• Tidak ada hasil yang ditemukan

JST Kesehatan, Oktober 2012, Vol. 2 No. 4: ISSN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JST Kesehatan, Oktober 2012, Vol. 2 No. 4: ISSN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERESEPAN OBAT UNTUK PENYAKIT ISPA NON PNEUMONIA DAN DIARE NON SPESIFIK

DI PUSKESMAS KOTA MAKASSAR TAHUN 2012

Factors Related to Medicine Prescribing for Non Pneumonial Upper Respiratory Infection (URI) and Non Specifik Diarrhea in Public Health Centres Makassar in 2012

Fahmiani1, A. Arsunan Arsin1, Nurhaedar Jafar2 1

Bagian Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin 2

Bagian Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin (E-mail: farmasi_dinkessulsel@yahoo.co.id)

ABSTRAK

Pengobatan merupakan salah satu upaya terapi yang dilakukan oleh dokter atau paramedis terhadap pasien. Peresepan obat untuk tujuan pengobatan harus didasarkan pada prinsip bahwa secara medis akan memberikan manfaat dan aman bagi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan obat dan faktor yang berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik di Puskesmas Kota Makassar. Desain Penelitian ini adalah Cross Sectional Study. Jumlah Sampel 116 orang tenaga kesehatan dengan metode Exhaustive Sampling. Analisis uji statistik bivariat dengan chi square dan multivariat dengan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan tenaga kesehatan (p=0.000), masa kerja (p=0.000), hasil diagnosa (p=0.000) dan sikap terhadap pedoman pengobatan (p=0.000) berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia. Tenaga kesehatan (p=0.000), masa kerja (p=0.000), hasil diagnosa (p=0.000) dan sikap terhadap pedoman pengobatan (p=0.000) berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit Diare Non Spesifik. Hasil uji multivariat logistik regresi menunjukkan bahwa sikap terhadap pedoman pengobatan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia (wald=21.470, p=0.000) dan masa kerja tenaga kesehatan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap peresepan obat untuk penyakit Diare Non Spesifik (wald=14.101, p=0.000). Studi ini diharapkan bahwa pola peresepan yang rasional menjadi salah satu upaya dalam pengobatan kepada pasien dan pedoman pengobatan dasar di Puskesmas menjadi rujukan terapi bagi tenaga kesehatan.

Kata kunci: Pedoman Pengobatan, Peresepan

ABSTRACT

This study aims to find out the description of medicine and use the medicine factors related to medicine prescribing for Non pneumonia URI and non specific diarrhea in Public Health centres in Makassar city. The research used a cross sectional study design. the samples were of 116 health workers obtained with by exhaustive sampling. The analysis was conducted by using bivariate statistical test with chi-square and multivariate analysis with logistic regression.The Results reveal that medicine prescribing for non pneumonia URI related to health workers (p = 0.000), length of service (p = 0.000), diagnosis result (p = 0.000) and attitude towards treatment guideline (p = 0.000). Medicine prescribing for non specific diarrhea is related to Health workers (p = 0.000), length service (p = 0.000), diagnosis result (p = 0.000) and attitude toward treatment guideline (p = 0.000). The Results of multivariate test with regression logistic reveal that attitude toward treatment guideline is the most influential factor in the medicine prescribing for non pneumonia URI (wald = 21.470, p = 0.000) while the length of service of health workers is the most influential factor in the medicine prescribing for non-specific diarrhea (wald = 14.101, p=0.000). This research is hoped that

(2)

prescribing patter rationally become one effort in treat of patients and basic treatment guidelines in public health centres become reference therapy for health works.

Keywords: Treatment Guidelines, Prescribing

PENDAHULUAN

Penggunaan obat rasional yang didefinisikan oleh WHO (1985) adalah menggunakan obat secara aman dan efektif, di mana obat harus tersedia dengan harga yang wajar dan dengan penyimpanan yang baik. Obat haruslah sesuai dengan penyakit oleh karena itu diagnosis yang ditegakkan harus tepat, patofisiologi penyakit, keterkaitan farmakologi obat dengan patifisiologi penyakit, dosis yang diberikan dan waktu pemberian yang tepat, serta evaluasi terhadap efektifitas dan toksisitas obat tersebut, ada tidaknya kontra indikasi serta biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien yang disesuaikan dengan kemampuan pasien tersebut. Sejak tahun 1985, WHO berupaya meningkatkan penggunaan obat rasional salah satunya adalah pengembangan indikator penggunaan obat melalui indikator peresepan bahwa rerata jumlah obat dalam tiap resep untuk diagnosa penyakit tunggal adalah 1,6-1,8 item obat (WHO, 1993).

Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih merupakan masalah. Penggunaan polifarmasi dimana seorang pasien rata rata mendapatkan 3,5 obat, lebih dari 50% menerima 4 atau lebih obat untuk setiap lembar resepnya, penggunaan antibiotik yang berlebihan (43%), waktu konsultasi yang singkat dengan rata rata berkisar hanya 3 menit saja serta miskinnya compliance pasien merupakan pola umum yang terjadi pada penggunaan obat tidak rasional di Indonesi (Depkes, 2005).

Dari hasil laporan monitoring indikator peresepan di Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 untuk jumlah item obat per resep rata rata 4

item obat dan prosentase peresepan antibiotik pada ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik sebesar 82,73% dan 85.51% (Dinkes Prov. Sulsel, 2011).

Menurut Standar Pengobatan Dasar di Puskesmas untuk penyakit ISPA Non Pneumonia hanya diperlukan pengobatan simtomatis untuk menghilangkan gejala yang mengganggu, Parasetamol 500 mg 3 x sehari untuk menghilangkan nyeri dan demam, untuk anak dengan dosis parasetamol adalah 10mg/kgBB/kali 3-4 kali sehari serta penggunaan antibiotik hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder. Demikian pula dengan dasar pengobatan untuk penyakit Diare Non Spesifik adalah dengan rehidrasi dan memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit. Dengan Demikian penatalaksanaan ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik tidak dianjurkan adanya penggunaan antibiotik tetapi lebih dianjurkan pasien istirahat dan banyak minum (Depkes, 2007).

Dari kedua hal di atas, terlihat bahwa masalah penggunaan obat yang tidak rasional masih cukup menonjol di pusat pelayanan kesehatan primer, Disamping berakibat pada pemborosan biaya, ketidakrasionalan penggunaan obat juga meningkatkan risiko terjadinya efek samping, dampak lainnya berupa ketergantungan pasien terhadap pemberian antibiotik (akibat persepsi yang keliru), yang selanjutnya secara luas akan meningkatkan risiko terjadinya resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada populasi (Depkes, 2006). Bertolak dari uraian tersebut, maka sangat penting untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik.

(3)

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan menggunakan desain Cross Sectional study.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan yang melaksanakan peresepan obat di poli rawat jalan Puskesmas. Sampel dalam penelitian ini adalah 116 tenaga kesehatan dengan metode penarikan sampel Exhaustive sampling.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan memverifikasi tenaga kesehatan yang menulis resep dan hasil diagnosa melalui register pasien kemudian melakukan wawancara langsung dengan responden dan berpedoman pada kuesioner yang telah tersedia berdasarkan daftar variabel penelitian yang telah disusun. Data rekam medis pasien digunakan sebagai data sekunder untuk melengkapi data penelitian.

Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dalam program

SPSS. Dilakukan analisis univariat untuk mengetahui karakteristik responden. Analisis Bivariat untuk melihat besar risiko variabel independen terhadap variabel dependen dan menggunakan uji Chi Square. Analisis multivariat untuk mengetahui variabel independen yang paling berpengaruh pada peresepan obat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda.

HASIL PENELITIAN

Karateristik Responden

Tabel 1 menunjukkan bahwa karateristik responden di Puskesmas Kota Makassar yang menjadi sampel pada penelitian, berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lebih banyak pada jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 78,4% dari pada laki laki sebanyak 21,6%. Status Kepegawaian lebih banyak pada Pegawai negeri sipil (PNS), yaitu 97,4% dan paling sedikit Pegawai Tidak Tetap (PTT), yaitu 2,6%. Tenaga kesehatan sebagai responden lebih banyak jenis Dokter, yaitu 69,0% dan paling sedikit dari Perawat, yaitu 31,0%. Tenaga kesehatan dengan masa kerja yang lama paling banyak, yaitu 55,2% dan paling sedikit tenaga kesehatan dengan masa kerja singkat, yaitu 44,8%.

