• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan tepung tulang ikan patin yang bahan bakunya diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB dengan menggunakan dua metode pembuatan yaitu metode kering dan metode basah, kemudian tepung yang dihasilkan dari kedua metode tersebut dianalisis karakteristik fisik dan kimia serta solubilitas Ca dan P. Metode pembuatan tepung yang menghasilkan nilai tertinggi terhadap solubilitas kalsium dan fosfor dipilih untuk digunakan dalam proses pembuatan biskuit.

4.1.1. Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Analisis fisik yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi rendemen, derajat putih, daya serap air dan densitas kamba sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Metode Pembuatan

Karakteristik

Metode kering Metode basah

Rendeman (%) 81,73 91,83

Derajat putih (%) 62,82 + 0,27a 62,31 + 0,50a

Daya serap air (%) 48,54 + 0,73a 62,77 + 1,42b Densitas kamba (g/ml) 0,80 + 0,01a 0,79 + 0,02a

Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Rendemen merupakan hasil persentase antara produk akhir (tepung tulang ikan patin) yang dihasilkan dengan produk awal (tulang ikan patin). Rendemen sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran suatu produk dapat dimanfaatkan dengan baik atau untuk mengetahui nilai ekonomis dari produk tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan bahwa produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Rendemen tepung tulang ikan patin yang diperoleh dari hasil penelitian ini untuk metode kering sebesar 81,73%; sedangkan untuk metode basah sebesar 91,83%. Dari hasil tersebut ternyata metode basah mempunyai rendemen yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan pada saat pembuatan tepung dengan metode basah sampel tulang sudah

(2)

mengalami proses pelunakan sehingga pada saat diolah menjadi tepung tidak banyak bagian yang terbuang dan menghasilkan tepung yang lebih banyak, sedangkan untuk metode kering tulang dalam keadaan keras sehingga pada saat akan diolah menjadi tepung banyak bagian yang terbuang dan pada saat diayak akan menghasilkan tepung dalam jumlah lebih kecil. Rendemen tepung tulang ikan patin sangat dipengaruhi oleh kualitas filleting ikan patin tersebut. Kualitas filleting ini menunjukkan sedikit banyaknya sisa daging yang menempel pada tulang. Semakin baik kualitas filleting ikan, semakin sedikit daging yang tertinggal dan semakin tinggi rendemen tepung tulang ikan tersebut begitu juga sebaliknya.

Derajat putih suatu bahan merupakan daya memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaan (BPPIS 1989). Semakin tinggi derajat putih tepung berarti semakin banyak pula cahaya yang dipantulkan di dalam Whiteness-meter (Faridah et al. 2006). Selanjutnya dikatakan oleh Desrosier (1988), pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimia bahan pangan tersebut dan diduga dapat mengubah kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar, sehingga mengubah warna bahan pangan.

Pengukuran nilai derajat putih tepung tulang ikan yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 62,82% dan 62,31% dibandingkan dengan barium sulfat (BaSO4). Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak

berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih (Lampiran 3). Derajat putih tepung tulang ikan patin masih kecil, dikarenakan dalam pembuatan tepung tulang ikan patin tidak menggunakan bahan-bahan tambahan (pemutih) untuk memutihkan tepung tulang ikan patin. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa tepung yang dijual secara komersial biasanya menggunakan pemutih karena konsumen sangat menyukai warna tepung yang putih. Desrosier (1988) mengatakan bahwa warna bahan pangan bergantung pada kenampakan bahan pangan tersebut dan kemampuan dari bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap atau meneruskan sinar tampak. Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimianya dan diduga mengubah kemampuannya memantulkan,

(3)

menyebar, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan.

Tepung tulang ikan merupakan produk dengan kadar air yang rendah, oleh sebab itu analisis daya serap air perlu diketahui terhadap tepung tulang ikan yang dihasilkan. Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air. Penyerapan air dapat berhubungan dengan tekstur tepung tulang yang dihasilkan. Daya serap air tergantung pada jumlah dan keadaan alami komponen hidrofilik protein, disamping itu tergantung juga pada pH dan denaturasi protein (Lin dan Zayes 1987). Beberapa denaturasi menyebabkan pembalikan sisi hidrofobik ke bagian luar sehingga menurunkan daya serap air (Lehninger 1984). Hasil analisis daya serap air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 48,54% dan 62,77%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai daya serap air lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 4). Daya serap air yang berbeda menunjukkan bahwa tingkat denaturasi protein yang terjadi pada kedua metode berbeda pula, yaitu pembalikan sisi gugus hidrofilik ke bagian dalam dan hidrofobik ke bagian luar dari metode kering lebih besar dari metode basah.

Densitas kamba (bulk density) merupakan sifat fisik bahan pangan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel-partikel bahan. Dalam volume yang sama, tepung yang memiliki densitas kamba yang lebih tinggi memiliki berat yang lebih tinggi daripada tepung yang memiliki densitas kamba yang rendah (Wirakartakusumah et al. 1992). Hasil analisis densitas kamba tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 0,80 g/ml dan 0,79 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung berturut-turut adalah 0,80 g dan 0,79 g. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap densitas kamba (Lampiran 5). Pengetahuan tentang densitas kamba berguna bagi keperluan penyimpanan dan transportasi. Semakin besar nilai densitas kamba suatu tepung maka semakin kecil ruangan penyimpanan atau pengemasan dan biaya transportasi. Nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, kekerasan permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan nilai densitas

(4)

kamba tepung berbanding terbalik dengan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tinggi kekambaan tepung atau semakin rendah densitas kambanya. Wirakartakusumah et al. (1992) menyatakan bahwa suatu bahan pangan bersifat kamba jika nilai densitas kambanya kecil, berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan ruang (volume) besar.

