• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

TEMPE

Tempe adalah produk pangan tradisional Indonesia berbahan baku kedelai (Glycine max)

yang difermentasi dalam waktu tertentu menggunakan kapang Rhizopus sp.. Spesies kapang

yang umum digunakan dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus

oryzae. Fermentasi tempe berlangsung secara aerob karena kapang merupakan mikroorganisme

yang bersifat aerob obligat. Kapang membutuhkan oksigen untuk metabolisme dan membentuk biomassa berupa miselia yang membentuk tekstur kompak pada tempe. Selama fermentasi, kapang akan menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks dalam kedelai menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna. Gambar 1 memperlihatkan tempe mentah (tempe segar).

Gambar 1. Tempe mentah (tempe segar)

Tempe memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kacang kedelai. Dibandingkan dengan kedelai mentah, tempe tidak hanya memiliki flavor yang lebih dapat diterima, tetapi juga lebih mudah dicerna. Proses fermentasi tempe dapat mempertahankan sebagian besar zat gizi yang terkandung dalam kedelai, meningkatkan daya cerna proteinnya, serta meningkatkan kadar beberapa macam vitamin B (Muchtadi 2010). Selama fermentasi tempe, terjadi aktivitas enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang. Enzim ini dapat mengurai senyawa fitat, zat antinutrisi yang umum terkandung dalam kedelai menjadi inositol dan fosfat. Fitat dapat membentuk kompleks dengan berbagai senyawa, misalnya mineral sehingga dapat menghambat penyerapannya dalam usus manusia. Dengan terurainya fitat pada kedelai selama fermentasi tempe, penyerapan mineral dalam tubuh manusia menjadi lebih maksimal. Selain itu, penguraian komponen-komponen gizi seperti protein dan lemak oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang dapat mempermudah penyerapannya dalam usus manusia. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi kedelai menjadi tempe dapat meningkatkan ketersediaan (availabilitas) nutrien bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia) sehingga bisa disebut makanan semua umur (Saputra 2006).

Menurut BSN (1992), tempe kedelai adalah produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berupa padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Syarat mutu tempe kedelai berdasarkan SNI 01-3144-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.

(2)

4

Tabel 1.Syarat mutu tempe kedelai berdasarkan SNI 01-3144-1992 No Parameter Satuan Persyaratan 1 Keadaan  Bau  Warna  Rasa - - -

normal khas tempe normal normal 2 Air , b/b % maks. 65.00 3 Abu, b/b % maks. 1.50 4 Protein (N x 6.25), b/b % min. 20.00 5 Lemak, b/b % min. 10.00 6 Serat kasar, b/b % min. 2.50

7 Mikroba  E. coliSallmonella APM/g per 25 g maks. 10 negatif 8 Cemaran logam  Timbal (Pb)  Tembaga (Cu)  Seng (Zn)  Timah (Sn)  Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg maks. 2.00 maks. 30.00 maks. 40.00 maks. 40.00 maks. 0.03 9 Cemaran arsen (As) mg/kg maks 1.00 Sumber : BSN 1992

B.

NILAI GIZI TEMPE

Menurut Sudigbia (1996), tempe memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai bahan makanan, yaitu:

a. Memiliki kandungan protein yang lengkap. Tempe mengandung delapan macam asam amino esensial meliputi isoleusin, leusin, lisin, fenilalanin, treonin, triptofan, valin, dan metionin. Lisin merupakan asam amino yang paling banyak terkandung dalam tempe (Koswara 1992) sedangkan metionin merupakan asam amino pembatas dalam tempe (Syarief et al. 1999)

b. Memiliki kandungan vitamin B12 yang tinggi, yaitu 3.00-5.00 mg/100g tempe

(Sarwono 2002)

c. Memiliki kandungan lemak jenuh yang rendah, yaitu 3.70 mg/100g tempe (Anonim 2008)

d. Memiliki kandungan zat yang berkhasiat sebagai antibiotik, yaitu senyawa peptida berantai pendek yang diproduksi oleh kapang Rhizopus sp.. Senyawa ini dapat

menghambat pertumbuhan bakteri gram positif secara efektif (Syarief et al. 1999)

Selain kaya akan protein, tempe merupakan sumber gizi yang baik karena banyak mengandung asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B kompleks dan serat (Prihatna 1991). Selain itu, beberapa kandungan pada tempe juga dapat digunakan sebagai antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan untuk mencegah penyakit degeneratif. Perbandingan komposisi zat gizi antara kedelai dan tempe dapat dilihat pada Tabel 2.