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Sampel di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012

Variabel N % Jenis Kelamin Laki Laki 25 21,6 Perempuan 91 78,4 Status Kepegawaian PNS 113 97,4 PTT 3 2,6 Tenaga Kesehatan Dokter 80 69,0 Perawat 36 31,0 Masa kerja Lama 64 55,2 Singkat Jumlah 52 116 44,8 100.0 Sumber: Data Primer, 2012

(4)

Tabel 2 menunjukkan bahwa peresepan obat rasional untuk penyakit ISPA Non Pneumonia yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih rendah, yaitu 35,3% kemudian peresepan obat rasional untuk penyakit Diare Non Spesifik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih rendah, yaitu 44,8%. Distribusi sampel berdasarkan hasil diagnosa untuk penyakit ISPA Non Pneumonia paling banyak pada diagnosa jelas, yaitu 80,2% kemudian untuk hasil diagnosa penyakit Diare Non Spesifik paling banyak untuk diagnosa jelas, yaitu 82,8%. Berdasarkan sikap responden terhadap pedoman pengobatan, sikap responden yang positif masih rendah, yaitu 33,6%, kemudian sikap responden terhadap penggunaan obat rasional dengan sikap positif lebih tinggi, yaitu 80,2% dan sikap yang negatif lebih

rendah, yaitu 19,8%. Hasil penelitian juga ini menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan ketersediaan obat cukup tersedia paling banyak, yaitu 80,2%.

Analisis Bivariat

Tabel 3 analisis hubungan tenaga kesehatan (p=0,000), masa kerja (p=0,000), hasil diagnosa (p=0,000) dan sikap terhadap pedoman pengobatan (p=0,000) dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dalam uji statistic Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0,05). Hubungan sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,340), ketersediaan obat (p=0,223) dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dalam uji Chi-Suare (p>0,05).

Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Peresepan Obat, Hasil Diagnosa, Sikap terhadap Pedoman pengobatan dan Sikap terhadap Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012

Variabel P %

Peresepan ISPA Non Pneumonia

Rasional 41 35,3

Tidak Rasional 75 64,7

Peresepan Diare Non Spesifik

Rasional 52 44,8

Tidak Rasional 64 55,2

Hasil Diagnosa ISPA Non Pneumonia

Jelas 93 80,2

Tidak Jelas

Hasil Diagnosa Diare Non Spesifik

23 19,8

Jelas 96 82.8

Tidak Jelas

Sikap terhadap Pedoman Pengobatan Positif

Negatif

Sikap terhadap POR Positif Negatif Ketersediaan Obat Cukup tersedia Kurang tersedia 20 39 77 93 23 93 23 17,2 33,6 66,4 80,2 19,8 80,2 19,8 Jumlah 116 100,0

(5)

Tabel 3. Hubungan variabel dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012

Variabel

Peresepan obat

Jumlah P

Rasional Tidak rasional

n % n % n % Tenaga Kesehatan 0.00 0 Dokter 40 50.0 40 50,0 80 100,0 Perawat 1 2,8 35 97,2 36 100,0 Masa Kerja 0.00 0 Lama 10 15,6 54 84,4 64 100,0 Singkat 31 59,6 21 40,4 52 100,0 Hasil Diagnosa Jelas 40 43,0 53 57,0 93 100,0 0.00 0 Tidak Jelas 1 4,3 22 95,7 23 100,0 Sikap Terhadap Pedoman Pengobatan Positif Negatif 33 8 84,6 10,4 6 69 15,4 89,6 39 77 100,0 100,0 0.00 0 Sikap terhadap POR

Positif Negatif 35 6 37,6 26,1 58 17 62,4 73,9 93 23 100,0 100,0 0,34 0 Ketersediaan Obat 0,22 3 Cukup tersedia 30 32,3 63 67,7 93 100,0 Kurang tersedia 11 47,8 12 52,2 23 100,0

Sumber: Data Primer, 2012.

Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil analisis hubungan tenaga kesehatan (p=0,000), masa kerja (p=0,000), hasil diagnosa (p=0,000) dan sikap terhadap pedoman pengobatan (p=0,000) dengan peresepan obat untuk penyakit Diare Non Spesifik dalam uji statistik Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna (p<0,05). Hubungan sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,1000) dan ketersediaan obat (p=0,246) dengan peresepan untuk penyakit Diare Non Spesifik tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dalam uji Chi-Square (p>0,05).

Analisis Multivariat

Tabel 5 berdasarkan hasil analisis bivariat, semua variabel diikutkan dalam uji regresi logistik dan diketahui variabel yang paling berpengaruh terhadap peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia adalah sikap terhadap pedoman pengobatan dengan nilai Wald=21.470 (p=0.000) dan variabel yang paling berpengaruh terhadap peresepan obat untuk penyakit Diare Non spesifik adalah masa kerja tenaga kesehatan dengan nilai Wald=14.101 (p=0.000).

(6)

Tabel 4 Hubungan variabel dengan peresepan obat untuk penyakit Diare Non Spesifik di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012

Variabel Peresepan obat Jumlah P Rasional Tidak rasional n % n % n % Tenaga Kesehatan Dokter 47 58.8 33 41,3 80 100,0 0.000 Perawat 5 13,9 31 86,1 36 100,0 Masa Kerja Lama 9 14,1 55 85,9 64 100,0 0.000 Singkat 43 82,7 9 17,3 52 100,0 Hasil Diagnosa Jelas 47 49,0 49 51,0 96 100,0 0.000 Tidak Jelas 5 25,0 15 75,0 20 100,0

Sikap Terhadap Pedoman Pengobatan Positif Negatif 39 13 100 16,9 0 64 0 83,1 39 77 100,0 100,0 0.000

Sikap terhadap POR Positif Negatif 42 10 45,2 43,5 51 13 54,8 56,5 93 23 100,0 100,0 0.1000 Ketersediaan Obat 0,246 Cukup tersedia 39 41,9 54 58,1 93 100,0 Kurang tersedia 13 56,5 10 43,5 23 100,0 Sumber: Data Primer, 2012.

Tabel 5 Model Regresi Berganda Logistik Faktor yang Berhubungan dengan Peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik di Puskesmas Kota Makassar 2012

Variabel

B Wald Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper ISPA Non Pneumonia Step 1a Nakes 1,708 4,284 ,038 ,051 5,518 1,095 27,808 MasaKerja -1,289 3,795 ,276 ,075 1,008 DiagIspa ,184 ‘034 ,855 1,202 ,168 1,008 SikapPP 2,830 21,294 ,000 16,947 5,094 56,383 Constant -2,691 4,847 ,028 ,068 Step 2a

Diare Non Spesifik

Nakes MasaKerja 1,674 -1,247 4,356 4,051 ,037 ,044 5,335 ,288 1,107 ,085 25,704 ,968 Sikap PP 2,838 21,470 ,000 17,077 5,142 56,717 Constant -2,521 10,209 ,001 ,080 Nakes -1,979 3,797 ,051 ,138 ,019 1,012 MasaKerja 3,917 14,101 ,000 50,229 6,503 387,937

(7)

DiagDiare 18,658 ,000 ,999 1,2688 ,000 . Sikap PP -22,167 ,000 ,997 ,000 ,000 . Constant -17,724 ,000 ,999 ,000