4.1.2. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Analisis kimia yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi kadar air, abu, kalsium, fosfor, nilai pH sebagaimana disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Tepung tulang ikan patin

Parameter

Metode Kering Metode Basah

Tepung tulang ikan produksi ISA, 2002 Air (%) 6,53b 4,95a 3,6 Protein (%) 22,23a 20,53a 34,2 Lemak (%) 2,73a 2,09a 5,6 Karbohidrat - - 23,5 Abu (%) 56,38a 58,15b 33,1 Kalsium(mg/g bk) 264,53a 244,02a 11,9% Fosfor (mg/g bk) 88,38a 71,96a 11,6% pH 7,56a 7,88b -

Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak dalam produk pangan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa didalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengeringan.

Nilai aktivitas air (aw) merupakan salah satu faktor yang ikut berperan

dalam pertumbuhan mikroorganisme. Masing-masing mikroorganisme membutuhkan jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Pada nilai aw

tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak; khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai aw 0,87-0,91; sedangkan jamur lebih

rendah yaitu 0,80-0,87 (Purnomo 1995). Hasil analisis kadar air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui metode kering dan basah berturut-turut adalah 6,53% dan 4,95%. Hasil yang diperoleh tersebut ternyata masih lebih tinggi dari

(5)

standar kadar air yang ditetapkan oleh International of Seafood Alaska [ISA] 2002 yaitu 3,4% serta hasil penelitian oleh Mulia (2004) yaitu sebesar 3,6%. Metode basah menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode kering (Lampiran 6). Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung tulang ikan serta metode pengeringan tepung (Winarno dan Fardiaz 1973).

Kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Kandungan mineral ditentukan dengan menetapkan kandungan abu dari bahan tersebut. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral dari bahan pangan (Sulaeman et al. 1995). Hasil analisis kadar abu tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 56,38% dan 58,15%. Nilai kadar abu yang diperoleh tersebut masih lebih tinggi dari standar nilai kadar abu yang dikeluarkan oleh ISA yaitu 33,1%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar abu yang lebih kecil dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 7). Kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineral meskipun kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral (Apriyantono et al. 1989).

Tepung tulang ikan dapat digunakan sebagai sumber kalsium dan fosfor karena mengandung kalsium 24-30% dan fosfor 12-15%, jumlah tersebut jauh lebih besar daripada kandungan kalsium dan fosfor pada tepung ikan. Tepung tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor ini tentunya tepung tulang yang sudah diolah, terutama harus bebas hama yang berarti sudah disterilisasikan (Rasyaf 1990). Hasil analisis kadar kalsium tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki nilai berturut-turut sebesar 264,53 mg/g bk dan 244,02 mg/g bk. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan kalsium (Lampiran 8). Kandungan mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pembesaran, jumlah nutrisi tersedia, suhu dan salinitas (Martinez et al. 1998). Dari hasil yang diperoleh ternyata metode kering menghasilkan kadar kalsium yang relatif lebih tinggi dari metode basah. Penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan

(6)

menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar kalsium yang berbeda pula. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa tepung tulang ikan dari sumber yang sama tetapi dengan cara pengolahan/pembuatan yang berbeda akan menghasilkan kadar kalsium yang berbeda pula, walaupun dalam penelitian ini metode pembuatan tidak berpengaruh nyata. Protein yang terdapat dalam tepung tulang ikan patin adalah protein kolagen yang akan terdenaturasi akibat pemanasan pada saat proses pembuatan tepung menjadi gelatin yang mudah larut. Kelarutan dan keberadaan dari gelatin ini akan meningkatkan kelarutan dan keberadaan kalsium dari tepung tulang ikan patin. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Yoshie et al. (1997) yang mengatakan bahwa ketersediaan dan kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral. Halver (1989) mengatakan bahwa fosfor merupakan salah satu unsur utama pembentukan tulang ikan. Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral) dimana 85% diantaranya terdapat pada tulang (Muchtadi et al.1993). Hasil analisis kadar fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 88,38 mg/g bk dan 71,96 mg/g bk. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa metode kering juga menghasilkan fosfor dengan kadar lebih tinggi daripada metode basah. Dengan demikian penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar fosfor yang berbeda pula. Rasio antara Ca:P untuk metode kering adalah 3:1, sedangkan untuk metode basah adalah 3,4:1. Dalam proses absorpsi, Ca dan P saling berpengaruh erat sekali. Untuk absorpsi Ca yang baik, diperlukan perbandingan Ca:P di dalam rongga usus (di dalam hidangan) 1:1 sampai 1:3. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap kadar fosfor (Lampiran 9). Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan Ca, sehingga hidangan yang demikian akan mengakibatkan penyakit defisiensi Ca, yaitu rakhitis. Hidangan yang mudah menimbulkan penyakit rakhitis ini disebut hidangan rakhitogenik (Sediaoetama 2006).

