BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIV / AIDS
HIV. HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer dari Institud Pasteur Prancis tahun 1983 dan diberi nama lymphadenopathy associated virus (LAV). Pada tahun 1984 Robert Gallo dari National Cancer Institude Amerika Serikat, mengidentifikasi retrovirus dari penderita AIDS dan diberi nama human T-lymphotropic virus tipe 3 ( HTLV-3). Pada tahun 1985 Cherman dan Barre, yang juga meneliti retrovirus penyebab AIDS, member nama lymphadenopathy-AIDS virus (LAV /HTLV-3), dan pada tahun 1986 International Committee on Taxonomy of Viruses, member nama retrovirus penyebab AIDS dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV).1,8,9,19
2.2. Etiologi HIV
2.3. Struktur HIV
HIV terdiri dari 3 bagian utama yaitu envelope yang merupakan bagian terluar, capsid polimerisasi (pol) yang meliputi isi virus dan core (gag) untuk grup antigen protein, merupakan isi virus. Lapisan envelope terdiri dari lemak ganda yang terbentuk dari membrane sel pejamu serta protein dari sel pejamu. Pada lapisan ini tertanam glikoprotein gp41. Pada bagian luar glikoprotein ini terikat molekul gp120. Pada elektroforesis kompleks antara gp120 dan gp41 membentuk pita gp160. Capsid merupakan lapisan protein yang dikenal sebagai p17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA rantai tunggal, enzyme-enzym yang berperan dalam replikasi seperti reserve transcriptase (p61), endonuklease (p31), dan protease (p51) serta protein lainnya terutama p24.42
Gambar 2.1 Structure of HIV. 10
makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4+ ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+..2
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu, aktifasi poliklonal sel B menimbulkan hipergamaglobulinemia, antibody yang dapat menetralkan antigen gp120 dan gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progress penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang tinggi. Protein envelop adalah produk yang menyandi gp120,digunakan dalam usaha memproduksi antibody yang efektif dan produktif oleh pejamu.2
2.4. Siklus hidup HIV
Gambar 2.2. HIV entry and replication in CD4 T lymphocytes.10
transkripsi dan translasi. DNA polimerase mencatat dan mengintegrasi provirus DNA ke mRNA, dan mentranslasikan pada mRNA sehingga terjadi pembentukan protein virus. Pertama, transkripsi dan translasi dilakukan dalam tingkat rendah menghasilkan berbagai protein virus seperti Tat, Nef dan Rev. Protein Tat sangat berperan untuk ekspresi gen HIV, mengikat pada bagian DNA spesifik yang memulai dan menstabilkan perpanjangan transkripsi. Belum ada fungsi yang jelas dari protein Nef. Protein Rev mengatur aktivitas post transkripsional dan sangat dibutuhkan untuk reflikasi HIV. Perakitan partikel virion baru dimulai dengan penyatuan protein HIV dalam sel inang. Nukleokapsid yang sudah terbentuk oleh ssRNA virus disusun dalam satu kompleks. Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses ”budding” dari membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel inang.1,2,4,17
2.5. Patogenesa HIV
HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan di perantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak. Setelah berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat di deteksi di dalam darah. Masa inkubasi HIV berkisar antara 6 minggu sampai 6 tahun atau lebih.1,8,9
dini akut berupa panas, mialgia dan atralgia. Virus menginfeksi sel CD4, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid. Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol sel CD8+ dan antibody dalam sirkulasi terhadap p24 dan protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus. Respon imun tersebut menghancurkan HIV dalam KGB yang merupakan reservoir utama HIV selama fase selanjutnya dan fase laten. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten , destruksi sel CD4 berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah CD4 dalam sirkulasi menurun. Kemudian menyusul fase progressif kronis dan penderita menjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh kuman non patogenik. Setelah HIV masuk kedalam sel dan terbentuk dsDNA, integrasi DNA viral ke dalam genom sel pejamu membentuk provirus. Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan aktifasinya, yang mengakibatkan terbentuk pengelepasan partikel virus. Walau CD4 berikatan dengan envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Subjek yang baru terinfeksi HIV dapat disertai gejala atau tidak. 2,17
2.6. CD4
antibody dan mengatur produksi antibody. Sedangkan untuk sistem imun seluler berfungsi dalam mengatur CD8 dan NK membunuh sel sasaran yang terkena infeksi virus. 1,2,3,4,8
Ketika HIV masuk ke tubuh, maka virus mencari sel CD4 dan mulai menggandakan dirinya (replikasi virus). CD4 merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun tubuh. Apabila telah bereplikasi virus dan meninggalkan CD4 yang telah mati, maka partikel virus baru akan mencari dan menginfeksi CD4 baru, sehingga dengan demikian maka akan semakin rendah jumlah CD4 dalam tubuh. Setelah melewati beberapa waktu, banyak sel-sel CD4 dihancurkan sehingga sistem kekebalan tidak lagi dapat melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit yang lain. Oleh sebab itu pemantauan CD4 pada seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk melihat perjalanan penyakit beserta prognosisnya. Jumlah CD4 adalah indikator yang paling diandalkan untuk prognosis. 1,2,3,4,8
ukuran. CD4 mutlak adalah prediktor paling berguna terhadap risiko untuk perkembangan infeksi oportunistik. CD4 mutlak dan persentase CD4 sesuai dicatat sebagai berikut : CD4 (nilai mutlak) : >500 setara dengan >29% (Persen), 200-500 setara dengan 14-28% dan <200 setara dengan <14%.