Selama fermentasi, banyak bahan dalam kedelai menjadi bersifat lebih larut dalam air dan lebih mudah dicerna (Koswara 1992). Kadar protein dalam kedelai selama fermentasi relatif tidak banyak berubah, tetapi jumlah nitrogen yang larut meningkat 0.50-2.50%. Jumlah asam amino bebas meningkat 1-85 kali dari kedelai yang tidak difermentasikan setelah 48 jam akibat aktivitas proteolitik kapang tempe (Karyadi 1985). Kapang tempe menghasilkan enzim protease yang dapat menghidrolisis ikatan peptida pada protein dan senyawa-senyawa peptida lainnya

(3)

5

menjadi asam-asam amino bebas. Selain protease, kapang tempe juga menghasilkan enzim lipase yang dapat menyebabkan hidrolisis lemak selama fermentasi. Wagenknecht et al. (1961)

menyatakan bahwa selama fermentasi tempe berlangsung, terjadi penurunan kadar asam linolenat dan peningkatan bilangan asam sekitar 50-70 kali. Hal ini disebabkan oleh aktivitas lipolitik kapang tempe yang menghidrolisis triasilgliserol menjadi gliserol dan asam-asam lemak bebas. Di samping itu, kapang menggunakan asam linolenat dalam metabolisme sehingga jumlahnya selama fermentasi menurun. Kadar pati selama fermentasi menurun drastis hingga 74% dan terbentuk senyawa-senyawa karbohidrat yang tidak teridentifikasi. Peningkatan kadar serat sebesar 5.85% terjadi akibat miselium cendawan yang mengandung serat (Steinkraus et al.

1960).

Tabel 2. Perbandingan komposisi zat gizi kedelai dan tempe (basis kering)

Komposisi Proksimat Satuan Kedelai Tempe

Air g 0 0 Abu g 6.1 3.6 Protein g 46.2 46.5 Lemak g 19.1 19.7 Karbohidrat g 28.2 30.2 Serat g 3.7 7.2 Mineral: Kalsium (Ca) mg 254 347 Fosfor (P) mg 781 724 Besi (Fe) mg 11 9 Vitamin: Tiamin (B1) mg 0.48 0.28 Riboflavin (B2) mg 0.15 0.65 Niasin (B3) mg 0.67 2.52 Asam pantotenat (B5) mg 0.43 0.52 Piridoksin (B6) mg 0.18 0.10 Sianokobalamin (B12) μg 0.15 3.90 Biotin μg 35 53

Total asam amino mg 44,218 44,221 Sumber: Hermana et al. 1996

Perubahan yang terjadi selama fermentasi tempe antara lain peningkatan pH dari 5.0 menjadi 7.6. Peningkatan pH ini terjadi akibat pertumbuhan kapang yang cepat. Tempe yang berkualitas baik memiliki pH pada kisaran 6.3 hingga 6.5 (Steinkraus et al. 1960). Peningkatan

pH akan meningkatkan kelarutan protein tempe. Fermentasi kedelai dalam pembuatan tempe juga mengakibatkan terjadinya degradasi faktor antinutrisi (Hyeronymus 1993) dan peningkatan persentase vitamin B, kecuali vitamin B1 dan B6.

Kenaikan kadar vitamin B12 yang terjadi pada pembuatan tempe sangat mencolok sehingga

tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Hal ini menyebabkan tempe sering digunakan sumber vitamin B12, terutama oleh kelompok dengan pola

hidup vegetarian. Vitamin B12 diproduksi oleh bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae

(Karyadi 1985). Vitamin ini umumnya dijumpai pada produk pangan hewani dan tidak dijumpai

pada pangan nabati. Vitamin B12 meningkat aktivitasnya sampai 33 kali selama fermentasi,

riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14 kali, niasin 2-5 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat 2 kali (Steinkraus 1983). Akan tetapi, kadar asam amino lisin dan metionin relatif menurun selama fermentasi (Steinkraus et al. 1960).

