• Tidak ada hasil yang ditemukan

J. Pijar MIPA, Vol. XI No.2, September 2016: ISSN (Cetak) ISSN (Online)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "J. Pijar MIPA, Vol. XI No.2, September 2016: ISSN (Cetak) ISSN (Online)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

75

EFEKTIFITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING TIPE SEARCH SOLVE CREATE AND

SHARE (SSCS) DAN COOPERATIVE PROBLEM SOLVING (CPS) DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIS TERHADAP PRESTASI BELAJAR

Raehanah1, Sri Mulyani2, Sulistyo Saputro2 1Tadris Kimia IAIN Mataram, Mataram, Indonesia

2Program Studi Pendidikan Sains Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia Email: raehanah.iain@gmail.com

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan model problem solving tipe Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dan Cooperative Problem Solving (CPS) terhadap hasil belajar siswa dengan memperhatikan kemampuan matematisnya. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu dan dilaksanakan dari bulan Desember 2012-Juni 2013. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA N 1 Ngemplak Boyolali Tahun Pelajaran 2012/2013. Sampel diperoleh dengan teknik cluster random sampling yang terdiri dari dua kelas, XI IPA 1 dan XI IPA 3. Kelas XI IPA 1 diberi pembelajaran dengan model SSCS dan kelas XI IPA 3 diberi pembelajaran dengan model CPS. Data dikumpulkan dengan metode tes untuk prestasi belajar kognitif dan kemampuan matematis, angket untuk prestasi afektif, dan lembar observasi untuk psikomotor siswa. Hipotesis diuji menggunakan Anava dua jalan 2x2. Dari hasil analisis data disimpulkan bahawa: 1) Tidak ada pengaruh penggunaan model SSCS dan CPS terhadap prestasi belajar kognitif siswa, tetapi berpengaruh signifikan terhadap prestasi afektif dan psikomotor; 2) Ada pengaruh kemampuan matematis terhadap prestasi kognitif siswa, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap prestasi afektif dan psikomotor; 3) Ada interaksi antara model pembelajaran SSCS dan CPS dengan kemampuan matematis terhadap prestasi kognitif dan psikomotor siswa, tetapi tidak ada interaksinya terhadap prestasi afektif.

Kata Kunci : problem solving, kemampuan matematis, prestasi belajar

Abstract : The aims of this study were to determine the effect of the using problem solving type Search Solve Create and Share (SSCS) and Cooperative Problem Solving (CPS) models toward student’s learning achievements by observe their mathematical ability. The method used in this research was quasi experimental method and it was conducted from December 2012 to June 2013. The population was the students in 11th Science Grade SMAN 1 Ngemplak Boyolali on Academic Year 2012/2013 Semester II. The samples were taken using cluster random sampling, consisted of two class XI IPA 1 and XI IPA 3. The learning method applied to XI IPA 1 was CPS and to XI IPA 3 was SSCS. The data were collected using tests for student’s cognitive and mathematical ability, questioner for measuring affective, and observation sheet for assessing psychomotor. The hypotheses were tested using Anova (Analysis of Variance) two way 2x2 and Kruskal-Wallis one way analysis of variance method. From the data analysis, it’s could be concluded that: 1) there was no effect of learning models towards student’s cognitive, but there was an effect towards student’s affective and psychomotor; 2) there was an effect mathematical ability towards student’s cognitive, but there was no effect towards student’s affective and psychomotor; 3) there was an interaction between learning models and mathematical ability toward student’s cognitive and psychomotor, but there was no interaction toward student’s psychomotor.

