• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PENGUNGSI 2.1 Pengertian Pengungsi 2.1.1 Sejarah Lahirnya Hukum Pengungsi Internasional - PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PENGUNGSI 2.1 Pengertian Pengungsi 2.1.1 Sejarah Lahirnya Hukum Pengungsi Internasional - PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI PENGUNGSI

2.1 Pengertian Pengungsi

2.1.1 Sejarah Lahirnya Hukum Pengungsi Internasional

Masyarakat dunia mulai mengenal pengungsi yaitu pada saat terjadinya

Perang Dunia I (1914-1918)dimana terjadi perang Balkan (1912-1913) yang

mengakibatkan pergolakan-pergolakan di negara-negara tersebut terutama

Kekaisaran Russia. Diperkirakan 1-2 juta orang pengungsi meninggalkan wilayah

Russia dan menuju ke berbagai negara yang berada di kawasan Eropa atau Asia,

Asia Tengah dan Asia Selatan antara tahun 1918 dan 1922 dan juga tahun-tahun

selanjutnya.11 Selama periode Liga Bangsa-Bangsa (1921-1946) berbagai badan

dibentuk untuk membantu Komisi Agung Pengungsi, antara lain The Nansen

International Office for Refugees (1931-1938), The Office of the High

Commisioner for Refugees Coming From Germany (1933-1938), The Office of

The High Commisioner of The League of Nations for Refugees (1939-1946), dan

Intergovernmental Committee for Refugees (1938-1947).12Namun, pada masa

Liga Bangsa-Bangsa ini justru banyak timbul masalah pengungsi, seperti

11

Gilbert Jaeger, On The History of the International Protection of Refugee, ICRC September 2001 Vol 83 No. 843., h. 727 dalam

http://www.icrc.org/Web/Eng/siteengO.nsf/iwpList128/5BA471F787461F15C1256B6699608ACF

12

Ibid, h. 729

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(2)

12

Pengungsi Rusia tahun 1922, pengungsi Armenia 1924, dan pengungsi Assyria,

Assyro-Chaldea, Syria, Kurdi, dan Turki pada tahun 1928.13

Kesadaran masyarakat internasional untuk memberikan perlindungan dan

bantuan dalam menyelesaikan masalah pengungsi dimulai sewaktu terjadi revolusi

di Rusia dan runtuhnya Kekaisaran Otoman yang mengakibatkan terjadinya

pengungsian secara besar-besaran. Tidak kurang 1,5 juta orang pergi

meninggalkan Rusia dan mengungsi ke negara lain di Eropa.Dengan adanya

peristiwa itu, pada tahun 1921 Liga Bangsa-Bangsa menunjuk Dr. Frijtjof

Nansen 14 sebagai orang pertama yang menjabat di Komisi Tinggi untuk

Pengungsi (High Commissioner for Refugees) bertugas untuk mengidentifikasi

status hukum para pengungsi Rusia, mengorganisir untuk merepatriasi mereka ke

negara yang mau menerima para pengungsi Rusia dan juga memberikan

pertolongan terhadap mereka melalui bantuan dari “philanthropic agencies”.15

Pada tahun 1931 dibentuk sebuah badan mandiri dibawah kewenangan

Liga Bangsa-Bangsa yang bernama the International Nansen Office for

Refugee.Fokus utama badan ini adalah untuk memberikan bantuan yang bersifat

kemanusiaan.Badan ini kemudian dihapus pada tahun 1938. Pada saat yang

bersamaan badan yang menangani pengungsi dari Jerman akibat bangkitnya rezim

Nazi Hitler, High Commissiner for Refugees Coming From Germany juga

13

Achmad Romsan et al., Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasionl dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional, UNHCR Indonesia, Sanic Offset, Bandung, 2003, h. 62

14

Nansen, 1861-1930, adalah seorang ilmuwan, diplomat, dan humanitarian berkebangsaan Norwegia

15

Achmad Romsan, Op.Cit, h. 63

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(3)

13

dibubarkan. LBB mendirikan High Commissioner for Refugees pada tahun 1938

dengan kantor pusat yang terletak di London yang merupakan gabungan dari the

International Nansen Offie for Refugee dan High Commissioner for Refugees

Coming From Germany. Namun peran High Commissioner for Refugees sangat

terbatas, sehingga pada tahun 1946 badan ini berakhir.16

Pasca meletusnya Perang Dunia I, banyak masyarakat sipil yang menjadi

korban atas peristiwa tersebut.Kebanyakan dari mereka memilih untuk lari ke

tempat yang lebih aman yang jauh dari konflik.Setelah saat itu munculah gagasan

mengenai kesadaran bahwa permasalahan pengungsi tidak hanya berhubungan

dengan masalah bantuan materiil belaka, melainkan lebih diutamakan adalah

perlindungan yuridis dan pemenuhan hak-hak dasar mereka.17 Sehingga lahirlah

Hukum Pengungsi Internasional.

Hukum Pengungsi Internasional semakin berkembang pada tahun 1951

ketika diadakannya Konferensi Internasional yang membahas permasalahan

pengungsi dunia di Jenewa.Setelah saat itu dilakukan pembakuan mengenai

perlakuan terhadap pengungsi dalam format universal yang diakomodir secara

universal.

Hukum pengungsi internasional lahir melalui kesepakatan yang dilakukan

oleh negara-negara. Produk hukum yang lahir dari hukum pengungsi internasional

antara lain berbentuk perjanjian-perjanjian internasional. Hukum pengungsi

16

Ibid, h. 64

17

Koesparmono Irsan, Pengungsi Internal dan Hukum Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007, h. 119

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(4)

14

internasional merupakan salah satu bentuk fungsi dari sistem hukum internasional

yang mempunyai tugas dan pengawasan pelaksanaannya dominan dijalankan

lembaga-lembaga internasional.18

Hukum pengungsi internasional berdiri sebagai akibat dari interaksi antara

aspek hukum internasional dengan hukum nasional suatu negara.Hukum ini

menempatkan hak asasi manusia diposisi paling atas sebagai suatu hal yang paling

dihormati.Hukum pengungsi internasional sangat menjunjung tinggi serta telah

menempatkan seseorang pada kedudukan manusia yang memiliki hak-hak atas

suatu perlindungan.Pada masa sekarang, instrumen-instrumen internasional

tentang pengungsi serta pendukungnya mulai disempurnakan dan semakin

dikukuhkan yaitu pasca Piagam PBB dan Deklarasi Hak Asasi Manusia disepakati

Konvenan Sipil dan Politik serta Konvenan Ekonomi, Sosial, dan

Budaya.19Semenjak saat itu, banyak bermunculan Konvensi Pengungsi beserta

Protokolnya yang diakui sebagai salah satu sumber hukum internasional yang sah.