(4)

6

Kandungan asam fitat pada tempe lebih rendah sekitar 30% daripada kedelai sebelum fermentasi. Hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang tempe. Asam fitat dapat menyebabkan defisiensi fosfat, kalsium,dan gangguan penyerapan zat besi (Karyadi 1985). Jumlah mineral zat besi, tembaga, dan seng berturut-turut pada tempe adalah 9.39, 2.87, dan 8.05 mg setiap 100 gram tempe (Syarief et al. 1999).

Tempe mengandung isoflavon, senyawa golongan polifenol yang merupakan antioksidan. Antioksidan sangat diperlukan tubuh dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan sehingga sangat reaktif dan dapat menyebabkan tumor, kanker, penuaan, dan kematian sel. Isoflavon adalah senyawa flavonoid (salah satu anggota senyawa polifenol) dan merupakan salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tanaman, khususnya dari golongan Leguminoceae (Muchtadi 2010).

Sumber utama isoflavon adalah kedelai. Dalam kedelai, terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Tempe juga mengandung antioksidan faktor II (6,7,4’-trihidroksiisoflavon) yang memiliki aktivitas sangat kuat (Syarief et al. 1999) dan tidak

ditemukan pada bahan pangan lain (Romulo et al. 2006). Isoflavon pada kacang kedelai

terutama berada dalam bentuk glukosida (terikat pada molekul gula). Proses pencernaan, fermentasi kedelai, atau hidrolisis enzimatis akan melepaskan molekul gula dari isoflavon glukosida menghasilkan isoflavon aglikon yang tidak terikat pada molekul gula (Muchtadi 2010). Koswara (1992) menyatakan bahwa sebagian besar isoflavon glukosida yang terkandung dalam kedelai terhidrolisis menjadi isoflavon aglikon selama fermentasi kedelai. Hal ini lebih memudahkan penyerapan isoflavon dalam usus manusia sehingga dapat dikatakan bahwa isoflavon lebih tersedia untuk diserap. Beberapa ahli menyarankan konsumsi isoflavon per hari adalah 30-40 mg (Astawan 2008).

Pengolahan tempe dengan penggorengan dapat mengurangi nilai gizi tempe karena panas yang digunakan sangat tinggi (170-180oC) sehingga dapat merusak komponen-komponen

organik yang sensitif terhadap panas. Pengolahan panas dengan uap seperti pengukusan tidak terlalu memengaruhi kandungan gizi pada tempe (Hackler et al. 1964). Total kandungan

isoflavon dalam 100 g tempe mentah berdasarkan basis kering adalah 205.00 ± 56.00 mg dan secara signifikan berkurang menjadi 113.00 ± 41.00 mg dalam 100 g tempe goreng (Haron et al.

2009).

C.

SARI TEMPE

Sari tempe (susu tempe) merupakan salah satu contoh produk hasil diversifikasi pangan berbasis tempe (Astuti et al. 2006). Produk ini memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi.

Prinsip pembuatan sari tempe adalah ekstraksi tempe dengan air sehingga diperoleh larutan dengan komponen padatan terlarut yang menyerupai tempe. Sari tempe dapat dikembangkan menjadi sejenis minuman ringan dengan kadar protein 2.5-3.0%. Proses pembuatan sari tempe tidak sulit sehingga produk ini memiliki potensi untuk dikembangkan di tingkat pengrajin (koperasi). Proses pembuatan sari tempe meliputi pemotongan (pengecilan ukuran), perebusan (blansir), penggilingan, penyaringan, penambahan bahan tambahan pangan (gula, garam, perisa, penstabil), dan pengemasan aseptis sehingga diperoleh sari tempe dalam kemasan (Syarief et al.

(5)

7

D.

PROSES TERMAL

Kajian tentang proses termal (pengolahan dengan suhu tinggi) terutama difokuskan pada aplikasi panas untuk membunuh atau menginaktifkan mikroorganisme dan enzim yang dapat menyebabkan kebusukan produk pangan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tujuan utama proses termal adalah memperpanjang daya awet produk pangan yang mudah rusak dan meningkatkan keamanannya selama disimpan dalam jangka waktu tertentu dengan cara membunuh mikroorganisme pembusuk dan patogen. Proses termal juga memengaruhi mutu produk, seperti memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk sehingga lebih mudah dikonsumsi, meningkatkan daya cerna protein dan karbohidrat, serta menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan (seperti komponen-komponen antitripsin pada biji-bijian). Namun, proses termal juga dapat menyebabkan kerusakan komponen gizi (vitamin, protein) dan penurunan mutu sensori (rasa, warna, dan tekstur) sehingga proses termal perlu dikontrol dengan baik (Hariyadi, Kusnandar 2000).