Keywords: problem solving, mathematical ability, learning achievement PENDAHULUAN

Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan yaitu dengan inovasi kurikulum. Kurikulum yang ada selalu menekanan pembelajaran berpusat pada siswa (student centered learning) dengan menggunakan metode bervariasi dan memperhatikan faktor internal dan ekstrenal siswa. Hasil wawancara di SMAN 1 Ngemplak Boyolali, terdapat beberapa permasalahan antara lain: guru belum sepenuhnya menerapkan model pembelajaran yang inovatif, kurang memperhatikan faktor internal siswa dalam menentukan metode pembelajaran, serta jarang menggunakan eksperimen di laboratorium. Alasannya karena keterbatasan bahan, alat, serta waktu untuk menuntaskan materi pembelajaran. Teacher centered learning lebih banyak diterapkan karena

praktis dan tidak banyak menyita waktu. Sehingga dalam hal evaluasi, guru masih menekankan pada kognitif dan afektif, sedangkan aspek psikomotor jarang dinilai. Dampak hal tersebut siswa menganggap kimia merupakan materi yang sulit. Salah satu penyebab materi kimia sulit dipelajari adalah adanya sistem penggambaran triangle oleh Johnstone (triangle levels of representation) yang mencakup gambaran makroskopis (macroscopic representation), mikroskopis (submicroscopic representation), dan simbolik (symbolic representation) [1].

Oleh karena itu diperlukan model pembelajaran inovatif yang sesuai dengan kurikulum yang diterapkan untuk memudahkan siswa memahami materi kimia. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum KTSP yaitu model problem solving. Model ini melatih siswa dalam menemukan konsep kimia

(2)

76

sendiri dengan berlatih memecahkan masalah-masalah

yang dihadapai dalam proses pembelajaran. Menurut Suprijono [2] model pembelajaran berbasis masalah dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang dicetuskan oleh Jerome Bruner. Konsep tersebut adalah belajar penemuan atau discovery learning.

Tipe problem solving yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu SSCS (Search, Solve, Create, and Share). Tahapan dari SSCS bisa diketahui dari singkatannya. Dalam implementation handbook oleh Pizzini [3] dijelaskan pengertian dari empat langkah tersebut yaitu search merupakan proses pencarian fakta dalam menemukan siapa, apa, di mana, dan bagaimana. Kemudian solve memilah alternatif yang akan digunakan dalam memecahkan masalah serta merencanakan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah tersebut. Selanjutnya create artinya aplikasi dari perencanaan dalam proses solve yaitu penggunaan kreativitas berpikir dan kemampuan analisis. Tahap terakhir yaitu share yaitu mengkomunikasikan solusi pemecahan masalah tersebut kepada teman-temannya.

Tipe problem solving yang lain yaitu Cooperative Problem Solving (CPS). CPS menuntut siswa bekerja sama untuk memecahkan masalah dalam kelompok yang kooperatif. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan saling membantu, berdiskusi, berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu, dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Siswa-siswa dalam kelompok kooperatif akan belajar satu sama lain untuk memastikan bahwa tiap orang dalam kelompok tersebut telah menguasai konsep-konsep yang telah dipikirkan [4,5]. Tujuan pembelajaran kooperatif yaitu selain meningkatkan prestasi belajar siswa juga untuk meningkatkan hubungan antar kelompok, rasa harga diri, dan norma-norma pro-akademik sehingga mampu memberikan bekal life skill bagi siswa terutama aspek keterampilan pribadi dan sosial.

Selain memperhatikan faktor eksternal berupa model pembelajaran, terdapat faktor internal yang berasal dari diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Faktor internal yang diperhatikan dalam penelitian ini adalah kemampuan matematis. Kemampuan matematis menurut Niss [6] yaitu kemampuan untuk mengerti, menilai, melakukan, dan menggunakan matematika di dalam dan di luar konteks matematika. Kemampuan matematis dalam pembelajaran kimia dapat dikaitkan dengan kemampuan menyelesaikan perhitungan dan pengoperasian angka (understanding number) yaitu kemampuan dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan, operasi perkalian dan pembagian, operasi hitung aljabar, penyelesaian persamaan matematis, dan kesebandingan.