2.1.2 Pengertian Istilah Pengungsi Menurut Konvensi Internasional

Pengertian pengungsi akan dibedakan sesuai istilah yuridis yang ada yang

akan dibedakan dengan tegas dari pengertian atau istilah lainnya. Terdapat istilah

lain yang harus dijelaskan terkait pemahaman pengertian pengungsi, istilah-istilah

tersebut antara lain suaka, pencari suaka, dan istilah pengungsi itu sendiri. Pada

18

Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktik Dalam Pergaulan Internasional, Grafiti, Jakarta, 1994, h. 84-85

19

Wagiman.Op.Cit, h. 4

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(5)

15

draft UNHCR, suaka diartikan sebagai pengakuan secara resmi oleh negara bahwa

seseorang adalah pengungsi dan memiliki hak dan kewajiban tertentu.20

Dalam Black‟s Law Dictionary pengungsi diartikan sebagai “A person

taking refuge, esp. in a foreign country from war or persecution or natural

disaster”.21Sedangkan dalam Longman Dictionary of Contemporary English

pengertian dari pengungsi adalah ”A person who has been driven from his

country for political reason or during war”.22Selanjutnya dalam Wedbster Ninth

New Collegate Dictionary, pengungsi diartikan sebagai “One who flees to a

foreign country or power to escape danger or persecution”.23

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pengungsi

didefinisikan sebagai orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada

bahaya yang mengancam. Merujuk pada batasan istilah dalam bahasa Indonesia

tidak dibedakan antara International Displace Person (IDP)dengan Pengungsi

Lintas Batas.24

Batasan pengertian Pengungsi secara hukum internasional dijelaskan

dalam Konvensi Pengungsi 1951. Menurut Article 1A Paragraph (2) 1951

Convention, Pengungsi adalah:

20

Draft RUU Imigrasi dan Suaka Republik Timor Leste yang dalam pendahuluannya terdapat komentar dari UNHCR mengenai istilah yang tepat

21

R. E. Allen, The Concise Oxford Dictionary, Claredon Press, 1990, h. 321

22

Longman Dictionary of Contemporary English, First Published, St Ives, England, 1981, h. 928

23

(6)

16

…as one who owing to well founded fear of being persecuted for reasons of rase, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and unable or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country, or who, not having nationality and being outside the country of his former habitual residence as result of such events, is unable or owing to such fear, is unwilling to return to it.

Pada pasal tersebut lebih dijelaskan mengenai orang yang berada di luar

negara asalnya atau domisili aslinya. Hal tersebut merupakan dasar fenomena

yang sering terjadi di masyarakat internasional yaitu ketakutan yang sah akan

gangguan pada keselamatan diri dan keluarganya sebagai akibat kesukuan, agama,

kewarganegaraan, dan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat

politik yang dianutnya. Serta yang bersangkutan tidak mampu atau tidak ingin

memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal tersebut, ataupun kembali

kesana, karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya.25

Kemudian di dalam Article 6 UNHCR Statute dijelaskan mengenai

pengertian pengungsi yaitu:

Any person who is outside the country of his nationality or, if he has no nationality, the country of his former habitual residence, because he has or had well-founded fear of persecution by reasons of his race, religion, nationality or political option and is unable or, because of such fear, is unwilling to avail himself of the protection of the government of the country of his nationality, to return to the country of his former habitual residence.

Pasal diatas menjelaskan mengenai definisi pengungsi yaitu sebagai

sesorang yang berada di luar negara asalnya atau tempat tinggal asalnya.Dalam

25

Terjemahan resmi dari Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi Perwakilan Indonesia

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(7)

17

Protocol 1967, pengertian pengungsi dijelaskan dalam Article 1 paragraph 2,

yaitu :

For the purpose of the present Protocol, the term “refugee” shall, except as regards the application of paragraph 3 of this Article, mean any person within the definition of Article 1 of the Convention asa if the words “As a result of events occurring before 1 January 1951 and …” and the words”… a result of such events; in Article 1 A (2) were committed

Penjelasan mengenai pasal diatas merupakan perluasan definisi pengungsi

pada Konvensi tahun 1951 membuat negara-negara yang ikut dalam Protokol

1976 ini menerapkan definisi pengungsi menurut Konvensi 1951, namun tanpa

adanya batasan waktu.

Menurut Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1967 tentang

Asilum Teritorial, perlindungan untuk pengungsi dimaksudkan untuk

mengembangkan instrumen-instrumen hukum internasional dan juga memastikan

bahwa mereka diperlakukan sesuai dengan instrumen yang khususnya berkaitan

dengan hak untuk bekerja, jaminan sosial, serta akses terhadap dokumen

perjalanan.Deklarasi ini juga merujuk pada ketentuan Article 13 (2) Declaration

of Human Right yang menyatakan: “Everyone has he right to leave any country,

including his own, and to return to his country”.Deklarasi ini hanya terdiri dari 4

pasal. Pada pembukaannya, deklarasi ini merujuk pada Article 14 Declaration of

Human Right yang menyatakan bahwa:

1. Everyone has the right ti seek and to enjoy in other countries asylum

from persecution

2. This right may not be revoked in the case of persecutions genuinely

from non-political crimes or from acts contrary to the perposes and principles of the United Nations.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(8)

18

Pengertian pengungsi juga dijelaskan dalam beberapa instrumen regional

yang secara khusus mengatur tentang pengungsi seperti OAU (Organization of

American Unity) Convention.Definisi pengungsi menurut OAU masih tetap

berpegang pada definisi yang dijelaskan pada Konvensi 1951. Dijelaskan dalam

Article 1 Paragraph (2) OAU Convention, yang merupakan tambahan sesuai

dengan karakteristik di Afrika yaitu orang-orang yang terpaksa meninggalkan

negara-negara mereka karena:“owing to external aggression, occupation, foreign

domination or events seriously disturbing public order in either part on the whole of his country of origin or nationality”

Penjelasan mengenai pasal tersebut adalah, orang-orang yang pergi

meninggalkan negara tempat asal mereka karena adanya bencana perang saudara,

kekasaran, dan juga karena adanya perang berhak untuk mendapatkan status

sebagai pengungsi di negara-negara yang menjadi peserta Konvensi tahun 1951

dengan tidak memperhtikan apakah adanya unsur rasa takut yang sangat akan

persekusi sebagaimana diatur dalam Article 1 A 1951 Convention:26

For the purposes of the present Convention, the term "refugee" shall apply to any person who:

(1) Has been considered a refugee under the Arrangements of 12 May 1926 and 30 June 1928 or under the Conventions of 28 October 1933 and 10 February 1938, the Protocol of 14 September 1939 or the Constitution of the International Refugee Organization;

26

Achmad Romsan, Op.Cit, h. 45

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(9)

19

Decisions of non-eligibility taken by the International Refugee Organization during the period of its activities shall not prevent the status of refugee being accorded to persons who fulfil the conditions of paragraph 2 of this section;

(2) As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.

In the case of a person who has more than one nationality, the term "the country of his nationality" shall mean each of the countries of which he is a national, and a person shall not be deemed to be lacking the protection of the country of his nationality if, without any valid reason based on well-founded fear, he has not availed himself of the protection of one of the countries of which he is a national.

