatan dan kali Winongo di sebelah barat. Sebelah timur PSP YSS

berbatasan dengan Kali Winongo. Lebih tepatnya PSP YSS terletak dibantaran Kali

Winongo.

PSP YSS berdiri pada tahun 1966. PSP YSS bagi para keluarga jalanan

(57)

rumah, entah di kampung asal atau mengontrak rumah di kota. Yang jelas, mereka

tidak ingin kembali ke jalan dan hidup sebagaimana masyarakat lain. (YSS Selayang

Pandang Ultah ke-35, 2001).

Penduduk dari luar daerah Pingit sering menyebutnya sebagai “daerah

hitam” karena terkenal dengan banyaknya pelaku tindak kriminal berasal dari daerah

ini. Mayoritas penduduk Pingit menghidupi keluarganya dengan bekerja keras

sebagai pengemis, pemulung, tukang becak, bahkan pekerja seks (Sindhunata,

2001:5). RT 1 merupakan administratif dari PSP YSS yang memiliki mayoritas

penduduk RT 1 termasuk dalam ketegori ekonomi menegah ke bawah (Ouda Teda

Ena, 2001). Sindhunata (Bermimpi Bersama Anak-anak Tepi Kali Winongo, 2001:5)

mengatakan bahwa Pingit adalah lingkungan yang tidak berpendidikan. Orang tua

mendidik anak-anaknya dengan keras, membentak-bentak penuh kemarahan dan caci

maki.. Wilayah Pingit terutama RT 1 ini merupakan wilayah yang padat penduduk.

Keadaaan antara rumah penduduk RT 1 saling berdempetan, bahkan satu rumah bisa

dihuni antara 2-3 keluarga.

Subjek penelitian adalah keluarga yang tinggal di YSS. Mereka tinggal di

dalam rumah-rumah bambu semi permanen yang sudah disediakan oleh PSP YSS.

Secara administratif, mereka termasuk dalam wilayah RT 1 dan juga didaftarkan

sebagai warga RT 1. Mayoritas diantara mereka tidak memiliki KTP. Dilihat dari segi

(58)

pengamen, tukang becak, pemulung dan pengemis. Mayoritas diantara mereka tidak

berpendidikan.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah keluarga jalanan yang sedang berproses di PSP YSS di

Yogyakarta. Keluarga jalanan yang sedang manjalani proses resosialisasi. Keluarga

jalanan yang berada di PSP YSS terdiri dari lima keluarga, lalu tiga keluarga di antara

ini yang akan menjadi subjek dalam penelitian. Setiap keluarga akan diwakili oleh

pasangan suami-istri, dari merekalah data-data akan didapat.

Paton (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa subjek dipilih

berdasarkan kriteria tertentu, seperti latar-latar, peristiwa-peristiwa dan proses-proses

sosial (Miles dan Huberman, 1992) dan berdasarkan penelitian agar sampel

benar-benar mewakili (representatif) terhadap fenomena yang dipelajari. Teknik yang

dipakai adalah criterion sampling. Menurut Hammersley dan Atkin

Gambar

Tabel 3. Konflik-konflik keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses
Tabel Ringkasan Verbatim Subyek…………………………………………. 107
Tabel 1: Identitas Informan
Tabel 2: Tahap pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menjadi user, paling tidak anda bisa mengerti pelayanan dari "calon partner" Anda, karena seberapa banyak Anda yang sudah jadi dropshipper yang malah dimarah-marahi pembeli

o Dengan menggunakan LKS non eksperimen (animasi percobaan Melde), melakukan diskusi informasi tentang panjag gelombang yang terjadi pada tali jika massa tali diubaha. o

• Pada tahap analisis sintaks ini token yang diperoleh dari analisis leksikal disusun dan dikelompokkan dalam suatu hirarki tertentu yang mempunyai arti yang disebut sebagai

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Rincian Tugas, Fungsi Auditor dan

cardholder’s name, dan sebagainya (lihat gambar). Gambar 11: Masukkan Informasi Pembayaran / Entering Payment Information.. Jika kedua data ini tidak sama, maka pendaftaran

Ditambahkan oleh Wagiman (2006), bahwa mudah tidaknya mangsa ditangkap oleh predator ditentukan oleh efisiensi daya cari predator, kepadatan populasi mangsa, pola distribusi mangsa,

Selanjutnya mengenai data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan (literature research) yang berupa bahan- bahan hukum baik bahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168,