Materi kimia yang dipilih dalam penelitian ini yaitu larutan penyangga. Pemilihan materi ini sangat erat kaitannya dengan model pembelajaran serta faktor internal yang diperhatikan. Materi larutan penyangga cocok diajarkan dengan model SSCS dan CPS karena banyak permasalahan yang perlu dipecahkan oleh siswa. Kaitan kemampuan matematis dengan materi

larutan penyangga yaitu materi larutan penyangga didominasi oleh hitung-hitungan, agar siswa mampu menyelesaikan soal larutan penyangga, siswa tidak hanya dituntut untuk memahami konsep, namun harus memiliki kemampuan berhitung yang baik. Oleh karena itu kemampuan matematis sangat diperlukan dalam mempelajari larutan penyangga terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat matematis. Siswa yang memiliki kemampuan matematis tinggi mampu menginterpretasikan simbol-simbol atau angka-angka dengan kalimat yang mudah dipahami sehingga mudah bagi siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Berdasarkan uraian di atas perlu adanya penelitian untuk mengetahui efektivitas model problem solving tipe SSCS dan CPS ditinjau dari kemampuan matematis terhadap prestasi belajar kognitif, afektif, dan psikomot siswa.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dengan dua kelompok eksperimen tanpa kelas kontrol. Kelompok eksperimen pertama diberi perlakuan dengan model pembelajaran problem solving tipe SSCS, sedangkan kelompok kedua diberi perlakuan dengan model pembelajaran problem solving

tipe CPS. Kedua kelompok tersebut diberikan tes kemampuan matematis sebelum melakukan proses belajar mengajar. Kemampuan kemampuan matematis dibagi menjadi dua kategori, yaitu kemampuan matematis tinggi dan rendah. Pengkategorian ini didasarkan pada nilai acuan normal atau nilai rata-rata seluruh kelas penelitian karena instrumen yang digunakan bukan instrumen yang sudah baku. Penilaian psikomotor akan dilakukan pada saat siswa melakukan praktikum, kemudian setelah proses pembelajaran selesai dilakukan penilaian prestasi belajar untuk ranah kognitif dan afektif.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMAN 1 Ngemplak Boyolali Tahun Pelajaran 2012/2013. Sebelum melakukan pengmbilan sampel, dilakukan uji beda rerata populasi dengan uji anava satu jalan dan didapat populasi homogen. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu cluster random sampling, yaitu teknik memilih sampel dari kelompok-kelompok atau unit-unit kecil dari populasi secara acak dengan cara undian. Undian tersebut dilaksanakan satu tahap dengan dua kali pengambilan. Hasilnya yaitu kelas XI IPA 1 diberi perlakuan menggunakan model CPS dan XI IPA 3 diberi perlakuan menggunakan model SSCS.

Variabel bebas yang digunakan yaitu model pembelajaran SSCS dan CPS. Variabel moderator terdiri dari kemampuan matematis. Adapun variabel terikat terdiri dari prestasi belajar berupa kognitif, afektif, dan psikomotor. Instrumen pengambilan data prestasi belajar ranah kognitif dan kemampuan matematis berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda. Sedangkan untuk prestasi ranah afektif diukur menggunakan angket langsung dan tertutup, yaitu

(3)

77

daftar pertanyaan diberikan langsung kepada

responden dan alternatif jawaban sudah disediakan dalam angket. Penyusunan angket menggunakan skala Likert dengan skala 1 sampai 4. Prestasi ranah psikomotor diukur menggunakan lembar observasi yang dilengkapi rubrik penilaian yang disesuaikan dengan jenis praktikum yang dilakukan.

Instrumen yang digunakan dibagi menjadi dua. Pertama, instrumen pelaksanaan penelitian terdiri dari silabus dan RPP. Ke dua, instrumen pengambilan data terdiri dari tes kemampuan matematis dan prestasi belajar. Sebelum melakukan uji coba istrumen, semua

instrumen yang digunakan harus divalidasi isi oleh pakar. Setelah itu dilakukan uji coba instrumen untuk mengukur validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran soal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut disajikan data prestasi belajar siswa pada pokok materi larutan penyangga yang meliputi prestasi kognitif, afektif, dan psikomotor pada kategori kemampuan matematis tinggi dan rendah.