Sumber: Data Primer, 2012.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian pada 37 Puskesmas dalam wilayah Kota Makassar dengan 116 responden tenaga kesehatan di peroleh hasil dari buku kunjungan, rekam medik dan buku pedoman pengobatan, ditemukan bahwa 35,3% responden tidak meresepkan antibiotik untuk penyakit ISPA Non Pneumonia sehingga peresepan tersebut rasional sedangkan paling banyak, yaitu 64,7% responden meresepkan antibiotik sehingga peresepan tersebut tidak rasional untuk penyakit ISPA Non Pneumonia. Demikian juga dengan 44,8% responden tidak meresepkan antibiotik untuk penyakit Diare Non spesifik sehingga peresepan tersebut rasional sedangkan paling banyak, yaitu 55,2% responden meresepkan antibiotik sehingga peresepan tersebut tidak rasional untuk Diare Non spesifik. Dari hasil penelitian tersebut, tidak sesuai dalam Standar Pengobatan Dasar di Puskesmas dan Penatalaksanaan ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik karena tidak dianjurkan adanya penggunaan antibiotik tetapi lebih dianjurkan pasien istirahat dan banyak minum (Depkes, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peresepan obat rasional hanya dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dokter sebanyak 50,0% dan peresepan obat tidak rasional lebih banyak dilaksanakan oleh perawat, yaitu sebesar 97,2% untuk diagnosa penyakit ISPA Non Pneumonia demikian pula untuk peresepan obat rasional untuk penyakit Diare Non Spesifik dengan tenaga kesehatan dokter sebesar 58.8% dibandingkan dengan peresepan obat

tidak rasional yang dilakukan oleh perawat cukup tinggi sebesar 86,1%.

Hasil analisis hubungan tenaga kesehatan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik dengan uji statistik Chi-Square di peroleh nilai p sebesar 0,000(P<0,05), hal ini menunjukaan bahwa ada hubungan yang bermakna dan antara tenaga kesehatan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian ini, di dapatkan informasi bahwa pelayanan pengobatan (Kuratif) di Puskesmas umumnya dilakukan oleh tenaga medik (dokter) dan tenaga paramedik (perawat/bidan) padahal yang mempunyai kompetensi untuk menulis resep adalah dokter dan perawat/bidan melakukan pelayanan pengobatan dan penulisan resep kepada pasien dengan asuhan keperawatan. Beberapa alasan bahwa pelayanan pengobatan dapat dilakukan oleh tenaga perawat/bidan karena kunjungan pasien lebih banyak dari tenaga medik yang melayani kemudian dokter puskesmas melakukan tugas tugas lain misalnya tugas manajerial, rapat koordinasi dan mengikuti pelatihan (Maharatu, 2009).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peresepan obat tidak rasional umumnya dilakukan oleh tenaga dokter dan hampir semua perawat/bidan sebagai responden melakukan peresepan tidak rasional untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non spesifik. Dalam pelayanan pengobatan peresepan obat yang tidak rasional umumnya tidak disadari oleh para dokter. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap dokter

(8)

selalu mengatakan bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak menentukan jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya keliru, tetapi jika tidak dilandasi dengan alasan ilmiah yang dapat diterima akan menjurus ke pemakaian obat yang tidak rasional (Kemenkes, 2011).

Demikian pula dengan pelayanan pengobatan yang dilakukan oleh perawat/bidan cenderung menimbulkan risiko terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional. Hal ini mudah difahami karena perawat/bidan memang tidak memiliki kemampuan atau kompetensi yang diperlukan dalam pelayanan pengobatan karena perawat/bidan tidak di didik untuk mengobati (not to cure) tetapi untuk merawat (to care) dan mereka lebih mengandalkan pengalaman pribadi atau meniru suatu pengobatan dari dokter yang tidak mereka pahami sehingga no drugs needed, over prescribing dan there is pills in every ills terjadi pada pengobatan yang dilakukan oleh Perawat/Bidan (Quick J, 1997).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk diagnosa penyakit ISPA Non Pneumonia peresepan obat yang tidak rasional dengan masa kerja yang lama lebih tinggi sebesar 84,4% dibandingkan dengan peresepan tidak rasional dengan masa kerja singkat lebih rendah sebesar 40,4%, kemudian untuk diagnosa penyakit Diare Non Spesifik peresepan obat tidak rasional dengan masa kerja lama lebih tinggi sebesar 85,9% kemudian peresepan obat rasional dengan masa kerja singkat lebih tinggi sebesar 82,7%. Hasil analisis hubungan antara masa kerja dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik dengan uji statistic Chi-square diperoleh nilai p sebesar 0.000 (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian ini,

diperoleh hasil yang sangat signifikan bahwa masa kerja mempengaruhi peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non spesifik.