Nilai pH sangat memegang peranan penting dalam proses penyerapan zat gizi dalam tubuh. Nilai pH suatu bahan pangan akan mempengaruhi proses penanganan dan pengolahan bahan pangan tersebut. Almatsier (2002) menyatakan

(7)

bahwa, kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut karena kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air. Hasil analisis nilai pH tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki berturut-turut sebesar 7,56 dan 7,88. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai pH yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 10). Menurut Labuza (1977) dalam Hardman (1989) ikatan protein terbesar adalah ikatan hidrogen antara grup C-O dan NH atau ikatan peptida. Pada pH kurang dari pH isoelektrik (<5,2-5,4) kemungkinan terlalu banyak muatan positif dan jika pH lebih besar dari pH isoelektrik terlalu banyak muatan negatif. Perubahan nilai pH/kekuatan ion dapat mengubah distribusi muatan diantara rantai sisi asam amino yang akan meningkatkan atau mengurangi interaksi protein.

4.1.3. Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Persen solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui dua metode pembuatan tepung tulang ikan patin yang berbeda sebagaimana disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) pada berbagai nilai pH

%Ca %P

Nilai pH

Metode kering Metode basah Metode kering Metode basah

2 1,25 1,07 0,18 0,11 4 0,29 0,39 0,10 0,08 6 0,31 0,38 0,09 0,08

Secara umum persen solubilitas kalsium meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas kalsium memiliki nilai tertinggi yaitu untuk metode kering sebesar 1,25% dan metode basah 1,07%. Persen solubilitas kalsium akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai pH atau derajat keasaman menjadi rendah (Gambar 4a).

(8)

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 2 4 6 Tingkatan nilai pH S o lu b ilit a s C a ( % )

Metode kering Metode basah

Gambar 4a Grafik solubilitas kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

Persen solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin memperlihatkan pola yang sama dengan solubilitas kalsium yaitu persen solubilitas fosfor meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas fosfor memiliki nilai tertinggi yaitu untuk metode kering sebesar 0,18% dan metode basah 0,11%. Persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai pH atau derajat keasaman menjadi rendah (Gambar 4b).

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 2 4 6 Tingkatan nilai pH S o lu b ilit a s P ( % )

Metode kering Metode basah

Gambar 4b Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

(9)

Solubilitas Ca dan P kedua tepung tulang ikan meningkat secara nyata seiring dengan meningkatnya derajat keasaman (pH rendah), dimana persen solubilitas tertinggi dihasilkan pada pH 2. Tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan menggunakan metode kering mempunyai persen solubilitas Ca dan P lebih tinggi dibandingkan dengan metode basah pada tingkatan nilai pH 2.

Kondisi diatas sejalan dengan hasil penelitian Yoshie et al. (1997); Santoso et al. (2006) yang masing-masing mempelajari solubilitas mineral seafood dan seaweeds dalam berbagai kondisi keasaman. Hasilnya juga menunjukkan bahwa solubilitas mineral (Ca, Mg, Fe, Zn) tertinggi terjadi pada suasana asam dan akan menurun sejalan dengan penurunan derajad keasaman/ peningkatan nilai pH dan sebaliknya, demikian pula persen penyerapannya. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Muchtadi et al. (1989) tingkat keasaman (pH) usus halus berpengaruh langsung terhadap penyerapan Ca dan P. Meningkatnya keasaman lambung akan meningkatkan kelarutan garam kalsium di dalam usus halus dan meningkatkan absorbsinya. Pada pH alkali, penyerapan akan menurun karena terbentuknya kompleks kalsium fosfat

4.2. Penelitian Lanjutan

Pada penelitian lanjutan dilakuan pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan metode kering karena memiliki nilai solubilitas kalsium dan fosfor yang tinggi. Formulasi biskuit yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima) yaitu : 0%, 2%, 4%, 6% dan 8%. Biskuit yang dihasilkan kemudian dilakukan pengujian organoleptik dengan menggunakan uji skoring untuk mendapatkan 2 (dua) formulasi terbaik yang selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan produk komersial (Biskuat susu), analisis fisik dan kimia serta analisis solubilitas kalsium dan fosfor.

4.2.1 Organoleptik

Soekarto (1985) menyatakan bahwa uji organoleptik terhadap suatu makanan adalah penilaian dengan menggunakan alat indera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar. Dengan uji ini dapat diketahui

(10)

penerimaan terhadap suatu produk. Hasil uji organoleptik terhadap 5 (lima) formulasi biskuit yang dihasilkan sebagaimana disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin

Biskuit Parameter K A B C D Penampakan 5,77 5,93 5,56 5,23 5,50 Warna 5,83 5,93 5,56 5,33 5,45 Aroma 5,50 6,63 6,27 5,57 5,63 Tekstur 5,73 6,76 5,96 5,17 5,13 Rasa 5,57 6,63 5,60 5,63 5,57

Keterangan : K : kontrol (tanpa penambahan tepung tulang ikan patin) A : Penambahan tepung tulang ikan patin 2%

B : Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C : Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D : Penambahan tepung tulang ikan patin 8% 4.2.1.1. Penampakan

Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen memilih makanan yang memiliki penampakan menarik (Soekarto 1985).