Instrumen regional lainnya yaitu Deklarasi Kartagena yang dibuat oleh

negara-negara di kawasan Amerika Latin. Definisi pengungsi yang dipergunakan

di kawasan harus memasukkan orang-orang yang pergi meninggalkan negara

mereka dengan alasan jiwanya terancam, keamanan, serta kebebasan karena

adanya kekerasan, agresi pihak asing, konflik internal, pelanggaran HAM yang

berat, ataupun karena adanya hal-hal lain sehingga ketertiban umum terganggu.

Secara lengkap penjelasan ini dituangkan dalam paragraph (3) sebagai berikut:

To reiterate that, in view of the experience gained from the massive flows of refugees in the Central American area, it is necessary to consider enlarging the conxept of the refugee, bearing in mind, as far as appropriate and in the light of the situation prevaliling in the region, the precedent of the OAU Convention (article 1, paragraph 2) and te doctrine employed in the reports of the Inter-American Commission on Human Rights. Hence the definition or concept of a refugee to b recommended for

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(10)

20

use in the region is one which, in addition to containing the elements of the 1951 Convention and the 1967 Protocol, includes among refugees persons who have fled their country because their lives, safety or freedom have been threatened by generalized violence, foreign aggression, internal conflicts, massive violation of human rights or other circumstances which have seriously disturbed public order.

2.1.3 Pengertian Pengungsi Menurut Para Ahli

Beberapa ahli telah mengemukakan pendapat mereka mengenai batasan

pengertian pengungsi.Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi

dalam perspektif pasca Perang Dunia II. Pengertian pengungsi menurutnya

adalah:

These forced movements, …were the result of the persecution, forcible deportation, or flight of jews and political opponents of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitrary rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombardment from the air and under the threat or pressure of advance or retreat of armies over immense areas of Europe; the forced removal of populationfrom coastal or defence areas under military dictation; and the deportation for forced labour to blaster the

German war effort.27

Dari pengertian yang diberikan oleh Malcom Proudfoot tersebut,pengungsi

merupakan suatu kelompok orang-orang yang terpaksa harus pindah ke tempat

lain yang dirasa lebih aman akibat adanya penganiyaan, deportasi secara paksa,

atau pengusiran orang-orang dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa.

Sehingga perpindahan yang mereka lakukan bukan semata-mata kehendak

mereka, melainkan suatu hal yang mendesak mereka yang harus mereka lakukan

untuk melindungi keselamatan jiwa mereka.

27

Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung, 2003, h. 36

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(11)

21

Pengertian lainnya yang dapat disimpulkan dari pendapat Malcom

Proudfoot tersebut adalah bentuk pengembalian etnik tertentu ke negara asal

mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau perjanjian atau

penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi.Perpindahan

penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya tekanan atau

ancaman.Perpindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah

pertahanan berdasarkan perintah militer serta pemulangan tenaga kerja paksa

untuk ikut dalam perang.28

Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Pietro Verri yang penyampaian

pendapatnya merujuk pada Article 1 1951 Convention pada kalimat „applies to

many person who has fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat of persecution‟. Pierro Verri mengungkapkan bahwa pengungsi

merupakan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan negaranya

karena adanya ketakutan yang tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau

potensi terjadinya penyiksaan.

Pengungsi dalam pengertian yang umum adalah orang yang dipaksa keluar

dari wilayah negaranya.Paksaan yang dilakukan kepada mereka dilatarbelakangi

oleh kondisi yang tidak memungkinkan adanya rasa aman atau jaminan keamanan

atau dirinya oleh pemerintah.29

28

Wagiman, Op.Cit, h. 98

29

Artikel Pertanyaan-Pertanyaan yang Kerap Muncul Seputar Pengungsi, www.seputarkita.com, diakses pada tanggal 15 November 2014

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(12)

22

Beberapa pengertian mengenai pengungsi ini kemudian disimpulkan oleh

Achmad Romsan kedalam enam istilah yang berhubungan dengan pengungsi,

yaitu:

1. Economic Migrant yang didefinisikan sebagai “person who, in pursuit of

employment or a better over all standard of living (that is, motivated by

economic considerations), leave their country to take up residence elsewhere”.30

Economic migrant merupaka seseorang atau sekelompok

orang yang mencari pekerjaan dan harus meninggalkan negaranya dengan

pertimbangan aspek ekonomi.

2. Refugee Sur Place yang didefinisikan sebagai“A person who was not a

refugee when she left her country, but who became a refugee at a later

date. A person become a refugee sur place due to circumstances arising in her country of origin during her absence”. Refugee sur place merupakan

seseorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi sewaktu berada

di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena keadaan di

negara asalnya sewaktu orang atau kelompok orang tersebut tidak berada

di negaranya.31

3. Statutory Refugees yang didefinisikan sebagai “Person who meet the

definitions of international instruments concering refugees prior to the

1951 Convention are usually referred to as statutory refugees”. Statutory

refugees merupakan seseorang atau sekelompok orang yang memenuhi

30

Achad Romsan, dkk., 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung, 2003, h. 29

31

Ibid

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(13)

23

kriteria pengungsi menurut instrumen hukum pengungsi internasional

sebelum tahun 1951.

4. War Refugees (pengungsi perang) yaitu

Person compelled to leave their country of origin as a result of international or national armed conflicts are not normally considered refugees under the 1951 Conventions of 1967 Protocol. They do, however, have the protection provided for in other international instruments, i. e. the Geneva Convention of 1949, et. al. In the case of forces invasion and subsequent occupation, occupying forces may begin to persecute segments of the populations. In such cases, asylum seekers may meet the conditions of the Convention definition.

War refugeesialah seseorang atau sekelompok orang yang terpaksa

meninggalkan negara asalnya akibat pertikaian bersenjata yang bersifat

internasional maupun nasional. Pengungsi jenis ini mendapat perlindungan

menurut instrumen internasional yang lain, yaitu Konvensi 1951 tentang

Pengungsi.

5. Mandate Refugee, istilah ini digunakan untuk menunjuk orang-orang yang

diakui statusnya sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi,

wewenang, atau mandat yang ditetapkan oleh Statuta UNHCR . Pengungsi

mandat adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan serta berhasil

menempuh beberapa tahapan agar diakui sebagai pengungsi. Oleh

karenanya mereka mendapat perlindungan dari PBB dan lembaga

internasional lainnya.

6. Statute Refugeeyaitu orang-orang yang berada di dalam wilayah

negara-negara pihak pada Konvensi 1951 yaitu setelah mulainya berlaku

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(14)

24

Konvensi 1951 atau sejak 22 April 1954 dan Protokol 1967 yang mulai

berlaku pada tanggal 4 Oktober 1967 yang status pengungsinya diakui

oleh negara-negara pihak berdasarkan kriteria yamg ditetapkan oleh

indtrumen-instrumen tersebut.