1,2,3,4,8
Sekali HIV menginfeksi, maka seseorang akan tetap mengandung HIV dalam tubuhnya. Berdasarkan hal tersebut, kegiatan penanggulangan dan pemantauan selama perjalanan penyakit sangat penting.1,2,3,4,8
Berdasarkan kategori klinik dan jumlah sel CD4, Infeksi HIV diklasifikasikan sebagai berikut (CDC,1993 )54
Kategori klinik
WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut :
2.8. Diagnosa infeksi HIV
pemastian dengan pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu Western blot assay karena mampu mendeteksi komponen komponen yang terkandung pada HIV.8
WHO telah mengeluarkan batasan kasus infeksi HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik yang berhubungan dengan infeksi HIV. Pedoman ini meliputi kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat .7
2.9. Diagnosis Laboratorium.
Untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV dengan melakukan pemeriksaan laboratorium kita bagi dalam dua kelompok yaitu uji imunologi dan uji virology.19
2.9.1. Uji Imunologi
Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibody terhadap HIV dan juga digunakan sebagai test skrining.19
2.9.1.1. ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji penapisan
infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody yang dibentuk
oleh tubuh terhadap virus HIV. Dalam hal ini antigen mula-mula diikat benda
padat kemudian ditambah antibody yang akan dicari. Setelah itu ditambahkan
lagi antigen yang bertanda enzim, seperti peroksidase dan fosfatase. Akhirnya
ditambahkan substrat kromogenik yang bila bereaksi dengan enzim dapat
menimbulkan perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi seuai dengan
jumlah enzim yang diikat dan sesuai pula dengan kadar antibody yang dicari.2
jenis tehnik yaitu tehnik kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi membentuk kompleks yang terbatas dengan antibody spesifik pada fase padat. Prinsip dasar dari sandwichassay adalah sampel yang mengandung antigen direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibody spesifik kedua yang berlabel enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut.. Antibody biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12
setelah tubuh terpapar virus HIV,sehingga kita menganjurkan agar
pemeriksaan ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah seseorang
dicurigai terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual
berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat
dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine.5,19,21 .
2.9.1.2. Radioimmunoassay (RIA)
diberi label dan tidak terikat dengan antibody dipisahkan oleh proses pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konyugate, sehingga terjadi pembentukan kompleks imun dengan konjugate.12,19
2.9.1.3. Metode Electrochemiluminescence Immunoassay (ECLIA)
Chemiluminescence adalah emisi atau pancaran cahaya oleh produk yang distimulus oleh suatu reaksi kimia atau suatu kompleks cahaya. Kompleks ikatan anti gen-antibodi yang terjadi akan menempel pada streptavidin-coated microparticle. ECLIA menggunakan teknologi tinggi yang memberi banyak keuntungan dibandingkan dengan metode lain. Pada metode ini menggunakan prinsip sandwich dan kompetitif. Pada. metode ECLIA yang menggunakan metode kompetitif dipakai untuk menganalisis substrat yang mempunyai berat molekul yang kecil. Sedangkan prinsip sandwich digunakan untuk substrat dengan berat molekul yang besar .12,19
2.9.1.4. Imunokromatografi/ Rapid Test
Disebut juga uji strip, berbeda dari metode yang lain, metode ini tidak memerlukan peralatan untuk membaca hasilnya, tetapi cukup dilihat dengan kasat mata, sehingga jauh lebih praktis. Metode ini mempunyal dua jenis prinsip yang berbeda.
● Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
tetap, tidak terikat) pada bantalan konyugat (conyugate pad). Bila sampel ditambahkan pada bantalan sampel, maka sampel tersebut secara cepat akan membasahi dan melewati bantalan konyugat serta melarutkan konyugat. Selanjutnya reagen akan bergerak mengikuti aliran dari sampel sepanjang strip membran, sampai mencapai daerah dimana reagen akan terikat. Pada garis ini, kompleks antigen antibody akan terperangkap dan akan terbentuk warna dengan derajat vang sesuai dengan kadar yang terdapat di dalam sampel. Pada metode ini, kadar substrat di dalam sample tidak boleh berlebih, tetapi harus lebih sedikit daripada kadar antibody pengikat (capture Ab) yang terdapat dalarn capture ilne sehingga mikrosfere tidak diikat pada garis pengikat (capture line) dan mengalir terus ke garis kedua dari antibody yang dimobilisasi yaitu garis control (control line).12,18
● Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
Sering dipakai untuk melacak molekul yang kecil dengan epitop tunggal yang tak dapat mengikat dua antibody sekaligus. Reagen pelacaknya adalah analit yang terikat pada partikel lateks atau suatu colloidal metal.
Apabila sampel dan reagen melewati zona dimana reagen pengikat dimobilisasi, sebagian dari substrat dan reagen palacak akan terikat pada garis capture line. Makin banyak substrat yang terdapat di dalam sampel, makin efektif daya kompetisinya dengan reagen pelacak.12,18
ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.49
Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel.2.3.49
2.9.1.5. Western Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif
ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif.
karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik . Western Blot
mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,9% apabila dikombinasi dengan pemeriksaan ELISA. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam .13,19
2.9.1.6. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti
halnya pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibody terhadap HIV. Uji ini
sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. 19
2.9.2. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24), dan PCR test.19,42
2.9.2.1. Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus19,42
2.9.2.2. Nucleic Acid Amplification Test ( NAAT HIV-1 )
2.9.2.3. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibody p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibody anti-p24.19
2.9.2.4. PCR Test
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan cervical,
sel-sel, dan cairan semen. Metode Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT PCR) ini yang paling sensitive.19
PCR adalah suatu teknologi yang menghasilkan turunan / kopi yang
berlipat ganda dari sekuen nukleotida dari organism target, yang dapat
mendeteksi target organism dalam jumlah yang sangat rendah dengan
spesifitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu
setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang
canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak
memberikan hasil yang pasti.19
2.9.3. Flow cytometri
laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel tersebut akan diidentifikasi. Flow cytometry secara rutin digunakan dalam diagnosis kesehatan, namun memiliki banyak aplikasi lain dalam penelitian dan praktek klinis. 43,44
Metode flow cytometry terus berkembang sejalan dengan perkembangan elektrik komputer dan reagen, termasuk digunakannya monoklonal antibody. Sampai saat ini, pengukuran dengan flow cytometry menggunakan label flouresensi, selain mengukur jumlah, ukuran sel, juga dapat mendeteksi petanda dinding sel, granula intraseluler, struktur intra sitoplasmik, dan inti sel.43,44
Gambar 2.3. Flowcytometri
2.9.3.1. Prinsip kerja Flow Cytometri
listrik dan dipisahkan menjadi tetesan-tetesan sesuai dengan muatannya, kemudian ditampung ke dalam beberapa saluran pengumpul yang terpisah. Ini disebut cell sorting.
Ada dua cara pengukuran sel yang digunakan pada alat-alat tersebut, yaitu impedansi listrik (electrical impedance) dan pendar cahaya (light scattering).
Prinsip impedansi listrik adalah penghitungan jumlah dan ukuran sel dengan cara mengukur perubahan tahanan listrik yang diakibatkan oleh sel sewaktu melalui celah yang sempit. Perubahan itu kemudian dideteksi oleh alat sensor. Sel-sel darah terlebih dahulu disuspensikan dalam medium elektrolit yang bersifat tidak konduktif. Pada waktu sel darah melewati celah dimana pada kedua sisinya terdapat elektroda beraliran listrik konstan, akan terjadi perubahan tahanan listrik di antara kedua elektroda tersebut. Hal ini mengakibatkan timbulnya pulsa listrik. Jumlah pulsa listrik yang terukur per satuan waktu atau frekuensi pulsa dideteksi sebagai jumlah sel melalui celah tersebut. Sedangkan besarnya perubahan tegangan listrik (amplitudo) yang terjadi merupakan ukuran volume dari masing-masing sel darah.