Tabel 1. Data rerata prestasi belajar siswa Model pembelajaran K.mate matis Jumlah siswa

Kognitif Afektif Psikomotor

SSCS Tinggi 17 77,35 77,83 82,35

Rendah 15 66 77,21 78,18

CPS Tinggi 17 79,11 75,88 85,02

Rendah 15 63,33 72,25 84,84

Tabel 2. Hasil Uji Homogenitas Prestasi Kognitif dan Afektif

Faktor Sig. terhadap

kognitif

Kesimpulan Sig. terhadap Afektif

Kesimpulan Model Pembelajaran 0,966 Ho diterima

(homogen) 0,909 Ho ditolak (homogen) Kemampuan Matematis 0,216 Ho diterima (homogen) 0,000 Ho ditolak (tidak homogen) Uji hipotesis prestasi kognitif bisa dilanjutkan

dengan uji parametris. Sementara itu untuk prestasi afektif dilanjutkan dengan uji nonparametris. Kemudian prestasi psikomotor, karena datanya tidak normal maka homogenitasnya tidak dihitung dan uji hipotesisnya menggunakan statistik nonparametris.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk prestasi kognitif menggunakan anava (analisis variansi) 2x2. Data prestasi afektif dan psikomotor dianalisis menggunakan Kruskal-Wallis. Rangkuman data hasil pengujian hipotesis disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Uji Hipotesis Penelitian Prestasi Belajar

Hipo tesis

Grouping Variable Nilai Signifikansi

Kognitif Afektif Psikomotor

1 Model 0,254 0,033 0,000

2 Kemampuan matematis 0,000 0,255 0,094

3 Model kemampuan matematis 0,021 0,080 0,000

Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Compare Mean Independent t Sample Hipotesis 5

Variabel N Mean SD Sig. Keputusan

SSCS-KMR 15 66,00 10,89 0,002 Ho ditolak (ada perbedaan) SSCS-KMT 17 77,35 7,93

SSCS-KMR 15 66,00 10,89 0,450 Ho diterima (tidak ada perbedaan)

CPS-KMR 15 63,33 7,94

SSCS-KMR 15 66,00 10,89 0,010 Ho ditolak (ada perbedaan)

CPS-KMT 17 78,82 8,20

SSCS-KMT 17 77,35 7,93 0,000 Ho ditolak (ada perbedaan)

CPS-KMR 15 63,33 7,94

SSCS-KMT 17 77,35 7,93 0,599 Ho diterima (tidak ada perbedaan)

CPS-KMT 17 78,82 8,20

CPS-KMR 15 63,33 7,94 0,000 Ho ditolak (ada perbedaan)

(4)

78

Uji hipotesis prestasi kognitif menghasilkan ada interaksi

antara model pembelajaran dengan kemampuan matematis, sehingga dilanjutkan dengan uji Compare Mean Independent t Sample. Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dibahas mengenai hasil pengujian hipotesis pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai berikut:

1) Pengaruh model pembelajaran SSCS dan CPS terhadap prestasi belajar

Hasil analisis menunjukan α = 0,254>0,05, artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara prestasi kognitif siswa dengan model SSCS dan model CPS. Model pembelajaran problem solving bertujuan agar siswa terbiasa dalam menyelesaikan masalah baik dalam masalah materi pelajaran maupun secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Problem solving bisa disebut sebagai cara berpikir (way of thinking) yang bisa membantu siswa meningkatkan kemampuan penalaran logis. Problem solving memiliki nilai aestetik yang melibatkan emosi/afeksi dan dapat meningkatkan rasa penasaran, motivasi dan kegigihan siswa selama proses pemecahan masalah [7].

Model pembelajaran problem solving tipe SSCS dan CPS yang memiliki sintak yang hampir sama. Tahap awal siswa diberikan permasalahan yang meyangkut larutan penyangga, kemudian siswa mencari solusi permasalahan, dan terakhir mengkomunikasikan hasil pemecahannya. Perbedaan model ini terletak pada pembentukan kelompok yang heterogen pada CPS sedangkan pada SSCS tidak mengunakan kelompok yang heterogen. Selain itu dalam CPS siswa lebih dibebaskan dalam setiap tahap pemecahan masalah larutan penyangga, sedangkan pada SSCS siswa lebih dituntun ketika menyelesaikan masalah yang diberikan.