Proses termal melibatkan proses pemanasan pada suhu tinggi pada berbagai variasi suhu dan waktu. Proses termal dapat dilakukan dalam sistem batch (in-container sterilization atau traditional canning) atau dengan sistem kontinu (aseptic processing). Berdasarkan kriteria suhu,

waktu, dan tujuan pemanasan, proses termal dibagi menjadi pasteurisasi dan sterilisasi komersial (Hariyadi, Kusnandar 2000).

Pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada suhu yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100oC) dengan tujuan mengurangi populasi mikroorganisme

pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan memiliki daya awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) hingga beberapa bulan (seperti produk sari buah pasteurisasi) (Hariyadi, Kusnandar 2000). Dalam beberapa produk makanan, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba patogen sedangkan dalam produk fermentasi seperti bir, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba pembusuk. Untuk produk lainnya, pasteurisasi yang dikembangkan didasarkan pada daya tahan panas dari mikroba tertentu yang ingin dihancurkan. Hampir semua bahan pangan dapat diawetkan dengan menggunakan proses pasteurisasi. Selain untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba lain yang tidak diinginkan, pasteurisasi juga bertujuan memperpanjang umur simpan dengan cara meminimumkan perubahan cita rasa dan sifat-sifat fisiknya.

Proses pasteurisasi secara umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas, tetapi hanya sedikit menyebabkan perubahan mutu gizi dan mutu organoleptik. Beberapa mikroorganisme yang dapat dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi adalah kapang, kamir, bakteri patogen (Mycobacterium tuberculosis, Salmonella sp., Shigella dysentriae), serta bakteri yang tidak dapat

membentuk spora (Pseudomonas, Achromobacter, Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus, Micrococcus, Aerobacter). Berdasarkan kombinasi antara waktu dan suhu, terdapat tiga metode

pasteurisasi yang umum diaplikasikan di industri pangan, terutama industri susu, yaitu: (1) Long time pasteurization atau holder process, yaitu pada suhu 62.8-65.6oC selama 30 menit; (2) High temperature short time (HTST) pasteurization, yaitu pada suhu 73oC selama 15 detik; dan (3)

Flash pasteurization, yaitu pada suhu 85-95oC selama 2-3 detik (Kusnandar et al. 2009).

Sterilisasi komersial adalah proses termal pada suhu tinggi (di atas 100 oC, umumnya

diterapkan suhu standar 250oF atau 121,1oC) dalam waktu yang cukup sehingga tidak lagi

terdapat mikroorganisme hidup dalam bahan pangan (Syarief et al. 1989). Pengertian sterilisasi

komersial ini menunjukkan bahwa bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin saja masih mengandung spora bakteri (terutama spora bakteri nonpatogen termofilik),

(6)

8

namun spora tersebut berada dalam kondisi dorman (inaktif) sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk disimpan dalam kondisi normal. Dengan demikian, produk pangan yang telah disterilisasi memiliki daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan hingga beberapa tahun (Hariyadi, Kusnandar 2000).

Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain), jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah disterilisasi. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi (Kusnandar et al. 2006).

Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu bahan pangan selama proses sterilisasi cenderung minimal jika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau spora. Setiap partikel dari makanan harus menerima jumlah panas yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk.

Proses termal berkaitan erat dengan ketahanan bakteri, termasuk sporanya. Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu dalam satuan menit yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai z adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman, Singh 2001).