2.1.4 Penetapan Status Pengungsi

Warga negara yang pergi dari negaranya tanpa prosedur yang sah dan

mereka masuk ke negara lain secara ilegal maka statusnya saat itu merupakan

imigran gelap. Seseorang harus menjalankan beberapa prosedur sebelum dirinya

ditetapkan statusnya sebagai seorang pengungsi.Dalam hukum internasional,

lembaga yang berhak untuk memberikan status pengungsi kepada seseorang

adalah UNHCR (United Nations High Commision for Refugees).Di dalam Statuta

UNHCR dijelaskan mengenai beberapa pendefinisian mengenai

pengungsi.Pengertian pengungsi yang tercantum di dalam beberapa ketentuan

internasional telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya yang terdapat di dalam

Pasal 6B Statuta UNHCR, Pasal 1A Ayat (2) Konvensi Tahun 1951, dan Pasal 1

Ayat (2) Protokol 1967.

Berdasarkan penjelasan pengertian pengungsi yang terdapat didalam

beberapa ketentuan internasional diatas, dapat dikelompokkan dua terminologi

pengungsi, yaitu:

1. Mandate Refugee yang didasarkan oleh faktor apabila suatu negara

belum menjadi peserta Konvensi 1951, maka status penetapan

pengungsi dilakukan oleh wakil-wakil UNHCR yang berada di negara

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(15)

25

tersebut. Oleh karena itu jenis pengungsi ini dinamakan sebagai

pengungsi mandat karena penetapannya ditentukan oleh UNHCR.

2. Convention Refugee yaitu prosedur penetapan status diserahkan kepada

negara yang sudah menjadi peserta konvensi tersebut tetapi tetap

bekerjasama dengan UNHCR setempat.

Kebanyakan negara tersebut membentuk suatu panitia khusus yang terdiri

dari instansi-instansi yang mempunyai hubungan dengan masalah pengungsi.

Sehingga, untuk mendapatkan status pengungsi, seseorang harus menjalankan

beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh negara tempat mereka singgah atau

pun mengikuti ketentuan internasional yang dibuat oleh UNHCR.

Dalam menentukan status pengungsi dapat digunakan kriteria yang terdiri

dari faktor, yaitu:

1. Faktor subyektif ialah faktor yang terdapat pada diri pengungsi itu sendiri,

yang minta status pengungsi, faktor inilah yang menentukan ialah apakah

pada diri orang tersebut ada rasa ketakutan atau rasa kekhawatiran akan

adanya persekusi /penuntutan, maka jika ada alasan ketakutan maka dapat

dikatakan orang tersebut Eligibility, ketakutan itu dinilai dari takut

terhadap tuntutan negaranya dan terancam kebebasannya.

2. Faktor Objektif adalah keadaan asal pengungsi, di negara tersebut apakah

benar-benar terdapat persekusi terhadap orang-orang tertentu. Antara lain

akibat perbedaan ras, perbedaan agama, karena suatu pandangan politik

atau yang lainnya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(16)

26

Dalam menentukan status pengungsi berdasarkan definisi pengungsi yang

terdapat dalam Konvensi 1951 dilakukan tahap-tahap dalam bentuk screening

yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber: Hukum Pengungsi Internasional, Wagiman, 2012

Untuk tahap awal umumnya dilakukan screening sementara yang akan

dapat dilakukan pengelompokaannya sebagai berikut:

Sumber: Hukum Pengungsi Internasional, Wagiman, 2012

Skrinig Penentuan Status Pengunsi

Diterima

Dikirim ke negara penerima suaka

Ditolak

Banding

Definitif ditolak

Dideportasi

Skrining Sementara oleh UNHCR

Pendatang biasa

Pengungsi asli

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(17)

27

Menurut Jean-Yves Carlier, terdapat sandaran dasar yang dikenal sebagai

Teori Tiga Tahap. Teori ini menjelaskan mengenai gambaran umum apakah

seseorang itu dapat dikategorikan sebagai pengungsi atau tidak.Pertanyaan

tersebut mencakup:

1. The Risk merupakan pola yang menentukan tahap pada tataran resiko yang

kemungkinan akan diterima oleh seseorang jika dia dikembalikan ke

negara asalnya.

2. The Persecution meliputi tahap pada tataran terjadinya penyiksaan atau

penganiayaan.

3. The Proofyang merupakan tahap akhir yang memberikan bukti-bukti,

tahap ketiga ini merupakan pelengkap dari dua tahap sebelumnya. Tahap

ini berhubungan dengan pemeriksaan atau pengujian atas bukti dan

resiko.Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian diberikan kepada

mereka.Setelah mereka lolos, maka mereka akan mendapatkan status

pengungsi dan negara wajib melindungi serta menghormati hak asasi

mereka.

Dalam kasus permohonan status pengungsi di Indonesia, pihak pemerintah

akanbekerjasama dengan pihak UNHCR untuk selanjutnya dilakukan serangkaian

prosedur tetap guna penentuan status pengungsi pemohon. Para pemohon oleh

UNHCR diidentifikasi sesuai dengan kebutuhan perlindungan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(18)

28

internasionalnya.Seseorang yang bisa mendapatkan status pengungsi harus

memenuhi empat kriteria, antara lain:32

(a) Berada diluar negara asalnya;

(b) Mempunyai kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar akan persekusi;

(c) Kecemasan tersebut harus disebabkan oleh, sekurang-kurangnya, salah satu dari empat alasan berikut:

- Ras, - Agama, - Kebangsaan, - Opini politik; dan

(d) Tidak dapat atau tidak mau memanfaatkan perlindungan atau kembali ke negara asalnya, karena kecemasan tersebut.

Pihak UNHCR memberikan izin tinggal di Indonesia dengan seperetujuan

Pemerintah Indonesia sampai mereka medapatkan penempatannya.

2.1.5 Kewajiban Negara Ketiga dalam Melindungi Pengungsi

Terjadinya pengungsi dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni:

1. Pengungsian karena bencana alam (natural disaster). Pengungsian ini

pada prinsipnya masih dilindungi negaranya untuk keluar

menyelamatkan jiwanya, dan orang-orang ini masih dapat minta tolong

pada negara dari mana ia berasal.

2. Pengungsian karena bencana yang dibuat Manusia (man made

disaster). Pengungsian disini pada prinsipnya pengungsi keluar dari

negaranya karena menghindari tuntutan (persekusi) dari negaranya.

Biasannya pengungsi ini karena alasan politik terpaksa meninggalkan

32

Enny Narwati, Buku Ajar Hukum Pengungsi, Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2009

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(19)

29

negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat perlindungan dari

pemerintah dimana ia berasal.

Dari dua jenis pengungsi di atas yang diatur oleh Hukum Internasional

sebagai Refugee Law adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana

alam itu tidak diatur dan dilindungi oleh Hukum Internasional.