Prinsip light scattering adalah metode di mana sel dalam suatu aliran melewati celah di mana berkas cahaya difokuskan ke situ (sensing area). Apabila cahaya tersebut mengenai sel, cahaya akan dihamburkan, dipantulkan, atau dibiaskan ke semua arah. Beberapa detektor yang diletakkan pada sudut-sudut tertentu akan menangkap berkas-berkas sinar sesudah melewati sel itu.
dipakai untuk menghitung jumlah, ukuran, maupun isi bagian dalam yang merupakan ciri dari masing-masing sel. Hamburan cahaya dengan arah lurus (forward scattered light) mendeteksi volume dan ukuran sel. Sedangkan yang dibiaskan dengan sudut 90 derajat (right angle scattered light) menunjukkan isi granula sitoplasma.43,44
Penggunaan Flow Cytometry dapat memberikan informasi yang penting pada klinis untuk membantu untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit, ataupun untuk memonitor keadaan dari suatu penyakit. Jumlah absolut sel CD4 merupakan pengukuran yang penting untuk memprediksi, menentukan derajat, dan memonitoring progresifitas serta respon terhadap pengobatan pada infeksi HIV. Jumlah CD4 adalah indikator yang paling diandalkan untuk prognosis.7
2.10. PENATALAKSANAAN / PENGOBATAN
2.10.1. Penatalaksanaan Umum
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV & AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, dan membiasakan gaya hidup sehat.8,49
2.10.2. Penatalaksanaan Khusus
HIV sangat cepat bermutasi sehingga resisten terhadap obat. Untuk mengurangi kemungkinan tersebut , maka didalam penanganan infeksi HIV digunakan highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") baha
dari : Zidovudin (AZT/ZDV), Lamivudin (3TC), Tenofovir (TDF), Emtricitabine
(FTC) dengan
terdiri dari Nevirapin (NVP), Efavirenz (EFV). 1,8,17
HAART merupakan kombinasi beberapa obat antiretroviral yang menghambat replikasi HIV. Pengobatan infeksi HIV dengan HAART digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati keadaan normal, mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi HIV. Karena replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit neurologi, penurunan berat badan yang akhirnya mendorong ke arah kematian.1,8,17
Sebelum mendapat HAART pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan karena terapi antiretroviral akan berlangsung seumur hidupnya. Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai HAART pada ODHA dewasa.1,8,17
Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI + 1 NNRTI.
Tabel.2.5.49
Terdapat lebih dari 20 obat antiretroviral yang digolongkan dalam 6 golongan berdasarkan mekanisme kerjanya, terdiri dari 17,19,49 :
a. Nucleoside/ Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) b. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) c. Protease Inhibitors (PI)
d. Fusion Inhibitors (FI) e. Antagonists CCR5
Terapi tunggal antiretroviral menyebabkan kemunculan cepat mutan HIV yang resisten terhadap obat. Kombinasi obat antiretroviral merupakan strategi yang menjanjikan secara klinik, ditunjuk sebagai terapi antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi ini mempunyai target multi langkah pada reflikasi virus sehingga memperlambat seleksi mutan HIV. Tetapi HAART tidak dapat menyembuhkan infeksi HIV, karena virus menetap pada reservoir yang berumur panjang pada sel-sel yang terinfeksi, termasuk sel T CD4 memori, sehingga ketika HAART dihentikan atau terdapat kegagalan terapi , produksi virus kembali meningkat .17,19,49
2.10.3. Evaluasi terapi HAART
Setelah pengobatan dengan antiretroviral dimulai, diperlukan pemantauan klinis dan laboratorium, meliputi :
2.10.3.1. Pemantauan klinis
Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi HAART dan dukungan kepatuhan.49
2.10.3.2. Pemantauan laboratoris
Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala. Akan tetapi bila menggunakan Nevirapine (NVP) untuk perempuan dengan CD4 antara 250 – 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase sejak memulai terapi HAART dengan pemantauan berdasar gejala klinis.49
Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan Tenofovir(TDF).49
2.10.4. Indikasi kegagalan terapi HAART
Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit, secara imunologis dengan penghitungan CD4 dan /atau secara virologis dengan mengukur viral load.7,49,
2.10.4.1. Kegagalan klinis:
Munculnya Infeksi Opurtunistik (IO) pada stadium 4 setelah setidaknya 6 bulan dalam terapi HAART, kecuali TB, kandidosis esofageal, dan infeksi bakterial berat yang tidak selalu diakibatkan oleh kegagalan terapi. Telaah respon dari terapi terlebih dahulu, bila responnya baik maka jangan diubah dulu.7
2.10.4.2. Kegagalan Imunologis
2.10.4.3. Kegagalan Virologis:
2.11. KERANGKA KONSEPSIONAL
Pasien HIV
Sesudah HAART Sebelum
HAART