Salah satu kelebihan kerja kelompok kooperatif dalam CPS terletak pada bantuan yang saling diberikan oleh para murid serta dapat mengembangkan sikap sosial siswa. Akan tetapi ada juga kelemahan dari kelompok kooperatif seperti yang diugkapkan oleh Muijs et al. [8] yaitu tidak mengembangkan belajar mandiri dan dapat menimbulkan ketergantungan pada anggota dominan di kelompok.

Sementara itu kelebihan pada kelompok SSCS yaitu masing-masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab personal untuk menuntun diri mereka memahami setiap langkah dalam pemecahan masalah. Hal ini karena dalam kelompok tidak ada tanggung jawab kelompok dan ketergantungan positif seperti unsur-unsur dalam kelompok kooperatif.

Kaitannya dengan hasil pengujian hipotesis yaitu tidak ada berbedaan signifikan model pembelajaran yang diterapkan dengan prestasi kognitif siswa. Hal ini karena model SSCS dan CPS memiliki sintak yang hampir sama. Selain itu masing-masing model pembelajaran memang memiliki kelebihan dan kekurangan seperti yang diuraikan di atas. Hal itulah yang menyebabkan prestasi kognitif tidak megalami perbedaan yang signifikan.

Hasil uji hipotesis afektif α = 0,033<0,05, artinya ada perbedaan signifikan prestasi afektif pada model

SSCS dengan CPS. Afektif model SSCS lebih bagus daripada afektif pada model CPS. Hal ini berkaitan dengan karakter siswa yang lebih bersemangat pada kelas XI IPA 3 yang dikenai model SSCS. Hasil uji hipotesis psikomotor α =0,00<0,05, artinya ada perbedaan signifikan antara psikomotor model SSCS dan CPS. Psikomotor model CPS lebih bagus daripada SSCS. Hal ini karena dalam eksperimen di laboratorium dibutuhkan kerjasama yang bagus antar anggota kelompok. Hasil penelitian yang sama juga diperoleh oleh Ardyati [9].

2) Pengaruh kemampuan matematis terhadap prestasi belajar

Hasil uji hipotesis kognitif α = 0,00<0,05, artinya ada pengaruh yang signifikan antara kognitif kemampuan matematis tinggi dengan kemampuan matematis rendah. Kemampuan matematis merupakan salah satu faktor internal yang mendukung keberhasilan kognitif siswa dalam malakukan ketepatan penghitungan matematika, misalnya materi larutan penyangga yang didominasi oleh hitung-hitungan yaitu dalam mencari pH larutan. Pendapat lain juga mengungkapkan bahwa seseorang yang mempunyai intelegensi matematis logis sangat mudah membuat klasifikasi dan kategori dalam pikiran serta cara mereka bekerja [10]. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriyanti [11] dan Salpan [12] juga mengungkapkan bahwa kemampuan matematis berpengaruh positif terhadap kognitif siswa.

Perkembangan kemampuan matematis memerlukan motivasi dan perkembangan emosi yang tinggi dari peserta didik. Perkembangan kemampuan matematik yang berbeda juga dipengaruhi oleh umur siswa [13]. Berdasarkan perkembangan kognitif Piaget, siswa SMA berada pada tingkat operasional formal dimana dalam masa ini anak dapat menggunakan operasi kongkret yang dimiliki untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Seperti halnya dalam pemecahan masalah larutan penyangga, dengan didukung oleh kemampuan matematis yang bagus siswa akan lebih mudah menyelesaikan masalah yang diberikan karena siswa yang mempunyai kemampuan matematis tinggi bisa membaca petunjuk nonmatematis sama halnya dengan mengerjakan petunjuk matematis.