Setelah mereka mendapatkan status pengungsi, terdapat beberapa hak dan

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengungsi tersebut. Terdapat empat

prinsip dasar yang harus dijalankan negara terhadap para pengungsi, yaitu:

1. Larangan untuk memulangkan pengungsi ke negara asalnya (prohibion

against expultion or return). Jika terjadi pemulangan maka negara

pihak dianggap telah melanggar ketentuan yaitu negara-negara pihak

tidak akan mengusir pengungsi yang berada secara tidak sah

diwilayahnya33, serta ketentuan mengenai tidak ada negara pihak yang

akan mengusir atau mengembalikan (refouler) pengungsi dengan cara

apapun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup atau

kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan,

keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.34

2. Negara tujuan atau negara transit harus dapat memberikan

perlindungan keamanan (security of refugees). Menurut analisa penulis

yang didapat dari berbagai sumber, ditemukan bahwa perlindungan

33

Pasal 32 ayat (1) Konvensi Pengungsi 1951

34

Pasal 33 ayat (1) Konvensi Pengungsi 1951

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(20)

30

terhadap pengungsi masih sangat minim yang disebabkan buruknya

perlakuan pihak keamanan negara tempat mereka transit sementara.

Beberapa contoh kasus yang sering ditemukan yaitu tindakan

perampasan atau perampokan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh

warga negara atau petugas keamanan negara setempat.

3. Negara tujuan atau negara transit tidak boleh menangkap pengungsi

(prohibition against detention of refugees). Penangkapan pengungsi

yang berada di negara transit bertentangan dengan Pasal 31 Konvensi

Pengungsi 1951 yang menjelaskan bahwa negara-negara pihak tidak

akan mengenakan hukuman pada pengungsi yang masuk ke dalam

wilayahnya secara tidak sah dan tidak akan mengenakan

pembatasan-pembatasan terhadap perpindahan para pengungsi. Pengecualian

pemberlakuan Pasal 33 tersebut terjadi bila terbukti bahwa pengungsi

melakukan tindak pidana di negara tersebut.35

4. Pengakuan dan pemberian status pengungsi (gainful employment of

refugees). Pemberian status kepada pengungsi merupakan tahap awal

agar pengungsi tersebut mendapatkan hak-haknya yang lain. Adapun

hak-hak yang akan diterima oleh pengungsi antara lain kebebasan

menjalankan agama, perlindungan terhadap aset hak kekayaan

intelektual serta hak untuk mendapatkan bantuan hukum hak untuk

mencari nafkah, dan hak kepemilikan barang bergerak dan tidak

bergerak.

35

Merujuk pada Conclusion No 44 yang diputuskan oleh Komite Eksekutif UNHCR pada tahun 1986

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(21)

31

Hak kebebasan untuk menjalankan agamanya merupakan salah satu

contoh dari penerapan prinsip perlindungan nasional oleh negara transit kepada

pengungsi.Perlindungan nasional yang didapatkan oleh pengungsi tercantum

dalam Konvensi Pengungsi 1951 yang dijelaskan pada Pasal 4 mengenai

kebebasan menjalankan agama, Pasal 16 mengenai kemudahan akses ke

pengadilan, Pasal 17 mengenai hak untuk mencari nafkah, dan Pasal 22 mengenai

hak untuk mendapat pendidikan dasar.

Selain itu terdapat pula prinsip-prinsip internasional yang juga harus

diberikan oleh negara, antara lain:

1. Prinsip treatment as accorded to nationals of the country of their

habitual residence. Prinsip ini meliputi perlindungan terhadap asset

hak kekayaan intelektual serta hak untuk mendapatkan bantuan hukum.

2. Prinsip most-favored-treatment yang mencakup perlakuan khusus yang

diutamakan bagi seorang pengungsi untuk merealisasikan hak-haknya

terutama hak mencari nafkah.

3. Prinsip treatment as favorable as possible and, in any event, not less

favorable than accorded to aliens generally. Prinsip ini tercantum

didalam Konvensi Pengungsi 1951 pada Pasal 13 mengenai

kepemilikan barang bergerak ataupun tidak bergerak, Pasal 18 tentang

hak-hak untuk berusaha, Pasal 19 tentang hak untuk memilih profesi

pekerjaan, Pasal 21 tentang hak untuk mendapatkan pemukiman yang

layak, dan Pasal 22 tentang hak untuk mendapatkan pendidikan.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(22)

32

2.2Organisasi Internasional tentang Pengungsi

2.2.1 IRO (International Refugee Organization)

IRO (International Refugee Organizatinon) didirikan pada tahun 1947

sebagai pengganti dari IGCR (The Intergovernmental Committee on Refugee).IRO

mulai bekerja secara resmi pada tanggal 15 Desember 194636.IRO merupakan

lembaga internasional pertama yang menangani masalah pengungsi.Organisasi ini

bertugas untuk mengatur mulai dari registrasi sampai dengan penempatan kembali

para pengungsi tersebut. Tugas mengenai IRO ini dijelaskan di dalam Article 2

IRO Constitution: Functions and Powers.

Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk merepatriasi para

pengungsi serta mengembangkan tolok ukur yang berkaitan dengan migrasi dalam

jumlah besar, dan hanya akan dapat dicapai melalui usaha koordinatif dalam

kerangka badan internasional. Selain menangani masalah pengungsi, IRO juga

berwenang untuk menangani internal displaced person.Namun saat ini

keberadaan IRO telah digantikan oleh UNHCR.

2.2.2 UNHCR (United Nation High Commission for Refugees)

UNHCR (United Nation High Commission for Refugees) merupakan suatu

subsidiary organ dari Majelis Umum PBB dengan tugas pokok bertanggung jawab

terhadap perlindungan pengungsi serta mencari jalan keluar terhadap

36

Pembentukan ini dibicarakanpada Pertemuan Majelis Umum PBB dan disahkan melalui Resolusi LXII (1) Majelis Umum PBB

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(23)

33

persoalan penangan pengungsi di berbagai negara.Organisasi ini didirikan pada

tanggal 14 Desember 1950 oleh Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mulai

bekerja pada tanggal 1 Januari 1951.37Pada awal didirikan, UNHCR hanya

bertugas untuk membantu memberikan perlindungan keamanan, makanan, serta

bantuan medis dalam keadaan darurat.Namun dalam perkembangannya, tugas

UNHCR kini mencakup bantuan pemecahan solusi bagi pengungsi untuk jangka

waktu yang lama serta bantuan untuk mengembalikan pengungsi ke negara

asalnya atau mencarikan negara baru untuk mereka sehingga para pengungsi dapat

memulai hidup baru yang lebih baik.

UNHCR merupakan lembaga yang menggantikan lembaga penanganan

pengungsi sebelumnya yaitu IRO (International Refugee Organization).UNHCR

memberikan banyak fungsi perlindungan yang dijelaskan dalam Statuta UNHCR

antara lain kewenangan untuk memberikan perlindungan internasional terhadap

pengungsi serta mencarikan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi oleh

pengungsi. Secara berkala UNHCR memberikan laporan hasil kerjanya dihadapan

siding Majelis Umum PBB.Secara umum, tugas yang dilakukan oleh UNHCR

meliputi pencegahan pemulangan kembali, bantuan dalam memproses pencarian

suaka, bantuan dan nasihat hukum, pemajuan penyelenggaraan keamanan fisik

bagi pengungsi, pemajuan dan membantu pemulangan kembali secara sukarela,

dan membatu para pengungsi untuk bermukim kembali.38

37

Stephane Jaquemet, Mandat dan Fungsi dari Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR), artikel pada Jurnal Hukum Internasional, Vol. 2 No. 1 Oktober 2004, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI, Jakarta, h. 3

38

Pasal 8 Statuta UNHCR

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(24)

34

Peran nyata UNHCR di Indonesia adalah penanganan ribuan pengungsi

Vietnam yang datang ke Indonesia.Kantor Regional UNHCR di Jakarta

bekerjasama dengan pemerintah Indonesia memproses pencari suaka dan

pemohon pengungsi di Indonesia untuk mendapat perlindungan agar tidak

dikembalikan ke negara asalnya dan mengusahakan untuk mendapatkan

perlindungan internasional.