Sel vegetatif bakteri, termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan kamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar 0.5-3 menit pada suhu 65 oC. Nilai z untuk sel vegetatif bakteri,

kapang, dan kamir berkisar antara 5-8 oC sedangkan nilai z untuk bakteri pembentuk spora

berkisar antara 6-16 oC (Garbutt 1997). Pada suhu 121 oC, nilai D bakteri pembentuk spora,

kapang dan kamir berkisar antara 0-5 menit (Kusnandar et al. 2009). Ketahanan panas mikroba

dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, komposisi medium pertumbuhan organisme, pH dan aw medium, waktu pemanasan, serta suhu

pemanasan (Kusnandar et al. 2006)

Keberhasilan proses pengolahan yang melibatkan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Bagian terdingin (coldest point) bahan pangan harus menerima panas yang cukup

untuk menjamin kecukupan proses termal. Nilai pH makanan merupakan faktor yang penting dan kritis dalam menentukan tingkat proses termal yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.6, bakteri pembusuk anaerob dan bakteri patogen pembentuk spora seperti Clostridium botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan toksin botulinin. Beberapa

spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7, seperti Bacillus thermoacidurans atau

Bacillus coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak mengalami kerusakan

akibat bakteri pembentuk spora (Fardiaz 1992).

Kecukupan proses panas bergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroorganisme atau enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi panas (Fellows 2000). Kecukupan panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada suhu yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Kecukupan proses termal didasarkan pada jumlah

(7)

9

mikroba akhir pada produk pangan yang diinginkan setelah dilakukan proses termal (Hariyadi, Kusnandar 2000).

E.

KECUKUPAN PROSES TERMAL

Kecukupan proses termal bergantung pada karakteristik nilai z mikroorganisme, jumlah mikroorganisme awal pada bahan pangan, dan suhu sterilisasi yang diaplikasikan. Simbol F biasanya digunakan untuk menunjukkan kecukupan proses termal. Nilai F adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu yang diperlukan untuk mencapai tingkat sterilitas produk pangan yang diinginkan. Apabila proses termal dilakukan pada suhu 250oF, maka waktu yang

diperlukan untuk mencapai tingkat sterilitas tertentu biasanya dinyatakan dengan nilai Fo. Fo disebut juga nilai sterilisasi. Nilai sterilisasi adalah dasar penentuan matematika untuk kecukupan proses panas. Nilai ini dapat dihitung dengan persamaaan :

Fo = S.Do

FT = S.DT

FT adalah nilai F pada suhu tertentu (T), Do adalah nilai D mikroba pada suhu 250oF, DT adalah

nilai D mikroba pada suhu T, dan S adalah jumlah penurunan siklus logaritma mikroba yang diinginkan terjadi. Nilai Do dan DT dapat dihitung dengan persamaan:

DT =

Do = DT .

No adalah jumlah mikroba awal pada bahan pangan, N adalah jumlah mikroba akhir yang diinginkan terdapat dalam bahan pangan, t adalah waktu yang diterapkan pada proses termal, T adalah suhu dalam satuan oC yang diaplikasikan pada bahan pangan selama proses termal, dan z

adalah perubahan suhu dalam satuan oC yang dibutuhkan mikroba tertentu untuk mengubah nilai

Gambar

Gambar 1. Tempe mentah (tempe segar)
Tabel 1. Syarat mutu tempe kedelai berdasarkan SNI 01-3144-1992
Tabel 2. Perbandingan komposisi zat gizi  kedelai dan tempe (basis kering)

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian Performa Baterai Nickel-Metal Hydride (Nimh) Untuk Mobil Listrik Satu Penumpang Pada Kompetisi Balap Mobil Listrik Ene1-Gp Jepang 2017 (Dedy Ramdhani Harahap) dapat diraih

Pembuatan pupuk cair biokultur dan biourin yang dilakukan oleh peserta kegiatan (anggota kelompok tani mitra) berlangsung dengan baik dan dapat menghasilkan pupuk

Peneliti bersama warga masyarakat dukuh Pampung bersepakat untuk membuat pupuk organik dengan sistem yang telah diajarkan oleh para ahli dalam bidang pertanian organik, dan

Den ga n demikian, untuk mengukur kema mpuan berfikir krea tif siswa khususnya kemampuan berfikir krea tif da la m proses pemecaha n ma sa la h denga n menggunaka n

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

3 4.4 menyusun teks interaksi transaksional lisan dan tulis sangat pendek dan sederhana yang melibatkan tindakan memberi dan meminta informasi terkait nama dan

Golongan pangkat yang sudah berhak memakai baju sikepan ini adalah para putra dan sentanadalem yang sudah berpangkat Bupati Riya Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden

Untuk hasil pelaporan pada pengukuran tunggal adalah (hasil pengukuran +/- (SN x nst), nst adalah nonius skala terkecil/batas alat ukur benda) dalam hal ini