Dari gambaran di atas, ternyata masa kerja yang lama lebih banyak berpengaruh pada peresepan obat tidak rasional, fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh telah terbiasanya atau pengalaman pribadi yang dimiliki tenaga kesehatan sudah cukup lama dalam pemberian obat pada pelayanan pengobatan dengan pola yang sama tanpa ada keluhan atau peristiwa yang merugikan pasien namun dengan bertambahnya pengalaman klinik dari tenaga kesehatan, maka kemampuan atau keterampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi juga meningkat namun disisi lain pada saat yang bersamaan, kemampuan ilmiah akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses serta kinerja klinik akibat hanya mengandalkan pengalaman, yang sering tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan menurun secara bermakna (signifikan). Sedangkan tenaga kesehatan yang memiliki masa kerja singkat masih ada sikap hati hati dalam memberikan obat serta lebih sering sharing dengan tenaga tehnis kefarmasian di Puskesmas sebagai mitra kerja dalam pelayanan pengobatan terhadap Pasien (Joenes, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan yang secara statistik bermakna p sebesar 0.000 (p<0,05) antara hasil Diagnosa dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di dapatkan informasi tenaga kesehatan yang menulis resep telah memahami kode diagnosa ISPA Pneumonia namun masih ada yang belum bisa membedakan antara gejala dengan diagnosa suatu penyakit terutama oleh Perawat/Bidan, misalnya keberagaman hasil diagnosa yang merupakan salah satu dari gejala suatu penyakit suatu contoh untuk penyakit ISPA (1302) hanya dituliskan

(9)

gejala dalam hasil diagnosisnya seperti batuk, pilek, demam/batuk, pusing/batuk, sehingga tidak jelas dan tidak sesuai dengan pedoman pengobatan.

Berdasarkan hasil penelitian, ternyata diperoleh informasi bahwa hasil diagnosa untuk penyakit Diare Non spesifik lebih mudah diketahui oleh tenaga kesehatan dan berdasarkan ciri khas dari kasus Diare dapat disimpulkan lebih mudah dan cepat oleh tenaga kesehatan yang melaksanakan pengobatan namun belum memahami kode diagnosa Diare Non Spesifik untuk ditulis dalam register pasien. Sikap terhadap pedoman pengobatan dengan hasil penelitian ini menunjukkan dari hasil wawancara terhadap 116 responden bahwa peresepan obat rasional dengan sikap positif terhadap pedoman pengobatan sebesar 84.6%, kemudian peresepan obat tidak rasional dengan sikap negatif terhadap pedoman pengobatan lebih tinggi sebesar 89,6% untuk penyakit ISPA Non Pneumonia. Kemudian Hasil penelitian ini juga secara signifikan menunjukkan bahwa peresepan obat rasional dengan sikap positif terhadap pedoman pengobatan lebih tinggil sebesar 100% dan peresepan obat tidak rasional dengan sikap negatif terhadap pedoman pengobatan mencapai 83.1% untuk penyakit Diare Non spesifik.

Kedua hasil tersebut diatas dianalisis bersama sama dengan uji statistik Chi-Square) nilai p sebesar 0.000 (p<0,05) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap terhadap pedoman pengobatan dengan peresepan obat untuk ISPA Non pneumonia dan Diare Non Spesifik. Dari hasil penelitian ini didapatkan informasi bahwa lebih banyak tenaga kesehatan memiliki sikap negatif terhadap pedoman pengobatan, sehingga terjadi peresepan yang tidak rasional. Fenomena ini bisa saja terjadi karena adanya penolakan oleh para dokter terhadap suatu pedoman yang pada penyusunannya mereka tidak dilibatkan

(Notoatmojo, 2007) atau berbagai alasan lain karena persepsi yang keliru terhadap pedoman pengobatan dan buku pedoman pengobatan belum pernah dilihat dan diketahui oleh tenaga kesehatan di Puskesmas. Sikap terhadap penggunaan obat rasional dan ketersediaan obat tidak menunjukkan hasil yang signifikan dengan peresepan obat untuk Penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditemukan bahwa tenaga kesehatan, masa kerja, hasil diagnosa, sikap terhadap pedoman pengobatan berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Sikap terhadap penggunaan obat rasional dan ketersediaan obat tidak berhubungan dengan peresepan untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Sikap terhadap pedoman pengobatan merupakan variabel yang paling berpengaruh pada peresepan obat ISPA Non Pneumonia dan Masa kerja merupakan variabel yang berpengaruh pada peresepan Diare Non Spesifik. Studi ini diharapkan bahwa pola peresepan yang rasional menjadi salah satu upaya dalam pengobatan kepada pasien dan pedoman pengobatan dasar di Puskesmas menjadi rujukan terapi bagi tenaga kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, RI. (2005). Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Jakarta Depkes, RI. (2006). Modul Pelatihan

Penggunaan Obat Rasional. Jakarta. Depkes, RI. (2007). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta.