Penampakan suatu produk pangan akan menjadi daya tarik yang kuat bagi konsumen sebelum konsumen melihat parameter lainnya seperti rasa, aroma dan tekstur. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan biskuit penambahan tepung tulang ikan patin yang dihasilkan berkisar antara 5,23 sampai 5,93 (agak rapih sampai mendekati rapih). Nilai penampakan tertinggi dari biskuit yang diuji, dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 5,93 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit C dengan nilai rata-rata 5,23 (Gambar 5).

(11)

5.23(a) 5.56(a) 5.93(a) 5.77(a) 5.50(a) 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 K A B C D

Tingkat penambahan tepung

P e n a m p aka n

Keterangan :- Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7

- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 5 Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap tingkat penilaian panelis terhadap penampakan biskuit yang dihasilkan (Lampiran 20). Hal tersebut disebabkan karena bentuk dari biskuit yang dihasilkan seragam sehingga meskipun tingkat penambahan tepung tulang ikan patin semakin besar tidak akan berpengaruh terhadap adonan sehingga pada saat pencetakan biskuit tidak mengalami kesukaran.

4.2.1.2. Warna

Warna penting bagi banyak makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Selain itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan (de Man 1997). Sukarni dan Kusno (1980) menyatakan bahwa warna merupakan sifat sensoris pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Warna bahan yang menyimpang dari normal atau tidak sesuai dengan selera, maka bahan tersebut tidak dipilih untuk dikonsumsi, walaupun nilai gizi dan faktor lainnya normal.

(12)

Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap warna biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,33 sampai 5,93 (kuning sampai mendekati kuning kecoklatan). Nilai biskuit yang tertinggi untuk warna dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 5,93 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit C dengan rata-rata nilai 5,33 (Gambar 6).

5.43(a) 5.33(a) 5.56(a) 5.93(a) 5.83(a) 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 K A B C D

Tingkat penambahan tepung

Wa

rn

a

Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7

- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 6 Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penilaian panelis terhadap warna biskuit yang dihasilkan (Lampiran 21). Hal tersebut disebabkan karena warna dari biskuit yang dihasilkan hampir seragam yaitu berwarna kuning sampai kuning kecoklatan, meskipun tingkat penambahan tepung tulang ikan patin semakin besar tidak akan berpengaruh terhadap adonan sehingga biskuit yang dihasilkan setelah pemanggangan tidak mengalami perbedaan yang terlalu besar terhadap warna. Warna coklat pada biskuit yang dihasilkan setelah pemanggangan merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatis atau reaksi Maillard. Reaksi pencoklatan dapat didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula, yang diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (de Man 1997).

(13)

4.2.1.3. Aroma

Aroma makanan dapat menentukan kelezatan dari makanan itu sendiri. Dalam banyak hal, aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri (Soekarto 1985). Winarno (2002) menyatakan bahwa aroma lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat macam bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus.

Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap aroma biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,50 sampai 6,63 (agak harum sampai harum). Nilai tertinggi biskuit untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,63 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai rata-rata 5,50 (Gambar 7). 5.63(a) 5.57(a) 6.27(b) 6.63(b) 5.50(a) 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 K A B C D

Tingkat penambahan tepung

Ar

o

m

a

Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7

- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 7 Histogram nilai aroma biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata tingkat penilaian panelis terhadap aroma biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A dan B mempunyai nilai rata-rata aroma yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 22). Aroma biskuit yang dihasilkan lebih banyak dipengaruhi oleh adanya susu, margarin, telur serta vanili yang ditambahkan

(14)

dalam adonan namun dengan penambahan tepung tulang ikan patin ke dalam formulasi biskuit mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma biskuit. Hal tersebut disebabkan karena penambahan tepung tulang ikan patin tidak memberikan bau amis yang berasal dari tulang kepada aroma dari biskuit yang dihasilkan sehingga sangat disukai oleh panelis.

4.2.1.4. Tekstur

Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan, kadang-kadang lebih penting daripada bau, rasa dan warna. Tekstur penting pada makanan lunak dan makanan renyah. Ciri yang paling penting diacu ialah kekerasan, kekohesifan dan kandungan air (de Man 1997).

Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,17 sampai 6,76 (agak renyah sampai renyah). Nilai tertinggi biskuit untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,76 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit D dengan nilai rata-rata 5,13 (Gambar 8). 5.13(a) 5.17(a) 5.96(a) 6.76(b) 5.73(a) 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 K A B C D

Tingkat penambahan tepung

Te

k

s

tur

Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7

- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

(15)

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk tingkat penilaian panelis terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A mempunyai rata-rata tekstur yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 23). Hal tersebut disebabkan karena penambahan tepung tulang ikan patinnya semakin banyak menghasilkan tekstur biskuit yang semakin keras, hal ini juga berhubungan dengan kandungan kalsium dan fosfor yang besar dalam tepung tulang ikan patin sehingga tekstur biskuit juga akan berubah sesuai dengan banyaknya penambahan konsentrasi tepung. Meskipun demikian tekstur biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan masih dapat diterima oleh panelis dan tidak berbeda nyata dengan kontrol.

4.2.1.5. Rasa

Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera pencicip (lidah), dimana akhirnya kesatuan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa dan tekstur merupakan keseluruhan rasa atau flavour makanan yang dinilai (Nasution 1980).

Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap rasa biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,57 sampai 6,63 (agak enak sampai enak). Nilai tertinggi untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,63 sedangkan nilai terendah dicapai oleh formulasi biskuit kontrol dan D dengan nilai rata-rata 5,57 (Gambar 9).

(16)

5.57(a) 5.63(a) 5.60(a) 5.57(a) 6.63(b) 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 K A B C D

Tingkat penambahan tepung

Ra

s

a

Keterangan :- Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7

- Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 9 Histogram nilai rasa biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk tingkat penilaian panelis terhadap rasa biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A mempunyai rata-rata rasa yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 24). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata mempengaruhi rasa dari biskuit yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dari tepung tulang ikan patin mengakibatkan after taste yaitu sedikit terasa berkapur, namun secara keseluruhan rasa biskuit yang dihasilkan masih dapat diterima oleh panelis.

4.2.2. Uji perbandingan pasangan

Uji perbandingan pasangan dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan produk baru apabila dibandingkan dengan produk komersial (Rahayu 2001). Uji perbandingan pasangan dilakukan terhadap 2 (dua) formulasi terbaik yang diperoleh dari uji organoleptik yaitu biskuit formulasi A dan B. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari biskuit yang dibuat dengan biskuit komersial. Biskuit komersial yang dijadikan pembanding adalah Biskuat Susu, yang diproduksi oleh PT. Danone Biscuits Indonesia.

(17)

Hasil uji perbandingan pasangan memperlihatkan bahwa dari segi penampakan biskuit formulasi A dan B memiliki nilai 1,00 yang berarti biskuit formulasi memiliki penampakan agak lebih rapih dibandingkan dengan biskuit komersial. Demikian pula untuk warna biskuit formulasi A dan B memiliki nilai 2,00 yang menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki warna lebih cerah dari biskuit komersial. Kerenyahan biskuit formulasi A dan B memiliki nilai -0,87 dan -0,70 yang menunjukkan bahwa biskuit formulasi agak kurang renyah dibandingkan dengan biskuit komersial. Biskuit formulasi A dan B memiliki nilai rasa yaitu 0,20 dan 0,40 menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki rasa yang relatif sama dengan biskuit komersial (Gambar 10)

-0.87 1.00 2.00 0.20 1.00 2.00 -0.70 0.40 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00

Penampakan Warna Kerenyahan Rasa

N ila i r a ta -r a ta p e rb a n d in g a n pa s a nga n Biskuit A Biskuit B

Gambar 10 Histogram nilai perbandingan pasangan biskuit A dan B

Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa biskuit formulasi memiliki keunggulan dalam penampakan dan warna, kelemahan dalam kerenyahan sedangkan untuk rasa memiliki kesamaan dengan biskuit komersial.

4.2.3. Karakteristik fisik biskuit

Karakeristik fisik yang dianalisis pada penelitian ini meliputi berat, ketebalan, diameter dan kekerasan biskuit. Pengujian tersebut dilakukan terhadap biskuit K, dua formulasi biskuit terbaik A dan B serta biskuit komersial. Hasil analisis karakteristik fisik sebagaimana disajikan pada Tabel 8.

(18)

Tabel 8 Karakteristik fisik biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial

Karakteristik Fisik Biskuit

Parameter Komersial K A B Berat (g) 4,00 + 0,00a 5,00 + 0,00b 5,00 + 0,00b 5,00 + 0,00b Tebal (mm) 2,00 + 0,00a 4,00 + 0,00 b 4,00 + 0,00 b 4,00 + 0,00 b Diameter (cm) 4,00 + 0,00b 3,70 + 0,00a 3,70 + 0,00a 3,70 + 0,00a Kekerasan (gf) 1129,2 + 56,4a 1319 + 22,1b 1362 + 83,6b 1440 + 14,63b Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Pengukuran berat, ketebalan dan diameter biskuit formulasi dibandingkan dengan biskuit komersial menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki nilai berat dan ketebalan yang lebih besar sedangkan untuk diameter memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan biskuit komersial (Lampiran 34, 35, 36).

Perbedaan berat, tebal dan diameter biskuit formulasi dengan biskuit komersial disebabkan karena pembuatan biskuit formulasi dilakukan secara manual khususnya pada waktu pencetakan dibandingkan dengan biskuit komersial yang menggunakan mesin.

Pengukuran kekerasan biskuit dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner dengan satuan gram force (gf). Analisis kekerasan biskuit dengan menggunakan Rheoner terhadap ketiga biskuit hasil penelitian serta biskuit komersial berkisar antara 1129,16 sampai 1440,28 gf. Nilai rata-rata kekerasan biskuit tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 1440,28 gf, sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 1129.16 gf. Tingkat kekerasan biskuit berhubungan erat dengan kadar protein tepung terigu dan tepung tulang ikan patin serta kalsium dan fosfor. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung cap ”Kunci Biru” dengan kadar protein 8%, sedangkan kadar protein tulang ikan patin 22,23%. Matz (1968) menyatakan bahwa tingkat kekerasan biskuit dipengaruhi oleh kadar protein tepung terigu yang digunakan. Analisis ragam terhadap kekerasan biskuit menunjukan bahwa biskuit komersial mepunyai nilai lebih kecil berbeda nyata dengan biskuit formulasi (Lampiran 37).