Dalam melaksanakan tugasnya UNHCR bekerjasama dengan mitra

kerjanya di suatu negara.Bantuan yang diberikan kepada para pengungsi tersebut

berupa makanan, kesehatan, konseling serta kebutuhan lainnya yang diperlukan.39

2.2.3 IOM (Internaional Organization for Migration)

IOM ((Internaional Organization for Migration)didirikan pada tahun 1951

atas inisiatif Belgia dan Amerika. IOM sebelumnya diberi namaProvisional

Intergovernmental Committee for the Movement of Migrant from Europe

(PICMME). PICMME kemudian berubah nama menjadi Intergovernmental

Committee for European Migration (ICEM). Karena jangkauan wilayah yang

semakin luas, pada tahun 1989 ICEM berubah nama lagi menjadi

Intergovernmental Committee for Migration (ICM), dan kemudian dirubah lagi

menjadi International Organization for Migration (IOM)hingga sekarang.40

Fungsi utamaIOM adalah membantu pemerintah-pemerintah berbagai

negara di dunia dalam mengembangkan dan menerapkan kebijakan,

39

Wagiman, Op.Cit, h. 190

40

Wagiman, Op.Cit, h. 119

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(25)

35

undangan, dan mekanisme administratif migrasi.Fokus utama lembaga ini adalah

penanganan imigran gelap di berbagai negara.

Lembaga IOM telah memberikan banyak bantuannya ke Indonesia dalam

mengatur pergerakan para imigran yang transit melalui Indonesia.Bantuan yang

diberikan berupa penyediaan layanan bantuan bagi orang yang ditangkap dalam

perjalanan mereka oleh pihak Indonesia yang berupa makanan, medis, dan

penampungan.Selain itu mereka juga diberikan bimbingan, pelatihan ketrampilan,

serta bantuan dalam pengajuan permohonan suaka atau pemulangan sukarela.

Peran IOM di Indonesia terkonsentrasi pada penanganan dampak di

seluruh bidang yang dibawa oleh migrsi internal maupun internasional.Dasar

pertimbangan IOM berada di Indonesia yaitu didasarkan pada pertimbangan

bahwa Indonesia merupakan sumber, tujuan, dan transit utama bagi para imigran.

2.2.4 ICRC (International Committee of the Red Cross)

ICRC (International Committee of the Red Cross) terbentuk pada tahun

1963. Pencetus organisasi ini adalah seseorang berkebangsaan Swiss bernama

Henry Dunant dimana pada tahun 1859 ia menyaksikan kurangnya petugas medis

yang merawat korban militer yang terluka akibat perang antara Pasukan Perancis

melawan pasukan Austria.

Pada tahun 1869 empat orang warga Jenewa bergabung dengan Henry

Dunant untuk mengembangkan gagasan yang sempat ia tulis dalam buku yng

berjudul „Kenangan dari Solfereno‟. Henry Dunant mengemukakan dua

gagasannya yaitu yang pertama membentuk organisasi sukarelawan yang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(26)

36

akandisiapkan dimasa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan

pertempuran. Kedua adalah mengadakan perjanjian internasional guna melindungi

prajurit yang terluka di medan perang serta sukarelawan dari organisasi tersebut

pada waktu memberikan perawatan.41

ICRC melakukan tugas kemanusiaan yaitu membantu meringankan korban

konflik di berbagai negara.Dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga ini tunduk pada

Hukum Humaniter Internasional yang berlaku.ICRC menjalankan fungsi yang

berkaitan dengan implementasi hukum humaniter internasional pada saat non

konfllik.Tugas-tugas ICRC saat non konflik disebut sebagai promoter hukum

humanter internasional, sedangkan tugas-tugas ICRC pada saat konflik

diistilahkan sebagai pelaksana atau penjaga atau pengawal hukum humaniter.42

Tugas-tugas pokok ICRC sebagai pelaksana mencakup melaksanakan

kegiatan kemanusiaan dengan cara memberikan pertolongan kepada korban,

reunifikasi anggota keluarga yang terpisah saat konflik, serta mengunjungi

tawanan atau tahanan perang. ICRC secara periodik membuat laporan kepada

negara terkait dengan pelanggaran hukum humaniter yang terjadi sekaligus

himbauan atau rekomendasi lembaga yang bersifat rahasia.43

41

Wagiman, Op.Cit, h. 197

42

Rina Rusman, Implementasi Hukum Humaniter Internasional dan Peranan ICRC dalam Upaya Penegakannya di Indonesia, makalah yang disampaikan pada Seminar “Penegakan Hak Asasi Manusia” di Unpad Bandung tanggal 30 November 2004

43

Wagiman, Op.Cit, h. 199

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(27)

37

ICRC merupakan suatu lembaga internasional yang merupakan lembaga

kemanusiaan yang bersifat mandiri.Dalam kaitan fungsi lembaganya dalam

menangani masalah pengungsi, lembaga ICRC berfungsi saat hukum humaniter

bekerja ketika terjadi konflik baik konflik internasional maupun non

internasional.Apabila seorang pengungsi melarikan diri ke suatu negara dimana

negara yang dituju tidak sedang terlibat suatu konflik maka yang berlaku tetap

hukum pengungsi internasional.Dengan demikian untuk kasus tersebut tidak

berlaku hukum humaniter internasional.44

2.3 Dasar KewajibanPerlindungan Pengungsi Internasional

2.3.1 Konvensi Internasional

a. Konvensi Pengungsi 1951

Konferensi Internasional mengenai Pengungsi dilaksanakan pada tanggal 2

sampai 25 Juli 1951 di Jenewa.Konvensi ini disetujui oleh United Nation General

Assembly pad tanggal 28 Juli 1951 dan mulai berlaku pada tanggal 22 April 1954.

Konferensi ini dilakukan untuk menyusun dan merumuskan dan untuk kemudian

ditandatanganinya Konvensi mengenai Status Pengungsi dan sebuah Protokol

mengenai status seseorang tanpa kewarganegaraan.