Dinkes Prov. Sulsel, (2011). Laporan Pertemuan Pertemuan Pembekalan Penggunaan Obat Rasional, Makassar.

(10)

Joenoes, Z. N, (2006). Ars Prescribendi Resep yang Rasional. Penerbit Universitas Airlangga, Surabaya. Kemenkes. RI, (2011). Modul

Penggunaan Obat Rasional, Jakarta. Maharatu, C, (2009). Dampak

Penggunaan Antibiotik yang Irrasional. (Online) (http://cutma haratu.wordpress.com) Diakses pada 15 Januari 2012.

Notoatmojo, (2007). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Prilaku Kesehatan, Penerbit FKM Universitas Indonesia. Jakarta.

Quick. J. D, et al. (1997). Management Drug Supplay: Management Sciences For Health in Collaboration With The World Health Organization, 2-nd Edition, Reviced and Expanded, Kumarian Prress Inc..USA.

WHO, (1993). How to investigate drugs use in health facilities selected drug use indicators, action programme on essential drugs, WHO Geneva. (Online) (http://apps.WHO.int/ medicine) Diakses 4 Februari 2012.

Gambar

Tabel  1  menunjukkan  bahwa  karateristik responden di Puskesmas Kota  Makassar  yang  menjadi  sampel  pada  penelitian,  berdasarkan  hasil  analisis  univariat  menunjukkan  bahwa  lebih  banyak  pada  jenis  kelamin  perempuan,  yaitu  sebanyak  78,4%
Tabel  2  menunjukkan  bahwa  peresepan  obat  rasional  untuk  penyakit  ISPA  Non  Pneumonia  yang  dilakukan  oleh  tenaga  kesehatan  masih  rendah,  yaitu  35,3%  kemudian  peresepan  obat  rasional  untuk  penyakit  Diare  Non  Spesifik  yang  dilaku
Tabel 3.   Hubungan  variabel  dengan  peresepan  obat  untuk  penyakit  ISPA  Non  Pneumonia di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012
Tabel 4   Hubungan  variabel  dengan  peresepan  obat  untuk  penyakit  Diare  Non  Spesifik di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012

Referensi

Dokumen terkait

Mengapa tepung terigu yang dipilih sebagai bahan yang difortifikasi? Hal ini mengingat Mengapa tepung terigu yang dipilih sebagai bahan yang difortifikasi? Hal ini

Program ini ditetapkan untuk dapat tercapainya peningkatan SDM dalam bidang Komunikasi dan Informasi dilingkungan Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kediri, dengan

Setelah peneliti mengadakan penelitian dengan menggunakan metode diatas, terkait dengan strategi guru dalam pengembangan kecerdasan spiritual pada anak usia dini di

Perbandingan Rata-Rata Skor Tindakan Penanganan Pangan Berdasarkan Umur Responden Chi-Square Tests Value df Asymp.. The minimum expected count

Pada tabel 2 tampak bahwa Candida merupakan genus jamur terbanyak ditemukan pada biakan tinja penderita HIV/AIDS yaitu 45 (47,37%). Jamur ini tersering ditemukan

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi telur Toxocara cati dari feses kucing yang ditemukan di sekitar rumah penduduk di kecamatan Banjarnegara, Bawang

peraturan yang berlaku dan menaati perintah yang diberikan. Kejujuran adalah ketulusan hati seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta kemampuan

Adapun analisis dari Tugas Akhir yang berjudul “Implementasi Teknik Rigging Pada Film Animasi 2 Dimensi Gadis Sapu Lidi” adalah proses/tahapan didalam rigging karakter