Hasil uji prestasi afektif tidak menujukkan pengaruh signifikan karena angket afektif siswa tidak berkaitan dengan soal matematis. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Apriyanti [11]. Untuk psikomotor tidak ada pengaruh yang diberikan oleh kemampuan matematis karena praktikum dalam menentukan larutan penyangga yang dilakukan tidak menyangkut hitung-hitungan.

3) Interaksi penggunaan model pembelajaran SSCS dan CPS dengan kemampuan matematis terhadap prestasi belajar

Hasil uji hipotesis kognitif α = 0,021, artinya ada interaksi antara model SSCS dan CPS dengan kemampuan matematis. Kemampuan matematis sangat erat kaitanya dengan model Problem solving SSCS dan

(5)

79

CPS. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Muijs et

al. [8] bahwa pengajaran matematika yang efektif melibatkan pengajaran untuk tujuan memahami dan menggunakan problem solving. Ohnemus [14] menyatakan bahawa problem solving merupakan bagian terpenting dari matematis. Dengan kemampuan matematis siswa akan lebih bisa memecahkan masalah. Berdasarkan penelitian Nicolaidou et al. [15] dengan judul attitudes towards mathematics, self-efficacy and achievement in problem-solving menyimpulkan bahwa kemampuan matematika memberikan pengaruh positif terhadap problem solving. Hal ini menunjukkan pentingnya kemampuan matematis dalam mendukung model pembelajaran problem solving pada materi larutan penyangga.

Data lengkap mengenai interaksi Model SSCS dan CPS bisa dilihat pada Tabel 4. Adanya interaksi antara model SSCS dan CPS bisa dilihat dari nilai α yang diperoleh, sedangkan dengan kasat mata bisa dilihat dari rata-rata kognitif dan psikomotor siswa. Siswa dengan kemampuan matematis tinggi yang diajar dengan model CPS memiliki nilai rata-rata prestasi kognitif lebih tinggi dibandingkan yang diajar dengan model SSCS karena siswa lebih mudah memecahkan masalah larutan penyangga. Sebaliknya siswa yang memiliki kemampuan matematis rendah yang diajar dengan model SSCS memiliki nilai rata-rata prestasi kognitif lebih tinggi dibandingkan yang diajar dengan model CPS. Hal ini disebabkan dalam model CPS kerja kelompoknya lebih efektif karena terdiri dari siswa yag mempunyai kemampuan heterogen. Sehingga masing-masing anggota saling melengkapi, akan tetapi jika kerjasama tidak berjalan sesuai yang diharapkan maka siswa dengan kemampuan rendah akan sulit memahami materi pelajaran. Apalagi materi larutan penyangga memang relatif sulit bagi siswa.

Hasil tes untuk psikomotor menunjukkan ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran SSCS dan CPS dengan kemampuan matematis tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar psikomotor siswa. siswa yang diajar dengan model CPS selalu memiliki rata-rata psikomotor lebih tinggi dari pada rata-rata psikomotor siswa yang diajar dengan model SSCS.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasi uji hipotesis penelitian pada materi pokok larutan penyangga siswa kelas XI IPA SMA N 1 Ngemplak Boyolali tahun ajaran 2012/2013 maka dapat disimpulkan:

a. Tidak ada pengaruh penggunaan model SSCS dan CPS terhadap prestasi belajar kognitif siswa, tetapi penggunaan kedua model ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi afektif dan psikomotor.

b. Ada pengaruh kemampuan matematis terhadap prestasi kognitif siswa, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap prestasi afektif dan psikomotor.

c. Ada interaksi antara model pembelajaran SSCS dan CPS dengan kemampuan matematis terhadap prestasi

kognitif dan psikomotor siswa, tetapi tidak ada interaksinya terhadap prestasi afektif.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Towns. 2012. The Biochemistry Tetrahedron and the Development of the Taxonomy of Biochemistry External Representations (TOBER). Chemistry

Education Research and Practice. DOI:

10.1039/c2rp00014h.

[2] Suprijono, A. 2011. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[3] Pizzini, EL. 1991. SSCS Implementation Handbook. Iowa: University of lowa.