Konferensi ini dihadiri oleh dua puluh enam negara antara lain Australia,

Austria, Belgia, Brazil, Kanada, Kolombia, Denmark, Mesir, Perancis, Jerman,

Yunani, Vatikan, Irak, Israel, Italia, Luksemburg, Monaco, Belanda, Norwegia,

44

Buku Petunjuk Bagi Anggota Parlemen, Respect for International Humanitarian Law: Handbook for Parliamentarians, 1999

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(28)

38

Swedia, Swiss, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Venezuela, dan Yugoslavia. Pada

awalnya keberlakuan konvensi ini hanya terbatas pada perlindungan pengungsi

Eropa pasca Perang Dunia II.Konvensi ini mengatur tentang pengungsi secara

umum, baik itu pengertian, hak dan kewajiban, serta perlindungan dan

penanganan pengungsi.Mereka yang sesuai dengan kriteria haruslah mendapatkan

perlindungan sebagai seorang pengungsi.45

Konvensi ini merumuskan pengungsi sebagai orang yang memiliki rasa

takut yang beralasan akan adanya penganiayaan yang berdasarkan atas ras, agama,

kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik,

yang berada di luar negara asalnya, dan tidak dapat atau karena rasa takutnya,

tidak bersedia menerima perlindungan dari negaranya.Para pengungsi harus

melalui beberapa tahap sebelumnya seperti memberi alasan yang jelas terkait

alasan mengungsi, dan mereka harus menunjukan bahwa tidak ada negara yang

menerima dan melindungi mereka.46

Negara tidak boleh membatasi pergerakan para pengungsi sebelum mereka

mendapatkan tempat suaka, ditempatkan ke negara ketiga, atau kembali ke

negaranya.Pembentukan Konvensi ini juga sejalan dengan dibentuknya UNHCR

sebagai organ PBB yang menangani masalah pengungsi.

b. Protokol Tambahan 1967

45

Ahmed Abou-El-Wafa, Hak-Hak Pencari Suaka dalam Syariat Islam dan Hukum Internasional, UNHCR, Riyadh, 2009, h. 25-26

46

UNHCR & Inter-Parliamentary Union,A Guide to International Refugee Law, No. II, 2001 h. 84

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(29)

39

Protokol tambahan mengenai status pengungsi ini dibuat pada tanggal 31

Januari 1967 dan mulai berlaku pada tanggal 4 Oktober 1967. Protokol tambahan

ini dibuat dengan pertimbangan bahwa konvensi yang telah dibuat sebelumnya

yaitu Konvensi Pengungsi 1951 dinilai hanya mencakup orang-orang yang

statusnya telah sah menjadi pengungsi sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang

terjadi sebelum 1 Januari 1951.

Seiring berjalannya waktu, telah banyak terjadi perubahan situasi baru

yang timbul pasca dibuatnya Konvensi sehingga banyak pengungsi yang tidak

masuk di dalam ruang lingkup Konvensi.Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah

perjanjian baru dengan cakupan yang lebih luas dengan perkembangan pengungsi

dari waktu ke waktu.Protokol ini menghapuskan batasan geografi dan waktu yang

ada di dalam aturan Konvensi Pengungsi 1951.Protokol ini juga mengatur tentang

perlunya kerjasama atau kooperasi dari negara-negara yang ada dengan lembaga

internasional PBB maupun UNHCR dalam penanganan pengungsi.47

2.3.2 Prinsip-Prinsip Hukum Pengungsi a. Prinsip Suaka

Pengertian suaka dalam hukum internasional adalah perlindungan yang

diberikan oleh suatu negara kepada pengungsi politik yang berasal dari negara lain

dan mengizinkannya untuk masuk ke wilayah negara tersebut atas

permintaannya.48Hak untuk mencari suaka merupakan salah satu hak yang

dimiliki oleh manusia dan eksistensinya tercantum di dalam Deklarasi Universal

47

The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees (606 U.N.T.S. 267), Pasal 2

48

Wagiman, Op.Cit, h. 114

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(30)

40

HAM PBB 1948.Hak mencari suaka merupakan kewenangan suatu negara untuk

mengizinkan pengungsi atau aktivis politik yang mengajukan suaka itu, masuk

atau tinggal di wilayah negara.

Hak mencari kebebasan suaka juga tercantum di dalam Deklarasi Suaka

Teritorial 1967 yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk

mencari dan menikmati suaka di negara lain karena kekhawatiran mengalami

penyiksaan. Permohonan tersebut hanya bisa diajukan dalam kasus politis atau

kasus yang telah disebutkan di dalam Konvensi Pengungsi 1951. Kasus tersebut

antara lain ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik atau yang bernuansa

suku, agama, ras, dan antar golongan. Alasan yang paling tepat untuk mengajukan

permohonan adalah adanya ketakutan ataupun kekhawatiran akan menjadi korban

dari suatu penyiksaan atau penganiayaan di suatu negara.

Pemberian suaka sangat erat kaitannya dengan aspek perlindungan

terhadap hak asasi manusia. Di dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak mencari

suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. Pemberian suaka

merupakan pelaksanaan hak kedaulatan suatu negara atas teritorinya. Suatu negara

yang kesulitan dalam memberikan suaka dapat mengambil langkah-langkah

dengan cara meminta bantuan dari negara-negara tertentu. Sebaliknya, suatu

negara yang telah memberikan suaka kepada kaum pelarian tertentu maka negara

lainnya harus menghormati tindakan dari negara yang bersangkutan.49

49

Rachland Nashidik, Direktur Eksekutif Impersial, The Indonesian Human Rights Monitor, Sumber :http://www.komunitasdemokrasi.or.id//comments.php?id=P194_0_11_0_C.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(31)

41 b. Prinsip Non-Refoulement

Prinsip Non-Refoulement mulai dikenal sejak prinsip ini dicantumkan

dalam Statuta Pengungsi Internasional 1951.50 Prinsip ini menyatakan bahwa

pengungsi tidak boleh diusir atau dipulangkan kembali dengan cara apapun ke

perbatasan wilayah dimana jiwa atau kebebasannya terancam, baik lantaran ras,

agama, kebangsaan, keanggotaan pada organisasi sosial tertentu ataupun lantaran

pandangan politiknya, terlepas dari apakah ia telah secara resmi diakui sebagai

pengungsi ataupun belum, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Paragraf (1)

Konvensi Pengungsi 1951.51 Sesuai dengan kriteria yang dijelaskan pada Pasal 31

dan 33 Konvensi Pengungsi tahun 1951, kedatangan pengungsi yang dilakukan

secara sah maupun tidak sah maupun kegagalan melaporkan kepada otoritas yang

berwenang dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak dapat dipertimbangkan

sesuai alasan formal untuk mengesampingkan seseorang dari status

pengungsi.52Pasal 33 merupakan hal yang berdiri sendiri tanpa ada kewajiban

orang asing untuk memenuhi persyaratan formal, pasal ini secara implisit memuat

tentang larangan melakukan pengusiran atau pengembalian ke negara asal.