Kandungan mineral terbanyak dalam tepung tulang ikan patin adalah kalsium dan fosfor. Hal tersebut mengakibatkan formulasi biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin memiliki nilai kekerasan yang

(19)

tinggi. Semakin besar konsentrasi tepung tulang ikan yang ditambahkan maka semakin besar nilai kekerasan yang diperoleh/ tekstur biskuit semakin keras. Ketebalan juga turut berperan terhadap nilai kekerasan biskuit. Semakin tebal biskuit, semakin besar gaya/daya yang diperlukan untuk mengakibatkan hancur/pecah tekstur pada waktu pengujian.

4.2.4. Karakteristik kimia biskuit

Karakteristik kimia yang dianalisis pada penelitian ini meliputi kadar air, abu, protein, lemak, nilai pH. Pengujian tersebut dilakukan terhadap biskuit formulasi K, A, B serta biskuit komersial. Hasil analisis karakteristik kimia sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik kimia biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial

Karakteristik Kimia Biskuit

Parameter Komersial K A B Kadar air (%) 2,64 + 0,07a 4,53 + 0,07c 3,58 + 0,27b 3,92 + 0,05b Abu (%) 1,77 + 0,08b 1,06 + 0,12a 1,54 + 0,13b 2,09 + 0,07c Lemak (%) 15,96 + 0,44a 20,13 + 0,35b 20,22 + 0,97b 19,95 + 0,23b Protein (%) 6,52 + 0,12a 7,70 + 0,07b 7,72 + 0,09b 8,06 + 0,19bc Kalsium (mg/g bk) 3,50 + 0,10c 0,92 + 0,07a 2,13 + 0,09b 3,54 + 0,20c Fosfor (mg/g bk) 0,65 + 0,05a 0,43 + 0,04a 1,48 + 0,09b 3,29 + 0,07c pH 7,70 + 0,09b 6,37 + 0,02a 6,45 + 0,02a 6,44 + 0,03a Karbohidrat by difference (%) 73,11 + 0,45b 66,57 + 0,51a 66,92 + 1,30a 65,96 + 0,43a

Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

4.2.4.1. Kadar air

Air merupakan kandungan penting dalam makanan. Air dapat berupa komponen intrasel dan/ ekstrasel, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk, sebagai fase terdispersi dalam beberapa produk yang diemulsi seperti mentega dan margarin (de Man 1997). Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan dan citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk.

(20)

Hasil analisis kadar air biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 2,64% sampai 4,53%. Kadar air tertinggi dicapai oleh biskuit K dengan nilai 4,53% sedangkan kadar air terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 2,64%. Kadar air maksimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 5%. Dengan demikian kadar air biskuit A dan B memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.

Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial memiliki nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian (Lampiran 25). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata tidak menyebabkan peningkatan kadar air tetapi menyebabkan terjadinya penurunan kadar air. Hal tersebut mungkin disebabkan karena tepung tulang ikan patin merupakan produk padat kering dengan kadar air yang rendah sehingga pada saat ditambahkan ke dalam adonan tepung tulang ikan patin menyerap air yang ada dalam adonan. Selain itu nilai kadar air juga dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu pemanggangan dalam oven, jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan serta tingkat kadar air bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit.

4.2.4.2. Kadar abu

Abu merupakan ukuran dari komponen anorganik yang ada dalam suatu bahan makanan. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral karena ada beberapa mineral yang hilang selama pembakaran dan penguapan (Sulaeman et al. 1985).

Hasil analisis kadar abu biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 1,06% sampai 2,09%. Kadar abu tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 2,09% sedangkan kadar abu terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 1,06%. Kadar abu maksimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 1,5%. Dengan demikian kadar abu biskuit A memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.

Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B menghasilkan nilai kadar abu yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan biskuit A, K dan biskuit komersial (Lampiran 26). Tepung tulang ikan patin mengandung mineral

(21)

khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi sehingga memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan nilai kadar abu biskuit.

4.2.4.3. Kadar lemak

Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur C, H dan O yang mempunyai sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut lemak), seperti petroleum benzene, ether. Lemak di dalam makanan yang memegang peranan penting ialah lemak netral (glycerin) (Sediaoetama 2006). Lemak memiliki efek shortening pada makanan yang dipanggang seperti biskuit, kue kering dan roti sehingga menjadi lebih lezat dan renyah. Lemak akan memecah struktur kemudian melapisi pati dan gluten, sehingga dihasilkan biskuit yang renyah (Gaman dan Sherrington 1992). Matz (1978) menyatakan bahwa lemak dapat memperbaiki struktur fisik seperti pengembangan, kelembutan tekstur dan aroma.

Hasil analisis kadar lemak biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 15,96% sampai 20,22%. Kadar lemak tertinggi dicapai oleh biskuit A dengan nilai 20,22% sedangkan kadar lemak terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 15,96%. Kadar lemak minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9,5%. Dengan demikian kadar lemak biskuit hasil penelitian dan biskuit komersial memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.

Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit A menghasilkan nilai lemak yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit B dan K berbeda nyata dengan biskuit komersial (Lampiran 27). Tingginya kadar lemak disebabkan karena bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit mengandung kadar lemak yang cukup tinggi seperti margarin.

4.2.4.4. Kadar Protein

Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya dengan proses-proses kehidupan (Sediaoetama 2006). Pada umumnya kadar protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut (Winarno 2002).