[4] Slavin, RE. 2008. Cooperative Learning, Teori,

Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Terjemahan Nurulita Yusron. Bandung: Nusa Media.

[5] Nisa, K., Jekti, D. S. D., & Rasmi, D. A. C. 2012. Efektivitas metode pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) dalam meningkatkan hasil belajar biologi siswa kelas X SMA negeri 3 mataram tahun pembelajaran 2010/2011. Jurnal Pijar Mipa, 7(2).

[6] Niss, M. 2002. Mathematical Competencies and the

Learning of Mathematics. Denmark: Roskilde

University.

[7] Sumardyono. 2007. Pengertian Dasar Problem Solving. Yogyakarta. UGM.

[8] Muijs, D dan Reynolds, D. 2008. Effective Teaching; Teori dan Aplikasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

[9] Ardyati, DPI. 2010. Pengaruh Pembelajaran Biologi Menggunakan Metode Problem Solving dan Metode Proyek Ditinjau dari Keingintahuan Siswa dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Tesis Prodi Sains UNS. Surakarta. (Unpublished).

[10] Suparno, P. 2004. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta. Kanisius. [11] Apriyanti, M. 2012. Pembelajaran Fisika Melalui

Pendekatan Inkuiri dengan Metode Eksperimen

dan Demonstrasi Ditinjau dari Motivasi

Berprestasi dan Kemampuan Matematika Siswa. Tesis Prodi Sains UNS. Surakarta. (Unpublished). [12] Salpan. 2012. Pembelajaran Fisika dengan Metode

Demontrasi Menggunakan Alat Peraga dan Media Interaktif Berbasis Komputer Ditinjau dari Tingkat Berpikir Abstrak dan Kemampuan Matematika. Tesis Prodi Sains UNS. Surakarta. (Unpublished).

(6)

80

[13] Borovik, AV & Gardiner, T. 2006. Mathematical

Abilities and Mathematical Skills. World

Federation of National Mathematics

Competitions Conference. Cambridge, England. (22–28 Juli 2006).

[14] Ohnemus, L. 2010. Mathematical Literacy: Journal Writing to Learn Problem Solving. Math in the

Middle Institute Partnership Action Research Project Report. University of Nebraska-Lincoln. [15] Nicolaidou, M dan Philippou, G. 2010. Attitudes

Towards Mathematics, Self-Efficacy and Achievement in Problem-Solving. European Research in Mathematics Education. Volume (III). 1-11.

Gambar

Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Compare Mean Independent t Sample Hipotesis 5

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi dari Sub Bidang Bantuan Hukum Bidang Hukum Kepolisian Daerah Jawa Barat, yaitu akan memeberikan bantuan dan nasehat hukum bagi pemohon atau anggota

Pada pihak yang lain, Allahlah yang menyucikan kita, Sebenarnya, jika kita menghakimi diri kita sendiri kita tidak akan dihukum oleh Tuhan.. Ini berarti bahwa jika

dapat mewujudkan madrasah yang ideal yaitu Madrasah yang Bersih, Indah, Rindang, Nyaman, Sejuk dan Asri, hal ini karena melalui program adiwiyata seluruh komponen madrasah

Gambar 9 juga menunjukkan peran dari zeolit dan asam humat dalam memperlambat perubahan bentuk amonium menjadi nitrat yang dapat dilihat dari peningkatan konsentrasi

TBC adalah penyakit menular akibat kuman yang dapat menyerang semua bagian tubuh (IPD, 2001)1. TBC disebabkan oleh suatu kuman yang sangat kecil dan hanya dapat dilihat oleh

Namun demikian ketika para mahasiswa Thailand dan Indonesia tadi berinteraksi, mereka mulai menyadari bahwa mereka mempunyai latar belakang, budaya, dan sudut

Temperatur kerja kopling harus memenuhi temperatur yang diizinkan, karena apabila melewati batas yang diizinkan akan menyebabkan pelat gesek cepat sekali aus yang menyebabkan