50

Sigit Riyanto, Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Internasional, Mimbar Hukum, Vol. 22, Nomor 3, Oktober 2010, h. 434-449

51

Prinsip ini diatur juga dalam beberapa Konvensi Internasional, antara lain: Pasal 3 ayat (1) Deklarasi tentang Suaka Teritorial, Taun 1967, Pasal 3 Konvensi tentang Penentangan Penyiksaan dan Kekejaman lain , Penghukuman atas Perlakuan yang Merendahkan atau Tidak Manusiawi 1984, Pasal 16 Konvensi Internasional tentang Perlindungan semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara Paksa 2006

52

Wagiman, Op.Cit, h. 118

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(32)

42

Istilah refoulementberasal dari kata Perancis yang berarti “expulsion or

return of a refugee from one state to another”.53Sehingga non-refoulement dapat

diartikan sebagai “A refugees right of not being expelled from one state to

another, esp. to one where him or her life or liberty would be theterened” .

Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) merujuk pada 5

peraturan hukum internasional kontemporer:54

a) Ditinjau dari urgensi tingkat bahaya dari adanya pemulangan ini,

ketentuan pada Pasal 33 Paragraf (1) Konvensi Pengungsi 1951 ini

tidak boleh direservasi atau diubah oleh negara peratifikasi;

b) Dengan alasan apapun, prinsip non-refoulement ini tidak boleh

dikesampingkan;

c) Prinsip ini dianggap sebagai customary international law yang

mengikat semua negara;

d) Karena prinsip ini bersifat ius cogens (premptory norm of

international law), maka tidak boleh ada kesepakatan untuk

mengesampingkan, sekalipun ada kesepakatan yang terbentuk

maka kesepakatan tersebut batal demi hukum;

e) Prinsip ini berfungsi sebagai alasan mendasar untuk menolak

ekstradisi.

c. Prinsip Equality dan Non-Discrimination

53 Bryan A. Gamer, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn, 1999, h. 125 54

Ahmed Abou-El-Wafa, Op.Cit, h. 43-44

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(33)

43

Prinsip ini merupakan salah satu sumber hukum internasional dan

merupakan general principle of law. Dalam Pasal 2 DUHAM dijelaskan bahwa:

“Setiap orang berhak ats semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam

Deklarasi ini tanpa pengecualian apapun”.

Dalam Pasal 2 ICCPR 1966 dijelaskan pula bahwa:“Setiap negara pihak

dari kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui

dalam kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk

pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun.”

ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights) 1966 juga mengatur tentang Prinsip Non-Discrimination.Perlindungan

Hak-hak pengungsi atau warga negara asing dalam kovenan ini diatur dalam Pasal

2 yang menyatakan bahwa :

1) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif.

2) Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun sepertii ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

3) Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak asasi manusia dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh mereka dapat menjamin hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada warga negara asing.55

55

Lihat Pasal 2 Kovenan Ekosob 1966

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(34)

44

Dalam pembukaan Konvensi Pengungsi 1951 disebutkan bahwa negara

diharuskan untuk memberikan perlindungan atas hak-hak dasar para pengungsi

dan memberikan kebebasan tanpa adanya diskriminasi. 56 Namun dalam

keberlakuannya, prinsip ini dapat berkembang dan dinamis sesuai perkembangan

zaman serta pada kasus-kasus baru. Prinsip ini menjelaskan bahwa setiap individu

berhak untuk mendapatkan perlakuan yang samatanpa memandang perbedaan

jenis kelamin, ras, suku, agama, bangsa, status sosial, dan lain sebagainya. Perlu

diperhatikan juga mengenai hak pengungsi ini bahwa pengungsi akan

diperlakukan sebaik mungkin sebagaimana yang diberikan kepada warga negara

mereka. Termasuk juga dalam mengamalkan secara bebas agama mereka dan

perlindungan tindakan diskriminatif mengenai ras, agama, atau negara asal

pengungsi.

Prinsip non-discrimination merupakan aspek dasar dari hukum pengungsi

dan telah dikembangkan menjadi kebiasaan hukum internasional. Ini berarti

bahwa prinsip tersebut bersifat mengikat bagi setiap negara meskipun belum

menjadi peserta penandatanganan Kovensi Tahun 1951. 57 Prinsip tersebut

dibangun atas dasar ketidakberpihakan serta tanpa diskriminasi.

Bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi tidak boleh dialihkan dengan

alasan-alasan politis atau kemiliteran dan yang pertama memiliki kewenangan

terkait dengan prinsip non discrimination adalah negara penerima.58Mengenai

penerapan hukum kebiasaan internasional disebutkan juga dalam Pasal

56

Erika Feller, International Refugee Protection 50 years on: The Protection Challenges of the Past, Present and Future, ICRC, September 2001, Vol. 83, No. 843, h. 594

57

UNHCR III

58

Wagiman, op.cit, Hal. 120.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

(35)

45

38Konvesi Wina Tahun 1969 dimana pada intinya menetapkan bahwa hukum

kebiasaan internasional mengikat bagi semua negara.59

Prinsip non discrimination oleh beberapa ahli hukum internasional

dikategorikan sebagai ius cogens, dimana ius cogens dapat diartikan sebagai suatu

norma dasar hukum internasional. Norma dasar hukum internasional menurut

Konvensi Wina 1969 yaitu suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat

internasional sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya bisa

diubah oleh norma dasar hukum internasional baru yang sama sifatnya.60

Oleh karena tersebut, prinsip non discriminationharus tetap diterapkan di

suatu negara dimana pengungsi mencari perlindungan, walaupun negara tersebut

bukan merupakan negara peserta penandatanganan Konvensi Tahun 1951.

59

Sumaryo Suryokusumo, 2007, Studi Kasus Hukum Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, Hal. 186

60

Wagiman¸ op.cit, Hal. 123

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan di kota Watampone kabupaten Bone tepatnya di Polres Bone dan Balai Pemasyarakatan Kelas II Watapone (BAPAS) membahas tentang peranan

Untuk itu demi kepastian hukum sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan yang diajukan Pemohon tidak jelas/kabur (obscuur libel) dan sepatutnya untuk

Inhibit = VDD (MC14051B) (MC14052B) (MC14053B) ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ — — — ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ — — — ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ ÎÎÎ — — — ÎÎÎÎ ÎÎÎÎ ÎÎÎÎ ÎÎÎÎ ÎÎÎÎ ÎÎÎÎ

TPM yang terdaftar yang tercatat diwilayah kerja puskesmas atau kantor kesehatan pelabuhan dan didukung dengan aspek legal hukum baik yang memenuhi persyaratan maupun yang

4 Impor hasil Perikanan • Importasi untuk re-ekspor ke Uni Eropa harus berasal dari negara eksportir dan perusahaan yang terdaftar di Uni Eropa • Tindakan karantina terhadap

a) Dengan media dapat meletakkan dasar-dasar yang nyata untuk berfikir karena itu dapat mengurangi verbalisme. b) Dengan media dapat memperbsar minat dan perhatian siswa untuk

Perbandingan Hasil Regresi Berganda Identifikasi Faktor –faktor yang Mempengaruhi Volatilitas Asimetris pada IHSG, JIII, Indeks DJI Large Cap , Middle Cap, dan DJI Small

Brachionus plicatilis merupakan zooplankton yang mudah dikultur secara massal dengan kandungan protein yang cukup tinggi dan digunakan sebagai pakan alami.. Salah satu metode