(22)

Hasil analisis kadar protein biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 6,52% sampai 8,06%. Kadar protein tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 8,06% sedangkan kadar protein terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 6,52%. Kadar protein minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9%. Dengan demikian kadar protein biskuit formulasi dan biskuit komersial belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.

Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B menghasilkan nilai kadar protein yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit A, K berbeda nyata terhadap biskuit komersial (Lampiran 28). Hasil analisis protein tepung tulang ikan patin yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sebesar 22,23%. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan biskuit formulasi tepung tulang ikan patin adalah tepung terigu merk Kunci Biru dengan kadar protein 8%. Tepung terigu merk kunci biru tergolong soft flour dengan kadar protein berkisar antara 7-8,5% (Astawan 1999). Peningkatan kadar protein biskuit formulasi disebabkan adanya sumbangan protein dari tepung tulang ikan patin dan susu.

4.2.4.5. Kadar Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh. Lebih dari 99% kalsium ada di dalam tulang dan gigi, yaitu bersama-sama dengan fosfor membentuk kristal larut yang disebut kalsium hidroksiapatit (Ca3(PO4)2)3.Ca(OH)2 (Muchtadi et al. 1993).

Hasil analisis kadar kalsium biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 0,92 mg/g bk sampai 3,54 mg/g bk. Kadar kalsium tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 3,54 mg/g bk sedangkan kadar kalsium terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 0,92 mg/g bk.

Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B mengandung kalsium yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit komersial berbeda nyata terhadap biskuit A dan K (Lampiran 29). Tingginya kadar kalsium disebabkan karena adanya bahan yang mengandung kalsium yang cukup tinggi yaitu susu, tepung terigu (2%) serta tepung tulang ikan patin itu sendiri. Semakin tinggi penambahan

(23)

konsentrasi tepung tulang ikan patin maka semakin besar kadar kalsium yang dimiliki oleh biskuit formulasi.

4.2.4.6. Kadar fosfor

Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral), dimana 85% diantaranya terdapat dalam tulang. Fosfor terdapat pada hampir semua bahan pangan sehingga jarang menimbulkan masalah (Muchtadi et al. 1993).

Hasil analisis kadar fosfor biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 0,43 mg/g bk sampai 3,29 mg/g bk. Kadar fosfor tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 3,29 mg/g bk sedangkan kadar fosfor terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 0,43 mg/g bk.

Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B mengandung forfor yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan biskuit A, K dan biskuit komersial (Lampiran 30). Penambahan tepung tulang ikan patin yang mengandung kadar fosfor yang tinggi mengakibatkan kadar fosfor biskuit formulasi juga meningkat.

4.2.4.7. Nilai pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan. Purnawijayanti (2001) menyatakan bahwa, derajat keasaman (pH) yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri perusak dan patogen adalah lebih dari 4,6 sampai dengan pH netral (7). Hasil analisis nilai pH biskuit komersial dan biskuit formulasi berkisar antara 6,37 sampai 7,70. Nilai pH tertinggi dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 7,70 sedangkan nilai pH terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai 6,37.

Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial menghasilkan nilai pH yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian (Lampiran 31). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata menyebabkan peningkatan nilai pH biskuit yang dihasilkan, namun masih berada pada kisaran nilai pH asam sehingga dengan kisaran nilai tersebut dapat membantu proses

(24)

kelarutan kalsium dan fosfor yang sangat membutuhkan suasana asam untuk proses kelarutan dan penyerapannya.

4.2.4.8. Karbohidrat by difference

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur; sedangkan dalam tubuh, karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu metabolisma lemak dan protein (Winarno 2002).

Hasil perhitungan kadar karbohidrat biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 65,96% sampai 73,11%. Kadar karbohidrat tertinggi dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 73,11% sedangkan kadar karbohidrat terendah dicapai oleh biskuit B dengan nilai sebesar 65,96%. Kadar karbohidrat minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 70%. Dengan demikian kadar protein biskuit formulasi belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.

Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial memiliki nilai kadar karbohidrat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian (Lampiran 32). Peningkatan konsentrasi tepung tulang ikan patin ternyata tidak sejalan dengan peningkatan nilai karbohidrat. Hal tersebut dikarenakan tepung tulang ikan patin lebih banyak mengandung mineral khususnya kalsium dan fosfor dan karbohidrat yang rendah.

4.2.5 Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit

Hasil analisis solubilitas kalsium dan fosfor biskuit tulang ikan patin dan biskuit komersial disajikan pada Tabel 10.

(25)

Tabel 10 Hasil analisis solubilitas kalsium dan fosfor biskuit tulang ikan patin dan biskuit komersial

%Ca %P Nilai pH K A B Komersial K A B Komersial 2 76,68 95,06 88,96 73,23 74,24 20,73 41,47 23,25 4 30,07 27,65 17,59 2,54 49,75 19,84 19,84 20,86 6 32,07 33,22 20,22 4,00 50,12 20,25 8,56 16,24

Persen solubilitas kalsium biskuit meningkat seiring dengan menurunnya nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas kalsium memiliki nilai tertinggi yaitu untuk biskuit K sebesar 76,68%, biskuit A 95,06%, biskuit B 88,96% dan biskuit komersial 73,23%. Persen solubilitas kalsium akan menurun seiring dengan peningkatan nilai pH atau derajat keasaman menurun (Gambar 11a).

0 20 40 60 80 100 2 4 6 Tingkatan nilai pH S o lu b ilit a s C a ( % ) A B kontrol komersial

Gambar 11a Grafik solubilitas kalsium biskuit pada berbagai nilai pH

Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002). Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral. Hasil analisis nilai pH tepung tulang ikan patin berkisar pada nilai 6 sehingga memudahkan proses penyerapan kalsium. Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk

(26)

kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982).

Persen solubilitas fosfor biskuit memiliki pola yang sama dengan persen kalsium biskuit yaitu meningkatnya persen solubilitas fosfor seiring dengan penurunan nilai pH. Pada pH 2, persen solubilitas fosfor memiliki nilai tertinggi yaitu untuk biskuit K sebesar 74,24%, biskuit A 20,73%, biskuit B 41,47% dan biskuit komersial 23,25%. Pada umumnya persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan peningkatan nilai pH atau derajat keasaman rendah (Gambar 11 b). Fosfor dapat diabsorpsi secara efisien sebagai fosfor bebas di dalam usus setelah dihidrolisis dan dilepas dari makanan (Almatsier 2002).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 2 4 6 Tingkatan nilai pH S o lu b ilit a s P ( % ) A B kontrol komersial

Gambar 11b Grafik solubilitas fosfor biskuit pada berbagai nilai pH

Tingginya solubilitas kalsium dan fosfor biskuit dibandingkan dengan tepung disebabkan karena adanya interaksi zat gizi terutama dengan protein yang berasal dari susu dan telur. Ketersediaan dan kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral (Yoshie et al. 1997). Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan Ca. Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al. 1989 dalam Blaney et al. 1996). Protein berperan penting dalam penyerapan Ca ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbinding

(27)

(protein pengikat kalsium). Calbinding berperan sebagai protein transport untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal (Groff dan Gropper 2001)

4.2.6 Informasi nilai gizi biskuit

Nilai gizi biskuit formulasi berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan untuk per orang per hari untuk usia 19-29 tahun, berdasarkan diet sebesar 2000 kkal. Informasi nilai gizi biskuit sebagaimana disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Informasi nilai gizi biskuit formulasi dan komersial

Apabila seluruh zat gizi dapat diserap dengan baik oleh tubuh, konsumsi 7 keping (35 g) biskuit formulasi menyumbang kebutuhan kalsium sebesar 9,01% dan fosfor sebesar 8,43% (biskuit A), kalsium sebesar 14,92% dan fosfor sebesar 18,49% (biskuit B). Persentase didasarkan pada AKG zat gizi dengan nilai energi diet sebesar 2000 kkal.

Biskuit Komersial

Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 462,16 kkal Gizi %AKG Ca 87,92 mg/100 g bk 10,99% P 17,64 mg/100 g bk 2,94% Protein 1,68 g/100 g bk 2,80% Lemak 4,20 g/100 g bk 4,94% Biskuit Kontrol

Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 478,10 kkal Gizi %AKG Ca 30,08 mg/100 g bk 3,89% P 14,35 mg/100 g bk 2,93% Protein 2,45 g/100 g bk 4,08% Lemak 6,65 g/100 g bk 7,82% Biskuit A

Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 479,38 kkal Gizi %AKG Ca 72,10 mg/100 g bk 9,01% P 50,05 mg/100 g bk 8,43% Protein 2,45 g/100 g bk 4,08% Lemak 7,00 g/100 g bk 8,23% Biskuit B

Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 475,63 kkal Gizi %AKG Ca 119,35 mg/100 g bk 14,92% P 110,95 mg/100 g bk 18,49% Protein 2,80 g/100 g bk 4,76% Lemak 6,65 g/100 g bk 7,82%

Gambar

Gambar 4b Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Tabel 7 Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin
Gambar 5  Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin  (Pangasius sp)
Gambar 6  Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Biaya tata niaga, sebaran harga dan persentase margin pedagang pengolah beras organik yaitu lembaga kelompok dan beras anorganik yaitu pengolah lebih besar dibandingkan

Mekanika tubuh penting bagi perawat dan klien. 0al ini mempengaruhi tingkat kesehatan mereka. Mekanika tubuh yang benar diperlukan untuk mendukung kesehatan dan

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut Penggunaan edible coating pada tomat mempengaruhi masa simpan tomat, dimana tomat yang dicoating memiliki masa simpan

1) Residual sudah bersifat acak. Untuk memastikan apakah model sudah memenuhi syarat ini dapat digunakan indicator Box-Ljung Statistic. P-value &gt; 0,05 yang berarti residual sudah

Berdasarkan pada hasil analisis diketahui bahwa entres yang disimpan selama 2 dan 4 hari menggunakan media kertas koran dan serbuk gergaji yang telah dibasahi masih menghasilkan

Alhamdulillahirobbil’alamin, Segala puji dan syukur selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam semoga telimpah kepada junjungan pejuang islam Nabi besar Muhammad

Perairan Muara Badak memiliki 24 jenis plankton, dari hasil analisis indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi menunjukkan bahwa perairan ini

Bogdan dan Taylor, dalam Moleong (2007:248) menyebutkan bahwa “analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan bekerja dengan data, mengorganisasi data,